BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Lembaga internasional yang mengawasi penegakan hak asasi manusia di
dunia, Human Rights Watch, pada awal 2013 menyebut Indonesia berada pada kondisi gawat darurat yang butuh segera ditangani dalam hal intoleransi beragama (Kine, 2013). Pernyataan ini dipublikasikan Human Rights Watch setelah laporan tentang kebebasan beragama di Indonesia yang dirilis lembaga ini pada Februari 2013 ditolak pemerintah Indonesia. Laporan berjudul Atas Nama Agama ini mengungkap data dan fakta tentang kasus kekerasan terhadap kelompok agama minoritas yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011-2013. Berdasarkan temuan Human Rights Watch (2013), sepanjang tahun 2012 kasus kekerasan pada kelompok minoritas agama di Indonesia terjadi secara rutin dan cenderung memakan korban. Kekerasan dilakukan baik oleh kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, hingga pemerintah Indonesia sendiri. Setara Institute (2013), lembaga independen yang mengawasi kebebasan beragama, mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia dari 216 kasus di tahun 2010 menjadi 244 kasus di tahun 2011. Selanjutnya, tercatat ada 214 kasus kekerasan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2012. Selain kekerasan pada kelompok agama minoritas, konflik antar kelompok etnis pun berulang kali terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, pecahnya konflik etnik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara etnik Madura dengan Dayak yang menewaskan ratusan orang pada tahun 2001 (Chang, 2011). Selain
1
2
itu, reformasi 1998 juga menandai salah satu sejarah kelam Indonesia di mana sekelompok masyarakat melakukan tindakan agresif terhadap etnis Tionghoa. Tercatat ada 1.300 orang yang menjadi korban serta kerugian material mencapai milyaran rupiah (Tyas, 2011). Kondisi demografis Indonesia yang sangat beragam memang mustahil tidak mengundang konflik. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 13.000 pulau besar maupun kecil. Tiap-tiap pulau dihuni oleh kelompok masyarakat yang memiliki budaya dan ciri khasnya sendiri. Masing-masing kelompok masyarakat juga berbicara dalam dialek bahkan bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasa Indonesia. Selain keberagaman suku dan bahasa, terdapat pula keragaman agama, etnis, dan adat kebiasaan yang telah berbeda sejak dulu kala (Hadiluwih, 2008). Arifinsyah (dalam Anto, 2013) juga menyebutkan bahwa di Indonesia dewasa ini terdapat tidak kurang dari 100 suku dengan 726 ragam bahasa suku. Keberagaman budaya, suku, dan agama yang ada di Indonesia dapat menjadi modal sosial dalam membangun bangsa (Suyono, 2005). Akan tetapi, di sisi lain, pluralitas kultural juga menyimpan potensi sebagai pemicu disintegrasi bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk menyulut konflik suku, agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenarnya faktor–faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Suyono, 2005). Salah satu wilayah yang dianggap mampu mengelola keberagaman dan konflik dengan baik di Indonesia adalah kota Medan, Sumatera Utara. Medan bisa
3
disebut sebagai miniatur Indonesia karena kondisinya yang sangat multikultur. Delapan suku asli hidup bersama di kota Medan, ditambah dengan beberapa suku pendatang seperti Tionghoa dan India (atau dikenal juga dengan sebutan Tamil). Pola imigrasi berlangsung sangat dinamis di kota Medan karena sejak dulu Medan dikenal sebagai lintas perdagangan sehingga menarik banyak pendatang. Hal ini membuat ruang-ruang di kota Medan hampir mustahil ada yang homogen (Arifinsyah dalam Anto, 2013). Hadiluwih (2008) mengatakan bahwa konflik etnik secara terbuka belum pernah terjadi di Medan, apalagi hingga menggunakan kekerasan. Kelompok etnis dengan komposisi paling besar di Medan adalah Jawa diikuti oleh Batak Toba, Tionghoa, dan Mandailing. Meskipun jumlah populasinya paling banyak, suku Jawa tidak dipandang sebagai ancaman oleh suku-suku asli yang berdiam di kota Medan seperti suku Melayu. Oleh karenanya, suku-suku yang tinggal di Medan dapat hidup berdampingan dengan damai. Akan tetapi, perlu diingat bahwa konflik, menurut Sarapung (2002) merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang positif-konstruktif, maupun negatif-destruktif. Konflik merupakan satu kesatuan dengan pluralisme. Tidak ada pluralisme tanpa konflik kecuali bila direkayasa sedemikian rupa sehingga konflik bisa ditutup-tutupi. Konflik merupakan salah satu bentuk dinamika dalam pluralitas. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinteraksi, pada saat itu, kemungkinan terjadinya konflik menjadi sangat terbuka (Qodir, 2002).
4
Sayangnya, konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya merupakan sesuatu yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai hal yang negatif dan perlu dihindari. Keadaan ini sudah menjadi kebiasaan di Indonesia yang tidak mempersiapkan masyarakat untuk terbuka pada konflik yang dikarenakan oleh adanya perbedaan. Masyarakat tidak dididik untuk bisa menghadapi dan mengelola konflik serta menerima pluralitas secara objektif dan terbuka (Sarapung, 2002). Hal ini terbukti dari sikap pemerintah yang terkesan menutup mata pada konflik-konflik yang terjadi di negara ini. Sebagaimana dilaporkan Human Rights Watch, Presiden Indonesia melalui juru bicaranya, Julian Adrian Pasha, mengkritik laporan Human Rights Watch tentang kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia karena dianggap memprovokasi dan tidak objektif (Kine, 2013). Terlebih lagi, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan pada kelompok minoritas agama di Indonesia tidak dipandang sebagai kasus intoleran melainkan ekspresi perselisihan kelompok semata. Sikap pemimpin bangsa yang tidak mengakui adanya konflik dan karenanya tidak melakukan tindakan apa-apa untuk menangani konflik ini dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang mampu menyeimbangkan keberagaman dan toleransi (Kine, 2013). Begitu pun di kota Medan. Julukan Medan sebagai kota multikuluralisme barangkali membuat kita menjadi menutup mata pada konflik maupun potensi konflik yang ada di tengah kota Medan. Padahal, keberagaman kota Medan sangat mungkin menyulut adanya perselisihan dalam interaksi antar kelompok.
5
Aliansi Sumut Bersatu pada 2011 mengeluarkan laporan berjudul Potret Kehidupan Beragam/Berkeyakinan di Sumatera Utara. Laporan tersebut memuat data kasus-kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2011 di Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Tercatat ada 63 kasus kekerasan dengan perincian 24 kasus (38%) adalah tuntutan/seruan diskriminatif dari organisasi masyarakat atau ormas, 13 kasus (21%) terkait kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif, 11 kasus (17%) sweeping, 4 kasus (6%) pernyataan diskriminatif, 3 kasus (5%) penistaan/pelecehan terhadap agama, masing-masing 3 kasus (5%) izin pendirian rumah ibadah dan tindakan yang diskriminatif, serta 2 kasus (2%) permasalahan simbol keagamaan dan penolakan rumah ibadah. Potensi konflik antaretnis pun tidak dapat dipungkiri ada di kota Medan. Stereotype negatif dan prasangka masih melekat pada kelompok etnis tertentu. Kelompok Tamil di Medan masih dijuluki orang Keling dan suka menipu. Kelompok Tamil menghadapi diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tidak bisa duduk di parlemen daerah (Kholil, 2011). Begitu pula dengan kelompok Tionghoa. Etnis Tionghoa di kota Medan belum dianggap sebagai suku asli dan ada julukan „cina eksklusif‟ dari etnis pribumi terhadap mereka (Achmad, 2011). Sikap dan perilaku mengabaikan adanya konflik maupun potensi konflik di tengah keberagaman Indonesia hanya akan menjadi bom waktu untuk terjadinya perpecahan dan ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada. Pada kondisi ini, yang diperlukan adalah sebuah kompetensi yang mampu menjadikan individu arif dalam menerima keberagaman dan mampu memaknai keberagaman sebagai hal yang memperkaya diri.
6
Universal-diverse orientation, selanjutnya akan disebut dengan UDO, yang dikemukakan Miville, Romans, Johnson, dan Lone (1999) dapat menjadi jawaban atas kebutuhan ini. Miville dkk (1999) mendefinisikan UDO sebagai berikut: “Universal-diverse orientation is thus defined as an attitude toward all other persons that is inclusive yet differentiating in that similarities and differences are both recognized and accepted; the shared experience of being human results in a sense of connectedness with people and is associated with a plurality or diversity of interactions with others.”
Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku dan afektif dari UDO. Lebih jauh, definisi ini dapat dimaknai bahwa individu yang menempatkan dirinya pada suatu lingkungan yang beragam berperilaku demikian karena didorong oleh penghargaan mereka atas persamaan dan perbedaan yang ada antara manusia. Oleh karena itu, individu tersebut akan merasa terhubung dengan individu lainnya secara emosional sehingga meningkatkan penerimaan mereka atas keberagaman. Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003). UDO tidak hanya sekedar bicara tentang menghindari prasangka atau konflik pada masyarakat multikultural dengan cara menghargai perbedaan. Sesuai namanya, UDO menyeimbangkan antara nilai universal sekaligus nilai keberagaman yang ada pada manusia. Menurut Miville (2001) kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara
7
bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan. Sejumlah
penelitian
membuktikan,
UDO
bermanfaat
dalam
mengembangkan kesadaran berbudaya pada seorang individu. Brummet, Wade, Ponterotto, dan Lewis (2007) menemukan bahwa nilai positif pada UDO berkorelasi dengan kesejahteraan psikososial seorang individu. UDO juga menjadi prediktor kepribadian sehat yang dimiliki individu. Meski demikian, kebanyakan riset masih berfokus pada manfaat UDO bagi individu, kelompok, maupun level organisasi sedangkan apa-apa saja faktor prediktor munculnya UDO masih belum terlalu luas diteliti (Miville, 2002). Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi prediktor melemah atau menguatnya UDO pada individu. Melakukan penelitian yang dapat mengungkap tentang UDO di kota Medan diharapkan dapat menghasilkan sebuah temuan yang kaya mengingat kondisi kota Medan yang sangat multikultural. Terlebih lagi, penelitian ini dilakukan pada perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai partisipan yang diharapkan memiliki kompetensi multikultural sebagai kaum terdidik yang nantinya akan terjun ke masyarakat dan membuat perubahan (Hammer, 2011). Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat membangun dan mengembangkan karakter mahasiswa. Mahasiswa hendaknya dipersiapkan untuk menjadi agen-agen dengan kompetensi dan karakater yang baik sehingga mampu membuat perubahan positif dalam masyarakat. (Asyanti, 2012). Kompetensi multikulturalisme seperti UDO merupakan salah satu hal yang hendaknya
8
diajarkan dan didorong untuk tumbuh dalam diri mahasiswa, terutama dengan beragamnya latar belakang kelompok-kelompok mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi. Menemukan variabel apa yang dapat memprediksi UDO pada mahasiswa dan bagaimana meningkatkannya dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi dalam mengembangkan kurikulum pendidikan atau program intervensi untuk meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa. Sejumlah variabel telah diajukan sebagai variabel yang berhubungan dengan UDO. Faktor demografis menjadi isu utama. Ras, etnis, dan gender ditemukan berkorelasi dengan UDO (Singley, 2009). Dalam penelitian Singley (2009) tersebut ditemukan bahwa wanita menunjukkan nilai UDO yang lebih tinggi dibanding responden pria. Selanjutnya, ras berwarna juga memiliki UDO lebih tinggi dibanding ras kulit putih di Amerika Serikat. Mengetahui hanya faktor demografis yang menjadi prediktor UDO pada mahasiswa tentu tak cukup. Tinggi rendahnya kesadaran seorang mahasiswa dalam menyikapi keberagaman yang ada di sekitarnya akan berdampak pada individu, organisasi, dan masyarakat tempat mahasiswa tersebut nantinya akan mengamalkan ilmunya. Tsui dan Gutek (1999) menyebutkan bahwa mahasiswa kurang dipersiapkan untuk menaklukkan tantangan keberagaman demografis di masyarakat. Untuk itu, perlu digali variabel-variabel lain yang dapat menjadi prediktor UDO sehingga dapat diketahui langkah apa yang perlu dilakukan agar mahasiswa memiliki level UDO yang baik. Penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan situasional yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa kota Medan
9
terhadap keberagaman di kota multikultur ini. Faktor individual yang akan dikaitkan dengan UDO dalam penelitian ini adalah self construal. Selanjutnya, kontak akan menjadi faktor situasional yang berkaitan dengan tinggi rendahnya UDO pada mahasiswa kota Medan. Self construal merupakan orientasi kultural individu yang dibedakan menjadi independent dan interdependent (Markus & Kitayama, 1998; Singelis, 1994; Yeh & Hwang, 2000). Perbedaan self construal pada individu mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain (Cross, 2000). Oleh karena itu, self construal diprediksikan akan menjadi variabel yang menghubungkan antara keragaman budaya dan perilaku (Markus & Kitayama, 1998). Faktor situasional yang diprediksi akan menjadi prediktor UDO adalah kontak. Tinggi rendahnya keterlibatan seorang individu, atau dengan kata lain melakukan kontak, dalam masyarakat dengan anggota kelompok yang beragam akan berdampak pada sikap yang lebih positif terhadap kelompok-kelompok tersebut (Allport, 1954; Amir, 1969). Lebih jauh lagi, Liebkind, Haaramo, dan Jasinskaja-Lahti (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi prasangka negatif antara anggota kelompok yang berbeda adalah dengan membuat mereka saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, diperkirakan tinggi rendahnya kontak mahasiswa dengan kelompok-kelompok yang berbeda di lingkungan perguruan tinggi akan berkaitan dengan tinggi rendahnya level UDO yang ia miliki.
10
Perbedaan kontak ini akan dilihat pada dua perguruan tinggi di kota Medan yang memiliki perbedaan dalam hal komposisi kelompok mahasiswa. Selanjutnya, penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan situasional tersebut dan kaitannya dengan level UDO pada mahasiswa kedua perguruan tinggi tersebut.
B.
Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah self construal dan kontak dapat menjadi prediktor dari universal-diverse orientation?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap kontribusi variabel self construal dan kontak sebagai prediktor universal-diverse orientation pada mahasiswa kota Medan.
D.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan bidang ilmu psikologi, yaitu dalam bidang Psikologi Sosial terutama dalam bidang multikulturalisme berupa variabel UDO dan variabel-variabel apa saja yang menjadi prediktornya.
11
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam merancang kurikulum pendidikan atau program intervensi sebagai upaya meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa.
E.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan Bab ini berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan di dalam penelitian ini, diantaranya teori tentang UDO, self construal, dan kontak. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian. Bab III : Metode Penelitian Bab
ini
menjelaskan
mengenai
identifikasi
variabel,
metode
pengumpulan data, subjek/partisipan penelitian, desain penelitian, tehnik pengambilan sampel, prosedur penelitian, dan teknik analisa data. Bab IV : Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi uraian mengenai hasil utama penelitian serta pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran
12
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan saran peneliti untuk penelitian selanjutnya.