Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia (Studi Penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Lhokseumawe) (Human Rights Protection of Prisoner in Indonesia: A Study in Detention Class IIA Lhokseumawe) Oleh Husni1
Abstract Condemnation system is related to the restoration of the prisoners. It is also connected to the protection of Human Rights because the sentence is only to draw line or limit the freedom of prisoners. On the one hand, the basic rights of prisoners are not limited, so this system is worth to be discussed. This study is aimed to discuss about the human rights’ protection to the prisoners in jail in Lhokseumawe. This study is conducted through legal normative research and supported by sociolegal research. In fact, even though the prisoners are under sentences, they also have rights that provide by the laws, such as religious rights, the rights to be taken care, to get health services, the rights to education, the rights to access news and information, etc. Keywords : Human Rights Protection, Prisoner
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sistem pemidanaan erat kaitannya dengan pembinaan narapidana atau sistem pemasyarakatan, hal tersebut juga menyangkut dengan perlidungan terhadap Hak asasi Manusia (selanjutnya diingkat dengan HAM) narapidana. Sistem peradilan pidana yang menghasilkan penjahat resmi karenanya harus membuat sub sistem yang mengurusi orang-orang ini, baik untuk tujuan penghukuman maupun pembinaan, yaitu yang dikenal dengan sistem pemenjaraan. Sejarah perkembangan hukuman penjara bergerak dari "menghukum" dan "membina", dan sesuai dengan 1
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
114
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) perkembangan zaman, usaha ini bergerak ke arah tindakan-tindakan untuk "memperbaiki" terhukum. Secara teoritis, usaha "perbaikan" ini merupakan perampasan kemerdekaan seseorang dengan tujuan untuk mengubah perilakunya yang "jahat" menjadi "mematuhi" hukum. Perlu dicatat bahwa putusan hakim yang berupa hukuman penjara hanyalah mencabut atau membatasi terpidana untuk bergerak secara bebas, sedangkan hak hak yang dimiliki sebagai manusia (hak-hak asasinya) yang lainnya tidak dicabut, sehingga seharusnya perlu mendapatkan perhatian. ―All Human being are born free and equal in dignity and rights‖, artinya adalah setiap manusia dilahirkan merdeka (bebas) dan mempunyai hak yang sama. Pengakuan HAM yang telah diakui secara universal dan dirumuskan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) ini menunjukkan bahwa HAM merupakan hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia tanpa membedakan jenis kelamin, umur, status, ras, kebangsaan, ataupun perbedaan lainnya. Pernyataan UDHR di atas merupakan prinsip fundamental dari pengakuan HAM. Prinsip fundamental tersebut harus benar-benar dipahami oleh semua pihak tanpa terkecuali. Hal ini dikarenakan karena setiap orang berpotensi melanggar HAM, dan sebaliknya setiap orang juga berpotensi untuk dilanggar HAM-nya, sekalipun orang tersebut adalah narapidana (para pelaku kejahatan). Narapidana memang merupakan seseorang yang telah melanggar HAM orang lain, namun bukan berarti HAM yang melekat pada dirinya dengan serta merta hilang dan dia boleh diperlakukan semena-mena oleh pihak lain guna menebus semua perbuatan jahatnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara konseptual dapat dikatakan bahwa HAM memiliki dua dimensi, yaitu dimensi moral dan dimensi hukum. Yang dimaksud dengan dimensi moral dari HAM adalah hak yang tidak dapat dipisahkan atau dicabut (non derogable rights) karena hak tersebut merupakan hak manusia karena ia manusia. Sedangkan dimensi hukum dari HAM adalah HAM yang dituangkan dalam berbagai instrument hukum, baik ditingkat nasional maupun internasioal.2 Bertolak dari pemahaman non-derogable human rights di atas, narapidana sebagai seorang yang dirampas sebagian haknya tentunya tetap berhak memperoleh perlindungan atas hak-hak asasinya yang bersifat non-derogable sebagaimana yang telah dirinci oleh Muladi. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, dikarenakan label 2
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012), hlm 7 115
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
―narapidana‖ yang melekat pada dirinya dan dianggap sebagai orang pesakitan oleh sebagian orang, maka seolah-olah seorang narapidana tidak mempunyai hak apapun. Tindakan semena-mena atau kekerasan memang rentan sekali terjadi terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana. meskipun telah terjadi pergeseran tujuan pemidanaan yang tidak lagi diorientasikan pada pembalasan belaka, melainkan lebih diorientasikan pembinaan narapidana demi terwujudnya rehabilitasi dan resosialisasi. Namun bukan berarti narapidana lepas dari segala bentuk kekerasan dalam penjara. Mengingat kondisi narapidana yang rentan sekali mendapat tindakan kekerasan selama menjalani masa hukumannya, maka sebagai manusia yang juga diakui eksistensinya oleh hukum, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan perlindungan HAM bagi narapidana di Indonesia, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Lhokseumawe. 2.
Tinjauan Pustaka a. Pengertian Hak Asasi Manusia Hak asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia secara kodrati tanpa andanya pengecualian dan pembatasan baik berdasarkan golongan, kelompok, maupun status sosial dalam masyarakat. Istilah HAM biasanya digunakan untuk menggantikan Human Rights, disamping itu ada juga yang menggunakan istilah fundamental rights atau basic rights, atau yang dalam bahasa Indonesia sering juga diartikan sebagai hak-hak mendasar yang melekat pada diri manusia. Berkaitan dengan definisi HAM, maka sampai saat ini, belum ada kesatuan pendapat yang baku mengenai pengertian HAM yang dapat diterima secara universal. Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan HAM sebagai hak-hak mendasar (fundamental) yang diakui secara universalsebagai hak-hak yang melekat pada diri manusia karena hakikat dan kodartnya sebagi manusia.3 Sedangkan menurut Muladi, HAM adalah hak yang melekat secara alamiah (inherent) pada diri manusia sejak manusia lahir karena tanpa hak tersebut manusia tidak bisa tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. 4 Dari definisi HAM tersebut dapat
3
4
Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak asasi Manusia, Konsep Dasar Dan Pengertiannya Yang Klasik Pada masa awal Perkembangannya dalam visi dan keragaman, Kumpulan Tulisan Tentang HAM, (Surabaya: Pusat Studi HAM Ubaya dan The Asia Foundation, 2003), hlm 4 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta : The Habibi Center, 2002), hlm 4
116
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) dikatakan bahwa Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa HAM tersebut tidaklah bersumber dari negara dan hukum, tetapi smata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga pada prinsipnya HAM itu tidak dapat dikurangi oleh siapapun bahkan oleh Negara. Definisi HAM di atas senada dengan definisi HAM yang di rumuskan dalam pasal 1 angka ke-1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, yaitu: ― Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia‖. Sementara itu dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia) 1948 tercantum hak-hak yang paling mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (unalienable rights of all members of human family), yaitu : hak atas penghidupan dan keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang penghambaan, perbudakan dan perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan perlakuan atau pidana yang aniaya dan kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6). Hak atas persamaan di hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya (pasal 7). Hak atas pemulihan (pasal 8). Larangan terhadap penangkapan,penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga takbersalah dan larangan terhadap hukum ex post facto (pasal 11). Hak memiliki kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 17). Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama (pasal 18). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak-hak sebagai hak yang melekat pada diri manusia (termasuk narapidana) karena ia manusia. Oleh karena itu, hakhak tersebut harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi dan tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh Negara. b. Pengertian Narapidana Untuk menjadi sebagai narapidana maka sesorang harus terlebih dahulu menjadi terpidana. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan
117
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.5 Sedangkan yang dimaksud dengan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS ( Lembaga Pemasyarakatan ).6 Dengan demikian, untuk menjadi narapidana maka perlu perubahan status terhadap terpidana. Menurut penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, perubahan status terpidana menjadi narapidana setelah sekurang-kurangnya dilakukan pencatatan putusan pengadilan, jati diri dan barang dan uang yang dibawa serta pembuatan berita acara serah terima terpidana. Dengan demikian seorang terpidana baru dapat dikatakan sebagai narapidana ketika aparat eksekusi pidana melakukan serah terima terpidana dan telah terdaftar sebagai warga binaan di lembaga pemasyarakatan. c. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Meskipun lembaga Pemasyarakatan selalu diidentikkan dengan rumah penjara, namun harus dipahami bahwa kedua lembaga tersebut berbeda sesuai dengan telah berubahnya tujuan pemidanaan dari balas dendam/pencelaan menuju kepada pembinaan atau pemasyarakatan. Peraturan tentang penjara terdapat dalam Gestichten Reglement (Regelemen Penjara) yang diundangkan dengan ordonansi tanggal 10 Desember 1917 (8.1917: 708) yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan. "Pembaharuan" di bidang ini secara menyeluruh dimulai tahun 1963 dengan diajukannya konsep " Pemasyarakatan " oleh Menteri Kehakiman Dr. Saharjo, SH. yang dimaksud dengan pemasyarakatan dalam konsep tersebut dirumuskan sebagai berikut:7
5 6 7
1.
Dengan singkatnya tujuan penjara ialah : Pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan orang - orang yang telah sesat diayomi dan diberikan bekal hidup, sehingga menjadi kawula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia.
2.
Pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing agar terpidana bertobat,
Pasal 1 Angka ke 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal 1 Angka ke 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan I.S.Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm 110
118
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) mendidik agar supaya dia menjadi anggota masyarakat sosialisme yang berguna. Pendapat Suhardjo tersebut secara langsung atau tidak langsung telah mewarnai perumusan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Meski konsep pemasyarakatan dalam hal tertentu sesuai dengan penologi modern yang menekankan pada pembinaan (treatment), namun dalam banyak hal masih tertinggal, dan di dalam perjalanannya, perkembangan pandangan-pandangan dan praktek tentang pemasyarakatan ini, misalnya: 1.
Adanya pengakuan akan tanggungjawab negara untuk mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat dalam keadaan tidak lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dia dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
2.
Dalam usaha pembinaan, harus diperhatikan agar terpidana tidak diasingkan dari masyarakatnya dan di dalam memberikan pekerjaan haruslah sesuai dengan pekerjaan yang ada di masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar terpidana tidak merasa dirinya asing, canggung atau merasa dibuang oleh masyarakatnya, sehingga dia harus selalu merasakan ada hubungan dengan masyarakat, termasuk pekerjaan yang diajarkan di dalam lembaga pemasyarakatan.
Ide pemasyarakatan tersebut sebenarnya ingin mengemukakan rumusan tentang tujuan dari pidana penjara disamping sebagai menimbulkan rasa derita dari narapidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak,membimbing terpidana agar bertobat, mendidik menjadi anggota masyarakat yang berguna atau dengan kata lain tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan.8 Dalam Pasal 1 angka ke 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ―Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dala tata peradilan pidana‖. Selanjutnya Dalam Pasal 1 angka ke 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ―Lembaga Pemasyarakatan yang
8
P.A.F. Lamintang, Hukum Peneintensier Indonesia, (Bandung : Armico, 1984), hlm 181 119
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan anaka Didik Pemasyarakatan‖. 3.
Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui hak-hak apa sajakah yang diperoleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Lhokseumawe. 2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap HAM para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Lhokseumawe .
4.
Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini metode pendekatan yang dipergunakan adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yang didukung dengan metode pendekatan Yuridis Sosiologis. Pendekatan Yuridis Normatif, yaitu suatu pendekatan yang bermuara pada norma-norma hukum yang berlaku ( hukum positif ) serta teori-teori hukum dn asas-asas hukum yang berlaku yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok penelitian. Pendekatan yang bersifat Yuridis Sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang melihat berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hukum disini dipandang sebagai suatu norma tingkah laku yang terpola. Yang keberadaannya dan daya lakunya akan sangat dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya. Kedua pendekatan ini akan dipergunakan dengan dasar pertimbangan akan saling ,melengkapi dan tanpa menimbulkan suatu pertentangan. B.
PEMBAHASAN
1.
Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Lhokseumawe
Lembaga permasyarakatan Klas II A Lhokseumawe yang berdiri sejak tahun 1913 pada masa kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh T. Daud, yang beralamat di jalan Diponogoro No. 22 Lhokseumawe dengan luas bangunan 1556.331 M di atas tanah seluas 5861 m2. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Lhokseumawe terdapat dua jenis warga binaan pemasyarakatan, yaitu narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Dalam rangka melakukan pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar: umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Lhokseumawe terdapat 6 (enam) Blok untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana sebagai warga binaan,yaitu sebagai berikut : 120
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) 1. Blok A : merupakan blok tempat melakukan pembinaan terhadap narapidana pada tahap akhir atau disebut dengan minimum security; 2. Blok B : merupakan blok tempat melakukan pembinaan pada tahap awal atau disebut dengan maximum security; 3. Blok C : merupakan blok khusus yang menempatkan dan pembinaan terhadap narapidana Wanita;
melakukan
4. Blok D : merupakan blok untuk melakukan pembinaan pada tahap lanjutan atau disebut dengan medium security; 5. Blok E : merupakan blok tempat isolasi pengasingan/sel.
atau disebut dengan tempat
Sedangkan untuk narapidana anak sebagai anak didik pemasyarakatan ditempatkan dalam kamar khusus anak yang berada di luar Blok-blok tersebut. Sampai dengan bulan Januari 2013, LAPAS Klas IIA Lhokseumawe memiliki 48 orang pegawai. Sedangkan jumlah warga binaannya adalah 397 orang, yang terdiri dari 47 orang tahanan ( 39 orang tahanan pria, 6 orang tahanan wanita dan 2 orang tahanan anak pria) dan 350 orang narapidana (334 orang pria, 16 orang wanita).9 2.
Hak-Hak Narapidana
Negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi mempunyai kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia terhadap setiap warga negara melalui sarana hukum yang terintegrasikan dalam undang-undang HAM. Begitu dengan narapidana sebagai manusia dan warga negara juga berhak atas perlindungan hukum atas hak-haknya. Mengenai hal ini ditegaskan dalam pasal 12 Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan, bahwa:10 “no one subjected to arbitrary interference with his privacy, family, or correspondence, or to attacks upon his honour and reputation, every one has the right to the protection of the law against such interference or attack”. Menurut pasal 1 angka ke-7, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan). Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana mempunyai hak yang sama meskipun sebagian hak9 10
M.Drais Sidik, Kepala LAPAS Klas IIA Lhokseumawe, Wawancara,2 Januari 2013 Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi Dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Penerbit Kompas, 2001), hlm 149 121
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
haknya untuk sementara dirampas oleh negara. Adapun hak-hak narapidana yang dirampas oleh negara untuk sementara berdasarkan Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu: (a) hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara. (pasal 13 ayat (1)); (b) hak meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri (pasal 13 ayat (2)); (c) hak mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberi informasi (pasal 19); (d) kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20); (e) hak memilih dan dipilih (pasal 21); (f) jaminan sosial (pasal 22); (g) hak memilih pekerjaan (pasal 23); (h) hak menerima upah yang layak dan liburan (pasal 24); (i) hak hidup yang layak (pasal 25); (j) hak mendapatkan pengajaran secara leluasa (pasal 26); (k) kebebasan dalam kebudayaan (pasal 27). Sedangkan hak-hak yang dapat dicabut dalam pasal 35 KUHP dapat dirinci sebagai berikut:11 (a) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (b) hak memasuki angkatan bersenjata; (c) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang didasarkan atas aturan-aturan umum; (d) hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan ank-anak sendiri; (e) hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; (f) hak menjalankan pencaharian. Hak-hak yang dicabut oleh KUHP ini merupakan pidana tambahan yang sifatnya fakultatif. Artinya, penjatuhan pidana tambahan tidak bersifat serta-merta, tergantung dari pertimbangan hakim. Dan, tindak pidana pokok senantiasa diiringi dengan pengenaan pidana tambahan tersebut. Pada umumnya, Hak-hak narapidana 11
I b I d.
122
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) yang tidak dapat diingkari, dicabut oleh negara sekalipun dan dalam kondisi apapun, adalah seperti yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu: hak atas penghidupan dan keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang penghambaan, perbudakan dan perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan perlakuan atau pidana yang aniaya dan kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6). Hak atas persamaan di hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya (pasal 7). Hak atas pemulihan (pasal 8). Larangan terhadap penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga tak bersalah dan larangan terhadap hukum ex post facto (pasal 11). Hak memiliki kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 17). Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama (pasal 18). Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB ini, juga telah dirumuskan secara singkat dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi sebagai berikut: ―Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun‖. Hak-hak Asasi manusia yang telah disebutkan di atas, kemudian dijabarkan lagi dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu: (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k)
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak dilarang; mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya; mendapat pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; 123
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
(l) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang berlaku. Kemudian Dalam manual Lembaga Pemasyarakatan mengatur setidaknya ada 5 (lima) hak narapidana yang diberikan apabila narapidana tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Hak – hak tersebut adalah: a. mengadakan hubungan terbatas dengan pihak luar; Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Selama menjalani masa hukumannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain dengan cara: surat menyurat dan kunjungan keluarga. b. memperoleh remisi; hak untuk memperoleh remisi atau pengurangan masa pidana merupakan hak narapidana yang dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang remisi , maka setiap narapidana yang berkelakuan baik, telah berjasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, dan narapidana yang membantu kegiatan dinas LAPAS, akan memperoleh remisi, remisi umum akan diberikan pada setiap peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan pada setiap tanggal 17 Agustus dan remisi khusus akan diberikan satu kali kepada narapidana pada hari besar keagamaan yang dianut narapidana . c. memperoleh asimilasi; Asimilasi merupakan proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan bermasyarakatbaik dilakukan di dalam LAPAS terbuka atau di luar LAPAS. Asimilasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: melanjutkan sekolah, kerja mandiri, kerja pada pihak luar, bakti social, olah raga, cuti mengunjungi keluarga, dll. d. memperoleh cuti menjelang bebas; apabila memenuhi syarat substantif dan syarat administratif maka terhadap narapidana yang telah menjalani 2/3 dari masa pidananya berhak mendapatkan cuci menjelang bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf l Undangundang pemasyarakatan. e. memperoleh pembebasan bersyarat. 124
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) Hak ini merupakan hak pengintegrasian narapidana, yaitu hak narapidana untuk sepenuhnya berada di tengah-tengah masyarakat, dengan syarat narapidana tersebut telah menjalani 2/3 dari masa hukumannya. Narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat ini tetap diawasi oleh BAPAS dan Jaksa negeri setempat. Menurut M. Drai Sidik12, semua hak-hak tersebut, baik yang diatur dalam pasal 14 Undang-undang pemasyarakatan maupun yang diatur dalam manual lembaga pemasyarakatan diperoleh oleh narapidana yang berada di LAPAS Klas IIA Lhokseumawe asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, kecuali hak untuk menyalurkan kebutuhan biologis karena sampai sekarang belum ada kebijakan dari pemerintah yang mengatur tentang hal tersebut, namun untuk menyalurkan kebutuhan biologis bagi narapidana yang telah menikah bisa dilakukan dengan memperoleh hak untuk cuti mengunjungi keluarga atau cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat. 3.
Perlindungan Hukum Terhadap HAM Narapidana
Perlindungan hukum narapidana dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi narapidana (fundamental rights and freedoms of prisoners) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan narapidana.13 Hak atas perlindungan hukum bagi narapidana juga dirumuskan dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut: ―setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum‖. Selanjutnya, dipertegas kembali dalam pasal 5 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut: ―setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum‖ Pasal 3 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1) Undang-undang HAM di atas dengan jelas dan tegas mengakui persamaan hak dan perlakuan serta perlindungan di mata hukum. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali, baik itu orang 12 13
M.Drais sidik, Kepala LAPAS Klas II A Lhokseumawe, wawancara, 2 Februari 2013 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm 155 125
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
baik-baik maupun narapidana. Dengan berdasarkan ketentuan di atas, maka terhadap setiap bentuk penyiksaan, penganiayaan, atau tindak kekerasan apapun, narapidana mempunyai hak yang sama di mata hukum untuk dilindungi dan menuntut keadilan atas kerugian yang dideritanya. Perlindungan hukum atas hak-hak narapidana di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Hak-Asasi Manusia, dan Undang-undang Pemasyarakatan. Inti perlindungan narapidana adalah terwujudnya pembinaan narapidana sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang diberlakukan dalam Undang-undang Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan adalah suatu susunan elemen yang berintegrasi yang membentuk suatu kesatuan yang integral membentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum pidana atas dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi, yang berisi unsur edukatif, korektif, defensif dan yang beraspek individu dan sosial. Bertolak dari pemahaman mengenai sistem pemasyarakatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari pembinaan narapidana itu sendiri tidak lain adalah rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, dengan menyertakan unsur-unsur edukatif, korektif dan defensif. Tujuan pembinaan ini menunjukkan bahwa tindakantindakan yang tidak bernilai edukatif, korektif dan defensif dalam proses pembinaan tidak dibenarkan, apalagi tindakan–tindakan yang memenuhi tindak pidana seperti halnya penyiksaan ataupun penganiayaan. Tindak pidana yang kerapkali menimpa narapidana di dalam penjara adalah tindak pidana yang melibatkan unsur-unsur kekerasan di dalamnya, baik yang dilakukan oleh sesama narapidana, maupun oleh petugas LP. Dalam Declaration Against Torture and Other Cruel in Human Degrading Treatment or Punishment (adopted by the general assembly, 9 Desember 1975), dengan tegas melarang semua bentuk:14 ―penganiayaan atau tindakan kejam lain, perlakuan dan pidana yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan merupakan pelanggaran hak-hak dasar manusia‖. Pembinaan narapidana mengandung makna memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam 14
Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana,(Semarang : BP Undip,2001), hlm 36
126
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) masyarakat, dan selanjutnya berpotensi luhur dan bermoral tinggi. Demi menghindari tindakan yang mengandung penyiksaan atau bentuk kekerasan lainnya, maka pembinaan narapidana harus didasarkan atas pedoman-pedoman yang telah diatur dalam pasal 5 Undang-undang Pemasyarakatan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengayoman; Persamaan perlakuan dan pelayanan; Pendidikan; Pembimbingan; Penghormatan harkat dan martabat manusia; Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Menurut Muladi, Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang sering disebut theurapetics proccess, yakni membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang tersesat hidupnya karena kelemahankelemahan tertentu.15 Bertolak dari pemikiran Muladi di atas, menurut penulis jika narapidana dianggap sebagai orang yang sedang sakit atau tersesat, maka pembinaan yang dikenakan terhadapnya harus benar-benar arif dan bijaksana. Bila dianalogikan sebagai orang sakit, tentunya masing-masing narapidana mempunyai penyakit yang berbeda-beda, dan proses penyembuhannya dan obatnya pun berbeda juga. Demikian pula halnya dengan pembinaan narapidana, petugas LAPAS seharusnya memberikan pembinaan yang juga disesuaikan dengan kondisi dari narapidana itu sendiri, tanpa adanya tindakan-tindakan pembinaan di luar kewajaran. Tindakan kekerasan apapun tidak dibenarkan sebagai salah satu metode pembinaan narapidana. Konsep ini harus dipahami oleh setiap narapidana. Menurut pasal 5 Code of Conduct for Law Enforcement Officials menegaskan bahwa: ―Tak seorang petugas penegak hukum pun boleh menimbulkan, mendorong atau mentoleransi tindakan penyiksaan juga tidak dapat mengemukakan perintah atasan atau keadaan luar biasa sebagai pembenaran penyiksaan‖.16
15
16
Muladi, HAM, Politik , dan Sistem Peradilan Pidana, (Ba Semarang : dan Penerbit UNDIP, 2000), hlm 224 C. De Rover, To Serve and To Protect, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 272 127
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Selanjutnya kembali dipertegas Pasal 10.1 International Convenant Civil Politic Rights (ICCPR) bahwa: ―Semua orang yang dicabut kebebasannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang menjadi sifat pribadi manusiawi mereka‖.17 Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan yang dikenakan terhadap narapidana. Oleh karena itu, narapidana harus tetap diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang menjadi sifat pribadi manusia mereka. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan narapidana, sistem kepenjaraan ini memberi pedoman yang disebut ―Sepuluh prinsip pemasyarakatan‖, ialah:18 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
9.
17 18
Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat; penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara; rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan; negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga; selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara; bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila; tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat; narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;
I b I d. Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.Cit, hal.39
128
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan di Indonesia seringkali mendapat kritikan tajam, karena dianggap tidak berhasil dalam menyelenggarakan pembinaan pada para narapidana dan masih menyisakan metode-metode kolonial, sehingga melanggar HAM dari narapidana. Menurut penulis, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ditinjau dari hukum positif Indonesia (baik Undang-undang HAM dan Undang-undang Pemasyarakatan), sebenarnya perlindungan hukum HAM narapidana sebagian besar telah diatur dalam kedua undang-undang tesebut. Dengan kata lain, kedua undangundang tersebut telah cukup memberikan perlindungan bagi narapidana. Menurut penulis, terjadinya praktek-praktek kekerasan terhadap para narapidana, perlu dipahami kembali bahwa keberhasilan sistem peradilan pidana tidak hanya ditentukan oleh kualitas dari hukum substantifnya saja, melainkan juga ditentukan oleh kualitas perilaku para penegak hukum atau pelaksana hukum itu sendiri dan kualitas . Bukankah hukum itu tidak lain adalah “it doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy behind the desk inteprets the law says”. Artinya tidak lain adalah bahwa hukum juga tergantung pada para penegak hukum/pelaksana hukum dalam mengintepretasikan hukum itu sendiri. C. PENUTUP 1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa: 1.
Sesuai dengan Undang-undang Pemsyarakatan dan manual lemaga pemasyarakatan maka narapidana mempunyai beberapa hak, yakni di antaranya: hak untuk memperoleh asimilasi, hak untuk memperoleh remisi, hak beribadah, hak untuk mendapat cuti mengunjungi keluarga/cuti menjelang bebas, hak untuk berhubungan dengan orang luar, hak memperoleh pembebasan bersyarat, dan hak-hak lainnya.
2.
Narapidana seperti halnya manusia pada umumnya mempunyai hak-hak yang juga harus dilindungi oleh hukum. Hak-hak yang harus dilindungi tersebut terutama hak-hak yang sifatnya non-derogable, yakni hak – hak yang tidak dapat diingkari atau diganggu gugat oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Melalui Undang-undang HAM dan Undang-undang Pemasyarakatan 129
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
maka pemerintah mencoba memberi perlindungan hukum terhadap HAM narapidana yakni dalam bentuk Pembinaan yang berorientasikan pada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana. 2.
Saran
Sehubungan dengan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Diharapkan kepada pemerintah agar dapat merumuskan kebijakan tentang pemenuhan hak biologis narapidana. 2. Diharapkan kepada petugas lembaga pemasyarakatan agar selalu dan senantiasa memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak narapidana dalam proses pembinaan narapidana agar tercapainya tujuan pembinaan yaitu pemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti. Cessasse, Antonio, 1994. Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Effendi, Masyhur, 1994. Hak Asasi Manusia, Jakarta : Ghalia Indonesia. Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2001. Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang : Badan Penerbit UNDIP. Lamintang, P.A.F, 1984. Hukum Peneintensier Indonesia, Bandung : Armico. Lopa, Baharudin, 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta : Penerbit Kompas. Loqman, Loebby, 2002 . Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Penerbit Data Com. Muladi, 2002. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit UNDIP. —————,―Penerapan Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia‖, Seminar Nasional Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Diselenggarakan Di Hotel Ciputra, Semarang, tanggal 26-27 April 2004 Purnomo, Bambang, 1982 . Kumpulan Karangan Ilmiah, Bandung : Bina Aksara.
130
Perlindungan HAM Narapidana di Indonesia… (Husni) —————, 1980. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Penerbit Liberty. Rahayu, 2012. Hukum Hak Asasi Manusia, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Susanto, I.S, 2011. Kriminologi, Yogyakarta : Genta Publishing. Rover, C.De, 2000. To Serve and To Protect, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
131