HUMAN RIGHTS CITIES DOKUMEN REFERENSI
HUMAN RIGHTS CITIES DOKUMEN REFERENSI
@Desember 2014 Layout isi dan Cover: Galih Gerryaldy Diterbitkan oleh:
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Jl. Jati Padang Raya Kav.3 No.105, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 - Indonesia Phone: (62-21) 781 9734, 781 9735, 7884 0497 Fax: (62-21) 7884 4703 E-mail:
[email protected] www.infid.org
DIDUKUNG OLEH:
KABUPATEN WONOSOBO
MEDIA PARTNER:
Daftar Isi Piagam Dunia tentang Hak atas Kota Laporan perkembangan Komite Penasehat Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011
1 21 45 65
PIAGAM DUNIA TENTANG HAK ATAS KOTA Forum Sosial Amerika – Quito – Juli 2004 Forum Sosial Dunia – Barcelona – Oktober 2004 Forum Sosial Dunia – Porto Alegre – Januari 2005 Revisi persiapan untuk Barcelona – September 2005
vi
Dokumen Referensi
Pendahuluan Milenium baru disertai dengan kenyataan bahwa setengah dari populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, dan para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2050 tingkat urbanisasi di dunia akan mencapai 65%. Perkotaan merupakan wilayah yang memiliki potensi kekayaan dan keberagaman ekonomi, lingkungan, politik dan budaya yang luas. Cara hidup masyarakat perkotaan mempengaruhi cara kita berhubungan dengan sesama manusia dan wilayah sekitar. Namun, bertentangan dengan keberadaan potensi ini, model pembangunan yang diterapkan di sebagian besar negara-negara miskin ditandai dengan kecenderungan untuk melakukan konsentrasi pada pendapatan dan kekuasaan sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan pengucilan, yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, mempercepat proses migrasi dan urbanisasi, segregasi sosial dan spasial, serta privatisasi kesejahteraan umum maupun ruang publik. Proses ini mendukung meluasnya proliferasi daerah perkotaan yang ditandai dengan kemiskinan, kondisi yang genting, dan kerentanan terhadap bencana alam. Saat ini, kota menawarkan kondisi dan kesempatan yang masih jauh dari adil bagi penduduknya. Mayoritas penduduk perkotaan terampas atau terbatas – dalam memperoleh manfaat dari karakteristik ekonomi, sosial, budaya, etnis, jenis kelamin atau usia mereka – untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak yang paling mendasar mereka. Kebijakan publik yang berkontribusi terhadap kondisi ini dengan mengabaikan peran penduduk dalam proses pembangunan kota dan kewarganegaraan, hanya merugikan kehidupan perkotaan. Konsekuensi serius yang harus dihadapi dari situasi ini mencakup pengusiran besar-besaran, segregasi, dan kerusakan yang disebabkan oleh koeksistensi sosial. Konteks ini mengakibatkan timbulnya kesulitan yang dihadapi perkotaan yang masih tetap terfragmentasi dan belum mampu menghasilkan perubahan yang transendental dalam model pembangunan saat ini, meskipun betapa pentingnya hal tersebut secara sosial dan politik.
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
1
Untuk menghadapi kenyataan ini, dan perlunya membalikkan tren yang ada, organisasi dan gerakan perkotaan saling bekerjasama sejak Forum Sosial Dunia Pertama (2001) yang membahas dan menghadapi tantangan untuk membangun sebuah model masyarakat dan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan, berdasarkan prinsip-prinsip solidaritas, kebebasan, keadilan, martabat, dan keadilan sosial, serta didirikan dengan menghormati budaya perkotaan yang berbeda dan keseimbangan antara perkotaan dan pedesaan. Sejak saat itu, kelompok terpadu dari gerakan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi profesional, forum, serta jaringan masyarakat sipil nasional dan internasional, yang berkomitmen untuk melakukan perjuangan sosial bagi terciptanya kota yang adil, demokratis, manusiawi dan berkelanjutan, telah bekerja untuk membangun Piagam Dunia tentang Hak atas Kota. Piagam ini bertujuan untuk menggalang komitmen dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, anggota parlemen, serta organisasiorganisasi internasional, sehingga semua orang dapat hidup bermartabat di kota. Hak atas Kota akan memperluas fokus tradisional tentang peningkatan kualitas hidup masyarakat berdasarkan perumahan dan lingkungan yang ada selama ini, untuk mencakup kualitas hidup pada skala kota dan pedesaan di sekitarnya, sebagai mekanisme perlindungan penduduk yang hidup di wilayah perkotaan atau wilayah-wilayah dengan proses urbanisasi yang cepat. Hal ini mengindikasikan agar memulai cara baru untuk memajukan, menghargai, membela dan memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang dijamin dalam instrumen HAM regional dan internasional. Di kota dan pedesaan di sekitarnya, korelasi antara hak-hak dan tugas yang diperlukan dapat dituntut sesuai dengan tanggung jawab dan kondisi sosial ekonomi penduduknya yang berbeda, sebagai bentuk promosi: distribusi yang merata atas manfaat dan tanggung jawab yang dihasilkan dari proses urbanisasi; pemenuhan fungsi sosial kota dan properti; distribusi pendapatan perkotaan; serta demokratisasi akses terhadap lahan tanah dan layanan publik bagi semua warga negara, terutama mereka yang kurang memiliki sumberdaya ekonomi dan berada dalam situasi yang rentan. Sebagai asal-usul dan arti sosial, Piagam Dunia tentang Hak atas Kota sebenarnya merupakan instrumen yang berorientasi untuk memperkuat proses perkotaan, pembenaran, dan perjuangan. Kami menyebut Piagam yang disusun tersebut sebagai platform yang mampu menghubungkan upaya dari pihak semua aktor yang terkait – publik, sosial dan pribadi – yang tergerak untuk mengalokasikan validitas dan efektivitas secara penuh terhadap hak asasi manusia yang baru ini melalui upaya pemajuan, pengakuan hukum, implementasi, regulasi, dan penempatan yang tepat.
2
Dokumen Referensi
Bagian I – Ketentuan Umum PASAL I. HAK ATAS KOTA • Semua orang memiliki Hak atas Kota yang bebas dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, status kesehatan, pendapatan, kebangsaan, etnis, kondisi migrasi, orientasi politik, agama atau seksual, dan untuk melestarikan nilai budaya dan identitas sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma yang ditetapkan dalam Piagam ini. •
Hak atas Kota didefinisikan sebagai hak pakai hasil kota yang setara dalam prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sosial. Hak ini merupakan hak kolektif dari penduduk kota, khususnya kelompokkelompok yang rentan dan terpinggirkan, yang menganugerahkan kepada mereka legitimasi tindakan dan organisasi, berdasarkan kegunaan dan adat istiadat mereka, dengan tujuan mencapai hak secara penuh dalam memperoleh kebebasan atas kemauan sendiri dan standar hidup yang layak. Hak atas Kota adalah saling bergantungnya semua hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan dipahami secara integral, dan oleh karena itu mencakup semua hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang sudah diatur dalam perjanjian internasional tentang hak asasi manusia.
•
Hal ini mengasumsikan tercakupnya hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan memuaskan; hak untuk mendirikan dan berafiliasi dengan serikat kerja; jaminan sosial, kesehatan masyarakat, air minum yang bersih, energi, transportasi umum, dan layanan sosial lainnya; hak atas makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak; hak atas pendidikan publik yang berkualitas dan budaya; hak atas informasi, partisipasi politik, hidup berdampingan secara damai, dan akses terhadap keadilan; serta hak untuk berorganisasi, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak tersebut juga mencakup penghormatan terhadap kaum minoritas; pluralitas etnis, ras, seksual dan budaya; serta menghargai para migran.
•
Wilayah perkotaan dan lingkungan pedesaan di sekitar mereka juga merupakan ruang dan lokasi bagi pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak kolektif sebagai cara untuk menjamin adanya distribusi dan penggunaan yang setara, universal, adil, demokratis, dan berkelanjutan atas sumberdaya, kekayaan, jasa, barang, dan peluang yang dimiliki kota. Oleh karena itu Hak atas Kota juga meliputi hak terhadap pembangunan, lingkungan yang sehat, penggunaan dan pelestarian sumberdaya alam, partisipasi dalam perencanaan dan manajemen perkotaan, serta warisan sejarah dan budaya.
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
3
•
Kota ini adalah ruang kolektif budaya yang kaya dan beragam yang berkaitan dengan semua penghuninya.
•
Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, arti dari konsep kota menjadi berlipat ganda. Sebagai karakter fisik, kota adalah setiap metropolis, desa, atau kota kecil yang secara kelembagaan diselenggarakan sebagai satu unit pemerintah lokal dengan karakter kota atau metropolitan. Hal ini mencakup ruang kota serta lingkungan pedesaan atau semi-pedesaan di sekitarnya yang merupakan bagian dari wilayahnya. Sebagai ruang publik, kota adalah keseluruhan lembaga dan aktor yang ikut ambil bagian dalam pengelolaannya, seperti otoritas pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif, entitas partisipasi sosial yang dilembagakan, gerakan dan organisasi sosial, serta masyarakat pada umumnya.
•
Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, semua individu yang menghuni kota, baik secara permanen atau sementara, dianggap sebagai warganya.
•
Kota, yang bertanggung jawab secara bersama dengan otoritas nasional, harus mengadopsi semua langkah yang diperlukan – hingga pada tingkat maksimum yang memungkinkan berdasarkan sumberdaya yang tersedia bagi mereka – agar berupaya secara bertahap untuk mencapai, dengan segala cara yang tepat dan dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif dan peraturan, serta secara penuh merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Selanjutnya, kota sesuai dengan kerangka hukum dan perjanjian internasional, harus menegakkan ketentuan legislatif atau ketentuan yang tepat lainnya sehingga secara penuh merefleksikan hak-hak sipil dan politik yang terkumpul dalam Piagam ini.
PASAL II. PRINSIP DAN LANDASAN STRATEGIS DARI HAK ATAS KOTA 1. PENERAPAN PENUH KEWARGANEGARAAN DAN PENGELOLAAN KOTA YANG DEMOKRATIS: 1.1. Kota seharusnya merupakan lingkungan yang berperan sebagai realisasi penuh atas hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, yang menjamin martabat dan kesejahteraan kolektif dari semua orang, dalam kondisi yang setara, merata, dan berkeadilan. Semua orang memiliki hak untuk mendapati kota dalam kondisi yang sesuai dengan keperluan realisasi politik, ekonomi, budaya, sosial, dan ekologi mereka, asalkan menjaga solidaritas.
4
Dokumen Referensi
1.2. Semua orang mempunyai hak untuk berpartisipasi secara langsung maupun dalam bentuk perwakilan dalam melakukan elaborasi, definisi, implementasi, dan distribusi fiskal serta manajemen kebijakan publik dan anggaran kota, dalam rangka memperkuat transparansi, efektivitas, dan otonomi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat. 2. FUNGSI SOSIAL KOTA DAN PROPERTI PERKOTAAN: 2.1. Sebagaimana tujuan utamanya, kota harus melaksanakan fungsi sosial, yang menjamin semua penghuninya atas hak penuh untuk memanfaatkan sumberdaya yang ditawarkan oleh kota. Dengan kata lain, kota harus mulai melakukan realisasi proyek dan investasi untuk kepentingan masyarakat perkotaan secara keseluruhan, dalam kriteria yang secara distributif merata, komplementaritas ekonomi, menghargai budaya, dan keberlanjutan ekologi, untuk menjamin kesejahteraan semua penduduknya, yang selaras dengan alam, bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. 2.2. Ruang-ruang publik dan swasta serta barang-barang dari kota dan warganya harus digunakan dengan dengan memprioritaskan kepentingan sosial, budaya, dan lingkungan. Semua warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kepemilikan wilayah perkotaan dalam parameter demokrasi, yang berkeadilan sosial dan dalam kondisi lingkungan yang berkelanjutan. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik harus mendorong penggunaan ruang dan lahan perkotaan yang berkeadilan sosial dan seimbang secara lingkungan, dalam kondisi keamanan dan kesetaraan gender. 2.3. Kota harus menyebarluaskan perundangan yang memadai serta menetapkan mekanisme dan sanksi yang dirancang untuk menjamin keuntungan penuh dari lahan perkotaan dan properti publik dan swasta yang kosong, tidak terpakai, kurang dimanfaatkan, atau tidak dihuni, bagi pemenuhan fungsi sosial properti. 2.4. Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan perkotaan, kepentingan sosial dan budaya kolektif harus diutamakan di atas hak kepemilikan individu dan kepentingan spekulatif. 2.5. Kota harus menghambat spekulan real estate melalui pengadopsian norma-norma perkotaan bagi distribusi beban dan manfaat yang adil yang ditimbulkan oleh proses urbanisasi, dan adaptasi ekonomi,
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
5
penghargaan, keuangan, serta instrumen kebijakan belanja publik dengan tujuan pembangunan perkotaan yang adil dan berkelanjutan. Pendapatan luar biasa (apresiasi) yang dihasilkan oleh investasi publik – yang saat ini digunakan oleh bisnis real estate dan sektor swasta - harus diarahkan dalam mendukung program-program sosial yang menjamin hak atas perumahan dan kehidupan yang bermartabat bagi sektor-sektor yang hidup dalam kondisi kesulitan dan situasi berisiko. 3. KESETARAAN, TANPA ADA DISKRIMINASI: 3.1. Hak yang disebutkan dalam Piagam ini harus dijamin untuk semua orang yang menghuni kota, baik secara permanen maupun sementara, tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun. 3.2. Kota harus mempunyai komitmen dalam hal pelaksanaan kebijakan publik yang menjamin kesempatan yang setara bagi perempuan di kota, yang dinyatakan diantaranya dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konferensi Lingkungan (Rio de Janeiro 1992), Konferensi Perempuan (Beijing 1995), serta Konferensi Habitat II (Istanbul 1996). Sumberdaya yang diperlukan harus dialokasikan dari anggaran pemerintah untuk menjamin efektivitas kebijakan yang dilakukan, dan mekanisme yang diperlukan serta indikator kuantitatif dan kualitatif harus dibentuk untuk memantau pemenuhannya dari waktu ke waktu. 4. PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP KELOMPOK DAN INDIVIDU YANG BERADA DALAM SITUASI YANG RENTAN 4.1. Kelompok dan individu yang berada dalam situasi yang rentan memiliki hak atas langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan integrasi, distribusi sumberdaya, akses terhadap layanan penting, serta perlindungan dari diskriminasi. Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, kelompok berikut ini dianggap sebagai rentan: orang atau kelompok yang hidup dalam kemiskinan atau dalam situasi lingkungan yang berisiko (terancam oleh bencana alam), korban kekerasan, penyandang cacat, migran paksa (pengungsi internal), pengungsi lintas batas, dan semua kelompok yang tinggal dalam situasi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan penduduk lainnya, sesuai dengan realitas masingmasing kota. Pada gilirannya, prioritas perhatian dalam kelompokkelompok ini harus ditujukan untuk orang tua, perempuan (khususnya perempuan kepala rumah tangga), dan anak-anak.
6
Dokumen Referensi
4.2. Kota, melalui kebijakan aksi afirmatif yang mendukung kelompok rentan, harus menekan hambatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang membatasi kebebasan, keadilan, dan kesetaraan warga negara dan menghambat perkembangan penuh seseorang dan partisipasi efektif seseorang dalam bidang politik , ekonomi, sosial, dan budaya di kota. 5. KOMITMEN SOSIAL DARI SEKTOR SWASTA:
Kota harus meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam program-program sosial dan upaya ekonomi yang bertujuan untuk mengembangkan solidaritas dan kesetaraan sepenuhnya di kalangan penduduk, sesuai dengan prinsipprinsip yang ditetapkan dalam Piagam ini.
6. MEMAJUKAN PROGRESIF:
SOLIDARITAS
EKONOMI
DAN
KEBIJAKAN
PAJAK
Kota harus mempromosikan dan menghargai kondisi politik dan ekonomi yang diperlukan untuk menjamin program-program ekonomi solidaritas sosial dan sistem pajak progresif yang menjamin distribusi yang adil dari sumberdaya dan dana yang diperlukan bagi pelaksanaan kebijakan sosial.
Bagian II. Hak-hak yang terkait dengan Pelaksanaan Kewarganegaraan dan Partisipasi dalam Perencanaan, Produksi dan Manajemen Kota PASAL III. PERENCANAAN DAN MANAJEMEN KOTA 1. Kota harus membuka bentuk dan ruang yang dilembagakan bagi partisipasi warga negara laki-laki dan perempuan yang luas, langsung, adil dan demokratis dalam proses perencanaan, elaborasi, persetujuan, manajemen serta evaluasi kebijakan dan anggaran publik. Jaminan harus diberikan untuk bagi operasional perguruan tinggi, dengar pendapat, konferensi, konsultasi dan debat publik, serta untuk memungkinkan dan mengenali proses inisiatif masyarakat dalam proposal legislatif dan perencanaan pembangunan perkotaan. 2. Sesuai dengan prinsip-prinsip dasar organisasi hukum mereka, kota harus merumuskan dan menerapkan kebijakan yang terkoordinasi dan efektif terhadap korupsi; dalam mendorong partisipasi masyarakat; dan dalam mencerminkan prinsip-prinsip penegakan hukum, manajemen permasalahan
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
7
dan properti publik, integritas, transparansi, dan akuntabilitas. 3. Untuk menjaga prinsip transparansi, kota harus mengatur struktur administrasi mereka dengan cara sedemikian rupa yang menjamin tanggung jawab efektif fungsionaris mereka terhadap warga negara mereka, serta tanggung jawab pemerintah kota yang terkait dengan pemerintah di tingkat lainnya serta badan dan lembaga hak asasi manusia regional maupun internasional.
PASAL IV. PRODUK SOSIAL DARI HABITAT Kota harus membentuk mekanisme kelembagaan dan mengembangkan instrumen hukum, keuangan, administrasi, programatik, keuangan, teknologi, dan pelatihan yang diperlukan untuk mendukung beragam modalitas dari produk sosial habitat dan perumahan, dengan memberikan penekanan khusus pada proses swakelola, baik individu , keluarga, atau upaya kolektif yang terorganisir.
PASAL V. PEMBANGUNAN PERKOTAAN YANG SETARA DAN BERKELANJUTAN 1. Kota harus mengembangkan perencanaan, regulasi, dan manajemen lingkungan perkotaan yang menjamin keseimbangan antara pembangunan perkotaan dan perlindungan alam, sejarah, arsitektur, warisan seni dan budaya; yang menghambat segregasi dan eksklusi teritorial; yang mengutamakan produk sosial habitat, dan yang menjamin fungsi sosial kota dan properti. Untuk mencapai hal itu, kota harus mengadopsi langkahlangkah yang menumbuhkan kota terpadu dan merata. 2. Perencanaan kota serta program dan proyek sektoral harus mengintegrasikan tema keamanan perkotaan sebagai atribut dari ruang publik.
PASAL VI. HAK TERHADAP INFORMASI PUBLIK 1. Semua orang berhak untuk meminta dan menerima informasi yang lengkap, handal, memadai dan tepat waktu sehubungan dengan kegiatan administrasi dan keuangan dari setiap entitas yang terkait dengan administrasi kota, cabang-cabang legislatif dan yudikatif, serta kalangan bisnis dan swasta atau campuran masyarakat yang memberikan layanan publik. 2. Para fungsionaris dari sektor pemerintah atau swasta masing-masing harus menghasilkan informasi yang diperlukan sesuai dengan kompetensi mereka dalam jangka waktu yang paling singkat jika mereka tidak memiliki informasi
8
Dokumen Referensi
tersebut pada saat ada permintaan. Satu-satunya batasan akses terhadap informasi publik adalah penghormatan terhadap hak individu atas privasi mereka. 3. Kota harus menjamin mekanisme sehingga semua orang memiliki akses terhadap informasi publik yang efektif dan transparan. Untuk itu, tindakan harus dikembangkan untuk mendorong akses bagi semua sektor penduduk terhadap teknologi informasi baru, penggunaan, dan periode pemutakhiran data mereka. 4. Semua orang atau kelompok yang terorganisasi, dan terutama mereka yang membangun perumahan mereka sendiri dan komponen habitat lainnya, memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang ketersediaan dan lokasi lahan yang memadai, program perumahan yang dikembangkan di kota, dan instrumen pendukung yang tersedia.
PASAL VII. KEBEBASAN DAN INTEGRITAS Semua orang memiliki hak atas kebebasan dan integritas, baik fisik maupun spiritual. Kota harus berkomitmen untuk membangun jaminan perlindungan yang memastikan bahwa hak-hak tersebut tidak dilanggar oleh individu atau lembaga dalam bentuk apapun.
PASAL VIII. PARTISIPASI POLITIK 1. Semua warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis terhadap dewan perwakilan lokal mereka, serta dalam semua keputusan yang mempengaruhi kebijakan lokal dari perencanaan, produksi, renovasi, perbaikan, dan manajemen kota. 2. Kota harus menjamin hak atas pemilu yang bebas dan demokratis untuk memilih perwakilan lokal, realisasi plebisit/referendum dan inisiatif legislatif masyarakat, serta akses yang setara terhadap debat publik dan dengar pendapat tentang isu-isu yang terkait dengan kota. 3. Kota harus menerapkan kebijakan aksi yang afirmatif bagi perwakilan dan partisipasi politik perempuan dan kaum minoritas di semua pos dan posisi elektif lokal yang bertanggung jawab atas kebijakan publik, penganggaran, dan pendefinisian program kota.
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
9
PASAL IX. HAK UNTUK BERSERIKAT, BERKUMPUL, MENUNJUKKAN JATI DIRI, DAN PENGGUNAAN YANG DEMOKRATIS DARI RUANG PUBLIK PERKOTAAN Semua orang memiliki hak untuk berserikat, berkumpul, dan menunjukkan jati diri. Kota harus menyediakan dan menjamin ruang publik untuk memenuhi hal ini.
PASAL X. HAK ATAS KEADILAN 1. Kota harus mengadopsi langkah-langkah yang dirancang untuk meningkatkan akses setiap orang terhadap hukum dan keadilan. 2. Kota harus menggerakkan penyelesaian konflik sipil, pidana, administrasi, dan tenaga kerja melalui pelaksanaan mekanisme publik yang berupa rekonsiliasi, transaksi, mediasi, dan arbitrase. 3. Kota harus menjamin akses terhadap layanan peradilan, menetapkan kebijakan khusus yang mendukung kelompok penduduk yang rentan, dan memperkuat sistem pertahanan publik secara cuma-cuma.
PASAL XI. HAK ATAS KEAMANAN DAN KETENANGAN PUBLIK, SOLIDARITAS DAN HIDUP BERDAMPINGAN DALAM BERAGAM BUDAYA 1. Kota harus menciptakan kondisi untuk keamanan publik, hidup berdampingan secara damai, pengembangan kolektif, dan penerapan solidaritas. Untuk itu mereka harus menjamin hak untuk memanfaatkan kota secara penuh, menghormati keberagaman dan melestarikan warisan budaya dan identitas semua warga negara tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun. 2. Misi utama dari pasukan keamanan mencakup penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Kota harus memastikan bahwa aparat keamanan yang berada di bawah yurisdiksi mereka menerapkan penggunaan kekuatan secara ketat sesuai dengan ketentuan hukum dan dengan kontrol yang demokratis. 3. Kota harus menjamin partisipasi seluruh warga kota mereka berada dalam kendali dan evaluasi aparat keamanan.
10
Dokumen Referensi
Bagian III. Hak atas Pembangunan Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Lingkungan terhadap Kota PASAL XII. HAK ATAS AIR SERTA HAK ATAS AKSES DAN PENYEDIAAN LAYANAN PUBLIK DOMESTIK DAN PERKOTAAN 1. Kota harus menjamin bagi semua warga mereka akses yang permanen terhadap layanan publik seperti layanan air minum, sanitasi, pembuangan sampah, energi dan telekomunikasi, serta fasilitas untuk perawatan kesehatan, pendidikan, pasokan kebutuhan pokok, dan rekreasi, yang tanggung jawabnya dipikul bersama dengan badan-badan publik atau badan-badan swasta lainnya, sesuai dengan kerangka hukum yang ditetapkan dalam hakhak internasional oleh masing-masing negara. 2. Dalam hal layanan publik, kota harus menjamin biaya sosial yang dapat diakses dan layanan yang memadai bagi semua orang termasuk orang atau kelompok yang rentan dan para pengangguran – bahkan dalam kasus privatisasi layanan publik yang mendahului adopsi Piagam ini. 3. Kota harus berkomitmen untuk menjamin bahwa layanan publik disandarkan pada pengelolaan di tingkat administratif yang paling dekat dengan masyarakat, dengan partisipasi warga dalam pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Layanan ini harus tetap di bawah koridor hukum sebagai kebutuhan publik, yang menghalangi upaya privatisasi terhadap layanan tersebut. 4. Kota harus membangun sistem kontrol sosial atas kualitas layanan yang diberikan oleh badan publik atau swasta, khususnya relatif terhadap kontrol kualitas, penentuan biaya, dan perhatian terhadap masyarakat.
PASAL XIII. HAK ATAS TRANSPORTASI PUBLIK DAN MOBILITAS PERKOTAAN 1. Kota harus memberikan jaminan bagi semua orang, hak atas mobilitas dan sirkulasi di kota, sesuai dengan rencana sirkulasi perkotaan dan antarkota serta melalui sistem transportasi publik yang dapat diakses, yang tersedia dengan biaya yang wajar dan memadai bagi kebutuhan lingkungan dan sosial yang berbeda (jenis kelamin, usia, kapasitas, dll). 2. Kota harus merangsang penggunaan kendaraan non-polusi dan menetapkan area yang disediakan bagi lalu-lintas pejalan kaki, secara permanen atau selama waktu-waktu tertentu dalam sehari.
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
11
3. Kota harus mendorong penghapusan hambatan arsitektur, instalasi fasilitas yang diperlukan dalam sistem mobilitas dan sirkulasi, dan adaptasi dari semua bangunan publik atau bangunan yang digunakan publik serta fasilitas kerja dan liburan untuk memastikan akses bagi para penyandang cacat.
PASAL XIV. HAK ATAS PERUMAHAN 1. Kota, dalam kerangka kompetensi masing-masing, harus mengambil langkahlangkah untuk menjamin semua warga negara bahwa biaya perumahan dapat dijangkau sesuai dengan pendapatan, sehingga memenuhi kondisi hidup yang memadai, sehingga secara memadai terletak, dan bahwa hal itu beradaptasi dengan karakteristik budaya dan etnis semua penghuninya. 2. Kota harus memfasilitasi pasokan perumahan dan fasilitas perkotaan yang layak bagi semua warga kota dan menetapkan program subsidi dan keuangan bagi pembebasan lahan dan perumahan, kepemilikan regularisasi, serta peningkatan kondisi lingkungan yang genting dan pemukiman informal. 3. Kota harus menjamin adanya prioritas bagi kelompok rentan dalam undangundang, kebijakan, dan program perumahan, serta menjamin keuangan dan layanan yang khusus ditujukan untuk kalangan anak-anak dan orang tua. 4. Kota harus menyertakan perempuan dalam dokumen kepemilikan yang dikeluarkan dan tercatat, tanpa memandang status sipil mereka, dalam semua kebijakan publik yang dikembangkan terkait dengan tanah dan distribusi perumahan dan peruntukannya. 5. Kota harus mendorong pembangunan tempat penampungan dan perumahan sewa sosial bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. 6. Semua warga tunawisma, baik secara individu, sebagai pasangan, atau sebagai kelompok keluarga, memiliki hak untuk menuntut otoritas atas pelaksanaan yang efektif dari hak mereka atas perumahan yang layak secara progresif dan melalui aplikasi dari seluruh sumberdaya yang tersedia. Fasilitas tempat penampungan dan bed and breakfast (kamar dan sarapan pagi) dapat diadopsi sebagai langkah darurat sementara, tanpa mengurangi kewajiban untuk memberikan solusi perumahan yang definitif. 7. Semua orang memiliki hak atas keamanan kepemilikan perumahan melalui instrumen hukum yang memberikan jaminan akan hal itu, dan berhak atas
12
Dokumen Referensi
perlindungan dari penggusuran, pengambilalihan, atau pemindahan paksa atau sewenang-wenang. Kota harus melindungi penyewa dari pencatutan dan penggusuran sewenang-wenang, melakukan pengaturan sewa perumahan sesuai dengan Komentar Umum No. 7 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 8. Kota harus berperan sebagai perwakilan langsung dari organisasi dan gerakan sosial yang membela dan bekerja untuk memenuhi hak-hak yang terkait dengan hak atas perumahan yang terkandung dalam Piagam ini. Perhatian, dorongan dan dukungan yang sangat khusus harus diarahkan ke organisasi kaum rentan dan terkucilkan, yang menjamin dalam semua kasus atas terjaganya otonomi mereka. 9. Pasal ini berlaku untuk semua orang, termasuk keluarga, kelompok, penghuni liar, tunawisma, dan orang-orang atau kelompok-kelompok yang kondisi perumahan mereka bervariasi, terutama termasuk kaum nomaden, pelancong, dan kaum gipsi.
PASAL XV. HAK ATAS PEKERJAAN 1. Kota, dalam tanggung jawab bersama dengan otoritas nasional, harus memberikan kontribusi, dengan tingkat yang paling memungkinkan, untuk mempekerjakan secara penuh di kota. Kota juga harus mendorong pendidikan lanjutan dan pelatihan ulang bagi pekerja, baik yang masih aktif bekerja atau yang menganggur, melalui program pembentukan formasi yang permanen. 2. Kota harus mendorong terciptanya kondisi yang sedemikian rupa agar dapat mencegah pekerja anak sehingga anak laki-laki dan perempuan dapat menikmati masa kecil mereka dan memperoleh pendidikan. 3. Kota, yang bekerja sama dengan sektor administrasi publik dan sektor swasta lainnya, harus mengembangkan mekanisme untuk menjamin kesetaraan bagi semua orang dalam masalah ketenagakerjaan dan menghambat terjadinya diskriminasi. 4. Kota harus mendorong akses yang setara bagi kaum perempuan terhadap pekerjaan melalui pendirian pusat-pusat penitipan anak dan langkah-langkah lainnya, dan bagi para penyandang cacat melalui implementasi fasilitas yang tepat. Untuk memperbaiki kondisi kerja, kota harus menetapkan program untuk meningkatkan perumahan perkotaan yang digunakan oleh kepala rumah tangga perempuan dan kelompok rentan sebagai ruang kerja.
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
13
5. Kota harus meningkatkan integrasi perdagangan informal secara progresif yang dilakukan oleh kalangan berpenghasilan rendah dan pengangguran, menghindarkan mereka dari tindak eliminasi dan represi terhadap pedagang informal. Ruang yang diadaptasi sedemikian rupa bagi perdagangan informal harus disediakan dan kebijakan yang memadai harus dikembangkan untuk menyertakan mereka dalam perekonomian perkotaan.
PASAL XVI. HAK ATAS LINGKUNGAN YANG SEHAT DAN BERKESINAMBUNGAN 1. Kota harus mengadopsi langkah-langkah pencegahan terhadap polusi, pekerjaan yang tidak tertata dalam suatu wilayah, dan pendudukan wilayah lingkungan yang dilindungi, serta langkah-langkah yang mendukung konservasi energi, pengelolaan limbah dan pemakaian kembali, daur ulang, pemulihan lereng, serta perluasan dan perlindungan daerah hijau. 2. Kota harus menghargai warisan alam, sejarah, arsitektur, budaya, dan seni, serta mendorong pemulihan maupun rehabilitasi daerah dan fasilitas perkotaan yang mengalami kerusakan.
Bagian IV. Ketentuan Akhir PASAL XVII. KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MEMAJUKAN, MELINDUNGI, DAN MELAKSANAKAN HAK ATAS KOTA 1. Badan internasional dan pemerintah di tingkat nasional, provinsi, regional, metropolitan, kota dan lokal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan pembelaan yang efektif atas hak yang tercantum dalam Piagam ini, serta semua hak-hak asasi sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan dari semua warga negara, berdasarkan sistem hak asasi manusia internasional dan sistem kompetensi yang berlaku di negara masing-masing. 2. Tidak diterapkannya hak-hak yang terkandung dalam Piagam ini oleh pemerintah yang bertanggung jawab, atau penerapannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan arahan atau dengan norma-norma hak asasi manusia internasional dan nasional yang berlaku di negara, merupakan pelanggaran terhadap Hak atas Kota, yang hanya dapat diperbaiki melalui pelaksanaan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan perbaikan/ membalikkan tindakan atau kelalaian yang menjadi asal-muasal pelanggaran. Langkah-langkah perbaikan tersebut harus memastikan bahwa dampak
14
Dokumen Referensi
negatif atau kerusakan yang berasal dari pelanggaran dapat diperbaiki/ dikembalikan sedemikian rupa untuk menjamin semua warga tentang dorongan, penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan yang efektif atas hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam ini. PASAL XVIII. LANGKAH-LANGKAH BAGI PELAKSANAAN DAN PEMANTAUAN HAK ATAS KOTA 1. Kota harus mengadopsi semua langkah-langkah pengaturan yang diperlukan, dengan cara yang tepat dan cepat, untuk menjamin Hak atas Kota bagi semua orang, sesuai dengan Piagam ini. Kota harus menjamin partisipasi warga dan organisasi masyarakat sipil dalam proses peninjauan peraturan. Kota diwajibkan untuk mendayagunakan sumberdaya yang tersedia hingga semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajiban hukum yang ditetapkan dalam Piagam ini. 2. Kota harus memberikan pelatihan dan penyuluhan pendidikan tentang HAM bagi semua kalangan publik yang terkait dengan pelaksanaan Hak atas Kota dan kewajiban yang mengikatnya, khususnya bagi para fungsionaris yang dipekerjakan oleh badan-badan publik yang pengaruh kebijakannya sedemikian rupa sehingga merupakan realisasi penuh dari Hak atas Kota. 3. Kota harus mendorong pengajaran dan sosialisasi Hak atas Kota di seluruh pusat pendidikan, perguruan tinggi, dan melalui media komunikasi. 4. Kota harus menetapkan, bersama-sama dengan warga penduduk, mekanisme evaluasi dan pemantauan melalui sistem yang efektif dari indikator-indikator hak atas kota, dengan diferensiasi gender, untuk menjamin Hak atas Kota berdasarkan prinsip-prinsip dan norma-norma dari Piagam ini. 5. Kota harus secara reguler dan terus-menerus memantau tingkat penghargaan yang ditegakkan atas kewajiban dan hak yang tercantum dalam Piagam ini.
PASAL XIX. PELANGGARAN TERHADAP HAK ATAS KOTA 1. Pelanggaran terhadap Hak atas Kota yang disebabkan oleh tindakan dan kelalaian, langkah-langkah legislatif, administratif dan hukum, serta praktek sosial yang mengakibatkan adanya hambatan, penolakan, kesulitan, atau ketidakmungkinan dalam: 1.1. pelaksanaan hak-hak yang ditetapkan dalam Piagam ini;
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
15
1.2. partisipasi politik kolektif dari semua penduduk, yang mencakup khususnya kalangan perempuan dan kelompok-kelompok sosial, dalam pengelolaan kota; 1.3. pemenuhan keputusan dan prioritas yang ditetapkan dalam proses partisipatif yang membentuk bagian dari manajemen kota; 1.4. Konservasi identitas budaya, bentuk hidup berdampingan secara damai, produksi sosial habitat, dan bentuk-bentuk manifestasi dan tindakan dari kelompok sosial dan warga, terutama kalangan yang rentan dan kurang beruntung, berdasarkan kegunaan dan adat istiadat mereka. 2. Tindakan dan kelalaian dapat terjadi di bidang administratif dalam perluasan dan pelaksanaan proyek, program dan rencana; di bidang legislatif melalui pemberlakuan hukum dan kontrol sumberdaya publik dan tindakan pemerintah; dan di bidang hukum dalam pengujian dan keputusan tentang konflik kolektif dan keputusan pengadilan yang terkait dengan isu-isu kepentingan perkotaan.
PASAL XX. TUNTUTAN YANG DAPAT DILAKUKAN DARI HAK ATAS KOTA Semua orang memiliki hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumberdaya administratif maupun hukum yang efektif dan lengkap yang terkait dengan hak dan kewajiban yang tercantum dalam Piagam ini, termasuk tidak dimanfaatkannya hak-hak tersebut.
PASAL XXI. KOMITMEN YANG TERKAIT DENGAN PIAGAM TENTANG HAK ATAS KOTA I. Jaringan dan organisasi sosial berkomitmen untuk:
16
a.
Menyebarkan Piagam ini secara luas dan mendorong artikulasi internasional agar mendukung Hak atas Kota dalam konteks Forum Sosial Dunia, serta dalam konferensi dan forum internasional lainnya, yang bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam memajukan perjuangan gerakan sosial dan jaringan non-pemerintah pada pembangunan kehidupan yang bermartabat di kota;
b.
Membangun platform yang dapat digunakan untuk menuntut Hak atas Kota, serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan pengalaman di
Dokumen Referensi
tingkat nasional dan lokal yang berkontribusi terhadap penyusunan hak ini; c.
Menyampaikan Piagam Dunia tentang Hak atas Kota ini ke badanbadan dan lembaga-lembaga Sistem PBB dan badan-badan regional yang berbeda untuk memulai proses yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan tentang Hak atas Kota sebagai hak asasi manusia.
2. Pemerintah pusat dan daerah berkomitmen untuk: a.
Menjabarkan dan mendorong kerangka kerja kelembagaan yang menjunjung tinggi Hak atas Kota, dan segera merumuskan rencana aksi untuk model pembangunan berkelanjutan yang diterapkan untuk kota, sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam ini;
b.
Membangun platform kemitraan, dengan partisipasi masyarakat sipil yang luas, untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan di kota;
c.
Mendorong upaya untuk melakukan ratifikasi dan penerapan perjanjian hak asasi manusia serta instrumen internasional dan regional lainnya yang berkontribusi terhadap penyusunan Hak atas Kota.
3. Anggota parlemen berkomitmen untuk: a.
Mendorong adanya konsultasi warga negara dan melakukan kegiatan lobi yang bertujuan untuk memperkaya isi Hak atas Kota dan mempercepat pengakuan dan penerapannya oleh badan-badan hak asasi manusia internasional dan regional dan oleh pemerintah pusat dan daerah.
b.
Menjabarkan dan menetapkan undang-undang yang mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia atas kota, sesuai dengan isi yang tercantum dalam Piagam ini dan instrumen HAM internasional.
c.
Menyesuaikan kerangka hukum nasional dan lokal untuk menyertakan kewajiban internasional yang dilakukan oleh negara dalam permasalahan yang terkait dengan hak asasi manusia, dengan perhatian khusus pada kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Piagam ini.
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
17
4. Lembaga internasional berkomitmen untuk: a.
Melakukan semua upaya yang memungkinkan untuk menyadarkan, memancing, dan mendukung pemerintah dalam mempromosikan kampanye, seminar dan konferensi, serta untuk memfasilitasi publikasi teknis yang tepat yang mendukung kepatuhan pemerintah terhadap komitmen yang terkandung dalam Piagam ini;
b.
Memantau dan mempromosikan penerapan perjanjian hak asasi manusia serta instrumen internasional dan regional lainnya yang berkontribusi terhadap penyusunan Hak atas Kota;
c. Membuka ruang untuk berpartisipasi dalam badan konsultatif dan pengambilan keputusan dari sistem PBB yang memfasilitasi pembahasan inisiatif ini.
Semua orang, organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah, anggota parlemen, dan organisasi internasional diundang untuk berpartisipasi secara aktif di tingkat lokal, nasional, regional dan global dalam proses integrasi, adopsi, diseminasi dan implementasi Piagam Dunia tentang Hak atas Kota sebagai salah satu paradigma bagi dunia yang lebih baik dalam milenium ini. Terjemahan: Jodi Grahl, Mei 2005
International Alliance of Inhabitants, 2005 http://creativecommons.org/licenses/by-nd/2.0/fr/deed.fr
18
Dokumen Referensi
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
19
Perserikatan Bangsa-Bangsa Majelis Umum
A/HRC/27/59 Distr.: Umum 4 September 2014 Terjemahan: Bahasa Indonesia
Dewan Hak Asasi Manusia Sesi ke-dua puluh tujuh Item agenda 3 dan 5 Memajukan dan melindungi seluruh hak-hak asasi, hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak atas pembangunan Badan dan mekanisme HAM
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk pengarusutamaan HAM ke dalam pemerintahan lokal dan layanan publik
GE.14-15562 (E)
*1415562* 20
Dokumen Referensi
Pendahuluan Pada bulan Agustus 2012, Komite Penasehat menyerahkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk meminta pertimbangan dan persetujuan dari proposal penelitian tentang pemerintah daerah dan hak asasi manusia (A/HRC/AC/9/6). Pada tanggal 20 September 2013, Dewan HAM mengadopsi resolusi 24/2 dengan mempertimbangkan proposal penelitian yang disebutkan di atas dan meminta Komite Penasehat untuk menyiapkan laporan berbasis penelitian tentang peran pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk pengarusutamaan HAM pada pemerintah daerah dan layanan publik dengan maksud untuk mengkompilasi praktek terbaik dan tantangan utama, serta menyerahkan laporan kemajuan tentang laporan berbasis penelitian yang diminta kepada Dewan pada sesi ke 27, sebagai bahan pertimbangan. Komite Penasehat juga diminta untuk menggali pandangan dan masukan dari negara-negara anggota, organisasi internasional dan regional yang terkait, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan prosedur khusus yang relevan, serta lembaga HAM nasional dan LSM, dalam rangka mempersiapkan laporan berbasis penelitian yang disebutkan di atas. Selama sesi ke 12 yang diselenggarakan pada tanggal 24-28 Februari 2014, Komite Penasehat membentuk tim penyusun yang bertugas untuk membuat laporan tersebut dan menunjuk anggota Komite berikut ini: Bp. Coriolano, Ibu Elsadda, Bp. Huseynov (Pelapor), Ibu Reyes Prado, Bp. Seetulsingh (Ketua), dan Bp. Yigezu. Pada sesi pertemuan Komite Penasehat yang sama, tim penyusun membuat suatu angket, sesuai dengan resolusi Dewan 24/2, yang disebarluaskan ke berbagai pemangku kepentingan. Terhitung pada tanggal 4 Agustus 2014, sebanyak 67 respon telah diterima: 22 dari berbagai negara, 20 dari lembaga HAM nasional, 9 dari LSM, 12 dari pemerintah daerah dan 4 dari organisasi internasional atau regional.
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
21
II. Definisi pemerintah daerah Pemerintah daerah umumnya didefinisikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah dalam suatu Negara tertentu. Di Negara-negara kesatuan, pemerintah daerah biasanya terdiri dari unsur pemerintah pada tingkat kedua atau ketiga, sedangkan di Negara-Negara federal, pemerintah daerah berada pada tingkat ketiga atau kadangkala tingkat keempat dari pemerintahan. Pengorganisasian dan fungsi pemerintah daerah sangat beragam antar negara. Nama yang berbeda digunakan untuk unsur pemerintah daerah di berbagai negara (county, prefektur, kabupaten, kota, borough, parish, desa, dll). Pemerintah daerah secara geografis berada baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Pemerintah daerah menjalankan tiga peran utama: mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan efektif di wilayah mereka masing-masing, demi kepentingan warga negaranya; mengatur, menyerahkan kepada pihak ketiga, membiayai dan memberikan layanan umum, baik secara universal maupun yang ditargetkan untuk mereka yang paling membutuhkannya; dan bertindak sebagai suara demokrasi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat.1 Pemerintah daerah berupaya untuk menjangkau masyarakat hingga ke tingkat akar rumput dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi hajat hidup mereka. Sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan warga, pemerintah daerah berada dalam posisi yang jauh lebih baik daripada pemerintah pusat untuk menangani masalah-masalah yang memerlukan pengetahuan dan peraturan lokal atas dasar kebutuhan dan prioritas lokal. Pemerintah daerah memiliki wewenang tertentu yang diberikan melalui undangundang atau arahan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Wewenang yang dimaksud secara hakiki mencakup wewenang untuk mengatur dan mengelola urusan publik tertentu dan memberikan layanan publik tertentu. Luasnya kekuasaan pemerintah daerah harus selalu dilihat dalam konteks hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat atau pemerintah regional (dalam negara federal). Salah satu aspek penting dari pemerintah daerah adalah adanya wewenang pengaturan khusus yang bersifat subordinat untuk menjalankan fungsinya yang bagaimanapun juga harus patuh hukum. Meskipun di beberapa negara konsep “pemerintah daerah” dan “pemerintah otonomi daerah” digunakan secara bergantian, namun karena pemerintah daerah memiliki bentuk yang berbeda di negara yang berbeda maka kedua konsep ini
22
Dokumen Referensi
harus dibedakan. Administrasi publik di tingkat daerah dapat dilaksanakan tidak hanya oleh unsur-unsur dalam pemerintah otonomi daerah (misalnya kota), tetapi juga oleh unit lokal dari penyelenggaraan negara; dimana unsur otonomi daerah dipilih langsung oleh penduduk setempat dan menikmati otonomi yang luas, sedangkan unit pemerintahan lokal bertindak sebagai wakil dari pihak berwenang yang lebih tinggi dan aparatnya ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada pihak berwenang tersebut. Pemerintah otonomi daerah berdasarkan pada asas desentralisasi, dan penyelenggaraan negara di tingkat lokal berdasarkan pada asas dekonsentrasi. Seberapa besar pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dapat menjadi salah satu faktor utama dari demokrasi yang sejati. Dalam hal itu, desentralisasi politik, fiskal dan administrasi sangat penting agar demokrasi dan hak asasi manusia terlokalisasi. Perlu diingat bahwa demokrasi tidak memungkinkan tanpa menghormati hak asasi manusia dan hak asasi manusia tidak dapat dicapai tanpa demokrasi. Peran pemerintah daerah seharusnya tidak terbatas pada pelaksana dari keputusan dan kebijakan yang diambil dan dikembangkan tanpa partisipasi mereka. Di sisi lain, kemandirian lokal harus memiliki batas-batas tertentu yang ditetapkan dengan jelas oleh hukum, dan berbagai mekanisme harus tersedia untuk mengawasi legalitas kegiatan pemerintah daerah.
III. Kerangka hukum pemerintah daerah Untuk memastikan tata kelola pemerintahan di tingkat daerah yang efektif dan implementasi HAM yang memadai di tingkat lokal, sangat penting untuk memiliki kerangka hukum yang tepat bagi pemerintah daerah. Organisasi, wewenang dan fungsinya harus secara jelas ditentukan oleh undang-undang. Selanjutnya, perundang-undangan nasional harus menjabarkan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang dari pemerintah pusat dan daerah dalam hubungannya antara satu sama lain. Pemerintah daerah sebaiknya diakui dalam konstitusi nasional; memang di sejumlah negara, konstitusi secara khusus melindungi otonomi pemerintah daerah. Perlu digarisbawahi bahwa perlindungan konstitusional memberikan jaminan terbaik untuk stabilitas. Selain itu, UU khusus tentang pemerintah daerah yang disahkan oleh parlemen nasional juga merupakan solusi terbaik dalam hal ini. Di beberapa negara, sudah ada perlindungan hukum untuk menjaga stabilitas hukum yang mengatur pemerintah daerah. Di Hungaria, misalnya, UU Pemerintah Daerah dapat diadopsi atau diubah hanya oleh dua pertiga mayoritas anggota
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
23
parlemen yang hadir. Hal yang sama berlaku untuk setiap undang-undang yang membatasi hak-hak yang terkait dengan pemerintah mandiri daerah. Perlu dicatat bahwa prinsip-prinsip subsidiaritas, desentralisasi dan akuntabilitas secara jelas tampak di sejumlah negara sebagai prinsip utama dari pemerintah daerah. Selain itu, untuk memastikan agar prinsip-prinsip ini terpenuhi, masingmasing aturan hukum tersebut membolehkan pemerintah daerah untuk menggunakan upaya hukum. Hukum internasional pada hakekatnya tidak mempermasalahkan struktur teritorial internal dari suatu Negara. Hubungan antara negara dan pemerintah daerah umumnya dianggap sebagai masalah internal. Dengan kata lain, negara mempunyai hak yang berdaulat untuk mengatur pemerintah daerah mereka sendiri sesuai dengan hukum dalam negeri mereka dan untuk secara bebas menentukan apakah pemerintah daerah dipilih atau ditunjuk, dan apakah pemerintah daerah dapat bekerja secara independen atau hanya dengan persetujuan resmi dari pemerintahan yang lebih tinggi, dimana layanan publik harus disediakan oleh pemerintah daerah. Namun demikian, aturan dan peraturan tertentu telah dikembangkan, baik di tingkat internasional maupun nasional, yang secara langsung berhubungan dengan pemerintah daerah. Perlu ditekankan bahwa sangat sedikit dari aturan hukum tersebut yang mengikat secara hukum. Di antara aturan yang perlu disebutkan secara khusus adalah Piagam Eropa tentang Pemerintahan Otonomi di Tingkat Daerah, suatu perjanjian regional yang diadopsi pada tahun 1985 dalam kerangka kerja Dewan Eropa. Piagam ini, yang telah diratifikasi oleh seluruh 47 negara anggota Dewan Eropa, merupakan instrumen internasional pertama yang mengikat secara hukum yang menjamin hak-hak masyarakat dan pemerintahan terpilih mereka. Piagam ini meletakkan standar umum Eropa untuk melindungi hak-hak pemerintah otonom daerah. Instrumen lain yang mengikat secara hukum adalah Piagam Afrika tentang Demokrasi, Pemilu dan Tata Kelola Pemerintahan2 yang diadopsi oleh Uni Afrika pada bulan Januari 2007. Piagam ini mengandung beberapa ketentuan mengenai pemerintah daerah. Secara khusus, Piagam ini mewajibkan negara anggota untuk melakukan “desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah yang terpilih secara demokratis sebagaimana diatur dalam UU nasional” (pasal 34). Piagam ini selanjutnya menetapkan bahwa “mengingat peran abadi dan penting dari pemerintahan tradisional, khususnya di masyarakat pedesaan, negara anggota harus berusaha untuk menemukan cara dan sarana yang tepat untuk meningkatkan keterpaduan dan efektivitasnya dalam sistem demokrasi
24
Dokumen Referensi
yang lebih besar” (pasal 35). Sejumlah instrumen telah diadopsi di bawah naungan Dewan Eropa yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pemerintah daerah, di antaranya: Konvensi Garis Besar Eropa tentang Kerjasama Lintas Batas Antara Masyarakat atau Pemerintahan Teritorial (1980 dan tiga protokol tambahan);3 Tata Perilaku Eropa untuk integritas politik wakil terpilih di tingkat lokal dan regional (1999);4 Konvensi Landskap Eropa (2000);5 Piagam Wilayah Perkotaan Eropa I (1992);6 Piagam Wilayah Perkotaan Eropa II - Manifesto untuk kehidupan perkotaan yangg baru (2008);7 dan Protokol Tambahan Piagam Eropa tentang Pemerintah Otonomi Daerah yang terkait dengan hak untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintah daerah (2009).8 Perlu juga mempertimbangkan rekomendasi berikut ini dari Komite Menteri Dewan Eropa untuk negara-negara anggota yang mengandung prinsip-prinsip dan norma-norma penting yang berkaitan dengan kompetensi, sumberdaya keuangan dan kapasitas pemerintah daerah: Rekomendasi Rec (1998) 12 tentang pengawasan tindakan pemerintah daerah; Rekomendasi Rec (2004) 12 tentang proses reformasi batas-batas dan/atau struktur otoritas lokal dan regional; Rekomendasi Rec (2005) 1 tentang sumberdaya keuangan pemerintah lokal dan regional; Rekomendasi Rec (2001) 19 tentang partisipasi warganegara dalam kehidupan publik di tingkat lokal; dan rekomendasi Rec (2004) 1 tentang pengelolaan keuangan dan anggaran di tingkat lokal dan regional.9 Dua rangkaian pedoman yang disetujui oleh Dewan Pembina Badan PBB Urusan Pemukiman Penduduk (UN-HABITAT) pada tahun 2007 dan 2009, yaitu pedoman tentang desentralisasi dan penguatan pemerintahan lokal, dan pedoman tentang akses terhadap layanan dasar untuk semua,10 harus dilihat sebagai sesuatu yang memberi kontribusi penting untuk proses penetapan standar internasional di bidang pemerintah daerah. Dengan menyetujui dokumen-dokumen tersebut, Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berkomitmen untuk memajukan desentralisasi dan penguatan pemerintah daerah, serta akses terhadap layanan dasar untuk semua. Kerangka hukum yang ada bagi pemerintah daerah juga termasuk aturan dan pedoman yang telah dikembangkan oleh asosiasi pemerintah daerah di tingkat global dan regional. Dengan demikian, Dewan Perkotaan dan Daerah Eropa, yaitu asosiasi Eropa terbesar dari pemerintah lokal dan regional yang menyatukan asosiasi nasional dari pemerintahan lokal dan regional dari 41 negara Eropa, telah menyusun sejumlah dokumen normatif, di antaranya: Piagam Eropa tentang Kebebasan Perkotaan (1953);11 Piagam Eropa untuk Kesetaraan bagi Perempuan dan Laki-laki dalam Kehidupan di Tingkat Lokal (2006);12 Piagam Eropa tentang Layanan Umum di Tingkat Lokal (2009).13
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
25
Perserikatan Kota dan Pemerintah Daerah (United Cities and Local Government), organisasi pemerintah daerah terbesar di dunia, yang didirikan pada tahun 2004, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya membangun kerangka kerja normatif global untuk pemerintah daerah, terutama untuk wilayah perkotaan. Perlu disebutkan secara khusus beberapa dokumen penting seperti Piagam Dunia untuk Hak atas Kota (2005) dan Agenda Piagam Global Hak Asasi Manusia di Kota (2010).14
IV. Peran pemerintah dari berbagai tingkat yang berbeda dalam pelaksanaan kewajiban HAM internasional oleh Negara
Dalam konteks hukum internasional, Negara adalah suatu entitas tunggal, terlepas dari apakah Negara tersebut bersifat kesatuan atau federal dan terlepas dari pembagian administrasi internalnya. Dalam hal ini, hanya Negara Pihak secara keseluruhan yang terikat oleh kewajiban-kewajiban yang muncul dari perjanjian internasional yang mana negara tersebut telah meratifikasi. Dengan demikian, dengan menjadi negara pihak dalam perjanjian HAM internasional, Negara tersebut menanggung kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Lebih khususnya, hanya Negara Pihak yang harus menyerahkan laporan sebagaimana diwajibkan oleh masing-masing perjanjian HAM universal dan regional dan hanya Negara Pihak yang dapat diadukan oleh individu atau antar-negara sebagaimana yang dijamin oleh perjanjian tersebut. Selain itu, suatu Negara yang harus menghadapi mekanisme pengaduan HAM internasional tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah. Perlu juga ditekankan bahwa di bawah hukum internasional secara umum, Negara yang diwakili oleh pemerintah pusat bertanggung jawab atas seluruh tindakan dari semua unsur dan badannya.15 Telah diakui secara umum bahwa “perilaku setiap unsur Negara di bawah hukum internasional akan dianggap sebagai tindakan Negara tersebut, apakah unsur tersebut melakukan fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif atau fungsi lainnya, terlepas dari posisi unsur tersebut dalam pengaturan Negara, dan terlepas dari apakah unsur tersebut adalah organ pemerintah pusat atau unit wilayah Negara yang bersangkutan”.16 Dalam alinea 4 dari Komentar Umum Nomor 31 (2004) tentang kewajiban hukum secara umum yang harus dipenuhi Negara-negara Pihak dari Kovenan, Komite HAM menegaskan bahwa semua otoritas publik atau pemerintah, di tingkat apa pun - nasional, regional atau lokal - berada dalam posisi untuk melaksanakan tanggungjawab dari Negara Pihak. Demikian pula, dalam alinea 42 dari Komentar Umum Nomor 16 (2005) tentang hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati
26
Dokumen Referensi
semua hak ekonomi, sosial dan budaya, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menekankan bahwa pelanggaran hak-hak yang terkandung dalam Kovenan dapat terjadi melalui tindakan langsung atau gagal untuk bertindak atau kelalaian oleh Negara Pihak, atau melalui lembaga atau badan di tingkat nasional dan lokal. Perlu dicatat bahwa tindakan atau perilaku lembaga tertentu yang menggunakan kekuasaan publik terhubung dengan Negara meskipun hukum negara tersebut menganggap lembaga yang bersangkutan sebagai lembaga yang otonom dan independen dari pemerintah eksekutif.17 Tindakan ilegal dari otoritas publik manapun, termasuk pemerintah daerah, dapat diatribusikan kepada Negara meskipun tindakan tersebut bersifat ultra vires (melebihi wewenang) atau bertentangan dengan hukum dan aturan di dalam negeri.18 Hal ini merujuk langsung pada prinsip yang terkandung dalam pasal 27 dari Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, dimana negara pihak tidak boleh berpegang pada ketentuan dalam hukum domestik sebagai pembenaran atas kegagalannya untuk melaksanakan perjanjian. Pelaksanaan kewajiban negara dalam pemenuhan HAM terletak pada pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah memainkan peran yang bersifat komplementer. Setelah meratifikasi perjanjian HAM internasional, Negara dapat mendelegasikan pelaksanaan tersebut kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, termasuk pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat mungkin perlu mengambil langkah-langkah di tingkat lokal, khususnya, untuk menetapkan prosedur dan mekanisme kontrol yang bertujuan untuk memastikan agar Negara memenuhi kewajiban HAM-nya. Pemerintah setempat berkewajiban untuk mematuhi, dalam kompetensi lokal mereka, dengan tugas-tugas mereka yang berasal dari kewajiban HAM internasional Negara. Perwakilan dari pemerintah daerah harus terlibat dalam penyusunan strategi dan kebijakan nasional HAM. Pemerintah daerah sesungguhnya merupakan pihak yang akan mewujudkan kebijakan tersebut di lapangan. Di Negara-negara yang terdesentralisasi, pemerintah daerah dapat memainkan peran yang lebih proaktif dan mandiri dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Kerjasama HAM yang dilembagakan antara pemerintah pusat dan daerah dapat memberi dampak positif pada tingkat pelaksanaan kewajiban HAM internasional oleh Negara. Untuk memenuhi tanggungjawab HAM-nya, pemerintah daerah harus memiliki kekuasaan dan sumberdaya keuangan yang diperlukan. Implementasi HAM yang memadai, terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, oleh pemerintah daerah membutuhkan sumberdaya keuangan yang tidak mudah tersedia; yang harus dipertimbangkan baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal yang terutama perlu ditekankan adalah bahwa kekuasaan apapun yang diberikan kepada
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
27
pemerintah daerah tidak akan efektif tanpa adanya sumberdaya keuangan untuk melaksanakannya.19 Prinsip tanggungjawab bersama dari tingkat pemerintahan yang berbeda untuk melindungi dan memajukan HAM telah beberapa kali digarisbawahi oleh badanbadan dan prosedur khusus perjanjian HAM. Dengan demikian, dalam alinea 12 Komentar Umum Nomor 4 (1991) tentang hak atas perumahan yang layak, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mencatat bahwa Negara-negara Pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya harus mengambil berbagai langkah “untuk memastikan koordinasi antara kementerian dan pejabat regional dan lokal dalam rangka menyelaraskan kebijakan (ekonomi, pertanian, lingkungan hidup, energi, dll.) dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam pasal 11 dari Kovenan”. Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, berbagai penyebab dan konsekuensinya, ketika mengunjungi Italia pada tahun 2012, tidak hanya berbicara dengan perwakilan pemerintah nasional dan berbagai organisasi non-pemerintah, tetapi juga mengunjungi Roma, Milan, Bologna dan Napoli, dan dalam laporannya (A/HRC/20/16/Add.2) secara eksplisit menyatakan pentingnya kemauan politik lokal untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Dalam salah satu keputusannya, Pengadilan HAM Eropa menyatakan bahwa “pihak berwenang dari entitas wilayah suatu Negara merupakan lembaga hukum publik yang melaksanakan fungsi-fungsi yang ditetapkan dalam konstitusi dan aturan hukum. Dalam hal ini, Pengadilan HAM tersebut menegaskan bahwa “dalam hukum internasional istilah ‘organisasi pemerintah’ tidak hanya merujuk pada pemerintah atau organ sentral dari suatu Negara. Di Negara dimana kekuasaan disebarkan menurut jalur desentralisasi, maka hal ini mengacu pada otoritas nasional apapun yang melaksanakan fungsi publik”.20 Dalam konteks pemantauan pelaksanaan komitmen HAM internasional di dalam negeri, mekanisme PBB yang relevan dapat digunakan untuk melibatkan pemerintah daerah dalam dialog. Pemerintah daerah harus dilibatkan dalam tinjauan periodik universal berkenaan dengan pemerintah mereka; yang akan meningkatkan kualitas tindak lanjut rekomendasi yang disepakati. Rekomendasi yang dibuat selama tinjauan periodik universal dan Kesimpulan Pengamatan dari badan-badan perjanjian harus disebarluaskan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perlu juga untuk merujuk pada pedoman yang telah diharmonisasi tentang proses pelaporan kepada badan-badan perjanjian (HRI/ MC/2005/3) di mana negara-negara yang melakukan pelaporan didorong untuk memastikan bahwa departemen pemerintah di tingkat pusat, regional dan lokal dan jika memungkinan, di tingkat federal dan provinsi, ikut berpartisipasi dalam penyusunan laporan berkala (idem, alinea 50).
28
Dokumen Referensi
V. Peran pemerintah daerah dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM Perundang-undangan di sejumlah negara - dalam beberapa kasus, di tingkat konstitusi - secara eksplisit mengharuskan pemerintah daerah untuk menghormati hak asasi manusia (misalnya negara Australia, Côte d’Ivoire, Maroko dan Slovenia). Di beberapa negara lain, persyaratan konstitusional ini berlaku untuk semua otoritas publik (misalnya Austria, Azerbaijan, Bosnia dan Herzegovina, Jerman, Kenya, Lithuania, Malaysia, Sudan Selatan, Spanyol dan Togo). Di Luxemburg, kekuasaan commune (unit pemerintahan terendah) harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dan ini berarti adanya kewajiban untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum. Di beberapa negara, tugas pemerintah daerah untuk memenuhi HAM dibatasi oleh hukum pada hak-hak atau prinsip-prinsip tertentu. Misalnya, UU Pemerintah Otonomi Daerah di negara Serbia menetapkan bahwa kota-kota harus menjamin upaya untuk memajukan dan melindungi hak-hak kaum minoritas dan kelompok etnis di negara tersebut. Di Irlandia, UU mengenai pemerintah daerah tidak secara khusus menyebutkan tentang pemajuan dan perlindungan HAM, tetapi dalam melaksanakan fungsi-fungsinya pemerintah daerah diwajibkan untuk memperhatikan akan perlunya mendorong inklusi sosial. Demikian pula, di India, UU tentang pemerintah daerah tidak secara khusus menyebutkan perlindungan HAM sebagai salah satu tanggungjawab; namun, fungsi kota sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi secara langsung berhubungan dengan HAM, seperti pelaksanaan inisiatif untuk inklusi yang demokratis, langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan dan sistem peradilan lokal. Memiliki ketentuan hukum yang secara eksplisit mewajibkan pemerintah daerah untuk melindungi dan memajukan HAM tampaknya merupakan pendekatan yang lebih disukai. Pemerintah daerah pun dibuat sadar akan tanggungjawab HAM yang harus diembannya, memahami bahwa kegagalan untuk memenuhi tanggungjawab tersebut berarti adanya pertanggungjawaban di bawah hukum nasional serta tanggungjawab internasional dari Negara tersebut secara keseluruhan. Selain itu, ketentuan yang demikian secara jelas membebankan kewajiban pada pemerintah daerah untuk menerapkan pendekatan berbasis HAM dalam upaya menyediakan layanan publik sesuai dengan kompetensi yang diperlukan. Hal ini akan mendorong pemegang hak untuk menuntut hak-hak mereka dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban pemerintah daerah. Pemerintah daerah berada dekat dengan kebutuhan hidup warga sehari-hari dan menangani masalah HAM setiap hari. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang jelas dan kuat antara HAM dan pemerintah daerah. Ketika menjalankan fungsi
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
29
mereka, pemerintah daerah mengambil keputusan terutama yang berkaitan dengan pendidikan, perumahan, kesehatan, lingkungan hidup serta hukum dan ketertiban, yang secara langsung berhubungan dengan pelaksanaan HAM, yang dapat memperkuat atau melemahkan kemungkinan warganya untuk menikmati hak-hak asasi mereka. Sesungguhnya sulit untuk membayangkan situasi dimana rakyat menyadari bahwa tidak ada pemerintah daerah untuk memberikan layanan yang mereka diperlukan. Dengan demikian, aparat pemerintah daerah bertanggungjawab atas berbagai masalah HAM dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari. Namun demikian, pekerjaan tersebut jarang dianggap sebagai bentuk pelaksanaan HAM, baik oleh pihak berwenang maupun publik. Akibatnya, HAM masih belum dijadikan kerangka acuan atau analisis di sebagian besar kebijakan dan praktek di tingkat lokal, sementara hal ini dalam kenyataannya merupakan pelaksanaan HAM.21 Dengan demikian, perlu diingat bahwa dampak nyata dari hak asasi manusia dirasakan di tingkat lokal. Tanggungjawab HAM pemerintah daerah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: kewajiban untuk menghormati, kewajiban untuk melindungi dan kewaijban untuk memenuhi. Kewajiban untuk menghormati berarti bahwa pejabat daerah tidak boleh melanggar HAM melalui tindakan mereka sendiri. Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak boleh mengganggu penikmatan hak dan kebebasan semua warga yang berada di bawah wilayah kekuasaaanya. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, pemerintah daerah tidak boleh melarang umat beragama, di luar keterbatasan yang diperbolehkan, dari menggunakan alun-alun atau gedung pemerintah kota untuk perayaan keagamaan. Mengenai hak atas kesehatan, pemerintah daerah tidak boleh mencabut hak masyarakat atau kelompok tertentu untuk mengakses fasilitas layanan kesehatan. Kewajiban untuk melindungi memerlukan langkahlangkah yang memastikan bahwa pihak ketiga tidak melanggar hak-hak dan kebebasan individu. Sebagai contoh, pemerintah daerah diharuskan mengambil tindakan untuk memastikan agar tidak ada pihak lain yang mencegah anakanak dari mengenyam pendidikan. Kewajiban untuk melindungi dapat berupa upaya menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih aman untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan, misalnya terhadap perempuan. Kewajiban untuk memenuhi berarti bahwa pemerintah daerah harus mengambil tindakan positif untuk memfasilitasi penikmatan hak dan kebebasan. Sebagai contoh, pemerintah daerah wajib memenuhi hak atas pendidikan dengan mempertahankan sistem pendidikan yang baik. Dalam upaya menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak individu agar tidak mengalami diskriminasi, mekanisme HAM lokal seperti ombudsman atau lembaga khusus anti-diskriminasi dapat dibentuk. Selanjutnya, pemerintah daerah harus mendorong pemahaman dan penghormatan
30
Dokumen Referensi
terhadap hak asasi semua individu dalam wilayahnya melalui pendidikan dan pelatihan. Secara khusus, pemerintah daerah harus mengatur secara sistematis, pelatihan HAM bagi wakil-wakil terpilih mereka dan staf administrasi serta penyebarluasan informasi yang relevan bagi warga tentang hak-hak mereka. Dengan memajukan HAM, pemerintah daerah dapat ikut membangun budaya HAM di masyarakat. Pemerintah daerah harus memberi perhatian khusus terhadap perlindungan dan dorongan terhadap hak-hak kelompok rentan dan kurang beruntung, seperti penyandang cacat, etnis minoritas, masyarakat adat, korban diskriminasi seksual, anak-anak dan manula. Dalam hal ini, kualitas layanan pemerintah daerah untuk kelompok-kelompok tersebut “menguji” sejauh mana pemerintah daerah secara nyata menghormati HAM.22. Di sejumlah negara, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengarusutamakam HAM ke dalam kegiatan pemerintah daerah. Dengan demikian, berbagai langkah telah diambil untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang partisipatif, melakukan audit dan penilaian dampak berbasis HAM, merangkai ulang berbagai permasalahan lokal sebagai masalah HAM, membuat prosedur untuk memverifikasi kesesuaian kebijakan dan peraturan daerah dengan HAM, melaporkan kepatuhan pemerintah dearah pada perjanjian HAM, memberi alokasi yang jelas dalam anggaran pemerintah kota bagi pelaksanaan HAM, memberikan pelatihan HAM secara sistematis untuk PNS daerah, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HAM, dll. Penyusunan piagam HAM di tingkat lokal (atau, lebih baik peraturan HAM yang mengikat piagam secara hukum)23 yang menetapkan tanggungjawab HAM tertentu pada pemerintah daerah dapat menjadi langkah penting lainnya menuju upaya melokalisasi HAM. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah sangat diharapkan untuk dapat mendirikan kantor HAM dengan sumberdaya manusia dan keuangan yang memadai sehingga dapat sepenuhnya menangani masalah HAM sesuai kompetensi lokal masingmasing. Berikut ini adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi pemerintah daerah dalam upaya untuk memajukan dan melindungi HAM: lemahnya kemauan politik, tidak adanya visi/perencanaan jangka panjang dan/atau komitmen; kurangnya otonomi, kapasitas kelembagaan dan/atau sumberdaya; masih berkuasanya rezim sentralistik dan/atau non-demokratis; konflik dan ketegangan politik di dalam negeri; situasi ekonomi yang sulit di dalam negeri; tidak adanya pengakuan atas peran dan partisipasi masyarakat sipil; kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah; dan kurangnya pemahaman HAM di tingkat pemerintah daerah.
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
31
VI. HAM di kota: kerangka konseptual dan prinsip-prinsip dasar Gagasan tentang “HAM di kota” adalah salah satu inisiatif yang dikembangkan secara global yang bertujuan untuk melokalisasi hak asasi manusia. Hal ini didasarkan pada pengakuan bahwa kota merupakan pemain utama dalam upaya perlindungan dan pemajuan HAM dan mengacu secara umum pada kota yang mana pemerintah dan penduduknya secara moral dan hukum diatur oleh prinsipprinsip HAM. Inisiatif ini berasal dari gagasan bahwa agar norma dan standar HAM internasional menjadi efektif, semua penduduk kota perlu mempelajari dan memahami HAM sebagai kerangka kerja untuk pembangunan yang berkelanjutan dari masyarakat mereka. Konsep ini diluncurkan pada tahun 1997 oleh Gerakan Rakyat untuk Pendidikan HAM, suatu organisasi nirlaba layanan internasional.24 Gagasan ini dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai konsep normatif, oleh Forum Dunia tentang HAM di Kota yang berlangsung setiap tahun di kota Gwangju (Korea Selatan). Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota25 yang diadopsi pada tanggal 17 Mei 2011 mengartikan HAM di kota sebagai suatu proses masyarakat lokal dan sosialpolitik dalam konteks lokal di mana HAM memainkan peran utama sebagai nilainilai dan prinsip-prinsip mendasar.26 Suatu kota yang ramah HAM membutuhkan tata pemerintahan HAM secara bersama dalam konteks lokal dimana pemerintah daerah, DPRD (Dewan), masyarakat sipil, sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua warga dalam semangat kemitraan berdasarkan standar dan norma-norma HAM. Pendekatan HAM dalam tata kelola pemerintahan lokal meliputi prinsip demokrasi, partisipasi, kepemimpinan yang bertanggungjawab, transparansi, akuntabilitas, non-diskriminasi, pemberdayaan dan supremasi hukum. Konsep kota yang ramah HAM juga menekankan pentingnya untuk memastikan partisipasi secara luas dari semua aktor dan pemangku kepentingan, terutama kelompok marginal dan rentan, serta pentingnya mekanisme pemantauan dan perlindungan HAM yang efektif dan independen yang memberikan setiap warga sarana sebagai jalan keluar. Konsep ini mengakui pentingnya kerjasama di tingkat lokal dan internasional dan solidaritas di kalangan kota-kota yang terlibat dalam memajukan dan melindungi HAM.27 Faktor-faktor berikut ini dapat diindikasikan sebagai alasan utama yang telah menyebabkan munculnya “kota yang ramah HAM”: (a) pergeseran dari penetapan standar ke implementasi, terutama pada tingkat pemerintahan, yaitu pemerintah daerah, yang berada pada posisi terbaik untuk mewujudkan hak asasi manusia, khususnya hak-hak ekonomi dan sosial; (b) tren global, dimulai pada tahun 1980-
32
Dokumen Referensi
an, menuju desentralisasi kekuasaan pemerintah - dimana sebagian besar negara di dunia memang dalam beberapa dekade terakhir telah mengalihkan kekuasaan ke pemerintah daerah; (c) perubahan demografi global: pada tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh penduduk dunia hidup di daerah perkotaan, dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi hampir 5 miliar orang pada tahun 2030. Daerah perkotaan mempunyai potensi unik untuk memberdayakan manusia dan memecahkan masalah sosial dan lingkungan hidup. Pada saat yang sama, kota-kota menghadapi berbagai tantangan dalam hal kohesi sosial. Apabila orang dari berbagai bidang dan latar belakang berkelompok bersama dan biasanya pindah ke kota untuk mendapatkan otonomi individu, baik warga maupun pemerintah berusaha untuk mengidentifikasi wacana yang dapat menyatukan penduduk perkotaan dan membentuk suatu kerangka acuan dalam upaya untuk mencapai harapan bersama antara kota dan warganya.28. Prinsip-prinsip Gwangju untuk HAM di Kota yang diadopsi pada tanggal 17 Mei 201429 pada Forum Dunia tentang HAM di Kota ke-4 yang mengandung prinsipprinsip kota yang ramah HAM berikut ini: hak atas kota (right to the city); nondiskriminasi dan tindakan afirmatif; inklusi sosial dan keragaman budaya; demokrasi partisipatif dan pemerintahan yang akuntabel; keadilan sosial, solidaritas dan keberlanjutan; kepemimpinan dan pelembagaan politik; pengarusutamaan HAM; lembaga dan koordinasi kebijakan yang efektif; pendidikan dan pelatihan HAM; dan hak atas pemulihan atau penyelesaian (right to remedy). Sejumlah kota di seluruh dunia telah resmi menyatakan dirinya sebagai “kota yang ramah HAM”,30 dan sejumlah jaringan kota internasional telah dikembangkan. Berbagai konsep lain telah dikembangkan, baik dalam hal doktrin maupun praktek, yang intinya mengejar tujuan yang sama. Salah satunya adalah “hak atas kota” yang pertama kali diungkapkan oleh filsuf Perancis Henri Lefebvre;31 konsep ini mengacu terutama pada hak warga dan “pengguna” kota untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan lokal dan menetapkan tata ruang kota.32 Sejauh ini konsep “hak atas kota” telah dilembagakan secara terbatas, contohnya Statuta Kota di Brasil (2001),33 Piagam Hak dan TanggungJawab Montreal (2006)34 dan Piagam Kota Meksiko untuk Hak atas Kota (2010).35 Yang terakhir ini menetapkan enam prinsip dasar yang sangat diperlukan untuk memajukan hak atas kota: (a) pemenuhan HAM sepenuhnya di kota; (b) fungsi sosial kota, lahan dan properti; (c) pengelolaan kota yang demokratis; (d) produksi demokratis dari kota dan di kota; (e) pengelolaan berkelanjutan dan bertanggungjawab dari sumberdaya milik bersama (alam, warisan budaya dan sumberdaya energi) dari kota dan sekitarnya; dan (f) penikmatan kota yang demokratis dan adil.
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
33
Hak atas kota secara khusus ditetapkan dalam Piagam Dunia tentang Hak atas Kota (2005);36 berbagai organisasi dan jaringan, termasuk UNESCO dan UNHABITAT, ikut serta dalam penyusunan dokumen penting tersebut. Piagam ini mendefinisikan hak atas kota sebagai pemanfaatan kota secara adil dan setara sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan dan keadilan sosial. Hak atas kota merupakan hak kolektif dari warga kota yang diberikan agar mempunyai hak yang sah untuk bertindak dan berorganisasi, berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan, ekspresi budaya dan praktek mereka, dengan tujuan melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mencapai standar hidup yang layak . Hak atas kota ini saling bergantung pada hak asasi manusia lainnya yang diakui secara internasional, termasuk hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian-perjanjian HAM internasional. Piagam ini juga mengakui sebagai hak dan kewajiban dari nilai-nilai tertentu yang tidak terkandung secara eksplisit dalam hukum perjanjian internasional. Hak-hak ini meliputi produksi sosial pemukiman/habitat dan hak atas “pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan berkeadilan”. Piagam ini juga menegaskan hak atas transportasi dan mobilitas masyarakat, serta hak atas lingkungan hidup. Konsep “hak atas kota” telah muncul selama beberapa dekade terakhir sebagai alternatif dari penarikan tanggungjawab dan sumberdaya pemerintah pusat dan negara di pasar yang mengalami globalisasi. Banyak kota yang semakin tunduk pada lembaga pengambilan keputusan di tingkat pusat, anggaran publik dan investasi, sedangkan kota harus berjuang sendiri dan/atau bersaing untuk sumberdaya yang diperlukan untuk pembangunan dan layanan, seringkali tanpa wewenang untuk meningkatkan pendapatan atau berpartisipasi secara efektif dalam keputusan yang mempengaruhi proses alokasi. Dalam situasi tersebut, pemerintah daerah menghadapi kemungkinan beralih ke privatisasi barang dan jasa publik - dengan konsekuensi ekonomi yang biasanya merugikan bagi kaum miskin - dan/atau mencari dukungan fiskal dari pasar keuangan swasta. Konsep ini dapat mengacu pada hak-hak administratif, politik dan ekonomi dari pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pemerintah nasional/federal, serta dengan kehadiran dan peran pemerintah daerah dibandingkan lembaga-lembaga internasional dan multilateral (PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dll.). Konsep “hak asasi manusia di kota” yang dikembangkan terutama dalam Piagam Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia di Kota37 dan Agenda Piagam Global tentang Hak Asasi Manusia di Kota38 menyiratkan: komitmen untuk menghormati, melindungi dan memenuhi seluruh hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional di tingkat lokal; komitmen untuk memprioritaskan perhatian pada kelompok marjinal dan populasi yang tinggal dalam kondisi yang rentan; dan
34
Dokumen Referensi
komitmen untuk mengarusutamakan pendekatan HAM dengan kebijakan lokal (bukan hanya pelaksanaan program HAM). Selain kota-kota yang umumnya menerapkan HAM sebagai kerangka kebijakan, banyak juga kota-kota yang memilih untuk mendasari kebijakan-kebijakannya pada satu perjanjian tertentu, dan - dalam melakukannya - akan melangkah lebih jauh dari standar yang ditetapkan secara nasional. Salah satu contoh adalah cara dimana San Francisco telah mengadopsi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagai peraturan daerah pada tahun 1998. Dalam penerapannya, San Francisco berkomitmen untuk mentaati standar perlindungan HAM yang ditetapkan dalam Konvensi tersebut, dan membentuk gugus tugas terkait. Selama beberapa tahun kemudian, gugus tugas tersebut memfokuskan diri pada analisis gender dan sejumlah bidang tematik seperti kekerasan terhadap perempuan, perempuan di tempat kerja dan anak perempuan. Contoh lain dari kota yang fokus pada satu masalah HAM tertentu adalah Koalisi International Kota-Kota Melawan Rasisme, suatu inisiatif yang diluncurkan oleh badan PBB di bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) pada bulan Maret 2004 untuk membangun jaringan kota yang tertarik untuk berbagi pengalaman dalam upaya untuk menyempurnakan kebijakan mereka agar dapat melawan rasisme, diskriminasi, xenophobia dan eksklusi.39
VII. Mekanisme HAM di tingkat lokal Perlindungan HAM memerlukan mekanisme HAM yang independen. Mekanisme tersebut dapat berupa berbagai bentuk yang berbeda di masyarakat yang berbeda, dan ada beberapa contoh yang dapat menjadi model - ombudsman lokal, lembaga pengaduan konsumen, lembaga yang menangani masalah yang terkait dengan cedera pasien, lembaga anti-diskriminasi, dll. Kompetensi dan struktur mekanisme tersebut mungkin sangat beragam, namun harus dilihat sebagai sarana penting untuk melindungi HAM dan menangani pengaduan warga pada kesempatan pertama. Hal yang penting adalah bahwa pembentukan mekanisme HAM lokal memberikan visibilitas pada peran pemerintah daerah dalam upaya perlindungan HAM. Agar dapat melaksanakan fungsi mereka secara efektif, pemerintah daerah harus dilengkapi dengan sumberdaya manusia dan keuangan yang memadai dan dapat diakses oleh semua orang dalam wilayahnya masing-masing. Piagam Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia di Kota yang diadopsi di Saint-Denis pada tahun 2000 mendorong pendirian ombudsman sebagai mekanisme pencegahan dan juga sebagai sarana penegakan HAM di tingkat
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
35
lokal. Ombudsman memantau pemerintah daerah untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak dan prinsip-prinsip yang diatur dalam Piagam. Hanya beberapa Negara yang memiliki mekanisme perlindungan HAM di tingkat lokal. Di Kanada, kantor ombudsman hadir di banyak pemerintah daerah (misalnya, di Montreal dan Toronto). Di Swiss, beberapa kota telah mendirikan kantor ombudsman. Kantor ombudsman ini adalah organ independen yang menengahi kasus konflik antara individu dan pemerintah. Meskipun lembaga ini tidak berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat, dan hanya menberikan rekomendasi, lembaga ini terbukti berhasil menjadi sarana untuk menyelesaikan sengketa. Di Korea Selatan, beberapa pemerintah daerah telah membentuk komisi-komisi HAM. Di Belanda, pengaduan tentang pelanggaran HAM dapat diajukan pada ombudsman nasional atau mekanisme pengaduan di tingkat kota. Di Denmark, Konselor Warga di Kopenhagen merupakan lembaga konseling warga pertama di negara tersebut yang didirikan oleh Dewan Kota untuk menciptakan suatu fungsi ombudsman yang independen di Kopenhagen. Saat ini, 21 kota mempunyai lembaga konseling warga. Kota-kota di Norwegia memiliki ombudsman untuk wilayah administratif tertentu. Di Bosnia dan Herzegovina, sejumlah pemerintah daerah telah membentuk komisi HAM yang bertindak sebagai badan penasehat untuk dewan kota, meskipun bukan merupakan mekanisme yang sebenarnya bagi perlindungan HAM. Di sejumlah negara (misalnya, Azerbaijan, Irlandia dan Slovenia), kantor ombudsman nasional diberdayakan untuk menyelidiki pengaduan tidak hanya terhadap badan-badan pemerintah, tetapi juga terhadap pemerintah otonomi lokal.
VIII. Peran masyarakat sipil dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang bertujuan untuk melindungi dan memajukan HAM di tingkat lokal
Masyarakat sipil harus secara aktif terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan HAM di tingkat lokal. Hal ini dapat menekan pemerintah daerah untuk menerapkan pendekatan berbasis HAM dan memastikan keterlibatan pemerintah daerah. Masyarakat sipil juga sangat berperan dalam kegiatan pemantauan dan dapat memberikan informasi dan penilaian yang independen tentang kinerja pemerintah daerah. Organisasi masyarakat sipil juga dapat bekerja secara langsung dengan pemerintah daerah untuk memperkuat keahlian dan kesadaran HAM-nya. Namun demikian, di luar kota-kota besar, masyarakat sipil seringkali masih lemah dan memiliki sedikit pengalaman dalam pemantauan atau bekerjasama dengan pemerintah daerah.40
36
Dokumen Referensi
Pejabat publik daerah harus mempertahankan dialog yang berkelanjutan dengan warga dan masyarakat sipil. Berbagai saluran yang efektif harus ada untuk menjaga arus komunikasi dan kolaborasi tersebut. Langkah-langkah harus diambil, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk memperkuat kapasitas masyarakat sipil dalam memantau dan bekerjasama dengan pemerintah daerah. Jaringan internasional kota seperti United Cities and Local Governments dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan panduan, mendorong penelitian, memberikan kesempatan untuk proses belajar antar teman sebaya dan membangun masyarakat agar siap melakukan aksi. Analisa atas jawaban/tanggapan yang diterima dari kuesioner menunjukkan bahwa masyarakat sipil memainkan peran penting dalam meningkatkan aksi lokal di bidang HAM di negara masing-masing. Di Hungaria, misalnya, organisasi nonpemerintah dapat berpartisipasi dalam tahap perencanaan serta pelaksanaan peraturan dan program yang dilaksanakan kota, sesuai dengan hukum yang berlaku. Di Burundi, masyarakat sipil berpartisipasi aktif dalam pelatihan HAM untuk menyusun program sosialisasi HAM. Di India, perwakilan masyarakat sipil ikut memperkuat peran pemerintah daerah dalam menangani secara efektif masalahmasalah yang terkait dengan hak-hak warga yang terpinggirkan di tingkat lokal. Di negara Swiss, organisasi-organisasi bebas untuk memperkenalkan berbagai program yang berbeda, misalnya untuk melawan rasisme. Di Luxemburg, Dewan Nasional untuk Orang Asing adalah contoh dari partisipasi masyarakat sipil dalam memajukan dan melindungi HAM. Dewan ini terdiri dari wakil-wakil masyarakat sipil dan merupakan badan konsultatif yang mempelajari situasi yang dialami warga asing dan proses integrasi mereka. Dewan ini memberi anjuran tentang program-program pemerintah dan merekomendasikan kebijakan. Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa di beberapa negara masyarakat sipil tidak memiliki peran apapun dalam melindungi HAM di tingkat lokal.
IX. Praktek terbaik Beberapa tanggapan yang diberikan dalam kuesioner berisi informasi tentang praktek terbaik sehubungan dengan peran pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi HAM. Bagian laporan ini berupaya menganalisa informasi tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa banyak inisiatif lain yang telah diluncurkan di berbagai negara yang bertujuan untuk menjamin pelaksanaan HAM di tingkat lokal. Praktek-praktek terbaik yang disajikan di bawah ini dapat dibagi menjadi dua kategori: (a) praktek yang berkaitan dengan HAM pada umumnya, yaitu, pengarusutamaan HAM ke dalam kegiatan pemerintah daerah; dan (b) yang
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
37
berkaitan dengan hak asasi manusia tertentu atau hak asasi manusia dari kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, di Australia, semua layanan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, wajib bekerja sesuai dengan tata perilaku yang mencakup “pengakuan hak-hak asasi manusia”. Asosiasi Pemerintah Daerah Australia dan Komisi Nasional HAM bekerjasama untuk mengoperasionalkan hak-hak asasi manusia di tingkat lokal. Selanjutnya, Komisi Kesetaraan Kesempatan dan Komisi HAM Victoria memfasilitasi forum pemerintah daerah, dan telah mengembangkan panduan untuk pemerintah daerah. Komisi HAM tersebut mengkaji program dan praktek pemerintah daerah sesuai dengan permintaan untuk memastikan agar program dan praktek tersebut selaras dengan Piagam Victoria tentang HAM dan Tanggungjawab HAM, serta memberikan pelatihan kepada dewan lokal. Di Amerika Serikat, pengarusutamaan HAM dalam pemerintahan lokal dilakukan melalui inisiatif seperti “Mewujudkan HAM: bagaimana pemerintah pusat dan daerah dapat menggunakan hak asasi manusia untuk memajukan kebijakan lokal”. Dengan menerapkan pendekatan inklusif untuk pembangunan yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga, Burundi mempertahankan kebijakan yang mengintegrasikan kebijakan HAM nasional yang baru ke dalam rencana pemerintah daerah. Di Hungaria, salah satu tujuan yang diprioritaskan adalah untuk memantau pelaksanaan rekomendasi untuk Hongaria sesuai penilaian periodik universal (universal periodic review), yang dapat dan akan dilakukan melalui pemerintah daerah. Di Kolombia, melalui program “Medellin Melindungi HAM”, Dewan Kota berusaha untuk memastikan agar kota tersebut memadukan upaya perlindungan, pengakuan, pemulihan dan perbaikan hak asasi manusia. Badan-badan yang diberdayakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah SubSekretariat HAM, yang terdiri dari tiga unit, termasuk Unit HAM. Sejumlah inisiatif ditujukan untuk membangun kapasitas HAM dari pemerintah daerah. Burundi telah menargetkan pihak kepolisian untuk pelatihan HAM. Meksiko melakukan berbagai sesi pelatihan untuk pegawai negeri sipil tentang prinsip-prinsip konstitusional yang baru, termasuk HAM. Georgia memfokuskan diri pada upaya peningkatan kapasitas warga secara langsung, daripada pemerintah daerah. Di negara Swiss, praktek terbaik meliputi kegiatan Swiss Centre of Expertise in Human Rights (Pusat Keahlian HAM Swiss) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu HAM, seperti rasisme; tiga contoh praktek terbaik tentang rasisme mencakup langkah-langkah untuk menginformasikan, melatih dan meningkatkan kesadaran masyarakat di berbagai daerah. Di Luxemburg, banyak praktek terbaik yang berhubungan dengan integrasi
38
Dokumen Referensi
warga asing di masyarakat dan mendorong multilinguisme dan multikulturalisme. Sebagai contoh, suatu badan untuk menyambut dan mengintegrasikan warga negara asing di Luxemburg telah didirikan untuk memudahkan proses integrasi dan didukung oleh pemerintah nasional dan lokal serta masyarakat sipil. Di Hungaria, pemerintah daerah diwajibkan untuk menganalisa situasi yang dialami oleh kelompok yang kurang beruntung di wilayahnya dan mendorong kesetaraan kesempatan bagi mereka. Aliansi untuk Demokrasi dan Toleransi - melawan Ekstrimisme dan Kekerasan memfokuskan pada upaya untuk memperluas program-program yang efektif dan solusi yang memungkinkan dari satu kota ke kota yang lain di seluruh wilayah Jerman. Di Slovenia, Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah mendefinisikan hak kelompok minoritas di negara tersebut dan populasi Gipsi untuk mendapatkan keterwakilan secara formal di dewan kota, dan kota-kota lain dapat membentuk badan-badan kota untuk menangani masalah HAM. Suatu program di negara tersebut untuk memecahkan masalah pemukiman masyarakat Gipsi dikelola oleh Negara dan didukung secara finansial oleh anggaran negara. Selanjutnya, pemerintah daerah di Slovenia harus memastikan dan mendorong pengarusutamaan gender. Pada bulan April 1998, di Amerika Serikat, San Francisco menjadi kota pertama di dunia yang mengeluarkan peraturan lokal yang mencerminkan prinsip-prinsip Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Komisi untuk Status Perempuan ditunjuk sebagai lembaga pelaksana dan pemantau Konvensi di San Francisco.
X. Elemen tambahan yang harus dicantumkam pada laporan akhir Dokumen ini berisi analisis awal dari masalah-masalah yang terkait dengan peran pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, Komite telah merekomendasikan kepada Dewan HAM untuk menyerahkan laporan akhir kepada Dewan pada sidang ketiga puluh (lihat tindakan Komite Penasehat 13/4). Hal ini mengingat bahwa laporan akhir ini akan menguraikan lebih lanjut beberapa masalah, termasuk tantangan utama yang dihadapi pemerintah daerah dalam melindungi dan memajukan HAM, operasionalisasi konsep “kota yang ramah HAM”, serta praktek terbaik untuk memastikan pelaksanaan HAM di tingkat lokal serta inisiatif internasional dan regional yang relevan.
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
39
Endnotes 1 Lihat Council of Europe, European Charter of Local Self-Government and Explanatory Report (Strasbourg, 2010). Tersedia di www.ccre.org/img/ uploads/piecesjointe/filename/charter_sgi_EN.pdf. 2 Tersedia di www.au.int/en/content/african-charter-democracy-elections-andgovernance. 3 Tersedia di www.coe.int/t/congress/texts/conventions/conventions_ en.asp?mytabsmenu=6. 4 Ibid. 5 Tersedia di http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/QueVoulezVous. asp?NT=176&CL=ENG. 6 Tersedia di https://wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=887405. 7 Tersedia di https://wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=1302971. 8 Tersedia di http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/QueVoulezVous. asp?NT=207&CM=1&CL=ENG. 9 Tersedia di www.coe.int/T/CM/adoptedTexts_en.asp. 10 Tersedia di http://unhabitat org/?wpdmact=process&did=NjkxLmhvdGxpbms=. 11 Tersedia di www.ccre.org/docs/charter_municipal_liberties.pdf. 12 Tersedia di www.ccre.org/docs/charte_egalite_en.pdf. 13 Tersedia di www.ccre.org/docs/charter_sgi_en.pdf. 14 Lihat bagian VI dari laporan ini. 15 Dalam hal ini, dapat merujuk secara mutatis mutandis kepada pasal 50 dari Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dimana ketentuanketentuan “akan mencakup seluruh bagian dari Negara federal tanpa batasan atau pengecualian apapun”. 16 Resolusi Majelis Umum 56/83, dengan judul “Tanggungjawab Negara terhadap tindakan yang melanggar secara internasional”, lampiran. 17 Catatan atas rancangan pasal tentang tanggungjawab Negara terhadap tindakan yang melanggar secara internasional diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional pada sesi ke 53-nya (2001), Official Records of the General Assembly, Fifty-sixth session, Supplement No. 10 (A/56/10), Bab. IV.E.2, hlm. 82. 18 Pasal 7 dari lampiran Resolusi Majelis Umum 56/83 (lihat catatan kaki 16 di atas). 19 Piagam Eropa tentang Pemerintah Otonomi Daerah (lihat catatan 1 di atas) menetapkan bahwa pemerintah daerah “dalam kebijakan ekonomi nasional berhak untuk mempunyai sumberdaya keuangannya sendiri yang memadai yang dapat dimanfaatkan dengan bebas dalam batas kekuasaannya,” dan sumberdayanya “akan sebanding dengan tanggungjawab yang ditetapkan
40
Dokumen Referensi
oleh konstitusi dan undang-undang” (pasal 9, alinea 1 dan 2). 20 Assanidze v. Georgia, application No. 71503/01, judgment of 8 April 2004. Tersedia di http://hudoc.echr.coe.int/sites/eng/pages/search. aspx?i=001-61875. 21 Lihat Council of Europe, Congress of Local and Regional Authorities, Strasbourg, 25–27 Maret 2014, sesi ke 26, dokumen CG(26)5FINAL, “Best practices of implementation of human rights at local and regional level in member states of the Council of Europe and other countries (Rapporteur: O. Molin), Resolution 365 (2014), Explanatory Memorandum”, alinea 8 dan 14. Tersedia di www.coe.int/t/congress/texts/RESOLUTIONS_ en.asp?mytabsmenu=6. 22 International Council on Human Rights Policy, “Local Government and Human Rights: Doing Good Service” (Versoix, Switzerland, 2005), hlm. 6. Tersedia di www.ichrp.org/files/reports/11/124_report.pdf. 23 Peraturan HAM yang diterapkan di sejumlah kota di Amerika Serikat, yaitu mulai dari peraturan San Francisco mengenai Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dapat disebut secara khusus karena merupakan contoh yang baik dari pencantuman HAM ke dalam kebijakan dan tindakan di tingkat lokal. 24 Program Human Rights Cities yang dijalankan oleh People’s Movement for Human Rights Education (PDHRE) atau Gerakan Rakyat untuk Pendidikan HAM mencakup pengembangan 30 kota yang ramah HAM dan pelatihan 500 pemimpin muda masyarakat di empat lembaga pendidikan regional untuk pendidikan HAM. 25 Tersedia di www.uclg-cisdp.org/sites/default/files/Gwangju_Declaration_on_ HR_City_final_edited_version_110524.pdf. 26 PDHRE mendefinisikan kota yang ramah HAM sebagai “suatu kota atau masyarakat dimana warga dengan itikad yang baik, di pemerintahan, organisasi atau lembaga, berupaya menerapkan kerangka kerja HAM yang mengarahkan upaya pembangunan masyarakat” (lihat “Human Rights Learning and Human Rights Cities: Achievements Report”, 2007; tersedia di www.pdhre.org/achievements-HR-cities-mar-07.pdf). Kota yang ramah HAM juga didefinisikan sebagai “suatu masyarakat, dimana semua anggotanya – dari warga biasa dan pegiat masyarakat hingga pembuat kebijakan dan pejabat daerah – memperjuangkan dialog di tingkat masyarakat dan meluncurkan aksi untuk meningkatkan kehidupan dan keamanan kaum perempuan, laki-laki dan anak-anak berdasarkan norma dan standar HAM”. Lihat Stephen P. Marks dan Kathleen A. Modrowski dengan Walther Lichem, Human Rights Cities: Civic Engagement for Social Development. (UNHabitat-PDHRE, 2008), hlm. 45. Tersedia di www.pdhre.org/Human_Rights_ Cities_Book.pdf.
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
41
27 Gwangju Declaration on Human Rights City (lihat catatan 25 di atas). 28 B. Oomen dan M. Baumgärtel, “Human Rights Cities”, hlm. 4. Tersedia di http://mensenrechten.verdus.nl/upload/documents/Oomen%2 Baumgartel%20Human%20Rights%20Cities%20v2%20March%202013.pdf. 29 Tersedia di www.uclg-aspac.org/uploads/Gwangju_Guiding_Principles_for_ Human_Rights_City_adopted_on_17_May_2014.pdf. 30 Diantara lain: Rosario (Argentina), yang merupakan kota ramah HAM pertama yang dimulai pada tahun 1997; Bandung (Indonesia); Barcelona (Spanyol); Bihac (Bosnia dan Herzegovina); Bogota (Kolombia); Bongo (Ghana); Kopenhagen (Denmark); Graz (Austria); Gwangju (Republik Korea); Kaohsiung (Taiwan, Provinsi Cina); Kati (Mali); Korogocho (Kenya); Kota Meksiko (Meksiko); Mogale (Afrika Selatan); Montreal (Kanada); Nagpur (India); Porto Alegre (Brasil); Prince George County (Amerika Serikat); Saint-Denis (Perancis); Sakai (Jepang); Thies (Senegal); Utrecht (Belanda); Victoria (Australia). 31 Henri Lefebvre, Le Droit à la ville (Paris, Éditions du Seuil, 1968). 32 Koalisi Habitat Internasional dan Jaringan Hak atas Pemukiman dan Lahan telah berupaya selama dekade terakhir ini untuk memajukan dan mengembangkan definisi dari “hak atas kota”. 33 Tersedia di www.ifrc.org/docs/idrl/945EN.pdf. 34 Tersedia di http://ville.montreal.qc.ca/portal/page?_pageid=3036,3377687&_ dad=portal&_schema=PORTAL. 35 Tersedia di www.hic-net.org/articles.php?pid=3717. 36 Tersedia di http://portal.unesco.org and www.hic-net.org. 37 Dokumen penting ini adalah hasil dari kegiatan persiapan yang dimulai di Barcelona pada tahun 1998 dalam kerangka kerja Konferensi “Cities for Human Rights”, yang diselenggarakan untuk memperingati tahun ke 50 dari Deklarasi Universal HAM. Ratusan walikota dan politisi ikut serta dalam kegiatan tersebut dan sepakat untuk mendorong pengakuan politik yang lebih kuat sebagai aktor utama dalam upaya untuk melindungi HAM di dunia yang mengalami tingkat urbanisasi yang tinggi. Untuk informasi lebih lanjut, lihat www.uclg-cisdp.org/en/right-to-the-city/european-charter#sthash. E5JeKdIt.dpuf. 38 Piagam ini dirancang oleh United Cities and Local Governments Committee on Social Inclusion, Participatory Democracy and Human Rights (Komite Asosiasi Kota dan Pemerintah Daerah untuk Inklusi Sosial, Demokrasi Partisipatif dan HAM). Piagam ini didiskusikan dan disetujui oleh perwakilan terpilih, pakar dan wakil dari masyarakat sipil di seluruh dunia pada tahun 2011. Nilai tambah dari Agenda Piagam Global tentang HAM di Kota adalah bahwa setiap hak asasi yang terkandung dalam dokumen ini diikuti oleh suatu rencana aksi sebagai bahan referensi untuk langkah-langkah spesifik
42
Dokumen Referensi
yang dapat diambil pemerintah daerah. Kota-kota yang menandatangani dokumen ini diajak untuk menyusun agenda lokal berikut tenggat waktu dan indikator untuk dapat menilai efisiensi dalam melaksanakan hak-hak tersebut. Teks lengkap dari Piagam ini tersedia di www.cdp-hrc.uottawa.ca/ uploads/Charter_Agenda_oct_2010_EN.pdf. 39 Lihat catatan 25 di atas. 40 International Council on Human Rights Policy, “Local Government and Human Rights”, hlm. 76.
Laporan perkembangan Komite Penasehat tentang peran pemerintah daerah
43
AGENDA PIAGAM GLOBAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA DI KOTA Oktober 2010
44
Dokumen Referensi
Pendahuluan Mengingat bahwa semua manusia diberkahi dengan hak-hak dan kebebasan yang diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan instrumeninstrumen internasional yang mendukungnya, terutama, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Sipil dan Politik (1966), konvensi dan piagam regional perlindungan hak asasi manusia dan perjanjian dasar hak asasi manusia lainnya. Mengingat bahwa semua hak asasi manusia bersifat universal, tak terpisahkan dan saling tergantung, seperti yang ditunjukkan dalam Deklarasi Wina (1993), dan ditegaskan kembali dalam Deklarasi Milenium (2000) dan Deklarasi untuk ulang tahun ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (2005); dan oleh karena itu tidak hanya merupakan realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-hak politik, tetapi pada saat yang sama hanya pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang memungkinkan partisipasi dalam mekanisme pengambilan keputusan yang dapat menyebabkan pencapaian hakhak ekonomi dan sosial. Mengingat bahwa kota adalah komunitas politik dimana semua penghuninya berpartisipasi dalam program bersama yang terkait dengan kebebasan, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, dan pengembangan. Mengingat bahwa derajat kebebasan perempuan memberikan ukuran umum dari kebebasan masyarakat; oleh karena itu sangat tepat untuk bertindak mendukung kesetaraan yang efektif antara laki-laki dan perempuan dan untuk secara aktif mendorong partisipasi kaum perempuan dalam pengambilan keputusan lokal. Meyakini adanya kebutuhan untuk mempromosikan di kota dan wilayah, suatu bentuk pembangunan yang berkelanjutan, adil, inklusif dan menghormati hak asasi manusia tanpa diskriminasi; dan kebutuhan untuk bertindak untuk memperluas demokrasi dan otonomi daerah sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan dunia yang damai, adil dan memiliki solidaritas.
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
45
Mempertimbangkan secara khusus bahwa kemiskinan itu sendiri merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan menekankan perlunya menghormati hak asasi manusia dalam situasi krisis ekonomi. Sedangkan misi dari pemerintah daerah, melalui tindakan dan otoritas mereka, adalah untuk menerapkan program ini, mereka harus memainkan peran penting dalam menjamin efektifitas pelaksanaan hak asasi manusia dari semua penghuninya. Sedangkan kewarganegaraan, dengan hak, tugas dan tanggung jawabnya secara khusus dinyatakan di tingkat kota.
Ketentuan Umum A. Tujuan Agenda Piagam Global untuk Hak Asasi Manusia di Kota (Global Charter-Agenda for Human Rights in the City) bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat hak asasi manusia dari semua penduduk seluruh kota di dunia. B. Ruang lingkup Aplikasi • Semua ketentuan dalam Agenda Piagam berlaku bagi semua penduduk kota, secara individu maupun kolektif, tanpa ada diskriminasi. Untuk tujuan Agenda Piagam ini, semua penduduk adalah warga kota tanpa ada pembedaan apapun. Setiap diskriminasi yang berdasarkan pada alasan apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, etnis atau asal-usul sosial, fitur genetik, bahasa, agama atau kepercayaan, politik atau pendapat lain, keanggotaan dari kebangsaan minoritas, kekayaan, kelahiran, cacat, usia atau orientasi seksual harus dilarang. Penduduk suatu kota adalah setiap orang yang hidup dalam wilayahnya bahkan jika tidak berdomisili tetap. • Pelaksanaan hak yang tercantum dalam Agenda Piagam ini akan melengkapi, mengembangkan dan memperkuat hak-hak yang sudah ada di tingkat nasional berdasarkan konstitusi, undang-undang dan kewajiban internasional dari negara. • Kewajiban kota yang tercantum dalam instrumen ini harus dipahami sebagai tugas dari pemerintah dan administrasi daerah; sesuai dengan kekuatan yang telah diberikan secara hukum. • “Kota” didefinisikan sebagai pemerintah daerah dari berbagai ukuran: daerah, pengelompokan perkotaan, metropolis, kotamadya dan pemerintah daerah lainnya yang diatur secara bebas. • “Wilayah” adalah kawasan yang dikelola berada langsung atau tidak langsung di bawah yurisdiksi kota. • Referensi untuk “akses” di bagian yang berbeda dari Agenda Piagam ini
46
Dokumen Referensi
harus dipahami baik dari perspektif fisik maupun materi (kedekatan) serta dari perseptif ekonomi (keterjangkauan). C. Nilai dan Prinsip Agenda Piagam ini didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip berikut: • Martabat setiap manusia sebagai nilai tertinggi • Kebebasan, kesetaraan terutama antara laki-laki dan perempuan, tanpa diskriminasi, pengakuan atas adanya perbedaan, keadilan dan inklusi sosial • Demokrasi dan partisipasi warganegara sebagai kebijakan kota • Universalitas, keutuhan dan saling ketergantungan hak asasi manusia • Keberlanjutan sosial dan lingkungan • Kerjasama dan solidaritas di kalangan semua anggota masing-masing kota, serta di kalangan semua kota di seluruh dunia • Tanggung jawab bersama yang berbeda atas kota dan penduduknya, sesuai dengan kemampuan dan sarana
Agenda Hak dan Kewajiban I. HAK ATAS KOTA • Semua penduduk kota memiliki hak untuk menjadi anggota lembaga kota sebagai komunitas politik lokal yang menjamin kondisi hidup yang layak bagi semua orang, dan menyediakan sarana untuk hidup berdampingan dengan baik di kalangan semua penduduknya, serta antara mereka dan otoritas lokal. • Setiap laki-laki dan perempuan memperoleh manfaat dari semua hak yang tercantum dalam Agenda Piagam ini dan menjadi aktor yang sepenuhnya dari kehidupan kota. • Semua penduduk kota memiliki hak untuk berpartisipasi dalam konfigurasi dan koordinasi wilayah sebagai ruang dasar dan menjadi fondasi bagi kehidupan serta untuk hidup berdampingan. • Semua penduduk kota memiliki hak terhadap ruang dan sumberdaya yang tersedia untuk mempraktekkan kewarganegaraan yang aktif dan hendaknya ruang kerja dan ruang umum menghormati nilai-nilai orang lain dan nilai-nilai pluralisme. • Kota menawarkan penduduknya segala sarana yang tersedia untuk melaksanakan hak-hak mereka. • Penandatanganan Piagam didorong untuk mengembangkan kontak dengan kota-kota dan lingkungan sekitarnya yang bertujuan untuk membangun masyarakat dan metropolis yang memiliki kepedulian. • Sebagai kerangka dan ringkasan dari semua hak yang diatur dalam Agenda Piagam ini, hak di atas akan memuaskan hingga tingkat dimana masing-
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
47
•
masing dan setiap satu dari hak-hak yang diuraikan di sini sepenuhnya efektif dan memperoleh jaminan di dalam negeri. Penduduk kota memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak dan martabat orang lain.
Rencana Aksi yang Disarankan 1. Adopsi dan penerapan program pelatihan HAM bagi personil lokal, dengan penekanan pada penghargaan terhadap perbedaan, hidup berdampingan dan kebaikan bersama, serta, jika diperlukan, mempekerjakan pakar HAM. 2. Analisis partisipatif atau audit HAM di kota, yang akan memungkinkan perumusan rencana pembangunan daerah didasarkan pada partisipasi yang bermakna. 3. Evaluasi berkala Agenda Piagam dilakukan dalam kerangka konsultasi publik. 4. Rencana aksi lokal partisipatif tentang HAM, sebagai hasil dari analisis dan evaluasi sebelumnya. 5. Pendirian lembaga yang berbeda, yang independen dari otoritas politik, diberdayakan untuk: memberikan informasi kepada warga tentang cara untuk mendapatkan akses terhadap hak-hak mereka; menerima keluhan dan saran dari penduduk kota; serta melakukan penyelidikan dan berfungsi sebagai mediasi sosial.
II. HAK TERHADAP DEMOKRASI PARTISIPATIF 1. Semua penduduk kota memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik dan manajemen kota, terutama: a. Berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik setempat; b. Mempertanyakan otoritas lokal tentang kebijakan publik mereka, dan menilainya; c. Melakukan transparansi dan akuntabilitas publik dari pemerintah kota. 2. Kota mendorong partisipasi yang berkualitas dari penduduknya dalam urusan lokal, menjamin mereka akses terhadap informasi publik, dan mengakui kemampuan mereka untuk mempengaruhi keputusan lokal. Kota terutama mendorong partisipasi perempuan secara penuh atas pelaksanaan hak-hak mereka. Hal ini juga mendorong kelompok minoritas untuk ikut berpartisipasi. Selain itu, hal ini mendorong partisipasi anak-anak dalam urusan yang terkait langsung dengan mereka. Kota mendorong pelaksanaan hak-hak individu dan kolektif dari semua penghuninya. Untuk tujuan ini, kota memfasilitasi partisipasi masyarakat sipil, termasuk asosiasi advokasi HAM, dalam perumusan kebijakan dan
48
Dokumen Referensi
pelaksanaan tindakan yang bertujuan untuk merealisasikan hak-hak penduduknya. 3. Penduduk kota berpartisipasi dalam urusan lokal sejalan dengan kemampuan dan kemampuan mereka. Mereka mengambil bagian dalam keputusan yang menyangkut mereka, dan mengungkapkan pendapat mereka terhadap orang dan kelompok lainnya dalam semangat toleransi dan pluralisme. Penduduk kota mengambil kebijakan lokal dalam hal kepentingan bersama, untuk kepentingan masyarakat. Rencana Aksi yang Disarankan: Jangka pendek: 1. Mendorong langkah-langkah untuk berpartisipasi dalam proses pemilu. 2. Mendorong partisipasi politik dan sosial dari masyarakat yang tidak menikmati hak untuk memilih dalam pemilu lokal. 3. Menetapkan mekanisme untuk menyediakan semua penduduk kota dengan akses terhadap informasi publik yang transparan dan dapat diakses. Secara khusus, informasi penting harus diterbitkan dalam bahasa yang paling umum di kota. 4. Mengadopsi tindakan pemberian kebebasan bergerak dan kemampuan untuk menyuarakan oposisi ketika acara publik yang besar diselenggarakan di kota. 5. Publikasi tahunan ringkasan anggaran dan neraca kota yang tersusun dengan jelas. 6. Mendorong asosiasi dan modal sosial di kota, antara lain melalui pembentukan sistem tempat umum untuk pertemuan entitas, gerakan dan asosiasi setempat. Jangka menengah: 1. Membangun proses konsultasi bagi persiapan penyusunan anggaran. 2. Membangun sistem partisipasi warga untuk penyusunan proyek lokal, program dan kebijakan, termasuk rencana induk kota dan peraturan daerah tentang partisipasi. Perluasan metodologi partisipatif untuk tindak lanjut dan evaluasi kebijakan lokal. 3. Mengadakan konsultasi terbuka bagi semua penduduk kota, jika memperoleh pembenaran oleh kepentingan umum, permasalahan disajikan. 4. Mengadopsi sistem untuk mengajukan petisi kepada pemerintah setempat. 5. Mendorong di hadapan otoritas nasional dan internasional yang kompeten pengakuan hukum atas hak pilih dalam pemilihan daerah dari semua penduduk kota, terlepas dari asal negara dari kewarganegaraan mereka. III. HAK ATAS KEDAMAIAN DAN KEAMANAN MASYARAKAT DI KOTA 1. Semua penduduk kota memiliki hak atas keamanan diri dan materi mereka terhadap semua jenis kekerasan, termasuk yang berpotensi dilakukan oleh
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
49
lembaga penegak hukum. 2. Kota menjamin keamanan serta keselamatan fisik dan mental dari seluruh penduduknya, dan mengambil langkah-langkah untuk memerangi tindak kekerasan, terlepas dari siapapun kemungkinan pelakunya. 3. Kota dilengkapi dengan lembaga penegak hukum yang demokratis, yang disiapkan untuk melindungi semua penduduknya tanpa diskriminasi. Lembaga-lembaga publik ini secara tegas dilarang melakukan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau yang merendahkan. 4. Ketika penahanan, retensi atau fasilitas penjara yang ada berada di bawah tanggung jawab kota, tempat-tempat tersebut dapat dikunjungi oleh otoritas independen tertentu. 5. Kota menerapkan langkah-langkah untuk memerangi kekerasan di sekolah dan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan, seperti anak-anak, orang tua dan penyandang cacat. 6. Kota menjalankan perannya dalam pengelolaan ketegangan sosial, untuk mencegah gesekan antara kelompok-kelompok yang berbeda yang hidup di kota agar tidak berubah menjadi konflik yang sesungguhnya. Untuk tujuan ini, kota mendorong hidup berdampingan, mediasi sosial dan dialog di kalangan kelompok-kelompok tersebut. 7. Penduduk kota bertindak dengan cara yang sesuai dengan prioritas keselamatan semua orang. Penduduk harus menghormati kedamaian masyarakat. Rencana Aksi yang Disarankan Jangka pendek: 1. Memulai suatu proses partisipatif bagi pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan keselamatan di kalangan komunitas dan lingkungan kota yang berbeda. 2. Pemberian fasilitas kredit dan bantuan keuangan pemerintah, serta penyediaan tempat usaha untuk jaringan lokal yang bekerja di lingkungan yang paling sensitif terhadap masalah keamanan. 3. Penerapan sistem koordinasi dan pertukaran informasi secara teratur dengan otoritas peradilan lokal. 4. Pelatihan khusus untuk aparat kepolisian setempat, tentang kesadaran dan rasa hormat terhadap realitas sosial dan budaya kota yang berbeda, dalam intervensi di lingkungan pemukiman yang sensitif. 5. Pelatihan khusus untuk aparat kepolisian setempat tentang HAM. Jangka menengah: 1. Melibatkan berbagai departemen yang bertanggung jawab atas perencanaan
50
Dokumen Referensi
kota, taman dan kebun, penerangan umum, polisi dan layanan sosial, untuk mengadopsi semua langkah untuk membuat tempat-tempat umum dan semi privat lebih aman dan lebih mudah diakses. 2. Menggalang pendanaan ruang publik oleh warga sebagai sarana untuk membangun identitas masyarakat yang terkait dengan desain dan perawatan ruang publik tersebut. 3. Melibatkan sistem peradilan nasional masing-masing dalam analisis pola kejahatan, yang bertujuan untuk mendekriminalisasi kategori pelanggaran ringan, kejahatan kecil dan perilaku anti sosial yang lebih mudah untuk diperangi dengan langkah-langkah non-hukuman yang mencoba untuk merehabilitasi dan mengintegrasikan pelaku.
IV. HAK ATAS KESETARAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI 1. Semua penduduk kota memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan gender mereka. 2. Kota mengadopsi semua langkah yang diperlukan, termasuk peraturan, yang melarang diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya. Kota menahan diri dari keterlibatan dalam tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan dan memastikan bahwa otoritas publik dan lembaga bertindak sesuai dengan kewajiban ini. Kota mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh individu, organisasi atau perusahaan. Kota mengambil semua langkah yang tepat, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk memastikan perkembangan penuh perempuan, yang bertujuan menjamin mereka untuk melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka atas dasar kesetaraan dengan kaum laki-laki. 3. Semua penduduk kota menahan diri dari melakukan tindakan atau praktek yang dapat merugikan hak-hak perempuan. Rencana Aksi yang Disarankan 1. Mengadopsi rencana aksi lokal untuk kesetaraan gender yang menjamin tidak adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di segala bidang dan memberikan penghargaan atas kontribusi ke kota yang dilakukan oleh perempuan. 2. Mengadopsi ketentuan prioritas untuk memfasilitasi akses ke perumahan sosial oleh perempuan orang tua tunggal atau korban kekerasan gender. 3. Mengadopsi langkah-langkah untuk mendorong akses yang lebih baik terhadap ruang publik oleh perempuan.
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
51
4. Mengupayakan kesetaraan penuh dalam komposisi badan pemerintah lokal, termasuk dewan direksi dari perusahaan publik lokal.
V. HAK ANAK-ANAK 1. Semua anak-anak di kota, apa pun jenis kelamin mereka, memiliki hak atas kondisi kehidupan yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan etika mereka dan untuk menikmati semua hak yang diakui oleh Konvensi Internasional tentang Hak Anak 1989. Sesuai dengan Konvensi ini, seorang anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. 2. Kota menjamin semua anak atas kondisi kehidupan yang layak, khususnya, kesempatan untuk menerima pendidikan normal yang memberikan kontribusi terhadap pengembangan pribadi mereka, dengan menghormati hak asasi manusia. Jika tidak disediakan oleh pemerintah di tingkat lainnya, kota menyediakan pendidikan dasar yang gratis dan wajib bagi semua serta memastikan, bersama-sama dengan pihak yang berwenang, melakukan pengarusutamaan pendidikan menengah. 3. Dalam memenuhi tanggung jawab mereka, penduduk kota menghormati martabat dan hak-hak anak termasuk anak penyandang cacat.
Rencana Aksi yang Disarankan 1. Membangun jaringan penitipan anak publik, yang terdiri dari sekolah bayi dan tempat lain yang memberikan perawatan komprehensif bagi anak-anak dan remaja, dengan akses universal dan dengan distribusi yang seimbang di seluruh kota. 2. Menetapkan mekanisme pemantauan yang memungkinkan kota untuk campur tangan dalam kasus dimana orang yang berusia di bawah 18 tahun berada dalam risiko, dihadapkan dengan bahaya dan kekerasan, khususnya anak yatim, anak-anak tunawisma, anak-anak korban segala bentuk eksploitasi, penderita HIV/AIDS dan para pengungsi perang. 3. Pembukaan dan/atau penguatan pusat penerimaan untuk anak-anak, dengan perawatan kesehatan, konseling dan layanan bantuan keluarga. 4. Rancangan dan penerapan langkah-langkah bagi akses anak-anak ke kota 5. Menerapkan mekanisme khusus perlindungan sosial bagi kaum muda. 6. Meluncurkan kampanye informasi tentang Konvensi internasional tentang Hak Anak. 7. Menetapkan langkah-langkah khusus untuk membantu anak-anak cacat.
52
Dokumen Referensi
VI. HAK ATAS LAYANAN PUBLIK YANG DAPAT DIAKSES 1. Semua penduduk kota memiliki hak atas kota yang inklusif secara sosial dan ekonomi, untuk mengakses layanan sosial dasar terdekat dengan kualitas yang optimal dan terjangkau 2. Kota menciptakan, atau mendorong terciptanya layanan publik yang berkualitas dan tanpa diskriminasi, yang minimum menjamin hal-hal berikut bagi semua penduduknya: pelatihan, akses terhadap kesehatan, perumahan, energi, air, sanitasi dan makanan yang cukup, di bawah persyaratan yang diuraikan dalam Agenda Piagam. 3. Khususnya, di negara-negara dengan pertumbuhan kota yang pesat, kota mengambil langkah-langkah yang mendesak untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesempatan penduduknya, terutama mereka yang memiliki sarana lebih rendah serta para penyandang cacat. 4. Kota memiliki perhatian terhadap perlindungan hak-hak orang tua dan mendorong solidaritas di kalangan generasi. 5. Kota mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin distribusi yang adil atas layanan publik di seluruh wilayah kekuasaannya, dengan cara yang terdesentralisasi. 6. Penduduk kota menggunakan layanan sosial secara bertanggungjawab.
Rencana Aksi yang Disarankan Jangka pendek: 1. Pembentukan sistem partisipasi sosial dalam perancangan dan pemantauan pelaksanaan layanan, terutama yang terkait dengan kualitas, penetapan biaya dan operasional resepsionis. Sistem partisipasi harus memberikan perhatian khusus kepada lingkungan tetangga dan kelompok yang paling rentan di kota, serta kalangan para penyandang cacat. 2. Penghapusan segera, jika ada, persyaratan hukum, administratif dan prosedural yang mengikat penyediaan layanan dasar publik dengan status hukum penduduk kota. 3. Peninjauan ketentuan prosedur dan peraturan lokal, agar masyarakat yang berpenghasilan rendah diberikan akses yang lebih besar terhadap layanan dasar. 4. Membangun sistem pajak daerah yang adil dari dan biaya yang memperhitungkan pendapatan rakyat dan penggunaannya untuk layanan publik; serta pemberian informasi kepada pengguna tentang biaya layanan publik dan sumber dana untuk membayar mereka. 5. Pemantauan yang cermat dari kebutuhan populasi temporer dan populasi nomaden lainnya di bidang pelayanan publik dasar.
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
53
Jangka menengah: 1. Menetapkan langkah-langkah yang efisien untuk memastikan bahwa pelaku sektor swasta yang mengelola layanan kepentingan sosial atau publik menghormati hak-hak yang dijamin oleh Agenda Piagam ini sepenuhnya, tanpa ada diskriminasi. Kontrak dan konsesi kota itu harus secara jelas ditetapkan berdasarkan komitmen terhadap HAM. 2. Pengadopsian tindakan untuk menjamin bahwa layanan publik melaporkan ke tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, dengan partisipasi dari penduduk kota dalam pengelolaan dan pengawasan mereka. 3. Mendorong akses pada semua layanan publik dan kehidupan kota bagi kaum manula. VII. KEBEBASAN ATAS KEYAKINAN DAN AGAMA, PENDAPAT DAN INFORMASI a) Semua penduduk kota memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama: hak ini mencakup kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaan mereka, dan kebebasan - baik sendiri atau dengan orang lain dan di depan umum atau secara pribadi - untuk mewujudkan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan. b) Semua penduduk kota memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja. Hak-hak ini dapat diberikan hanya dalam batas-batas tertentu yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan orang lain, dalam kerangka perundangan nasional. c) Kota menjamin bahwa penduduknya memiliki kebebasan untuk memanifestasikan agama atau keyakinan, termasuk hak orang tua untuk memilih jenis sekolah bagi anak-anak mereka. Kota menjamin bahwa setiap orang mampu untuk memiliki pendapat tanpa ada gangguan, dan untuk mencari serta menerima informasi dan buah pikiran melalui media apa saja, secara pribadi maupun di depan umum. Kota berupaya untuk memberikan penduduknya akses cuma-cuma ke semua sumber informasi yang ada serta memfasilitasi penciptaan dan pengembangan sumber informasi baru yang bebas dan pluralis. Kota mendorong penciptaan serta pengembangan media dan badan informasi secara cuma-cuma dan pluralis, yang bebas diakses oleh semua penduduk, tanpa ada diskriminasi. Kota memfasilitasi pencarian fakta bagi semua wartawan tanpa diskriminasi dan memastikan bahwa mereka memiliki akses yang bebas hingga ke
54
Dokumen Referensi
jangkauan informasi yang terluas, khususnya tentang pemerintahan kota. Kota mendorong berlangsungnya perdebatan serta pertukaran ide dan informasi. Hal ini sekaligus memastikan bahwa semua penduduk memiliki akses gratis ke tempat-tempat pertemuan umum dan memfasilitasi penciptaan tempat-tempat tersebut. d) Penduduk kota memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menghormati agama, kepercayaan dan pendapat orang lain.
Rencana Aksi yang Disarankan 1. Mendukung organisasi keagamaan dalam mendirikan tempat ibadah baru dan menarik hambatan apapun melalui perencanaan kota untuk mencapai tujuan itu. 2. Memfasilitasi distribusi dan pertukaran informasi dalam pandangan berbagai agama dan keyakinan penduduknya, tanpa ada diskriminasi. 3. Mendorong inisiatif yang mendukung atau memiliki toleransi yang lebih besar dan saling pengertian antar agama, keyakinan dan pendapat. 4. Memfasilitasi penciptaan, pengembangan dan aksesibilitas sumber informasi baru yang bebas dan pluralis; serta pelatihan wartawan dan mendorong adanya debat publik.
VIII. HAK UNTUK BERKUMPUL, BERSERIKAT DAN MEMBENTUK SERIKAT KERJA SECARA DAMAI a) Semua penduduk kota memiliki hak atas kebebasan untuk berkumpul dan berserikat secara damai, termasuk hak individu untuk berserikat bersama dan hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh untuk melindungi kepentingan mereka. b) Tidak seorang pun dapat dipaksa untuk bergabung dengan asosiasi atau serikat buruh. Kota memastikan bahwa penduduknya memiliki hak untuk berkumpul bersama dan bertemu secara damai. Hak ini dapat diberikan hanya dalam batas-batas tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Kota memastikan bahwa penduduknya memiliki bentuk yang tepat dan dapat bergabung atau tidak bergabung dengan serikat pekerja, tanpa diskriminasi. Hal ini memberikan kontribusi untuk penikmatan hak-hak buruh secara penuh oleh penduduknya. c) Penduduk kota, khususnya mereka yang mempekerjakan orang lain, menghormati hak setiap orang untuk berkumpul, berserikat dan bergabung
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
55
secara damai dengan serikat pekerja, serta menghormati hak-hak tenaga kerja.
Rencana Aksi yang Disarankan: 1. Mendorong dan membantu dalam penciptaan dan pengembangan asosiasi. 2. Penarikan hambatan hukum atau administratif untuk membentuk asosiasi dan serikat buruh, yang menghormati nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. 3. Memfasilitasi pertukaran informasi di kalangan asosiasi dan serikat pekerja serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengembangkan tempat pertemuan, termasuk organisasi forum asosiasi. 4. Mendorong konsultasi dan pertemuan publik dengan asosiasi dan serikat lokal di bidang kebijakan publik. 5. Mengawasi dan menjamin pemenuhan hak-hak pekerja di semua pekerjaan dan jasa yang berasal dari kota.
IX. HAK-HAK BUDAYA a) Semua penduduk kota memiliki hak terhadap pelatihan dan pendidikan inklusif yang berkualitas dan berkelanjutan, serta menikmati budaya dalam semua ekspresi dan bentuk yang beragam. Kota merangsang kreativitas, mendukung pengembangan dan keanekaragaman ekspresi maupun praktek budaya, serta olahraga, bersama dengan tempat bagi penyebaran budaya dan seni, khususnya, perpustakaan umum setempat. b) Kota mendorong program pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan bagi orang dewasa. Bekerjasama dengan asosiasi budaya dan sektor swasta, pemerintah daerah mempromosikan pengembangan kehidupan budaya perkotaan. Kota menjamin akses semua penduduknya terhadap layanan dan peralatan komunikasi. Hal ini mendorong pembelajaran teknologi elektronik dan informasi melalui lokakarya umum secara gratis. Kota menghormati, melindungi dan mendorong keanekaragaman budaya penduduknya, satu-satunya batasan yang ada adalah menghormati sepenuhnya terhadap aturan hidup berdampingan dan hak asasi manusia yang diakui secara universal. Hal ini akan mendorong ekspresi, kreativitas dan praktek budaya dari penduduknya. c) Penduduk kota menghormati keragaman budaya kota dan memperlakukan tempat dan fasilitas umum secara bertanggung jawab yang ditujukan untuk budaya di kota.
56
Dokumen Referensi
Rencana Aksi yang Disarankan: 1. Mengadopsi langkah-langkah dukungan bagi pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk orang dewasa, termasuk pelatihan kejuruan. 2. Perluasan jaringan perpustakaan umum di seluruh lingkungan kota. 3. Mengadopsi langkah-langkah untuk melestarikan, melindungi dan mempertahankan warisan budaya kota, serta akses yang berkelanjutan dan penuh penghargaan oleh penduduk kota dan wisatawan. 4. Rencana untuk penciptaan, ekspansi atau pemeliharaan tempat rekreasi yang berkualitas yang terbuka untuk umum tanpa ada diskriminasi. 5. Menawarkan lokakarya pelatihan TI dan mengadopsi langkah-langkah untuk memastikan adanya akses internet universal. 6. Perhatian yang cermat terhadap kebutuhan populasi temporer dan populasi nomaden lainnya di bidang akses pendidikan. 7. Langkah-langkah dukungan bagi penciptaan budaya di kota, untuk meningkatkan kondisi kerja profesional budaya dan untuk mendorong praktek-praktek budaya yang aktif dari seluruh penduduk kota. 8. Pembangunan dan pemeliharaan sarana olahraga.
X. HAK TERHADAP PERUMAHAN DAN TEMPAT TINGGAL a) Semua penduduk kota memiliki hak untuk: 1. Perumahan dengan sanitasi yang layak dengan fitur sentralitas perkotaan. 2. Keamanan terhadap hak hukum atas rumah dan sebidang tanah mereka. 3. Akses tanpa syarat terhadap pencatatan administrasi kota. 4. Migran memiliki hak atas kebutuhan area pemukiman yang disesuaikan. b) Kota menyatukan pendekatan pada penggunaan lahan dan pembangunan perumahan, untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya dari populasi secara keseluruhan, khususnya kelompok yang paling rentan. Kota mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan regulasi pasar perumahan setempat, untuk memastikan pilihan yang terjangkau bagi kelompok yang paling rentan. Kota memerangi eksklusi dan segregasi spasial dengan intervensi yang didasarkan pada inklusi sosial dan keragaman. Selain itu, kota mengakui hak untuk memperoleh tempat tinggal bagi seluruh penduduknya, dengan mendorong jaminan atas hak hunian mereka, khususnya bagi kelompok yang paling rentan, dan terutama bagi penduduk dari pemukiman informal. Bekerja sama dengan otoritas lain yang berwenang, kota mengambil langkah
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
57
yang tepat untuk menawarkan tempat tinggal sementara yang layak bagi populasi tunawisma, serta lokasi yang memadai bagi penduduk migran. Hal ini memungkinkan para tunawisma untuk menempati tempat tinggal administratif di asosiasi perawatan, dalam rangka untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan keuntungan dari layanan sosial, khususnya layanan kesehatan, di kota. c) Untuk memenuhi tanggung jawab mereka, penduduk kota menggunakan rumah reguler mereka secara tepat dan mendorong hubungan bertetangga. Pemilik beberapa rumah harus ingat bahwa, bersama dengan jenis pendapatan lainnya, perumahan memiliki fungsi sosial.
Rencana Aksi yang Disarankan: Jangka pendek: 1. Menilai kebutuhan akomodasi sebagai fungsi dari profil penduduk kota, dan menciptakan atau memperkuat layanan lokal untuk mengenali masalah tersebut. 2. Menilai situasi pemukiman informal di kota, dan berdialog dengan para penghuninya untuk memberikan jaminan keamanan atas harta benda dan status mereka, serta memperbaiki kondisi hidup mereka. 3. Penangguhan segera dari penggusuran yang tidak menghormati proses hukum dan prinsip-prinsip proporsionalitas dan kompensasi yang adil serta pembentukan sistem perlindungan dan akomodasi alternatif bagi orangorang yang terusir. 4. Perluasan ketersediaan lahan publik dengan cara pembangunan perkotaan, perencanaan dan distribusi berbasis wilayah yang dipikirkan dengan matang, melalui partisipasi warga dan mendukung kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. 5. Menyertakan asosiasi migran dan bekerja dengan mereka dalam proses negosiasi dan manajemen kebijakan lokal serta layanan yang terkait dengan hak atas perumahan dan tempat tinggal. 6. Perhatian yang cermat terhadap kebutuhan perumahan dari populasi temporer dan populasi nomaden lainnya. 7. Mengadopsi rencana pembangunan perumahan umum atau bersubsidi, yang terjangkau bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, dan rencana untuk penyediaan tempat penampungan yang layak bagi para tunawisma. Jangka menengah: 1. Menetapkan prosedur pengaturan domain lahan yang menetapkan kerangka waktu dan tidak diskriminatif, terutama yang merugikan orang dan kelompok yang paling tidak disukai. Melibatkan pemerintah yang kompeten dalam
58
Dokumen Referensi
prosedur ini, jika memungkinkan. Dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak ada tindakan dari pemerintah, atau adanya risiko penggusuran, penduduk pemukiman informal berhak secara hukum menuntut pengaturan perumahan mereka. 2. Diberlakukannya peraturan yang tepat untuk menjamin penggunaan sepenuhnya lahan perkotaan, serta properti publik dan pribadi yang tidak terpakai, kurang dimanfaatkan atau kosong, untuk memenuhi fungsi sosial perumahan. Langkah legislatif dalam skala regional atau nasional akan diajukan bila diperlukan. 3. Mengadopsi peraturan daerah yang menjamin aksesibilitas perumahan bagi penyandang cacat, dan menetapkan rencana inspeksi yang bekerjasama dengan kelompok-kelompok yang terkena dampak. 4. Mengadaptasi peraturan daerah untuk menyediakan hukum yang dapat ditegakkan dari hak atas perumahan.
XI. HAK ATAS AIR BERSIH DAN MAKANAN a) Semua penduduk kota memiliki hak atas air minum, sanitasi, dan makanan dengan kualitas yang layak. b) Kota menjamin semua penduduknya akses yang sama terhadap layanan air minum dan sanitasi, dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Kota menjamin pasokan air dan makanan yang memadai untuk hidup dan melarang pemotongan pasokan air bagi orang-orang yang berada dalam situasi rentan. Jika kompeten, kota menetapkan sistem pengelolaan air publik dan partisipatif yang selanjutnya akan memulihkan sistem tradisional dan masyarakat. Hal ini mendorong alternatif lokal untuk pengumpulan air. Kota juga menjamin semua penduduknya akses terhadap makanan sehat dan bergizi yang memadai, dan bahwa tidak ada orang yang tidak diberi makan selama kekurangan sarana ekonomi. Kota mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dan meringankan rasa lapar, bahkan dalam kasus-kasus bencana alam atau jenis bencana lainnya. c) Untuk memenuhi tanggung jawab mereka, penduduk kota mengkonsumsi air dengan cara sedemikian rupa yang menghormati konservasi, dan melakukan penggunaan yang tepat dari fasilitas dan peralatan.
Rencana Aksi yang Disarankan Jangka pendek: 1. Mengadopsi peraturan daerah, jika dipandang kompeten untuk melakukannya, yang melarang pemadaman air, bagi orang-orang dalam situasi genting dan
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
59
memastikan adanya kuantitas yang memadai untuk bertahan hidup. 2. Membentuk sistem nilai berskala geser yang memastikan bahwa kuantitas air yang cukup untuk bertahan hidup hampir gratis atau sangat murah, yang meningkatkan seiring dengan jumlah konsumsi untuk memberikan denda bagi yang menghamburkan. Jangka menengah: 1. Menegosiasikan persyaratan distribusi air dan energi dengan pihak penyedia dari sektor swasta, yang cukup untuk menjamin hak-hak yang diatur berdasarkan Agenda Piagam. 2. Memperkenalkan kontrol kualitas untuk menjamin keamanan pangan. 3. Menetapkan pada sekolah umum penyediaan makanan dalam kemitraan dengan petani dan produsen lokal. 4. Memfasilitasi pembuatan kebun dapur perkotaan dan restoran masyarakat yang bersubsidi.
XII. HAK ATAS PEMBANGUNAN PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN a) Semua penduduk kota memiliki hak atas pembangunan perkotaan yang berkualitas, dengan fokus sosial ketersediaan transportasi umum, dan penghargaan atas lingkungan. b) Semua penduduk kota memiliki hak terhadap listrik, gas dan sumber energi lainnya di rumah, di sekolah dan di tempat kerja, dalam kerangka sebuah kota yang berkelanjutan secara ekologis. Kota memastikan bahwa pembangunan perkotaan dilakukan dengan keseimbangan yang harmonis di kalangan semua lingkungan, yang mencegah terjadinya segregasi sosial. Kota mengambil langkah yang diperlukan untuk mencapai lingkungan perkotaan yang sehat, dan membuat upaya khusus agar secara konsisten meningkatkan kualitas udara, dan mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kebisingan dan lalu-lintas. Kota dilengkapi dengan sistem angkutan umum massal yang efisien yang mencapai semua lokasi lingkungan secara seimbang. Kota menjamin akses yang sama terhadap gas, listrik dan sumber energi lainnya, dalam kualitas dan kuantitas yang mencukupi untuk semua penduduknya. Kota melarang pemotongan pasokan gas, listrik dan sumber energi lainnya bagi orang-orang yang berada dalam situasi rentan untuk menjamin konsumsi yang cukup untuk bertahan hidup. c) Untuk memenuhi tanggung jawab mereka, penduduk kota bertindak dengan cara yang sedemikian rupa untuk menghormati pelestarian lingkungan, hemat
60
Dokumen Referensi
energi dan penggunaan yang baik dari instalasi publik, termasuk transportasi umum. Penduduk juga berpartisipasi dalam upaya kolektif masyarakat untuk mendorong perencanaan kota yang berkualitas dan pembangunan yang berkelanjutan, untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
Rencana Aksi yang Disarankan Jangka pendek: 1. Mengadopsi langkah-langkah yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran di kalangan penduduk kota akan tanggung jawab mereka dalam proses perubahan iklim dan kerusakan keanekaragaman hayati, dan dalam menentukan jejak ekologis dari kota itu sendiri, untuk mengidentifikasi prioritas area aksi. 2. Mengadopsi langkah-langkah pencegahan untuk memerangi polusi dan pendudukan tanah maupun kawasan lingkungan yang dilindungi secara tidak terorganisir, termasuk penghematan energi, pengelolaan limbah dan pemanfaatan kembali, daur ulang, serta perluasan dan konservasi ruang hijau. 3. Mengadopsi langkah-langkah untuk melawan korupsi dalam pembangunan perkotaan dan terhadap serangan di lahan alami yang dilindungi. 4. Mengadopsi langkah-langkah untuk mempromosikan layanan transportasi kolektif yang dapat diakses secara gratis atau murah untuk semua penduduk kota dan secara bertahap memperkenalkan layanan transportasi umum ekologi. 5. Jika kompeten, mengadopsi tata cara hukum setempat yang menetapkan larangan pemotongan pasokan listrik, gas dan sumber energi lainnya di rumah untuk orang-orang yang berada dalam situasi rentan untuk menjamin kebutuhan dasar. Jangka menengah: 1. Persetujuan rencana transit perkotaan dan antar kota berdasarkan sistem transportasi umum yang dapat diakses, terjangkau dan memadai untuk berbagai kebutuhan lingkungan dan sosial (jenis kelamin, usia dan penyandang cacat). 2. Pemasangan peralatan yang diperlukan dalam sistem transit dan lalulintas, adaptasi dari semua bangunan umum atau bangunan publik yang digunakan, tempat kerja dan tempat rekreasi untuk menjamin akses bagi para penyandang cacat. 3. Meninjau rencana pembangunan perkotaan untuk memastikan bahwa tidak ada lingkungan atau komunitas sekitar yang dikecualikan, dan mereka
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
61
4.
5.
6. 7.
semua memiliki unsur sentralitas. Perencanaan harus bersifat transparan dan terorganisir berdasarkan prioritas, dengan upaya yang lebih besar di lingkungan sekitar yang paling tidak disukai. Perencanaan metropolitan dan perencanaan yang berpotensi regional dan nasional, dalam hal pembangunan perkotaan, transportasi umum dan kelestarian lingkungan. Membentuk sistem nilai berskala geser yang memastikan bahwa pemakaian konsumsi energi minimum adalah hampir gratis atau sangat murah, yang meningkatkan seiring dengan jumlah konsumsi untuk memberikan denda bagi yang menghamburkannya. Mendorong teknologi yang berkelanjutan dan beragam untuk pasokan energi. Menetapkan langkah-langkah yang berkontribusi terhadap perlindungan keanekaragaman hayati pada skala lokal.
Ketentuan Akhir A. Mengadopsi dan memasukkan Agenda Piagam di tiap kota • Agenda Piagam mulai berlaku di setiap kota setelah melalui proses konsultasi yang memungkinkan penduduk kota untuk membahas dan menyesuaikan ketentuan pelaksanaan rencana aksi untuk kondisi lokal dan kerangka hukum nasional; dan setelah diterima oleh dewan kota. Mekanisme yang sama berlaku untuk setiap tinjauan Agenda Piagam setempat. • Agenda Piagam Setempat yang telah diadopsi akan disebarluaskan di kalangan seluruh penduduk kota. B. Mekanisme penerapan: • Kota menguraikan indikator yang tepat dari pemenuhan setiap hak dan rencana aksi yang ditetapkan dalam Agenda Piagam Lokal. • Kota membentuk badan yang diperlukan (kelompok ahli, observatorium lokal, komisi independen HAM atau komite bersama perwakilan terpilih/ masyarakat sipil) untuk memastikan implementasi, tindak lanjut dan evaluasi dari Agenda Piagam di tingkat lokal. Kota juga dapat menentukan prosedur pengaduan atau mediasi (jika tersedia, peran ini dapat dilakukan oleh ombudsman lokal). • Kota menetapkan proses konsultasi publik untuk mengevaluasi secara berkala pelaksanaan dan efek dari Agenda Piagam. • Kota menjalin kerjasama multi-level dengan instansi lain yang berwenang (lokal, regional, nasional) untuk menjamin hak atas kota.
62
Dokumen Referensi
C. Peran kota dalam mendorong HAM dalam skala internasional • Kota berkomitmen untuk meningkatkan kerjasama lokal transnasional baik secara umum maupun dalam pelaksanaan Agenda Piagam ini dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia di seluruh dunia. • Kota berusaha untuk berkolaborasi, dalam kekuasaan mereka, dalam penyusunan kebijakan nasional, terlibat sebagai pemangku kepentingan dalam mekanisme HAM internasional (tinjauan berkala universal, laporan berkala, dll). • Kami mendorong partisipasi masyarakat sipil, asosiasi dan LSM untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia.
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
63
Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011
“GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21” 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota1
1. “Kota” didefinisikan sebagai pemerintah daerah dalam berbagai ukuran: daerah, pengelompokan perkotaan, metropolis, kotamadya dan otoritas daerah lainnya yang dikelola secara bebas sesuai dengan Agenda Piagam Global tentang HAM di Kota.
64
Dokumen Referensi
1. Kami, lebih dari 100 peserta dari Forum Dunia tentang HAM di Kota 2011 yang mencakup walikota, perwakilan kota, dan pakar HAM PBB serta LSM hak-hak masyarakat dan hak asasi manusia baik dari Korea maupun luar negeri yang berkumpul di Gwangju, Korea Selatan pada tanggal 16-17 Mei 2011 atas undangan Kota Metropolitan Gwangju dan May 18 Memorial Foundation, berbagi dan mendiskusikan pengalaman dalam membangun ‘hak asasi manusia di kota’ dalam konteks yang berbeda terutama dari perspektif partisipasi masyarakat dan pendidikan tentang hak asasi manusia. 2. Tema “Globalisasi HAM dari bawah - Tantangan HAM di Kota pada Abad ke-21” menyoroti peran penting bahwa kota mampu berperan dalam menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi dan politik melalui kerangka hak asasi manusia dan pendekatan berbasis hak asasi manusia. 3. ‘HAM di kota’ didefinisikan sebagai ‘masyarakat lokal dan proses sosialpolitik dalam konteks lokal dimana hak asasi manusia memainkan peran kunci sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip yang mengarahkan’. 4. ‘HAM di kota’ dipahami sebagai ‘tata laksana hak asasi manusia dalam konteks lokal’ dimana pemerintah daerah, DPRD, masyarakat sipil, organisasi sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua penduduk dalam semangat kemitraan berdasarkan standar dan norma-norma hak asasi manusia. 5. ‘HAM di kota’ juga berarti, dalam istilah praktisnya, bahwa semua penduduk, tanpa memandang ras, jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, latar belakang etnis dan status sosial, khususnya kaum minoritas dan kelompok rentan lainnya yang secara sosial rentan dan terpinggirkan, dapat berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan keputusan dan proses implementasi kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka sesuai dengan prinsipprinsip hak asasi manusia seperti non-diskriminasi, supremasi hukum, partisipasi, pemberdayaan, transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi Masyarakat 6. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam membangun HAM di kota karena memberikan masyarakat kesempatan untuk mengekspresikan pandangan mereka tentang masalah-masalah yang perlu ditangani. Hal ini juga memberikan kepada masyarakat rasa kepemilikan terhadap proses identifikasi tentang permasalahan hak asasi manusia, yang membuat mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam kolaborasi yang konstruktif dengan para pemangku kepentingan lainnya, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan LSM.
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
65
Kondisi ini memastikan tanggung jawab bersama untuk penerapan standar hak asasi manusia dan norma-norma. 7. Semua kota memiliki aset dan proses sejarah yang membawa pada perubahan politik. Namun, prinsip dasar partisipasi dalam membangun HAM di kota adalah bahwa pendekatan dari bawah ke atas yang melibatkan partisipasi murni dan bermakna dari semua penduduk lebih baik daripada pendekatan dari atas ke bawah yang dilakukan oleh pejabat kota. 8. Jika negara atau kota memiliki sistem politik yang represif, kurang aturan perundangan, atau menghadapi praktek korupsi yang merajalela, orang takut untuk berpartisipasi. Kebutuhan yang ada adalah untuk membangun jaringan dukungan, baik di tingkat daerah/pusat maupun lintas batas bagi korban dan pembela atas pelanggaran hak asasi manusia. Jaringan solidaritas HAM dalam kota harus mengutamakan upaya partisipasi masyarakat dalam sistem politik yang represif. Pendidikan dan Pembelajaran Hak Asasi Manusia 9. Sampai semua penduduk mengetahui dan sudah memiliki hak-hak asasi manusia mereka, tidak akan pernah ada sebuah kota yang ramah HAM. Dengan pemahaman seperti itu, kami meyakini bersama bahwa pembelajaran dan pendidikan tentang hak asasi manusia sangat penting bagi pengembangan HAM di kota. Pendidikan informal dan permainan adalah cara yang tepat untuk mengintegrasikan kerangka hak asasi manusia dan mengenalkannya pada generasi muda. Teknik terapan yang terus berlangsung dan pembelajaran yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa, dalam tiap waktu, setiap orang mengetahui, memiliki dan mampu bertindak atas hak asasi manusia mereka. 10. Pertukaran dan saling berbagi praktek terbaik di kalangan sekolah, kota, dan lembaga adalah cara utama untuk meningkatkan proses pembelajaran dan pendidikan tentang HAM yang baru dan mapan di kota. Karena tidak ada pendekatan yang definitif untuk melakukan pembelajaran dan mengintegrasikan hak asasi manusia, masing-masing kota harus, berdasarkan pada pengalamannya sendiri dan praktek-praktek terbaik yang diterima dari pihak lain, mengembangkan segudang strategi yang dapat diterapkan di komunitasnya sendiri. Tantangan atas Hak Asasi Manusia di Kota 11. Menetapkan dasar hukum harus menjadi langkah pertama bagi setiap inisiatif HAM di kota. Tata cara, instrumen hukum, seperti Piagam Hak Asasi
66
Dokumen Referensi
Manusia, dan organisasi hukum, seperti Komisi HAM atau Biro/Kantor HAM, dapat berperan sebagai dasar hukum yang efektif. Hal ini harus diadopsi berdasarkan prinsip tanpa diskriminasi dan tidak memilah-milah agar memberikan dasar hukum yang berkelanjutan bagi formulasi kebijakan dan penerapan penuh. 12. Implementasi, bagaimanapun juga, adalah lebih penting daripada pengambilan kebijakan. Kepemimpinan yang kuat diperlukan sebagai prioritas. Kepemimpinan harus didasarkan pada prinsip-prinsip kompetensi, transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu, pendidikan tentang hak asasi manusia bagi pejabat pemerintah diperlukan. Dukungan dari pemerintah pusat dapat menjadi bagian yang sangat penting. Semua perundangundangan dan proses implementasi harus dikomunikasikan kepada semua warga dan penduduk. 13. Demokrasi partisipatif dan konsultasi di kalangan seluruh pemangku kepentingan (termasuk sektor swasta) adalah kunci bagi HAM di kota. Mekanisme kelembagaan untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama antara kelompok masyarakat sipil dan pemerintah harus ditetapkan. Kelompok yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi, seperti perempuan, imigran, dan penyandang cacat, harus dipertimbangkan secara spesifik. Pendidikan tentang hak asasi manusia bagi semua penghuninya diperlukan untuk mendukung proses ini. 14. Mekanisme akuntabilitas yang efektif perlu dikembangkan untuk membuat pemerintah kota bertanggung jawab terhadap janji dan komitmennya. Mekanisme pemantauan, termasuk indikator hak asasi manusia bagi penilaian dampak HAM, harus ditetapkan. 15. Jaringan antara kota di tingkat nasional dan internasional harus dimulai atau diperkuat untuk mendukung dan mendorong jaringan, kemitraan, dan pertukaran global atas pengalaman dan praktek. 16. Dalam hal ini, kami mendesak Dewan HAM PBB agar meminta Komite Penasihat untuk mengambil permasalahan ‘hak asasi manusia di kota’ sebagai topik untuk penelitian. Selanjutnya, kami mendesak Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR, Office of the High-Commissioner for Human Rights) agar memberikan bantuan yang diperlukan bagi kota-kota yang tertarik menjadi ‘kota yang ramah HAM’;
Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011
67
Kami juga mendesak PBB dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD, Organization for Economic Co-operation and Development) untuk menggabungkan kerangka ‘HAM di kota’ ke dalam kerjasama pembangunan internasional. Lima Komitmen terhadap HAM di Kota 1. Kami berkomitmen untuk membuat visi HAM di kota menjadi sebuah kenyataan di lapangan dengan menerapkan norma dan standar hak asasi manusia internasional serta dengan mendorong hak atas kota; 2. Kami berkomitmen untuk mengembangkan mekanisme yang efektif untuk melindungi dan membela hak-hak asasi manusia semua warga dan penduduk; mekanisme tersebut dapat mencakup komite warga, komisi kota tentang hak asasi manusia, indikator hak asasi manusia dan penilaian dampak hak asasi manusia; 3. Kami berkomitmen untuk mengembangkan dan menerapkan program pendidikan dan pembelajaran HAM yang kongkrit bagi semua pihak yang terlibat dalam membangun ‘hak asasi manusia di kota’ sejalan dengan program UNESCO Pendidikan untuk Semua (PUS) – Kerangka Dakar untuk Aksi (2000), dengan Program Dunia tentang Pendidikan HAM, dengan Deklarasi PBB tentang Pendidikan dan Pelatihan2 HAM, dan dengan standar maupun program terkait lainnya; 4. Kami berkomitmen untuk memperkuat jaringan nasional dan internasional serta membangun aliansi di kalangan masyarakat yang berkomitmen terhadap visi HAM di kota dengan menggabungkan Koalisi Kota tingkat Internasional yang dipimpin oleh UNESCO untuk melawan rasisme (ICCAR, International Coalition of Cities against Racism), UN Global Compact dan Asosiasi Internasional untuk Mendidik Kota; 5. Setelah mengadopsi “Agenda Piagam Global tentang HAM di Kota” dari Asosiasi Kota dan Pemerintah Daerah (UCLG, United Cities and Local Government), kami berkomitmen untuk memastikan bahwa kota akan meratifikasi dan melaksanakan sepenuhnya Piagam tersebut. Sebagai kesimpulan, kami memutuskan untuk merekomendasikan bahwa Kota Metropolitan Gwangju agar terus mengatur penyelenggaraan Forum Dunia HAM di Kota sebagai platform bagi upaya global untuk mendorong gerakan ‘HAM di kota’.
68
Dokumen Referensi
Jl. Jati Padang Raya Kav.3 No.105, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 - Indonesia Phone: (62-21) 781 9734, 781 9735, 7884 0497 Fax: (62-21) 7884 4703 E-mail:
[email protected] www.infid.org
70
Dokumen Referensi