Paper ke-X
RESPECTING HUMAN RIGHTS IN SOCIAL WORK PRACTICE (MENGHARGAI HAM DALAM PRAKTIK PEKSOS)
Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Dosen: Dr. EPI SUPIADI, M.Si Dra. SUSILADIHARTI, M.SW
Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.003
PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG 2013
i
KATA PENGANTAR
... وبعد، وعلى آله وصحبه أمجعني، والصالة والسالم على رسوله األمني،رب العاملني ّ احلمد هلل Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas, paper tentang Respecting Human Rights in Social Work Practice (Menghargai HAM dalam Praktik Peksos) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab XI untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai.
Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1, dan lebih khusus lagi dosen kami.
Bandung, 28 Oktober 2013 Heru Sunoto
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2
Bahasa Peksos Proses Peksos Struktur Peksos Pendidikan Peksos BAB III. PEMBAHASAN
19
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
21
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN
Profesi pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan. Ia semakna dengan profesi lainnya yang perhatian pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sebagai sesuatu yang luhur yang dimiliki oleh manusia tanpa terkecuali, seyogyanya otomatis dimiliki semenjak lahir hingga wafat. Namun pada kenyataannya, tataran lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Banyak pelanggaran HAM, dari awal sejarah peadaban manusia hingga sekarang menunjukkan HAM perlu diperjuangkan. Jim Ife mengatakan, “mendefinisikan HAM tidak akan pernah final.” Meski demikian, kekeliruan dari mayoritas pekerja sosial, menyebabkan praktik peksos justeru malah melemahkan posisi klien, tidak memberdayakan, memandulkan, dan meniadakan peran mereka dalam proses pertolongan tersebut. Padahal, seyogyanya, Peksos meski bertujuan akhir sebagai human well-being, namun sarana dan prosesnya tidak boleh diabaikan. Artinya, proses dan sarana juga harus setiap saat memberdayakan, memberikan ruang partisipasi mereka, dan tidak melanggar perspektif HAM. Schmitz and Sikkin (2002)1 mendefinisikan HAM sebagai berikut: Human right are a set of principles of ideas about the threatment to which individual are entitled by virtue of being human. The Human right discourse is universal in character and includes claims of equality and non-discrimination (p. 157). Hak asasi manusia adalah:
Seperangkat prinsip yang tinggi/luhur
Ingin diwujudkan oleh manusia
Agar menjadi manusia seutuhnya
Tentang kesetaraan dan non-diskriminasi.
Ada empat hal yang akan kita kaji kali ini, yaitu bahasa peksos, proses peksos, struktur peksos, dan pendidikan peksos. Inilah yang akan kita bahas pada Bab 11 ini.
***
1
Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the Developing World”, Palgrave th Mac-Millan, 2011. Downloaded from: http://bookre.org/reader?file=1434909&pg=1 , at August 29 2013.
1
BAB II MENGHARGAI HAM DALAM PRAKTIK PEKSOS
Ada empat sub-bab yang akan kita kaji dalam bab ini, yaitu: (i) Bahasa Peksos, (ii) Proses Peksos, (iii) Struktur Peksos, dan (iv) Pendidikan Peksos. A. BAHASA PEKSOS Untuk menjaga gagasan tentang HAM sebagai bahan wacana, maka penting untuk menguji bahasa peksos. Dengan menggunakan kata-kata bahasa tertentu seperti “supervisi”, “profesi”, “klien”, dan seterusnya, berarti pekerja sosial membangun pekerjaan mereka dengan cara tertentu, dan ini sering berimplikasi HAM. A.1. LABEL “KLIEN” Selama ini, kata “klien” digunakan untuk menunjukkan sasaran pelayanan profesi peksos. Penggunaan kata “klien” selama ini tidak ada bantahan sedikitpun dari manapun. Padahal, kata “klien” sesungguhnya adalah orang yang secara suka-rela diperiksa oleh sebuah profesi dan kemudian diberikan layanan sesuai permintaannya, dan klien diawasi oleh pelayanan tersebut.
Ini sangat berbeda dengan keadaan praktik peksos di banyak negara. Di sana, klien tidak memiliki hak memilih siapa peksosnya dan jenis layanan yang tersedia, keterbatasan perlengkapan yang ada, atau evaluasinya. Oleh karena itu, makna kata “klien” sudah sering digunakan dalam makna involuntary client (klien bukan suka-rela). Karena istilah klien, cenderung bermakna “bergantung” atau “keadaan tidak berdaya”, maka pada 25 tahun terakhir sudah diganti dengan istilah costumer atau consumer, karena kedua kata ini maknanya lebih otonomi, lebih bebas memilih. Istilah costumer bagaimanapun juga memiliki konotasi lain, dan itu juga digunakan dalam pemasaran agar bisa memposisikan secara nyaman dengan banyak peksos. Sedangkan istilah consumer hanya digunakan untuk posisi orang yang tidak mampu, sebagai pengguna produk.
Dalam konteks praktek saat ini pada masyarakat Barat, kita dapat mengidentifikasi empat istilah dalam wacana Layanan Kemanusiaan: (i)
Manajerial, 2
(ii)
Pasar,
(iii)
Profesional dan
(iv)
Masyarakat.
Masing-masing memiliki istilah sendiri untuk orang yang menerima atau pemanfaat pelayanan kemanusiaan, masing-masing 'konsumen', 'pelanggan', 'klien' dan 'warga negara'.
Istilah 'klien' adalah bagian dari wacana profesional, yang menunjukkan Pendekatan topdown untuk kebijaksanaan dan keahlian, didorong oleh nilai-nilai manusia, tetapi dengan asumsi bahwa profesi memiliki pengetahuan dan skill yang lebih unggul dan ditempatkan untuk melayani klien. Praktik yang demikian, pada keadaan tertentu bisa saja sesuai dengan HAM, namun pada kondisi lain bisa merupakan lawan dari HAM karena tidak menghargai kebijaksanaan klien dan karenanya menjadi praktik yang “cacat”, sebagaimana digambarkan oleh Illich (Illich et.al. 1997). Tentang ini sudah kita diskusikan pada Bab 10 terdahulu.
Dimanapun, saya menganjurkan pekerjaan sosial untuk mengadopsi wacana dan tujuan masyarakat untuk praktik mereka, sebagai sebuah perspektif. Hal ini karena sesuai dengan nilai dasar peksos dan lebih efektif dalam jangka panjang (Ife 1997b). Konsekuensinya, ini akan membuang kata 'klien' dan dalam setiap situasi praktik peksos. Menyusun ulang kerangka di atas, akan lebih konsisten dengan pendekatan HAM, memberikan makna “klien” dalam wacana yang profesional. Sebaliknya, pekerja sosial bisa berbicara dengan istilah “orang” atau “warga”, agar sesuai dengan praktik yang berbasis HAM. Hal itu menyiratkan hak-hak kewarganegaraan yang harus dijamin, meskipun penggunaannya masih terbatas pada bekerja dengan pencari suaka,
yang
tidak
dilihat
sebagai
'warga'
dan
tidak
bisa
mengklaim
hak-hak
kewarganegaraan. Salah satu cara untuk bekerja dengan HAM dalam praktek peksos, adalah membuang atau setidaknya membatasi istilah “klien” dan semua kegiatan bersama mereka. A.2. INTERVENSI Istilah umum pekerjaan sosial lain yang memiliki konotasi mengkhawatirkan menurut perspektif HAM adalah istilah “intervensi”. Istilah ini menjadi banyak digunakan dalam pekerjaan sosial dengan popularitas teori sistem pada tahun 1970-an (Pincus & Minahan 1976). Individu, Keluarga, instansi, masyarakat dan seterusnya, semuanya dianalisis
3
sebagai “suatu sistem”, dan peran pekerja sosial adalah untuk “campur tangan” dalam sistem ini untuk membawa perubahan.
Meskipun teori sistem telah menurun dalam pengaruh (sementara kurang terkenal, tapi perspektif sistem masih tetap populer), istilah “intervensi” tetap digunakan. Ide dari “intervensi” dalam peksos, adalah bermasalah pada dua alasan mendasar: (i)
Istilah ini memposisikan peksos sebagai “di luar sistem” di mana interaksi terjadi. Peksos tidak dapat secara sesungguhnya “ikut campur tangan” dari dalam; Peksos tergambar sebagai “out-group” dalam proses tersebut. Ini melemahkan posisi peksos sebagai pengubah klien.
(ii)
Masalah kedua adalah bahwa semua tindakan dipandang sebagai milik pekerja sosial, orang yang melakukan intervensi. Sedangkan peran pihak lain diminimalkan, sehingga pekerja sosial bertindak sendirian dalam “intervensi”, yang bertanggung jawab untuk membawa perubahan. Oleh karena itu, hal ini memperkuat peran individualis praktisi (“apa yang bisa SAYA lakukan?”) Padahal seharusnya adalah (“apa yang dapat KITA lakukan bersama?”). Gaya ini melemahkan klien, ia menjadi pasif, tidak sesuai dengan perspektif HAM dan tidak mencerminkan penghargaan kepada HAM secara nyata kepada klien sebagai peserta aktif dalam proses perubahan. Untuk pekerja sosial yang berbasis HAM, kata “intervensi” sebagiamana kata “klien”, sebaiknya dihindari. Memang pekerja sosial perlu melihat implikasi penggunaan istilah yang terkait dengan “pengguna layanan” agar praktik peksosnya sesuai dengan pendekatan HAM.
A.3. METAFORA DARI ISTILAH MILITER Penggunaan metafora militer tersebar luas dalam pekerjaan sosial, khususnya dalam kerja kemasyarakatan, dan sebagian besar tidak dipublikasi dan tidak diketahui. Sangat mudah menyebutkan daftar istilah yang sering digunakan oleh peksos, yang sebenarnya berasal dari militer, yaitu:
Strategi
Penarikan mundur
Strategis
Mengepung
Taktik
Manuver
Taktis
Perjanjian
Kampanye
Tanpa Perjanjian
4
Target
Aliansi
Pertempuran gabungan
Taktik gerilya
Memenangkan
Menggabungkan kekuatan
kehilangan perang
Relawan
Melawan pasukan aksi
Rencana operasional.
pertempuran tetapi
Pendekatan HAM untuk peksos sebaiknya tidak menggunakan istilah-istilah yang berbau militer, tapi istilah yang lumrah dalam membangun praktek peksos, apalagi dalam bidang kerja kemasyarakatan.
A.4. SUPERVISI Supervisi dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dalam peksos. Ini dianggap sebagai komponen penting dari pengembangan profesi dan praktek yang kompeten, bahkan telah diberi perhatian khusus dalam literatur. Supervisi memiliki efek makna seseorang yang lebih hebat melihat supervisee bagaimana ia melakukan kegiatannya kemudian memberikan arahan solusi terbaiknya. Agar aktivitas supervisi lebih mengurangi potensi masalah dengan HAM, perlu mencari kata lain yang bisa menggantikan istilah “proses supervisi yang profesional”. A.5. PROFESI Banyak literatur yang sesuai tentang profesionalisme dalam peksos, dan apakah itu sesuai atau tidak untuk kerja sosial untuk menyebut diri mereka sendiri sebagai sebuah profesi (misalnya Ife 1997b; Pease & Fook 1999; Healy 2000). Sebagai bahan diskusi kali ini, kita akan fokus pada arti dari kata “profesi” itu sendiri. Apakah penggunaan istilah 'profesi' dalam definisi diri peksos memiliki implikasi HAM untuk pekerja sosial? Profesi peksos dikecam oleh seorang penulis karena tidak pantas memegang kekuasaan profesi sebagai bentuk kontrol (Foucault 1970; Illich et al. 1977).
Jika ini masalahnya, maka profesi memiliki implikasi HAM yang signifikan, dan penggunaan istilah profesi HAM adalah kebodohan. Jika profesi ini dijalankan dengan melemahkan klien, maka ini tidak cocok dengan perspektif HAM sebagaimana yang sudah saya jelaskan pada bab-bab terdahulu. Maka, seorang peksos yang makin cepat berhenti berfikir bahwa dirinya adalah sebuah profesi, itu lebih baik.
Argumen yang mengkaunter adalah bahwa profesi peksos telah membawa banyak manfaat bagi peksos, dan status profesionalnya memungkinkan ia menjadi lebih efektif dalam 5
bekerja melakukan perubahan. Ini juga memungkinkan mereka untuk menjadi lebih mandiri dan memberi mereka kekuatan untuk tidak harus selalu mentah-mentah mengikuti perintah manajer, birokrat dan politisi. Dari perspektif ini, pekerja sosial untuk menyerahkan status profesional mereka dan menempatkan diri dalam posisi yang lemah untuk mencapai tujuan keadilan sosial. Selain itu, profesionalisme memerlukan kepatuhan standar kompetensi praktek dan perilaku etis, yang jelas penting. Penggunaan kata “profesional” untuk menggambarkan pekerjaan sosial dan pekerja sosial memiliki keunggulan dan juga masalah. Dari perspektif HAM, penting untuk disadari kekuatan hubungan dan asumsi keahlian yang unggul dari sebagian pekerja sosial yang difahami sebagai profesionalisme. Ini adalah counter prinsip-prinsip HAM karena peksos memiliki hak istimewa dibandingkan klien dan ini akan melemahkan klien. Jika istilah “profesional” digunakan untuk menggambarkan pekerjaan sosial atau pekerja sosial, maka harus dipastikan bahwa itu disertai dengan analisis yang memadai untuk melindungi HAM mereka yang kurang beruntung. Jika tidak, maka penggunaan istilah itu justeru akan mengikis perspektif HAM.
B. PROSES-PROSES PEKERJAAN SOSIAL Pekerjaan sosial mempekerjakan berbagai praktek metode yang luas. Meski tidak cukup ruang di sini untuk mengkaitkannya, namun menguji beberapa praktek kerja sosial yang lebih umum akan memungkinkan prinsip-prinsip HAM tertentu harus diidentifikasi.
B.1. INTERVIEW wawancara telah lama dianggap sebagai pusat metode peksos, meskipun kebanyakan pekerja sosial benar-benar menghabiskan hanya sebagian kecil dari hari kerja mereka dalam kontak wawancara formal dengan klien. Wawancara peksos biasanya dibangun dalam posisi tawar yang timpang. Pekerja sosial menjadi orang yang mengontrol proses wawancara, bukan klien.
Hal ini tidak berarti bahwa semua wawancara pekerjaan sosial menindas dan melanggar HAM klien. Ini jelas berlebihan dan akan menghina banyak pekerja sosial yang mengambil pandangan yang sangat berbeda dari peran mereka dalam wawancara. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa pola wawancara yang tradisional dalam pekerjaan sosial tidak kondusif untuk mengejar praktik berbasis HAM, bahwa konstruksi ini dapat semakin menindas oleh 6
peksos tanpa disadari. Maka, model wawancara yang memasukkan isu HAM, penting dilakukan. Maka, perlu ada konstruksi alternatif untuk menggantikan istilah antara peksos dan klien. Misalnya, ada istilah “talking with” (berbicara dengan) atau “having conversation with” (sedang bercakap-cakap dengan) orang yang ditangani.
Dalam interview (atau percakapan, diskusi, chatting, atau apa pun yang kita pilih untuk menyebutnya) ada prinsip-prinsip tertentu yang perlu dilakukan jika perspektif HAM harus dijaga. Yang terpenting, hak-hak klien harus dihormati di sepanjang waktu itu. Ini termasuk hak untuk Bebas berekspresi, hak untuk diam, hak untuk diperlakukan dengan terhormat dan martabat, dan hak untuk memiliki kontrol atas pertukaran: durasi waktu, struktur, nada, lokasi, dan sebagainya. B.2. KELOMPOK Semua pekerja sosial bekerja dalam kelompok, baik satu jenis ataupun tidak. Sering apa yang disebut sebagai “group-work” (kerja kelompok) hanya merujuk kepada satu jenis kelompok, melibatkan orang yang mungkin diidentifikasi sebagai klien atau anggota masyarakat, dengan pekerja sosial sebagai kepemimpinan atau fasilitator. Tetapi pekerja sosial juga bekerja dalam banyak situasi kelompok yang berbeda, misalnya tim pertemuan, konferensi kasus, kelompok aksi, Komite Manajemen. Konstruksi “group-work” untuk menerapkan hanya satu jenis grup ini mirip dengan mengkonstruksi “interview” sebagai menerapkan hanya salah satu bentuk interaksi interpersonal. Keduanya cenderung untuk membatasi penerapan keterampilan peksos; sama seperti keterampilan interpersonal yang sering dikonstruksi hanya sebagai menerapkan untuk interview, keterampilan group-work sering dikonstruksi berlaku hanya bagi kelompok-kelompok di mana pekerja sosial adalah pemimpin atau fasilitator.
Dari perspektif HAM, yang penting adalah bagaimana bisa demokratis dan pastisipatif, bukan bagaimana engagement, mendukung, praktek yang membatasi partisipasi dan meningkatkan kontrol kelompok oleh satu atau beberapa anggota.
Ada satu cara dimana partisipasi dan proses yang demokratis dapat difasilitasi pada kelompok-kelompok kecil (Gastil 1993). Pekerja sosial, terutama mereka yang memiliki pengalaman dalam pengaturan kelompok dan komunitas, yang akrab dengan prinsip-prinsip praktek tersebut, yaitu respect for others (menghormati orang lain), sehingga semua anggota bisa bicara, dan berdasarkan konsensus pengambilan keputusan.
7
B.3. PROSES KEMASYARAKATAN Pekerjaan sosial dengan proses masyarakat juga perlu memastikan bahwa praktik mereka menghormati HAM dan termasuk memberikan peluang secara memadai bagi orang untuk melaksanakan HAM dan menghormati hak orang lain. Ini telah menjadi perhatian khusus literatur peksos kemasyarakatan. Khususnya yang berusaha menggabungkan metode nonkekerasan, pengambilan keputusan berdasarkan konsensus dan pemberdayaan.
Ada beberapa aspek kerja masyarakat yang tidak sesuai dengan kerangka HAM. Ini termasuk pendekatan orientasi-konflik kerja kemasyarakatan dari penulis yang dipengaruhi oleh Alinsky (1971). Seperti yang juga kita lihat, seperti pendekatan yang menggabungkan metafora militeristik, yang menggunakan istilah 'pemenang' dan 'kalah', dan memisahkan antara tujuan-sarana, dengan asumsi bahwa tujuan adalah yang terpenting, adapun sarana, kekerasan atau sebaliknya, hanya dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan itu. Kunci untuk praktek sukses di sini adalah untuk memastikan bahwa, sebagai contoh, keputusan untuk membatasi partisipasi masyarakat pada pertemuan bukan merupakan keputusan satu orang, tapi hasil konsultasi yang maksimal dan konsensus bersama. Sehingga, keputusan yang diambil benar-benar bersama oleh seluruh anggota kelompok. Dengan cara inilah perspektif HAM dapat dijaga dan ditingkatkan. B.4. PERENCANAAN Paradigma perencanaan memerlukan definisi yang jelas tentang tujuan atau hasil yang akan dicapai, dan memang ini sering diperlukan untuk program yang akan didanai. Masalahnya adalah bahwa hal ini biasanya terjadi sebelum peksos bertemu dengan klien (orang atau masyarakat). Hal ini sangat sulit untuk bisa selaras antara teori dan praktik. Bahkan itu langsung meniadakan itu dan melibas hak self-determinaton klien (individu dan masyarakat). Ini berakibat pada layanannya tidak berefek sama sekali. Perencanaan model seperti ini tidak boleh diambil. Perencanaan harus melibatkan apa yang dibutuhkan klien dari suara klien sendiri. Dengarkan suara klien. Inilah cara peksos bekerja yang berbasis prinsip-prinsip HAM dan bukan sebaliknya melanggar hak klien untuk menentukan nasibnya sendiri (selfdetermination).
Metafora perjalanan dapat digunakan untuk menggambarkan dua pendekatan bagi pekerjaan sosial. Yang pertama adalah perjalanan menuju tujuan yang dikenal, mengikuti rute yang ditetapkan, menggunakan peta, dan menjaga sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Yang kedua adalah perjalanan petualangan, di mana kita tidak tahu akan pergi kemana, atau yang terbaik memiliki tujuan yang tidak jelas, kemana rute sebagian besar belum dipetakan, dan dimana kita tidak memiliki ide, berapa lama perjalanan akan mengambil. 8
Untuk perjalanan pertama, mengambil jalan menyimpang yang tak terduga adalah gangguan yang mengganggu jadwal kita, sementara untuk jenis perjalanan kedua adalah itu berarti kesempatan untuk pergi ke suatu tempat yang baru dan belajar atau mengalami sesuatu yang berbeda. Untuk perjalanan pertama, tujuannya adalah untuk datang, dan perjalanan itu sendiri adalah pengalih perhatian untuk dihilangkan secepat mungkin, sedangkan untuk yang kedua, kedatangan hampir sekunder: tujuannya adalah untuk mengeksplorasi, untuk mengalami, untuk belajar, dan perjalanan itu sendiri adalah untuk dinikmati dan berharga. Kadang-kadang kita perlu untuk pergi pada satu jenis perjalanan dan kadang-kadang kita perlu untuk pergi di sisi lain. Dapat dikatakan bahwa pekerjaan sosial, seperti banyak kegiatan lain, memiliki terlalu banyak berkonsentrasi jenis berorientasi pada tujuan pertama dari perjalanan dan mengabaikan pentingnya perjalanan penemuan.
Itulah esensi peksos yang berbasis pemberdayaan, dan itulah diperlukan jika kita kreatif mencari alternatif terhadap struktur yang menindas dan dehumanis yang mempengaruhi pekerja dan klien agar sama. Ini adalah perjalanan praksis-dialogis, pekerja sosial dan klien dapat mengambil peran bersama. Ini memang lebih sulit, kurang dapat diprediksi dan lebih berbahaya jalannya, tapi akhirnya kita tidak memiliki alternatif kecuali jika kita ingin tetap terjebak dalam paradigma praktik rasionalis modernis yang buntu, yang secara signifikan telah gagal memenuhi tujuan keadilan sosial dan HAM. Dan hanya dengan memulai perjalanan bersama klien, pekerja sosial dapat benar-benar menghormati hak klien untuk penentuan diri dan seluruh pernak-pernik HAM yang mengalir darinya.
B.5. MANAJEMEN Manajemen bukanlah sebuah perusahaan monolitik. Ada banyak pendekatan yang berbeda untuk itu, dan gagasan tentang apa yang merupakan “manajemen yang baik” diuji (Jones & Mei 1992; Harlow & Lawler 2000).
Kunci untuk praktek yang menghargai HAM adalah untuk memastikan bahwa itu benarbenar partisipatif, struktur dan psoses yang dialogis, sehingga masalah ini bukanlah manajer menjadi hukum, atau manajer melaksanakan kuasa sedemikian rupa bahwa itu menekan atau menyangkal partisipasi aktor lain. Manajemen bisa partisipatif dan dialogis selama manajer mengambil langkah untuk menciptakan ruang bagi partisipasi yang lain terlibat dan tidak berupaya menggunakan hubungan kekuasaan yang timpang, berpotensi untuk mendominasi atau mengontrol.
9
Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah untuk Manajer harus sangat faham bahwa ia juga dapat belajar dan tumbuh dari proses, yang terletak kebijaksanaan dengan klien, dan proses dua arah.
Maka, model hubungan dialogis dapat mulai dikembangkan, antara peksos-klien, mendefinisikan ulang hubungan kekuatan keduanya, yang tadinya tidak seimbang, sehingga menjadi seimbang.
Praktek-praktek manajemen lainnya dapat juga mendukung atau menghambat HAM. Pengenalan dan dukungan dari praktik organisasi yang memaksimalkan partisipasi pekerja dan klien dalam pengambilan keputusan adalah salah satu inisiatif penting yang perlu dilakukan oleh Manajer yang berorientasi HAM. Ini dapat dicapai dengan beragam cara, tergantung konteks organisasi, dan tidak dapat dijelaskan secara lebih detail di sini. Lembaga praktek kerja yang baik, kesehatan kerja dan langkah-langkah keamanan, penyediaan Penitipan Anak, akses untuk orang Cacat, layanan yang simpatik dan fleksibel untuk mengambil cuti untuk alasan pribadi dan keluarga, ibu dan ayah, pengakuan dan dukungan buruh, dan penghapusan Kebijakan dan praktik yang diskriminatif adalah cara penting dimana Manajer dapat mendukung HAM di tempat kerja.
Manajer peksos juga memiliki tanggung jawab yang jelas untuk kebijakan dan prosedur yang menghormati dan lebih lanjut HAM klien. Misalnya, memastikan bahwa semua klien diperlakukan dengan terhormat dan bermartabat, mereka memiliki kesempatan yang maksimal untuk mengontrol dan layanan langsung yang mereka terima dan memberikan umpan balik kepada organisasi sehingga layanan dapat ditingkatkan. Memastikan programprogram dari lembaga sesuai dengan standar HAM.
B.6. BATAS-BATAS Gagasan tentang batas-batas profesional mempunyai tempat penting dalam konstruksi peksos (Ragg 1977). Batas antara kehidupan pribadi dan profesional perlu dijelaskan dan dipelihara. Ini diletakkan pada dua sisi. Pertama, integritas profesi, dan kedua adalah praktek profesional. Keduanya dipandang memerlukan batas yang jelas. Jika masalahmasalah pribadi diperbolehkan untuk menyeberang ke kehidupan profesional, maka penilaian profesional akan kabur dan satu akan bertindak sebagai akibat dari kebutuhan sendiri daripada kebutuhan klien.
Perilaku profesional dan Pribadi adalah berbeda; dalam situasi tertentu yang dapat bertindak sangat berbeda sebagai pekerja sosial profesional dan ketika pribadi. Jika batasan ini tidak 10
jelas diambil dan dipelihara, maka pekerja sosial mungkin bertindak tidak “profesional” di tempat kerja, atau mengganggu teman dan Keluarga dengan “bertindak sebagai pekerja sosial” di rumah.
Pembenaran lain untuk batas-batas profesional adalah kesehatan mental peksos, dan sebagai pertahanan terhadap kelelahan akibat stress kerja. Batas yang jelas dapat mengaktifkan pekerja sosial untuk memimpin kehidupan yang seimbang. Semua orang berhak untuk hidup “diluar peksos”, dan ini adalah satu hak.
Konteks budaya yang berbeda juga akan memainkan peran dalam perbedaan definisi tentang batas-batas. Memang ini mungkin dianggap bahwa pemisahan profesional dan Pribadi secara kaku merupakan khas Barat dan tidak masuk akal dalam tradisi budaya lain yang lebih holistik dalam pandangan dunia mereka. Pekerja sosial masyarakat adat, dan beberapa
pekerja
bebas
adat
yang
bekerja
dengan
masyarakat
adat,
sangat
mempertanyakan keabsahan pemisahan pribadi versus profesional secara kaku. B.7. SUPERVISI Penggunaan kata “supervisi” telah kita bahas di atas. Fokus kami di sini adalah bagaimana supervisi dipraktekkan. Seperti yang ditunjukkan dalam diskusi sebelumnya, yaitu peksos harus bisa “merasa sejajar” dengan klien.
Ada beberapa pendekatan yang mungkin bisa dicoba untuk pengawasan yang terbebas dari citra membatasi dan kontrol dan membuatnya lebih dialogis serta mendukung HAM. Pertama, adalah untuk memindahkan supervisi dari konstruksinya tradisional individu, kepada supervisi kelompok. Supervisi-kelompok (Hawkins & Shoher 1989) memungkinkan untuk lebih interaktif, lebih banyak pandangan yang terungkap, dan lebih banyak kebijaksanaan untuk dibagikan, meskipun tentu ada dampak negatif dari dinamika kelompok dapat menyebabkan masalah tambahan. Ini mungkin tidak selalu menjadi solusi yang ideal, tetapi terkadang layak dipertimbangkan. Ke dua, adalah untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada peksos dengan siapa dia keinginan menjadi supervisor. Kecocokan pribadi, ideologi atau kesamaan dasar teoritis, kepentingan di luar, dan faktor-faktor seperti umur atau jenis kelamin akan berpengaruh pada hubungan, dan memang setiap pekerja sosial senior dapat berhasil jika bekerja sama dengan pekerja sosial 'junior' yang lain.
11
C. STRUKTUR PEKERJAAN SOSIAL Bagian ini membahas struktur dengan pekerja sosial dalam pekerjaan. Pekerja sosial tidak hanya memberikan layanan tetapi mereka juga bekerja dalam organisasi dan sebagai bagian dari sebuah profesi. Bagian dari peran kerja sosial adalah untuk memastikan bahwa organisasi kerja sosial dan profesional struktur ini didasarkan pada prinsip-prinsip HAM.
C.1. PERAN KLIEN
Klien harus bisa memilih pekerja sosial yang akan bekerja bersamanya.
Aktivitas supervisi harus bisa meleburkan antara klien-peksos dalam proses pembangunan yang reflektif.
Klien diberi hak untuk menentukan proses rekrutmen peksos yang akan membantu dirinya.
Klien dilibatkan dalam proses kebijakan, prosedur, dan semua aturan organisasi yang terkait dengan pelayanan.
C.2. STRUKTUR DAN PRAKTIK ORGANISASI
Perhatian pada struktur organisasi adalah penting, seperti sering kendala organisasi yang menghambat praktek yang berbasis HAM. Terkadang saluran informal lebih efektif daripada formal.
Perubahan organisasi adalah perlu untuk menyelesaikan beragam masalah, baik terkait solusi manajerial, dan restrukturisasi lembaga, dan terkadang memerlukan peran negara.
Pekerja sosial bisa mengambil peran pada organisasi yang sedang melakukan perubahan. Peluang bagi peksos adalah ia ikut andil dalam re-definisi dan secara aktif melakukan engagement dalam proses re-strukrisasi, sehingga struktur menjadi lebih kondusif bagi pencapaian HAM.
C.3. STRUKTUR DAN PROSES YANG PROFESIONAL 1) Dari perspektif HAM, asosiasi profesional dapat memainkan peran yang sangat penting. Melalui struktur akreditasi dan melanjutkan pendidikan, asosiasi profesional dapat mendorong jenis praktek yang berbasis HAM. Ini sudah kita bahas di Bab 10.
12
2) Asosiasi berperan penting dalam mendefinisikan praktek peksos dalam konteks nasional tertentu, ini memberikan suara yang kuat dalam menetapkan HAM sebagai dasar untuk pekerjaan sosial. Caranya dengan:
Penetapan pedoman akreditasi,
Persyaratan untuk keanggotaan,
Penetapan kode etik,
Dalam representasi kepada pemerintah,
Dalam publisitas
Dalam hubungan mereka dengan sekolah-sekolah pekerjaan sosial, dan seterusnya.
3) Penting bagi asosiasi profesional untuk mencerminkan prinsip HAM dalam struktur dan praktek mereka. Hal ini memerlukan untuk memperhatikan masalah inclusivity dan untuk menjaga terhadap praktek-praktek yang mengecualikan orang-orang tertentu dari menjadi pekerja sosial. 4) Selain itu, struktur asosiasi profesional itu sendiri harus mencerminkan prinsip-prinsip HAM, dalam hal memaksimalkan demokrasi yang partisipatif dalam Asosiasi, memastikan bahwa beberapa pekerja sosial tidak tersingkir karena latar belakang mereka atau pandangan mereka tidak populer, dan memastikan bahwa prosesproses yang diikuti transparan dan partisipatif. 5) Cara lain di mana asosiasi profesional dapat memainkan bagian penting dalam peksos berbasis HAM adalah dengan melembagakan kesadaran HAM dan lokakarya pelatihan untuk pekerja sosial dan lain-lain yang bekerja di bidang pelayanan manusia. Lokakarya tersebut dapat membantu pekerja sosial untuk fokus pada isuisu HAM. Misalnya:
Lokakarya dapat memfokuskan pekos pada isu-isu HAM
Mengembangkan jaringan diantara peksos yang berbasis HAM
Menentukan prioritas agenda HAMA
Mengembangkan strategi aksi yang layak.
6) Asosiasi profesional memiliki peran penting dalam membuat perwakilan kepada pemerintah nasional tentang isu-isu HAM, terutama hal-hal yang menjadi perhatian khusus bagi pekerja sosial. 7) Peran terakhir dan yang paling penting untuk asosiasi profesional adalah untuk mendukung pekerja sosial yang berdiri sendiri berkiprah pada isu-isu HAM bahkan yang menjadi korban pelanggaran HAM.
13
D. PENDIDIKAN PEKERJA SOSIAL Perspektif HAM jelas berimplikasi pada pendidikan peksos. Implikasi yang paling jelasnya adalah:
Masuknya materi tentang HAM
Pendekatan HAM untuk praktik peksos,
Masuknya HAM pada kurikulum peksos
D.1. PENDIDIKAN YANG MENYIMPAN ATAU PENGAJARAN YANG KRITIS Penjelasan Freire
tentang pengajaran yang kritis (1996), berbeda dengan konsep
konvensional tentang Penyimpanan pendidikan, telah sangat berpengaruh dalam teori dan praktek peksos.
Secara singkat, konsep penyimpanan melihat pendidikan sebagai tentang mahasiswa memperoleh sesuatu yang disebut 'pengetahuan', yang disimpan di otak siswa, persis seperti uang di bank. Dalam konsep ini, guru mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan, memahamkan siswa, dan siswa hanya belajar dan mengerti. Tidak ada proses perubahan pengetahuan.
Sebaliknya, pengajaran yang kritis, menuntut guru dan siswa aktif terlibat, bersama-sama, dengan subjek kajian. Pengetahuan bukanlah netral tetapi kontekstual, guru dan siswa keduanya membangun dan merekonstruksi pengetahuan, ada dialog dengan satu sama lain. Hal ini sama dengan proses praksis-dialogis yang sudah kita bahas pada bab 10 yang lalu.
Pendekatan pedagogi yang kritis untuk pendidikan pekerjaan sosial akan memperkuat pendekatan HAM untuk pekerjaan sosial. Jika hubungan antara sarana dan tujuan dihargai, maka bentuk pendidikan diperlukan untuk peksos yang berbasis HAM. Maka, bentuk praktik pendidikan yang paling menghormati HAM siswa adalah yang menempatkan siswa sebagai peserta aktif dan otonomi dalam belajar proses, bukan hanya pasif menerima pengetahuan.
Selanjutnya, adalah salah satu aspek penting dari pendidikan adalah modelling (pemodelan), dan jika pendekatan praksis-dialogis dimodelkan di sekolah peksos, makak akan jauh memperkuat perspektif HAM bagi siswa.
14
D.2. PILIHAN SISWA Pendekatan hak asasi manusia yang berbasis kerja sosial pendidikan akan berusaha untuk menghormati hak-hak siswa untuk memilih, misalnya, unit kajian, penempatan di lapangan, pendidik lapangan, bentuk assesment, supervisor penelitian, dan sebagainya. Ini artinya siswa sebagai peserta aktif dapat mengambil tanggung jawab untuk belajar mereka sendiri dan ini lebih menghargai HAM. D.3. BELAJAR KOLABORATIF Gagasan tentang pembelajaran kolaboratif menyiratkan kolaborasi di antara mahasiswa secara internal, maupun antara siswa dan pendidik. Masing-masing dapat melayani untuk mempromosikan HAM dalam pendidikan dengan menghargai kontribusi dari semua yang terlibat dalam proses, dan juga dengan memperkuat hak-hak siswa, secara individual dan kolektif, self-determination dalam proses pendidikan. Pembelajaran kolaboratif merupakan komponen penting dari pedagogi yang kritis. Hal ini membutuhkan tujuan belajar diatur melalui dialog pendidik-siswa, keduanya dianggap memiliki hal-hal yang signifikan untuk berkontribusi pada proses pembelajaran, dan keduanya aktif. Pembelajaran kolaboratif diantara mahasiswa, menggunakan grup, tidak hanya dapat menjadi cara yang memaksimalkan sumber-sumber pengajaran langka tetapi juga dapat melayani tujuan penting menantang asumsi-asumsi individualis yang mendasari praktek pendidikan dan kerja sosial. Pemberdayaan yang berpotensi hadir dalam situasi kelompok itu sendiri dapat menjadi pengalaman belajar yang penting bagi siswa. D.4. KLIEN DAN PEKERJA Keterlibatan klien harus menjadi pusat perhatian penting dalam pendidikan pekerjaan sosial. Dengan tidak memasukkan suara klien, maka klien secara diam-diam dikurangi perannya, dan proses pendidikan dibangun untuk mengecualikan orang-orang yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari program pendidikan. Klien dapat dan harus memiliki peran penting jika perspektif HAM harus dijaga dan semua suara untuk didengar. Praktisi pekerja sosial juga memiliki banyak kebijaksanaan untuk membawa pendidikan pekerjaan sosial, dan sebagian besar pekerjaan sosial sekolah sudah membuat baik penggunaan pekerja sosial sebagai sesi instruktur. Di sini kita bisa melihat potensi untuk penggabungan pendidikan peksos dengan praktek peksos dalam cara yang lebih mendasar daripada dalam bidang program pendidikan, dimana peksos, mahasiswa, klien, dan pendidik, semuanya menjadi aktor signifikan dalam aktivitas “pendidikan-praktik-penelitian yang bermutu. 15
D.5. ASSESMENT Penilaian siswa adalah salah satu aspek pendidikan yang dapat bermasalah dalam istilah HAM, karena ada perbedaan kekuatan antara pendidik dan siswa paling tajam dirasakan. Penilaian dilakukan pendidik terhadap siswa, tetapi siswa tidak dapat menilai guru. Ketidakseimbangan ini dapat merusak usaha-usaha untuk berlatih pengajaran yang kritis dalam sekolah peksos.
Ada beberapa langkah untuk meminimalkan dampak dan bekerja ke arah hubungan lebih dialogis, lebih menghormati hak-hak siswa. Salah satu cara adalah:
Melibatkan siswa dalam proses penentuan bentuk penilaian yang paling tepat. Kadang-kadang ini dapat dilakukan secara individual dimana siswa dapat memilih penilaian, disaat lain siswa dan pendidik berbicara bersama-sama sebagai sebuah kelompok. Kadang-kadang, juga, seorang mahasiswa mungkin mampu memiliki pilihan fakultas yang anggota akan menilai kerjaannya.
Siswa juga bisa terlibat dalam proses penilaian itu sendiri, diminta untuk merenungkan pekerjaan mereka sendiri dan membicarakannya dengan pendidik. Dengan cara ini penilaian itu sendiri dapat menjadi bagian dari proses dialogis.
Pendidik juga dapat mengubah sifat proses penilaian dengan memberikan cukup tidak cocok dengan penilaian untuk praktekpeksos. Umpan-balik kualitatif yang signifikan dapat dijadikan untuk membuat surat atau nomor urutan “kurang penting” untuk setidaknya beberapa siswa.
Cara lain di mana ketidaksetaraan hubungan penilaian dapat diatasi adalah dengan membangun mekanisme yang tepat bagi siswa untuk menilai pendidik. Misalnya melalui survey dan kuisioner.
D.6. PENDIDIKAN LAPANGAN Pendidikan lapangan adalah komponen utama dari pendidikan peksos. Dalam seting kerja lapangan ada beberapa keuntungan untuk menerapkan perspektif HAM. Beberapa di antaranya sudah kita bahas, misalnya memungkinkan mahasiswa secara maksimum diinformasikan tentang pilihan dalam pemilihan badan, supervisor, Universitas penghubung staf dan pekerjaan untuk dilakukan. Pilihan seperti memvalidasi siswa dan hak mereka untuk kontrol secara maksimum atas arah dan konten pembelajaran.
16
Supervisor peksos telah dibahas panjang, dan masalah yang sama dapat dilihat sebagai menerapkan supervisi peksos mahasiswa saat penempatan. Pembelajaran harus dimaksimalkan, dan hak-hak siswa harus dihargai, jika proses supervisi dapat dialogis, dengan pembelajaran bermutu dan ada umpan balik.
Keterlibatan klien dalam proses pendidikan dan evaluasi pekerja sosial juga telah dibahas dalam bagian sebelumnya, dan lagi perpanjangan alami akan menerapkan ini untuk bidang pendidikan siswa. Cara ini perlu agar klien dapat memiliki peran aktif dalam supervisi dan evaluasi peksos siswa.
Akhirnya, pendidikan lapangan memberikan banyak kesempatan bagi siswa untuk terlibat dengan masalah HAM dalam cara yang praktis, dengan menggunakan seluruh jajaran keterampilan peksos. Program pendidikan lapangan peksos bisa dibingkai di sekitar isu-isu HAM, meliputi berbagai hak asasi manusia dan berbagai metode peksos, tetapi secara khusus menggunakan istilah HAM untuk menentukan peran dan tugas peksos, dan untuk memeriksa isu-isu etika, nilai-nilai, kebutuhan dan keragaman budaya, dan sebagainya.
D.7. DESAIN KURIKULUM Desain kurikulum kerja sosial adalah sasaran penting untuk wacana konstruksi peksos. Apa yang akan dikaji/tidak, bagaimana itu diintegrasikan dan bagaimana itu difikirkn, inilah kenapa desain kurikulum memiliki peran utama dalam meneterjemahkan peksos dipahami dan dipraktekkan oleh generasi mendatang.
Secara tradisional, keputusan ini sebagian besar dibuat oleh tiga kelompok: pendidik peksos, para pekerja, dan asosiasi profesi atau badan akreditasi.
Bagaimana desain kurikulum dapat memenuhi persyaratan dari pendekatan HAM untuk peksos? Jelas, dimasukkannya materi tentang HAM dan pengembangan perspektif HAM pada praktik adalah penting. Tapi dalam bab ini kita lebih peduli dengan proses daripada isi, dan hal ini memerlukan pemeriksaan untuk desain kurikulum.
Sebagaimana ditunjukkan di atas, secara tradisional kurikulum dirancang dengan masukan dari para pendidik, pekerja, dan profesi. Ada ada dua kelompok kunci yang selalu dilupakan, yaitu klien dan siswa. Jika proses desain kurikulum loyal pada prinsip-prinsip HAM, penting bahwa suara-suara ini juga akan mendengar dan bahwa proses didirikan untuk memastikan bahwa mereka memiliki tidak hanya tanda masukan tetapi mampu memainkan peran yang
17
bermakna dalam desain kurikulum dan keputusan tentang apa yang diajarkan dan bagaimana ini harus diajarkan. D.8. JANJI DAN EVALUASI AKADEMIK Jika perspektif HAM harus dijaga dalam pengoperasian pendidikan peksos, maka sangat penting masukan dari siswa dan klien dalam proses perekrutan, penunjukan, evaluasi dan promosi staf akademik. Metode tradisional proses ini melibatkan staf Universitas tetapi tidak sering melibatkan siswa atau penerima layanan profesional mereka siswa akan menawarkan setelah lulus. Sekali lagi, kasus ini adalah tentang suara yang lemah terpinggirkan oleh yang lebih kuat, dan perspektif HAM akan menemukan cara bagaimana mereka bisa didengar. Ini dengan melibatkan siswa dan client dalam perwakilan pada perekrutan dan pemilihan panel, kepemilikan komite, Komite promosi, dan sebagainya. ***
18
BAB III PEMBAHASAN MENGHARGAI HAM DALAM PRAKTIK PEKSOS
Praktik profesi pekerjaan sosial harus mampu menjamin penghargaan terhadap HAM. Sudah sejak lama profesi peksos dibentuk dan difahami sebagai profesi pertolongan klien. Namun, dalam konsumsi wacana, sebagai media penyempurnaan teori dan praktik, perlu digarisbawahi sejumlah hal yang berpotensi melanggar perspektif HAM, meski HAM adalah agenda utama peksos.
Ada empat hal dalam praktik peksos yang berpotensi melanggar HAM. Keempat hal itu adalah: A. Bahasa peksos: Label klien Intervensi Adopsi istilah militer Supervisi Profesi B. Proses peksos Intervensi Kelompok Proses kemasyarakatan Perencanaan Manajemen Batas-batas Supervisi C. Struktur peksos Peran klien Struktur dan praktik organisasional Struktur dan proses profesional D. Pendidikan peksos Pendidikan menumpuk atau pengajaran kritis Pilihan siswa Pembelajaran kolaboratif 19
Klien dan pekerja Assesment Pendidikan lapangan Desain kurikulum Janji dan evaluasi akademik Keempat segmen besar tersebut bersimpul pada satu hal, yaitu tidak memperhatikan perspektif HAM.
Substansi dari perspektif HAM adalah memberikan ruang partisipasi demokratis kepada kolega, mendengarkan suara mereka, baik dalam penggunaan istilah yang tidak menciderai rasa kemanusiaan, proses yang manusiawi, struktur yang membangun, dan pendidikan yang praktis-dialogis.
***
20
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada dua bab terdahulu, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: Profesi pekerjaan sosial, meski merupakan profesi pertolongan yang sejalan dengan agenda HAM, akan tetapi dalam praktiknya berpotensi melanggar perspektif HAM. Ada empat segmen dalam profesi peksos yang berpotensi melanggar H A M, yaitu: (i) Bahasa peksos, (ii) Proses peksos, (iii) Struktur peksos, dan (iv) Pendidikan peksos. Keempat segmen besar tersebut bersimpul pada satu hal, yaitu tidak memperhatikan perspektif HAM. Substansi perspektif HAM adalah memberikan ruang partisipasi demokratis kepada kolega, mendengarkan suara mereka, baik dalam penggunaan istilah yang tidak menciderai rasa kemanusiaan, proses yang manusiawi, struktur yang membangun, dan pendidikan yang praktis-dialogis.
SARAN 1. Pekerja Sosial harus benar-benar aware dengan perspektif HAM, sehingga tidak justeru berpotensi melanggar HAM yang ia usung untuk dibela. 2. Pemutakhiran kode-etik, standar kompetensi praktik, sertifikasi profesi, dan beragam pelatihan perlu dilakukan oleh IPSPI sebagai asosiasi profesi sehingga tidak berpotensi melanggar HAM.
***
21
DAFTAR PUSTAKA
Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the Developing World”, Palgrave Mac-Millan, 2011. Downloaded from: http://bookre.org/reader? file=1434909&pg=1 , at August 29th 2013. Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008;
***
22