BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak bagi semua manusia dianggap sebagai dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia, sehingga hak asasi manusia perlu dilindungi oleh suatu peraturan hukum. Pernyataan ini tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dijadikan dasar bagi pembentukan berbagai perjanjian dan kovenan internasional mengenai hak asasi manusia (HAM). Secara harfiah, HAM dapat dimaknai sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Dengan kata lain, karena dia manusia maka dia memiliki hak-hak tersebut. Hak-hak ini bersumber dari pemikiran moral manusia, dan diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat suatu individu sebagai seorang manusia. HAM dapat diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran. Isu mengenai HAM merupakan suatu tuntutan kemanusiaan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (UDHR) mengakui manusia sebagai individu yang menyandang status sebagai subjek hukum internasional di samping negara. Oleh karena itu, masyarakat internasional sudah sepatutnya memberlakukan HAM secara adil dan dengan cara yang sama, berdasarkan persamaan derajat dan penekanan yang sama, meskipun terdapat perbedaan penafsiran mengenai HAM
1
2
antara Barat dan Timur. Hal ini karena pada hakikatnya semua kategori HAM bersifat universal. Hak asasi manusia merupakan salah satu masalah global dalam isu-isu nonkonvensional dalam hubungan internasional. Salah satu di antaranya adalah permasalahan pengungsi atau refugee. Pengungsi merupakan masalah bersama masyarakat internasional, terutama karena salah satu sifatnya yang melintasi batas teritorial suatu negara. Oleh karena itu, menempatkan isu pengungsi pada agenda internasional secara lebih tinggi akan menciptakan kesempatan baru untuk melakukan tindakan internasional. Di sinilah kepedulian masyarakat internasional akan tergugah karena nasib para pengungsi berkaitan dengan HAM. Nasib pengungsi tergantung pada kesediaan negara penerimanya (asylum country) dan penegakan HAM agar para pengungsi tetap dapat hidup layak secara kemanusiaan. Di sisi lain, dampak perpindahan pengungsi secara besar-besaran berkaitan dengan stabilitas nasional, baik itu di negara penerima maupun negara asal para pengungsi, serta mekanisme kerja sama regional. Dengan demikian, persoalan pengungsi pada mulanya merupakan masalah domestik suatu negara, namun kemudian meluas menjadi permasalahan negara-negara dalam suatu kawasan, dan akhirnya menjadi permasalahan bersama umat manusia (global). Istilah dan definisi pengungsi pertama kali muncul pada masa Perang Dunia yang dianggap sebagai titik kulminasi dari proses pembangunan sebuah bangsa. Di Indonesia sendiri, istilah pengungsi sering dipahami dalam arti leksikal dan digunakan untuk merujuk orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya dan berpindah ke wilayah lain yang mereka anggap lebih aman. Istilah
3
tersebut tidak memberikan perbedaan antara perpindahan orang-orang karena bencana alam (seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus dan lain-lain) dengan bencana yang dibuat oleh manusia (seperti perang, konflik bersenjata, dan pelanggaran hak asasi dan kebebasan manusia secara sistemik). Istilah tersebut juga tidak memberikan perbedaan antara perpindahan di dalam batas negara atau di luar batas negara. Oleh karena itu, persoalan pengungsi secara umum dipandang sebagai persoalan sosial saja, di mana kebutuhan para pengungsi hanya terdiri dari pelayanan kesehatan dan bantuan material. Sedangkan perlindungan kepada pengungsi hanya dipahami dan dilaksanakan mencakup perlindungan fisik saja, tidak termasuk perlindungan terhadap hak dan kebebasan dasar mereka. Di dalam Konvensi PBB Tahun 1951 mengenai Status Pengungsi, pengungsi adalah mereka yang: ... Memiliki ketakutan yang beralasan akan persekusi atas alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, berada di luar negara kebangsaannya dan tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan diri dari negara itu, atau siapa saja yang tidak memiliki kewarganegaraan dan berada di luar negara tempat dia dulu tinggal sebagai akibat dari peristiwa tersebut, dan tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke sana.
Berdasarkan konvensi di atas, seseorang dikategorikan sebagai pengungsi jika memenuhi tiga ketentuan dasar, yaitu: 1. Mereka berada di luar negara asal mereka atau di luar negara tempat mereka dulu tinggal;
4
2. Mereka tidak mampu atau tidak mau memanfaatkan perlindungan diri dari negaranya itu karena adanya rasa takut yang beralasan akan persekusi atau penganiayaan; 3. Ketakutan akan persekusi tersebut didasarkan pada setidaknya satu dari lima alasan, yaitu ras, agama dan kepercayaan, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, dan pandangan politik. Salah satu gelombang pengungsi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kedatangan pengungsi Timur Timor pada tahun 1999. Pada waktu itu, terjadi kerusuhan di Timor Timur (sekarang Timor Leste) yang menyebabkan kerusakan rumah-rumah dan fasilitas umum serta jatuhnya korban jiwa. Para pengungsi ini terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena takut keselamatan jiwa mereka akan terancaman. Kemudian mereka tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, namun terkonsentrasi di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Hal ini karena Kanupaten Belu (Atambua) berbatasan langsung dengan Timor Leste. Timor Timur dulu merupakan wilayah koloni Portugal. Orang Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuatlah perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu kepada Belanda. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya. Pada tahun 1975, terjadi Revolusi Bunga di Portugal. Pada saat itu, Timor Timur juga sedang bergejolak akibat perang saudara. Gubernur Portugal yang
5
terakhir di Timor Timur, Lemos Pires, meminta Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Timur. Namun karena tidak mendapat jawaban, Lemos Pires memutuskan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Timur untuk mengevakuasi ke Pulau Atauro. Setelah itu, Frente Revolucionária de Timor Leste Independente (Fretilin) menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Timur sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Namun, deklarasi itu tidak mewakili semua suara rakyat Timor Timur. Mereka menolak konsep kemerdekaan yang disuarakan oleh Fretilin dengan alasan bahwa Fretilin merupakan partai yang berhaluan komunis. Selain itu, aktor-aktor utama Fretilin adalah orang-orang Portugis. Dalam hal ini, Portugis tidak pernah mengurusi Timor Leste sebagai koloni mereka di Asia. Oleh karena itu, tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan oleh Fretilin, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Kelompok pro-integrasi meminta dukungan pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan Fretilin. Indonesia masuk ke Timor Timur dengan alasan yang cukup kuat, dimana beberapa bulan sebelumnya Vietnam dan Kamboja baru saja jatuh ke tangan komunis dan dengan berdirinya Republik Demokratik Timor Leste yang beraliran komunis dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi kawasan. Terintegrasinya Timor Timur dengan Indonesia pada waktu itu mendapat dukungan dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Akan tetapi, PBB tidak pernah mengakui integrasi tersebut sampai
6
dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Bahkan PBB memberikan status non-self governing territory atas Timor Timur. Sebagai wilayah Indonesia, masalah Timor Timur dianggap sudah tuntas oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah menganggap bahwa rakyat Timor Timur telah melaksanakan dekolonisasi dan menentukan nasibnya sendiri (right for self-determination) sesuai dengan resolusi PBB 1514 (XV) tahun 1960 dan 1541 (XV) tahun 1960. Meskipun Pemerintah Indonesia menganggap integrasi Timor Timur bersifat final, namun di fora internasional masalah Timor Timur masih tercantum dalam agenda PBB. Indonesia dianggap telah melakukan fait accompli atas masalah Timor Timur ini. Setelah melalui perundingan yang panjang dalam berbagai fora Majelis Umum dan Dewan Keaman PBB, akhirnya diputuskan mengadakan referendum atau plebisit di Timor Timur sesuai dengan resolusi-resolusi PBB. Hal ini karena Portugal sebagai administering power menganggap hak menentukan nasib sendiri belum terlaksana karena proses integrasi Timor Timur ke Indonesia dilakukan tanpa pengawasan dari badan internasional. Referendum tersebut dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dengan dua opsi, yaitu tetap bergabung dengan Indonesia dengan hak otonomi khusus atau lepas dari Indonesia dan menjadi sebuah negara baru. Referendum ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga hasil bentukan dari Resolusi Dewan Keamanan, yaitu United Nations Mission for East Timor (UNAMET) dan United Nations Transition Administrative in East Timor (UNTAET). PBB mengumumkan hasil referendum tersebut pada 4 September
7
1999, yakni 78,5% menginginkan Timor Timur berdiri menjadi negara baru yang merdeka dan 21,5% ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia.1 Pasca-referendum, situasi di Timor Timur mengalami kerusuhan. Terjadi perpecahan di dalam masyarakat antara yang pro-integrasi dan yang prokemerdekaan. Penyerangan dan pembakaran yang menjurus kepada perkelahian antarkubu menyebabkan kondisi di Timor Timur tidak lagi aman. Kerusuhan dan kekerasan tersebut menghasilkan gelombang pengungsi yang mengalir dari Timor Timur ke Indonesia. Persoalan pengungsi berhubungan erat dengan isu hak asasi manusia. Hal ini karena pengungsi adalah kelompok manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi, baik di negara asalnya maupun di negara di mana mereka mengungsi. Mereka adalah orang-orang yang sangat lemah dan tidak memiliki dokumen perjalanan. Kepergian mereka ke negara lain bukan atas keinginan diri pribadi mereka, melainkan karena terpaksa akibat tidak adanya jaminan keselamatan dari negara asalnya atau karena mereka tidak menginginkan jaminan tersebut. Oleh karena itu, pelanggaran atas hak asasi pengungsi sangat rentan terjadi. Dalam UDHR 1948 terdapat pasal yang mengatur mengenai hakhak pengungsi, yaitu: 1. Pasal 13 a. Ayat 1: Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara
1
Anwar. Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 33.
8
b. Ayat 2: Setiap orang berhak meninggalkan suatu negera, termasuk negaranya sendiri, dan berhak kembali ke negaranya. 2. Pasal 14 a. Ayat 1: Setiap orang berhak mencari suaka di negara lain untuk melindungi diri dari persekusi Perlindungan terhadap pengungsi telah ada sejak abad XX. Bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh masyarakat internasional pada masa itu masih bersifat kemanusiaan. Masalah pengungsi ini hanya menimbulkan keprihatinan dan belas kasihan tanpa adanya upaya untuk melindungi secara hukum baik status maupun hak-hak para pengungsi yang merupakan korban tindak kekerasan yang harus dilindungi hak-haknya sebagai manusia yang tertindas. Tindakan internasional baru diberikan atas nama pengungsi setelah Liga Bangsa-Bangsa menetapkan pembentukan badan-badan khusus penanganan masalah pengungsi, misalnya High Commissioner for Refugees di tahun 1921 untuk menangani para pengungsi Rusia dan pengungsi Armenia. Selain itu, juga dibentuk United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) di tahun 1943 untuk merepatriasi (memukimkan kembali) pengungsi akibat Perang Dunia II. Kemudian di tahun 1947 dibentuk pula International Refugee Organization (IRO) untuk menangani masalah pengungsi dan orang-orang yang terlantar pada tahun 1946. Tahun 1950 dibentuk pula Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bernama The UN Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA). Pada tahun 1951 dibentuklah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai badan tambahan (subsidiary organ) dari Majelis Umum PBB.
9
UNHCR merupakan lembaga internasional yang diberi mandat untuk memimpin dan mengoordinasikan tindakan internasional untuk melindungi hakhak pengungsi dan mencarikan jalan keluar bagi permasalahan mereka di seluruh dunia.2 UNHCR berdiri berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 428 (V) tahun 1950 dan keberadaannya diakui sejak bulan Januari 1951. Tujuan pendiriannya adalah untuk menyediakan perlindungan internasional dan mencarikan solusi jangka panjang bagi para pengungsi. Indonesia mulai menghadapi persoalan pengungsi yang serius pada tahun 1975. Beratus-ratus orang meninggalkan wilayah semenanjung Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) untuk mencari perlindungan di negara-negara lain sebagai akibat dari pergantian rezim di wilayah tersebut. Kebanyakan dari mereka, terutama dari Vietnam, menggunakan jalan laut sampai di Indonesia. Saat itu, di Indonesia tidak terdapat kantor UNHCR. Untuk menjamin penerimaan terhadap mereka dan tempat tinggal mereka di Indonesia, UNHCR bertindak melalui Misi Permanen Indonesia di Jenewa dan Kantor Cabangnya di Bangkok, serta mengirimkan stafnya untuk misi jangka pendek. Seorang staf ditugaskan untuk jangka waktu panjang dan kantor di Indonesia dikoordinasikan oleh Kantor Cabang UNHCR di Kuala Lumpur. Dengan dibukanya tempat pengungsi di Pulau Galang, sejak tahun 1981 kantor UNHCR di Jakarta menjadi Kantor Cabang sendiri. UNHCR menjalankan fungsi perlindungan internasional dengan jalan menjamin penghormatan terhadap hak-hak dasar pengungsi, termasuk tanggung 2
UNHCR, “UNHCR Mandate”, dalam http://www.unhcr.org.mt/index.php/about-us/unhcrmandate. Diakses tanggal 24 Oktober 2011.
10
jawab untuk mencari suaka dan menjamin bahwa tidak seorang pun dikembalikan secara paksa ke negara asalnnya di mana ia merasa ketakutan atas penyiksaan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, UNHCR berusaha untuk memberikan solusi yang permanen terhadap para pengungsi dengan jalan membuat liaisons (penghubung) dengan pemerintah-pemerintah, badan khusus PBB, LSM, dan organisasi-organisasi antar-pemerintah. Untuk melindungi hak-hak para pengungsi ada beberapa instrumen hukum internasional yang dapat dijadikan dasar perlindungan terhadap para pengungsi, yaitu Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal HAM 1948, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), dan yang utama Konvensi tahun 1951 mengenai Status Pengungsi dan protokol tambahan tahun 1967.3 Kendala yang sering dihadapi oleh para pengungsi adalah banyaknya negara yang belum menjadi peserta dari instrumen HAM tersebut. Oleh karena itu, tidak jarang kehadiran pengungsi di negara persinggahan (transit) atau negara tujuan mengalami pelanggaran HAM, seperti dipulangkan secara paksa. Perlakuan seperti itu bertentangan dengan hukum internasional yang telah diakui oleh dunia internasional. Indonesia
sendiri
merupakan
salah
satu
negara
yang
belum
menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tambahannya tahun 1967, dan peraturan hukum nasional untuk pencari suaka dan pengungsi di Indonesia belum ada. Di Indonesia, pemerintah merujuk para pencari suaka 3
Romsan. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan PrinsipPrinsip Perlindungan Internasional (Jakarta: UNHCR, 2003), hlm. 117.
11
kepada UNHCR untuk melaksanakan prosedur penentuan status pengungsi. Mereka kemudian diidentifikasi
sesuai dengan kebutuhan perlindungan
internasional oleh UNHCR dan diberikan izin tinggal di Indonesia oleh Pemerintah Indonesia sampai dengan mereka mendapatkan solusi berkelanjutan. Bertolak dari paparan di atas, penulis menganggap cukup banyak hal yang layak untuk diketahui berkaitan dengan masalah peranan UNHCR di Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul: “Peranan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam Penanganan Pengungsi Timor Timur di Indonesia”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Kedatangan pengungsi asal Timor Timur di Indonesia bermula pasca-referendum tahun 1999 yang diprakarsai oleh badan PBB United Nations Mission for East Timor (UNAMET). Hasil referendum yang menyatakan berpisahnya Timor Timur dari wilayah Indonesia, menyulut terjadinya konflik antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Gelombang pengungsi dari Timor Timur pun mengalir deras masuk ke wilayah Indonesia. Mereka terpaksa mengungsi karena adanya ketakutan akan ancaman yang membahayakan jiwa mereka. Oleh karena itu, penulis membatasi objek penelitian ini terhadap pengungsi Timor Timur yang datang ke Indonesia pasca-referendum 30 September 1999. Mengingat besarnya ruang lingkup UNHCR, maka dalam
12
penelitian ini penulis membatasi fokus pada aktivitas UNHCR di Indonesia dalam menangani pengungsi Timor Timur tersebut mulai dari tahun 1999 – 2005. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah yang ingin diteliti ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Upaya-upaya apa yang dilakukan UNHCR dalam menangani pengungsi Timor Timur di Indonesia? b. Faktor-faktor apa yang menjadi pendorong dan penghambat upaya UNHCR dalam menangani pengungsi Timor Timur di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan oleh UNHCR dalam menangani pengungsi Timor Timur di Indonesia. b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat UNHCR dalam menangani masalah pengungsi Timor Timur di Indonesia. 2. Kegunaan Penelitian Apabila tujuan tersebut dapat tercapai maka penelitian ini diharapkan:
13
a. Dapat memberikan informasi dan menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para mahasiswa dan penggiat hubungan internasional. b. Dapat
menjadi
bahan
referensi,
masukan,
dan
tambahan
pengetahuan bagi peneliti lain yang hendak mengadakan penelitian dengan tema yang relevan.
D. Kerangka Konseptual Perubahan konstelasi politik dunia dewasa ini membawa perubahan dalam hubungan antara elemen-elemen yang terdapat dalam tataran hubungan internasional. Hubungan internasional yang pada awalnya mengkaji peperangan dan perdamaian, serta kemudian meluas untuk mempelajari perkembangan, perubahan, dan kesinambungan yang berlangsung dalam hubungan antar-negara atau antar-bangsa dalam konteks sistem global, menjadi kajian hubungan internasional yang tidak hanya fokus pada hubungan politik yang berlangsung antar-negara, tetapi juga mencakup peran dan kegiatan yang dilakukan oleh aktoraktor non-negara, inilah yang kemudian disebut dengan hubungan internasional kontemporer.4 Hal ini mengakibatkan ruang lingkup yang dikaji oleh ilmu hubungan internasional menjadi lebih luas dengan mencakup bahan pengkajian mengenai berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, sosialbudaya, dan lain-lain. Selain itu, pola interaksi hubungan internasional tidak lagi hanya mengenai perilaku negara (state actors), tetapi juga pelaku-pelaku non4
Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global Isu, Konsep, Teori, dan Paradigma (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm.1.
14
negara (nonstate actors), seperti organisasi internasional dan MNC. Pola hubungan atau interaksi ini dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), ataupun pertentangan (conflict). Dari ketiga pola interaksi ini, tentu yang diharapkan adalah pola yang berbentuk kerja sama. Kerja sama antara aktor-aktor hubungan internasional dalam menangani isu-isu tertentu membutuhkan sebuah kerangka yang mengatur berbagai kepentingan anggota di dalamnya. Dari beberapa kerja sama ini, kemudian terbentuk
beberapa
organisasi
internasional
untuk
memformalkan
atau
melembagakan kerja sama tersebut. Organisasi internasional pun dipandang sebagai wadah yang mampu memfasilitasi proses penyelesaian masalah-masalah global. Peran yang dimainkan organisasi internasional tidak hanya melibatkan campur tangan negara saja, tetapi juga banyak elemen lain yang turut serta dalam fungsi administrasi dunia. Menurut Cheever dan Haviland (1967: 6), organisasi internasional adalah suatu pengaturan bentuk kerja sama internasional yang melembaga di antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya yang memberikan manfaat timbal balik dan dilaksanakan melalui berbagai pertemuan serta sejumlah kegiatan staf secara berkala. Secara umum, organisasi internasional dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu
organisasi
pemerintah
(IGO)
dan
non-pemerintah
(INGO).
Intergovernmental organization (IGO) merupakan organisasi antara pemerintah ke pemerintah sehingga yang menjadi aktor adalah negara atau pemerintah. Perserikatan Bangsa-Bangsa, ASEAN, OKI, merupakan contoh dari IGO dewasa
15
ini. Sedangkan International non-governmental Organisation (INGO) merupakan organisasi dari masyarakat ke masyarakat. Dalam tugasnya, INGO mempermudah berbagai bentuk kerja sama antar-nonpemerintahan, dalam hal ini peran pemerintah bersifat sekunder saja, biasanya hanya sebagai fasilitator sedang yang menjadi pelaku atau aktor utamanya adalah individu dan kelompok sosial yang teratur. Contoh dari INGO sebagai aktor dalam hubungan internasional adalah Greenpeace dan Oxfam. Seiring dengan perjalanan waktu, isu yang mewarnai lingkungan internasional kian beragam, mulai dari masalah pertahanan dan keamanan, demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, lingkungan hidup, globalisasi, sampai dengan krisis pangan silih berganti mewarnai ruang publik internasional. Demikian pula berbagai masalah yang memerlukan penanganan segera, baik nasional, regional, maupun global bermunculan seperti halnya masalah kemanusiaan yang menyangkut pengungsi yang daftarnya seakan tidak pernah berakhir seiring dengan maraknya pertikaian di berbagai belahan muka bumi. Negara dalam melaksanakan tugas klasiknya, yaitu memenuhi kebutuhan, kesejahteraan, dan menjamin keamanan warga negaranya tidak lepas dari kerja sama atau cooperation. Kaum liberal beranggapan bahwa dengan melakukan kerja sama, maka tujuan negara yaitu untuk mendapatkan keuntungan absolut dapat tercapai. Namun, tidak ada jaminan bagi setiap negara yang melakukan kerja sama dapat terhindar atau setidaknya mereduksi kecurangan dan masalah collective goods. Oleh karena itu, lahirlah apa yang disebut dengan rezim internasional.
16
Rezim internasional dipahami sebagai bentuk-bentuk institusionalisasi perilaku yang didasarkan pada norma ataupun aturan untuk mengelola konflik dan masalah-masalah saling ketergantungan di berbagai bidang dalam hubungan internasional. Rezim Internasional merupakan sekelompok negara yang memiliki keinginan untuk mencapai suatu kepentingan dengan cara bersatu atau bergabung atau beraliansi. Rezim merupakan sesuatu yang tidak kasat mata, tidak seperti organisasi yang memiliki fasilitas, bangunan, dan alat-alat. Namun rezim dapat dirasakan keberadaan dan semangatnya dari setiap anggotanya. Di dalam sebuah rezim juga terdapat mekanisme dan peraturan yang mengikat kuat sehingga walaupun kerja sama mereka tidak tertulis, terdapat kekuatan mengikat yang harus dipatuhi. Stephen
D.
Krasner
mendefinisikan
rezim
internasional
sebagai
seperangkat norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan, baik yang eksplisit maupun implisit, di mana semua harapan para aktor berkumpul dalam hubungan internasional.5 Krasner berpendapat bahwa dalam membentuk suatu rezim internasional, harus ada kesepakatan dari setiap anggota rezim dan kemudian membentuk suatu kelompok atau aliansi. Dalam perdebatan mengenai konsep rezim, pada dasarnya terdapat upayaupaya untuk mengambil jarak dengan pemikiran dominan saat itu, yaitu pemikiran realis. Kaum realis beranggapan bahwa kerja sama internasional hanya berlangsung jika terdapat kepentingan ‘objektif’ dan oleh karena itu, kerja sama akan berakhir jika kepentingan objektif ini berubah. Pendukung teori rezim 5
Stephen D. Krasner dikutip dalam Townes, “International Regimes and Information Infrastructure”, dalam http://www.stanford.edu/group/sjir/1.2.07_townes.html. Diakses tanggal 15 September 2011.
17
berargumen bahwa kesepakatan dan perjanjian internasional dapat dipertahankan karena kesepakatan dan perjanjian internasional sangat memengaruhi struktur kepentingan setiap negara yang terlibat di dalamnya. Beberapa contoh rezim internasional yang telah ada misalnya, rezim moneter (IMF), rezim perdagangan (GATT), rezim minyak (OPEC), dan rezim pengungsi (UNHCR). Konvensi Tahun 1951 Mengenai Status Pengungsi dan Protokol 1967 dianggap sebagai rezim pengungsi internasional dan UNHCR sebagai guardian atau penjaganya. UNHCR didirikan melalui sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1950 dan kemudian resmi memulai tugasnya pada tanggal 1 Januari
tahun
berikutnya.
UNHCR
didirikan
dua
tahun
setelah
diproklamasikannya UDHR di tengah meningkatnya tuntutan dan perhatian pada kemanusiaan sesudah terjadinya Perang Dunia II. Pada masa itu, tugas utama yang diemban oleh UNHCR adalah membantu mereka, lebih dari satu juta orang yang terlantar dan kehilangan tempat tinggal utamanya di Eropa setelah terjadinya Perang Dunia II, dan tugas ini dibatasi dalam jangka waktu tiga tahun. Setelah berdiri selama enam dekade, organisasi ini telah membantu menemukan solusi permanen bagi lebih dari 10 juta pengungsi di dunia.6 Saat ini, dengan jumlah staf sekitar 7.190 orang yang tersebar di 123 negara. UNHCR telah berusaha untuk melanjutkan misinya dalam menolong sekitar 10,4 juta orang yang masih jadi pengungsi atau hidup dalam pengungsian. Hukum pengungsi internasional adalah sekumpulan peraturan yang diwujudkan dalam beberapa instrumen-instrumen internasional dan regional yang 6
UNHCR, “Refugee Figures”, dalam http://www.unhcr.org/pages/49c3646c1d.html. Diakses tanggal 24 Oktober 2011.
18
mengatur tentang standar baku perlakuan terhadap para pengungsi. Hukum pengungsi masih berumur sangat muda yang ditandai dengan disahkannya Konvensi Tahun 1951 Mengenai Status Pengungsi. Instrumen-instrumen yang dimaksud dalam definisi di atas adalah: a. Konvensi tentang Status Pengungsi Tahun 1951 b. Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi c. Instrumen lain yang memiliki daya laku internasional, seperti: Konvensi tentang status orang tanpa kewarganegaraan (stateless people) tahun 1961, The 1967 UN Declaration on Territorial Asylum, dan Instrumen regional tentang pengungsi di Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dari instrumen-instrumen di atas paling tidak terdapat lima prinsip umum yang berkaitan dengan Hukum Pengungsi Internasional yang perlu diketahui, seperti prinsip pemberian suaka (asylum), non-ekstradisi, non-refoulment, hak dan kewajiban negara terhadap para pengungsi, kemudahan-kemudahan (facilities) yang diberikan oleh negaranegara yang bersangkutan terhadap pengungsi. Instrumen-instrumen internasional dan instrumen-instrumen regional di atas memberikan beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan seseorang itu memiliki haknya dengan status sebagai pengungsi. Kriteria-kriteria seperti adanya rasa takut akan persekusi yang berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan terhadap kelompok sosial, pendapat politik, dan orangorang itu berada di luar wilayah negaranya, merupakan kriteria yang dipergunakan UNHCR untuk mendapatkan statusnya sebagai pengungsi.
19
E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan tipe deskriptif. Dengan menggunakan metode ini, penulis memberi gambaran mengenai peranan UNHCR dalam menangani pengungsi Timor Timur di Indonesia, seperti faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat upaya tersebut. 2. Jenis Data Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data tersebut diperoleh dari literatur seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan artikel dalam website. Adapun data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini yang menyangkut peranan UNHCR dalam menangani pengungsi Timor Timur di Indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research,) yaitu dengan mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Literatur ini berupa buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan pencarian informasi melalui internet. Adapun tempat penelitian yang akan dikunjungi yaitu: a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin; b. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin; c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universtitas Hasanuddin;
20
d. Kantor Perwakilan UNHCR di Makassar; 4. Teknik Analisis Data Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dalam penelitian ini. Data kualitatif diperoleh dari berbagai literatur yang dikumpulkan dan kemudian permasalahan dijelaskan dan dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang ada dan disusun dalam suatu tulisan. Teknik analisis yang digunakan adalah metode deduktif yang bertolak dari suatu proporsi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.