1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Ratifikasi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berdampak pada hak kesehatan warga Indonesia yaitu, menjadi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk dipenuhi. Penyesuaian ratifikasi UDHR tersebut akhirnya dilakukan dengan amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Amandemen tersebut menghasilkan adanya bab tersendiri yang mengatur mengenai hak asasi manusia, yaitu Bab XA Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Diantara Pasal tersebut terdapat pengaturan tentang hak kesehatan. Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 1 Pengakuan akan pelayanan kesehatan atau hak atas kesehatan tersebut menimbulkan konsekuensi hukum terhadap perlindungan, pemenuhan dan pemberian hak tersebut dan hal ini baru pada tatanan ‘das sollen’. 2 Untuk menjadikannya ‘das sein’ maka salah satu bentuk usaha Pemerintah Republik 1
Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Roberia, “Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka Konstinuitas Pembangunan Hukum Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan, Vol. 4 No.6 Tahun 2012, hlm.131132.
2
2
Indonesia memajukan kesejahteraan umum termasuk pelayanan kesehatan rakyat yaitu dengan menetapkan dasar hukum untuk usaha kesejahteraan rakyat dalam bidang kesehatan. 3 Peraturan perundang-undangan terkait kesehatan yang berlaku sebelum diratifikasinya UDHR dan amandemen UUD NRI 1945 adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Alasan digantinya Undang-Undang a quo dikarenakan tidak memberi peluang untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dan sosial yang dapat mempengaruhi kesehatan. 4Contoh permasalahan yang timbul yaitu masalah kesehatan reproduksi dimana angka kematian ibu melahirkan masih tinggi di Indonesia yaitu setiap 100.000 kelahiran hidup terdapat 373 ibu yang meninggal. 5 Berdasarkan data tersebut diketahui 30% (tiga puluh persen) dari jumlah tersebut dikarenakan tidak terjangkau layanan kesehatan dan informasi yang memadai serta lemahnya sistem informasi kesehatan di Indonesia. 6 Oleh karena itu, Pemerintah mulai berupaya membentuk peraturan yang mengikuti perkembangan masyarakat dan sejalan dengan semangat atau kebijakan yang baru, akomodatif, melindungi masyarakat dan memberikan pelayan kesehatan yang terbaik untuk masyarakat, yaitu UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). 7 Tidak hanya itu, dibentuk juga peraturan perundang-undangan lain
3
Kansil, 1991, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 4. Wiku Adisasmito, Case Studi: Analisis Perjalanan Rancanan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan), Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, 2008, hlm. 1. 5 Ibid., hlm. 2. 6 Ibid. 7 Ibid. 4
3
untuk menunjang pelayanan kesehatan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) didasari perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus diikuti oleh rumah sakit. 8 Rumah sakit harus mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat sehingga terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah
sakit
adalah
institusi
pelayanan
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 9Terdapat dua hubungan yang timbul antara pasien (masyarakat) dan rumah sakit. Pertama, adanya perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatannya. Kedua, perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis inspaninngs verbintenis. 10
8
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5072) 9 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5072) 10 Gronroos Sutopo, Shita Febriana, 2010, Perlindugan Hukum Bagi Pasien, Prestos Pustaka, Jakarta, hlm. 12.
4
Sebagai organisasi badan usaha di bidang kesehatan, rumah sakit memiliki peranan penting dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Oleh karena itu rumah sakit dituntut agar mampu mengelola kegiatannya dengan mengutamakan pada tanggung jawab para profesional di bidang kesehatan khususnya tenaga medis dan tenaga keperawatan yang menjalankan tugas dan kewenangannya. 11 Meski memiliki tenaga kesehatan (seperti dokter) yang profesional tidak menutup kemungkinan tenaga kesehatan tersebut melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan pasien. Apabila terdapat kelalaian tenaga kesehatan yang akhirnya menimbulkan kerugian seperti cacat, lumpuh atau bahkan meninggal maka Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum. 12 Kerugian yang ditanggung rumah sakit dapat berupa kerugian materiil maupun immateriil. Pertanggungjawaban rumah sakit hanya terbatas pada tenaga kesehatan yang terikat dengan rumah sakit atau disebut tenaga kesehatan tetap. Kerugian yang diakibatkan kelalaian oleh tenaga kesehatan tidak tetap dan bukan dibawah pengawasan rumah sakit maka tidak dapat dimintakan ganti kerugian kepada rumah sakit. 13 Menuntut ganti rugi merupakan salah satu hak pasien yang harus dipenuhi apabila tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara
11
Setya Wahyudi, “Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian akibat kelalaia tenaga kesehatan dan implikasinya”, Jurnal, Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, September 2011, hlm. 505. 12 Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5072) 13 Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata Dalam kasus Malpraktik Di Indonesia”, Jurnal, Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Edisi Khusus, November 2011, hlm.
5
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan. 14 Salah satu contoh gugatan terhadap rumah sakit untuk meminta ganti kerugian adalah yang diajukan oleh Tuan Gunawan. 15 Berawal dari keluhan anak Tuan Gunawan bernama Nina Dwijayanti yang mengatakan tidak bisa buang air kecil dan buang air besar. Nina dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sesampai disana, Nina segera diperiksa oleh dokter yang saat itu sedang bertugas di IGD. Berdasarkan pemeriksaan, Dokter mendiagnosa Nina menderita infeksi berat akibat sumbatan usus (Sepsis illius abstruktif). Segala cara dilakukan agar kotoran yang tersumbat keluar dari tubuh Nina. Mulai dari memasukkan obat jel ke lubang dubur sebanyak empat kali, memberikan obat Laxadine sirup, sampai akhirnya memasangkan kateter serta sonde. Setelah kateter dan sonde terpasang, keluar cairan berwarna coklat yang kemudian berubah menjadi biru dan akhirnya bening dari sonde tersebut. Keesokan harinya, tepatnya tanggal 16 Februari 2009, pukul 06.00 WIB Nina diperiksa untuk dilakukan diagnosa kedua. Hasil dari diagnosa tersebut, pasien mengalami Appendix Perforasi (usus buntu). Tidak lama kemudian, Nina menjalani pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dan hasilnya menyatakan bahwa Ginjal dan buli-buli Nina dalam batas Normal. Mendengar hasil yang sudah semakin jelas, Tuan Gunawan yang bekerja di salah satu bagian di RSCM kembali bekerja.
14
Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5063) 15 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 215.K/PDT/2014
6
Pada pukul 15.45 WIB di hari yang sama, Tuan Gunawan diberitahu rekan kerjanya bahwa Nina sedang menjalani pembedahan. Tuan Gunawan yang tidak tahu menahu mengenai akan ada pembedahan segera menuju tempat Nina dioperasi. Sesampai di sana, Istri Tuan Gunawan yang selalu berada di dekat Nina ditanya mengenai pembedahan tersebut. Istri Tuan Gunawan juga tidak mengerti karena tiba-tiba Nina dibawa oleh pekarya RSCM. Padahal sebelumnya keadaan Nina terlihat lebih baik bahkan sempat bercanda. Sebelum dilakukan pembedahan, baik Tuan Gunawan maupun Istri tidak pernah diberikan Informed Consent sebagaimana mestinya oleh dokter. Orang tua Nina tidak pernah memberikan persetujuan mengenai pembedahan sore itu. Oleh karena itu, Tuan Gunawan kebingungan mengenai pembedahan yang dilakukan terhadap anaknya. Setelah pembedahan selesai, dokter yang melakukan pembedahan meminta Tuan Gunawan menandatangani persetujuan melakukan pembedahan tetapi Tuan Gunawan menolak. Tuan Gunawan tidak mengetahui mengenai pembedahan tersebut dan tiba-tiba diminta persetujuan, tentu ditolak oleh Tuan Gunawan. Dokter mengatakan pembedahan tersebut dilakukan karena ada keadaan gawat darurat. Nina didiagnosa mengalami peritonitis yang membuat Nina berada dikondisi harus segera dioperasi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Tidak hanya sampai di situ, dokter juga mengatakan hasil pembedahan yang dilakukan terhadap Nina ditemukan diagnosa baru yaitu ruptur bull(kebocoran kantung kemih).
Tuan Gunawan juga diberitahukan akibat
penyakit yang diderita Nina, setelah pembedahan tersebut Nina harus menggunakan kateter permanen. Kini Nina hanya dapat terbaring di tempat tidur.
7
Sempat beberapa kali dokter menyebutkan bahwa kondisi Nina sudah membaik sehingga sudah bisa dibawa pulang. Tuan Gunawan tidak melihat kondisi Nina membaik sehingga tidak mau membawa Nina pulang. Melihat kasus di atas, dokter telah melanggar Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran) yang mengatakan bahwa setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Akibat pembedahan tersebut, Tuan Gunawan merasa mendapat kerugian baik materil maupun materil. Oleh karena itu Tuan Gunawan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tuan Gunawan sudah menjalani proses negosiasi dan mediasi sebelumnya dengan pihak RSCM tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya persoalan ini dibawa sampai meja pengadilan dengan dasar gugatan yaitu perbuatan melawan hukum. Setelah proses yang panjang, pengadilan negeri tingkat pertama memutus tidak mengabulkan gugatan Tuan Gunawan karena perbuatan melawan hukum tidak terbukti. Tidak menyerah, Tuan Gunawan melakukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun hasil putusan pengadilan tingkat banding dan kasasi juga menyebutkan tidak ada yang salah dengan dasar pertimbangan putusan pengadilan negeri tingkat pertama. Hakim memberi dasar pertimbangan bahwa keadaan pasien pada saat itu gawat darurat sehingga tidak memungkinkan dimintakan persetujuan lebih dahulu kepada orang tua pasien. Tidak adanya persetujuan untuk dilakukan pembedahan
8
hanyalah kesalahan administrasi. Oleh karena itu pihak RSCM (Tergugat) tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Peraturan perundang-undangan seperti Pasal 56 ayat (2) UU Kesehatan jo. Pasal 37 UU Rumah Sakit jo. Pasal 45 (1)
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 3 ayat (1)Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran mengatur pasien berhak menerima atau menolak tindakan medis yang akan diberikan dan setiap tindakan yang akan dilakukan harus disertai persetujuan. Khusus bagi tindakan yang memiliki risiko tinggi, persetujuan yang diberikan harus secara tertulis. Tidak ada satu Pasal pun yang mengatakan pelanggaran atas Informed Consent merupakan sebuah kesalahan administrasi. Apabila kembali pada peraturan a quo tentu tidak sesuai dengan dasar pertimbangan yang digunakan hakim. Memang dalam hal keadaan gawat darurat, tindakan medis dapat dilakukan tanpa persetujuan. 16 Dokter harus memberikan Informed Consent setelah pasien sadar atau kepada keluarga. Namun harus dilihat lagi keadaan gawat darurat yang dimaksud peraturan perundang-undangan. Apabila keluarga berada di jangkauan dokter maka tetap harus ada informed Consent. Melalui
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
Nomor
287/Pdt.G/2011/PN. Jkt. Pst, hakim memutus menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dikarenakan perbuatan melawan hukum Tergugat tidak terbukti. Sementara itu, berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian 16
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/ III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
9
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Melihat kasus di atas, dokter melakukan pembedahan tanpa didasari informed consent dan hal ini melanggar peraturan perundang-undangan. Akibat dari tindakan tersebut, dokter membawa kerugian kepada pasien baik materil maupun imateriil. Pasien harus menggunakan kateter seumur hidupnya (kecacatan). Oleh karena itu, apabila mengkaji perbuatan yang dokter lakukan di atas sebetulnya memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan memenuhi unsur menimbulkan kerugian kepada orang lain, ada yang merasa dirugikan dan kedua hal tersebut ada hubungan sebab akibat. Selain Dokter bertanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukannya, apabila mengkaji isi Pasal 1367 KUH Perdata maka RSCM juga dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pasal a quo menyebutkan seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang yang menjadi tanggungannya. Dipertegas pula dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit bahwa Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Sekarang yang perlu dilihat adalah hubungan kerja antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan tersebut. Ada beberapa macam pola berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara tenaga kesehatan (dokter) dan rumah sakit, antara lain: dokter sebagai tenaga kerja (employee); dokter sebagai mitra
10
(attending physician); dokter sebagai independent contractor. 17 Pola hubungan kerja tersebut yang akan sangat menentukan apakah rumah sakit harus bertanggung jawab atau tidak terhadap kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dokter seperti yang dimaksud Pasal 46 UU Rumah Sakit, serta sejauh mana tanggung jawab/gugat yang harus dipikul. Jadi, perlu dianalisis hubungan kerja antara dokter yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut dan RSCM untuk melihat apakah RSCM dapat dimintakan pertanggungjawaban sesuai yang diatur Pasal 46 UU Rumah Sakit. Ditambah lagi, RSCM merupakan Rumah Sakit Pemerintah (Publik) berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) sehingga dokter yang bekerja dibawah RSCM bisa berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bukan pegawai negeri. 18Jika PNS maka timbul sebuah pertanyaan apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter PNS dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada RSCM, padahal dokter PNS diangkat oleh Pemerintah, dimana tentu bertanggung jawab kepada pemerintah. Hakim memutus menolak gugatan Tuan Gunawan berarti hakim membebaskan rumah sakit dari pertanggungjawabannya terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan dokter. Perlu dianalisis lebih dalam mengenai latar belakang dasar pertimbangan hakim memutus membebaskan RSCM dari pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum, apakah dikarenakan dokter tidak terbukti bersalah atau kesalahan dokter tersebut bukan tanggung jawab RSCM.
17
Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 157 18 Hasbullah Thabrany, “Rumah Sakit Publik Bebentuk BLU: Bentuk Paling Pas Dalam Koridor Hukum Saat ini”, Artikel, Pandangan Akademisi tentang RSUD.
11
Guna memperdalam pemahaman mengenai tanggung jawab rumah sakit dan tenaga kesehatan secara perdata terhadap perbuatan melawan hukum maka penulis mengajukan sebuah penelitian yang berjudul Pertanggungjawaban Rumah Sakit Secara Perdata Terhadap Perbuatan Melawan Hukum (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 215.K/PDT/2014). B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis
menetapkan masalah yaitu “apa latar belakang dasar pertimbangan hakim membebaskan rumah sakit dari pertanggungjawaban terhadap gugatan perbuatan melawan
hukum
dalam
analisis
Kasus
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor.215.K/PDT/2014 yang melibatkan Tuan Gunawan melawan Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM)?” C.
Tujuan Penelitian Ada pun tujuan penelitan yang ingin dicapai dari penelitan ini adalah
sebagai berikut : 1.
Tujuan Teoritis Untuk mengetahui latar belakang dasar pertimbangan hakim
membebaskan rumah sakit dari pertanggungjawaban terhadap gugatan perbuatan melawan hukum dalam analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor.215.K/PDT/2014 yang melibatkan Tuan Gunawan melawan Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM).
2.
Tujuan Praktis
12
Untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang berguna dalam penyusunan penulisan hukum sebagai prasyarat memproleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis di
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penulisan hukum yang membahas mengenaiPertanggungjawaban Rumah Sakit Secara Perdata Terhadap Perbuatan Melawan Hukum (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 215.K/PDT/2014). Namun terdapat beberapa penulisan dimana hampir mirip dengan penelitian Penulis, yaitu penulisan yang buat oleh Widyasari Abriantyas S. dan Armi Nur Asyafa dari bagian Konsetrasi Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Meskipun hampir mirip, tetap terdapat beberapa perbedaan. Berikut penulisan tersebut : 1.
“TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN PEMEGANG JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI RUMAH SAKIT MITRA BANGSA PATI JAWA TENGAH” oleh Widyasari Abriantyas S., memiliki rumusan masalah mengenai bentuk pertanggungjawaban rumah sakit terhadap pasien pemegang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam hal terjadi kerugian dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Mitra Bangsa Kabupaten Pati. Dalam penulisan hukum tersebut, Rumah Sakit Mitra Bangsa bertanggung jawab penuh apabila memang terjadi suatu kelalaian yang dilakukan dokter yang berada di naugan rumah sakit,khususnya
13
dalam hal ini wanprestasi. Cara penyelesaian yang dilakukan Rumah Sakit Mitra Bangsa dengan pasien adalah mediasi dan terhadap dokter yang tidak mau menangani pasien BPJS maka pihak rumah sakit akan menyelesaikan dengan pendekatan persuasif antara direktur rumah sakit dan dokter. Penulis Widyasari menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Obyek penelitian yang dipilih dikhususkan pada pasien pemegang JKN. 19 2.
“TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP
PASIEN
DALAM
PERJANJIAN
UPAYA
PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. SOEROYO MAGELANG” oleh Armi Nur Asyafah, memiliki rumusan masalah mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien apabila pasien mengalami kerugian dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Permasalahan yang ditekankan oleh Armi adalah wanprestasi yang dilakukan oleh Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Kesimpulan dalam penulisan hukum ini, apabila pasien ditempatkan pada kelas yang tidak sesuai, rumah sakit bertanggung jawab sepenuhnya atas kelalaian atau kekeliruan tersebut dan segera mengganti kerugian atau mengembalikan kelebihan biaya perawatan yang tidak sesuai jumlah harga perawatan saat itu. Apabila terdapat keanehan atau ketidakwajaran atas meninggalnya pasien di
19
Widyasari Abriantyas S., 2014, Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Pasien Pemegang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Rumah Sakit Mitra Bangsa Pati Jawa Tengah,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
14
rumah sakit selama perawatan atau proses penyembuhan, maka rumah sakit akan menjelaskan dan menerangkan dengan jelas penyebab meninggalnya pasien yang harus berlanjut ke pengadilan. Metode penelitian yang digunakan Penulis Armi adalah yuridis empiris. 20 Pembeda
penulisan
“PERTANGGUNGJAWABAN
hukum RUMAH
Penulis SAKIT
TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM
yang
berjudul
SECARA
PERDATA
(ANALISIS
KASUS
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 215.K/PDT/2014)” dengan penulisan hukum yang telah dilaksanakan sebelumnya dilihat dari rumusan masalahnya, Penulis lebih menyoroti alasan ditolaknya gugatan pasien terhadap rumah sakit oleh hakim.Selain itu penulisan ini juga lebih lebih melihat tanggung jawab rumah sakit terhadap gugatan perbuatan melawan hukum. Penulis menelaah melalui Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 215.K/PDT/2014 dan metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penulis menganalisis pertimbangan putusan hakim dengan kesesuaian terhadap peraturan perundang-undangan. Dengan demikian penulisan hukum ini dilakukan dengan itikad baik. Jika terdapat penelitian yang serupa diluar pengetahuan penulis, ini bukan merupakan suatu kesengajaan tetapi diharapkan penitian ini dapat menambah informasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Dengan begitu penelitian ini dapat
20
Armi Nur Asyaf ,2006,Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Perjanjian Upaya Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
15
memperkaya khasanah pengetahuan serta penulisan hukum yang bersifat akademis. E.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada peneliti maupun bagi
pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat Teroritis a. Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan hukum kesehatan. b. Memberikan referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang terkait dengan penelitian ini.
2.
Manfaat Praktis a. Bagi Penulis Selain untuk memenuhi persyaratan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana, penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan penulis akan pertanggungjawaban rumah sakit terhadap gugatan perbuatan melawan hukum, dan dapat menumbuhkan pendapat maupun masukan kritis atas ketentuanketenuan yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. b. Bagi Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan Penelitan ini diharapkan dapat memberi pengetahuan hukum bagi tenaga kesehatan dan masukan dalam mengambil langkah untuk
16
menangani permasalahan-permasalahan terkait yang akan ditemui kemudian hari sehingga peraturan-peraturan yang ada bermanfaat bagi para pihak dan memberikan kepastian hukum sesuai peraturan perundang-undangan. c. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat terutama apabila terlibat dalam suatu permasalahan terkait pertanggungjawaban rumah sakit terhadap perbutan melawan hukum dan menjadi masukan dalam mengambil langkah untuk menangani permasalahan tersebut. d. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini akan semakin memperkaya khasanah informasi dan
wawasan
pemikiran
khususnya
dalam
mempelajari
pertanggungjawaban rumah sakit terhadap perbutan melawan hukum.