BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Myanmar – dahulu bernama Burma – adalah negara dengan tingkat multikultur yang sangat tinggi. Setidaknya terdapat 135 etnis berada di negara tersebut, 1 dengan lebih dari 100 bahasa dipergunakan dalam kehidupan sehari- hari. 2 Tingginya diversitas di Myanmar membuat ia dihadapkan kepada berbagai masalah, termasuk isu minoritas. Masalah minoritas harus ditanggung oleh Myanmar sejak era pra-kemerdekaan hingga kini. Sebagai contoh, pada tahun 1962, pemimpin Burma Jenderal Ne Win menyatakan bahwa kudeta yang ia lakukan bertujuan untuk mempersatukan negara tersebut. Tetapi, pada tahun yang sama dengan berlangsungnya kudeta, militer Myanmar atau Tatmadaw melancarkan serangan-serangan masif ke sejumlah etnis minoritas. Dalam kehidupan Myanmar kontemporer, mungkin sebagian dari kita telah mengetahui beberapa isu minoritas di negara ini. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir dunia internasional banyak menyoroti kasus minoritas Muslim Rohingnya yang mendiami Rakhine State di Myanmar. Namun, sebenarnya masih terdapat permasalahan-permasalahan lain yang belum banyak mendapat perhatian, termasuk yang terjadi pada etnis Kachin di Kachin State. Etnis ini menempati wilayah paling utara Myanmar yang berbatasan langsung dengan Cina (lihat Gambar 1). Etnis Kachin berbeda dari mayoritas masyarakat Myanmar, yang biasa disebut Bamar, terutama dari segi agama, bahasa, dan cara bekerja dalam memenuhi kebutuhan seharihari. Dari segi agama, misalnya, 90 hingga 95% etnis Kachin memeluk agama Kristen,3 sedangkan kaum Bamar menganut agama Budha. Konflik yang terjadi antara minoritas Kachin dengan pemerintah Burma/Myanmar telah terjadi sejak lama. Pada masa menjelang kemerdekaan Burma, salah seorang tokoh terkemuka bernama Aung Saan mencoba untuk menyatukan berbagai etnis minoritas di Burma melalui Perjanjian Panglong. Etnis Kachin juga turut bergabung pada perjanjian yang ditandatangani 1 ‘Untold Miseries: Wart ime Abuses and Forced Displace ment in Burma’s Kachin State’, Human Rights Watch, March 2012, p . 22,
, diakses pada 30 Juni 2014. 2 J. Bray, ‘Ethnic M inorit ies and Future of Bu rma’, The World Today, vol. 48, no. 8/ 9, 1992, p. 145. 3 D. Steinberg, Burma/Myanmar: What Everyone Needs to Know, Oxfo rd Un iversity Press, New York, 2013, p. 108.
pada tahun 1947 tersebut. Perjanjian Panglong menjamin perwujudan hak- hak minoritas Kachin sebagai bagian dari pemerintahan federal Burma dengan diberikannya kewenangan otonomi daerah. Sebagai timbal baliknya, etnis Kachin bersama kelompok minoritas yang lain akan turut berjuang merebut kemerdekaan Burma. Namun, tewasnya Aung Saan sebelum Burma sempat merdeka membuat isi perjanjian ini tidak pernah dapat terealisasikan. Timbullah perlawanan dari etnis Kachin terhadap pemerintah yang dianggap tidak mampu menjamin hak-hak mereka. Perlawanan tersebut diwujudkan dengan jalan membentuk Kachin Independence Army (KIA) pada tahun 1961. Gambar 1. Wilayah Etnis Kachin 4
Konflik bersenjata terus berlanjut, mengakibatkan sejumlah persoalan kemanusiaan seperti melambungnya jumlah pengungsi, perekrutan tentara anak, dan berbagai tindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hingga pada akhirnya pada tahun 1994 tercapai kesepakatan dalam 4
M. Lewis, ‘Dams and the Ignored Ethnic Conflict in Northern Bu rma,’ GeoCurrent (daring), 10 October 2011, , diakses pada 10 Oktober 2014.
sebuah perjanjian yang dilakukan di Myitkyina antara KIA dengan pemerintah Myanmar untuk melakukan gencatan senjata. Situasi konflik mereda dengan kesepakatan gencatan senjata. Namun, itu bukan berarti bahwa sejak itu kondisi di Kachin State benar-benar damai. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2011 konflik bersenjata antara KIA dan militer Myanmar kembali terjadi setelah selama 17 tahun berhasil diredam. Dari hari ke hari semakin banyak pelanggaran atas hukum humaniter dalam konflik etnis di Myanmar yang melibatkan orang-orang Kachin. Misalnya, penyerangan terhadap warga sipil, pengrusakan properti warga etnis Kachin, pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Kachin, dan perekrutan tentara anak. Sebagian warga sipil pun berpindah ke Cina atau Thailand untuk menyelamatkan diri. Sebagai contoh, para perempuan Kachin yang berkeinginan untuk memperbaiki nasib mencoba peruntungan dengan bekerja di wilayah Cina, dimana biasanya mereka akan bekerja sebagai pekerja di pabrik dengan upah yang sangat rendah. Terkadang, mereka juga akan menikah dengan pria-pria di wilayah yang mereka datangi dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Skripsi ini akan menganalisis faktor- faktor yang menyebabkan konflik Kachin terjadi pada tahun 2011. Hal ini penting mengingat pada tahun 2010 Myanmar melangsungkan pemilihan umum yang mendudukkan Thein Sein sebagai presiden. Dalam pidato pertamanya yang ditujukan kepada media Barat, Thein Sein mengatakan bahwa pemerintahan baru Myanmar akan mendorong perubahan dari sikap pemerintahan sebelumnya yang koersif ke arah yang lebih demokratis, termasuk dengan melepaskan tahanan-tahanan politik dan memulai perundingan damai dengan kelompok-kelompok minoritas. 5 Namun, yang terjadi pada kelompok minoritas Kachin adalah sebaliknya dengan terjadinya kembali konflik sejak tahun 2011. Isu ini menjadi lebih penting, terlebih lagi di tahun 2014 Myanmar bertindak sebagai Ketua ASEAN, sebuah organisasi kawasan yang sangat menjunjung tinggi penegakan HAM. Kontradiksi yang muncul dari pemerintahan Thein Sein menyangkut etnis Kachin perlu dikaji lebih lanjut disertai dengan proyeksi penyelesaian konflik Kachin.
5
‘Thein Sein says Burma on ‘right trac k’ to Democracy’, BBC News Asia (daring), 20 January 2012, , diakses pada 15 Juni 2014.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan dua pertanyaan penelitian: (1) Mengapa konflik Kachin kembali terjadi pada tahun 2011?, dan (2) Mengapa konflik Kachin tidak kunjung dapat diselesaikan?
C. Kerangka Berpikir Untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian di atas, penulis akan menggunakan teori protracted social conflict (PSC) dari Edward Azar, salah satu ahli di bidang resolusi konflik. Teori ini muncul di tengah-tengah pemikiran para penstudi hubungan internasional yang di akhir tahun 1970-an cenderung hanya berfokus pada konfik antarnegara. Baru pada tahun 1990-an, ilmu hubungan internasional mulai menengok pada konflik dalam-negara yang disebut dengan beberapa istilah, mulai dari perang saudara, konflik etnis, konflik internal, hingga konflik di negara-negara pasca-kolonial. 6 Teori PSC lebih dalam menyoroti konflik yang berhubungan dengan relasi antara negara dan kelompok minoritas. Menurut Azar: Protracted social conflicts occur when communities are deprived of satisfaction of their basic needs on the basis of the communal identity. However, the deprivation is the result of a complex causal chain involving the role of the state and the pattern of international linkages. Furthermore, initial conditions (colonial legacy, domestic historical setting, and the multicommunal nature of the society) play important roles in shaping the genesis of protracted social conflict.7
Teori PSC menjelaskan sebab-sebab terjadinya konflik sosial yang berlarut-larut dalam sebuah negara. Ia merefleksikan kompleksitas suatu konflik dengan secara khusus memperhatikan perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Teori ini memiliki karakter sendiri, yang dibagi oleh Azar ke dalam tiga hal, yakni genesis, dinamika proses, dan outcome analysis. Genesis berkenaan dengan transformasi situasi non-konfliktual menjadi situasi konfliktual. Di dalam genesis terdapat empat variabel sebagai berikut: a) Communal content, yakni hal-hal yang berkaitan dengan identitas kelompok yang berkonflik, seperti ras, agama, etnis, budaya, dan lain- lain. Benturan identitas komunal
6
H. Miall, O. Ramsbotham & T. Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, 2nd edn, Polity Press, Cambridge, 2005, p. 80. 7 E. A zar, The Management of Protracted Social Conflict: Theory & Cases, Aldershot, Dart mouth, 1990, p. 12.
bisa saja terbentuk dari pembagian peran yang dilakukan di era kolonial maupun permusuhan secara historis. 8 Secara umum, pola yang terjadi ialah salah satu atau beberapa kelompok mendominasi kekuasaan di suatu negara yang biasanya kemudian mengabaikan kepentingan kelompok-kelompok lain yang identitasnya berbeda. b) Human needs, berkenaan dengan dirampasnya hak-hak dari pihak yang berkonflik, meliputi kebutuhan-kebutuhan akan keamanan, pembangunan, akses politik, dan pengakuan identitas. Pihak yang dirampas haknya akan meluapkan keluhan (grievance) mereka secara kolektif. Dalam bukunya, Azar menulis: “Whilst one group of individuals may enjoy satisfaction of those needs in abundance, others do not. Grievances resulting from need deprivation are usually expressed collectively. Failure to redress these grievances by the authority cultivates a niche for a protracted social conflict.”9 c) Incompetent government, yakni pemerintah dari negara yang berkonflik tidak memiliki kapabilitas untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar bagi setiap orang yang berada di bawah yurisdiksinya. Karakteristik incompetent government diidentikkan dengan pemerintahan yang bersifat otoriter dan rapuh. Fenomena ini dapat terjadi sesuai dengan tipe rezim yang berkuasa dan tingkat legitimasi pemerintahan tersebut. d) International linkages, dibagi menjadi dua komponen, yakni ketergantungan ekonomi dan client relationship. Ketika sebuah negara memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi secara ekonomi terhadap lingkup ekonomi yang lebih luas (internasional), hal ini seringkali berimbas pada intervensi kebijakan domestik di negara yang bersangkutan. Intervensi tidak jarang juga diperburuk dengan penolakan kebutuhan kelompokkelompok tertentu (biasanya minoritas). Sementara itu, client relationship lebih mengacu pada hubungan di bidang politik dan keamanan. Dalam kasus-kasus tertentu, keamanan suatu negara dijamin oleh negara atau aktor hubungan internasional yang lain. Muncullah bentuk-bentuk hubungan loyalitas tertentu dengan si penjamin keamanan tersebut, yang mengakibatkan negara justru lebih berfokus untuk memenuhi kepentingan pihak asing alih-alih kebutuhan rakyatnya.
8 9
Azar, p. 7. Azar, pp. 7-8.
Karakter teori PSC selanjutnya ialah dinamika proses. Ketika genesis telah teridentifikasi dalam sebuah potensi konflik, yang selanjutnya akan dilihat adalah aktivasi atas konflik tersebut. Faktor penentu dari aktivasi konflik yang dimaksud Azar terdiri dari tiga hal. Pertama, communal actions and strategies, yakni bahwa serangkaian tindakan dari kelompok komunal yang terlibat konflik akhirnya menjadi pemicu eskalasi konflik. Pemicu ini dapat berupa peristiwa-peristiwa sederhana, namun kemudian mampu menjadi titik balik untuk menciptakan konflik yang lebih besar. Dalam hal ini, kelompok komunal yang terus-menerus mengalami represi cenderung akan memunculkan strategi berupa pengembangan organisasi dan peran kepemimpinan serta berupaya menghimpun dukungan dari aktor di luar konflik. Kedua, state actions and strategies, yang merupakan bentuk perlawanan negara terhadap tindakan yang dilakukan oleh kelompok komunal. Perlawanan ini acapkali ditunjukkan dengan bentuk represi dan tindak kekerasan. Ketiga, built in mechanism of conflict, yang berkenaan dengan dampak negatif dari konflik yang berkepanjangan sehingga justru memunculkan antagonisme yang tinggi antara negara dengan kelompok-kelompok komunal. Terakhir, karakter teori PSC ialah outcome analysis, di mana Azar menyatakan terdapat empat kemungkinan konsekuensi dari PSC. Pertama, deterioration of physical security, yakni konsekuensi kerusakan fisik dari sebuah konflik. Dalam sebuah konflik yang berlarut-larut, kerusakan fisik juga menimbulkan terhambatnya proses pembangunan di wilayah konflik yang dapat memunculkan potensi konflik baru. Kedua, psychological ossification, yaitu memburuknya perpecahan di antara pihak yang berkonflik karena diasumsikan kebencian satu sama lain terus meningkat selama konflik berlangsung. Yang ketiga, institutional deformity, yaitu bahwa konflik yang berlarut- larut menyebabkan kelumpuhan lembaga- lembaga politik, disertai dengan meluasnya fragmentasi sosial. Terakhir, increased dependency and cliency, yakni meningkatnya ketergantungan masing- masing pihak yang berkonflik terhadap pihak eksternal yang membantu mereka selama konflik berlangsung. Dalam teori PSC Azar juga menegaskan bahwa konflik semacam ini tidak memiliki clear end-point dan tidak jelas mana pihak
yang menang dan yang kalah. Menurut Azar,
pembangunan merupakan solusi dari PSC. Jika negara tidak mampu melakukan pembangunan yang progresif, PSC akan terus berlangsung.
“... ‘long-term development is essential to address fundamental causes’, for Azar, peace is development in the broadest sense of the term”.10 Ditekankan pula bahwa semakin lama konflik berlangsung, semakin melanggengkan sikap antagonisme antar pihak yang berkonflik dan menciptakan konflik yang semakin solid. Hal ini disebabkan oleh kian menyempitnya opsi untuk kompromi dan minimnya political solutions. Dalam kondisi demikian, negara identik dengan upaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Selain itu, dalam PSC, akan terdapat kecenderungan untuk memunculkan kepentingankepentingan baru yang turut mendorong konflik semakin kompleks. Pasalnya, ketika PSC telah mencapai puncaknya, dalam kelompok komunal akan tercipta disintegrasi. Kelompok komunal yang terlibat dalam PSC akan terpecah dan menciptakan masalah- masalah internal di antara mereka. 11 Teori PSC akan digunakan untuk menganalisis penyebab kembali terjadinya konflik Kachin pada tahun 2011, dengan menghubungkan konflik tersebut dengan ketiga karakter sebagaimana disebutkan oleh Azar. Karakter genesis akan membantu dalam analisis potensi awal penyebab konflik Kachin.
Misalnya, dimensi communal content dimana etnis Bamar
mendapatkan perlakuan yang istimewa dalam struktur kehidupan di Myanmar. Begitu pula dimensi international linkages dari dimensi genesis akan dipakai untuk melihat keterlibatan aktor internasional dalam membuat berlarut- larutnya konflik Kachin. Kemudian, karakter dinamika proses akan digunakan untuk menganalisis tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh pemerintah Myanmar maupun KIA yang mengaktivasi konflik Kachin 2011. Akhirnya, teori PSC juga akan digunakan untuk mengidentifikasi penyebab sulitnya menyelesaikan konflik Kachin yang hingga sekarang masih terus berlangsung. D. Hipotesis Terjadinya konflik Kachin pada tahun 2011 dapat dilihat dari alasan kedua belah pihak. Dari sisi KIA, mereka melakukan perlawanan sebagai bentuk kekecewaan atas tidak dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kelompok minoritas oleh pemerintah Myanmar. Sementara itu dari sisi pemerintah, terdapat dua faktor yang mendorong pemerintahan Thein Sein untuk kembali merepresi etnis Kachin, yaitu pengistimewaan secara berlebihan oleh pemerintah terhadap etnis Bamar selaku etnis mayoritas dan perebutan sumber daya di wilayah Kachin State. Kemudian, 10 11
Miall, Ramsbotham & Woodhouse, p. 91. Azar, p.15.
konflik Kachin tidak kunjung dapat diselesaikan mengingat kebencian kedua pihak yang berkonflik semakin bertambah akibat durasi konflik yang sudah terlalu lama. Ini juga mengakibatkan titik temu antara kepentingan KIA dengan pemerintah belum tercapai.
E. Metode Pengumpulan Data Data-data yang didapatkan dalam skripsi ini diperoleh dari studi literatur, seperti sumber buku, artikel jurnal, laporan-laporan penting, situs pemerintah, maupun sumber dari internet yang dapat dibuktikan validitasnya. Selain itu penulis juga menggunakan metode wawancara secara online kepada aktor-aktor yang terlibat atau menguasai tentang Konflik Kachin.
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini direncanakan akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan menyoroti relasi negara dengan etnis minoritas di Myanmar, khususnya etnis minoritas Kachin. Bab ini juga akan membahas dinamika konflik Kachin sejak era kolonialisme hingga situasi kontemporer. Bab Ketiga akan menganalisis penyebab terjadinya konflik Kachin di tahun 2011 dengan merujuk kepada teori PSC. Dalam bab ini secara khusus faktor- faktor penyebab terjadinya konflik akan dibagi dua, dari sisi KIA dan sisi pemerintah Myanmar. Kemudian Bab Keempat dilanjutkan dengan penjelasan mengenai upaya- upaya penyelesaian konflik Kachin dan mengapa upaya- upaya tersebut belum membuahkan hasil. Skripsi akan ditutup oleh Bab Kelima, yang berisikan kesimpulan dari inferens dari hasil temuan penelitian.