Rancangan Undang-Undang tentang Intellijen: Suatu Ancaman Nasional? Laporan Human Rights Watch Juli 2005
1
Pendahuluan Setelah mengkaji Rancangan Undang-Undang tentang Intellijen Negara, Human Rights Watch mempunyai sejumlah keberatan-keberatan antara lain mengenai ketidak jelasan bahasa dari undang-undang yang diusulkan itu, terlalu luasnya jangkauan wewenang yang diberikan kepada badan intellijen dan kemungkinan adanya pertentangan antara Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Internasional mengenai Hak-hak Azazi Manusia. Human Rights Watch berharap bahwa pembuat undang-undang akan menyadari manfaat dari komentar-komentar ini dalam usaha mereka meng- evaluasi kembali undang-undang yang telah dirancang tersebut, dan jika dalam hal tertentu rancangan undang-undang itu akan disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka lembaga legislative tersebut akan mempertimbangkan untuk merubah rancangan undang-undang yang ada sekarang ini, dengan mempertimbangkan keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak Human Rights Watch. Rancangan undang-undang tentang Intellijen Negara itu dirancang tidak dengan perencanaan yang baik dan didasarkan atas penggunaan bahasa yang tidak jelas serta pemakaian definisi “ancaman nasional” yang terlalu luas yang dapat berakibat serius terhadap kebebasan individu.1 Rancangan undang-undang tersebut mengatur tentang kegiatan yang dilakukan oleh Badan Intellijen Negara (BIN) dan suatu “komunitas intellijen” yang lebih luas, yang meliputi berbagai instansi pemerintah dan kemungkinan juga instansi non-pemerintah yang berada dibawah pengarahan Kepala Badan Intellijen Negara (BIN). Pada umumnya rancangan undang-undang itu tidak memberikan batasan yang jelas antara tindakan penyelidikan terhadap kejahatan dan kegiatan intellijen serta menyatukan peranan militer, kepolisian dan petugas-petugas intellijen. Pemberian wewenang yang terlalu luas kepada lembaga yang tidak berwujud jelas dan yang tidak ada pengaturannya itu dapat mengurangi usaha untuk menjadikan kepolisian dan militer lebih bertanggungjawab terhadap pemimpin-pemimpin masyarakat, sejak pemisahan kedua lembaga tersebut pada tahun 1999. Diantara pasal-pasal dari pada rancangan undang-undang yang sangat merugikan itu adalah tentang hal-hal yang mengizinkan aparat intellijen untuk: - Menginterogasi atau menanyai setiap warga masyarakat. - Menahan tersangka selama 9 bulan. - Mengeluarkan izin terhadap penggunaan senjata. - Mendeportasi atau melarang masuk orang-orang tertentu ke dalam wilayah Indonesia.
1
Analisa ini didasarkan pada rancangan yang dibuat pada tanggal [Januari 2002]
Rancangan undang-undang tersebut telah banyak mengingkari hak-hak hukum tersangka (detainees) seperti yang telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),2 sementara itu dalam hal yang sama menyediakan bahasa hukum yang tidak jelas tanpa ada satu pasalpun yang mengatur tentang peranan lembaga pengadilan. Sementara rancangan undang-undang itu mengatur masalah pengawasan anggaran yang terbatas oleh pihak DPR, ketentuan undang-undang itu tidak ada yang menyebutkan masalah pengawasan hukum atas kekuasaan badan intellijen yang berlebih-lebihan. Dibawah ini, adalah komentar-komentar Human Rights Watch terhadap pasalpasal peraturan tersebut, yang telah dianggap sangat bermasalah ditinjau dari sudut pandangan Hak-hak Azazi Manusia. I. Tidak jelas dan luasnya perumusan terhadap Ancaman Nasional Rancangan itu didasarkan atas suatu pengertian tentang keamanan nasional atau “ancaman nasional” yang sangat luas dan membahayakan. Pengidentifikasian dan penghindaran terhadap ancaman-ancaman ini, memberikan landasan pembenaran terhadap peraturan itu sendiri, dan kata-katanya sering diulang-ulang didalam banyak pasal dalam peraturan itu sendiri. Pasal 1(1) merumuskankan “ancaman nasional” yang sangat luas yaitu “sebagai usaha yang dilakukan secara konsepsional melalui berbagai segi kehidupan dan atau kejahatan transnasional yang diperkirakan dapat membahayakan tatanan serta kepentingan bangsa dan Negara.”3 Pasal 2 merumuskan “visi” intellijen seluas mungkin, sehingga mencakup perlindungan terhadap integritas nasional, ideology negara (Pancasila) dan Undang-Undang Dasar 45, dari “berbagai macam ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.”4 Penjelasan umum ketentuan undang-undang tersebut5 memberikan perincian terhadap tujuan daripada undang-undang tersebut, dan mengikhtisarkan kembali pandangan umum didalam retorik bangsa Indonesia-- yang menganggap bahwa kekuatan atau unsur-unsur asing itulah yang menjadi penyebab kerusuhan didalam negeri. Sebagai contoh bahwa penjelasan undang-undang tersebut 2
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1(1): Ancaman nasional adalah usaha yang dilakukan secara konsepsional melalui berbagai segi kehidupan dan atau kejahatan transnasional, yang diperkirakan dapat membahayakan tatanan serta kepentingan bangsa dan Negara. 4 Visi intellijen adalah terwujudnya integritas nasional, tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhindarnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dari berbagai ancaman baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, dalam kerangka tercapainya tujuan nasional. 5 Hukum dan Peraturan-peraturan Indonesia biasanya disertai oleh suatu petunjuk mengenai penguasa, wewenang, dan pasal demi pasal dalam penafsiran teks-teks hukumnya, yang dinamakan Penjelasan. 3
membicarakan tentang meningkatnya arus lalu lintas perbatasan antar negara,6 serta bagaimana keberadaan warga negara asing di dalam wilayah Indonesia tersebut dapat menciptakan kondisi dalam ancaman-ancaman terhadap kesatuan nasional akan timbul.7 Human Rights Watch khususnya prihatin bahwa definisi terhadap “Ancaman Nasional” itu adalah terlalu luas dan mudah mengarah kepenyalahgunaan kekuasaan oleh aparat-aparat intellijen tanpa melalui jalur pengawasan dan pertanggungjawaban yang semestinya. Secara khusus istilah ancaman nasional itu harus dirumuskan hanya mencakup kegiatan atau tindakan yang direncanakan yang pada hakikatnya adalah tindak kejahatan. Perumusan tersebut tidak seharusnya mencakup aktifitas-aktifitas politik yang dilakukan secara damai atau spontanitas, seperti pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dari kelompok atau partai oposisi, aktifis-aktifis grass-root, dan kelompok penduduk asli. II. Susunan Badan Intellijen: Badan Intellijen Nasional dan Komunitas Intellijen Rancangan undang-undang intellijen menetapkan bahwa Badan Intellijen Nasional (BIN) merupakan satu-satunya Badan Intellijen Negara didalam Negara Republik Indonesia, yang berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab langsung kepada Presiden.8 Berdasarkan rancangan tersebut kedudukan Kepala Badan Intellijen Nasional itu adalah sederajat dengan posisi seorang menteri. Didalam rancangan itu juga disebutkan pasal mengenai Wakil Kepala, seorang Sekretaris dan lima orang Deputi (Pasal 5 &6). Badan Intellijen itu sendiri dinyatakan sebagai lembaga yang memiliki tugas nasional dan tugas departemental (pasal 4(2)).9 Penjelasan undang-undang itu sendiri secara tidak jelas menyatakan bahwa “Yang dimaksud intelligen tingkat departemental adalah intelligen yang merupakan unit sesuatu departemen atau unit yang ada di department, walaupun tidak secara eksplisit disebut intellijen tetapi melaksanakan fungsi intellijen.”10 Di sana sini rancangan undang-undang itu mengemukakan fungsi intellijen nasional sebagai pengumpul bahan-bahan
6
Batas Negara satu dengan lainnya terkesan semakin menipis yang berakibat derasnya arus lalulintas warga negara dunia berimigrasi. 7 Kehadiran warga Negara asing seringkali menimbulkan masalah. Mereka sering memanfaatkan kondisi semacam itu untuk perbuatan negative yang memperkeruh situasi. 8 Pasal 5 (2): Badan Intellijen Negara berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. 9 Disamping penyelenggara intellijen tingkat nasional, terdapat penyelenggara intellijen tingkat departemental. 10 Yang dimaksud intellijen tingkat departemental adalah intellijen yang merupakan unit sesuatu departemen atau unit yang ada di departemen, walaupun tidak secara eksplisit disebut intellijen; tetapi melaksanakan fungsi intellijen.
intellijen dari “semua aspek kehidupan” meliputi bidang-bidang Ideology, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan.11 Human Rights Watch prihatin bahwa pembahasan ketentuan mengenai peranan Badan Intellijen Nasional pada tingkat departemental dan fungsi kegiatan intellijen tersebut adalah tidak jelas atau ambigu dan terlalu luas. Tanpa perincian selanjutnya, kami sangat prihatin bahwa bahasa rancangan undang-undang tersebut terlalu luas/ekspansive yang berkemungkinan dapat digunakan sebagai alat pembenaran hukum terhadap pelanggaran hak-hak dan kebebasan individu bangsa Indonesia. Karena itu Human Rights Watch menyarankan agar peranan Badan Intellijen Nasional (BIN) pada tingkat departemental harus diperjelas lagi dan sedapat mungkin harus dibatasi. Pasal 22 mengkuasakan kepada Kepala Badan Intellijen Nasional (BIN) untuk “membentuk, memimpin dan melaksanakan aktifitas intellijen” yang melibatkan anggota –anggota “komunitas intellijen, sebagaimana dimaksud pasal 39.12 Pasal 39 itu menyatukan bersama intellijen pemerintah pada tingkat nasional dan tingkat departemental kedalam suatu “Komunitas Intellijen” dan menyatakan kembali kekuasaan Badan Intellijen Nasional adalah untuk “mengkoordinasikan dan mengarahkan” aktifitas intellijen yang dilakukan oleh anggota Komunitas Intellijen.”13 Penjelasan itu mencakup serangkaian susunan daripada aparat pemerintah kedalam komunitas intellijen, yang meliputi Badan intellijen Negara, Badan Intellijen Strategis (BAIS) TNI, Asisten Intellijen Mabes POLRI, Jaksa Agung Muda Bidang IntellijenKejaksaan Agung, Direktur Jendral Imigrasi-Depkeh &HAM, Direktur Jendral Bea &Cukai-Depkeu dan Direktur Jendral Pembinaan Kesatuan Bangsa-Depdagri serta Direktur JendralPolitik-Deplu.14 Pasal 43 (1) lebih lanjut menjelaskan bahwa komunitas intellijen terdiri dari polisi, militer dan warga masyarakat biasa.15 Human Rights Watch berpendapat bahwa peranan dan ruanglingkup “komunitas intellijen” itu perlu diperjelas secara terperinci. Melalui 11
Penjelasan pada Pasal 12 (a): Semua aspek kehidupan meliputi bidang-bidang Ideology, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan. 12 Dalam keadaan khusus:Kepala Badan Intellijen Negara berwenang membentuk,memimpin dan menyelenggarakan aktifitas intellijen dengan melibatkan angota-anggota Komunitas intellijen, sebagaimana dimaksud pasal 39; 13 Badan Intellijen Negara berwenang mengkoordinasikan dan mengarahkan aktifitas intellijen yang dilakukan oleh anggota Komunitas Intellijen; 14 Yang dimaksud dengan Komunitas Intellijen, yakni Badan intellijen Negara, Badan Intellijen Strategis (BAIS) TNI, Asisten Intellijen Mabes POLRI, Jaksa Agung Muda Bidang IntellijenKejaksaan Agung, Direktur Jendral Imigrasi-Depkeh &HAM, Direktur Jendral Bea &Cukai-Depkeu dan Direktur Jendral Pembinaan Kesatuan Bangsa-Depdagri serta Direktur JendralPolitik-Deplu. 15 Sumber tenaga penyelenggara intellijen berasal dari masyarakat, Mabes TNI, Mabes Polri dan anggota Komunitas intellijen lainnya;
Kesatuan yang tak berwujud yang dinamakan komunitas intellijen, undang-undang itu sendiri dalam kenyataannya memperluas wewenang Kepala BIN kedalam setiap aspek lapisan pemerintahan, dan bahkan berkemungkinan besar meliputi individu masyarakat. Luasnya kekuasaan BIN yang membahayakan dan tak perlu ini serta hampir sama sekali tidak adanya pertanggungjawaban petugas-petugas BIN baik aparat resmi ataupun tak resmi itu, tidak habis-habisnya. Dimasukkannya Badan Kejaksaan Agung, Mabes POLRI dan BAIS kedalam komunitas intellijen telah mengancam melemahkan setiap mekanisme pertanggungjawaban yang mungkin diatur di dalam undangundang yang mengatur masalah kekuasaan militer dan pelaksana hukum. i. Kekuasaan Presiden dan Kepala Badan Intellijen Rancangan undang-undang itu dengan tegas menempatkan BIN “dibawah” kontrol Presiden dan menjadikan kepala BIN “bertanggungjawab langsung kepada President”.16 Apalagi pasal 37 menetapkan bahwa President adalah “pengguna tunggal” aktifitas intellijen nasional.17 Susunan organisasi BIN dimasa yang akan datang akan diatur dengan Paraturan Presiden (pasal 11 (2)). Pasal 22 mengkuasakan Direktur BIN “dalam keadaan khusus” untuk membentuk, memimpin dan melaksanakan aktifitas intellijen. Hal ini tidak jelas apakah aktifitas semacam itu mengharuskan atau tidaknya persetujuan dari Presiden, begitu pula tidak adanya ketentuan dalam penjelasan undang-undang itu yang membahas apa yang dimaksud dengan “keadaan khusus” itu. Didalam Pasal 35, disebutkan bahwa kegiatan-kegiatan intellijen itu harus dilaporkan dalam bentuk tertulis kepada Kepala BIN. Human Rights Watch sangat prihatin bahwa frekwensi dan sejauh mana pembeberan laporan itu tidak betul-betul jelas, begitu pula halnya dengan Kepala BIN, kalaupun ada, dapat bertindak tanpa persetujuan terangterangan dari Presiden. ii. DPR dan Kekuasaan Keuangan Sementara Pasal 38 (1) memberikan hak-hak kepada DPR untuk “melakukan control terhadap penyelenggara intellijen Negara,”18 ayat (3)-nya menentukan arti pengawasan itu secara sempit sebagai “pengawasan terhadap anggaran intellijen serta substansi yang berkaitan dengan keamanan Negara.”19 Pasal 38 (2) juga 16
Pasal 5 (2): Badan Intellijen Negara berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. President merupakan pengguna tunggal (single client) intellijen negara. Dewan Perwakilan Rakyat berhak melakukan control terhadap penyelenggara intellijen negara (sic). 19 Kontrol sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini, dilakukan melalui pengawasan terhadap anggaran intellijen serta substansi yang berkaitan dengan keamanan negara. 17 18
membatasi wewenang DPR terhadap Komisi Intellijen DPR, dimana keanggotaannya harus disumpah “secara khusus”, dalam mana undang-undang itu tidak menjelaskannya lebih lanjut.20 Sementara itu Pasal 17 (a) menyatakan bahwa organisasi intellijen dibiayai dari suatu alokasi anggaran nasional,21 Pasal 17 (b) menyediakan suatu anggaran khusus dari Presiden dalam rangka pembiayaan kegiatan dan atau operasi-operasi intellijen yang dilakukannya.22 Human Rights Watch memperhatikan bahwa sementara kekuasaan pengawasan presiden nampak di artikulasikan dengan baik di dalam undang-undang itu, wewenang DPR untuk mengawasi aktifitas intellijen telah dikesampingkan oleh pasal 17. Jika Presiden dapat setiap saat langsung menyediakan anggaran untuk kegiatan operasi intellijen, tidak demikian halnya dengan pengalokasian dana untuk DPR, hal ini dapat melemahkan peranan DPR sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan penyalahgunaan system intellijen oleh Presiden. Setidak-tidaknya undangundang itu menekankan persyaratan bahwa penggunaan dana itu harus dipertanggungjawabkan kehadapan komisi DPR, yang dipilih oleh DPR sendiri, bukan atas penunjukkan dari Presiden
III. Kekuasaan BIN dan Aparat-aparat Intellijen: Kekuasaan untuk melakukan penyelidikan Dibawah pasal 18 (a), aparat-aparat intellijen diberikan kekuasaan yang luarbiasa luas untuk “melakukan pengamatan, penyensoran serta penjejakan terhadap kegiatan setiap orang yang diduga kuat terlibat dalam ancaman nasional.”23 Pasal 18 (b) bahkan memberikan suatu jaminan kekuasaan yang lebih luas lagi kepada aparat-aparat intellijen untuk “memanggil” siapapun untuk didengar keterangannya mengenai hal-hal tertentu yang berkaitan dengan ancaman nasional.24 Pasal 19 memberikan wewenang kepada aparat-aparat intellijen untuk memasuki dan memeriksa setiap bangunan, baik milik Negara ataupun milik swasta,
20
Kontrol sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, dilakukan oleh Komisi intellijen Dewan Perwakilan Rakyat yang keanggotaannya terdiri dari beberapa anggota Dewan yang telah disumpah secara khusus. 21 Dalam mendukung keberhasilan tugas, penyelenggara intellijen Negara berhak: memperoleh alokasi anggaran yang memadai melalui Anggaran Pendapatan dan belanja Negara; 22 Memperoleh alokasi anggaran khusus dari Presiden dalam rangka pembiayaan kegiatan dan atau operasioperasi intellijen yang dilakukannya. 23 Dalam rangka penyelidikan awal, petugas intellijen Negara berwenang: melakukan pengamatan, penyensoran serta penjejakan terhadap kegiatan setiap orang yang diduga kuat terlibat dalam ancaman nasional. 24 Memanggil setiap orang untuk didengar keterangannya tentang hal-hal yang diketahuinya berkaitan dengan ancaman nasional.
termasuk kediaman masyarakat.25 Pasal 20 lebih lanjut memberikan wewenang kepada Kepala BIN untuk memerintahkan pemeriksaan dan pembekukan rekening setiap orang “yang diduga kuat” telah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ancaman nasional.26 Pasal 21 memberikan wewenang kepada petugas-petugas intellijen untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan, serta pencegahan dan penangkalan terhadap gerakan setiap orang yang diduga kuat terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan ancaman nasional baik “langsung maupun tidak langsung”.27 Pasal 31 dan 32 undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada petugas intellijen untuk melakukan penggeledahan terhadap individu-individu, anggota badan, pakaian, barang-barang, rumah-rumah atau bangunan lainnya28 dan menyita setiap barang atau dokumen yang “diduga kuat” berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang mengancam keamanan nasional.29 Pasal-pasal ini, dalam kaitan dengan luasnya perumusan yang terdapat dalam pasal 1 diatas, rancangan undang-undang ini menyatukan serangkaian luasnya wewenang yang sangat tidak jelas dan sangat membahayakan serta bertumpang tindih satu sama lain, temasuk tindakan penyelidikan,30 pengamatan,31 penyadapan,32 penahanan,33 pemeriksaan,34 penggeledahan,35penyitaan36 dan 25
Dalam rangka melakukan penyelidikan ancaman nasional, petugas intellijen Negara berwenang memasuki pekarangan, gedung, rumah tinggal, bangunan, sarana angkutan dan atau proyek vital milik perorangan, swasta maupun Negara. 26 Pasal 19: Dalam rangka melaksanakan penyelidikan terhadap ancaman nasional, Kepala Badan Intellijen Negara berwenang memerintahkan kepada bank untuk membuka dan atau membekukan rekening orang-orang yang diduga kuat melakukan kegiatan ancaman tersebut. 27 Dalam rangka melaksanakan penyelidikan, sebagai usaha memberikan perlindungan terhadap ketentraman dan keselamatan masyarakat, petugas intellijen negaraberwenang melakukan: (a) penangkapan, penahanan,pemeriksaan, penggeledahan serta pencegahan dan penangkalan terhadap setiap orang yang diduga kuat terlibat langsung maupun tidak langsung- dalam kegiatan ancaman nasional. 28 Penggeledahan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf a, dilakukan terhadap orang, badan, pakaian, barang, rumahdan atau bangunan. 29 Apabila dari hasil penggeledahan sebagaimana dimaksud pasal 31 diketemukari atau terdapat dokumen atau benda-benda lain yang diduga kuat berkaitan dengan kegiatan ancaman nasional, maka atas benda tersebut dilakukan penyitaan. 30 Penyelidikan adalah semua usaha, pekerjaan, dan kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk memperoleh keterangan yang berhubungan dengan ancaman nasional untuk dapat membuat perkiraan mengenai masalah yang dihadapi, guna memungkinan penentuan kebijakan dengan mempertimbangkan, resiko yang diperhitungkan. 31 Pengamatan adalah pengawasan terhadap perbuatan, kegiatan, keadaan orang, rumah atau bangunan dengan seksama. 32 Penyadapan adalah proses, cara, perbuatan mendengarkan atau merekam informasi atau pembicaraan orang lain dengan sengaja, tanpa sepengetahuan orangnya, dengan atau tanpa mempergunakan alat; tapping dan bugging termasuk bagian tindakan penyadapan. 33 Penahanan adalah penempatan tersangka ditempat tertentu oleh petugas intellijen dalam rangka pemeriksaan. 34 Pemeriksaan adalah segala kegiatan untuk mendapatkan keterangan dari orang tentang hal-hal yang berkaitan dengan ancaman nasional yang sedang dalam pemeriksaan, untuk menemukan dan mendapatkan keterangan lain yang memperkuat barang bukti. 35 Penggeledahan adalah suatu pekerjaan dan kegiatan untuk melakukan pemeriksaan terhadap orang, barang, pakaian, rumah tinggal dan atau bangunan untuk menemukan barang bukti yang berkaitan dengan ancaman nasional.
penangkapan.37 Strategi-strategi intellijen yang dinyatakan didalam bagian perumusan undang-undang itu tidak ada yang menyarankan adanya pembatasan wewenang maupun mengusulkan adanya mekanisme pengawasan. Beberapa definisi, seperti penyensoran38 dan penjejakan,39 nampaknya mengikuti standard bahasa hukum (seperti—“dicurigai dengan alasan yang kuat” dan “diduga kuat”), akan tetapi yang lainnya tidak. Human Rights Watch sangat prihatin atas luasnya jangkauan kekuasan yang tidak dirumuskan dengan baik yang ada didalam ketentuan ini dan yang ditetapkan dalam pasal 1 itu dapat menciptakan kebingungan dan ketidak jelasan hukum, dan memungkinkan dapat digunakan sebagai dalih oleh petugas-petugas intellijen untuk melanggar hak-hak hukum rakyat Indonesia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan teroris. Definisi seperti ini membutuhkan pembahasan yang lebih serius dan penulisan kembali peraturan tersebut, dengan mempertimbangkan persyaratan-persyaratan perlindungan hukum dibawah hukum internasional, yang melarang penahanan atau penangkapan yang sewenang-wenang atau yang melanggar hukum ataupun mencapuri kebebasan pribadi, keluarga, rumah ataupun surat-menyurat. Disamping itu legislative juga harus mempertimbangkan apakah ketentuan-ketentuan telah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. Pada saat ini ketentuan rancangan undang-undang mengenai penyelidikan dan penyitaan bertentangan dengan persyaratan yang diatur dalam KUHAP, dimana (Pasal 33 KUHAP) mengharuskan adanya saksi yang harus hadir selama pemeriksaan pada suatu tempat kediaman, dan pembatasan terhadap barang-barang yang disita tanpa suatu jaminan keputusan hakim (KUHAP 38-39) serta begitu pula terhadap pasal-pasal yang sama mengenai pemeriksaan surat-menyurat (KUHAP 47). Human Rights Watch sangat prihatin bahwa rancangan undang-undang itu menyediakan bahasa yang tidak jelas yang mengharuskan petugas-petugas intellijen mematuhai persyaratan jaminan seperti yang diatur oleh KUHAP. Lebih lanjut Human Rights Watch menyarankan bahwa sifat kepatuhan hukum dari rancangan undang-undang intellijen itu tidak akan 36
Penyitaan adalah serangkaian tindakan untuk mengambil alih dan atau penyimpanan barang bergerak maupun barang tetap dibawah penguasaan petugas intellijen Negara. 37 Penangkapan adalah suatu usaha, pekerjaan, kegiatan berupa pengekangan sementara waktu,kebebasan tersangka apabila terdapat bukti-bukti guna kepentingan penyelidikan. 38 Penyensoran adalah pekerjaan membuka, memeriksa, dan atau menyita surat lain yang dikirim melalui Kantor Pos dan Telekomunikasi, Jawatan atau Perusahaan Komunikasi atau pengangkutan, jika benda tersebut dicurigai dengan alas an yang kuat mempunyai hubungan dengan ancaman nasional. 39 Penjejakan adalah usaha, pekerjaan dan kegiatan pengamatan yang dilakukan secara tertutup terhadap orang atau benda secara fisik maupun menggunakan teknik yang bertujuan untuk mengetahui aktifitas atau kegiatan orang yang diduga kuat melakukan ancaman nasional.
mempunyai arti tanpa adanya suatu mekanisme pengawasan hukum. Banyak ketentuan didalam undang-undang itu menggunakan istilah-istilah hukum, seperti ‘diduga kuat’ dan ‘terlibat’ yang memberikan kesan bahwa beberapa prosedur hukum telah digunakan, walau dalam kenyataannya undang-undang itu tidak menunjukkan cara kerja seperti itu sama sekali, setidak-tidaknya hal-hal yang berkaitan dengan pengadilan, untuk pengawasan. Pengevaluasian bila standard ini akan dipatuhi tampaknya tergantung pada pendirian intellijen itu sendiri, tanpa keberadaan proses check and balance untuk menghindari atau memperbaiki tindakan penangkapan dan penahanan yang sewenangwenang. IV. Rahasia Negara dan Hukuman Kejahatan terhadap Pembeberannya Ketentuan Umum Penjelasan undang-undang itu berturut-turut menyebutkan manfaat meningkatnya transparansi40 dan menyatakan kembali bahwa setiap organisasi intellijen harus berfungsi secara tertutup mungkin.41 Asas-asas yang mendasari kerahasiaan Negara ini ditegaskan kembali didalam Pasal 11 (1).42 Pasal 15 nampak memberikan suatu jaminan kekuasaan yang berlapis-lapis untuk menjaga kerahasian aktifitas intellijen yang dilakukan oleh BIN atau oleh anggota-anggota komunitas intellijen lainnya dibawah pengarahan kepala BIN.43 Yang sangat memprihatinkan Human Rights Watch adalah khususnya Pasal 47, yang memberikan mandat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada setiap orang yang terbukti bekerjasama untuk kepentingan intellijen asing. Human Rights Watch menolak adanya hukuman mati dalam semua kondisi apapun dikarenakan hakekat hukuman itu sendiri yang tidak manusiawi, yang tidak dapat dibalikkan dan sewenang-wenang. Human Rights Watch dengan sekuatnya menganjurkan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan hukuman mati yang diatur didalam Pasal 47 tersebut harus dihapuskan dari undang-undang. Human Rights Watch juga berpendapat bahwa ketentuan tentang pembocoran terhadap rahasia negara yang dilakukan baik dengan sengaja ataupun karena kelalaian, sangat merisaukan. Pasal 48 undang-undang intellijen itu mengatur 40
Transparansi, menghendaki semua langkah aparat, lebih-lebih yang bersinggungan dengan HAM harus didasarkan pada Undang-Undang. 41 Dalam mengatur organisasi intellijen harus berdasarkan premise-premise pengaturan organisasi dinas rahasia. Sedangkan dalam memanage aktifitas (kegiatan/operasi) telah terdapat kesamaan persepsi, pelaksanaannya dilakukan secara tertutup. 42 Pengorganisasian Badan Intellijen Negara disusun berdasarkan premise-premise penyusunan organisasi dinas rahasia; 43 Pasal 15: Penyelenggara intellijen berhak merahasiakan: (a) seluruh informasi yang berkaitan dengan bidang tugasnya; (b) seluruh instalasi dan peralatan yang merupakan fasilitas aktifitasnya; (c) personil yang melaksanakan aktifitas intellijen; (d) akses-akses yang berkaitan dengan pelaksanaan aktifitasnya.
tentang hukuman hingga 20 tahun penjara bagi individu yang dengan sengaja membocorkan rahasia Negara. Sedang Pasal 49 menyediakan hukuman 5 tahun penjara terhadap individu yang karena kelalaiannya berakibat pembocoran rahasia Negara. Human Rights Watch prihatin bahwa ketentuan kejahatan yang menghukum pembocoran terhadap rahasia Negara secara sengaja ataupun tidak, mungkin dapat digunakan untuk mengintimidasi ataupun memenjarakan wartawan Indonesia termasuk “pelapor berita pertama” yang melaporkan kegiatan pemerintah. Hukuman yang diajukan didalam rancangan undang-undang yang terdapat dalam Pasal 48 dan 49, dalam hubungannya dengan terlalu luas dan tidak jelasnya bahasa yang ada didalam undang-undang itu, adalah terlalu berlebih-lebihan. Lima tahun hukuman atas kelalaian pembocoran rahasia Negara, jika diterapkan, akan mengarah kepada penyensoran diri sendiri dalam dunia kewartawanan, dan ancaman hukuman yang terlalu berat itu dengan mudah dapat disalahgunakan oleh petugas-petugas intellijen yang tidak bertanggung jawab untuk meredam kritik-kritik atau untuk menakutinakuti wartawan yang mencari berita yang sebenarnya. Human Rights Watch menyarankan bahwa kalaupun ketentuan itu akan tetap dicantumkan didalam undang-undang intellijen, ruang lingkup kejahatannya harus dipersempit dan harus mengandung bahasa pengaman yang cukup untuk menghindari penyalahgunaan, seperti dalam Pasal 48 dan 49, diizinkannya suatu pembelaan “untuk kepentingan umum”. V. Penangkapan dan Penahanan Pasal 26 rancangan undang-undang intellijen memberikan wewenang kepada aparat intellijen untuk menahan selama 7 hari terhadap setiap orang yang di duga keras terlibat dengan kegiatan yang mengancam keamanan nasional baik langsung maupun tidak langsung.44 Akan tetapi, Pasal 27 menyediakan masa “penahanan” tersangka selama 90 hari demi untuk kepentingan pemeriksaan,45 dan bahkan dapat diperpanjang selama 9 bulan,46 di suatu tempat yang ditentukan oleh Kepala BIN.47 “Tempat” seperti yang dirumuskan dalam penjelasan undang-undang itu
44
Penangkapan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf a, dilaksanakan paling lama untuk 7 x 24 jam (tujuh kali dua puluh empat jam) 45 Pasal 27 (1): Penahanan dalam rangka pemeriksaan intellijen sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf a, berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari 46 Pasal 27 (2): Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 3 x 90 (tiga kali sembilan puluh) hari 47 Pasal 27 (3): Penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) pasal ini dilaksanakan disuatu tempat yang ditentukan oleh Kepala Badan Intellijen Negara.
dapat meliputi penjara militer, penjara kepolisian ataupun fasilitas penjara kejaksaan.48 Human Rights Watch prihatin atas lamanya perpanjangan masa penahanan tanpa adanya suatu tuduhan criminal. Ketentuan ini menunjukkan perubahan dramatis dari persyaratan yang ada dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Sesungguhnya, ketentuan-ketentuan ini bertentangan dengan persyaratan penahanan yang diatur didalam KUHAP (Pasal 18) dan perpanjangan lamanya penahanan awal dari 1 hingga 7 hari (KUHAP 19). Ketentuan mengenai penahanan ini, melampaui lamanya penahanan yang diatur dalam KUHAP, dimana penahanan tidak boleh melebihi 20 hari tanpa ada campur tangan dari pihak pengadilan (KUHAP 24, umumnya Ayat 2). Undang-undang ini tidak menyediakan ketentuan tentang prosedur untuk diperiksa di muka hakim, dimana tertuduh atau wakilnya dapat menuntut apakah penahanan mereka telah berdasarkan hukum atau tidak. Setidaktidaknya harus dijelaskan di dalam rancangan itu bahwa ketentuan ini tidak mengesampingkan ketentuan yang ada didalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana seperti yang diatur dalam pasal 124 KUHAP, yang mengizinkan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya untuk memperoleh kepastian hukum mengenai penahanannya itu didepan pengadilan,49 dan menurut KUHAP Pasal 95 memberikan hak kepada tersangka untuk menuntut ganti kerugian atas penahannya yang tidak berdasarkan undang-undang.50 Human Rights Watch juga berkeberatan atas dimasukkannya penjara militer sebagai kemungkinan tempat penahan warga civil di bawah ketentuan rancangan undang-undang yang berlaku sekarang ini. Human Rights Watch prihatin bahwa penggunaan fasilitas penjara militer itu akan menambahi kurangnya rasa tanggung jawab dan meningkatnya pelannggaran terhadap hak-hak tersangka. Pasal 28 dengan tegas mengatakan bahwa tersangka tidak mempunyai hak-hak dasar yang berlaku untuk pembelaan dirinya. Pasal itu menyatakan bahwa tersangka tidak mempunyai hak untuk didampingi oleh pembela,51 tidak 48
Yang dimaksud dengan di suatu tempat antara lain dapat di rumah tahanan militer, rumah tahanan, tempat penahanan kepolisian atau tempat penahanan kehjaksaan 49 KUHAP Pasal 124: Dalam hal apakah suatu penehanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan pra pengadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini. 50 KUHAP, Pasal 95 (1): Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alas an yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 51 (b) tidak mempunyai hak untuk didampingi advokat
mempunyai hak untuk tetap diam atau menolak pertanyaan-pertanyaan pemeriksa,52 tidak mempunyai hak untuk penangguhan penahanan,53 tidak mempunyai hak untuk dilakukan penahanan rumah ataupun penahanan kota,54 dan tidak mempunyai hak untuk berhubungan dengan pihak-pihak luar termasuk keluarganya.55 Penjelasan Pasal 28 (a) itu selanjutnya menyatakan seorang tersangka tidak mempunyai hak untuk menganggap dirinya tidak bersalah, dan dirinya akan dianggap sebagai “obyek pemeriksaan”.56 Pasal 30 sekali lagi nampaknya menyediakan sejenis standard bahasa hukum yang menyatakan bahwa jika cukup kuat bukti-bukti awal bahwa tersangka terbukti terlibat dalam kegiatan yang mengancam keamanan nasional, tersangka akan dialihkan ke Kepolisian Negara atau ke Kejaksaan Agung untuk diajukan ke pengadilan,57 dan jika tidak ada bukti yang cukup kuat, tersangka akan dibebaskan.58 Pasal 29 dengan menarik sekali kelihatannya mengindikasikan bahwa informasi yang dikumpulkan selama masa pemeriksaan intellijen itu, tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk penuntutan.59 Pasal 28 ini bertentangan dengan Hukum Acara Pidana Indonesia sendiri. Pasal 28 dalam peraturan undang-undang Intellijen sekarang ini, tidak berhasil mengikuti atau secara langsung bertentangan dengan hakhak seorang tersangka seperti yang dirumuskan di dalam KUHAP, termasuk hak untuk memohon dipercepatnya proses peradilan dimuka hakim (KUHAP 50), hak untuk diberitahukan atas penahanannya (KUHAP 18), hak untuk meragukan penahannya pada awal pemeriksaan (KUHAP 51), hak untuk memperoleh penterjemah (KUHAP 53), hak untuk didampingi oleh pengacara selama dalam pemeriksaan (KUHAP 54),60 hak untuk menghubungi keluarga dan anak-anaknya (KUHAP 5960), dan kemungkinan untuk penahanan kota atau rumah (KUHAP 22). Human Rights Watch prihatin bahwa ketentuan Pasal 28 itu juga bertentangan dengan azas-azas fundamental hukum international mengenai hak azazi manusia dalam hal perlakuan terhadap tersangka 52
(c) tidak mempunyai hak untuk diam atau tidak menjawab pertanyaan pemeriksa (d) tidak mempunyai hak atas penangguhan penahanan dengan jaminan orang ataupun uang; (e) tidak mempunyai hak untuk dilakukan penahanan rumah maupun penahanan kota 55 (f) tidak mempunyai hak untuk berhubungan dengan pihak luar, termasuk keluarganya 56 Yang dimaksud dengan system inquisitor adalah suatu cara yang memperlakukan tersangka sebagai obyek pemeriksaan dan bukan sebagai pihak sebagaimana dalamsistem aqusatoir. Disini tidak berlaku adagium praduga tak bersalah. 57 Apabila dari hasil pemeriksaan intellijen sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf a: terdapat cukup kuat buktibukti awal bahwa tersangka terlibat dalam kegiatan ancaman nasional, maka tersangka dan barang-barang sitaan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf b, diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Agung Republik Indonesia, untuk diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 58 Tidak terdapat cukup kuat bukti-bukti awal, maka tersangka harus dilepaskan dari penahanan. 59 Hasil pemeriksaan intellijen sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf a, bukan merupakan bahan pro justisia 60 hal ini harus diperhatikan bahwa KUHAP mempunyai pasal khusus yang menyatakan bahwa bagi mereka yang diduga melakukan kejahatan terhadap Negara, seorang pembela dapat hadir untuk melihat tetapi tidak dapat mendengarkan pemeriksaan (KUHAP 115) 53 54
pelaku kejahatan. Sebagai contoh adalah penolakan atas asas praduga tak bersalah adalah tidak sesuai dengan Hukum Internasional mengenai Hak-hak Civil dan Hak-hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 14 (2) dan azas-azas atas Perlindungan terhadap Semua Orang dari Semua Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan (the Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment), Pasal 36. Penolakan atas disidangkan langsung dihadapan petugas pengadilan sama halnya bertentangan dengan ICCPR, Pasal 9 dan Asas 11. Penolakan terhadap hak terbukti bersalah, Pasal 9 dan Asas 11. Penolakan atas hak sebagai tertuduh (ICCPR, Pasal 14 (g), penolakan atas hak untuk didampingi pengacara (ICCPR Pasal 14 (3) (d); Asas 17) dan penolakan atas kunjungan angota keluarga (Asas 19; Aturan tentang Perlakuan Minimum terhadap Tawanan, Peraturan 37) adalah ketentuan-ketentuan yang sangat berlawanan. Human Rights Watch juga prihatin atas kurangnya penjelasan dalam ketentuan yang mengatur hubungan antara badan intellijen dengan system hukum pidana. Ketentuan Pasal 29 dan 30 dalam hal ini mengisyaratkan harus adanya kejelasan tersebut. VI. Imigrasi dan Penggunaan Senjata Pasal 33 dan 34 memberikan wewenang kepada Kepala BIN untuk memerintahkan Direktur Jendral Imigrasi untuk mendeportasi atau mencegah masuk setiap orang yang diduga kuat baik langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan ancaman nasional.61 Pasal 25 memberikan wewenang kepada Kepala BIN untuk mengadakan senjata dan mengeluarkan izin penggunaan senjata kepada petugas-petugas intellijen.62 Penjelasan (terhadap Pasal 26 (a) itu -- adalah suatu kesalahan) memperjelas bahwa Kepala BIN memiliki kebebasan untuk menjalankan wewenangnya tanpa perlu mendapatkan izin dari instansi lainnya.63 Atas dasar tidak adanya sama sekali pertanggung jawaban yang jelas dari aparat intellijen didalam rancangan undang-undang ini, Human Rights 61
Pasal 33: Dalam rangka melaksanakan penyelidikan, Kepala Badan Intellijen Negara berwenang memerintahkan kepada Direktur Jendral Imigrasi untuk mencegah atau melarang orang-orang tertentu yang diduga kuat terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan ancaman nasional, untuk meninggalkan wilayah kekuasaan Republik Indonesia; 62 Kepala Badan Intellijen Negara berwenang: (a) melakukan pengadaan senjata api yang dipergunakan, langsung kepada produsen dan atau melalui agen yang berdomisili di dalam maupun di luar negeri; (b) menertibkan surat senjata api bagi penyelenggara intellijen. 63 Kewenangan pengadaan senjata api yang dimiliki oleh Kepala Badan Intellijen Negara adalah kewenangan yang dikuasakan dan bersumber dari Undang-Undang ini. Dengan demikian, apabila Kepala Badan Intellijen Negara melakukan pengadaan senjata api untuk kepentingan instansinya, tidak memerlukan ijin dari sesuatu instansi lain
Watch berkeberatan atas bertambah luasnya wewenang yang diberikan kepada Kepala BIN yaitu dalam hal mencegah masuk dan mendeportasikan orang-orang yang diduga terlibat dengan ancaman nasional, dan mengeluarkan izin penggunaan senjata, yang biasanya merupakan wewenang departemen pemerintahan lainnya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Human Rights Watch berkeberatan bahwa bahasa hukum seperti yang diatur dalam Pasal 33 dan 34 (“diduga kuat”, “secara tidak langsung terlibat”) adalah tidak jelas. Ketentuan ini, tanpa peninjauan kembali atau tanpa pengawasan yang tepat, dapat disalah gunakan oleh penguasa intellijen untuk mengurangi hak-hak untuk bergerak secara bebas di dalam atau di luar Negara Republik Indonesia dan menetapkan batasan yang sewenang-wenang terhadap gerak-gerik warga Negara asing.