BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sastra merupakan karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain,
memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan kehidupan manusia. Melalui karya sastra pengarang dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga dalam karya sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan. Dalam hal ini kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di daerah Bali. Dimana kesusastaan Bali ini masih hidup dan berkembang sampai sekarang didalam lingkungan kebudayaan masyarakat Bali. Kesusastraan
Bali
merupakan
segala
hasil
karya
cipta
yang
mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya dan memuat mengenai kehidupan masyarakat Bali. Bagi mereka para pengarang-pengarang karya sastra yang ada di Bali di istilahkan dengan menggunakan nama pengawi. Tetapi dalam istilah bahasa Indonesia para pengarang karya sastra ini lebih sering dikenal dengan istilah penyair, sastrawan.
Secara umum kesusastraan Bali dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : kesusastraan Bali Purwa (Tradisional) dan kesusastraan Bali Anyar (Modern). Kesusastraan Bali Purwa adalah hasil karya atau cipta seorang pengarang atau pujangga yang menceritakan tentang dinamika kehidupan masyarakat Bali pada saat atau sebelum dipengaruhi oleh kebudayaan asing atau luar. Yang temasuk kesusastraan Bali purwa adalah tembang, gancaran dan palawakya. Yang dimaksud dengan kesusastraan Bali Anyar merupakan hasil karya atau cipta seorang pengarang atau pujangga yang menceritakan mengenai kehidupan masyarakat Bali yang sudah dipengaruhi oleh dunia luar. Karya-karya sastra yang termasuk kedalam kesusastran Bali Anyar, antara lain : satua dawa (novel), satua bawak (cerpen), drama dan yang lain sebagainya. Geguritan merupakan salah satu hasil dari kesusastraan Bali purwa atau kesusastraan Bali tradisional. Sastra Bali purwa adalah warisan sastra Bali yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pendukungnya (Granoka, 1981:1). Karya sastra tradisonal khususnya geguritan cukup dikenal dan tetap akan hidup dalam kehidupan masyarakat Bali sampai pada saat ini. Hal tersebut ditandai dengan masih adanya kegiatan mabebasan yang berkembang di dalam masyarakat baik dengan cara diadakannya lomba-lomba, pengajaran di sekolah ataupun kegiatan yang lainnya. Geguritan dapat digolongkan ke dalam sastra paletan, yaitu sastra berbentuk puisi yang menggunakan tembang (pupuh) atau tembang macepat (Bagus, 1991 : 38). Karya sastra tradisional khususnya geguritan itu sendiri merupakan suatu sastra kuno yang memiliki ciri-ciri sastra lama atau klasik yang bersifat anonim atau tanpa nama pengarang dan penulisnya. Ini disebabkan
karena pada zaman tersebut penulis tidak ingin menonjolkan dirinya dan karyanya dianggap sebagai milik bersama. Geguritan dibentuk oleh beberapa pupuh yang dimana pupuh-pupuh tersebut diikat oleh beberapa syarat yang disebut dengan padalingsa, yaitu banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris, banyaknya baris dalam tiap-tiap bait, dan bunyi akhir tiap-tiap baris menyebabkan pupuh-pupuh itu harus dilagukan (Agastia, 1980: 17). Pada kesempatan ini, yang akan diteliti adalah salah satu geguritan yang terdapat di Kantor Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Dari berbagai macam geguritan yang ada, penulis menggunakan naskah Geguritan Sri Eswaryadala yang selanjutnya akan disingkat GSE. GSE ini merupakan sebuah karya sastra yang telah disalin ke dalam bahasa Bali latin oleh I Gede Suparna. Di samping itu, GSE ini sudah pernah dikaji dengan judul Geguritan Sri Eswaryadala Sebuah Kajian Penokohan Dan Amanat oleh bapak I Nengah Duija pada tahun 1991. GSE terdiri dari enam pupuh, yaitu: pupuh Sinom (99 bait), pupuh Dangdang (48 bait), pupuh Ginada (53 bait), pupuh Durma (56 bait), pupuh Sinom (56 bait), pupuh Ginanti (35 bait), dan pupuh Semarandana (55 bait). Setiap pupuh memiliki bentuk konvensi berbeda-beda sesuai padalingsa pupuh yang membentuknya. Biasanya dalam sebuah geguritan akan ditemukan adanya perbedaan padalingsa. Hal tersebut bukan merupakan suatu hal yang menyimpang melainkan suatu inovasi atau suatu kreativitas yang dilakukan oleh pengarang dengan mempertimbangkan kesulitan pengarang dalam mencari kata-kata yang cocok dan sesuai dengan tuntutan padalingsa atau memang merupakan variasi dari pengarang.
Kepiawaian pengarang kembali terlihat dalam penggunaan gaya dan ragam bahasa yang menunjukkan pengarang tersebut berusaha untuk menghidupkan suasana cerita. Jika dilihat dari ragam bahasa, secara dominan GSE menggunakan bahasa Bali Kepara yang memiliki rasa bahasa yang halus seperti bahasa Bali Alus dan bahasa Bali Madya. GSE bila dilihat dari segi isinya menceritakan mengenai kisah kehidupan Ni Dyah Tantri yang bersedia dipersembahkan kepada raja Sri Eswaryadala demi menyelamatkan ayahnya yang bernama patih Bandeswarya dari amarah sang raja yang selalu menginginkan agar di setiap malam patihnya mempersembahkan seorang wanita yang telah selesai di upacarai kepada beliau. Karena beliau merasa malu kepada masyarakatnya yang sedang melakukan arak-arakan pernikahan yang hampir menyerupai dengan abdi kerajaan. Pada malam itu setelah Ni Dyah Tantri selesai diupacarai dia lalu dipersembahkan kepada sang raja, tetapi pada saat malam itu sang raja tidak dapat berbuat apa-apa karena Ni Dyah Tantri mulai menceritakan kisah lembu nandaka sampai dengan kisah I Kedis Atat. Salah satu yang menjadi keunikan dari GSE ini adalah dari segi citra wanita yang terdapat didalam GSE yang menjadikan karya ini menarik untuk diteliti. Citra wanita
yang dilukiskan tersebut tidak jauh berbeda dengan
kenyataan yang ada di dalam masyarakat, meskipun tidak semua masyarakat mengalami hal serupa. Kedudukan tokoh wanita dalam GSE sebagai seorang yang memiliki citra baik. Citra wanita yang terdapat didalam GSE ini menggambarkan mengenai seorang wanita yang memiliki paras yang cantik serta ayu, seorang wanita yang intelektual. Intelektual di sini memiliki arti seorang wanita yang mampu mengaplikasikan kemampuannya pada saat-saat yang tepat untuk
membantu orang lain sesuai dengan kemampuan yang dia miliki. Seorang wanita yang memiliki sifat yang tenang diharapkan mampu mengatasi siatuasi dalam keadaan apapun tanpa menggunakan emosinya. Seorang wanita yang beretika diharapkan mampu berperilaku sebagai mana mestinya terhadap orang-orang yang lebih tua, sebaya, ataupun terhadap orang-orang yang lebih kecil dengan tetap berperilaku sopan serta sesuai dengan tata caranya. Selain dapat diteliti melalui segi citra wanita, GSE juga dapat diteliti dari segi makna, pengarang menggambarkan makna yang terdapat dalam GSE melalui sosok Ni Dyah Tantri yang mampu memberikan pencerahan kepada ibu, ayah dan raja melalui kepandaian atau kepintaran yang telah dimilikinya. Penelitian yang mengkaji citra wanita dan makna dalam GSE tersebut sejauh pengamatan penulis belum pernah ada yang menelitinya. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, maka penulis akan mengkaji citra wanita dalam GSE. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menggunakan teori feminisme untuk mengkaji citra wanita, dan teori semiotika untuk meneliti makna yang terdapat di dalam GSE. Citra merupakan kesan atau gambaran yang dimiliki oleh orang-orang banyak. Berkaitan dengan hal tersebut, maka citra wanita merupakan gambaran yang dimiliki oleh orang-orang banyak mengenai seorang wanita. Seorang wanita dicitrakan sebagai makhluk individu berdasarkan aspek fisis dan aspek psikologis. Citra wanita yang terdapat dalam GSE memang hampir sebagaian besar dimiliki oleh masyarakat luas meskipun tidak selalu sama persisi seperti yang terdapat dalam GSE. Beberapa bentuk pemaparan di atas tentang
GSE menunjukkan bahwa banyak hal yang mendasari ketertarikan peneliti terhadap GSE, oleh sebab itu GSE perlu dikaji lebih mendalam lagi pada aspek citra wanita.
1.2
Rumusan Masalah Bertolak dari uraian latar belakang di atas, maka timbul beberapa
permasalahan dalam mengkaji suatu karya sastra. Begitu juga dengan GSE ini sebagai bahan kajian yang penuh dengan permasalahan di dalamnya. Karena kajian yang dilaksanakan mengenai citra wanita, maka dapat diangkat beberapa permasalahan, antara lain : 1. Bagaimanakah struktur yang membangun GSE ? 2. Bagaimanakah citra wanita yang terdapat dalam GSE ? 3. Apa sajakah makna yang terdapat dalam GSE ?
1.3
Tujuan Penelitian Setiap analisis suatu karya sastra memiliki suatu tujuan. Tujuan merupakan
sasaran yang ingin dicapai dalam sebuah penelitian. Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menambah khazanah di bidang sastra khususnya karya sastra Bali tradisional. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai citra wanita yang terdapat di dalam
naskah-naskah lama sebagai warisan budaya bangsa khususnya geguritan. Penelitian ini turut berupaya melestarikan dan menyebarluaskan nilai-nilai sastra yang memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam melaksanakan penelitian ini adalah untuk memecahkan permasalahan yang telah dipaparkan didalam rumusan masalah yakni : 1. Untuk mengetahui struktur yang membentuk GSE. 2. Untuk mengetahui citra wanita yang terdapat di dalam GSE. 3. Untuk mengetahui makna yang terdapat dalam GSE.
1.4
Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan tentu memiliki manfaat. Manfaat
penelitian merupakan kegunaan yang diperoleh dari adanya suatu penelitian sehingga penelitian tersebut memiliki sebuah arti. Terutama penelitian terhadap teks aman dahulu sangat besar manfaatnya bagi perkembangan apresiasi masyarakat, dan untuk melestarikan serta mengembangkan nilai-nilai budaya suatu bangsa. Hasil yang diharapkan agar para pembaca mudah memahami dan mengerti hal-hal yang terdapat di dalam GSE. Dengan demikian, penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan citra wanita yang terdapat di dalamnya.
1.4.1 Manfaat Praktis Penelitian dilaksanakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat mengenai uraian citra wanita yang terdapat di dalam sebuah teks geguritan yang merupakan suatu bentuk peninggalan dari zaman dahulu agar dapat memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan masyarakat pada masa mendatang. Serta untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat agar mengetahui, memahami, dan menerapkan mengenai isi yang terkandung di dalam GSE.
1.4.2 Manfaat Teoretis Secara teoritis, manfaat hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya, dan mengembangkan teks-teks peninggalan pada zaman dahulu kepada generasi muda yang mendatang. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambahkan khasanah sumber-sumber bacaan kepada para pembaca dan peminat sastra. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai informasi dan pengembangan di bidang ilmu sastra. Sehingga penelitian ini dapat mengungkapkan struktur yang membangun GSE dan citraan seorang wanita yang ingin disampaikan oleh pengarang.