BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Secara hukum negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak melalaui berbagai peraturan perundang-undangan di antaranya UU Nomor.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya dilakukannya penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang meninggalkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak.1 Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun negarara. Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan: “Negara, pemerintah, 1
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembngan Konsep Diversi dan Restorative Justice,cet.Pertama,PT Refika Aditama,Medan,2009,hal.1
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”2 Aspek hukum perlindungan anak perlu diperhatikan karena perlindungan hukum terhadap anak dan peradilan pidana anak merupakan salah satu cara melindungi anak dalam pertumbuhannya di masa depan. Perlindungan hukum, dalam hal ini, mengandung pengertian perlindungan anak berdasarkan ketentuan yang berlaku ( yang mengatur tentang Peradilan Pidana Anak ), baik sebagai tersangka, terdakwa, terpidana/narapidana. Secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana anak, ditetapkan dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dibentuknya undang-undang tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga ditangani secara khusus. Anak nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat hukum pidana secara khusus, baik menyangkut hukum pidana materil, hukum idana formal, maupun hukum pelaksanaan pidanya. 2 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Cet. Pertama, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
Mengenai perjalannya pengaturan masalah hukum pidana anak mengalami perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Khususnya menyangkut pengaturan masalah pemidanaan, secara subtansial Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tampak tidak terdapat perubahan yang sangat mendasar.3 Mengenai Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan Bahwa Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam Hukum Acara Pengadilan Anak, kecuali ditentukan lain. Dengan demikian, adanya undang-undang tentang Pengadilan Anak merupakan salah Satu pengembangan atau pembaharuan dalam sistem pemidanaan. Proses Peradilan Pidana Anak mulai dari Penyidikan, Penuntutan, Pengadilan,
dan
dalam
menjalankan
putusan
Pengadilan,
di
Lembaga
Pemasyarakatan Anak Wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khusus atau setidaknya mengetahui tentang masalah Anak Nakal. Perlakuan selama proses Peradilan Pidana Anak harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai kemanusian anak menjadi rendah.4 Sesuai Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Anak, setiap Anak sejak sitangkap atau ditahan, berhak mendapat bantuan hukum dari dari seorang
3 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Cet pertama, Penerbit PT Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 82-83 4 Ibid, hal. 4-5
Universitas Sumatera Utara
atau lebih Penasehat Hukum. Bantuan hukum itu diberikan selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang telah ditentukan. Menurut ketentuan Pasal 51 undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan kemudian pejabat tersebut wajib memberitahukan kepada tersangka atau orang tua, wali, atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum dan berhubungan dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan ini senada dengan Pasal 56 KUHAP yang hanya mewajibkan seorang tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum, apabila diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih. Sebaliknya Undang-Undang Pengadilan Anak tidak mengatur adanya kewajiban terhadap tersangka/terdakwa anak didampingi Penasehat Hukum pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan. Padahal ketika Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak, tadinya dimaksudkan agar pada setiap tingkat pemeriksaan anak “wajib” didampingi Penasehat Hukum, tetapi kemudian ketentuan wajib itu diubah menjadi “berhak” ketika UndangUndang Pengadilan Anak diterbitkan.5 Pengadilan anak menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan pengkhususan dari sebuah badan peradilan, yaitu peradilan umum untuk menyelenggarakan pengadilan anak. Akibatnya dalam pengadilan tidak mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili
5 Nasriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Cetakan kedua, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.115‐116
Universitas Sumatera Utara
perkara pidana anak. Tujuan dari sistem peradilan pidana yakni resosialiasi serta rehabilitasi anak (reintegrasi) dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan restoratif dan diversi tidak menjadi substansi undang-undang tersebut. Anak dipersonifikasikan
sebagai
orang
dewasa
dalam
tubuh
kecil
sehingga
kecenderungannya jenis sanksi yang dijatuhkan pada perkara anak masih didominasi sanksi pidana dari pada sanksi tindakan. Konsekuensi logisnya, jumlah anak yang harus menjalani hukum di lembaga pemasyarakatan semakin meningkat. Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end” artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration).6 Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. 66 http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “, Diakses Kamis, 29 Agustus 2012
Universitas Sumatera Utara
Proses menangani perkara anak nakal maka tingkat penyidikan dilakukan oleh penyidik anak. Menurut ketentuan Pasal 41 ayat (1) undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 penyidik anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Suatu pelaksanaan kewajiban penyidikan anak tersebut, maka penanganan proses penyidikan perkara anak nakal penyidik wajib merahasiakannya, kemudian memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan serta wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (pasal 42 ayat (1), (2),(3) UU 3/1997 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak). Pelaksanaan kewajiban tersebut penyidik anak dapat melakukan penangkapan dan penahan. Penangkapan dilakukan penyidik guna kepentingan pemeriksaan paling lama 1 (satu) hari dan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 43 ayat (2) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 17 UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses
Universitas Sumatera Utara
hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.7 Pada dasarnya, hukum acara pengadilan anak untuk tahap penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik yang ditetepkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisan RI dan diangkat dengan syarat telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak serta penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan serta meminta pertimbangan atau sarana dari pembimbing kamasyarakatan serta meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan serta meminta pertimbangan atau saran dari 7 http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “, Diakses Kamis, 29 Agustus 2012
Universitas Sumatera Utara
pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya serta proses penyidikan terhadap anak nakal wajib di rahasian (pasal 41 ayat (1), (2) , pasal 42 ayat (1), (2) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak ) dan dalam rangka penyidikan penyidik berhak melakukan penangkapan dan penahanan ( pasal 41, 42, 43-45 UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak). Sedangkan dalam proses penuntutan oleh pihak kejaksaan dimana Penuntutan Umum anak tersebut mempunyai hak dan kewajiban sesuai ketentuan pasal 46, 53, 54, UU 3/1997 tentang pengadilan anak, pasal 137-146 UU 8/1981 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan kemudian pada hukum acara di depan sidang pengadilan berlandaskan kepada ketentuan pasal 47, pasal 55-59 UU 3/1997 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak.
Universitas Sumatera Utara
Proses tahapan penyidikan anak nakal, tidak hanya sekedar mencari bukti serta penyebab kejadian, tetapi juga diharapkan dapat mengetahui latar belakang kehidupan anak tersebut sebagai pertimbangan dalam menentukan tuntutan terhadap tersangka. Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah : 1. Telah berpengalaman sebagai penyidik; 2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut. Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP. Menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing
Kemasyarakatan,
Pekerja
Sosial
Profesional
dan
Tenaga
Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar. Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan, tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia. Berdasarkan penyidikan yang dilakukan terhadap anak maka harus diperhatikan hak – hak serta kewajiban anak walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka sekalipun. Salah satu hak yang harus didapatkan terhadap anak nakal ialah hak untuk di dampingi oleh penasehat hukum baik dari penyidikan bahkan sampai kepersidangan. Keadaan persidangan berbeda dengan terdakwa yang sudah dewasa, untuk perkara anak selama persidangan digelar. Pengadilan anak menghendaki terdakwa didampingi oleh penasehat hukum, orang tua, wali atau orang tua asuh, dan pembimbing kemasyarakatan. Mereka memiliki peranan masing-masing untuk
Universitas Sumatera Utara
penasehat hukum/advokat mempunyai kedudukan yang berbeda dengan orang tua, wali atau pembimbing kemasyarakatan. Penasehat hukum atau advokat mempunyai
fungsi
membela
kepentingan
hukum
terdakwa/anak
nakal
dipersidangan juga berperan aktif dalam rangka mengungkapkan kebenaran materiil terhadap perkara yang dihadapi oleh terdakwa/anak nakal. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah “ Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)”. B. PERMASALAHAN Bertitik Tolak dari uraian latar belakang tersebut diatas ada beberapa masalah yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum positif Indonesia? 2. Bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Berdasarkan permasalahan yang dipilih di atas tujuan yang ingin dicapai adalah : a) Mengetahui Pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum Positif di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
b) Mengetahui pola pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum dalam proses penyidikan di Polsek padang tualang kabupaten langkat. 2. Manfaat Penulisan Penelitian yang dilakukan ini di harapkan hasilnya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. a) manfaat teoritis dimaksudkan hasil dari penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum pidana, khususnya dalam hukum pidana mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan. b) manfaat praktis dimaksudkan hasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam hukum pidana yang menyangkut tentang pendampingan dalam memberikan bantuan terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan. D. Keaslian Penulisan Topik permasalan di atas sengaja dipilih dan di tulis, oleh karena sepengetahuan penulis, pokok pembahasan ini adalah sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana yang sering yang sering di persoalkan mengengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,karena
pendampingan dalam memberikan bantuan hukum mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem peradilan pidana.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun ada, pengamatan penulis berbeda dalam subtansi pembahasan, pendekatan dan penulisannya dalam skripsi ini, permasalahan terhadap Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan khususnya Studi Di Polsek Padang Tualang Kabupaten langkat ini, bahwa dalam permasalahan ini adalah murni hasil pemikiran yang dikaitkan dengan teori-teori hukum melalui referensi buku-buku dan bantuan dari berbagai pihak dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan disamping itu juga diadakan penelitian. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Bantuan Hukum Pengertian Bantuan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terdapat didalam Bab 1 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Bantuan Hukum adalah jasa Hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.” Ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dimana seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Karena pentingnya maka diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 Butir 9 dijelaskan bahwa “bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan tanggung jawab Negara. Prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela Advokat(acces to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan.8 Menurut pendapat K. Smith dan DJ. K. Santoso Poedjosoebroto menyatakan bantuan hukum legal aid adalah :9 “Bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari pada seseorang, yang berpekara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara’. Selain itu juga bantuan hukum merupakan bantuan yang diberikan para ahli kepada mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-haknya serta memperoleh perlindungan hukum.
8Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Cetakan Pertama, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hal. 1 9 Soerjono Soekamto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
Jenis-jenis bantuan hukum secara umum dapat dibedakan atas beberapa bagian antara lain :10 1. Bantuan hukum preventif (prevetive rechsthulp) yang merupakan penerangan dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas. 2. Bantuan Hukum diagnotie (diagnotie rechshulp) yaitu pemberian nasihat hukum yang lazim disebut pemberian hukum konsultasi hukum. 3. Bantuan hukum pengendalian konflik (conflik regulerense rechtshulp) yang merupakan bantuan hukum yang bertujuan untuk masalah-masalah hukum konkrit secara aktif. Bantuan hukum semacam ini yang disebut bantuan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu secara sosial ekonomi. 4. Bantuan hukum pembentukan hukum (rechtsvormende rehtshulp) yang intinya adalah untuk memancing yurisprudiensi yang lebih tepat, jelas dan benar. Bantuan hukum pembaharuan hukum (rechtsverniewende rechtshulp) yang mencakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentukan undang-undang (dalam arti materi).11
10
Ibid.hal. 27 ibid
11
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Anak Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial, dari masing-masing bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial, fungsi, makna, dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sanagt berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam. Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dengan berlaku universal untuk menentukan kretia batasan umur bagi seorang anak.12 Pada tingkat Internasional tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak antara satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu : Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris hal.18
12
Romli Atmasasnnita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico,Bandung,1983,
Universitas Sumatera Utara
ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia antara lain : Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.13 Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci maka ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur bagi seorang anak, yaitu : 1. Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa terdapat didalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Anak. Yang menyebutkan anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang dimaksudkan Anak Nakal sebagai berikut: a. anak yang melakukan tindak pidana; b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Anak dalam pengertian pidana pidana, lebih diutamakan pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki 13
Ibid. hal, 19
Universitas Sumatera Utara
substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subjek hukum yang normal. Anak dalam status hukum pidana akan menjadi mekanisme sentral untuk membangun pengertian Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak (HPA), secara sistematis dengan keterikatan pada aspek-aspek hukum baik yang menyangkut hak-hak keperdataan, hak-hak ketatanegaraan atau hak-hak secara adat pada umumnya. Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini:14 a. ketidak mampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana. b. pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud
untuk
mensejahterakan anak; c. rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri; d. hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan; e. hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana; Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara
14 Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Cetakan Pertama, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 21-22
Universitas Sumatera Utara
mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali. Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya. 2. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan batasan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatar belakangi berbagai fakrtor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.15 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) Pengelompokan anak menurut pengertian hukum perdata, dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut: (a) status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum; (b) hak-hak anak di dalam hukum perdata. Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 4. Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kedudukan anak dalam pengertian pidana dijelaskan dalam peraturan
perundang-undangan dengan menggunakan beberapa pengertian
sebagai berikut.
15
Maidin Gultom, Op. Cit, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
Menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Undang-undang ini mengkalasifikasikan anak kedalam pengertian berikut ini.16 a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. b. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan di tempatkan di LAPAS Anak Paling lama
sampai
berumur 18 Tahun. c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan
pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling
lama sampai berumur 18 tahun. 3. Pengertian Penyidikan Istilah penyidik ini bisa kita lihat didalam kitab undang-undang hukum acara pidana yang ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Negeri Sipil tertentu yang
diberi
wewenang
khusus
oleh
undang-undang
untuk
melakukan
penyidikan’’. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa yang menjadi penyidik dalam hal ini adalah : a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dan ini dapat berupa :
16
Maulana Hassan Wadong. Op. Cit, Hal. 20
Universitas Sumatera Utara
1. Pejabat bea cukai 2. Pejabat imigrasi 3. Pejabat kehutanan Menurut Pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Menurut Pasal 2 No. 27 Tahun 1983 : 1. Penyidik adalah : a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. 2. Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka komandan
sektor
kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu letnan dua polisi, karena jabatannya penyidik. 17 Penyidik pembantu merupakan penyidik yang terdiri dari pejabat kepolisian negara republik Indonesia, baik yang menjabat pangkat polisi maupun yang termasuk pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian negara yang
17 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pangkat tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah. Penyidik dan penyidik pembantu ini di atur dalam pasal 6-pasal 13 Bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP F. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menetapkan : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis . Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau setudi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis yaitu Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan literatur-literatur buku yang ada diperpustakaan. Penelitian hukum sosiologis mempunyai istilah lain yaitu: penelitian hukum empiris dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di Kepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Lapangan ini berupa data primer (data dasar) yaitu data yang didapat langsung dari pihak responden yaitu pihak penyidik dengan melalui lapangan. Perolehan data perimer dari penelitian lapangan dapat dilakukan melalui wawancara. 2. Bahan Hukum Data yang digunakan adalah data sekunder dan didukung data primer. Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan Hukum Primer adalah bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta peraturan perundangundangan. b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh untuk mendukung dan berkaitan dengan Bahan Hukum Primer yang berupa literatur-literatur yang terkait dengan bantuan hukum sehingga menunjang penelitian yang dilakukan. c. Bahan Hukum Tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermaknaterhadap bahan hukum primer dan sekunder sperti kamus dan ensiklopedia yang relevan dengan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengumpulan Data a. Library Research Materi dalam penelitian ini diambil dari data Primer dan data Sekunder. Jenis data yang meliputi data sekunder yaitu Library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku-buku, berbagai literatur, dan juga
berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan “Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan ”. b. Field Research Data primer diperoleh dengn cara Field Research (penelitian lapangan), yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan dalam hal ini studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat. Penelitian atau studi lapangan dilakukan melalui wawancara (indepht interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (inteview guid)kepada informan, yaitu Penyidik diKepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat. 4. Analisis Data Setelah data mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan anak Dalam proses pemeriksaan dalam tingkatpenyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat) ini
Universitas Sumatera Utara
terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu analisis yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi kepustakaan kemudian diuraiakan yang logis dan sistematis.
G. Sistematika Penulisan Untuk menyusun skripsi ini, penulis membagi dalam IV (empat) Bab yang terbagi pula atas beberapa sub-sub, maksudnya adalah untuk mempermudah penulis di dalam menguraikan pengertian Masalah sampai kepada kesimpulan dan saran-saran berhubungan dengan materi pembahasan. Secara garis besar gambaran skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN
Merupakan Bab yang memberikan ilustrasi dan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan danmanfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan, kemudian penjelasan tinjauan kepustakaan seputar pengertian Bantuan Hukum, Pengertian Anak, Pengertian Penyidikan. BAB
II
:
PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDINESIA
Pada bab ini berisikan pembahasan mengenai masalah bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Positif di Indonesia, Dalam Sistem Peradilan Pidana Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, yang terdiri dari beberapa sub-sub yaitu menurut undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab-Kitab Hukum Acara
Universitas Sumatera Utara
Pidana, perlindungan hukum terhadap anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002. Menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
BAB III : POLA PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLSEK PADANG TUALANG. Dalam bab ini membahas mengenai pola Pelaksanaan Pemberian perlindungan Hukum terhadap anak Dalam Proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat,
penyidik yang berwenang untuk melakukan
penyidikan, proses penyidikan terhadap anak di polsek padang tualang, dan pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di polsek kabupaten langkat. BAB IV
: KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini merupakan bagian penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini, berisikan Kesimpulan dan Saran sebagai jawaban hasil pemecahan masalah yang diidentifikasikan.
Universitas Sumatera Utara