BAB I PENDAHULUAN
A.
Alasan Pemilihan Judul Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya sebagai
sumber daya kayu, tetapi juga sebagai salah satu komponen lingkungan hidup. 1 Hutan dapat menyediakan barang dan jasa sebagai material dasar untuk pembangunan. 2 Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan dengan tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum seperti untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya, sehingga hutan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai salah satu
penentu sistem penyangga kehidupan hutan harus dijaga kelestariannya, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Indonesia dikaruniai dengan salah satu hutan tropis yang paling luas dan paling kaya keanekaragaman hayatinya di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia
1
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal 6. 2 San Afri Awang, Dekontruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan, Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2004, hal 31.
1
mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Letak wilayah Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa menyebabkan Indonesia banyak memiliki hutan khususnya hutan hujan tropis. Areal hutan tersebut diperkirakan seluas kurang lebih 144 juta ha. 3 Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. 4 Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan permukaan bumi, keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya luar biasa tinggi, meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung.5 Sebagian besar dari spesies ini berada di dalam hutan-hutan Indonesia. Indonesia juga adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis dan kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan kertas. Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan untuk produksi kayu (meskipun tidak semuanya aktif dibalak), dan ada 2 juta ha lagi hutan tanaman industri yang telah didirikan, yaitu untuk memasok kayu
3
Salim H.S, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal.
1. 4
FWI/GFW, Keadaan Hutan Indonesia, Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, 2001, hal 1. 5 Ibid.
2
pulp.6 Berdasarkan hal itulah maka diperlukan pengaturan mengenai kehutanan di Indonesia. Kehutanan adalah suatu kegiatan yang bersangkutpaut dengan pengelolaan ekosistem hutan dan pengurusannya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa.7 Dalam konteks hukum, kehutanan diatur oleh Hukum Kehutanan yang mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka yang diberlakukan lebih dahulu adalah hukum kehutanan. Luas hutan Indonesia pada tahun 2007 tercatat mencapai 132,397 juta ha atau setara 70 persen dari luas wilayah Indonesia. Namun selama rentang 2009 – 2010 laju deforestasi dan degradasi hutan cukup memprihatinkan, mencapai 1,125 juta Ha. Kegiatan pembalakan liar, kebakaran dan perambahan lahan kritis tahun 2007 tercatat mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan yaitu 77,8 juta Ha.8 Peningkatan kejahatan di bidang kehutanan berakibat pada kerusakan dan hilangnya ekosistem hutan serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Seiring dengan semangat reformasi, kegiatan penebangan kayu dan pencurian kayu di hutan justru malah menjadi
6
Ibid, hal 5. Arifin Arief, Hutan & Kehutanan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal 14. 8 Pikiran Rakyat, Kerusakan Hutan di Indonesia Makin Parah, http://www.pikiranrakyat.com/node/167000, diakses pada tanggal 4 November 2012. 7
3
semakin marak. Penebangan pepohonan yang semakin meningkat ini berhubungan dengan:9 a) Kebutuhan akan kayu semakin meningkat. b) Makin majunya ekspor hasil hutan c) Makin majunya industri-industri yang menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku, seperti industri plywood dan hardboard, industri pulp, industri rayon untuk bahan sandang, dan lain-lain.
Apabila penebangan hutan secara liar dibiarkan berlangsung secara terus menerus, maka kerusakan hutan Indonesia akan berdampak pada terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, erosi/tanah longsor, disfungsinya hutan sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari sisi pendapatan Negara pemerintah Indonesia mengalami kerugian yang dihitung dari pajak dan pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara. Berdasarkan hal tersebut, mengingat begitu pentingnya untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hutan di Indonesia, khususnya hutan lindung, maka penulis memilih judul: ”Perlindungan Hukum Terhadap Hutan Lindung Berdasarkan Norma Hukum Kehutanan di Indonesia”
B.
Latar Belakang Masalah 9
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995, hal 1.
4
Hutan adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis. 10 Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya, hutan di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:11 1. Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 2. Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB). 3. Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Sedangkan jenis-jenis hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya, yaitu:12
10
Arifin Arief, Op.cit, hal 9. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Hutan, Jenis Hutan dan Manfaatnya, http://dishut.jabarprov.go.id/images/artikel/hutan-jenis-hutan-dan-manfaatnya.doc, diakses pada tanggal 4 Desember 2012. 12 Ibid. 11
5
1. Hutan Lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. 2. Hutan Konservasi. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas : a. Hutan Suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi
pokok
sebagai
kawasan
pengawetan
keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru. b. Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam. 3. Hutan Produksi Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta
6
pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversikan (HPK). Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa upaya pelestarian hutan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:13 1. Pelestarian fungsi lingkungan hidup, yaitu rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung yang dimaksud adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lain, sedangkan yang dimaksud daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 2. Baku mutu lingkungan hidup, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 3. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang. Secara
yuridis,
pentingnya
perlindungan
hutan
sebagaimana
yang
diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditindaklanjuti dengan langkah Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi :14
13 14
Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Lihat Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.
7
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, dayadaya alam, hama, serta penyakit. b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Berdasarkan rumusan norma tersebut dapat dikatakan bahwa prinsip perlindungan hutan memiliki dua fungsi yakni di satu sisi berfungsi dalam melindungi kawasan hutan baik dari perbuatan manusia, ternak, kebakaran, dayadaya alam, hama, serta penyakit dan di sisi lain berfungsi dalam mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan. Pelaksanaan dari prinsip perlindungan hutan ini sesungguhnya merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. 15 Hak-hak negara tersebut meliputi hak untuk menguasai hutan dengan mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan serta mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan sebagaimana yang diatur dalam
15
Lihat Pasal 47 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
8
Pasal 4 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Untuk mewujudkan perlindungan hutan yang secara optimal maka ditentukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana setiap orang dilarang: a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah b. Merambah kawasan hutan c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak samapai dengan: 1.500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2.200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3.100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4.50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 4.50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5.2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6.130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai d. Membakar hutan e. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil kayu hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang f. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yan diambil atau dipungut secara tidak sah g. Melakukan penyelidikan umum atau eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin menteri h. Mengangkut, menguasai, memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan i. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat berwenang j. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang k. Membawa alat-alat lainnya yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
9
l.
Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan dan kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. Mengeluarkan, membawa, dan memgangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan tidak lepas dari konsep penegakan hukum terhadap lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hutan merupakan salah satu sektor lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang perdata dan bidang hukum pidana. 16 Selain itu dengan adanya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkungan hidup dalam hutan akibat tindak kejahatan illegal logging. Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal Logging secara eksplisit tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun illegal logging bisa diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Tahun 1999. Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 dalam, kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.” Terdapat dua peraturan perundangan yang menyebut illegal logging sebagai penebangan kayu
16
Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung: Alumni, 2001, hal.215.
10
Ilegal yaitu Inpres Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan peredaran hasil hutan ilegal di kawasan ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. 17 Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH namun ternyata perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawai negeri yang memiliki kewenangan di bidang kehutanan, sehingga celah ini dapat dimanfaatkan untuk lolos dari jeratan hukum modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang kehutanan. Keterlibatan pegawai negeri baik sipil maupun militer, pejabat serta aparat pemerintah lainnya baik selaku pemegang saham dalam perusahaan penebangan kayu, maupun yang secara langsung melakukan kegiatan bisnis kayu yang menjadi aktor intelektual, selalu lolos dari jeratan hukum, sehingga hasilnya kemudian tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Selain itu, belum adanya kesepahaman dalam memberikan definisi liar (illegal) dalam rangka menjustifikasi setiap kasus tentang illegal logging antara pemerintah dengan masyarakat adat dan antara pemerintah pusat dan daerah akan
17
Fadli Moh.Noh, Permasalahan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan di Kaltim, Penegakan Hukum dan Kehutanan, Berita Resmi Statistik No.14 volume VII./, Jakarta, 2004, hal 78.
11
menimbulkan tanggapan atau penilaian tersendiri oleh masing-masing pihak terhadap illegal logging.18 Kondisi ini juga diperburuk dengan adanya kontradiksi kebijakan antara pusat dan derah yang semakin mengaburkan konsep legalitas konsesi pengusaha dan pemanfaatan hutan. Sebelum berlakunya undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal dalam KUHP, namun setelah berlakunya UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa izin pihak yang berwenang tersebut dikenakan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan apabila dikenai pasal-pasal dalam KUHP. Sekalipun Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mencantumkan istilah Hutan Adat, bukan berarti masyarakat hukum adat secara pasti memiliki hak pengelolaan atas hutan adat tersebut.19 Masyarakat hukum adat masih harus membuktikan dirinya telah memenuhi kriteria-kriteria menurut Undang-undang Kehutanan agar diakui oleh negara sebagai masyarakat hukum adat dan baru kemudian berhak mengajukan diri untuk mendapatkan persetujuan untuk mengelola Hutan Adat dari Pemerintah. Ironinya, hak dengan status jelas sebagaimana hutan 18
Syafaruddin, Kekuatan Sistem Hukum Dalam Menanggulangi Kegiatan Illegal Logging, Jurnal Moral & Adil, Volume 1, No 1, Maret 2009. 19 Asep Yunan Firdaus, Hutan Adat: Waspada Sebelum Berharap Ada Peluang, Warta Tenure,Nomor5Tahun2008,http://www.wgtenure.org/file/Warta_Tenure/Edisi_05/Warta_Tenure_05f. pdf, diakses pada tanggal 2 Desember 2012.
12
hak. pun setelah mendapatkan pengakuan dan persetujuan, masyarakat hukum adat tetap diwajibkan untuk mengajukan ijin pemanfaatan atas hutan dari otoritas negara di bidang kehutanan. 20 Berbagai fakta menunjukkan bahwa “hutan adat sebagai hutan negara” tidak dimaknai sebagai upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hutan adat oleh negara, karena hutan adat tetap termarjinalkan, dibiarkan bersaing dengan para pemegang ijin dan pengelola hutan dengan tanpa mendapat kepastian hukum. 21 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan pengertian kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan22. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 19990 tentang pengelolaan kawasan lindung, menjelaskan pengertian kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan23. Tujuan utama penetapan kawasan lidung adalah untuk meindungi sumber daya alam atau buatan didalamnya juga ditujukan untuk mencegah berbagai kegiatan 20
Ibid. Hariadi Kartodiharjo, Hutan Negara di Dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktin, Fakta dan Implikasinya Bagi Kelestarian Hutan, http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2012/06/hutannegara-di-dalam-wilayah-masyarakat-hukum-adat.pdf, diakses pada tanggal 2 Desember 2012. 22 Pasal 1 angka 21 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 23 Pasal 1 angka 1 Kepetusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 21
13
budidaya yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan baik kawasan lindung maupun sekitarnya. Selaras yang terdapat dalam Keputusan presiden No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menjelaskan, tujuan pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup 24. Strategi pengelolaan kawasan lindung meliputi : a. Pencegahan kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung b. Pemantauan dan pengendalian kegiatan budidaya di kawasan lindung yang menimbulkan gangguan fungsi lindung c. Melakukan rehabilitas kawasan lindung yang telah mengalami kerusakan Kawasan lindung terdiri kawasan perlindungan setempat berupa sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/situ atau rawa, kawasan suaka alam dan cagar budaya berupa kawasan berhutan bakau, dan peninggalan sejarah. Dengan demikian, pengadaan kawasan lindung dalam suatu wilayah, merupakan suatu usaha untuk menjauhkan masyarakat dari kerugian pemanfaatan lingkungan hidup. Salah satu wujud kawasan lindung adalah Hutan Lindung. Secara sekilas hutan lindung sudah diatur dalam norma hukum kehutanan Indonesia. Namun, berbagai kasus yang berkaitan dengan hutan lindung telah memunculkan pertanyaan penting tentang bagaimana hutan lindung diatur dan dilindungi oleh norma hukum dan apakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap hutan lindung sudah memadai.
24
Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan
lindung
14
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam melalui analisa ilmu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap hutan lindung dalam norma hukum kehutanan di Indonesia. C.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah: 1. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap hutan lindung dalam norma hukum kehutanan Indonesia? 2. Apakah norma Hukum Kehutanan sudah memberikan perlindungan yang memadai atas hutan lindung di Indonesia?
Supaya permasalahan dalam penelitian ini tidak melebar, maka penelitian ini dibatasi dan difokuskan pada hal-hal berikut: 1. Penetapan kawasan hutan lindung. 2. Pengaturan ijin pemanfaatan hutan lindung. 3. Pengenaan ancaman pidana untuk pelanggaran.
D.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah: 1. Mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap hutan lindung dalam norma hukum kehutanan Indonesia.
15
2. Mengetahui
apakah
norma
Hukum
Kehutanan
sudah
memberikan
perlindungan yang memadai atas hutan lindung di Indonesia
E.
Manfaat Penelitian Penulisan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap hutan lindung di Indonesia. 2. Secara Praktis Untuk memberi masukan bagi para pengambil kebijakan akademisi di bidang ilmu hukum khususnya status mengenai Hukum Kehutanan.
F.
Metode Penelitian 1.
Jenis Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.25 Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif digunakan untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap hutan di Indonesia. Maka
25
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media, 2011, hal. 57.
16
untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan dua pendekatan: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu perlindungan hukum terhadap hutan dalam norma hukum kehutanan Indonesia. Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asasasas dalam peraturan perundang-undangan. 26 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap hutan dalam norma hukum kehutanan Indonesia. b. Pendekatan konsep (conseptual approach) Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.27 Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep perlindungan hukum terhadap hutan dalam norma hukum kehutanan Indonesia. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.28 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen
26
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana, 2010, hal.
27
Ibid, hal 137. Ibid, hal 138.
96. 28
17
hukum dalam memecahkan isu mengenai perlindungan hukum terhadap hutan dalam norma hukum kehutanan Indonesia. 2.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interprestasi. 29 Maksud dari digunakannya tipe penulisan ini kurang lebih adalah agar dapat memberikan data yang seteliti mungkin dan kemudian mempertegas teori-teori, sehingga dapat membantu memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.30 Dalam penelitian ini yang diinterprestasikan yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap hutan dalam norma hukum kehutanan Indonesia.
3.
Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini yaitu bahan primer yang meliputi peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu hukum penelitian ini. Di samping bahan hukum primer, sumber penelitian lainnya adalah bahan hukum sekunder, misalnya: publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang Hukum Kehutanan yang dapat ditemukan dalam buku-buku teks, opini koran, jurnal,
29
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 149-150. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press , 1986, hal. 10.
18
juga terbitan berkala. Berikut rincian bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan: a. Bahan Hukum Primer: 1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. 4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. 5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 7) Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. 8) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan . 9) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
19
10) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang hukum kehutanan 4.
Metode Pengumpulan Data Metode yang pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa bahan-bahan tertulis seperti perundang-undangan mengenai kehutanan, karya ilmiah dari pakar-pakar dan buku-buku literatur yang berkaitan dengan kehutanan.
5.
Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif yaitu setelah mendapatkan berbagai data dan informasi dari sumber data yang ada maka data tersebut akan disajikan dalam bentuk uraian keterangan mengenai perlindungan hukum terhadap hutan dalam norma hukum kehutanan Indonesia.
6.
Analisis Data Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu metode analisis yang dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan yang diperoleh, ditelaah dan dianalisa berdasarkan peraturan perundangundangan dan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
20
Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan. Dengan demikian seorang peneliti terutama bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang ditelitinya. 31 Selanjutnya penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran berkaitan dengan isu penelitian yang dikaji oleh penulis.
31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal.32.
21