BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keselamatan menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu: keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit (Depkes RI, 2007).
Program keselamatan pasien dilakukan untuk menjamin keselamatan pasien di rumah sakit melalui pencegahan terjadinya kesalahan dalam memberikan pelayanan kesehatan (Kusnanto, 2007). Menurut Permenkes Nomor 1691/MENKES/PER/ VIII/2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi pengkajian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamtan pasien. Salah satu sasaran keselamatan pasien adalah pengurangan risiko infeksi terkait
1
2
pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2011). World Health Organization (WHO) mencanangkan program Global Patient Safety Challenge “Clean Care is Safer Care” sebagai sebuah komitmen global dalam upaya menurunkan angka infeksi nosokomial (WHO, 2007). Infeksi nosokomial merupakan infeksi akibat transmisi organisme patogen ke pasien yang sebelumnya tidak terinfeksi yang berasal dari lingkungan rumah sakit (Smeltzer, 2001). Cara penularan infeksi nasokomial yaitu kontak langsung antara pasien dengan personel yang merawat atau menjaga pasien, kontak tidak langsung ketika objek di dalam lingkungan terkontaminasi dan tidak didesinfeksi atau disterilkan (Amdani, 2009).
Infeksi nasokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Kasus infeksi nosokomial di seluruh dunia rata-rata 9% dari 1,4 juta pasien rawat inap di seluruh dunia (Schaffer, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh WHO menujukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 Rumah Sakit di 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nasokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10% (Harry, 2006). Di Indonesia penelitian yang dilakukan di 11 Rumah Sakit di Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat. Faktor-faktor penunjang peningkatan ini adalah meningkatnya pasien yang lemah yang masuk ke Rumah sakit dan penanggulangan teknologi invasif berisiko tinggi (Schaffer, 2005).
3
Infeksi nasokomial merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Bahaya dari terjadinya infeksi nasokomial adalah
meningkatnya
angka
kesakitan
dan
angka
kematian
serta
dapat
memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit dan dapat mempengaruhi mutu dari pelayanan rumah sakit (Amdani, 2009). Infeksi ini bisa ditularkan dari pasien ke petugas maupun sebaliknya, pasien ke pengunjung atau sebaliknya, serta antar orang yang berada di lingkungan rumah sakit (Smeltzer, 2001).
Pencegahan infeksi nosokomial dapat dilakukan dengan menjalankan Universal Precautian yang salah satunya adalah dengan mencuci tangan pada setiap penanganan pasien di rumah sakit (Darmadi, 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 mengungkapkan bahwa dengan mencuci tangan dapat menurunkan 20% - 40% kejadian infeksi nosokomial. Namun pelaksanaan cuci tangan itu sendiri belum mendapat respon yang maksimal. Di negara berkembang, kegagalan dalam pelaksanaan cuci tangan sering dipicu oleh keterbatasan dana untuk mengadakan fasilitas cuci tangan dan kurangnya kepatuhan untuk menaati prosedur cuci tangan (Alvarado, 2000).
Mencuci tangan merupakan proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun atau air (Tiejen, 2003). Tujuan cuci tangan adalah untuk menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme (Tiejen, 2003). Salah satu tenaga kesehatan yang paling rentan terhadap penyakit infeksi tersebut adalah perawat karena paling sering berinteraksi dan kontak dengan pasien. Cuci tangan
4
harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Indikasi cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadi perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran dan setelah melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran (Depkes RI, 2003).
Menurut standar WHO cuci tangan dilakukan dengan langkah enam teknik secara berurutan serta pada waktu atau momen yang tepat. Adapun lima momen cuci tangan tersebut adalah sebagai berikut (1) sebelum kontak dengan pasien, (2) sebelum melakukan tindakan asepsis, (3) setelah terkena atau terpapar cairan tubuh pasien, (4) setelah kontak dengan pasien dan (5) setelah kontak dengan lingkungan di sekitar pasien. Apabila perawat mampu untuk selalu mematuhi enam langkah lima momen cuci tangan ini maka resiko terjadinya infeksi nosokomial akan dapat dikendalikan. Penelitian membuktikan infeksi nosokomial di rumah sakit terjadi akibat kurangnya kepatuhan petugas, rata-rata kepatuhan petugas untuk mencuci tangan di Indonesia 20%-40% (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Hasil surveilans data infeksi rumah sakit di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari sampai Desember 2013 menunjukkan bahwa terdapat Infeksi Daerah Operasi (IDO) sebanyak 0,1297%, Hospital Acquired Pneumonia (HAP) sebanyak 2,31%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) sebanyak 2,52%, Infeksi Aliran Darah Perifer (IADP) sebanyak 3,22% dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) sebanyak 17,74%. Di
5
ruang rawat inap IRNA C RSUP Sanglah ditemukan 26 kasus infeksi rumah sakit yang terdiri dari 21 kasus plebitis dan 5 kasus infeksi saluran kemih tahun 2013 (Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSUP Sanglah Denpasar, 2014 ).
Secara keseluruhan kepatuhan cuci tangan perawat di RSUP Sanglah pada tahun 2012 berkisar antara : 64-74,3% dan tahun 2013 berkisar 67,82-74,45%. Hal ini memang belum mencapai 80% seperti apa yang ditargetkan oleh RSUP Sanglah Denpasar. Tingkat kepatuhan kebersihan tangan sesuai lima momen
di RSUP
Sanglah periode bulan April-Juni 2014 yaitu momen satu sebesar 55,81%, momen dua sebesar 46,3%, momen tiga sebesar 63,01%, momen empat sebesar 67,23% dan momen lima sebesar 68,28%. Di ruang Angsoka 3 yang merupakan bagian dari ruang rawat inap IRNA C RSUP Sanglah Denpasar, kepatuhan cuci tangan perawat bulan Desember 2013 mencapai 59,33% (Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSUP Sanglah Denpasar, 2014).
Berbagai upaya telah dilaksanakan RSUP Sanglah Denpasar untuk meningkatkan kepatuhan melaksanakan cuci tangan, salah satunya dengan kampanye cuci tangan. Sesuai tujuannya, kampanye cuci tangan dilaksanakan setiap saat atau pada momen tertentu seperti pada perayaan hari kebersihan tangan sedunia (Hand Hygiene Day) setiap tanggal 5 Mei. Bentuk kampanye yang dilakukan dapat berupa edukasi yang bersifat ajakan, pemasangan poster atau leaflet di setiap sarana cuci tangan, Short Massage Service (SMS) berantai, himbauan melalui pengeras suara atau melalui penari keliling dan lomba tari cuci tangan. Audit cuci tangan dilakukan rutin setiap tiga bulan di ruangan rawat inap dan poliklinik. Sasaran audit adalah para petugas
6
yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien seperti mahasiswa, petugas kebersihan, petugas gizi atau pramusaji, petugas sampling laboratorium, fisioterapis, perawat dan dokter (Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSUP Sanglah Denpasar, 2014).
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan yang baik dan benar. Menurut Subadi (2002), faktor yang mempengaruhi kepatuhan terdiri dari faktor eksternal (karakteristik organisasi, karakteristik kelompok, karakteristik pekerjaan dan karakteristik lingkungan) dan faktor internal yaitu karakteristik perawat itu sendiri (umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, status perkawinan), kemampuan, persepsi dan motivasi. Motivasi adalah gaya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela untuk mengerahkan segenap kemampuannya dalam bentuk tenaga, waktu, keahlian dan keterampilannya untuk melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya (Siagian, 2004).
Dari pemikiran dan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan motivasi dengan kepatuhan cuci tangan enam langkah lima momen perawat di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan motivasi dengan kepatuhan cuci tangan enam langkah lima momen perawat di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar?”.
7
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan motivasi dengan kepatuhan cuci tangan enam langkah lima momen perawat di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.
Untuk mengidentifikasi motivasi perawat di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
2.
Untuk mengidentifikasi kepatuhan cuci tangan perawat di IRNA C
RSUP
Sanglah Denpasar. 3.
Menganalisis hubungan motivasi perawat dengan kepatuhan cuci tangan perawat di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Secara Praktis 1.
Dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat dalam meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dengan pengendalian resiko infeksi nasokomial melalui kepatuhan perawat mencuci tangan di Ruang Rawat Inap RSUP Sanglah Denpasar.
2.
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi managemen rumah sakit dalam upaya meningkatkan penerapan cuci tangan di Ruang Rawat Inap RSUP Sanglah Denpasar.
3.
Memberikan informasi kepada RSUP Sanglah khususnya Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) tentang hubungan motivasi perawat dengan kepatuhan cuci tangan perawat.
8
1.4.2 Manfaat Secara Teoritis 1.
Melalui
pelaksanan
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
ilmu
pengetahuan dalam mempelajari pengaruh motivasi dalam mengubah kepatuhan perawat dalam melaksanakan tugasnya sesuai standar yang ditentukan, khususnya dalam hal cuci tangan. 2.
Sebagai bahan masukan atau pertimbangan untuk peneliti lain yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kepatuhan cuci tangan perawat.
1.5 Keaslian Penelitian Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang terkait dengan judul dari penelitian ini adalah : 1. Nuryati (2013) Hubungan Kepatuhan Perawat Melakukan Cuci Tangan Dan Kejadian Infeksi Nosokomial di Ruang ICU Dan NICU RS Awal Bros Tangerang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kepatuhan cuci tangan perawat dan kejadian infeksi nosokomial di RS Awal Bros Tangerang. Metode penelitian menggunakan kuantitatif dengan jenis deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 orang perawat di ruang ICU dan NICU. Analisa data untuk univariat dengan menggunakan distribusi frekuensi, bivariat dengan mengunakan chi kuadrat. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel kepatuhan cuci tangan pada kategori tidak patuh 40%, dan variabel kejadian infeksi sebesar 20%. Hasil uji Chi Square (p= 0.068, alpha < 0.1) membuktikan ada hubungan kepatuhan perawat melakukan cuci tangan dan kejadian infeksi nosokomial.
9
2. Saragih dan Rumapea (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Tingkat Kepatuhan Perawat Melakukan Cuci Tangan di Rumah Sakit Columbia Asia Medan” Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
hubungan
karakteristik
perawat
(tingkat
pengetahuan,
tingkat
pendidikan, umur dan lama bekerja) dengan tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan di Rumah Sakit Columbia Asia Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasi. Populasi dalam penelitian ini adalah semua tenaga keperawatan yang bekerja di Rumah Sakit Columbia Asia Medan sebanyak 280 orang, dengan teknik probability sampling sebanyak 84 orang perawat. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan uji Pearson. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai cuci tangan dengan tingkat kepatuhan melakukan cuci tangan ( p = 0,02), ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan melakukan cuci tangan (p = 0,04), ada hubungan yang bermakna antara umur dengan tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan (p = 0,02), ada hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan tingkat kepatuhan melakukan cuci tangan (p = 0,04) di Rumah Sakit Columbia Asia Medan. Rumah sakit Columbia Asia Medan memiliki tingkat kepatuhan melakukan cuci tangan dengan kategori kepatuhan minimal (72,61%). 3. Arfianti (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan cuci tangan perawat di RSI Sultan Agung Semarang” Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kolerasi dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua tenaga
10
keperawatan berlatar belakang pendidikan D3 Keperawatan yang bekerja di RSI Sultan Agung Semarang berjumlah 103 orang yang tersebar di semua unit pelayanan keperawatan. Metode sampling yang digunakan metode proportionate simple random sampling, dengan sampel penelitian sebanyak 82 perawat. Analisis data menggunakan uji Chi Square. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang cuci tangan. Sebagian besar responden bekerja di ruang yang tersedia fasilitas tempat cuci tangan. Sebagian besar responden patuh dalam melakukan cuci tangan. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan cuci tangan perawat di rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang (p=0,039). Ada hubungan yang signifikan antara tempat tugas dengan kepatuhan cuci tangan perawat di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang (p=0,036). Ada hubungan yang signifikan antara fasilitas tempat cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan perawat di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang (p=0,005).
Dari beberapa contoh penelitian di atas, belum ada yang mengidentifikasi secara spesifik mengenai hubungan variabel motivasi dengan variabel kepatuhan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan motivasi dengan kepatuhan cuci tangan oleh perawat.