Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Keberadaan situs, relik, dan wilayah kekunaan1 serta pengembangannya memiliki potensi-potensi konflik teritorial, khususnya pada aspek pengamanan dan pemanfaatan fungsi bentang alamnya. Khususnya pada wilayah lindung, kedua aspek di atas memiliki implikasi besar pada keberlangsungan ekologi dan ekonomi komunitas di dalam dan sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perancangan arsitektur dan arsitektur lanskap diyakini dapat meredam permasalahan dan konflik seperti yang dikemukakan di atas apabila dilakukan dengan pendekatan perancangan yang sesuai dan memadai. Pendekatan yang umum dilakukan adalah dengan jalan menggugah potensi wisata dan unsur lokalitas untuk dijadikan acuan dasar pengembangannya.
Perancangan fasilitas wisata sebagai bagian dari khazanah penciptaan ruang publik saat ini di dunia telah banyak pula diwarnai pendekatan perancangan dan pengembangan wilayah lindung yang lebih kritis, spesifik dan dinamis salah satunya adalah unvolumetric architecture. Dalam tesis ini tema unvolumetric architecture dipilih karena gagasan tentang pelestarian lingkungan fisik dan nonfisik dan potensinya dielaborasi lebih mendalam dan bahkan akan dapat menjadi suatu langgam arsitektur tersendiri meski belum dianggap mapan dan populer2. Tema tersebut merupakan salah satu pendekatan yang berkonsentrasi pada intervensi arsitektur di dalam kawasan lindung. Memandang potensi dan peluang tersebut di atas maka dalam tesis ini dipilih kawasan lindung/konservasi Trowulan 1
Istilah kekunaan diartikan pada tinggalan fisik yang bernilai arkeologis atau benda cagar budaya (BCB).
2 Aymonino
2006:15. “…a reflection on the interpretation of...architectural and spatial phenomena that are changing some of the fundamental and structural concepts (and preconceptions) of the discipline of architecture in a radical and pervasie way, a fact with which everyone by now is essentially in agreement”. Dari frasa tersebut sementara disinyalir masih terjadi perdebatan secara terminologis sehingga dapat disimpulkan pendekatan tersebut masih belum dikenal secara luas.
1
Gambar I. 2 Tapak di Sentonorejo yang dieksploitasi oleh para perajin bata merah. (Sumber: Anenggata, 2005)
Trowulan diidentifikasi memiliki obyek kunjungan wisata budaya terbanyak4. Obyek-obyeknya sebagian besar merupakan situs peninggalan era Majapahit. Situs yang banyak ditemukan di kawasan ini; kebanyakan masih dalam proses identifikasi dan penyelamatan, meski ada pula yang telah dipugar dan dipamerkan5. Hal ini menyiratkan bahwa proses perwujudan dan pengembangan kawasan pariwisatanya masih panjang, sehingga memberi peluang guna mengusulkan rancangan fasilitas wisata budaya di Trowulan yang lebih baik, berbasiskan penelitian arkeologis.
I.1.2 Fenomena Pemanfaatan dan Perusakan Situs di Trowulan Situs kekunaan era Majapahit di kawasan Trowulan yang diidentifikasi, diselamatkan, maupun yang telah dipugar senantiasa menghadapi ancaman perusakan, antara lain maraknya fenomena pemanfaatan bentang alam tanpa pengarahan. Berdasarkan pengamatan kurang lebih terdapat empat fenomena ancaman yaitu yang pertama adalah kemunculan perajin genteng-bata merah yang menggali tanah yang mengaduk dan merusak temuan di dalam tanah (lihat Gambar I.2). Para pengumpul barang bekas sering memanfaatkan lahan sebagai 4 Armstrong
2006:39. Obyek kunjungan wisata budaya didasarkan pada jumlah banyaknya situs purbakala di tiap kabupaten di Jawa Timur. Ketiga besar dari 17 kabupaten yang didata adalah kabupaten Mojokerto (10 buah situs), Kediri (7 buah situs), dan Malang (5 buah situs). Meski Mojokerto tertinggi jumlah situsnya namun pada pendataan jumlah pengunjung terbanyak di tahun 2005, posisi ketiga besar ditempati Gresik (2.007.234), Tuban (1.162.993) dan Lamongan (959.762) sedangkan Mojokerto hanya menempati urutan kelima dengan pengunjung sebanyak 224.235 orang.
5
Mundardjito, dkk 1986 terdapat daftar tinggalan jenis kanal satu buah, waduk enam buah, kolam tiga buah, sejumlah sumur, candi sembilan buah dan gapura dua buah. Menurut Oesman 1999 terdapat pula tinggalan beberapa struktur lengkap ataupun sisa-sisa perumahan dan parit-parit kuno.
3
Gambar I. 3 Situs Siti Hinggil yang ditumpuki bangunan baru dan diisi oleh kegiatan meditasi dan ziarah kejawen. (Sumber: Anenggata, 2005)
lokasi penyimpanannya, yang dapat megancam kelangsungan wisata dan penelitian arkeologis. Fenomena kedua adalah pemanfaatan pada jaringan infrastruktur kanal kuno, struktur bangunan kuno dan umpak-umpak kuno, untuk ditumpuki struktur bangunan moderen (lihat Gambar I.3 dan I.4). Pemanfaatan berlebihan kanal kuno yang masih lestari sebagai jalur pengairan menjadi pondasi perumahan dapat berakibat buruk pada lingkungan. Saat ini fenomena tersebut masih dianggap wajar akibat dinamika dan mendesaknya kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan permukiman. Ketiga, adalah fenomena pemanfaatan situs sebagai obyek wisata ziarah, seperti situs Siti Hinggil, Makam kuno Troloyo (lihat Gambar I.5) dan umpak-umpak besar Pendopo Agung. Terjadi privatisasi kawasan kekunaan, yang berdampak pada keberlangsungan identitas
Gambar I. 4 Eksploitasi situs Pendopo Agung. (Sumber: easjava.com)
4
Gambar I. 5 Makam kuno Troloyo yang dipagari dan ditambahi bangunan baru di atasnya. (Sumber: Anenggata, 2005)
dan kesejarahan kawasan Trowulan. Alih-alih berinisiatif menyelamatkan dan mengamankan kawasan dan monumen kuna, pemanfaatannya justru cenderung menghentikan kegiatan penelitian arkeologis yang seharusnya terus berlangsung. Fenomena keempat adalah masih terdapatnya akses pengunjung yang dinilai berlebihan pada situs dan monumen kekunaan. Pada beberapa situs yang telah dipamerkan terdapat sekuen tata hijau yang memberi peluang pengunjung untuk dapat menyentuh, menaiki dan menapaki bangunan kuno. Hal ini merupakan ancaman tersendiri pada bangunana kuno atau monumen yang berbahan bata merah yang terkenal lebih rapuh dibandingkan batu atau beton. Akses pengunjung semacam ini kurang memberi manfaat dan dukungan pada usaha pelestarian
Gambar I. 6 Monumen bangunan petirtaan/candi Tikus yang diduduki pengunjung. (Sumber: Anenggata 2006)
5
khususnya pada kekuatan bahan dan konstruksi terlebih memandang bahwa biaya restorasi candi-candi di Trowulan yang relatif tinggi dibandingkan bangunan moderen. Secara umum minimnya arus informasi, kesadaran dan komunikasi antara badan terkait dengan komunitas Trowulan dan sekitarnya menyebabkan kurang terarahnya pengendalian dan pengembangan kawasan bersejarah ini.
1.1.3 Lemahnya Unsur Tengaran Kawasan Trowulan dan sekitarnya ditembus oleh jalur selatan transportasi antar provinsi. Kekuatan jalur mobilitas ini merupakan salah satu modal pengembangan kawasan wisata yang baik. Sebagai kawasan yang diyakini dahulunya sebagai kota kuno, Kecamatan Trowulan belum memiliki tengaran yang memadai. Pelintas jalur ini belum diberi peluang untuk mengenali dan mencapai obyekobyek kota kuno dengan mudah dan nyaman. Akses dari jalur ini ke kota kuno masih jauh dari kesan mengundang serta kurang representatif. Bentang alam pedesaan dengan lahan pertanian, perladangan dan kerajinan lokal mendominasi rona visual panoramanya. Bekas-bekas konversi alamiah jaringan pengairan kuno, meski belum diselamatkan atau dipamerkan namun telah diidentifikasi secara arkeologis. Panorama bentang alam semacam ini merupakan potensi yang dapat digali lebih jauh sebagai salah satu identitas kawasan yang bertujuan mempopulerkan kawasan kekunaan ini sebagai salah satu tujuan wisata berskala internasional.
1.2 Deskripsi Topik 1.2.1 Tema Un-Volumetric Architeture Gagasan un-volumetric architecture (un-vol) (Aymonino 2006) adalah salah satu pendekatan di dalam menciptakan ruang publik masa kini dan dijadikan tema dalam tesis ini. Bila fasilitas wisata dipandang sebagai salah satu manifestasi ruang publik maka pendekatan ini dapat dianggap relevan untuk diterapkan. Tema perancangan un-vol berkaitan dengan strategi penciptaan spasial untuk kegiatan publik di dalam tapak yang senantiasa dianggap terbatas dan sulit seperti kawasan
6
Gambar I. 7 Kupla - The Bubble: Menara pantau di Kebun Binatang Korkeasaari Finlandia karya Ville Hara. (Sumber: Aymonino, 2006: 78)
lindung. Intervensi pada kawasan konservasi atau lindung tersebut tentunya memiliki konsekuensi yang lebih kritis dibandingkan pada kawasan yang terbuka atau bukan konservasi. Salah satu aspek yang dianggap kritis adalah pada analisis program, material, struktur dan konstruksi arsitektur dan arsitektur bentang alamnya. Tema un-vol diketengahkan dan berperan vital di dalam kasus perancangan di kawasan arkeologi Trowulan.
Unvolumetric architecture apabila ditinjau secara konseptual terdapat rumusan umum perancangan arsitektur dan arsitektur bentang alam yang mengedepankan proses penciptaan place yang terperinci seperti peninjauan kembali makna lokasi,
7
kondisi alam sekitar dan potensi bentang alam. Di samping itu, un-vol fisik dapat diartikan peninjauan kembali peran-peran generik elemen fisik dinding, lantai, atap yang umumnya membentuk volum dan spasial dalam arsitektur. Formasi ketiganya, sebagian atau salah satu, dapat hanya terwakili secara persepsional namun tidak selalu terwakili secara visual. Secara umum maka permasalahan dalam pemrograman dan perancangan arsitektur bentang alam adalah yang menjadi fokus perhatian di dalam un-vol.
Macam-macam bentuk arsitektur un-vol yang tercipta biasanya berupa kanopi, skin structures dan elemen-elemen infrastruktur kota (Brown,. Aymonino 2006:9) dan beberapa tipologi arsitektur hibrid tertentu yang total berwawasan lingkungan (Gambar I.7). Pada tataran ini un-vol dapat saja dikategorikan sebagai suatu unsur penciptaan suatu langgam arsitektur kontemporer di kemudian hari.
Gambar I. 8 Kota Majapahit seluas 9x11 km2 dan jaringan kanal kuno. (Sumber: Mutiara-mutiara Majapahit BP3 Jatim, 2006)
8
Di sisi lain tuntutan fenomena crossprogramming (Tschumi 1994:176) pada penciptaan ruang publik juga menjadi pisau analisis tersendiri di dalam merancang un-volumetric architecture lebih jauh. Sebuah program aktivitas publik yang bervariasi dan berubah berdasarkan waktu dianggap sebagai salah satu entity non-fisik pembentuk ruang dan volum dalam arsitektur kontemporer. Untuk menanggapinya, pada tahap tertentu aspek fleksibilitas elemen fisik arsitektur/ bentang alam yang mewadahinya dapat saja minimal secara visual, namun persepsi spasialnya masih dapat dicerap dan ditelusuri. Arsitektur tidak lagi bergantung pada eksistensi massa dan volum (Brown,. Aymonino,2006:10) namun bergantung pada fenomena spasial akibat dari kemunculan aktivitas di dalam perubahan waktu. Khususnya pada penciptaan ruang publik maka dinamika ini menjadi keharusan untuk ditanggapi lebih lanjut dan komprehensif.
1.2.2 Bentang Alam Trowulan Secara antropologis dan arkeologis bentang alam Trowulan (lihat Gambar I.1 dan 1.8) merupakan multi component site6. Diduga terdapat tiga jaman (Buddha, Hindu dan Islam) dalam rentang kurang lebih 1000 tahun7 telah menempatinya. Di dalamnya berbagai tinggalan kuno dan fasilitas desa moderen hidup berdampingan dan bersinergi hingga kini. Kawasan yang padat dengan benda kuno masih berada di dalam tanah, bertumpukan dengan kawasan perkotaan telah diidentifikasi. Beberapa monumen atau temuan kekunaan yang berada di atas permukaan tanah beberapa telah dipugar dan dipamerkan dalam konstelasi jaringan wisata budaya regional dan nasional.
6
Hasil wawancara dengan arkeolog Prapto Saptono yang mendefinisikan bahwa beberapa komunitas yang berlatar belakang budaya yang berbeda-beda memanfaatkan suatu kawasan atau tapak yang sama di dalam rentang waktu yang berkesinambungan ataupun diskontinyu. Kasus di Trowulan dapat dilihat pada contoh sederhana fenomena pemanfaatan umpak kuno yang dipergunakan sebagai kolom bangunan masjid atau hunian moderen di kawasan Trowulan.
7
Terhitung sejak didirikannya Candi Brahu/Warahu di desa Bejijong Kecamatan Trowulan yang dibangun pada 9 September 939 (Depdikbud 1986). Keberadaan Candi Brahu yang didirikan pada era Mataram Hindu tersebut adalah salah satu bukti bahwa jauh sebelum kota Majapahit didirikan di Trowulan (1292 M), lokasi ini sudah menjadi lahan permukiman.
9
Gambar I. 9 Monumen petirtaan/candi Tikus di Kec. Jatirejo Kab. Mojokerto. (Sumber: Anenggata 2006)
Bentang alam Trowulan (Trawulan) dan sekitarnya diyakini dahulunya merupakan town/city/urban-site karena ditemukan peninggalan purbakala dalam jumlah yang amat besar, berbagai jenis temuan yang beranekaragam, dan persebarannya yang luas (Mundardjito 2003). Dari paparan tersebut, maka bentang alam Trowulan telah diidentifikasi sebagai wilayah kota kuno era Majapahit seluas 9x11 km2 yang tersebar di kabupaten Jombang dan Mojokerto (Rangkuti 2006). Kota kuno dibatasi empat titik sudut pada empat kecamatan yang berbeda. Pusat kota kuno tersebut berada di wilayah Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, dan berpusat di radius 1 km dari situs Kolam Segaran (Hermanislamet 1999). Banyaknya temuan yang telah dipugar dan diidentifikasi akan memengaruhi karakter bentang desa-desa yang termasuk dalam batas serta pusat kota kuno tersebut. Penggalian karakter kota kuno era Majapahit berpeluang untuk dijadikan identitas kesejarahan bentang alam Trowulan.
1.2.3 Fasilitas Wisata di Trowulan Candi-candi yang telah dipugar di Trowulan dan dipamerkan merupakan aset utama wisata budaya di kawasan ini. Keterbatasan sarana dan prasarana masih membuka peluang untuk meninjau kembali arahan pengembangan situs-situs tersebut. Program pariwisata yang dikenal sebagai salah satu media publikasi dan pelestarian diyakini merupakan salah satu metode terbaik untuk mengembangkan potensi suatu kawasan. Situs Trowulan yang luas dan tersebar, aspek aksesibilitas dan jaringan kegiatan dijadikan salah satu isu penting dalam rencana penataan fasilitas, wisata budaya selain juga didasari oleh inisiatif-inisiatif pengembangan
10
Gambar I. 10 Peta Rekonstruksi Ibukota Kerajaan Majapahit. (Sumber: Mutiara-mutiara Majapahit BP3 Jatim, 2006)
wilayah sesuai RDTRK Ibukota Kecamatan Trowulan 2011. Fasilitas wisata eksisting berdasarkan pengamatan masih memerlukan pembenahan berupa penyempurnaan jaringan aksesibilitas, konsep pamer kekunaan dan hal-hal lain yang terkait dengan pemanfaatan kawasan lindung di Trowulan (Gambar I.9).
I.3 Alasan Pemilihan Tema Alasan pemilihan tema unvolumetric architecture pada perancangan fasilitas wisata dianggap sesuai karena memandang perannya yang spesifik di dalam menangani kawasan lindung khususnya yang wilayah konservasi kekunaan seperti di Trowulan. Menanggapi hal tersebut maka mencapainya dilakukan langkahlangkah yang temasuk dalam un-vol yaitu berupa: • perlunya menginventarisasi potensi fisik dan non fisik di dalam bentang alam Trowulan dan sekitarnya yang diyakini bekas kota kuno era Majapahit. • perlunya menyusun rumusan dan simulasi konsep perancangan dan penataan fasilitas wisata budaya di Trowulan dan sekitarnya.
11
I.4 Tujuan, Sasaran dan Manfaat Perancangan Tujuan tesis desain ini adalah merumuskan perancangan dan penataan fasilitas wisata budaya di Trowulan dan sekitarnya dengan pendekatan unvolumetric architecture. Tujuan khususnya adalah mewujudkan suatu gubahan tata fasilitas wisata yang mengarah pada pelestarian sisa peninggalan kuno dan lingkungan vernakular Trowulan. Sasaran tesis adalah merumuskan konsep dan menyusun gambar-gambar prarencana arsitektur dan sistem arsitektur bentang alam fasilitas wisata Trowulan. Manfaat perancangan adalah sebagai gambaran refleksi penulis terhadap kondisi kepariwisataan dan bentang alam Trowulan saat ini dan aspek keberlanjutannya kepada masyarakat umum dan badan terkait.
I.5 Permasalahan Permasalahan pertama di dalam tesis desain ini adalah bagaimana dan sejauh apa pengaruh bentang alam sisa-sisa kota kuno era Majapahit dan kaitannya dengan gagasan unvol. Permasalahan kedua adalah bagaimana cara menerapkan pengaruh fisik dan non fisik kota kuno tersebut pada suatu program kegiatan dan fasilitas wisata (budaya) yang spesifik untuk kawasan Trowulan dan sekitarnya. Permasalahan ketiga adalah bagaimana cara menggabungkan program kegiatan dan fasilitas wisata untuk bersinergi dengan kekhasan potensi-potensi dan kondisi eksisting kawasan. Secara keseluruhan hal-hal di atas merupakan usaha-usaha memunculkan citra baru kawasan Trowulan dan sekitarnya yang lebih signifikan.
I.6 Lingkup dan Batasan Lingkup tesis desain ini adalah tahap prarencana. Keluaran yang diharapkan adalah terbentuknya penataan jalur dan fasilitas wisata budaya di Trowulan seluas 9 x 11 km2 menjadi suatu kesatuan tema. Batasan tesis meliputi batas-batas kawasan kota kuno Majapahit (Gambar I.7 dan I.10).
12
I.7 Skema Pemikiran
Bab I Trowulan sebagai kawasan lindung dan wisata purbakala membutuhkan pembenahan khusunya pada penataan fasilitas wisata dan arahan pemanfaatan bentang alam. Gagasan un-vol adalah salah satu pendekatan yang sesuai untuk diterapkan karena gagasan tersebut berkaitan dengan penciptaan ruang publik di kawasan lindung. Tujuan Merumuskan konsep perancangan fasilitas wisata di Towulan dengan pendekatan un-vol.
Bab II Bahasan dan studi preseden un-vol di Asia, Amerika dan Eropa.
Bab III Review rencana pengembangan wilayah Trowulan dan sekitarnya. Pengamatan di lapangan dan hasil penelitian arkeologi terkini.
Kriteria perancangan un-volumetric architecture.
Kriteria pengembangan wilayah dan deskripsi karakter khas bentang alam vernakular Trowulan yang menonjol.
Bab IV Bahasan unvolumetric architecture di Trowulan. Analisis tapak, kegiatan dan pemrograman fasilitas wisata.
Bab V Konsep pemintakatan, sumbu dan aksesibilitas. Konsep perletakan fungsi utama dan penunjang. Konsep ruang terbuka dan festival. Konsep floorscape, fitur lanskap, observatorium situs dan tata hijau.
Gambar I. 11 Skema pemikiran. (Sumber: Mutiara-mutiara Majapahit, BP3 Jatim 2005)
13
I.8 Sistematika Penulisan Laporan tesis desain ini terdiri atas lima bab, yang tersusun sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, berisi paparan latar belakang, deskripsi topik, alasan pemilihan tema, tujuan, sasaran dan manfaat perancangan, lingkup dan batasan, permasalahan, skema pemikiran, serta sistematika penulisan. Bab II Unvolumetric architecture, berisi paparan gagasan, ulasan contoh dan preseden proyek arsitektur dan arsitektur bentang alam setema di Amerika, Eropa dan Asia. Bab III Gambaran umum bentang alam Trowulan dan review pengembangan wilayah, berisi pengamatan kondisi eksisting, kompilasi hasil penelitian arkeologi dan review rencana pengembangan wilayah terkait. Bab IV Analisis pengembangan fasilitas wisata Trowulan, berisi analisis obyek kunjungan, program kegiatan dan fasilitas, analisis bentuk dan material serta analisis pemilihan lokasi. Bab V Konsep dan hasil rancangan, berisi ulasan gambar-gambar konsep perancangan dan penerapannya antara lain berupa konsep pemintakatan dan perletakan fungsi, konsep aksesibilitas dan jaringan jalur wisata, konsep observatori situs.
14