BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah wilayah atau daerah mempunyai banyak Bangunan serta Benda Cagar Budaya yang dapat dijadikan sebagai sarana kegiatan pariwisata, pembelajaran, dan penelitian. Namun demikian, banyaknya sarana Benda Cagar Budaya itu seringkali tidak diketahui ataupun dikenal oleh masyarakat pada umumnya, apalagi guru dan siswa. Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional". Inilah salah satu isi diktum pertimbangan UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini juga menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional. Hal ini dapat dilihat dalam Laporan Kongres PBB ke-VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana di Navana, Cuba, tanggal 27 Agustus s/d 7 September 1990, yang antara lain menyangkut : Pencurian/penyelundupan barang-barang kebudayaan berharga; Kelengkapan peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan perlindungan dengan barang-barang peninggalan budaya; dan Perlawanan terhadap lalu lintas internasional atas barang-barang. Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya. Menurut Arsin Nalam, tujuan pelestarian benda-benda kuno adalah agar masyarakat dapat memahami sejarah, sekaligus juga menghargai karya cipta yang melekat pada benda kuno, sedangkan kecintaan nasional terhadap benda-benda kuno akan menumbuhkan harga diri bangsa. Pemahaman sejarah tanpa bentuk nyata akan sulit menumbuhkan kebanggaan nasional.
Demikian pula yang terjadi di Kota Cirebon, kurangnya sosialisasi dan informasi ini menjadikan publik tidak mengenal apa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya (BCB) itu sendiri. Keberadaan pemeliharaan BCB sendiri terkait dengan tata aturan yang telah tersusun secara sistematis dan hirarki. Tata aturan itu adalah UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, Peraturan Pemerintah No. 10/1993 tentang penjelasan UU No. 5/1992, Peraturan Pemerintah No. 19/1995 tentang pemeliharaan dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya di museum dan Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang kewenangan pemerintah dan propinsi untuk menyelenggarakan propinsi, suaka peninggalan sejarah dan purbakala dan kajian sejarah dan nilai tradisional. Selain produk hukum
tersebut, masih ada keputusan menteri sebagai
penjabaran Peraturan Pemerintah yang telah diterbitkan yaitu: Kepmendikbud No. 087/P/1993 tentang pendaftaran Benda Cagar Budaya, Kepmendikbud No. 062/U/1995 tentang pemilikan, penguasaan, pengalihan, dan penghapusan Benda Cagar Budaya atau Situs, dan Kepdirjenbud No. 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya yang kini telah dikodifikasikan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Benda Cagar Budaya merupakan warisan kebudayaan dari Nenek Moyang yang masih bertahan hingga saat ini. Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting, baik bagi pemahaman dan pengembangan sejarah bangsa, ilmu pengetahuan dan kebudayaan baik di masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian,Benda Cagar Budaya perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya demi memupuk kesadaran jati diri suatu bangsa dan kepentingan nasional. Sebagai kekayaan bangsa, Benda Cagar Budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Agama, Adat, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang disebut dengan Benda Cagar Budaya adalah : a. Benda yang dibuat oleh manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak yang berupa kesatuan atau pun kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur lebih dari 50 (lima puluh) tahun,atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. b. Benda alam yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kota Cirebon banyak menyimpan peninggalan Cagar Budaya yang sampai sekarang masih berdiri atau pun ditemukan reruntuhannya. Untuk menjaga kelestarian Benda Cagar Budaya tentunya dibutuhkan suatu perlakuan atau penanganan yang bersifat khusus dalam pengelolaannya. Benda Cagar Budaya dapat dibedakan menjadi dua yaitu Benda Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidah dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula atau sering disebut dengan dead monument dan Benda Cagar Budaya yang masih dimanfaatkan sebagaimana fungsi semula atau living monument. Dari segi pengelolaannya, Benda Cagar Budaya yang merupakan dead monument hampir keseluruhannya dikelola oleh Pemerintah. Sedangkan living monument, ada yang dikelola oleh pemerintah atau pun masyarakat, kelompok atau pun perorangan. Benda Cagar Budaya ini unik, penuh dengan nilai-nilai historis, arsitektur, maupun ekologi yang khas sehingga menjadi daya tarik untuk dikunjungi para wisatawan. Nilai histories yang sarat akan makna, perlu dan harus dipahami oleh bangsa ini dari generasi ke generasi. Sebab, dalam nilai histories tersebut terkandung pula nilai-nilai lain yang dapat mengajak kepada generasi muda untuk bisa bersikap dan bertindak secara positif, seperti misalnya sikap kepahlawanan, cinta tanah air, rasa kesatuan dan persatuan, serta berbudi pekerti yang luhur.
Mengingat Benda Cagar Budaya biasanya berumur lebih dari 50 (lima puluh) tahun, maka sudah sewajarnya apabila mengalami suatu kerusakan dan kurangnya pemeliharaan. Oleh karena itu diperlukannya perlindungan, pelestarian dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya. Perlindungan dan pelestarian Benda Cagar Budaya dan situs pada umumnya menjadi tanggung jawab Pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Meskipun demikian masyarakat, kelompok atau perorangan yang memiliki atau pun menguasai Benda Cagar Budaya dibebani pula kewajiban untuk melindungi dan melestarikannya, lengkap dengan sanksi hukumnya yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk memilih judul: “KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN KAWASAN SERTA BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI KOTA CIREBON”.
B. Identifikasi Masalah Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka di identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengelolaan perlindungan dan pelestarian kawasan Cagar Budaya di Kota Cirebon? 2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap pengerusakan kawasan serta bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun maksud penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk dapat memahami dan mengetahui ketentuan hukum yang berlaku dalam hal perlindungan dan pelestaian kawasan serta Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001
tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon dan Undang-Undang No 10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. 2. Untuk mengetahui perlindungan hokum dan pelestarian Bangunan Cagar Budaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Cirebon. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis dapat memberikan manfaat baik secara teoretis
maupun
secara
praktis,
sebagai
berikut
:
a) Kegunaan Teoretis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum khususnya berkaitan dengan fungsi hukum untuk mewujudkan ketertiban sehingga situs Cagar Budaya dapat dilestarikan. b) Kegunaan Praktis 1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan kritik bagi Pemerintah Daerah Kota Cirebon dalam rangka pelestarian situs daerah wisata di Kota Cirebon sebagai Cagar Budaya. 2) Sebagai bahan informasi bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat yang aktifitasnya berkecimpung dalam dunia hukum khususnya pelestarian Cagar Budaya Nasional.
E. Kerangka Pemikiran Benda Cagar Budaya adalah suatu bangunan, benda dan tempat yang dilarang dibongkar dan dirubah dari bentuk aslinya karena mempunyai nilai sejarah yang bermanfaat untuk menunjukkan simbol dan identitas suatu bangsa, Negara atau daerah tertentu yang
menjadi saksi dalam menjalani suatu proses perubahan zaman dan perkembangan kehidupan , apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak berdiri maka dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama atau sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah lebih dulu ada. Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian atau perubahan fungsi sesuai dengan rencana tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. Di dalam lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan utuh dengan banguan utama. Suatu bangunan cagar budaya dilihat dari segi Nilai Obyeknya ysng merupakan contoh yang baik dari gaya arsitektur tertentu , obyek itu pun akan dilihat dari segi Nilai Estetik yang merupakan contoh yang unik dan terpandang untuk periode atau gaya tertentu. Obyek merupakan bagian dari kompleks bersejarah
dan jelas berharga untuk
dilestarikan dalam tatanan itu. Obyek cagar budaya mempunyai Landmark yang memiliki karakteristik dan dikenal dalam kota atau mempunyai nilai emosional bagi penduduk kota. Upaya pelestarian budaya sebagai aset jati diri dan identitas sebuah masyarakat di dalam suatu komunitas budaya menjadi bagian yang penting ketika mulai dirasakan semakin kuatnya arus globalisasi yang berwajah moderenisasi ini. Pembangunan sektor kebudayaan selanjutnya juga akan menjadi bagian yang integral dengan sektor lain untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di tengah masyarakat. Di samping itu era serba digital saat ini merupakan suatu hal yang harus diterima dengan segala resiko dan dampaknya. Besarnya pengaruh asing yang masuk akan membawa pengaruh terhadap perilaku dan sikap bangsa ini baik perilaku sosial, politik, ekonomi, maupun budayanya. Oleh karena itu untuk menangkal dan menanggulangi arus negatif budaya asing yang masuk ke Indonesia
dengan jalan memberikan informasi budaya kepada generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya. Salah satu bentuk penginformasian budaya kepada publik adalah menyampaikan segala produk budaya yang telah terdokumentasikan baik oleh pemerintah maupun swasta melalui museum atau kantor yang menjaga pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) yang selama ini dimiliki oleh daerah-daerah tertentu. Pemerintah maupun pihak swasta tertentu mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi tentang keberadaan BCB itu kepada publik. Tanpa melibatkan publik terutama generasi muda maka bisa jadi keberangsungan dan kontuinitas pelestarian budaya tidak akan dapat berjalan terus-menerus. Di samping itu, masalah kepekaan pemerintah daerah dalam melihat keberadaan Benda Cagar Budaya terkadang tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya. Banyak terlihat beberapa daerah yang sudah memiliki prasarana dan daya dukung dalam pemeliharaan Benda Cagar Budaya, namun demikian ada pula beberapa daerah lain yang justru belum memiliki sarana dan prasarana pemelliharaan Benda Cagar Budaya yang ideal. Amat sayang sekali perlakuan pemerintah daerah yang kurang memiliki kepekaan sejarah dan budaya seperti itu. Di sisi lain peninggalan–peninggalan yang berada di Kota Cirebon sampai sekarang tak banyak orang yang tahu. Mengingat sulitnya mencari sumber tertulis yang dapat menjelaskan tentang peninggalan Hindu-Budha dan masa penyebaran Agama Islam di masa para Wali Songo tersebut. Dalam pengungkapannya pun hanya dapat ditinjau dari sisa-sisa bangunan yang ada. Di Kota Cirebon sendiri, penulis tidak menemukan Peraturan Daerah yang khusus menangani tentang pemeliharaan atau pelestarian Benda Cagar Budaya dalam hal pendanaan bagi pihak pengelola Benda dan Bangunan Cagar Budaya. Hal ini pun dapat penulis ungkapkan hanya sebatas Stimulan bulanan yang diperoleh para pihak pengelola dari
Pemerintah Daerah setiap tiga bulan sekali atau bila adanya acara maupun upacara adat yang melibatkan Benda Cagar Budaya yang ada. Ada pun hukum yang berlaku dalam hal perlindungan dan pelestarian kawasan serta bangunan cagar budaya adalah Surat Keputusan (SK) Walikota Cirebon Nomor 19 tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon. Namun SK Walikota tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan benda cagar budaya yang ada saat ini yang memerlukan perhatian lebih dari Pemerintah. Di dalam SK tersebut juga tidak seluruh Benda dan Bangunan Cagar Budaya dicantumkan didalamnya. Oleh karena itu karya tulis ini akan mengungkapkan sejauhmana usaha dan strategi pemerintah daerah Kota Cirebon dalam menjaga dan melestarikan situs kuno Hindu-Buddha, peninggalan masa Wali Songo dalam penyebaran Agama Islam, dan bangunan-bangunan warisan Kolonial Belanda sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap sejarah dan masa lalu bangsa Indonesia ini sendiri.
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah : 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif berkaitan dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 dan SK Walikota Cirebon nomor 19 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon. Pendekatan ini mengkaji konsep normatif/yuridis dalam hal Perlindungan Hukum Bagi Cagar Budaya yang ada di Kota Cirebon 2. Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu untuk memberikan gambaran selengkap-lengkapnya tentang Prosedur pendanaan dan tata cara pemelihraan
serta pelestarian dari Pemerintah Daerah kepada para pengelola Benda dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Ciebon. 3. Jenis Data Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut: a. Data Primer Data primer diperoleh penulis dari Pangeran Raja Haji Muhammad Imamudin dan Gusti Ratu Raja Fouzier Kentjana Wungu, selaku Pangeran Patih Sepuh Kraton Kanoman dan Bendahara Kraton Kanoman berupa sejumlah keterangan dan fakta tentang keadaan Kraton Kanoman serta dana anggaran APBD dan APBN untuk Keraton Kanoman dari tahun 1977-1989 dan Bapak Sugiono selaku staff Disbudpar Kota Cirebon berupa penjelasan dan keterangan dari pihak Pemerintah Daerah yang memonitoring pelestarian Benda Cagar Budaya. b.Data Sekunder Data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer,meliputi : Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon. b. Bahan hukum sekunder, meliputi literatur-literatur yang terkait dengan pemugaran Kraton-Kraton Cirebon.
4. Metode pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data dimaksud diatas digunakan teknik sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah suatu usaha untuk memperoleh data melalui teori – teori ilmiah yang dilakukan dengan buku – buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan1. b. Wawancara atau Diskusi Penulis mengadakan wawancara langsung, tatap muka dengan petugas instansi terkait dan beberapa Narasumber untuk bahan penelitian. Untuk memperoleh data – data yang diperlukan dalam penelitian proposal usulan seminar skripsi ini, maka penulis melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. Observasi atau Studi lapangan. 2. Wawancara Yaitu teknik yang dilakukan penulis terhadap para Narasumber dalam mencari kebenaran data yaitu: -
Terstruktur
adalah melakukan wawancara langsung ke lokasi
penelitian dan instansi terkait. -
Tak terstruktur adalah melkukan wawancara kepada masyarakat yang tinggal di kawasan Bangunan Cagar Budaya.
5. Metode analisis data Setelah data terkumpul kemudian dianalisis oleh penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Oleh karena itu, data yang diperoleh dari peraturan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, PERDA Nomor 7 Tahun 2003 tentang Kepurbakalaan dan SK Walikota Cirebon
1
Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2003), hlm 29.
Nomor 19 Tahun 2001 dalam pelaksanaan atau implementasi perlindungan dan pelestarian kawasan serta bangunan cagar budaya di Kota Cirebon.
G. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini lokasi yang akan menjadi tempat melaksanakan penelitian oleh penulis adalah di Keraton Kanoman Cirebon, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon, Keraton Kesepuhan Cirebon yang terletak di Jalan Kesepuhan, di depan Alun-Alun Kesepuhan, dan Gua Sunyaragi yang terletak di Jl. Brigjen Dharsono Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi untuk mengetahui bagaimana pemeliharaan peninggalan Purbakala berupa bangunanbangunan yang berumur ratusan tahun sehingga mampu bertahan dengan perkembangan zaman di Cirebon sebagai Cagar Budaya Nasional yang dikenal hingga ke Luar Negeri.
H. Sistematika Pertanggung jawaban Penelitian
BAB I. Pendahuluan,berisikan latar belakang, perumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, berisikan maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kereangka pemikiran, metode penelitian, lokasi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penelitian.
BAB II. Tinjauan pustaka, memuat hasil kajian pustaka yang bersumber pada publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal, buku, teks atau internet berkaitan dengan substansi permasalahan penelitian yang diangkat dalam judul penelitian. Definisi Teoretis Kawasan serta Bangunan Cagar Budaya, batasan pengelolaan pemerintah daerah dalam konservasi kawasan serta bangunan
cagar budaya, Regulasi perundangan Nomor 11 tahun 2010 dan SK Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001.
BAB III. Deskripsi kawasan dan bangunan cagar budaya yang ada di Kota Cirebon. Merupakan deskripsi obyek penelitian serta latar lokasi penelitian yang
mengandung
muatan
makna,
untuk
terfokus
pada
substansi
penelitiannya. Kondisi fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat wilayah bangunan cagar budaya, analisis lingkungan, kependudukan dan karakteristik masyarakat di lingkungan cagar budaya, serta memuat pengembangan potensi kawasan dan bangunan cagar budaya.
BAB IV. Pengelolaan Perlindungan dan Pelestarian kawasan dan Bangunan Cagar Budaya. Merupakan temuan penelitian dan hasil pembahasan masalahnya yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang diangkat dalam karya ilmiah ini yaitu Kajian Yuridis Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya Kota Cirebon dan kendala – kendala yang timbul dalam pelaksaan pelestarian berlandaskan ketentuan SK Walikota Cirebon.
BAB V. Kesimpulan dan saran. Merupakan penutup
yang didalamnya
menyajikan penafsiran peneliti secara terpadu terhadap semua hasil penelitian yang telah diperoleh. DAFTAR PUSTAKA