BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia terdiri dari dua jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, namun pada kenyataannya selain dua jenis kelamin tersebut ada yang mengalami kebingungan dalam menentukan jenis kelaminnya. Kebingungan yang dimaksud adalah tidak adanya kesesuaian antara jenis kelaminnya dan kejiwaannya. Tidak sesuainya jenis kelamin dan kejiwaan ini bisa terjadi pada seseorang yang terlahir dengan alat kelamin wanita yang sempurna dan tidak cacat, tetapi dia merasa bukan seorang wanita melainkan seorang pria atau sebaliknya, keadaan seperti ini disebut Transgender.1 Sebelum bicara lebih jauh tentang transgender, terlebih dahulu harus dipahami konsep gender, dan membedakan kata gender dan seks. Seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.Misalnya manusia berjenis kelamin (seks) laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat bahwa laki-laki adalah yang memiliki penis dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Hal tersebut secara biologis melekat pada manusia yang memiliki jenis kelamin lakilaki dan perempuan.Artinya, secara biologis alat kelamin atau jenis kelamin tersebut tidak bisa dipertukarkan atau diganti.Gender adalah pencirian manusia
1
yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya, bukan pendefisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis seperti seks (jenis kelamin).1,2 Gender adalah pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya, bukan pendefisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis seperti seks (jenis kelamin). Gender merupakan perbedaan perilaku antara lakilaki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan sendiri oleh manusia itu sendiri melalui proses kultural dan sosial. Gender seseorang dapat berubah, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah .Hal inilah yang membuat seseorang dapat berubah orientasi seksnya bahkan ada dorongan untuk merubah gendernya. Kaum transgender memiliki suatu ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan. Ekspresi orang yang mengalami kebingungan jenis kelamin ini bisa terlihat dalam bentuk dandanan, gaya bicara, tingkah laku, bahkan sampai kepada keinginan untuk melakukan operasi penggantiankelamin (Sex Reassignment Surgery).3 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 69 ayat (2), bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas. Norma yang dimaksud adalah norma hukum, agama, kesusilaan dan kesopanan, sedangkan dalam norma hukum tidak ada aturan mengenai transgender. Begitu pula norma agama, dalam norma agama Islam contohnya, para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut padadalildalil yaitu Hadits Nabi SAW, “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Dalam norma kesusilaan
2
dan kesopanan, masalah transgender atau kebingungan jenis kelamin masih dianggap sesuatu yang aneh dan selalu mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat. Anggapan sebagai transgender merupakan pilihan hidup yang salah masih sering dihadapi, sehingga tidak mudah bagi kaum transgender untuk mengungkapkan jati diri yang sebenarnya kepada keluarga sekalipun karena masih dianggap “tabu”. Hal inilah yang menjadi penghalang atas eksistensi kaum transgender di Indonesia.2,3 Oleh karena itu, fenomena transgender penting dan menarik utnuk dikaji dari berbagai perpektif ilmu, khususnya sosial budaya dan hokum termasuk didalamnya hukum agama yang mempunyai kaitan serta implikasi langsung dan tidak langsung. Terdapat keterkaitan dengan aspek kehidupan psikologis penderita transgender serta sikap masyarakat luas terhadap operasi perubahan jenis kelamin.1
I.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut: 1. Bagaimana aspek hukum di Indonesia terhadap fenomena transgender? 2. Bagaimana aspek agama terhadap fenomena transgender? 3. Bagaimana aspek medis-psikologis terhadap fenomena transgender? 4. Bagaimana aspek etika kedokteran terhadap fenomena transgender? 5. Bagaiamana aspek norma etika terhadap fenomena transgender?
3
I.3
Tujuan
Tujuan Umum Tujuan umum penyusunan karya tulis ini adalah untuk mengetahui dan memahami aspek medikolegal dan etika kedokteran tentang transgender.
Tujuan Khusus Mengetahui definisi transgender Mengetahui aspek medis-psikologis transgender Mengetahui aspek etika kedokteran transgender Mengetahui aspek hukum tentang transgender Mengetahui aspek agama terhadap transgender
I.4
Manfaat Penulisan Bagi civitas akademika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai aspek medikolegal transgender di nilai dari berbagai bidang seperti bidang medispsikologis, hukum, dan agama.
Bagi masyarakat dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang aspek medikolegal sehingga masyarakat lebih dapat menerima keberadaan kelompok minoritas sebagai transgender.
4
BAB II ILUSTRASI KASUS DAN PEMBAHASAN
II.1
Kasus Transgender di Luar Indonesia Caitlyn Marie Jenner (lahir William Bruce Jenner, 28 Oktober 1949) adalah
seorang mantan atlet Amerika yang dikenal karena memenangkan decathlon pria pada Olimpiade Musim panas 1976. Sejak tahun 2007, dia telah muncul di E!' s program realitas televisi keeping up with kardashian dan adalah saat ini membintangi acara realitas sendiri I Am Cait, yang berfokus pada transisi gender nya. Berbagai publikasi telah menggambarkan dirinya sebagai transgender yang paling terkenal secara terbuka di dunia sejak dia muncul pada tahun 2015.4 Jenner memiliki enam anak dari pernikahan nya dengan Chrystie Crownover, Linda Thompson dan Kris Jenner. Beberapa bulan setelah menceraikan istrinya yang ketiga, Jenner mengungkapkan nya identitas gender sebagai seorang wanita trans pada April tahun 2015. Dalam dua tahun terakhir, pria ini mengonsumsi hormon perempuan, telah melakukan serangkaian operasi untuk memperbesar payudara, operasi hidung untuk ketiga kalinya, serta mengoperasi rahang, pipi dan dahi.4 Jenner mengadakan upacara pergantian gender secara formal di Juli tahun 2015, mengadopsi nama Caitlyn Marie Jenner. Pada bulan September tahun 2015, namanya secara hukum diubah menjadi Caitlyn Marie Jenner dan jenis kelamin wanita.4 Jenner mengakui dalam wawancara dengan 20/20 bahwa bagian dari alasan dia menjadi begitu terlihat adalah untuk membawa perhatian ke gender dysphoria,
5
kekerasan terhadap perempuan trans dan isu-isu transgender lain. Ia juga berusaha untuk mempromosikan diskusi lebih informasi akan permasalahan LGBT pada waktu ketika masyarakat trans memiliki visibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia menandatangani dengan Departemen Speaker kreatif seniman badan dan akan bekerja sama dengan Yayasan CAA pada strategi filantropis yang fokus pada permasalahan LGBT. Dia membuat penampilan pribadi di pusat LGBT Los Angeles pada Juni 2015, di mana dia berbicara dengan pemuda trans berisiko.4
II.2
Kasus Transgender di Indonesia Dena Rachman (lahir Renaldy Rachman, 30 Agustus 1987) adalah mantan
artis cilik. Ia tumbuh di tengah lingkungan keluarga yang sebagian besar adalah perempuan. Sejak kecil ia sering bermain menjadi seorang perempuan dan bahkan berdandan seperti saudari yang lain. Mungkin hal ini tersebut yang membuat Dena Rachman waktu kecil berbeda dengan teman lelaki sebayanya yang suka bermain seperti anak laki-laki pada umumnya, justru ia tumbuh menjadi seorang yang gemulai.5 Pada tahun 2013, nama Dena Rachman kembali menjadi perbincangan di internet dan dunia hiburan Indonesia ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang transgender. Terkait dengan keputusannya ini, Dena mengungkapkan bahwa seharusnya setiap orang bisa menghargai kehidupan dan keputusannya sebagai seorang transgender. Apalagi ia mengaku nyaman dengan keadaannya sekarang. Pada tanggal 6 Oktober 2014, Dena melakukan operasi plastik di rumah sakit Grand Plastic Surgery, Seoul, Korea Selatan.5
6
II.3 Pembahasan Kasus 1. Aspek Hukum Menurut hukum di Amerika seseorang yang melakukan operasi pergantian jenis kelamin jelas dilegalkan bahkan dilindungi agar tidak terjadi diskriminasi di masyarakat. Dalam undang-undang tentang kesetaraan tahun 2010, menyatakan bahwa operasi pergantian kelamin harus dilindungi sesuai dengan hak azasi setiap manusia. Pada UU tersebut berbunyi: 6 “A person has the protected characteristic of gender reassignment if the person is proposing to undergo, is undergoing or has undergone a process (or part of a process) for the purpose of reassigning the person's sex by changing physiological or other attributes of sex”.6 Namun bila di tinjau dari hukum Indonesia, belum ada undang-undang yang melegalkan operasi pergantian kelamin secara tegas. Menurut hukum di Indonesia pergantian kelamin atau transgender yang bila ingin dilakukan oleh
Dena Rahman perlu didahului dengan penetapan dari pengadilan
negeri untuk kemudian akan dicatat pada instansi pelaksana. Adapun yang dimaksud dengan instansi pelaksana adalah pemerintahan kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan. Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin (transgender) memang belum diatur khusus. Akan tetapi, untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan
7
dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan UndangUndang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).7 Adapun yang dimaksud dengan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk. Nantinya, Pejabat Pencatatan Sipillah melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 16 UU Adminduk). Dari definisi peristiwa penting di atas, memang pergantian jenis kelamin ini tidak termasuk peristiwa penting yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk. Akan tetapi, pergantian jenis kelamin ini dikenal dalam UU Adminduk sebagai “peristiwa penting lainnya”. Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk diatur bahwa pencatatan
peristiwa
penting
lainnya dilakukan
oleh
Pejabat
Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan “peristiwa penting lainnya” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk sebagai berikut:7
8
“Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.”7 Jadi, perubahan jenis kelamin atau transgender yang bila dilakukan oleh Dena Rahman menurut hukum indonesia perlu didahului dengan penetapan dari pengadilan negeri untuk kemudian dicatatkan pada instansi pelaksana. Adapun yang dimaksud dengan instansi pelaksana adalah pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 angka 7 UU Adminduk). Pelaporan perubahan jenis kelamin ini merupakan kewajiban Dena Rahman yang diatur dalam Pasal 3 UU Adminduk.8 “Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.”8 Serupa dengan aturan dalam Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk tentang pencatatan peristiwa penting lainnya, dalam Pasal 97 ayat (2) Perpres 25/2008 ini juga disebut bahwa peristiwa penting lainnya yang dimaksud antara lain adalah perubahan jenis kelamin.2,6 Syarat yang harus disiapkan untuk mengajukan permohonan penetapan pengadilan,
pada
dasarnya,
hal
tersebut
ditentukan
masing-masing
pengadilan. Alur permohonan penetapan pengadilan yakni untuk permohonan penetapan akta lahir. Pada dasarnya untuk meminta penetapan, dibutuhkan
9
bukti-bukti yang mendukung permohonan penetapan tersebut. Seperti dalam hal penetapan akta lahir, yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:2,7
Foto Kopi Surat Nikah/Surat Keterangan Nikah dari Kepala Desa/KUA Ke Sebanyak 1 Lembar;
Foto Kopi Kartu Keluarga (KK) Sebanyak 1 Lembar;
Foto Kopi KTP Pemohon Sebanyak 1 Lembar;
Foto Kopi Surat Keterangan Kelahiran dari Bidan/Dokter Sebanyak 1 Lembar. Adapun syarat-syarat yang harus ia penuhi adalah berupa (Pasal 97 ayat
(3) Perpres 25/2008):2,8
Penetapan pengadilan mengenai peristiwa penting lainnya;
KTP dan KK yang bersangkutan; dan
Akta Pencatatan Sipil yang berkaitan peristiwa penting lainnya.
2. Aspek Agama Dari segi agama, berdasarkan agama yang dianut oleh Bruce Jenner yaitu agama Kristen, transseksualisme dianggap sebagai dosa karena cenderung menolak ketetapan Tuhan. Namun, hal ini dianggap sebagai fenomena yang terjadi bukan karena Tuhan yang menciptakan orang-orang seperti itu, melainkan karena manusia sudah berdosa sejak semula (konsep dosa awal). Menurut pandangan ajaran ini juga, orang transseksual bisa percaya kepada Tuhan Yesus sama seperti orang berdosa lainnya. Karena itulah tidak ada alasan bagi orang berdosa untuk menghina dan menjauhi sesama orang berdosa.Artinya, meskipun termasuk kaum berdosa, tidak ada
10
pembenaran bagi umat protestan untuk menghina kaum transseksual.9 . Begitu pula dengan Dena Rahman yang menganut agama islam, transgender juga tidak diperbolehkan karena dianggap menentang ketentuan yang Tuhan berikan dari sejak lahir, berdasarkan hadis yang menjadi landasan yaitu“Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad)9 Menurut konsep ini, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak ada jenis kelamin ketiga. Pengubahan jenis kelamin dianggap sebagai pengubahan atas ciptaan Allah. Bahkan, Allah mengutuk individu yang berpenampilan dan bertindak menyerupai anggota jenis kelamin lain.9
3. Aspek Etika Klinis Segi etika klinis meninjau kasus transgender dari empat pokok etika klinis, yaitu indikasi medis, preferensi pasien, kualitas hidup, dan gambaran kontekstual.10,11,12 Kasus transgender berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) IV disebut juga dengan gender identity disorder (GID). Penyakit ini termasuk gangguan psikiatris. Protokol pengobatan untuk GID adalah terapi hormonal (cross-gender hormonal treatment) dan terapi pembedahan (sex reassignment surgery). Tujuan dari terapi-terapi tersebut adalah pengubahan gender dan perubahan organ kelamin. Terapi hormonal diberikan selama 2 tahun, setelah itu baru dilakukan terapi pembedahan, dan kembali dilanjutkan terapi hormonal hingga 5 tahun. Setelah terapi hormonal dan terapi pembedahan, penyesuaian hingga pembentukan sikap dan gaya
11
yang sesuai pun tetap harus dilakukan dan memakan waktu sampai tahunan. Pada operasi pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki sulit dilakukan dan memiliki angka kegagalan dan kematian pasien yang tinggi. Namun, bukan berarti operasi laki-laki menjadi perempuan pun tidak berisiko.13 Sebelum dilakukannya terapi hormonal dan SRS (sexual reassignment surgery), dokter harus memberitahu pasien mengenai apa itu terapi hormonal dan SRS beserta manfaat dan efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian terapi dan pembedahan. Pasien harus dipastikan mengerti akan informasi tersebut. Setelah pasien benar-benar paham, barulah diminta untuk menandatangani lembar informed consent yang disediakan. Pasien juga harus kompeten secara mental, atau dengan kata lain pasien sadar penuh dan memang ingin melakukan terapi tersebut atas kemauannya sendiri, bukan atas paksaan orang lain. Pasien juga harus dipastikan statusnya sah secara legal untuk dilakukannya terapi. Di Thailand, pasien yang dibolehkan untuk melakukan terapi adalah yang berusia di atas 18 tahun. Sedangkan di Indonesia, belum ada undang-undang yang mengatur tentang terapi penggantian gender tersebut.14,15 Setelah dilakukan terapi hormonal serta terapi pembedahan, kualitas hidupnya mungkin akan membaik dibandingkan saat sebelum dilakukannya terapi. Sebelum terapi, pasien akan merasakan pergolakan batin di dalam dirinya, karena apa yang dia rasakan berbeda dengan apa yang ada pada dirinya saat itu. Pasien akan merasa tidak nyaman ataupun tidak puas dengan tubuhnya sendiri, terutama dengan anatomi alat kelaminnya. Ketidakpuasan
12
dan ketidaknyamanan ini tentu akan mengganggu aktivitas hidupnya seharihari. Apabila terapi hormonal dan terapi pembedahan berhasil, kualitas hidup pasien akan meningkat karena pasien merasa puas dengan jenis kelamin barunya saat ini yang memang sesuai dengan keinginannya. Pasien akan lebih nyaman menjalani hidup karena sudah menemukan jati dirinya.11 Pada kasus transgender, perlu dianalisis pula apakah terdapat kepentingan pihak-pihak lain selain pasien, seperti dari pihak keluarga maupun institusi profesional. Selain itu, kasus ini juga perlu dianalisis dari isu legal serta isu agama. Di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai terapi hormonal dan terapi pembedahan pada pasien transgender. Isu legal ini jelas akan mempengaruhi keputusan klinis dokter. Dari sudut pandang agama di Indonesia, agama Islam, Protestan, dan Katolik memandang transgender merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan, apalagi hingga dilakukan terapi untuk pengubahan gender. Namun, menurut agama Hindu dan Buddha, operasi penggantian alat kelamin tidak masalah untuk dilakukan. Perbedaan sudut pandang dari beberapa agama ini juga akan mempengaruhi keputusan klinis dokter dalam menatalaksana pasien transgender.11,15
4. Aspek Kesehatan Dari aspek medis atau kesehatan, seorang transgender akan mengalami beberapa tahap dalam menjalani gender – reassignment. Seperti kasus transegender Bruce Jenner, dimulai dari timbulnya konflik dari diri Bruce Jenner, yang merasa “dia selalu merasa seharusnya ia terlahir sebagai
13
perempuan.” Keputusan untuk menjalani gender re- assignment, tidaklah mudah, dimulai dari perasaan depresi dan ia melawan depresi dan mencari solusi masalah yang ia hadapi. Selanjutnya, prosedur medis mengatakan bahwa gender re-assignment akan melalui tiga tahap, yaitu yang ditunjukkan pada tabel. Hingga pada bulan Juli 2015, secara formal Bruce Jenner memperkenalkan dirinya sebagai manusia baru berjenis kelamin perempuan dengan nama Caitlyn Jenner.16,17 1. Pemeriksaan
3. Sex-reassignment 2. Cross-gender hormones treatment
-
awal Mendata
-
ngi dokter.
Mengonsumsi hormon
-
wanita selama lima tahun. -
dan tubuhnya agar terlihat lebih
Melakukan prosedur
feminin.
elektrolisis untuk menghentikan pertumbuhan jenggot dan bulu
surgery Merubah wajah
-
dadanya.
Operasi untuk memperbesar payudara.
-
Operasi hidung untuk ketiga kalinya.
-
Operasi rahang, pipi, dan dahi.
Begitu juga yang di alami oleh artis cilik Renaldy Rachman. Ia mengaku bahwa selama ini. Ia adalah seorang wanita yang terjebak dalam tubuh lelaki. Ia sudah merasakan seorang wanita sejak berumur 5 tahun. Hingga akhirnya ia memutuskan menjadi perempuan ketika masuk kuliah
14
usia 18 tahun. Prosedur medis berupa tahapan gender re-assignment juga dilalui olehnya, yaitu yang ditunjukkan pada tabel. Dan selanjutnya, Renaldy Rachman meresmikan dirinya menjadi perempuan dan merubah namanya menjadi Dena Rachman.18 1. Pemeriksaan
3. Sex-reassignment 2. Cross-gender hormones treatment
-
awal Mendat angi dokter.
-
Terapi hormon dengan
-
surgery Operasi
mengkonsumsi pil. Dena
plastik di RS
mengkonsumsi pil untuk menekan
Grand Plastic
hormon testoteron yang dia miliki
Surgery, Seoul,
dan merangsang hormon estrogen.
Korea Selatan.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 15
III.1
Transgender
1. Definisi Secara etimologi transgender berasal dari dua kata yaitu “trans” yang berarti pindah (tangan; tanggungan); pemindahan dan “gender” yang berarti jenis kelamin. Istilah lain yang digunakan dalam operasi pergantian kelamin ialah “transseksual” yaitu merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris. Disebut transseksual karena memang operasi tersebut sasaran utamanya adalah mengganti kelamin seorang waria yang menginginkan dirinya menjadi perempuan.19, 20 Sedangkan secara terminologi transgender atau transseksual diartikan sebagai suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan, atau adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Beberapa ekspresi yang dapat dilihat ialah bisa dalam bentuk dandanan(make up), gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery).2 Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysphoria syndrome. Penyimpangan
ini terbagi
lagi menjadi
beberapa
subtipe
meliputi
transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual. Tanda-tanda transgender atau transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain:2 1. Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya;
16
2. Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; 3. Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika datang stress; 4. Adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; 5. Dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.
Transgender harus dibedakan dengan transeksual, transvestisime, dan interseksual. Transeksual adalah orang yang mengalami ketidakcocokan seks biologis bawaannya dengan seks biologis yang dirasakannya nyaman, serta menjalani prosedur medis untuk mengubah seks fisiknya agar sesuai dengan identitas seks yang dikehendakinya melalui perawatan hormon dan/atau operasi. Transvestisisme adalah istilah orang yang mendapatkan kenikmatan ataupun kepuasan seksual, emosional, atau spiritual dari memakai pakaian gender lainnya. Interseksual adalah istilah umum yang digunakan untuk berbagai kondisi dimana seseorang lahir dengan anatomi seksual dan reproduksi yang tampaknya tidak sesuai definisi tipikal perempuan atau lakilaki. Umpamanya, seorang mungkin lahir tampak perempuan dari luar, namun memiliki anatomi tipikal laki-laki di dalam. Atau orang dapat lahir dengan alat kelamin yang tampak diantara tipe laki-laki dan perempuan yang umum, misalnya seorang anak perempuan mungkin lahir dengan klitoris yang
17
mencolok besar, atau tidak memiliki lubang vagina, atau seorang anak lakilaki mungkin lahir dengan penis yang mencolok kecil, atau dengan skrotum terbelah sehingga berbentuk mirip labia.2
2. Faktor Penyebab Adapun penyebab seorang pria menjadi seorang wanita atau waria atau penyebab terjadinya transgender dapat diakibatkan 2 faktor yaitu:2 a) Faktor bawaan (hormon dan gen) Faktor genetik dan fisiologis adalah faktor yang ada dalam diri individu karena
ada
masalah
antara
lain
dalam
susunan
kromosom,
ketidakseimbangan hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf otak. b) Faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri.
Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan),
menyeimbangkan
kondisi
hormonal
guna
mendekatkan
kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya
18
untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan.2
3. Klasifikasi Transgender ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female transgender (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang perempuan) dan female-to-male transgender (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki).21
4. Prevalensi Angka kejadian transgender di dunia tidak dapat diukur secara pasti karena belum ada perhitungan berbasis penelitian yang dilakukan. Selama ini estimasi jumlah transgender hanya berdasarkan diagnosis gangguan identitas gender, dan pasien yang mengunjungi klinik gender yang ada. Angka perkiraan jumlah transgender di dunia untuk pria menjadi wanita sejumlah 1 dari 30.000 populasi sampai 6 dari 1000 populasi, sedangkan untuk wanita menjadi pria sejumlah 1 dari 100.000 sampai 1 dari 33.800 populasi. Hal ini didasari oleh terjadinya gangguan identitas gender, dimana gangguan identitas gender terjadi 3 kali lebih besar pada pria dibandingkan wanita.22, 23
5. Risiko Perilaku Di seluruh dunia, risiko kesehatan akibat perilaku yang paling sering terjadi pada transgender adalah penyakit menular sekual. Penyakit ini sering terjadi akibat beberapa hal, seperti penggunaan obat suntik secara bergantian,
19
berganti pasangan seksual, kurangnya pendidikan, sejarah menjadi pekerja seks komersial. Di Indonesia terutama di Semarang, Jumlah waria yang terkena IMS memang belum diketahui jumlahnya, namun hasil Surveilans Terpadu Biologis Terpadu di Kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya dapat dijadikan perbandingan. Hasil STBP dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya menunjukkan adanya prevalensi IMS dan HIV yang tinggi di kalangan transgender. Prevalensi HIV pada transgender di Bandung 14% dan di Jakarta 34%, prevalensi gonore rektal atau klamidia pada transgender di Jakarta 42% dan di Bandung 55%, sedangkan prevalensi sifilis pada transgender berkisar antara 25% (Jakarta dan Bandung) dan di Surabaya 30%. Selain penyakit menular seksual, gangguan yang terjadi pada transgender adalah gangguan kejiwaan, dimana para transgender sering mendapatkan diskriminasi dan stigma buruk dari masyarakat, yang akan menyebabkan transgender tersebut menggunakan obat obatan terlarang secara bergantian lalu akhirnya tertular penyakit menular seksual terutama HIV, dan
juga dapat menyebabkan
percobaan bunuh diri, dimana contohnya, 65% dari 300 transgender di Virginia pernah memiliki ide untuk bunuh diri.24, 25, 26, 27, 28
III.2
Transgender Ditinjau Dari Aspek Hukum Indonesia Dalam hukum Indonesia, belum ada perundang-undangan yang tegas
mengatur transgender atau transeksual. Undang-undang yang ada hanya mengatur mengenai interseksual, yaitu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 69, adalah:25
20
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. (2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas. (3) Ketentuan mengenai syarat dan tatacara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hingga saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (3) tersebut. Peraturan Pemerintah lain yang membahas mengenai operasi penggantian kelamin adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 191/MENKES/SK/III/1989 tentang penunjukan rumah sakit dan tim ahli sebagai tempat dan pelaksanaan operasi penyesuaian kelamin. Maka di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang ditunjuk sebagai pusat penanganan kelainan genital beserta tim pelaksana operasi penggantian kelamin, yang terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli penyakit kandungan dan ginekologi, anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan dewasa (internis), ahli genetika, andrologi, psikiater atau psikolog; ahli patologi, ahli hukum, pemuka agama, dan petugas sosial medis. Tim ini bekerja untuk penderita interseksual (tidak pada penderita transeksual) yang membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan alat genital, dan pengobatan.25 Secara hukum, kaum transgender dan transeksual memiliki hak yang sama dengan manusia pada umumnya sesuai dengan undang-undang yang mengatur hak asasi manusia, diantaranya sebagai berikut:6
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
21
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Pasal 28 D ayat 1, berbunyi : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum”
Pasal 28 I ayat 2, berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu” Seorang
transgender
yang
hendak
melakukan
perkawinan,
harus
memperhatikan peraturan undang –undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi:6 “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Berdasarkan pasal tersebut, maka seorang pria dan wanita merupakan salah satu penentu sahnya perkawinan (tidak perkawinan sejenis). Bagi kaum transeksual yang telah mengalami operasi perubahan jenis kelamin, status kewarganegaraan berubah dalam sisi jenis kelamin. Tidak masalah dalam hal jika kaum transgender atau transeksual menikah selama ia menikah dengan jenis
22
kelamin yang berlawanan dengan jenis kelaminnya yang sah dan terdaftar (sesuai Kartu Tanda Penduduk).7 Sampai saat ini belum ada KUHP yang mengatur tentang transgender atau transeksual. Namun, transgender yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis seperti halnya kaum homoseksual atau lesbian, diatur dalam undangundang pasal 292 KUHP dan pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP.7
Pasal 292 KUHP, berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
Pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun, dipidana dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 7 tahun.”
Dasar hukum atau tata cara seseorang dapat melakukan pergantian kelamin atau kedudukan hukum seseorang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin dalam nasional adalah sebagai berikut:8
Hukum Atas Pergantian Kelamin Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin (transgender) memang belum diatur khusus. Akan tetapi, untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
23
dialami oleh penduduk Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan peristiwa penting menurut Pasal 1 angka 17 UU Adminduk berbunyi;8 “Kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan
anak,
perubahan
nama
dan
perubahan
status
kewarganegaraan.” Dari definisi peristiwa penting di atas, memang pergantian jenis kelamin ini tidak termasuk peristiwa penting yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk. Akan tetapi, pergantian jenis kelamin ini dikenal dalam UU Adminduk sebagai “peristiwa penting lainnya”.8 Dalam Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk diatur bahwa pencatatan peristiwa penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan
Penduduk
yang
bersangkutan setelah
adanya
penetapan
pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan yang
dimaksud
dengan
“peristiwa
penting
lainnya”
dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk sebagai berikut:8 “Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.”
Konsekuensi Hukum Atas Pergantian Kelamin Setelah seorang transgender melakukan operasi pergantian kelamin bukan berarti masalah ketidak-jelasan kelamin yang dialaminya telah selesai, masih ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung atas pergantian
24
kelamin. Konsekuensi hukum yang harus ditanggung adalah perubahan data kependudukan.6 Perubahan Data Kependudukan Berdasarkan pasal 77 UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi kependudukan, yang berbunyi: “Tidak
seorangpun
dapat
merubah/menganti/menambah
identitasnya tanpa ijin Pengadilan” Dengan perubahan jenis kelamin tentunya seluruh juga ada perubahan mengenai data kependudukan. Dan berdasarkan ketentuan tersebut, sangat wajar apabila seorang yang telah melakukan operasi ganti kelamin mengajukan perubahan data identitas kependudukannya kepada pengadilan melalui sebuah Permohonan.7 Perubahan status hukum dari seorang yang berjenis kelamin lakilaki menjadi seorang yang berjenis kelamin perempuan atau sebaliknya sampai dengan saat ini belum ada pengaturan dalam hukum, dengan demikian dalam masyarakat yang tidak diatur oleh hukum sehingga menimbulkan suatu kekosongan hukum;8 Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi: "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”\
25
Pasal 10 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tersebut mengamanatkan bahwa Pengadilan melalui Hakim sebagai dari representasi Pengadilan sebagai pilar terakhir untuk menemukan keadilan bagi masyarakat dan demi kepentingan hukum yang beralasan kuat, wajib menjawab kebutuhan hukum masyarakat dengan menemukan hukumnya jika tidak ada pengaturan hukum terhadap perkara yang ditanganinya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang ada, kepatutan dan kesusilaan; Sehingga Penetapan ganti kelamin merupakan sebuah jawaban dan sebuah penemuan hukum, karena belum ada suatu aturan yang mengatur tentang hal tersebut,sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.6
Perubahan Mengenai Status Ahli Waris Pada awalnya ketika seseorang dilahirkan dikenal dengan keberadaannya sebagai perempuan namun dalam perkembangannya ada kelainan mengenai jenis kelaminnya, jika tidak melakukan operasi tentunya
akan
susah
untuk
menentukan
jenis
dan sebagai solusi yaitu melakukan pergantian kelamin
kelaminnya, sebagaimana
dalam Hukum Islam yang menganut perbedaan bagian warisan antara ahli waris perempuan dan laki-laki. Dengan pergantian kelamin tersebut memperjelas berapa bagian yang akan di terima ahli waris tersebut yang telah melakukan perubahan kelamin.7
26
III.3
Transgender Ditinjau Dari Aspek Agama
1. Agama Protestan Menurut ajaran Protestan, transseksualisme dianggap sebagai dosa karena cenderung menolak ketetapan Tuhan.Namun, hal ini dianggap sebagai fenomena yang terjadi bukan karena Tuhan yang menciptakan orang-orang seperti itu, melainkan karena manusia sudah berdosa sejak semula (konsep dosa awal). Menurut pandangan ajaran ini juga, orang transseksual bisa percaya kepada Tuhan Yesus sama seperti orang berdosa lainnya. Karena itulah tidak ada alasan bagi orang berdosa untuk menghina dan menjauhi sesama orang berdosa.Artinya, meskipun termasuk kaum berdosa, tidak ada pembenaran bagi umat protestan untuk menghina kaum transseksual.9 “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Amsal 27:17).Menurut interpretasi atas ayat ini, meskipun transseksualisme bukanlah bahan ejekan dan hinaan, adalah tidak bijak bagi masyarakat untuk memberi celah bagi kaum transseksual untuk membentuk kelompok besar apalagi jika sampai mendapat pembenaran dan dukungan dari kalangan gereja.9
2. Agama Katolik Ajaran Katolik memiliki pandangan yang serupa dengan ajaran protestan dalam memandang transseksualisme. Menurut KGK 2297, penggantian kelamin dianggap melanggar penghormatan terhadap integritas tubuh manusia. Menurut KGK 369, pria dan wanita lah diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai
27
pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. “Kepriaan” dan “kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22).9
3. Agama Hindu Ajaran Hindu memandang keberadaan 3 (tiga) jenis kelamin, yaitu pums-prakriti (pria), stri-prakriti (perempuan), tritiya-prakriti (seks ketiga). Jenis seks ketiga ini terdiri dari shanda (male to female) dan shandi (female tomale). Karena adanya pengakuan, pemilik tritiya prakriti diijinkan hidup bebas dan terbuka. Contohnya dalam kisah Baratayudha terdapat masa dimana Arjuna berperan sebagai Brihannala. Dengan begitu, operasi pergantian kelamin pun bebas dilakukan.9
4. Agama Budha Ajaran
Budha
merupakan
ajaran
yang
menjunjung
tinggi
toleransi.Lebih dari itu, ajaran Budha juga menyimpan akar kebudayaan Hindu yang menguasai jenis kelamin ketiga. Siapapun yang telah banyak mengembangkan kebajikan dengan badan, ucapan dan juga pikiran, setelah meninggal dunia mempunyai kesempatan terlahir di alam bahagia tanpa terpengaruh oleh jenis kelamin Meskipun begitu, dalam tripitaka dinyatakan bahwa seorang waria tidak berhak ditasbihkan sebagai bhiksu atau bhiksuni.9
28
5. Agama Islam Dalam Islam, kita dapat melihat pandangan akantransseksualisme dari beberapa dasar berikut: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan …” (QS. Al-Hujurat: 13) “… dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah …” (QS. AnNisa: 119) “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad) Menurut konsep ini, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak ada jenis kelamin ketiga. Pengubahan jenis kelamin dianggap sebagai pengubahan atas ciptaan Allah sebagaimana titah setan yang tertulis dalam Q.S. An-Nisa: 119. Bahkan, Allah mengutuk individu yang berpenampilan dan bertindak menyerupai anggota jenis kelamin lain.9 Bagi manusia yang memiliki kecenderungan psikologis ke arah transseksualisme maupun jenis kelainan gender yang lain, haruslah ditangani melalui terapi spiritual dan psikologis, bukan dengan mengubah ciptaan Allah. Operasi kelamin sendiri, diharamkan bagi tujuan transseksualisme pada pemilik kelamin normal sejak lahir (Munas II MUI 1980). Operasi kelamin
yang
diperbolehkan
adalah
operasi
untuk perbaikan
atau
penyempurnaan kelamin dan operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda.9
29
III.3
Transgender Ditinjau Dari Aspek Etika Klinis Secara sederhana, etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi
terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.14 Etika klinis adalah disiplin praktis yang membahas pendekatan struktural untuk
membantu
dokter
dalam
mengidentifikasi,
menganalisis,
dan
menyelesaikan isu etika dalam kedokteran klinis. Praktek kedokteran klinis memerlukan pengetahuan mengenai isu-isu etika seperti informed consent, kejujuran, kerahasiaan, end-of-life care, dan hak-hak pasien. Dalam mengambil keputusan tindakan medis, dari segi etik dianjurkan untuk mengamalkan etika klinis yang merupakan etika terapan untuk mengenal, menganalisis, dan menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik. Pada tahun 1982, Jonsen, Siegler, dan Winslade mempublikasikan Clinical Ethics, dimana mereka mendeskripsikan
pendekatan
“empat
kuadran”,
sebuah
metode
untuk
menganalisis kasus etika klinis. Pendekatan empat kuadran tersebut menggunakan empat topik yaitu:10, 11, 12
30
1. Indikasi medis (medical indications) 2. Preferensi pasien (patient preferences) 3. Kualitas hidup (quality of life) 4. Gambaran kontekstual (contextual features)
Indikasi Medis Indikasi medis menganut prinsip beneficence dan nonmaleficence, dan merupakan seluruh temuan klinis, mencakup diagnosis, prognosis, dan pilihan penatalaksanaan, serta penilaian tujuan perawatan. Pokok pembicaraan ini mencakup konten umum diskusi klinis: diagnosis dan penatalaksanaan kondisi patologis pasien. “Indikasi” merujuk pada hubungan antara keadaan patofisiologi pasien dengan diagnosis dan intervensi terapeutik yang “diindikasikan”, yang tepat untuk mengevaluasi dan mengurangi masalah. Walaupun hal ini sering diulas pada presentasi masalah klinis setiap pasien, diskusi etika tidak hanya akan meninjau fakta-fakta medis, namun juga membahas tujuan dari intervensi yang diindikasikan.11 1. Apakah masalah medis pasien? Apakah masalah tersebut tergolong akut? Kronik? Kritis? Reversible? Darurat? Teminal? 2. Apa tujuan dari penatalaksanaan? 3. Dalam keadaan seperti apa penatalaksanaan medis tidak diindikasikan? 4. Bagaimana probabilitas keberhasilan berbagai pilihan penatalaksanaan? 5. Sebagai ringkasan, bagaimana cara pasien agar perawatan medis menguntungkan bagi pasien dan bagaimana cara mencegah terjadinya kerugian?
31
Kasus transgender berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) IV disebut juga dengan gender identity disorder (GID). Penyakit ini termasuk gangguan psikiatris. Protokol pengobatan untuk GID adalah terapi hormonal (cross-gender hormonal treatment) dan terapi pembedahan (sex reassignment surgery). Tujuan dari terapi-terapi tersebut adalah pengubahan gender dan perubahan organ kelamin. Terapi hormonal diberikan selama 2 tahun, setelah itu baru dilakukan terapi pembedahan, dan kembali dilanjutkan terapi hormonal hingga 5 tahun. Setelah terapi hormonal dan terapi pembedahan, penyesuaian hingga pembentukan sikap dan gaya yang sesuai pun tetap harus dilakukan dan memakan waktu sampai tahunan. Pada operasi pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki sulit dilakukan dan memiliki angka kegagalan dan kematian pasien yang tinggi. Namun, bukan berarti operasi lakilaki menjadi perempuan pun tidak berisiko.13 Menurut Fitzgibbons, Sutton, dan O’Leary (2009), SRS melanggar prinsip dasar medis dan etika, dan maka dari itu tidak tepat secara etis ataupun medis. Alasan yang dikemukakan antara lain:29 (1) SRS ‘merusak’ suatu tubuh sehat yang tidak berpenyakit. Melakukan pembedahan pada tubuh yang sehat melibatkan risiko yang tidak perlu; oleh karena itu, SRS melanggar prinsip primum, non nocere, “first, do no harm”.29 (2) Pasien yang akan dilakukan SRS beranggapan bahwa mereka terjebak dalam tubuh yang memiliki jenis kelamin yang salah, dan karenanya menginginkan dan menuntut dilakukannya SRS; anggapan ini terbentuk akibat gangguan persepsi pada diri sendiri. Anggapan yang menetap dan irasional lebih tepatnya disebut dengan delusi. Maka dari itu, SRS merupakan “sesuatu yang
32
salah”–hal tersebut memberikan solusi pembedahan untuk masalah psikologis seperti kegagalan untuk menerima maskulinitas atau feminitas, kurangnya kedekatan hubungan antara seorang anak dengan teman sebayanya atau dengan orangtuanya, penolakan diri sendiri, gangguan identitas gender (gender identity disorder/gender dysphoria) yang tidak diobati, kecanduan masturbasi dan fantasi, citra tubuh yang buruk, kemarahan yang berlebih, dan psikopatologis berat pada orangtua.29 (3) SRS tidak mencapai apa yang dituntut untuk dicapai. Secara fisiologis, tidak mungkin mengubah jenis kelamin seseorang, dimana jenis kelamin pada tiap individu dikode oleh gen–XX pada wanita, dan XY pada pria. Pembedahan hanya menciptakan gambaran jenis kelamin lain, namun tidak mengubah jenis kelamin seseorang; oleh karenanya, tidak memberikan manfaat yang berarti. George Burou, seorang dokter di Maroko yang telah mengoperasi lebih dari tujuh ratus laki-laki Amerika, menjelaskan, “Saya tidak mengubah laki-laki menjadi perempuan. Saya mengubah alat kelamin laki-laki menjadi alat kelamin yang memiliki aspek perempuan. Selebihnya terdapat dalam pemikiran pasien.”29 (4) SRS merupakan suatu upaya bedah yang “permanen” dan sering tidak memuaskan, yang dilakukan untuk mengubah sesuatu yang mungkin hanya sebuah kondisi psikologis/psikiatris sementara.29
Preferensi Pasien Preferensi dan nilai-nilai pasien menganut prinsip respect for autonomy, dan merupakan alasan utama dalam menentukan penatalaksanaan terbaik untuk pasien. Dalam semua penatalaksanaan medis, preferensi pasien berdasarkan nilai-
33
nilai pasien sendiri dan penilaian personal mengenai manfaat dan bahaya yang relevan secara etika. Pada setiap kasus klinis, pertanyaan yang pasti timbul adalah: “Apa tujuan pasien? Apa yang pasien inginkan?” Ulasan sistematis pada topik ini memerlukan pertanyaan lebih lanjut. “Apakah pasien telah diberikan infomasi yang cukup? Apakah pasien mengerti? Apakah pasien paham adanya ketidakpastian pada setiap rekomendasi medis dan beragam pilihan yang ada? Apakah pasien setuju secara sukarela? Apakah pasien dipaksa?” Pada beberapa kasus, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini mungkin adalah “Kami tidak tahu karena pasien tidak mampu menyatakan suatu preferensi.” Apabila pasien tidak mampu secara mental pada saat keputusan harus dibuat, kita harus bertanya, “Siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan keputusan pada pasien ini? Bagaimana batas-batas etika dan legal pada kewenangan tersebut? Apa yang harus dilakukan apabila tidak ada seorangpun yang dapat mewakilkan?”11 1. Apakah pasien telah diinformasikan mengenai manfaat dan risiko, mengerti informasi ini, dan memberikan persetujuan? 2. Apakah pasien kompeten secara mental dan legal, dan adakah tanda-tanda ketidakmampuan? a. Apabila pasien mampu secara mental, terapi seperti apa yang lebih dipilih pasien? b. Jika tidak mampu, apakah pasien telah menyatakan keinginannya sebelumnya? c. Siapa wakil yang tepat untuk membuat keputusan bagi pasien yang tidak mampu? d. Apakah
pasien
enggan
atau
tidak
dapat
kooperatif
dengan
34
penatalaksanaan medis? Jika ya, mengapa? Sebelum dilakukannya terapi hormonal dan SRS (sexual reassignment surgery), dokter harus memberitahu pasien mengenai apa itu terapi hormonal dan SRS beserta manfaat dan efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian terapi dan pembedahan. Pasien harus dipastikan mengerti akan informasi tersebut. Setelah pasien benar-benar paham, barulah diminta untuk menandatangani lembar informed consent yang disediakan.14 Pasien juga harus kompeten secara mental, atau dengan kata lain pasien sadar penuh dan memang ingin melakukan terapi tersebut atas kemauannya sendiri, bukan atas paksaan orang lain. Pasien juga harus dipastikan statusnya sah secara legal untuk dilakukannya terapi. Di Thailand, pasien yang dibolehkan untuk melakukan terapi adalah yang berusia di atas 18 tahun. Sedangkan di Indonesia, belum ada undang-undang yang mengatur tentang terapi penggantian gender tersebut.15
Kualitas Hidup Kualitas hidup menganut prinsip beneficence, nonmaleficence, dan respect for autonomy. Tujuan utama dari seluruh temuan klinis adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Adanya trauma atau penyakit yang mencederai pasien yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, bermanifestasi pada gejala dan tanda penyakit mereka. Tujuan dari seluruh intervensi medis adalah untuk mengembalikan, memelihara, atau meningkatkan kualitas hidup. Maka dari itu, pada setiap situasi medis, pembahasan mengenai kualitas hidup pasti muncul. Beberapa pertanyaan mengenai hal ini antara lain:
35
“Apa yang dimaksud dengan “kualitas hidup” secara umum? Bagaimana seharusnya hal tersebut dipahami pada kasus-kasus tertentu? Bagaimana cara orang selain pasien mempersepsikan kualitas hidup pasien dan bagaimana relevansi etis pada persepsi mereka? Yang terpenting, bagaimana kaitan antara kualitas hidup dengan penilaian etika?” Pada topik ini, yang tidak banyak dibahas di literatur etika medis dibanding dua topik sebelumnya, sangat berisiko untuk terjadinya bias dan prasangka. Namun, hal ini tetap harus dikemukakan pada analisis masalah etika klinis.11 1. Bagaimana prospek ke depannya, dengan atau tanpa penatalaksanaan, untuk kembali ke kehidupan normal, dan apa saja defisit fisik, mental, dan sosial yang mungkin dialami pasien apabila penatalaksanaan berhasil? 2. Atas dasar apa seseorang dapat berpendapat bahwa kualitas hidup pasien tidak akan seperti yang diinginkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan pendapatnya? 3. Apakah terdapat bias terhadap penilaian yang diberikan penyelenggara pelayanan kesehatan terhadap kualitas hidup pasien? 4. Apakah isu etik yang timbul mengenai peningkatan atau perbaikan kualitas hidup pasien? 5. Apakah penilaian kualitas hidup menimbulkan pertanyaan terkait perubahan rencana penatalaksanaan, seperti melepas terapi penopanghidup? 6. Apa rencana dan dasar pemikiran untuk melepas terapi penopang-hidup? 7. Bagaimana status legal dan etika bunuh diri?
36
Pada pasien transgender, setelah dilakukan terapi hormonal serta terapi pembedahan, kualitas hidupnya mungkin akan membaik dibandingkan saat sebelum dilakukannya terapi. Sebelum terapi, pasien akan merasakan pergolakan batin di dalam dirinya, karena apa yang dia rasakan berbeda dengan apa yang ada pada dirinya saat itu. Pasien akan merasa tidak nyaman ataupun tidak puas dengan tubuhnya sendiri, terutama dengan anatomi alat kelaminnya. Ketidakpuasan dan ketidaknyamanan ini tentu akan mengganggu aktivitas hidupnya sehari-hari. Apabila terapi hormonal dan terapi pembedahan berhasil, kualitas hidup pasien akan meningkat karena pasien merasa puas dengan jenis kelamin barunya saat ini yang memang sesuai dengan keinginannya. Pasien akan lebih nyaman menjalani hidup karena sudah menemukan jati dirinya.11
Gambaran Kontekstual Topik ini menganut prinsip justice dan fairness. Seluruh temuan klinis yang terjadi di dalam konteks sosial yang lebih luas selain dokter dan pasien, mencakup keluarga, hukum, kultur, aturan rumah sakit, perusahaan asuransi dan hal finansial lain, dan sebagainya. Pasien datang ke dokter karena mereka memiliki masalah yang mereka harapkan dokter dapat membantu mengatasinya. Dokter melakukan perawatan terhadap pasien dengan tujuan berusaha untuk membantu mereka. Pembahasan mengenai indikasi medis, preferensi pasien, dan kualitas hidup merupakan hal yang penting pada kasus medis. Namun, setiap kasus juga dicampurtangani oleh sekumpulan orang, institusi, aturan finansial, dan aturan sosial. Perawatan pasien, baik secara positif maupun negatif, dipengaruhi oleh halhal tersebut. Pada saat yang sama, hal-hal tersebut pun dipengaruhi oleh
37
keputusan yang dibuat oleh pasien: keputusan ini berdampak psikologis, emosional, finansial, legal, ilmiah, edukasional, agama pada orang lain. Pada setiap kasus, relevansi fitur kontekstual harus ditentukan dan dinilai. Fitur kontekstual ini sangat penting untuk pemahaman dan penyelesaian kasus.11 1. Apakah terdapat kepentingan profesional, luar profesional, atau bisnis yang dapat menimbulkan konflik kepentingan penatalaksanaan klinis pasien? 2. Apakah terdapat pihak selain dokter dan pasien, seperti anggota keluarga, yang memiliki kepentingan dalam keputusan klinis? 3. Apa saja batas-batas kerahasiaan pasien yang dikenakan oleh kepentingan sah pihak ketiga? 4. Apakah terdapat faktor finansial yang menimbulkan konflik kepentingan dalam keputusan klinis? 5. Apakah terdapat masalah alokasi sumber daya yang langka yang dapat mempengaruhi keputusan klinis? 6. Apakah terdapat isu agama yang dapat mempengaruhi keputusan klinis? 7. Isu legal apa yang dapat mempengaruhi keputusan klinis? 8. Apakah terdapat pertimbangan mengenai riset klinis dan pendidikan yang dapat mempengaruhi keputusan klinis? 9. Apakah terdapat isu kesehatan dan keamanan masyarakat yang mempengaruhi keputusan klinis? 10. Apakah terdapat konflik kepentingan dengan institusi atau organisasi (seperti rumah sakit) yang dapat mempengaruhi keputusan klinis dan kesejahteraan pasien?
38
Pada kasus transgender, perlu dianalisis apakah terdapat kepentingan pihakpihak lain selain pasien, seperti dari pihak keluarga maupun institusi profesional. Selain itu, kasus ini juga perlu dianalisis dari isu legal serta isu agama. Di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai terapi hormonal dan terapi pembedahan pada pasien transgender. Isu legal ini jelas akan mempengaruhi keputusan klinis dokter. Dari sudut pandang agama di Indonesia, agama Islam, Protestan, dan Katolik memandang transgender merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan, apalagi hingga dilakukan terapi untuk pengubahan gender. Namun, menurut agama Hindu dan Buddha, operasi penggantian alat kelamin tidak masalah untuk dilakukan. Perbedaan sudut pandang dari beberapa agama ini juga akan mempengaruhi keputusan klinis dokter dalam menatalaksana pasien transgender.11,15 Thailand saat ini merupakan pusat operasi transgender di dunia dan menjadi salah satu negara yang paling ‘bersahabat’ dengan perihal homoseksual dan transeksual, dengan dibuatnya konstitusi yang melindungi hak-hak para homoseksual dan transeksual. Berdasarkan instruksi dari dewan medis di Thailand, persyaratan untuk operasi penggantian kelamin antara lain (1) pasien setidaknya berusia 18 tahun; (2) dokter bedah hanya boleh mengoperasi pasien yang terdiagnosis mengalami gender identity disorder oleh dua psikiater dan diindikasikan untuk menjalani pembedahan. Dari persyaratan tersebut jelas diasumsikan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan terapi untuk gender identity disorder.15
III.4
Transgender Ditinjau Dari Aspek Kesehatan
39
Transgender istilah umum bagi orang-orang yang identitas gender, ekspresi gender, atau perilaku tidak sesuai dengan yang biasanya terkait dengan seks yang mereka ditugaskan saat lahir. Identitas gender mengacu pada perasaan internal seseorang “makna menjadi” laki-laki, perempuan, atau sesuatu yang lain. Ekspresi gender merujuk pada cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain melalui identitas gender melalui perilaku, pakaian, gaya rambut, suara, atau karakteristik tubuh.16 Berdasarkan peneliltian yang dilakukan oleh Rekers, sebanyak kurang lebih 70 orang anak laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender yang dijadikan objek penelitian, ia menemukan bahwa tidak dideteksi hal yang sifatnya abnormal secara fisik dan tidak ada bukti bahwa pemberian hormon sewaktu seorang wanita mengandung atau adanya ketidakseimbangan hormonal pada diri ibu dapat menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya gangguan identitas gender pada seorang anak. Jadi, dapat ditarik kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa seseorang yang mengalami gangguan identitas gender tidak mengalami gangguan atau keabnormalan secara fisik.17 Saat mereka merasakan perasaan ketidak cocokkan antara identitas gender yang mereka terima sejak lahir dengan tubuh yang kita diami, di dalam masyarakat telah dibuktikan tidak ada kedudukan yang pasti atau peran yang dapat diambil untuk jenis ekspresi gender seperti ini, bahkan suatu konflik biasanya akan menyeruak atau timbul dalam masyarakat tersebut. Hal ini tidak dapat diterima sebagai sesuatu yang normal dalam masyarakat.18 Sebagai manusia yang normal, individu transgender dan transseksual memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia normal lainnya. Tetapi,
40
dikarenakan terdapat adanya penyimpangan perilaku yang mereka perlihatkan, mengakibatkan mereka mengalami berbagai bentuk konflik baik yang mereka dapatkan dari pihak keluarga maupun dari segelintir masyarakat dikarenakan sudut pandang yang telah terbentuk selama ini mengindikasikan bahwa kaum mereka merupakan kaum yang selalu terlibat dalam hal negatif, seperti menjadi seorang pekerja seks komersial. Perilaku kaum transeksual/transgender dalam mencari pertolongan kesehatan relatif sudah mengarah pada perilaku positif, dimana mereka secararutin melakukan pemeriksaan kesehatan.Baik kepada tenaga kesehatan yang telah disediakan oleh yayasan yang menaunginya maupun kepada dokter umum biasa.16, 17 Individu transgender mungkin mengalami rasa malu dan kecemasan atas tubuh mereka dan jika dilihat secara klinis, tidak harus diminta untuk membuka pakaian kecuali benar-benar diperlukan. Hal lain yang penting untuk diingat adalah bahwa stereotip kelelakian atau keperempuanan dari tubuh seseorang bukan merupakan indikasi dysphoria gender yang dialami oleh individu. Di Inggris, jenis kelamin pada akta kelahiran seseorang adalah seks seseorang untuk hidup, bahkan jika seseorang menjalani operasi pergantian jenis kelamin.16, 18 Transeksual hidup sebagai lawan jenis dan akan berusaha untuk mengubah penampilan luar mereka untuk sesuai dengan identitas batin mereka melalui penggunaan hormon seks dan kemungkinan operasi pergantian. Ada beberapa protokol pengobatan untuk terapi hormonal dan pembedahan untuk individu transeksual. The Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association’s standards, menerangkan bahwa transseksualisme sendiri bukanlah gangguan mental atau penyakit medis, dan penekanannya adalah pada aksesibilitas dan
41
kontrol pasien atas keputusan-keputusan, selain itu dibahas juga pedoman dan rekomendasi untuk kesiapan konsumen untuk terapi hormonal, operasi estetika dan operasi pergantian gonad serta komentar tentang pedoman.17, 18 Pada masa lampau perkembangan teknologi yang ada masih belum memberi keleluasaan penggantian gender. Namun, dengan teknologi yang telah ada sekarang, penggantian gender telah dapat dilakukan, bahkan hingga penggantian organ kelamin.16
1. Gender-Reassignment Gender
reassignment merupakan
suatu
proses
atau
mekanisme
perubahan gender. Metode ini banyak ditempuh oleh kaum transseksual untuk memenuhi hasrat dan ketidaknyamanannya atas gender yang dimilikinya sejak semula.Proses ini tidak merupakan tahapan-tahapan yang bebas dilakukan oleh siapapun yang menginginkan perubahan gender. Tahap ini harus didahului oleh wawancara klinis oleh tim ahli terhadap pasien yang diduga menderita transseksualisme dan berkeinginan untuk beralih gender. Dalam tahap ini, pemeriksaan kelainan genetis dan hormonal merupakan hal yang seharusnya dilakukan. Hasil positif kedua tahap ini dilanjutkan dengan evaluasi psikologis untuk melihat beberapa hal penting sebagai berikut:18 Ketiadaan kelainan mental. Motivasi pasien untuk berganti gender. Kesediaan pasien untuk menerima segala kondisi dan konsekuensi akibat pengubahan gender.
42
Ketiga tahap pendahuluan di atas merupakan upaya deteksi dan justifikasi legal adanya fenomena transseksualisme dalam suatu individu. Jika hasil evaluasi
pada
ketiga
tahap
tadi
adalah
positif,
maka
secara
medis, gender-reassignment boleh dilakukan. Gender-reassignment sendiri secara umum dilakukan dalam 2 tahapan utama. Pertama, dilakukan cross-gender hormones treatment. Pemberian hormon dari jenis kelamin yang berlawanan ini biasanya dilakukan selama 2 tahun untuk mengkondisikan fisiologis pada pasies. Setelah dianggap siap, maka dilakukan sex-reassignment surgery.18
2. Sex-Reassignment Surgery Sex reassignment surgery merupakan suatu prosedur operasi medis pengubahan organ kelamin antar jenis kelamin. Tujuan sex reassignment surgery adalah sebagai berikut:18
Perbaikan organ kelamin yang tidak sempurna.
Penghilangan salah satu kelamin pada kasus kelamin ganda.
Transseksual Operasi pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki sangat
sulit dilakukan dan memiliki kemungkinan kegagalan atau kematian pasien yang tinggi. Dalam hal ini, sangat riskan untuk membuat clitoris menjadi gland penis yang ukurannya jauh lebih besar dan harus dilakukan operasi tambahan histerektomi dan ooforektomi. Bagi MtF (male to female) pun, operasi tidak dilakukan tanpa resiko. Berikut adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi:18
43
Pendarahan/hematoma Infeksi Masalah penyembuhan luka Recto-vaginal fistula (lubang berkembang antara kolon dan vagina) Urethra-vaginal fistula Pulmonary thromboembolism Necrosis parsial/menyeluruh pada flap Pertumbuhan rambut intravaginal Ketakutan hipertrofik Vagina pendek Setelah SRS dilakukan pun, dibutuhkan waktu tahunan untuk benarbenar berganti gender dari hal pembentukan sikap dan gaya yang sesuai. Selain itu, terapi hormon tetap harus dilakukan. Biasanya hal ini memakan waktu hingga 5 tahun. Praktisi medis juga seringkali menolak untuk melakukan operasi pada penderita HIV/hepatitis C karena tingkat kesulitan dan kegagalan yang lebih tinggi.18 Terlepas
dari
atas transseksualisme dan
banyaknya aplikasi
teknologi
perbedaan
pandangan
biologis-kedokteran
yang
digunakan untuk memfasilitasinya, fenomena ini merupakan fenomena yang sangat tidak sulit ditemukan. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:17 1.
Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;
44
2.
Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.
3.
Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina). Sex-reassignment
surgery merupakan
ujung
dari
proses gender
reassignment. Pelaksanaan SRS melibatkan aplikasi teknologi biologikedokteran yang membutuhkan tenaga ahli dengan kemampuan yang baik. Prosedur SRS harus diambil dengan benar untuk mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi medis yang tidak diinginkan. Meskipun secara medis telah dimungkinkan, aturan pelaksanaan dan status legalitas SRS dan pengubahan gender secara keseluruhan sangat bergantung pada kebijakan masing-masing negara. Meskipun begitu, peran serta masyarakat dengan berbagai pandangannya justru menjadi lebih penting dan berperan, khususnya di negara yang tidak dengan jelas dan tegas menetapkan peraturan atas hal ini, seperti Indonesia.17 Terlepas dari kenyataan bahwa efek samping dapat terjadi, sebagian besar waria akan transisi tanpa menderita efek samping yang serius. Terapi hormonal juga menyebabkan perubahan fisik dan psikologis yang membuat pasien merasa lebih seperti identitas gender mereka, membatasi morbiditas psikiatri dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebaliknya, menolak untuk mengelola terapi hormon untuk pasien merupakan faktor risiko untuk
45
pengobatan diri dengan hormon yang diperoleh secara ilegal dan penggunaan jarum suntik untuk pengobatan hormon.16 Bagi FtM (Female ToMale) transeksual mendapat terapi hormonal dengan testosteron. Pemberian testosteron akan menyebabkan terhentinya menstruasi umumnya dalam bulan pertama, pendalaman suara, peningkatan rambut wajah dan tubuh, peningkatan ukuran klitoris, peningkatan libido, dan kemampuan untuk membangun dan mempertahankan massa otot. Penting untuk diingat bahwa testosteron tidak akan mengurangi ukuran payudara. Pria transeksual banyak akan lulus sebagai laki-laki (yaitu terlihat laki-laki ke dunia luar) setelah satu tahun pengobatan, tetapi efek penuh testosteron yang dapat memakan waktu hingga 10 tahun.16 Beberapa efek samping dari testosteron adalah meningkatnya kulit berminyak, jerawat, berat badan, dan sakit kepala. Risiko kesehatan dari pengobatan testosteron adalah hepatotoksisitas, resistensi insulin, perubahan negatif dalam profil lipid (penurunan HDL dan peningkatan trigliserida) dan homosistein,
polisitemia
pada
mereka
yang
berisiko
karena
efek
erythropoeitic, dan Sindrom ovarium polikistik mungkin ada terus menjadi setidaknya risiko teoritis untuk payudara, ovarium, endometrium dan kanker serviks.16 Pembedahan termasuk mastektomi bilateral atau sedot lemak, metoidoplasty (membuat penis mikro dengan memutuskan ligamen suspensorium yang mengelilingi klitoris yang membesar) atau Phaloplasti (menggunakan kulit dan transfer jaringan muscle dari pangkal paha, lengan atau paha), vaginectomy, histerektomi ditambah salpingo-ooforektomi,
46
scrotoplasty, dan perpanjangan uretra.Untuk perawatan kesehatan lanjutan dari seorang priatranseksual, pedoman skrining standar harus diikuti untuk semua organ yang dimiliki pasien.17
BAB IV 47
KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1
Kesimpulan Fenomena transgender dapat dilihat dari berbagai macam aspek. Menurut
pandangan hukum, belum ada hukum yang mengatur mengenai masalah transgender ini, lebih banyak membicarakan mengenai hak asasi manusia untuk mendapatkan kesetaraan. Dari segi Agama, Islam, Kristen melarang perubahan kelamin, menurut Hindu, terdapat jenis kelamin ketiga selain pria dan wanita, sedangkan menurut Buddha, tidak terdapat aturan yang melarang mengenai jenis kelamin selama individu tersebut melakukan kebaikan, tetapi waria tidak dapat menjadi bhiksu atau bhiksuni. Menurut etika klinis, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai transgender ini tergantung sudut pandang dalam menilai hal tersebut. Menurut kesehatan, tidak ada permasalahan dalam masalah transgender ini selama individu tersebut masih dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari tanpa gangguan.
IV.2
Saran Seiring dengan perkembangan zaman, fenomena transgender terjadi
layaknya fenomena gunung es, oleh karena itu diperlukan hokum yang mengatur mengenai kedudukan transgender secara jelas.
DAFTAR PUSTAKA
48
1. Olvionita, R.W. (2013) Transgender [online] Sumber: http://eprints.ums.ac.id/27535/2/3._BAB__I.pdf (Diakses 17 September 2015) 2. Juwilda (2010) Transgender “Manusia Keragaman Dan Kesetaraannya” [online] Sumber: https://juwilda.files.wordpress.com/2010/10/transgender_manusiakeragaman-dan-kesetaraannya__.pdf (Diakses 17 September 2015) 3. Rasan, L.A. (2013) Status Keperdataan Kaum Transgender Yang Melakukan Operasi Kelamin [online] Sumber: http://ejournal.uajy.ac.id/4923/2/1HK09922.pdf (Diakses 17 September 2015) 4. Wikipedia The Free Encyclopedia (2015) Caitlyn Jenner [online] Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Caitlyn_Jenner (Diakses 25 September 2015) 5. Wikipedia Ensiklopedia Bebas (2014) Dena Rachman [online] Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Dena_Rachman (Diakses 25 September 2015) 6. Arshavin, D. (2014) Status Hukum Transgender [online] Sumber: https://www.scribd.com/doc/245638623/Status-Hukum-Transgender (Diakses 16 September 2015) 7. Juparman, D.T. (2012) Pergantian Jenis Kelamin Ditinjau Dari Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Dihubungkan Dengan Kedudukan Hukum Pelaku Ganti Jenis Kelamin [online] Sumber: http://repository.fhunla.ac.id/?q=node/169 (Diakses 16 September 2015)
49
8. Pramesti, T.J.A. (2009) Prosedur Hukum Penggantian Jenis Kelamin [online] Sumber: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5499758a512e5/prosedurhukum-jika-ingin-berganti-jenis-kelamin (Diakses 16 September 2015) 9. Rahmah, N.J.P.M. (2014) Isu-Isu Dalam Bioetika Transgender [online] Sumber: http://nandajpmr.blogspot.co.id/2014/12/tugas-makalah-bioetikatransgender.html (Diakses 26 September 2015) 10. Hanafiah, M.J. dan Amir, A. (2009) Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Ed. 4, Jakarta: EGC 11. University of Washington School of Medicine (2014) Ethics In Medicine [online]. Sumber: https://depts.washington.edu/bioethx/tools.html (Diakses 19 September 2015) 12. Sokol, D.K. (2008) ‘The ‘‘four quadrants’’ approach to clinical ethics case analysis; an application and review’, J Med Ethics, vol. 34, p. 513-516 13. Hume, M.C. (2011) ‘Sex, Lies, and Surgery: The Ethics of Gender Reassignment Surgery’, Res Cogitans, vol. 2, p. 37-48 14. William, J.R. (2009) World Medical Association: Medical Ethics Manual 2 nd Edition. Ferney-Voltaire Cedex: Ethics Unit of the World Medical Association 15. Hongladarom, S. (2012) Ethics of Sex Change Operation: When Biology Becomes a Choice [congress] International Conference on Human Enhancement Technologies, Singapura, 7-8 Juni 16. American Psychological Association (2015) Transgender [online]. Sumber: http://www.apa.org/topics/lgbt/transgender.aspx (Diakses 21 September 2015)
50
17. Suryadi, I. (2010) Transgender [online]. Sumber: http://www.academia.edu/5028772/Transgender (Diakses 21 September 2015) 18. Transgender Care (2015) Guidance/Transition [online]. Sumber: www.transgendercare.com/guidance/ (Diakses 21 September 2015) 19. Partanto, P.A. dan Barry, M.D.A. (1994) Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola 20. Mahjuddin (2005) Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Kini, Jakarta: Kalam Mulia 21. Reniati, R. (2008) Makna Hidup Pada Waria [online]. Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23324/6/Makna Hidup Pada Waria.pdf (Diakses 20 September 2015) 22. Landén, M., Wålinder, J., dan Lundström, B. (1996) ‘Prevalence, Incidence and Sex Ratio of Transsexualism’, Acta Psychiatr Scand, vol. 93, no. 4, p. 221-223 23. Clements-Nolle, K., Marx, R., Guzman, R., dan Katz, M. (2001) ‘HIV Prevalence, Risk Behaviors, Health Care Use, and Mental Health Status of Transgender Persons: Implications for Public Health Intervention’, American Journal of Public Health, vol. 91, p. 915-921 24. Xavier, J., Bobbin, M., Singer, T.B., dan Budd, E. (2005) ‘A Needs Assessment of Transgendered People of Color Living in Washington’, DC International Journal of Transgenderism, vol. 8, p. 31-47 25. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) Analisis Kecenderungan Perilaku Berisiko Terhadap HIV Di Indonesia Laporan Survei Terpadu
51
Biologi dan Perilaku Tahun 2007, Jakarta: Sub‐dit HIV/PMS Departemen Kesehatan 26. Nemoto, T., Operario, D., Keatley, J., dan Villegas, D. (2004) ‘Social Context of HIV Risk Behaviors among Male-To-Female Transgenders of Color’, AIDS Care, vol. 16, p. 724-735 27. Sausa, L., Keatley, J., dan Operario, D. (2007) ‘Perceived Risks and Benefits of Sex Work Among Transgender Women of Color in San Francisco’, Archives of Sexual Behavior 28. Xavier, J., Honnold, J.A., dan Bradford, J. (2007) The Health, Health-Related Needs, and Lifecourse Experiences of Transgender Virginians, Richmond: Virginia Department of Health 29. Fitzgibbons, R.P., Sutton, P.M., dan O’Leary, D. (2009) ‘The Psychopathology of “Sex Reassignment” Surgery: Assessing Its Medical, Psychological, and Ethical Appropriateness’, The National Catholic Bioethics Center, Spring 2009, p. 97-125
52