BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Hak asasi manusia (disingkatHAM) adalah hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak yang melekat pada manusia. Dikatakan “universal” karena HAM dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak membedakan apapun warna kulitnya, jenis kelaminya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan melekat atau “inherent” karena hak asasi itu dimiliki oleh setiap manusia berkat kodrat kelahiranya sebagai manusia dan bukan pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun. Karena dikatakan “melekat” itu pulalah maka pada dasarnya hak asasi ini tidak boleh dilanggar atau dicabut oleh siapapun. Pengakuan atas adanya HAM memberikan jaminan secara moral demi hukum, kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk pemhambaan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainya yang menyebabkan manusia tidak dapat hidup secara layak. Sistem pemerintahan negara Indonesia sebagaimana yang dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip, bahwa “Indonesia adalah negara yang berdasar hukum (rechtstaat)”. Elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Dengan demikian, berarti bahwa negara Indonesia mengakui dan melindungi HAM. Di dalam UUD 1945 1
yang telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali, pada amandemen ke 2 UUD 1945 telah ditetapakan bab baru, yaitu bab X A yang mengatur HAM (pasal 28 a samapi pasal 28 j). Hak-hak dasar yang diakui sebagai HAM ini lebih lanjut deterjemahkan
kedalam
Undang-undang
Nomor
39
Tahun
1999
TentangHakAsasiManusia (UU HAM). Undang-undang ini menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini sebagaimana disebutkan pada dasar pemikiran UU HAM pada poin d, bahwa “Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang HAM yang ditetapkan oleh Perserikatan BangsaBangsa, serta instrumen lainya mengenai HAM yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”. Prinsip tersebut harus ditafsirkan secara dinamis dan positif, oleh karena didalam pelaksanaanya menghedaki bahwa hukum di Indonesia perlu senantiasa disesuaikan dengan perkembangan keadaan, kebutuhan dan aspirasi dalam masyarakat. Apabila ini dapat diwujudkan maka akan merupakan alat penting untuk mencapai tujuan, yaitu menciptakan iklim yang menguntungkan sehingga dapat menbantu usaha pembangunan dalam rangka penegakan hukum dan HAM. HAM dimaksudkan untuk memajukan dan melindungi martabat dan kebutuhan manusia secara individual. Jika ada hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, tentu saja hak itu adalah hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain 2
bergantung; tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa adanya perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Tidak dapat diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam HAM lain. Jika demikian, apakah negara berhak mencabut kehidupan seseorang, memang telah sering diperdebatan. Sementaraitumasihadabeberapanegara yang dalamhukumnasionalnyamenerapkanpidanamati notabeneadalahmencabutkehidupanterpidanamati.
yang Padakenyataanyaterjadi
pro
dankontraantara yang setujudantidaksetujuditerapkanyapidanamati. Beberapa pihak mengutuk pidana mati sebagai peninggalan zaman barbar dimana “hidup untuk hidup” merupakan bentuk umum dari balas dendam, sedangkan beberapa pihak lain mendukungnya dengan dasar supaya tidak terjadi kejahatan serius, mencegah pelanggar melakukan kejahatan lebih lanjut, dan untuk menyatakan adanya pelanggaran moral terhadap masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya, padahal hingga Juni 2006, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek pidana mati (hukuman mati)
3
baik secara de jure atau de facto1. Di tengah kecenderungan global akan moratorium pidana mati, justru pidana mati makin lazim diterapkan di Indonesia. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi pidana mati terhadap 9 orang narapidana. Pro-kontra penerapan pidana mati ini semakin menguat, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk pada kesepakatan internasional yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Isu pidana mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan pidana mati selalu menjadi topik menarik masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi pidana mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun nasional. Hukum gantung terhadap Saddam Hussein di Irak memicu debat di fora internasional. Di Indonesia kontroversi ini juga kembali menarik perhatian dan menjadi perbincangan oleh banyak kalangan ketika eksekusi Tibo Cs dilakukan dan adanya rencana eksekusi terhadap Amrozi Cs. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah pidana mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya pidana mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis pidana lainnya. Kajian PBB tentang hubungan pidana mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan pidana mati tidak
1
Praktek Hukuman Mati di Indonesia. Catatan Kontras, 2005.
4
membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup2. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan pidana mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Pada tahun 2005 lalu misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala internasional di Cikande, Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 100 kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp 100 milyar3. Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian; Komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang4. Meningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan dengan angka kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus5. Bahkan untuk kejahatan terorisme, pidana mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Pidana mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para
2
Hukuman Mati Jadi Seumur Hidup, Indopost, 1 April 2006. Narkoba Made in Cikande, Gatra, 26 November 2005. 4 Kasus Suap: Dua Perwira Polisi Ditahan, Kompas, 19 November 2005. 5 Ada Apa di Balik Meningkatnya Kasus Penyalahgunaan Narkoba?, Kompas, 15 Februari 2005. 3
5
pelaku. Pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi kasus bom bunuh diri di Bali. Satu pernyataan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Australia, Jakarta (9 September2004), Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis pidana mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005: Saya tidak kaget dengan vonis ini karena saya sudah menyangka sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini karena dijatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah. Kalaupun saya dihukum mati, berarti saya mati syahid.6
Sikap ini juga ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan7. Penerapan pidana mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme semacam ini. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang belum bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sistem peradilan di Indonesia masih memungkinkan peluang pidana mati lahir dari sebuah proses yang salah. Pidana mati Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.
Divonis Mati, Rois Bersyukur, Suara Pembaruan, 14 September 2005. Imam Samudra : Saya tak akan Minta Grasi, Republika, 18 Agustus 2005. Keluarga Pengebom Bali Menolak Ajukan Grasi, Koran Tempo, 15 Oktober 2005. Keluarga Pilih Imam Samudra Dieksekusi, Indopost, 16 Oktober 2005. Amrozi Dkk Tetap Tolak Ajukan Grasi, Media Indonesia, 20 Oktober 2005. Ditawari Grasi , Amrozi Mencemooh, Indopost, 20 Oktober 2005. Perkara Bom Bali; Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron Tolak Ajukan Grasi, Kompas, 20 Oktober 2005. Keluarga Amrozi Tak Akan Ajukan Grasi, 22 Oktober 2005. Amrozi Cs Tolak Tanda Tangan Grasi, 22 Oktober 2005.
6 7
6
Amnesty Internasional, mencatat hingga September 2007, terdapat 142 negara dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahunyang telah menghapuskan pidana mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktik konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan pidana mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek pidana mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia8. Penghapusan pidana mati baik melalui mekanisme hukum atau politikdi Indonesiajelasakan meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional.
B. Rumusan Masalah Pidana mati adalah jenis dari pidana dan merupakan salah satu upaya penjeraan, pembalasan, yang merupakan kompensasi dari pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana mati. Persoaalanya adalah negara kita adalah negara hukum, dan negara yang berdasarkan konstitusi, dimana mempunyai elemen pokok berupa pengakuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tentu menimbulkan permasalahan yaitu : 1. Bagaimanakahperbedaanpengaturanpidanamatidalamhukuminternasional (DUHAM dan ICCPR) denganhukumnasional Indonesia?
8
Lihat Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006.
7
2. Bagaimana Implikasi Yuridis pidana mati terhadap perlindungan HAMdi Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai oleh penulis yang mana merupakan suatu rangkaian pencocokan antara apa yang hendak penulis sampaikan dan dipadukan dengan teori yang berhubungan dengan permasalahan yang ada. Dimana dalam hal ini, untuk menghetahui: 1. Untukmengetahuiperbedaanpengaturanpidanamatidalamhukuminternasional (DUHAM dan ICCPR)denganhukumnasional 2. Untuk mengetahui implikasi yuridis pidana mati terhadap perlindungan HAM di Indonesia
D. ManfaatPenelitian 1. Bagi penulis Disampinguntuk memperoleh gelar sarjana/strata satu dibidang ilmu hukum, juga dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan bagi penulis. 2. Bagikalanganpraktisi Dalampenelitianinimenyodorkan analisis dan argumentasi hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi pelaksanaan penegakan HAM demi terciptanya iklim hukum yang adil dan kondusif serta menjamin kepastian hukum bagi warga negara Indonesia. Dengan demikian, 8
dapat ikut memberikan andil dalam bentuk pemikiran ilmiah dibidang hukum, yang diharapkan bermanfaat bagi upaya perlindungan dan penghormatan HAM di Indonesia. 3. Bagiperkembanganilmupengetahuan Memberikan manfaat teoritis yang memperkaya khasanah ilmu hukum guna membangun argumentasi ilmiah sebagai lampu pencari (search light) untuk menemukan kekurangan dalam pendekatan penelitian normatif terhadap perlindungan HAM.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaanya kondusif bagi terselenggaranya praktik pidana mati. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep HAM sehingga diharapkan penormaan aturan hukum tidak lagi mumungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur yang berpotensibagi terjadinya pelanggaran HAM.
9
2. JenisBahan Hukum a. BahanHukum Primer Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), UU Darurat No. 12 Tahun 1951, Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959, Perpu No. 21 Tahun 1959, UU No. 11/PNPS/1963, UU No. 4 Tahun 1976, UU No. 5 Tahun 1997, UU No. 22 Tahun 1997, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000, UU No. 15 Tahun 2003.UU No. 2/PNPS/1964 b. BahanHukumSkunder Bahan hukum skunder, yakni bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,
jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum yang
sesuaidenganpokokpermasalahandalampenulisanhukumini. c. BahanHukumTersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 3. MetodePengumpulanBahanHukum Baik
bahan
hukum
primer,
skunder
maupun
bahan
hukum
tersierdiperolehmelaluistudikepustakaan (library research)yang dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. 10
4. MetodeAnalisis Bahan Hukum Didalam
menentukan
analisa
deskriptif
data,penulis
menggunakan
komparatif,
analisa yaitu
membandingkanpengaturanpidanamatidalamhukuminternasional (DUHAM dan ICCPR) denganhukumnasional, untuk selanjutnya dianalisa guna menentukan penyelesaian yang akhirnya dapat ditarik kesimpulan dan disajikan landasan dalam memberikan saran-saran dan pendapat dari penulis.
F. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ilmiah (skripsi) ini dibagi dalam empat bab, masingmasing bab terdiri atas beberapa sub-bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. BAB I : Sebagai pendahuluan, memuat latar belakang masalah, dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Berisi tentang hasil kajian pustaka yang berkaitan denganHAM, baiktentangpengaturan HAMinternasional (DUHAM dan ICPPR) dannasional, jugatentangpidanamatidanpengaturanpidanamatidalamhukuminternasi onal (DUHAM dan ICPPR) dannasional. BAB III : Berisipemaparan
data
hasil
penelitian
sekaligus
pembahasan
permasalahan yang menjadi fokus kajian/hasil analisa penulis. Dalam 11
bab ini penulis menuangkan data-data hasil penelitian yang kemudian berusaha menganalisa data, yang didukung oleh sumber rujukan teoritis/normatif yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya. Bagian-bagianya disesuaikan dengan permasalahan. BAB IV : Sebagaibab penutup di kemukakankesimpulan dan saran sehubungan dengan hal-hal yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.
12