BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dalam rangka merespon tuntutan masyarakat menuju good governance,
pemerintah telah bertekad untuk menerapkan prinsip akuntabilitas dengan mempertanggungjawabkan amanah yang dibebankan kepada masing-masing instansi pemerintah kepada pihak yang memberikan amanah melalui suatu laporan akuntabilitas atau laporan pertanggungjawaban secara periodik. Namun demikian, pada praktiknya, tidak banyak instansi pemerintah yang dapat menghasilkan laporan pertanggungjawaban atau laporan akuntabilitas yang baik. Laporan yang disusun pada umumnya belum mampu menginformasikan tentang keberhasilan instansi dengan menggunakan ukuran kinerja yang tepat. Instansi pemerintah lebih banyak melaporkan mengenai kegiatan yang telah dilakukan dan bukan berfokus pada kinerja berupa perbaikan-perbaikan apa yang telah mereka hasilkan (Effendi, 2006). Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai prestasi manajer dan unit organisasi yang dipimpinnya. Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Sistem pengukuran kinerja (Performance Measurement Systems) adalah kunci dalam mempromosikan sektor publik yang efektif, efisien, dan akuntabel (Spekle dan Verbeeten, 2009). Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu
1
sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial (Mardiasmo, 2002). Dalam organisasi pemerintah, pengukuran kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, pengelola organisai, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, serta memperbaiki pengambilan keputusan internal dan alokasi sumberdaya. Melalui pengukuran kinerja ini, dasar pengambilan keputusan yang reasonable dapat dikembangkan dan dipertanggungjawabkan sehingga akurasi keputusan akan dapat dihasilkan dengan adanya dukungan informasi yang kuat (Bastian, 2006). Mahsun (2006) menyatakan bahwa reformasi yang telah bergulir mendorong pemerintah untuk mengembangkan indikator kinerja pemerintah daerah yang diawali oleh Menteri Dalam Negeri sejak tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Pada saat itu, Menteri Dalam Negeri bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berusaha mengembangkan suatu indikator yang mampu menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam menerapkan otonomi dan desentralisasi fiskal. Lembaga Administrasi Negara (LAN) melanjutkan usaha di atas dengan mulai mengembangkan sistem pemeringkat pemerintah daerah untuk menilai kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi. Dalam hal ini berupa indikator yang digunakan untuk menilai otoritas tambahan yang mungkin ditransfer kepada pemerintah daerah dan jenis bantuan teknis apa saja yang akan diperlukan. Indikator tersebut mencakup empat fungsi yaitu perencanaan dan pemrograman, mobilisasi sumber daya, manajemen dan pengganggaran, desain, dan implementasi proyek. 2
Usaha tersebut di atas berlanjut dengan adanya Inpres No 7 Tahun 1999 yang mengharuskan eselon II ke atas untuk menyiapkan Laporan Akuntabilitas Kinerja yang kemudian dikenal sebagai Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang telah diperbaiki dengan Keputusan LAN Nomor 239/IX/6/8/2003. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) ini merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat yang berisi informasi mengenai pencapaian hasil pelaksanaan suatu kebijakan/ program/ kegiatan. Eselon II dan yang lebih tinggi diharuskan untuk menyusun indikator, metode, dan mekanisme pelaporan atas kinerja instansi pemerintahnya. Namun demikian, masih banyak kendala terutama pada teknis pelaksanaannya. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan peraturan lain yang mendukung implementasi sistem pengukuran kinerja di Indonesia, yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Peraturan ini mewajibkan setiap entitas pelaporan (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kementerian Negara/Lembaga, dan Bendahara Umum Negara) untuk menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan laporan kinerja. Dikeluarkannya PP RI Nomor 8 Tahun 2006 menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap perbaikan kinerja organisasi pemerintah dan mendorong dibangunnya sistem manajemen organisasi pemerintah yang berbasis kinerja (performance-based management) di Indonesia sehingga penelitian yang terkait dengan pengukuran 3
kinerja di organisasi pemerintah masih merupakan suatu isu yang relevan untuk saat ini karena pengukuran kinerja di organisasi pemerintahan memerlukan perbaikan yang berkelanjutan (Yowi, 2011) dan masih terdapatnya masalah dalam implementasi sistem pengukuran kinerja, besarnya manfaat yang dapat diambil dari implementasi sistem pengukuran kinerja apabila dilakukan dengan tepat, adanya peluang perbaikan kualitas pengembangan sistem pengukuran kinerja di masa mendatang, serta belum banyaknya penelitian yang mengungkapkan kondisi implementasi sistem pengukuran kinerja yang sudah dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Indonesia (Nurkhamid, 2008). Dalam perkembangannya, memastikan agar sistem ini tetap dipakai oleh setiap pemerintah daerah, maka terdapat juga Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2009 tentang tata cara pelaksanaan evaluasi kinerja penyelenggaraan
pemerintah
daerah,
berisi
mengenai
Evaluasi
Kinerja
Penyelenggaraan Pemerintahaan Daerah (EKPPD) dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai penyempurnaan pelaksanaan penyusunan penetapan kinerja dan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Secara teori, melalui LAKIP ini kinerja pemerintah akan dinilai secara transparan, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, LAKIP akan dapat mendorong pemerintah melaksanakan good governance, memberikan masukan kepada pihak–pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan pemerintah, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan terwujudnya 4
akuntabilitas kinerja. Akuntabilitas kinerja merupakan wujud kewajiban pemerintah mempertanggungjawabkan semua keberhasilan dan kegagalan pencapaian berbagai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan oleh pemerintah secara periodik. Model pertanggungjawaban dalam bentuk LAKIP ini merupakan langkah konkrit yang diharapkan memberikan dampak dan nilai positif terhadap pelaksanaan pembangunan (Nurkhamid, 2008). Berdasarkan beberapa hasil penelitian (Julnes & Holzer, 2001; Cavalluzzo & Ittner, 2003; Sihaholo & Halim, 2005; Putra, 2006; Nurkhamid, 2008; Fachruzzaman & Norman, 2010; Yowi, 2011; Astuti & Adiwibowo, 2011; Akbar, Pilcher, dan Perrin, 2012; Wijaya & Akbar, 2012) mengenai sistem pengukuran kinerja di pemerintahan menunjukkan bahwa masih terdapat masalah dalam implementasi sistem pengukuran kinerja di setiap organisasi. Permasalahan dapat muncul pada tahap pengembangan sistem pengukuran kinerja maupun pada tahap penggunaan hasil dari implementasi sistem pengukuran kinerja. Pada tahap pengembangan sistem, Poister dan Streib (1999) menunjukkan bahwa penggunaan ukuran kinerja oleh pemerintah lokal masih didominasi oleh output, dan workload, sedangkan yang menyangkut kos unit, efisiensi, outcome, efektivitas, kualitas jasa, dan kepuasan publik ternyata belum banyak digunakan. Motivasi pengukuran kinerja lebih didominasi oleh keinginan manajemen (pimpinan) untuk mematuhi ketentuan Pemerintah Pusat atau negara bagian, bukan untuk akuntabilitas publik serta kepentingan parlemen. Solikin (2005) mengungkapkan
5
bahwa kondisi di Indonesia semakin parah karena adanya bias dalam pelaporan kinerja (LAKIP) yang dibuat instansi pemerintah. Bias tersebut muncul karena pemerintah banyak mengaitkan kinerjanya yang baik secara berlebihan atas usaha sendiri, sedangkan kinerja yang tidak baik dikaitkan dengan kehadiran faktor eksternal. Hal ini semakin menjadi lebih buruk dengan adanya kecenderungan organisasi untuk melaporkan kinerjanya lebih tinggi daripada kenyataan yang ada serta membesar-besarkan informasi tentang kesuksesan serta memperkecil informasi tentang peran faktor internal dan eksternal atas kegagalan program. Sedangkan pada tahap penggunaan hasil implementasi sistem, Julnes dan Holzer (2001) menunjukkan bahwa informasi kinerja yang dihasilkan belum banyak digunakan untuk perencanaan strategis, alokasi sumber daya manajemen, monitoring, evaluasi, dan pelaporan program kepada manajemen (pimpinan) internal organisasi, anggota parlemen (elected official), media, dan masyarakat. Swidel dan Kelly (2002) menunjukkan bahwa hampir 75% organisasi yang mengumpulkan data kinerja di USA belum menggunakannya untuk mendukung pengambilan keputusan. Agar implementasi sistem pengukuran kinerja dapat berhasil, maka perlu dicari akar permasalahannya. Julnez dan Holzer (2001) mengemukakan bahwa pengadopsian dan pengimplementasian sistem pengukuran kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional/ teknokratik dan politik/ budaya. Namun demikian, kebijakan pengadopsian lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional, yakni informasi, sumberdaya,
orientasi
tujuan,
dan
6
ketentuan
eksternal.
Sedangkan,
pengimplementasian sistem lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politik, yakni kelompok internal, kelompok eksternal, dan budaya organisasi. Terkait dengan penggunaan hasil sistem pengukuran kinerja, The Urban Institute (2002) menyatakan bahwa iklim atau sumberdaya yang memadai (dana, waktu, dan sumberdaya manusia), proses sistem pengukuran kinerja serta teknologi yang dimiliki organisasi mempengaruhi tingkat penggunaan informasi kinerja untuk mendukung pengambilan keputusan. Studi-studi sebelumnya pada perubahan sistem informasi,
inovasi
akuntansi
manajemen,
dan
reformasi
sektor
publik
mengidentifikasi faktor-faktor yang diharapkan mempengaruhi implementasi dan kesuksesan pengukuran kinerja. Faktor-faktor tersebut adalah faktor teknis, meliputi: keterbatasan sistem informasi/data, dan kesulitan menentukan ukuran kinerja dan faktor organisasi, meliputi: komitmen manajemen atas, otoritas pengambilan keputusan, pelatihan, dan mandat legislatif (Kwon & Zmud, 1987 dan Shield & Young, 1989 dalam Cavalluzzo & Ittner, 2003). Penelitian ini mengacu pada penelitian Julnes & Holzer (2001) dan Cavalluzzo & Ittner (2003) yang menguji pengaruh kesulitan menentukan ukuran kinerja, pelatihan, komitmen manajemen atas, inovasi, insentif, keterbatasan sistem informasi dan otoritas pengambilan keputusan terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas
kinerja, dan penggunaan informasi kinerja.
Perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu yaitu penelitian ini menggunakan teori dan menginterpretasikan hasil penelitian dilihat dari teori institusional yang akan melihat fenomena isomorphism di pemerintah daerah. Kemudian penelitian ini 7
menggunakan metode campuran dan menguji hipotesis dengan analisis Partial Least Square (PLS). Metode campuran adalah jenis penelitian yang menggabungkan unsur pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif (misalnya penggunaan sudut pandang kualitatif dan kuantitatif, pengumpulan data, analisis, teknik inferensi) untuk tujuan keluasan dan kedalaman pemahaman dan menguatkan bukti (Johnson dkk, 2007). Sehingga
penelitian
ini
selain
menggunakan
pendekatan
kuantitatif,
juga
menggunakan pendekatan kualitatif yang berdasarkan saran dari Nurkhamid (2008) agar melakukan wawancara untuk meningkatkan pemahaman atas jawaban yang diberikan oleh responden. Strategi metode campuran dalam penelitian ini menggunakan eksplanatoris sekuensial. Eksplanatoris sekuensial adalah strategi metode campuran yang menawarkan analisis data kuantitatif menggunakan kuesioner pada langkah pertama, dan kemudian mengusulkan analisis data kualitatif menggunakan wawancara pada langkah kedua mengacu pada hasil awal dari cara kuantitatif (Creswell, 2010). Tujuan keseluruhan strategi ini adalah dengan menggunakan hasil kualitatif dapat menjelaskan hasil kuantitatif awal (Creswell & Plano Clark, 2011). Adapun judul penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja, Akuntabilitas Kinerja, dan Penggunaan Informasi Kinerja”.
8
1.2
Rumusan Masalah Berawal dari Inpres No 7 Tahun 1999 kemudian disempurnakan Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah menyebabkan instansi pemerintah di Indonesia wajib untuk menyusun dan menyajikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Namun pada praktiknya masih terdapat instansi pemerintah yang belum dapat menyusun dan menyajikan LAKIP menggunakan indikator kinerja yang tepat (Effendi, 2006). Hasil penelitian (Julnes & Holzer, 2001; Cavalluzzo & Ittner, 2003; Sihaholo & Halim, 2005; Putra, 2006; Nurkhamid, 2008; Fachruzzaman & Norman, 2010; Yowi, 2011; Astuti & Adiwibowo, 2011; Akbar, Pilcher, dan Perrin, 2012; Wijaya & Akbar, 2012) menyatakan bahwa permasalahan terjadi pada tahap pengembangan dan pengimplementasian sistem pengukuran kinerja. Penelitian ini menggunakan model konseptual yang dikembangkan oleh Julnes & Holzer (2001) dan Cavalluzzo & Ittner (2003) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja menggunakan teori intitusional untuk menjelaskan fenomena isomorfisme dalam lingkup pemerintah daerah, sehingga pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah
kesulitan
menentukan
ukuran
kinerja,
pelatihan,
komitmen
manajemen atas, inovasi, insentif, keterbatasan sistem informasi dan otoritas
9
pengambilan keputusan mempengaruhi pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja? 2.
Apakah isomorfisme institusional ada di dalam pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Penelitian ini menguji secara empiris pengaruh kesulitan menentukan ukuran kinerja, pelatihan, komitmen manajemen atas, inovasi, insentif, keterbatasan sistem informasi dan otoritas pengambilan keputusan terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja.
2.
Penelitian ini menginterpretasikan dan menjelaskan hasil empiris tersebut dari perspektif teori institusional (institutional theory). Teori institusional digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja didorong oleh adanya fenomena isomorfisme (koersif, mimetik, dan normatif).
10
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan bukti secara empiris pengaruh kesulitan menentukan ukuran kinerja, pelatihan, komitmen manajemen atas, inovasi, insentif, keterbatasan sistem informasi dan otoritas pengambilan keputusan terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja menggunakan teori institusional untuk menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena isomorfisme (koersif, mimetik, dan normatif) di instansi pemerintahan. 2. Kontribusi praktik hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi pemerintah di Indonesia khususnya pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta agar pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dijadikan rekomendasi perbaikan dalam mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang lebih baik dan efektif untuk mendukung proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kinerja pemerintah.
11
1.5
Sistematika Penelitian Penulisan penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Bab I (Pendahuluan), Bab
II (Landasan Teori dan Penyusunan Hipotesis), Bab III (Metoda Penelitian), Bab IV (Analisis Data dan Pembahasan), dan Bab V (Kesimpulan). Bab I:
Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian dan sistematika penulisan penelitian.
Bab II:
Landasan Teori dan Penyusunan Hipotesis Bab ini membahas tentang teori institusional; faktor – faktor yang mempengaruhi akuntabilitas
pengembangan
sistem
pengukuran
kinerja,
kinerja, dan penggunaan informasi kinerja; kerangka
konseptual; penelitian – penelitian terdahulu dan hipotesis penelitian. Bab III:
Metoda Penelitian Bab ini memaparkan populasi dan sampel; teknik pengumpulan data; definisi operasional dan pengukuran variabel penelitian, dan metode analisis data.
Bab IV:
Analisis Data dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai data penelitian, hasil pengolahan data penelitian, serta pembahasannya.
Bab V:
Kesimpulan Bab ini memaparkan kesimpulan, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian dan saran bagi penelitian selanjutnya. 12