BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tuntutan dalam perwujudan good governance di Indonesia yang semakin meningkat berimplikasi pada sistem pengelolaan keuangan secara akuntabel dan transparan. Hal ini tidak terpisahkan oleh adanya sistem pengendalian dan pengawasan di setiap instansi pemerintah yang secara sistematis terdiri dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga pertanggungjawaban secara efektif, efisien dan terkendali. Dalam mengefektifkan penyelenggaraan sistem pengendalian, audit internal merupakan satuan pengawas intern dan pembina penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah. Hal tersebut dijelaskan dalam ‘fungsi audit internal’ oleh IIA’S board (2009 dalam Tunggal 2011:4): Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization’s operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control, and governance processes. Definisi tersebut menunjukkan bahwa audit internal merupakan sendi utama dalam pencapaian tujuan organisasi karena dapat
memberikan nilai tambah
dalam menjalankan tanggung jawabnya dengan memberikan analisis, penilaian, pengendalian dan mampu menghadapi resiko yang potensial dari seluruh kegiatan yang diaudit dalam organisasi serta memastikan apakah organisasi telah berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
1
2
Definisi tersebut diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Republik No.60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Aturan tersebut menyatakan bahwa pengendalian intern merupakan seluruh proses kegiatan audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan
dalam
mewujudkan
pemerintahan
yang
baik
(http://www.dephut.go.id/files/PP_60_08.pdf:2008). Sementara itu, kedudukan audit internal dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam konteks pengawasan, sejatinya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.79 tahun 2005 tentang Pedoman Dan Pembinaan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ketetapan tersebut menyatakan bahwa pengawasan dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern yaitu inspektorat jenderal departemen, unit pengawasan lembaga pemerintah non departemen, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya. Dengan demikian, secara luas inspektorat daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab sebagai auditor internal yang bekerja dalam pencapaian tujuan organisasi pemerintah daerah. Kemudian, Amrizal (2004) mengemukakan kegiatan-kegiatan utama auditor internal yaitu: (1) mampu menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal; (2) memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedurprosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen; (3) memastikan seberapa jauh
3
harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan; (4) memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya; (5) menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen; (6) menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas. Dari kegiatankegiatan tersebut secara garis besar dapat diindikasikan bahwa auditor internal antara lain memiliki peranan dalam: (a) pencegahan kecurangan (fraud prevention);
(b)
pendeteksian
kecurangan
(fraud
detection);
dan
(c)
penginvestigasian kecurangan (fraud investigation). Dengan demikian audit internal merupakan lembaga yang secara langsung menerima dampak atas pendekatan
pencegahan,
pendeteksian
dan
penginvestigasian
terhadap
kecurangan (fraud). Peran dalam penerapan kebijakan fraud sangat bervariasi dari satu instansi dengan instansi lainnya, namun terdapat suatu kesepakatan umum bahwa pemilik tanggung jawab kebijakan anti-fraud ada pada pimpinan instansi (tone at the top) di mana para pimpinan instansi harus membantu memantau dan menegakkan tanggung jawab operasional atas pelaksanaan pengujian dan penilaian yang dilakukan oleh audit internal. Pengujian dan penilaian risiko yang dilakukan oleh internal audit harus diberikan prioritas yang tinggi, kebutuhan ini akan semakin mendorong dan memacu audit internal untuk meningkatkan kemampuan dan keahliannya. Sejalan dengan pernyataan standar profesional audit internal (2004 dalam Tunggal 2012: 13) yang menerangkan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.
4
Secara teoritis, seluruh gambaran di atas menunjukkan adanya ekspektasi terhadap pengawasan internal pemerintah (inspektorat) yang ketat dan diharapkan mampu mengidentifikasikan dan meredam gejala fraud. Oleh karenanya, inspektorat memiliki posisi yang sangat strategis, sebagai katalisator dan dinamisator dalam menyukseskan pembangunan daerah yang berkaitan dengan kelancaran jalannya pemerintahan daerah, optimalnya pembangunan, pembinaan aparatur daerah, dan sebagainya. Sehingga inspektorat daerah sebagai
pengawas
internal
dapat
menjadi
tombak
untuk
mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi menuju good governance. Namun, di sisi lain fakta di Indonesia menunjukkan masih banyak terjadi ketimpangan dalam pengawasan intern khususnya di instansi pemerintahan. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia pengawasan (baik internal maupun eksternal), temuan tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dan mengejutkan. Terlebih oleh kepala instansi, hal tersebut bukan lagi menjadi alasan bahwa kepala instansi tidak mengetahui ataupun tidak menyadari adanya penyimpangan kebijakan ataupun kecurangan di instansinya. Dengan kata lain terdapat kemungkinan bahwa inspektorat tidak mampu memberikan solusi yang nyata kepada instansi untuk menghentikan atau setidaknya mencegah terjadinya penyimpangan meski telah mampu mengetahui gejala-gejala (symptoms) di berbagai kecurangan (fraud). Penyimpangan kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh manajemen puncak maupun pegawai lainnya untuk mendapatkan keuntungan secara tidak beretika dengan cara melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan lain sebagainya (Santoso: 2008, Pambelum: 2008). Praktik korupsi yang telah sejak lama terjadi di Indonesia merupakan salah satu bentuk fraud yang paling mencolok di negeri kita. Praktik-praktiknya
5
berupa penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pungutan liar, hingga kolusi dan nepotisme serta pemanfaatan uang negara untuk kepentingan pribadi secara tidak
beretika.
Ironisnya,
meskipun
pemerintah
berupaya
dalam
memberantasnya, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung tanpa ada penurunan pada tingkat persentasenya bahkan terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Wakil Ketua KPK Jasin, menilai dengan tiadanya perbaikan dalam pemberantasan korupsi, target Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar skor IPK Indonesia pada tahun 2015 sebesar 5,0 dipastikan tak akan terwujud. Target Presiden itu disampaikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun
2010.
Diperkirakan,
IPK
Indonesia
paling
tinggi
3,1
(http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1631, diakses 5 Oktober 2012). Hal tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di kawasan Asia Tenggara dan dunia (www.tranparency.org: diakses 7 Maret 2012).
Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 yang berisi peringkat tingkat
korupsi negara Indonesia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negaranegara di dunia yang dikeluarkan pada tahun 2011.
6
Tabel 1. Peringkat Tingkat Korupsi Negara-Negara di Asia Tenggara Peringkat Negara-Negara Skore IPK 2011 Indeks Persepsi Korupsi No. Skor Negara (IPK) 1
5
Singapore
9.2
2
44
Brunei
5.2
3
60
Malaysia
4.3
4
80
Thailand
3.4
5
100
Indonesia
3.0
6
112
Vietnam
2.9
7
129
Philippines
2.6
8
143
Timor Leste
2.4
9
154
Laos
2.2
10
164
Kamboja
2.1
11
180
Myanmar
1.5
*Jumlah negara yang diikutsertakan dalam pemeringkatan sebanyak 182 negara ** Skor IPK berdasarkan persepsi para pebisnis dan para analis negara tentang tingkat korupsi yang teramati. Rentangan skor antara 10 (sangat bersih) dan 0 (sangat korup)
Data yang diperoleh dari situs korupsi dunia yang dipublikasikan oleh organisasi Transparency International, diperoleh angka indeks korupsi dimana posisi negara Indonesia berada pada rangking 100 dari 159 negara. Mengingat Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara, dapat diurutkan pula tingkat persepsi korupsi negara Indonesia berada pada ranking 5 dari seluruh negara anggota ASEAN. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa negara Indonesia dengan IPK 3.0 menunjukkan di Indonesia telah banyak terjadi praktik korupsi. Peringkat tingkat korupsi di Indonesia yang tampak pada Tabel 1 menunjukkan sebuah indikasi bahwa penggunaan keuangan negara Indonesia yang tidak ekonomis, efisien, dan efektif karena mengalami kebocoran yang disebabkan praktik korupsi. Akibatnya akan timbul pertumbuhan pembangunan yang lambat dan juga tidak meratanya pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Hal tersebut
7
akan berimplikasi kepada masyarakat sebagai sasaran akhir dan fokus utama seluruh kegiatan pembangunan karena pemerintah tidak mampu secara maksimal memberikan pelayanan dalam berbagai segi kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi. Kemudian di Indonesia, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) melansir persentase kasus dugaan korupsi di beberapa provinsi di Indonsia. Tabel 1.2 Peringkat Tingkat dan Persentase Korupsi Provinsi-Provinsi Di Indonesia 2011 No. Provinsi % 1
DKI Jakarta
46,7
2
Jawa Barat
6,0
3
Kalimantan Timur
5,7
4
Jawa Timur
5,2
5
Jambi
4,1
6
Sumuatera Utara
4,0
7
Jawa Tengah
3,5
8
Kalimantan Selatan, Nangroe Aceh Darussalam
2,1
9
Papua
1,8
10
Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Riau
1,5
11
Sulawesi Utara
0,9
12
Sumatra Barat, Bali
0,7
13
Kalimantan Tengah
0,6
14
Nusa Tenggara Barat, Papua Barat
0,5
15
Sulawesi Tengah
0,4
16
Sulawesi Barat
0,3
17
Bangka Belitung
0,1
Sumber: http://www.lensaindonesia.com (diakses 5 Oktober 2012)
8
Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menyatakan bahwa umumya korupsi di daerah menggunakan modus memindahkan dana anggaran APBD ke rekening bendahara provinsi. Berdasarkan persentase di tabel 1.2, Provinsi Sulawesi Selatan berada pada urutan ke sebelas dengan persentase 1.5% menunjukkan cukup besarnya praktik korupsi yang ada. Hal ini disebabkan bahwa minimnya integritas yang dimiliki oleh Provinsi sulawesi selatan, sesuai dengan survei integritas KPK di 98 instansi tingkat pusat dan daerah yang dilakukan pada 2009, skor integritas pemprov Sulawesi Selatan menduduki urutan terendah alias rentannya kasus korupsi yang ditemukan. Senada dengan pernyataan tersebut, laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) punya kesimpulan sama bahwa Sulawesi Selatan lemah dalam rencana aksi daerah pemberantasan korupsi. Hal demikian dipertegas oleh Abraham Samad (ketua KPK yang pernah menjabat sebagai Direktur AntiCorruption Committee (ACC) bahwa mereka yang bersalah tidak takut dikarenakan
aparatnya
yang
lemah
(http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=4579&l=sulawesi-selatan-daerahsurga-para-koruptor, diakses 22 Oktober 2012). Tidak dapat dielakkan lagi bahwa Provinsi Sulawesi Selatan merupakan surga bagi orang yang ingin melakukan korupsi. Namun, untuk meminimalisir keadaan yang demikian perlu ada upaya-upaya khusus untuk mendorong perbaikan-perbaikan di Provinsi Sulawesi Selatan. Singh (1974) mengungkapkan penyebab terjadinya korupsi yang ditulis oleh Revida dalam artikelnya yang berjudul Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya (2003:2) yaitu kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %). Apabila diperluas penyebab terjadinya korupsi di Indonesia diantaranya yaitu
9
lambannya struktur pemerintahan, serta lemahnya peraturan hukum di Indonesia terutama pada tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan bahwa sampai saat ini belum ada hukuman berat yang sesuai dengan hasil korupsi yang dinikmati oleh sebagian koruptor. Ditambah lagi dengan moral bangsa yang mulai bobrok yang dipengaruhi oleh memudarnya nilai-nilai etika dan agama, padahal kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara beragama dan menjunjung tinggi budaya timur yang peduli terhadap moralitas. Salah satu faktor utama yang lain yaitu kesejahteraan masyarakat di Indonesia sangat kurang yang berasal dari upah ataupun gaji rendah yang mereka dapat dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu menurunkan atau mengurangi tingkat korupsi di Indonesia melalui pengawasan terstruktur yang cukup ketat. Maraknya korupsi dapat berujung pada tidak optimalnya pembangunan. Praktik penyimpangan lain yang marak terjadi yaitu terhadap anggaran daerah dengan berbagai macam modus oleh PNS. Salah satunya dan yang sudah melekat di instansi pemerintah yaitu perjalanan dinas fiktif. Hal tersebut diperjelas oleh wakil ketua KPK, Bambang Wiljajanto, ada beberapa modus yang dilakukan oleh PNS dan pejabat negara dalam melakukan korupsi perjalanan dinas. Pertama, mengakali jumlah tiket pesawat; kedua, menggelembungkan biaya akomodasi penginapan (hotel); dan ketiga, mengagendakan biaya perjalanan fiktif (Republika.co.id, diakses 27 September 2012). Pernyataan tersebut adalah wajar, Hutasuhut (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa di SKPD telah terjadi kecurangan. Penyebab kecurangan adalah faktor interen kesempatan (opporturity), motivasi (motivation), dan faktor ekstern
yaitu
kurang
efektifnya
pengendalian
intern
pemerintahan
kabupaten/kota. Penelitian tersebut juga memperoleh hasil bahwa internal audit mampu mendeteksi kecurangan pada SKPD Kabupaten/Kota.
10
Sesungguhnya kecurangan (fraud) yang terjadi di lingkungan instansi pemerintah bukan hanya perjalanan dinas dan korupsi, masih banyak modusmodus lainnya. Hampir pada semua proses bisnis dan pelayanan yang dijalankan oleh instansi pemerintah, pusat maupun daerah masih sarat dengan kecurangan dan KKN. Selain modus perjalanan dinas fiktif, penyimpangan yang sudah
banyak
terungkap
mencakup;
rekayasa
pengadaan
barang/jasa,
penyimpangan penerimaan negara/daerah, biaya perijinan, pungutan tidak resmi, penyalahgunaan
wewenang,
dipertanggungjawabkan
dan
kontribusi bantuan
pihak dana
swasta antar
yang
tidak
instansi
yang
dipertanggungjawabkan secara tidak benar. Dari beberapa bentuk kecurangan di atas tidak dapat dihindari lagi pertanyaan bahwa apakah sesungguhnya Inspektorat sebagai pengawas internal mampu
menjalankan
fungsi
dan
wewenangnya
sesuai
tugas
dan
tanggungjawabnya memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap instansi/ SKPD sebagaimana yang terulis dalam konsep pemerintah dalam rangka mencapai good governance? Sebaliknya apakah Inspektorat ikut berperan dalam proses pembiaran terjadinya fraud? Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “Analisis Peranan Audit Internal dalam Mendeteksi Kecurangan pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan”.
11
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana peranan audit internal inspektorat dalam mendeteksi kecurangan pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan audit internal oleh Inspektorat dalam mendeteksi kecurangan pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan Penelitian dari penulisan ini terdiri dari kegunaan praktis dan kegunaan teoritis. a) Kegunaan praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah provinsi mengenai seberapa jauh peranan audit internal dalam mendeteksi kecurangan. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketidak konsistenan peran dan fungsi auditor internal sebagai bagian dari salah satu fasilitas pengelolaan keuangan pemerintah provinsi. Selain itu audit internal merupakan pilar utama dalam sistem pengawasan keuangan pemerintahan, oleh karena itu auditor internal harus menjalankan tugasnya dengan baik.
b) Kegunaan teoritis
12
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang audit internal khususnya di sektor pemerintahan. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisi khususnya untuk menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang lebih lanjut yang berkaitan dengan masalah ini.
1.4. Sitematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai penulisan skripsi ini, maka dalam penulisannya akan dibagi menjadi lima bab, dengan rincian sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pemanduan
uraian-uraian
mengenai
masalah
yang
timbul
sehingga mendorong penulisan skripsi ini, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Uraian mengenai teori-teori dan penelitian terdahulu yang melandasi penulisan skripsi ini. Selain itu, dijelaskan pula definisi variabel operasional. Bab ini juga akan menguraikan kerangka pemikiran.
BAB III
METODE PENELITIAN Uraian mengenai lokasi penelitian, rancangan penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
13
Pada bab ini terdiri dari uraian atas data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian. Data disajikan berasal dari jawaban informan
yang
diperoleh
dari
lapangan
dan
memberikan
interpretasi terhadap masalah yang diajukan. BAB V
PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran yang sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Peran Mencerminkan Fungsionalisme Dalam hubungan antar manusia terdapat tiga teori yang dapat dijadikan acuan untuk membantu menerangkan model dan kualitas hubungan antar manusia. Salah satunya adalah teori peran. Berawal dari pemikiran fungsionalis yang merupakan kontribusi dari sosiolog Amerika yaitu Talcott Parsons (Biddle, 2010). Teori ini memanfaatkan konsep peran dan hingga saat ini banyak penulis yang berupaya memformalkan fungsionalisme. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu (Barbara,1995: 21 dalam Lia, 2009). Ahmadi (1982) mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap cara individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Levinson dalam Soekanto (2009: 213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain: (1) peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat; (2) peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
14
15
Pada dasarnya ada dua paham yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran yakni paham strukturisasi dan paham interaksionis. Paham strukturisasi lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit cultural, serta mengacu ke perangkat hak dan kewajiban, yang secara normatif telah dicanangkan oleh sistem budaya. Sistem budaya tersebut, menyediakan suatu sistem posisional, yang menunjuk pada suatu unit dari struktur sosial. Pada intinya, konsep struktur menonjolkan suatu konotasi pasif-statis, baik pada aspek permanensasi maupun aspek saling-kait antara posisi satu dengan lainnya. Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan peran (role performance) yang bersifat lebih hidup dan lebih organis serta sebagai unsur dari sistem sosial yang telah diinternalisasi oleh self dari individu pelaku peran. Dalam hal ini, pelaku peran menjadi sadar akan struktur sosial yang didudukinya. Karenanya ia berusaha untuk selalu nampak “mumpuni” dan dipersepsi oleh pelaku lainnya bahwa ia “tak menyimpang” dari sistem harapan yang ada dalam masyarakatnya. Kejelasan peran pada paham strukturisasi, dapat dilihat dari pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab, serta pemahaman mengenai batas wewenang dan hak-hak dalam pekerjaan.
Sedangkan paham interaksionis,
dapat dilihat dari penerimaan tugas yang sesuai dengan latar belakang dan pengalaman, serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas. Wirutomo (1981 dalam Kaghoo, 2010) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya.
16
Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapanharapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya. Dalam pandangan Berry (Kaghoo, 2010), perananperanan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang saling berhubungan. Jika diperincikan lebih detail dapat digambarkan bahwa masyarakat mempunyai harapan terhadap para pemegang peranan apakah mewakili organisasi
atau
institusi
tertentu
selaras
dengan
kewajiban
dan
tanggungjawabnya. Dalam hubungan dengan penelitian ini peranan diartikan berfungsinya inspektorat di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang secara sengaja dibentuk oleh pemerintah sebagai audit internal. Dalam hal ini audit internal diharapkan dapat memberikan keyakinan dalam menangani sistem keuangan dan non keuangan dari hal-hal yang berbau ketidakwajaran dan berbagai aspek di seluruh instansi pemerintah provinsi.
2.2 Audit Internal Faktor utama diperlukannya audit internal adalah meluasnya rentang kendali yang dihadapi instansi di pemerintah provinsi yang memilki ribuan pegawai serta mengelola kegiatan yang bervariasi sesuai bidang yang ada. Sehingga,
berbagai
penyimpangan
dan
ketidakwajaran
dalam
menyelenggarakan laporan keuangan daerah ataupun yang bersifat nonkeuangan merupakan potensial masalah nyata yang harus dihadapi.
17
Untuk mendeteksi dan mencegah berbagai masalah yang ada pada sistem birokrasi pemerintahan maka diperlukan audit internal untuk melakukan pengawasan serta pembinaan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian dan pengevaluasian pada kegiatan-kegiatan dalam pemerintahan tersebut.
2.2.1 Pengertian Audit Internal Konsorsium organisasi profesi Auditor Internal Indonesia menyatakan definisi audit internal yang sepenuhnya mengikuti definisi yang dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditors Inc. (IIA) yang dikutip oleh Tunggal (2012: 1) dalam bukunya yang berjudul Pedoman Pokok Audit Internal: Audit internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan obyektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Definisi lain dalam buku Tunggal (2012: 3) menurut Sawyer: Internal auditing is a systematic, objectif appraisal by internal auditor of the diverse operation an d control within on organization to determine whether (1) financial and operating information is accurate and reliable; (2) risk to the enterprise are identified and minimized; (3) external regulations and acceptable internal policies and procudere are followed; (4) satisfactory operating criteria are met; (5)resources are used efficiently and economically and, (6) the organization’s objectives are effectively achieved-all for the purpose of consulting with management and for assisting member of the organization in the effecive discharge of their responsibilities. Definisi menurut Sawyer secara jelas diterangkan bahwa audit internal merupakan tonggak utama dalam mendukung keefektifan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya, serta efisiennya terhadap penggunaan seluruh sumber daya yang ada. Tercapainya tujuan secara efektif dan efisien dalam organisasi yaitu melalui perbaikan manajemen risiko terhadap integrity risk yang akan timbul dalam organisasi melalui identifikasi ataupun meminimalisirnya. Keandalan informasi keuangan dan operasi merupakan salah satu kriteria yang
18
dimasukkan dalam proses audit internal. Uraian di atas menunjukkan bahwa audit internal memberikan kontribusi terhadap operasi dan pengendalian secara objektif dan sitematis dalam pencapaian tujuan organisasi. Selanjutnya IIA’S Board of Directors memperbarui definisi audit internal disebabkan definisi yang dikeluarkan oleh sawyer tidak mengikat lagi kebutuhan stakeholders seiring perkembangan dunia bisnis dan teknologi. Berikut definisi yang telah diperbarui yang dikeluarkan oleh IIA’S Board of Directors yang ditulis oleh Tunggal (2012: 4): Internal auditing is an indepent, objective assurane and consulting activity designed to add value and improve an organization/operation. It help an organization accomplish its objectives by bringing a systematis, diciplined approach to evaluate and improve to effectiveness of risk management , control and governance processes. Secara spesifik perbedaan antara definisi baru dan definisi lama dapat diformulasikan pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Perbedaan definisi baru dan definisi lama audit internal No. Definisi Lama Definisi Baru 1)
Fungsi penilaian yang independen Suatu aktivitas independen dan yang
dibentuk
dalam
suatu objektif
organisasi 2)
Fungsi penilaian
Aktivitas
pemberian
jaminan
keyakinan dan konsultasi 3)
Mengkaji
dan
mengevaluasi Dirancang
aktivitas organisasi sebagai bentuk suatu jasa yang diberikan bagi organisasi
untuk
nilai
memberikan
tambah,
serta
meningkatkan kegiatan operasi organisasi
4)
Membantu para anggota organisasi Membantu
organisasi
dalam
agar dapat menjalankan tanggung usaha mencapai tujuannya jawabnya secara efektif 5)
Memberi hasil analisis, penilaian, Memberikan suatu pendekatan rekomendasi,
konseling
dan disiplin yang sistematis untuk
informasi yang berkaitan dengan mengevaluasi dan meningkatkan
19
aktivitas menciptakan
yang
dikaji
pengendalian
dengan biaya wajar
dan keefektifan efektif
manajemen
pengendalian pengaturan
dan dan
risiko, proses
pengelolaan
organisasi Sumber: Tunggal (2012)
Dari beberapa definisi tentang audit internal di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting yaitu: 1) Audit internal merupakan suatu fungsi penilaian independen dalam suatu organisasi. Hal Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan penilaian tersebut adalah anggota dari organisasi tersebut. 2) Dalam pengukuran yang dilakukan auditor internal, independensi dan objektivitas harus dipegang. 3) Memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko pengendalian dan proses pengelolaan organisasi. 4) Auditor internal memeriksa dan mengevaluasi seluruh kegiatan baik finansial maupun non finansial. 5) Menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan dijalankan sesuai target dalam mencapai tujuan organisasi.
2.2.2 Fungsi dan Tanggung Jawab Audit Internal Menurut Hartadi (1991), fungsi audit internal adalah melaksanakan kegiatan bebas dan memberi saran-saran suatu fungsi pengendalian manajemen guna mengukur dan meneliti efektivitas sistem pengendalian intern.
20
Tanggung jawab audit internal ditulis oleh Hartadi (1991) dalam bukunya Internal Auditing: Suatu Tinjauan Sistem Informasi Manajemen dan Cara Pelaporannya yaitu: 1) Menilai prosedur dan menilai hal-hal yang saling berhubungan, terdiri dari: a) Memberi pendapat efisiensi atau kelayakan prosedur b) Mengembangkan atau memperbaiki prosedur c) Menilai personalia d) Ide-ide seperti pembuatan standar. 2) Verifikasi dan analisis data, yang menyangkut: a) Penelaahan data yang dihasilkan sistem akuntansi guna membuktikan bahwa laporan-laporan yang dihasilkan adalah benar (valid) b) Membuat analisis-analisis lebih lanjut untuk memberi dasar/membantu penyimpulan-penyimpulannya. 3) Verifikasi kelayakan yaitu: Prosedur akuntansi atau kebijakan lainnya yang telah dilakukan a) Prosedur
operasi/kegiatan
yang
mengikuti
peraturan-peraturan
pemerintah telah dilaksanakan b) Kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan kontrak yang berjalan telah dipatuhi. Sedangkan fungsi perlindungan audit internal yaitu: 1) Menghindari
dan
menemukan
penggelapan,
ketidakjujuran
atau
kecurangan. 2) Memeriksa semua kekayaan dalam organisasi. 3) Meneliti transaksi dengan pihak luar. 4) Melatih dan memberi bantuan kepada pegawai/staf terutama bidang akuntansi.
21
5) Jasa-jasa lainnya termasuk penyelidikan khusus yaitu dengan membantu pihak luar seperti, kantor akuntan (yang memeriksa laporan keuangan secara periodik), atau konsultan lainnya yang berkepentingan dengan data kegiatan di dalam organisasi.
2.2.3 Aktivitas Audit Internal Kosasih (1981) dalam bukunya berjudul Auditing: Prinsip dan Prosedur memaparkan aktivitas audit internal. Aktivitas audit internal menyangkut dua hal yaitu: financial audit atau pemeriksaan keuangan adalah verifikasi eksistensi kekayaan dan meyakinkan bahwa pengamanannya cukup dan apakah sistem akuntansi dan sistem pelaporan dapat dipercaya termasuk pembahasan internal control. Selanjutnya yaitu operational/management audit atau pemeriksaan
pengelolaan merupakan perluasan jangkauan internal auditing ke seluruh tingkat operasi dari perusahaan, tidak terbatas pada keuangan dan pembukuan. Dari pernyataan di atas diterangkan bahwa financial audit memusatkan pemeriksaannya pada informasi keuangan dan operasi dalam hal ini untuk memperoleh kebenaran atas proses pencatatannya. Sedangkan, management auditing berfokus pada keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya perusahaan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, atau dengan kata lain, menilai efektivitas kinerja organisasi tersebut.
2.2.4 Tahap-tahap Audit Internal Tahap pekerjaan audit internal menurut Tunggal (2012: 120) terdiri atas lima proses:
22
a) Audit Planning dan Risk Analysis Dalam tahap ini proses audit memfokuskan perencanaan bahwa apa yang seharusnya dilakukan, di mana, dan kapan dilakukan. Adapun poin penting dalam tahap ini adalah menganalisis penilaian audit, mengumpulkan fakta tentang wilayah audit, analisis risiko kinerja, mengidentifikasi bukti audit, menuliskan secara detail objek yang diaudit, mengembangkan program kerja audit, menentukan jadwal serta membagi pekerjaan kepada staf. b) Preliminary Survey Dalam tahap ini seorang auditor menentukan segala aspek terhadap wilayah audit yang terdiri dari program, fungsi, entitas atau yang diaudit. Poin penting dalam tahap ini yaitu: mengetahui latar belakang informasi, menelusuri wilayah aktivitas, menentukan segala kemungkinan alasan dan dokumentasi, dan menggunakan hasil survey secara efektif. c) Audit Field Work Audit kerja lapangan yaitu usaha yang dilakukan oleh auditor internal dalam membentuk suatu opini dan menghadirkan, serta merekomendasikan tentang wilayah audit. Dalam tahap ini terdapat dua hal utama yaitu: mengevaluasi sistem pengendalian internal, serta mendesain tes audit. d) Audit Finding dan Recomendation Adanya temuan merupakan pernyataan dari kondisi yang menyatakan suatu fakta.
Temuan audit yang baik tergantung pada kualitas kerja lapangan
seorang auditor dan dilengkapi dengan kertas kerja. Terdapat empat poin penting dalam tahap ini: mengembangkan temuan audit, mendokumentasikan temuan audit, dan melakukan penutupan (closing). e) Reporting
23
Reporting merupakan bagian yang terpenting dalam tahap proses audit internal. Banyak yang mampu menulis sebuah report, tapi tak satupun yang mampu menulisnya dengan benar. Empat poin penting dalam tahap ini: outline report, menulis draf awal, mengedit draf dan menuliskan final report. f) Follow Up Dalam tahap ini dilakukan pengoreksian terhadap kontrol yang lemah yang telah diidentifikasi oleh internal audit dan dilaporkan kepada manajemen. Ada dua hal penting pada tahap ini: kebutuhan akan follow up atau tindak lanjut dan melakukan tindak lanjut terhadap audit.
2.2.5 Perbedaan Auditor Internal dan Auditor Eksternal Berikut
perbedaan
audit
internal
dan
auditor
eksternal
yang
dielaborasikan: a)
Perbedaan Misi Auditor internal memiliki tanggung jawab utama yang tidak terbatas pada pengendalian internal berkaitan dengan tujuan reliabilitas pelaporan keuangan saja, namun juga melakukan evaluasi desain dan implementasi pengendalian pemastian
internal,
pencapaian
manajemen tujuan
risiko,
organisasi.
dan Selain
governance tujuan
dalam
pelaporan
keuangan, auditor internal juga mengevaluasi efektivitas dan efisiensi serta kepatuhan aktivitas organisasi terhadap ketentuan perundang-undangan dan kontrak, termasuk ketentuan-ketentuan internal organisasi. Sedangkan audit eksternal memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan opini atas kewajaran pelaporan keuangan organisasi, terutama dalam penyajian
24
posisi keuangan dan hasil operasi dalam suatu periode.
Mereka juga
menilai apakah laporan keuangan organisasi disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum, diterapkan secara konsisten dari periode ke periode, dan seterusnya. Opini ini akan digunakan para pengguna laporan keuangan, baik di dalam organisasi terlebih di luar organisasi, antara lain untuk melihat seberapa besar tingkat reliabilitas laporan keuangan yang disajikan oleh organisasi tersebut. b)
Perbedaan Organisasional Dalam organisasi auditor internal merupakan bagian integral di mana klien utama mereka adalah manajemen dan dewan direksi, serta dewan komisaris, termasuk komite-komite yang ada. Biasanya auditor internal merupakan karyawan organisasi yang bersangkutan. Meskipun dalam perkembangannya pada saat ini dimungkinkan untuk dilakukan outsourcing atau co-sourcing internal auditor, namun sekurang-kurangnya penanggung jawab aktivitas audit internal (CAE) tetaplah bagian integral dari organisasi. Sementara auditor eksternal sebaliknya, di mana auditor eksternal merupakan pihak ketiga alias bukan bagian dari organisasi. Mereka melakukan penugasan berdasarkan kontrak yang diatur dengan ketentuan perundang-udangan maupun standar profesional yang berlaku untuk auditor eksternal.
c) Perbedaan Pemberlakuan Secara umum, fungsi audit internal tidak wajib bagi organisasi. Namun demikian, untuk perusahaan yang bergerak di industri tertentu, seperti perbankan, dan juga perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia
diwajibkan
untuk
memiliki
auditor
internal.
Perusahaan-
perusahaan milik negara (BUMN) juga diwajibkan untuk memiliki auditor
25
internal. Sementara itu, pemberlakuan kewajiban untuk dilakukan audit eksternal lebih luas dibandingkan audit internal. Perusahaan-perusahaan yang listing, badan-badan sosial, hingga partai politik dalam keadaankeadaan tertentu diwajibkan oleh ketentuan perundang-undangan untuk dilakukan audit eksternal. d)
Perbedaan fokus dan Orientasi Auditor internal lebih berorientasi ke masa depan, yaitu kejadian-kejadian yang diperkirakan akan terjadi, baik yang memiliki dampak positif (peluang), maupun dampak negatif (risiko), serta bagaimana organisasi bersiap terhadap segala kemungkinan pencapaian tujuannya. Sedangkan, auditor eksternal berfokus pada akurasi dan bisa dipahaminya kejadian-kejadian historis sebagaimana terefleksikan pada laporan keuangan organisasi.
e)
Perbedaan Kualifikasi Kualifikasi yang diperlukan untuk seorang auditor internal tidak harus seorang akuntan, namun juga teknisi, personil marketing, insinyur produksi, serta personil yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lainnya tentang operasi organisasi sehingga memenuhi syarat untuk melakukan audit internal. Berbeda dengan auditor eksternal yang harus memiliki kualifikasi akuntan yang mampu memahami dan menilai risiko terjadinya errors dan irregularities, mendesain audit untuk memberikan keyakinan memadai dalam mendeteksi kesalahan material, serta melaporkan temuan tersebut. Pada kebanyakan negara, termasuk di Indonesia, auditor perusahaan publik harus menjadi anggota badan profesional akuntan yang diakui oleh ketentuan perundang-undangan.
f)
Perbedaan Timing
26
Auditor internal melakukan review terhadap aktivitas organisasi secara berkelanjutan. Sedangkan auditor eksternal biasanya melakukan secara periodik/tahunan.
2.3 Kecurangan (Fraud) 2.3.1
Pengertian Kecurangan Menurut kamus hukum, mengartikan fraud (Inggris) = fraude (Belanda)
sebagai kecurangan. Frauderen/verduisteren (Belanda) berarti menggelapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 KUHP, Pasal 268 KUHPer. Sedangkan definisif fraud menurut Black Law Dictionary adalah: (a) A knowing misrepresentation of the truth or concealment of material fact to induce another to act to his or her detriment; is usual a tort, but in some cases (especially when the conduct is willful) it may be a crime; (2) a misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce another person to act; (3) a tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment. Sementara itu, Institute of Internal Auditors (IIA) menyatakan bahwa kecurangan mencakup suatu kesatuan ketidakberesan (irregularities) dan tindakan ilegal yang bercirikan penipuan yang disengaja. Definisi lain menurut Comer yang ditulis oleh Tunggal (2011: 1): Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over another. A crime is a intentional act that violates the criminal law under which no legal excuse applices and where there is a state to codify such laws and endores penalties in response to their breach. The distinction is important . Not all frauds are crimes and the majority of crimes are not frauds. Companies lost through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only againts crime. Selain itu, definisi menurut Bologna, Lindquist dan Wells oleh Tunggal (2011: 1), fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver.
27
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kecurangan dapat menyebabkan timbulnya kerugian dari tempat melakukan tindakan fraud. Hal tersebut
dikarenakan
bahwa
fraud
merupakan
suatu
perbuatan
yang
bertentangan dengan kebenaran karena dilakukan secara sengaja oleh pihak yang ingin memperoleh keuntungan yang bukan merupakan hak pelakunya.
2.3.2 Tipe – Tipe Kecurangan Secara garis besar kecurangan berdasarkan pelakunya terbagi atas dua kelompok menurut Tunggal (2011: 3): 1)
Pihak dalam perusahaan (Internal) a) Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting). Contoh: perusahaan yang membuat neraca palsu dengan menaikkan nilai aktiva serta tidak mencatat hutang. Hal ini dilakukan biasanya untuk perusahaan yang ingin menarik investor. b) Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets). Contoh: Seorang pegawai di bidang persediaan yang juga memegang catatan persediaan. Dengan kesempatan yang ada, mereka dapat mengambil item-item persediaan dan menutupi pencurian itu dengan menyesuaikan catatan akuntansi.
2)
Pihak Luar Perusahaan (External) Pihak di luar perusahaan, yaitu pelanggan, supplier, mitra usaha, dan pihak asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Contoh: Supplier, kecurangan yang dilakukan berupa kecurangan pada saat pengiriman
28
barang yang tidak sesuai dengan perjanjian jual-beli, seperti kualitas barang berbeda, jumlah tidak sesuai, pengiriman tidak tepat waktu, penagihan berulang-ulang yang dilakukan pada transaksi sama. Sedangkan, oleh debitur sebagai penerima piutang pada umumnya melakukan penggelapan barang, pembayaran piutang tidak sesuai perjanjian. Fraud (kecurangan) merupakan penipuan yang sengaja dilakukan yang menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Namun, kecurangan timbul bukan karena tanpa alasan. Umumnya kecurangan terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut. Secara
sederhana,
Tunggal
(2012:119)
mengungkapkan
kondisi
penyebab kecurangan diilustrasikan seperti gambar di bawah ini, atau yang populer dengan nama segitiga kecurangan (fraud triangle): “I need to hitmy monthly targets” Incentive / pressure
Fraud
Opportunity
Attitude/ rasionalism
“Nobody really checks”
“everyone’s doing it”
Gambar 1.2 : Segitiga Kecurangan
29
Berikut ulasan dari segitiga kecurangan di atas: 1)
Incentive/pressure (tekanan). Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang
melakukan fraud, contohnya hutang atau tagihan yang
menumpuk, gaya hidup mewah, ketergantungan narkoba, dan lain-lain. Pada umumnya yang mendorong terjadinya fraud adalah kebutuhan atau masalah finansial. Tapi banyak juga yang hanya terdorong oleh keserakahan. 2)
Opportunity (kesempatan). Opportunity adalah peluang yang memungkinkan fraud terjadi. Biasanya disebabkan karena internal control suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang. Di antara tiga elemen fraud triangle, opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur kontrol dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
3)
Attitude (Rasionalisasi). Attitude merupakan elemen penting terjadinya fraud, di mana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya atau merasionalkan tindakannya, sehingga pelaku membenarkan hal tersebut, misalnya: pelaku merasa telah cukup lama bekerja dan dia merasa seharusnya berhak mendapatkan lebih dari yang telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji, promosi, dan lain-lain). Perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar tetapi seorang manajer tidak memberikan sedikitpun kepada karyawannya.
2.3.3 Jenis-jenis Kecurangan Amrizal (2004) mengungkapkan menurut Association of Certified Fraud Examinations (ACFE) sebagai berikut:
kecurangan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok
30
1)
Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud) Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan ini dapat
bersifat financial atau kecurangan non financial. 2)
Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation) Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘kecurangan kas’ dan ‘kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaranpengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). Pada kasus ini biasanya mudah untuk dideteksi karena sifatnya tangible atau dapat diukur.
3)
Korupsi (Corruption) Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).
2.3.4 Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Dewasa ini kecurangan merupakan tindakan yang sifatnya kontinyu dan memang sulit dalam upaya menghapuskan tindakan tersebut, meski telah ada upaya internal audit dalam suatu organisasi dikarenakan kecurangan itu sendiri telah membudaya serta sifat manusia yang terkadang mempunyai sifat serakah yang akhirnya dapat memicu hal tersebut. Meski demikian, internal audit tetap berupaya
dalam
meminimalisir
kecurangan
dalam
organisasi
dengan
31
mengupayakan pencegahan dini, serta memberikan pembinaan-pembinaan dalam sebuah perusahaan atau organisasi. AICPA
bersama
dengan
organisasi
profesional,
menerbitkan
Management Anti Fraud Program and Controls: Guidance to Prevent, Deter, and Detect Fraud. Dalam pedoman tersebut, mengungkapkan tiga unsur untuk mencegah, menghalangi, dan mendeteksi kecurangan: (1) budaya jujur dan etika yang tinggi; (2) tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko kecurangan; (3) pengawasan oleh komite audit. Mencakup ketiga hal di atas, maka pengendalian internal merupakan cara yang paling efektif dalam mencegah dan menghalangi kecurangan.
Namun,
penciptaan lingkungan pengendalian yang efektif tidak luput dari adanya nilai atau norma yang dianut dalam perusahaan tersebut. Dengan adanya nilai dan norma dapat membantu menciptakan budaya jujur dan etika yang tinggi. Penciptaan budaya jujur dan etika yang tinggi menurut Tunggal (2012: 220) mencakup enam unsur: 1)
Tone at the top. Manajemen dan dewan direksi berada pada posisi atas. menajemen
dan
dewan
direksi
selaku
pemberi
Dalam hal ini
arahan
terhadap
karyawannya serta tidak membiarkan karyawan yang tidak menanamkan kejujuran dan perilaku etis. 2)
Menciptakan lingkungan kerja positif. Semangat karyawan akan semakin meningkat jika dalam perusahaannya ia merasa lebih santai, namun tetap memiliki dedikasi yang tinggi. Dengan demikian, karyawan tidak merasa terabaikan dalam lingungannya, misalnya seorang karyawan yang tidak mendapatkan tekanan berlebihan, ancaman dan sebagainya.
32
3)
Mempekerjakan dan mempromosikan pegawai yang tepat. Perusahaan sebaiknya memprioritaskan karyawan untuk mendapat promosi atau mempekerjakan berdasarkan tingkat kejujuranya agar karyawan di dalamnya dapat lebih kompeten dan menanamkan kejujurannya sehingga dapat
membantu pencegahan
terjadinya kecurangan. Hal demikian
dimaksudkan agar lebih mengefektifkan pencegahan atau menghalangi kecurangan.
4)
Pelatihan. Pelatihan merupakan tool serta menjadi pegangan bagi karyawan dalam perusahaan
agar
mampu
menerapkan
perilaku
etisnya.
Pelatihan
merupakan bagian yang penting dalam pengendalian anti kecurangan ini. 5)
Konfirmasi. Adakalanya pegawai mengkonfirmasikan tanggung jawab serta perilaku mereka selama bekerja tanpa melaporkan suatu tindakan yang melanggar. Hal ini dapat mengokohkan kebijakan kode perilaku dan juga membantu pegawai untuk tidak melakukan kecurangan.
6)
Disiplin. Setiap
pegawai
harus
mengetahui
bahwa
mereka
akan
dimintai
pertanggungjawaban jika tidak mengikuti kode perilaku perusahaannya atau melanggar nilai dan norma, sehingga pegawai akan merasa enggan untuk berbuat tidak etis yang merujuk pada kecurangan.
33
2.4
Penelitian Terdahulu Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan beberapa hasil
penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini: Wardhini (2010) dalam penelitian yang berjudul : “Peranan Audit Internal dalam Pencegahan Fraud (Studi Kasus PT.
PLN
Distribusi Jabar)”. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui peranan audit internal dalam mencegah dan mengatasi kecurungan khususnya di PT. PLN Distribusi Jabar, serta untuk mengetahu hambatan yang terjadi dalam menemukan kecurangan. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan analisis kualitatif kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi dan wawancara. Hasil kuesioner yang disajikan menunjukkan bahwa peranan audit internal sangat memadai dan tingginya tindakan yang dilakukan dalam pencegahan kecurangan. Dari hasil penelitiannya menunjukkan adanya peranan audit internal yang signifikan terhadap pengungkapan kecurangan. Hutasuhut (2012) dalam penelitian yang berjudul : “Pentingnya Audit Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada Inspektorat Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk menjaga keuangan pemerintahan kabupaten/kota dengan mencegah dan mendeteksi tindakan korupsi dan tindakan untuk mencari keuntungan secara tidak beretika, serta memfasilitasi pengelolaan keuangan pemerintahan kabupaten atau kota secara sehat. Objek penelitian dalam skripsi ini adalah Inspektorat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terutama bagian yang menyangkut keuangan, kepegawaian, dan barang belanja modal. Penelitian ini melakukan pengumpulan data
dengan metode
deskriptif kualitatif. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yng didasarkan pada teori yang mendukung tentang pentingnya audit internal dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini
34
menggunakan wawancara, kuesioner dan studi dokumentasi, untuk memperkuat hasil penelitian ini. Hasil dari penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pentingnya audit internal pada inspektorat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara cukup berperan dalam mendeteksi kecurangan.
2.5 Kerangka Konseptual Audit internal sebagai suatu cara yang digunakan untuk mencegah kecurangan dalam suatu organisasi yang kegiatannya meliputi pengujian dan penilaian efektivitas serta kecukupan sistem pengendalian internal organisasi. Fungsi audit internal dapat berupa layanan informasi, sistem atau proyek. Tanpa audit internal, kepala instansi tidak akan memiliki sumber informasi internal yang bebas mengenai kinerja dalam organisasi.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Audit Internal Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan
Fungsi Audit Internal yang Memadai
Mendeteksi dan Mengatasi
DAFTAR PUSTAKA Kecurangan
DAFTAR PUSTAKA
35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian Desain penelitian merupakan bagian dari penelitian yang menunjukkan usaha peneliti dalam melihat apakah penelitian yang direncanakan telah memiliki validitas internal dan validitas eksternal yang komprehensif (Sukardi, 2004). Uraian berikut ini merupakan tindakan-tindakan oleh peneliti dalam menyusun penelitian ini: 1) Peneliti menaruh minat terhadap suatu topik, kemudian dilakukan pendalaman terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan informan atau audience, keberadaan dan kemudahan informasi keadaan dan lokasi penelitian. 2) Peneliti kemudian merumuskan sejumlah penelitan pendahuluan, guna mengetahui lebih lanjut tentang informasi-informasi apa yang diperlukan. 3) Peneliti mengidentifikasi macam-macam metode pengumpulan data, dan kemudian memilih satu atau dua metode yang relevan dan tepat. 4) Mengidentifikasi tempat atau situs penelitian di mana informan melakukan kegiatan. Dalam penelitian ini, pemilihan desain penelitian dimulai dengan menempatkan bidang penelitian ke dalam pendekatan kualitatif. Selanjutnya, diikuti dengan mengidentifikasi paradigma penelitian yaitu paradigma interpretif yang memberikan pedoman terhadap pemilihan metodologi penelitian yang tepat yaitu interpretif. Langkah yang terakhir adalah pemilihan metode pengumpulan dan analisis data yang tepat yaitu dengan wawancara, dan analisis dokumen
35
36
3.2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan atau eksplorasi. Creswell (1998:15) mengartikan penelitian kualitatif merupakan suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Pada penelitian ini, peneliti sebagai instrumen kunci yang berarti peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti agar menjadi lebih jelas. Cokroaminoto (2011) membagi lima jenis penelitian kualitatif, yaitu: biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi, studi kasus. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan maksud agar peneliti dapat memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu (Moelong,1988 dalam Endraswara, 2008). Jika dikaji lagi, fenomenologi itu berasal dari kata phenomenon yang berarti realitas yang tampak dan logos yang berarti ilmu. Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak. Dapat diartikan bahwa fenomenologi tidak menganut sepenuhnya teori atau dengan kata lain menolak teori. Fenomenologi berasumsi bahwa orangorang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn, 2009 dalam Endraswara, 2008). Dalam hal ini, peneliti lebih mengutamakan peristiwa yang benar-benar terjadi (realitas) atau pengalaman dengan mengesampingkan gagasan peneliti untuk memahami objek yang akan diteliti. Dengan demikian,
37
peneliti seolah-olah memasuki sudut pandang orang lain, hal ini dimaksudkan bahwa peneliti mampu memasuki pandangan yang menjadi subjek penelitian yaitu organisasi audit internal inspektorat, serta berupaya untuk mengetahui mengapa demikian terjadi. Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai individu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subjek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus,
bukan
untuk
mengeneralisasi
hasil
penelitian;
(d)
sulit
membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998), pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat di mana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh informan. Sebelum melakukan pilihan pendekatan (approach), metode (method), teknik (technique) atau pun cara dan piranti (ways and instruments), peneliti menetapkan cara pandang yang digunakan terhadap bahan dan tujuan
38
kajiannya. Cara pandang yang mendasar inilah merupakan paradigma kajian (paradigm of inquiry). Jadi, paradigma adalah cara pandang, cara memahami, cara menginterprestasikan, suatu kerangka pikir, dasar keyakinan yang memberi arahan pada tindakan. Pengelompokan teori-teori dan pendekatan untuk membentuk paradigma menghasilkan pemetaan yang bervariasi berdasarkan peneliti. Salah satunya menurut Burrel dan Morgan (1979 dalam Badu, 2010) yang memetakan pengetahuan dalam tiga paradigma, yaitu fungsionalis-interpretif (functionalistinterpretive), radikal-humanis (radical humanist), dan radikal strukturalis (radical structuralist). Untuk desain penelitian kualitatif merupakan bentuk metode yang cocok dengan paradigma ini. Paradigma ini memasukkan aliran etnometodologi dan interaksionis simbolis fenomenologi yang didasarkan pada aliran sosiologis, hermenetik, dan fenomenologis. Burrel dan Morgan berpendapat bahwa paradigma interpretif menggunakan cara pandang para nominalis yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan label, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas dan bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah penamaan atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau merupakan produk manusia itu sendiri. Dengan demikian, realitas sosial merupakan sesuatu yang berada pada dalam diri manusia, sehingga bersifat subjektif bukan objektif. Paradigma ini menganggap ilmu pengatahuan tidak digunakan untuk menjelaskan (to explain) melainkan untuk memahami (to understand) (Triyuwono dalam Ihsan & Ishak, 2005). Paradigma interpretif menyatakan bahwa pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu
terhadap
pengalaman
dan
kehidupannya
sehari–hari, dan
hal
tersebutlah yang menjadi langkah awal penelitian ilmu–ilmu sosial. Oleh karena
39
itu, dengan menggunakan paradigma ini, penulis dapat melihat fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial serta melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan kualitatif. Secara umum pendekatan kualitatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail karena secara langsung mengobservasi objek penelitian (Newman, 1997 dalam Erna, 2008). Berkaitan dengan penelitian ini, dengan pendekatan kualitatif peneliti mendeskripsikan serta menginterpretasikan hasil observasi berdasarkan fenomena yang ada yaitu pada audit internal dalam mendeteksi kecurangan yang kemudian memberikan penilaian terhadap realita kinerja audit internal.
3.3 Lokasi dan Objek Penelitian Berdasarkan judul yang diangkat oleh penulis yaitu “Analisis Peranan Audit Internal dalam Mendeteksi Kecurangan pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan”, maka untuk memperoleh data, penelitian ini dilakukan di Inspektorat Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Peranan audit internal dalam mendeteksi kecurangan menjadi objek dalam penelitian ini. Guna memperoleh data yang berkaitan dengan judul penelitian tersebut, maka dilakukan pembatasan dari beberapa pihak yang hanya terdiri dari auditor karena memiliki pengetahuan serta pengalaman tentang audit internal dan yang mempunyai
40
kepentingan yang berkaitan dengan audit internal. Alasan peneliti memilih audit internal di pemerintahan karena begitu banyaknya kasus-kasus kecurangan yang mencuat akhir-akhir ini khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Parahnya, terdapat beberapa kasus kecurangan yang tidak sampai pada penyelesaian akhir dan seolah-olah kasus kecurangan tidak ada habisnya. Oleh karena itu, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan selaku audit internal Provinsi Sulawesi Selatan menjadi objek dalam menemukan jawaban dari tujuan penelitian ini.
3.4 Sumber Data Bila dilihat dari keperluan penelitian, sumber data yang digunakan yaitu : 1) Data primer terdiri dari dokumen-dokumen maupun dapat berupa lisan dan juga ada yang tercatat jika langsung dari sumbernya (tentang diri sumber data). 2) Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan mengkaji buku-buku, referensi-referensi yang berkaitan dengan judul yang merupakan data pendukung primer.
3.5 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Wawancara Wawancara dalam penelitian ini yaitu proses tanya jawab ataupun diskusi antara penelti dan informan yang menjadi narasumber. Informan yang dimaksud yaitu yang memungkinkan peneliti memperoleh data berupa informasi yang memadai tentang tujuan penelitian.
41
2) Studi Dokumentasi Teknik Dokumentasi, yaitu upaya peneliti dalam mengumpulkan data sekunder yang telah terdokumentasi dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data merupakan tahapan penting dalam penelitian. Data yang telah diperoleh tidak akan berarti apa-apa jika tidak diolah dan dianalisis, sebab dengan proses analisis dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian. Menurut Moelong (1994 dalam Niammuddin, 2011), analisis data adalah sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide. Menurut Muhadjir (2002 dalam Cokroaminoto, 2012), analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan
pemahaman
peneliti
tentang
kasus
yang
diteliti
dan
menyajikannya sebagai temuan kepada orang lain. Adapun untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning). Analisis data penelitian kualitatif menurut Miles dan Hubermen (1992) ada tiga tahap, yaitu: (a) tahap reduksi data; (b) tahap penyajian data; (c) tahap
42
penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Reduksi data merupakan
suatu
bentuk
analisis
yang
menajamkan,
menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dengan “reduksi data” peneliti tidak perlu mengartikannya sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara, yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas dan sebagainya. Kadangkala, dapat juga mengubah data ke dalam angka-angka atau peringkat-peringkat, tetapi tindakan ini tidak selalu bijaksana. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Kesimpulan hasil penelitian yang diambil dari hasil reduksi dan panyajian data adalah merupakan kesimpulan sementara. Upaya penarikan kesimpulan dilakukan terus menerus selama di lapangan. Kesimpulan sementara ini masih dapat berubah jika ditemukan bukti-bukti kuat lain pada saat proses verifikasi data di lapangan. Jadi, proses verifikasi data dilakukan dengan cara peneliti terjun kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data yang dimungkinkan akan memperoleh bukti-bukti kuat lain yang dapat merubah hasil kesimpulan sementara yang diambil. Jika data yang diperoleh memiliki keajegan (sama dengan data yang telah diperoleh) maka dapat diambil kesimpulan yang baku dan selanjutnya dimuat dalam laporan hasil penelitian. Beberapa bentuk analisis data dalam penelitian kualitatif, didasarkan pada pendekatan atau studi yang digunakan. Mengingat bahwa penelitian ini
43
menggunakan metode fenomenologi, berikut langkah-langkah analisis datanya, yaitu:
1) Peneliti mulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan. 2) Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting. 3) Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh informan dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan, maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan). 4) Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi. 5) Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada informan) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi). 6) Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman informan mengenai fenomena tersebut. 7) Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis.
44
3.7 Pengujian Kredibilitas Data Kredibilitas data ialah kesesuaian antara konsep peneliti dan konsep responden untuk memperoleh keyakinan akan kebenaran dari hasil penelitian (Cokroaminoto, 2011). Agar kredibilitas terpenuhi maka yang utama adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, peer debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check. Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu: a)
Memperpanjang masa pengamatan, memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari informan untuk membangun kepercayaan para informan terhadap peneliti, dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b)
Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsurunsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c)
Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
d)
Peer debriefing (membicarakan informasi dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
e)
Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaandugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.
45
BAB IV
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
4.1 Dasar Hukum Organisasi Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Lain Provinsi Sulawesi Selatan disebutkan bahwa inspektorat mempunyai tugas pokok menyelenggarakan
urusan
di
bidang
pengawasan
berdasarkan
asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Penyusunan perda tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
4.2 Fungsi Organisasi Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai fungsi : 1)
Menyusun perencanaan program pengawasan.
2)
Melakukan perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan.
3)
Melaksanakan pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan.
4)
Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.
45
46
4.3 Visi Organisasi Visi sebagai gambaran abstrak masa depan yang ingin diwujudkan dalam jangka waktu tertentu atau periode tahun 2008-2013 adalah ”Menjadi Lembaga Pengawasan Yang Profesional Dan Responsif Untuk Mendorong Terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”. Makna profesional adalah suatu upaya untuk menghasilkan kinerja maksimal dari sebuah organisasi yang dinamis dengan dukungan sumber daya aparatur yang mempunyai kompetensi baik dalam menjalankan fungsi
pengawasan
dalam
mendorong
tata
kelola
pemerintahan yang baik dalam mengawal visi, misi, dan program-program strategi Gubernur/Wakil Gubernur periode 2008-2013. Sedangkan makna responsif adalah suatu upaya organisasi untuk senantiasa tanggap terhadap kondisi lingkungan yang berpengaruh.
4.4 Misi Organisasi Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka berdasarkan tugas pokok dan fungsi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, maka dapat dirumuskan misi sebagai berikut : 1)
Meningkatkan kualitas pengawasan dan pembinaan terhadap urusan serta penyelenggaraan pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota.
2)
Meningkatkan pengetahuan, kemampuan teknis dan etika pengawas agar dapat
mandiri
melaksanakan
tugas
pengawasan
urusan
dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3)
Mendorong peningkatan kinerja SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi aparat pemerintah daerah
47
serta meningkatkan kepatuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui pembinaan dan pengawasan. 4)
Mencegah
secara
dini
wewenang, kebocoran,
terjadinya
penyimpangan,
penyalahgunaan
dan tindakan KKN melalui pembinaan dan
pengawasan. 5)
Mendorong peran serta masyarakat terhadap pelaksanaan pengawasan pelayanan publik dan kegiatan pembangunan.
4.5 Nilai Organisasi Nilai-nilai yang perlu diterapkan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditempuh. Nilai-nilai tersebut adalah: 1) transparansi/keterbukaan; 2) inovatif; 2) profesionalisme; 3) responsif; 4) akuntabel; 5) kreatif; 6) nilai-nilai lokal; lempu, adatongeng, sipakatau, tamappasilengeng, dan a’bulosibatang. Dengan demikian baik nilai-nilai umum dalam pemerintahan (prinsipprinsip good governance), maupun nilai-nilai lokal (kearifan lokal) menjadi dasar mengantar pencapaian tujuan misi dan visi organisasi/Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan.
4.6 Tujuan dan Sasaran Organisasi Visi dan misi inspektorat provinsi mempunyai tujuan meningkatkan kualitas hasil pembinaan dan pengawasan kepada SKPD maupun kepada pemerintah kabupaten/kota dengan sasaran pokok meningkatnya kinerja SKPD maupun kepada pemerintah kabupaten/kota serta berkurangnya penyimpangan aparat, sehingga good governance dapat tercapai.
48
4.7 Kebijakan dan Program Organisasi Dalam mengemban visi dan misinya, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih serta efektif dan efisien dalam pencapaian visi dan misi gubernur/wakil gubernur. Dengan demikian, diperlukan sebuah rangkaian langkah strategis yang konsepsional sistematis, realistis dan konstruktif. Berbagai kecenderungan dan fenomena yang terjadi perlu disikapi dan dikenali secara cermat dalam rangka penetapan agenda aksi yang tepat guna dalam memberikan respon agar pengawasan yang dilaksanakan dapat efektif. A. Kebijakan Kebijakan pokok yang ditempuh untuk mengefektifkan pencapaian visi dan misi inspektorat provinsi dalam melaksanakan tugas dan fungsi adalah kebijakan
peningkatan
kinerja
SKPD,
kebijakan
peningkatan
kualitas
profesionalisme aparatur pemerintah, serta kebijakan penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah. B. Program dan Kegiatan Untuk mengefektifkan pelaksanaan garis kebijaksanaan pokok dan strategi tersebut di atas diperlukan berbagai langkah–langkah nyata yang bersifat strategis dalam bentuk agenda program aksi. Program ini selain merupakan langkah strategis, juga akan menggambarkan kondisi inspektorat yang diharapkan dapat dicapai, yang merupakan langkah untuk mencapai visi dan misi yang diembannya sebagai berikut: 1)
Program
a)
Kebijakan Peningkatan Kinerja SKPD Kebijakan peningkatan kinerja SKPD ini diharapkan dapat mengoptimalkan dukungan
terhadap
tugas
pokok
dan
fungsi
inspektorat
provinsi
49
berdasarkan
standar
pelayanan
yang
telah
ditentukan.
Kebijakan
peningkatan kinerja tersebut, meliputi: 1. Program pelayanan administrasi perkantoran. Program ini
memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas
pembinaan pengawasan secara administrasi. 2. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur. Program ini memberikan dukungan berupa kelengkapan sarana dan prasarana bagi aparatur pengawasan yang dapat meningkatkan kinerja pengawasan dan pembinaan. 3. Program peningkatan disiplin aparatur. Program ini merupakan upaya bagi inspektorat untuk memberikan citra positif bagi aparat khususnya dalam meningkatkan kedisiplinan yang diharapkan kinerjanya akan meningkat pula. 4. Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur. Untuk meningkatkan kompetensi aparat di lingkungan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam mendukung upaya pembinaan dan pengawasan maka dibutuhkan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur antara lain melalui jalur pendidikan formal, bimbingan teknis, maupun melalui pengembangan profesi. 5. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan kinerja dan keuangan. Untuk mengukur kinerja inspektorat maka dibutuhkan pelaporan secara berkala maupun berjenjang sehingga akuntabilitas dan transparansi dapat tercapai. b)
Kebijakan Peningkatan Kualitas Profesionalisme Aparatur Pemerintah
50
Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur pengawas pada Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam menjalankan
tugas
pembinaan
dan
pengawasan
sesuai
arah
pengembangan karir dan kebutuhan organisasi. Pada kebijakan ini terdapat program peningkatan profesionalisme tenaga pemeriksa dan aparat pengawasan untuk meningkatkan kualitas aparat pengawasan dalam manajemen umum dan manajemen pemerintahan, keahlian dan kompetensi khusus serta kepemimpinan yang berkelanjutan. Dengan demikian, melalui kebijakan
peningkatan
profesionalisme
aparat
maka
kualitas
hasil
pengawasan akan dapat lebih ditingkatkan. c)
Kebijakan Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Pemerintah. Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas kinerja kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah daerah
sesuai dengan
kaidah-kaidah good governance. Kebijakan ini meliputi: 1. Program pengembangan sistem informasi pengawasan. Untuk memutakhirkan dan otomatisasi data pengawasan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, serta bahan masukan dalam pengambilan keputusan organisasi. 2. Program pengembangan standar dan prosedur pengawasan. Program ini dimaksudkan untuk menyusun kebijakan, peraturan, standar dan
prosedur
sebagai
pedoman
pelaksanaan
pembinaan
dan
pengawasan. Selain itu, penerapan kode etik pengawasan yang diharapkan pelaksanaan pengawasan.
jika
telah
kegiatan
tersusun pembinaan
maka dan
dapat
menjadi
pengawasan
pedoman
oleh
aparat
51
3. Program peningkatan kapasitas dan intensitas pengawasan internal dan pengendalian pelaksanaan kebijakan KDH. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengendalian internal dan akuntabilitas pelaksanaan APBD, serta upaya pencegahan secara dini terjadinya penyimpangan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. 4. Program peningkatan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah daerah. Program ini dimaksudkan untuk mewujudkan sinkronisasi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan antara pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. 5. Peningkatan
intensitas
dan
responsif
penanganan
pengaduan
masyarakat. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan. Masyarakat sebagai pemberi mandat diharapkan menjadi alat kendali dari luar sistem pemerintahan sehingga dapat diperoleh kinerja yang lebih baik. 6. Pemantapan pembudayaan pengawasan dan hasil-hasil pengawasan. Program ini merupakan upaya lebih membudayakan pengawasan pada semua lapisan pelaksana kegiatan pemerintahan sehingga semua elemen dapat melaksanakan pengendalian secara baik pada masingmasing wilayah kewenangannya sehingga penyimpangan dapat dicegah. Dalam program ini dilakukan juga pemaparan secara berkala hasil-hasil pengawasan yang dapat dijadikan bahan evaluasi dalam pengambilan keputusan pelaksana kegiatan pemerintahan. 7. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
52
Program ini merupakan upaya mengawal pengadaan barang dan jasa pemerintah yang merupakan salah satu komponen pengeluaran pada masing-masing
SKPD
sehingga
dapat
dicapai
akuntabilitas
dan
transparansi mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatannya. 2)
Kegiatan
a)
Program pelayanan administrasi perkantoran, dengan kegiatan sebagai berikut: 1) penyediaan jasa surat menyurat; 2) penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik; 3) penyediaan jasa pemeliharaan dan perijinan kendaraan dinas/operasional; 4) penyediaan jasa kebersihan kantor; 5) penyediaan jasa perbaikan peralatan kerja; 6) penyediaan alat tulis kantor; 7) penyediaan barang cetakan dan penggandaan; 8) penyediaan komponen instalasi listrik/penerangan bangunan kantor; 9) penyediaan peralatan dan perlengkapan kantor; 10) penyediaan bahan bacaan dan peraturan perundang-undangan; 11) penyediaan makanan dan minuman; 12) rapatrapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah; 13) peningkatan administrasi umum; 14) peningkatan administrasi kepegawaian; 15) pemantapan jabatan fungsional; 16) penilaian angka kredit jabatan fungsional. Pengembangan SIMAKDA & SIMGAJI.
b)
Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) pengadaan kendaraan dinas operasional; 2) pengadaan
perlengkapan gedung kantor; 3) pengadaan meubeleur
pengadaan perlengkapan olahraga; 4) pemeliharaan rutin/berkala gedung kantor; 5) pemeliharaan rutin/berkala mobil jabatan; 6) pemeliharaan rutin/berkala kendaraan dinas/operasional; 7) pemeliharaan rutin/berkala perlengkapan gedung kantor; 8) pemeliharaan rutin/berkala meubeler; 9) rehabilitasi sedang/berat gedung kantor.
53
c)
Program peningkatan disiplin aparatur, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) pengadaan mesin/kartu absensi; 2) pengadaan pakaian dinas beserta perlengkapannya; 3) pengadaan pakaian korpri, pengadaan pakaian khusus hari-hari tertentu.
d)
Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur, dengan rincian kegiatan sebagai berikut:1) pendidikan dan pelatihan formal; 2) sosialisasi peraturan perundang-undangan; 3) bimbingan teknis fungsional.
e)
Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan kinerja dan keuangan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) penyusunan laporan capaian kinerja dan ikhtisar realisasi kinerja SKPD; 2) penyusunan laporan keuangan semesteran; 3) penyusunan pelaporan prognosis realisasi anggaran; 4) penyusunan pelaporan keuangan akhir tahun; 5) peningkatan perencanaan dan pengendalian pengawasan; 6) peningkatan evaluasi dan pelaporan pengawasan; 7) peningkatan administrasi keuangan.
f)
Program peningkatan profesionalisme tenaga pemeriksa dan aparat pengawasan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) pelatihan teknis fungsional pengawasan; 2) pelatihan kantor sendiri dan penyertaan pada diklat instansi terkait; 3) pendidikan fungsional.
g)
Program pengembangan standar dan prosedur pengawasan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) penyusunan kebijakan sistem dan prosedur pengawasan; 2) penyusunan peraturan gubernur kode etik pemeriksaan; 3) penyusunan peraturan gubernur tentang pengawasan.
h)
Program peningkatan kapasitas dan intensitas pengawasan internal dan pengendalian pelaksanaan kebijakan KDH, dengan rincian kegiatan sebagai berikut:1) pelaksanaan pengawasan internal secara berkala; 2) pengelolaan temuan hasil pemeriksaan; 3) tindak lanjut hasil temuan pengawasan; 4)
54
koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif; 5) evaluasi berkala temuan hasil pengawasan; 6) kegiatan ekspos hasil pemeriksaan dan penyusunan LHP; 7) evaluasi pelaksanaan kegiatan SKPD; 8) pemutakhiran data tingkat regional di Provinsi Sulawesi Selatan. i)
Program peningkatan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah daerah yaitu berupa rapat koordinasi, evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
j)
Program peningkatan intensitas dan responsif penanganan pengaduan masyarakat melalui Desk Penanganan Pengaduan Masyarakat.
k)
Program
pemantapan
pembudayaan
pengawasan
dan
hasil-hasil
pengawasan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) gelar pengawasan tingkat provinsi; 2) sosialisasi pengawasan fungsional. l)
Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) clearing house pengadaan barang dan jasa; 2) evaluasi pengadaan barang dan jasa; 3) penyusunan standar biaya.
4.8 Kedudukan dan Fungsi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan Inspektorat
provinsi
dalam
melaksanakan
pengawasan
atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan. Tujuannya yakni untuk memastikan serta menjamin bahwa pemerintahan daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana penyelenggaran pemerintah daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan
tersebut
dimaksudkan
bahwa
inspektorat
55
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
pembinaan
atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Secara
teknis
dan
operasional,
penyelenggaraan
pengawasan
Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan diatur dalam peraturan daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Peraturan daerah tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada peraturan daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 tahun 2008 tersebut, ditetapkan bahwa inspektorat provinsi berkewajiban mengawal
pemerintah
Provinsi
Sulawesi
Selatan
dengan
memberikan
pembinaan serta pengawasan terhadap kabupaten/kota atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tugas pokok menyelenggarakan urusan di bidang pengawasan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, serta membantu Gubernur Sulawesi Selatan untuk melaksanakan pengawasan umum. Pada dasarnya lembaga pengawasan internal pemerintahan daerah, diekspektasi dapat membantu pemerintah daerah dalam mendorong penguatan otonomi daerah, untuk mendukung pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, inspektorat merupakan pilar yang diharapkan mampu secara dini mencegah serta mendeteksi berbagai kesalahan, tindakan penyimpangan/ketidakwajaran, penyalahgunaan wewenang termasuk tindakan KKN.
56
Inspektorat provinsi dalam menyelenggarakan tugas pokok tersebut di atas, mempunyai fungsi sebagai berikut: 1)
Menyusun perencanaan program pengawasan.
2)
Melakukan perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan.
3)
Melaksanakan pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan
4)
Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya. Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai salah satu SKPD dalam
lingkup pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan berdasarkan amanah Undang-undang
Nomor
25
tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan Nasional, selanjutnya menyusun rencana strategis (renstra) dengan sasaran sebagai berikut: 1)
Tersedianya kebijakan dan program strategis inspektorat provinsi dalam memberikan dukungan yang optimal, guna mewujudkan visi, misi, dan program-program strategi Gubernur/Wakil Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013.
2)
Tersedianya pedoman dan arahan dalam melaksanakan tugas, dan fungsi pengawasan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan.
3)
Tersedianya tolok ukur evaluasi dan penilaian kinerja Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka penyempurnaan kinerja yang berkelanjutan. Landasan hukum penyelenggaraan pengawasan fungsional Inspektorat
Provinsi Sulawesi Selatan tertuang dalam beberapa undang-undang serta peraturan-peraturan sebagai berikut: 1)
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
57
2)
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3)
Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4)
Undang-undang
Nomor
15
tahun
2004
tentang
Tanggung
Jawab
Pemeriksaan Keuangan Negara. 5)
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6)
Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
7)
Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
8)
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
9)
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
10) Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. 11) Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 12) Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 13) Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2008 tentang Organisasi Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga lain di provinsi Sulawesi Selatan. 14) Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 20082013.
58
15) Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013. Selain visi, misi, tujuan dan sasaran, serta nilai organisasi terdapat pula struktur organisasi yang merupakan unsur manusia, yang mana manusia merupakan unsur utama yang menjalankan sistem dalam organisasi ini, sebab manusia yang melakukan pemeriksaan dan manusia pula yang akan diperiksa. Berikut struktur organisasi di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: a)
Inspektur
Mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan bidang pengawasan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. b)
Sekretaris
Mempunyai tugas menyiapkan bahan koordinasi pengawasan dan memberikan pelayanan administrasi dan fungsional kepada semua unsur di lingkungan Inspektorat
Provinsi
Sulawesi
Selatan
dan
kabupaten/kota.
Sekertaris
membawahi :
1. Sub bagian perencanaan: bertugas menyiapkan bahan penyusunan dan pengendalian rencana/program kerja pengawasan, menghimpun dan menyiapkan
rancangan
perundang-undangan,
dokumentasi,
dan
pengolahan data pengawasan. 2. Sub bagian evaluasi dan pelaporan: bertugas menyiapkan bahan penyusunan, menghimpun, mengelola, menilai dan menyimpan laporan hasil
pengawasan
aparat
pengawas
fungsional,
dan
melakukan
administrasi pengaduan masyarakat serta menyusun laporan kegiatan pengawasan.
59
3. Sub
bagian
administrasi
umum:
bertugas
melakukan
urusan
kepegawaian, keuangan, dan penatausahaan surat menyurat dan urusan rumah tangga.
c)
Inspektur Pembantu
Mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap urusan pemerintahan daerah dan kasus pengaduan. Inspektur Pembantu Wilayah membawahi wilayah kerja pembinaan dan pengawasan pada instansi/satuan kerja lingkungan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan kabupaten/kota. Masing-masing inspektur wilayah membawahi : 1) seksi pengwas pemerintah bidang pembangunan; 2) seksi pengawas pemerintah bidang pemerintahan; 3) seksi pengawas pemerintah bidang kemasyarakatan. Seksi pengawas (pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan) mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap urusan pemerintahaan daerah dan kasus pengaduan sesuai dengan bidang tugasnya, dengan uraian tugas sebagai berikut :
1. Pengusulan program pengawasan di wilayah kerja sesuai bidang tugasnya. 2. Pengkoordinasian pelaksanaan pengawasan sesuai bidang tugasnya. 3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahaan daerah sesuai bidang tugasnya. 4. Pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan sesuai bidangnya.
60
d)
Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok jabatan fungsional terdiri atas pejabat fungsional auditor dan
jabatan fungsional lainnya yang mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan bidang tenaga fungsional masing-masing, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika diperincikan berdasarkan status, berikut gambaran keadaan SDM di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan:
Tabel 4.1 Jumlah dan kualifikasi SDM Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan tingkat pendidikan, jenjang kepangkatan dan jabatan tahun 2012 No Personil PNS Inspektorat Jumlah Total . Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat pendidikan 1
S3
1
2
S2
41
3
S1
72
4
DIPLOMA
6
5
SLTA
8
6
SLTP
2
7
SD
1
Jumlah total
131
Jenjang kepangkatan 1
IV
23
2
III
94
3
II
13
61
4
I
1
Jumlah total
131
Komposisi jabatan 1
Auditor ahli madya
10
2
Auditor ahli muda
22
3
Auditor ahli pertama
10
4
Auditor penyelia
2
5
Auditor pelaksana lanjutan
1
6
Auditor pelaksana
1
7
Pejabat struktural
9
8
P2UPD
24
9
Staf
52
Jumlah
131
Sumber: Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, 201
Dapat dilihat gambaran SDM di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, bahwa auditor (auditor ahli madya, auditor ahli muda, auditor ahli pertama, auditor penyelia, auditor pelaksana lanjutan, auditor pelaksana) terdiri dari 46 orang.
Ini menunjukan kurangnya personil auditor, sebab yang kita ketahui
luasnya rentan pengawasan oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yaitu 24 kabupaten/kota dan 28 SKPD tingkat I. Oleh karena itu, hal ini menjadi hambatan bagi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dikeluhkan oleh Kepala Bagian Perencanaan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: Yang terkadang menjadi kendala Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan hingga saat ini yaitu terbatasnya SDM baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Misalnya, pemeriksaan sebuah pengadaan jasa pembangunan
62
jembatan, itu memerlukan sarjana teknik yang lebih mengetahui spesifikasi pembanguanan tersebut. Hal ini kadang membuat kita kewalahan dalam memeriksa puluhan SKPD dalam waktu yang terbatas pula. Kepala bagian perencanaan inspektorat juga mengatakan: Paling yang menjadi hambatan dalam memeriksa yaitu jumlah SDM yang terbatas. Berbicara kualitas, untuk jadi auditor di inspektorat itu tidak mudah, untuk naik tingkatan auditor saja itu harus mengikuti pendidikan, karena calon auditor harus dibekali ilmu, pengetahuan yang nantinya akan membentuk kemampuan tersendiri dalam mengaudit. Dari hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan memiliki hambatan dalam melaksanakan pemeriksaan dan pengawasan yaitu kurangnya jumlah SDM aparatur pengawas yang ada.
Namun, ini tidak menjadi hambatan teknis bagi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, sebab proses pemeriksaan telah diatur dalam PKPT (Program Kerja Pengawasan Tahunan) untuk menghindari tumpang tindih dan dibuatkan surat penugasan untuk menetapkan wilayah pemeriksaan. Jadi, dengan perencanaan yang baik baik seluruh kegiatan pemeriksaan dapat berjalan lancar. Gambaran struktur organisasi di atas menegaskan akan pentingnya unsur SDM dalam inspektorat, sebab unsur manusia adalah yang paling utama dalam sistem ini di mana yang menjadi objek pemeriksaan yaitu manusia juga. Sangatlah tidak logis dan tidak mungkin jika yang menjadi pemeriksa bukan unsur manusia. Dalam hal ini, SDM yang dimaksud ialah SDM yang memiliki kecakapan teknis, skill yang memadai, independen, objektivitas dan integritas dalam menjalankan tugas sesuai fungsi lembaga. Namun, untuk menjadi seorang auditor pemerintah tidaklah mudah. Tidak hanya mempunyai pendidikan formal ataupun latar belakang edukasi yang tinggi, tetapi harus melewati serangkaian pelatihan untuk melatih kompetensi. Oleh
63
karena itu, seorang auditor yang handal untuk mendeteksi kecurangan harus memang memiliki skill yang luar biasa, cermat dan akurat dalam pekerjaannya. Terkadang pula mereka memiliki insting yang kuat yang terbentuk dari pengalaman dan skill itu sendiri yang dimilikinya. Berikut petikan hasil wawancara seorang auditor wilayah IV yang mengungkapkan syarat untuk menjadi seorang auditor di inspektorat: Syarat dasar untuk menjadi seorang auditor yaitu persyaratan formalnya pendidikan minimal s1, telah menjadi PNS dengan masa kerja sekurangkurangnya dua tahun. Dan tidak ada batasan bagi lulusan semua jurusan kecuali fungsional dokter dan guru, tapi yang berkaitan dengan lingkup pengawasan di pemerintahan itu di mungkinkan. Selanjutnya, yang paling penting yaitu harus mengikuti diklat auditor yang diadakan oleh BPKP dan melulusi diklat tersebut. Sebab tidak jarang pula calon auditor yang gugur karena prosesnya yang terbilang sangat rumit, objektif dan benar-benar melatih kompetensi calon auditor, termasuk ujian akhirnya untuk memperoleh sertifikat auditor. Oleh sebab itu, untuk menjadi auditor itu bukan hal yang mudah. Hal demikian adalah semata-mata untuk kepentingan auditor dan seluruh pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya akan disajikan tabel 4.2 dan 4.3 yang berisi tentang komposisi jabatan di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dilihat dari jenjang pendidikan dan pengalaman kerja sebagi auditor, mengingat bahwa yang menjadi objek utama dalam penelitian adalah auditor-auditor untuk mengetahui secara kompleks dari fungsi lembaga.
Tabel 4.2 Komposisi jabatan di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan tingkat pendidikan Komposisi Tingkat pendidikan jabatan Total Fungsional Diplo S3 S2 S1 SLTA SLTP auditor ma Ahli madya
6
5
64
Ahli muda
10
13
1
9
Ahli pertama Penyelia
2
Pelaksana 1 lanjutan Pelaksana
1
Pejabat 1
8
struktural P2UPD
8
15
1
33
42
3
81 Jumlah
1
1
1 orang
Persentase
1,23%
40,74%
51,85%
3,7%
1,23%
1,23%
100%
Tabel 4.3 Komposisi jabatan di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan pengalaman kerja Komposisi Pengalaman sebagai auditor jabatan Total Fungsional 1-5 6-10 11-15 >16 auditor
tahun
tahun
tahun
Ahli madya
11
Ahli muda
18
Ahli 10 pertama Penyelia Pelaksana
tahun
2 1
5
65
lanjutan Pelaksana
1
Pejabat 9 struktural P2UPD
2
9
13
14
27
38
81 Jumlah
2
orang Persentase
2,46%
17,28%
33,33%
46,91%
100%
Sumber: Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan,2012
Pada tabel 4.2 dan 4.3 mengkhususkan klasifikasi jabatan yang terkait dengan penelitian ini, terdiri fungsional auditor sebanyak 46 orang, pejabat struktural 9 orang dan P2UPD sebanyak 24 orang. Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa jabatan fungsional auditor, P2UPD(Pejabat Pengawas Unit Pemerintah Daerah) dan pejabat struktural mendominasi pada jenjang pendidikan S2 dan S1. Hal ini menunjukkan bahwa auditor memiliki bobot yang berkualitas. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kualitas SDM ditentukan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang. Begitu pula dengan pengalaman kerja auditor yaitu berada pada range 5-10 tahun hingga lebih dari 15 tahun. Semakin tingginya pengalaman kerja seorang auditor maka, semakin luas pengetahuan dan kemampuan seorang yang diperoleh dalam melakukan audit. Kedua faktor tersebut merupakan penunjang dalam mengefektifkan proses audit oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian, terlaksananya pemeriksaan dengan baik di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan tidak dapat dipandang dari segi sistem/standar,
66
peraturan dan mekanismenya saja, akan tetapi faktor utama yang paling khas yaitu SDM yang ada dalam inspektorat itu sendiri yang mana mereka ditempatkan sebagai pemeriksa. Oleh sebab itu, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan diharapkan dapat menjalankan tugas yang merupakan kewajibannya dalam rangka menyukseskan jalannya pemerintahan daerah serta sebagai aparat pengawas daerah dengan memastikan
seluruh kegiatan/aktivitas
pemerintahan tetap berada pada koridor dan tidak melanggar aturan yang berlaku demi terciptanya pemerintahan yang bersih. Hal ini didasarkan dari landasan hukum terkait dengan penyelenggaraan pengawasan fungsional yang telah memperjelas fungsi dan kedudukan inspektorat. Semuanya tidak terlepas dari adanya unsur manusia (SDM) yang justru menjadikan nilai bagi auditor itu sendiri.
67
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Kedudukan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan memunculkan Role Expectation (Harapan Peran) dan Role Perception (Persepsi Peran) Melihat fungsi dan kedudukannya secara umum, inspektorat provinsi merupakan lembaga pemerintah formal dalam membantu penyelenggaraan daerah dengan memberikan pengawasan serta pembinaan di seluruh jenjang aparat pemerintahan di tingkat provinsi. Oleh karena itu, inspektorat provinsi memiliki kekuatan tersendiri untuk mengemban amanah gubernur khususnya untuk membantu menciptakan clean governance untuk mencapai good governance melalui upaya pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian kecurangan. Eksistensi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan semakin memunculkan ekspektasi yang besar dari masyarakat, juga dari pemerintah sebagai pemberi amanah melihat kedudukan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang berada dalam suatu sistem pemerintahan. Jika dikaitkan dengan judul penelitian ini, adanya ekspektasi dari masyarakat ataupun pemerintah tersebut kepada Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan menyiratkan adanya role theory. Sejalan dengan definisi peran yang telah dipaparkan pada bab II, Ahmadi (1982) yang menyatakan bahwa peran yaitu adanya suatu pengharapan terhadap suatu individu untuk bersikap dan berbuat berdasarkan status dan fungsinya. ‘Harapan peran’ lebih tepat dalam konsep role theory ini, dimana masyarakat ataupun pemerintah menaruh harapan terhadap peran yang harus dijalankan oleh Inspektorat provinsi Sulawesi Selatan. Adanya interaksi yang terjadi antara keduanya menandakan mereka bahwa mereka memiliki peran
67
68
yang sifatnya komplementer (saling melengkapi). Interaksi antara Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dengan pemerintah telah dijelaskan dalam tupoksi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yaitu melaksanakan tugas pembantuan gubernur sesuai bidangnya serta mengawal visi dan misi gubernur pada periode pemerintahan gubernur/wakil gubernur Sulawesi Selatan saat itu. Melihat banyaknya tugas-tugas dan tanggungjawab lain oleh gubernur, tentu saja kondisi ini tidak memungkinkan bagi gubernur untuk melaksanakan suluruh tugas-tugas dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kaki tangan gubernur dalam upaya menyisir praktik-praktik kecurangan yang terjadi di SKPD Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun interaksi dengan masyarakat, salah satunya ditunjukkan melalui adanya upaya optimalisasi pelayanan pengaduan masyarakat atau yang dikenal sebagai desk pengaduan yang terdapat dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Pengakuan tersebut dikatakan oleh Syafruddin Kitta, Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: Partisipasi masyarakat dalam pengawasan sangat dibutuhkan karena bisa menjadi second opinion terhadap refleksi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, kita juga tahu pemerintah juga mempunyai keterbatasan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik tenaga maupun anggarannya dengan hanya mengandalkan aparat pengawasan secara berjenjang. Kemudian beliau menambahkan pula: Bagi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, pengaduan masyarakat menjadi sangat penting dan memang menjadi program kegiatan di sini. Kami sadar bahwa penanganan pengaduan yang baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan kredibilitas pemerintah dan semua elemen Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan terlibat dalam satu kesatuan sistem, untuk mendukung kegiatan pelayanan pengaduan tersebut.
69
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan memformalkan pengaduan dari masyarakat sebagai bukti pentingnya partisipasi dan turut serta masyarakat dalam proses pengawasaan. Pengaduan masyarakat dapat berupa pengaduan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat maupun PNS di lingkungan kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, hambatan dalam pelayanan masyarakat, korupsi, kolusi dan nepotisme, serta pelanggaran disiplin pegawai. Pengaduan masyarakat tersebut juga memang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 untuk merasioanalkan pengaduan masyarakat yang menjelaskan bahwa APIP melakukan pengawasan antara lain melakukan pengusutan atas kebenaran mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan seperti KKN. Melihat peraturan pemerintah di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi antara masyarakat dengan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dapat membantu mengoptimalkan peran Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam mendeteksi kecurangan di pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian, peran Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan lebih cenderung kepada interaksionisme jika dilihat dari perspektif kajian teorinya. Dimana Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan sadar akan struktur sosial yang didudukinya sehingga menimbulkan role perception bagi masyarakat maupun pemerintah terhadap statusnya, olehnya itu Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan
berusaha
agar
masyarakat
maupun
pemerintah
mempersepsikannya tidak menyimpang dari sistem harapan mereka.
selalu
70
5.2 Refleksi Nilai Budaya Sulawesi Selatan Di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam Mendeteksi Kecurangan Dalam menguatkan fungsi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, dirumuskan visi dan misi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Akan tetapi, tujuan dan sasaran dalam visi dan misi akan menghambat keefektifan terhadap pencapaian sasaran apabila tidak diikat oleh nilai-nilai. Menurut Djahiri (1999 dalam Ariyanto, 2012), nilai adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Dalam hal ini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan tindakan di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, karena nilai dijadikan standar karakteristik Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, nilai organisasi sangat penting sebagai pedoman dalam melaksanakan fungsi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, dengan adanya nilai maka akan menciptakan keselarasan dan keharmonisan dalam organisasi tersebut. Sebaliknya, tanpa adanya nilai bukan mustahil terjadi penyimpangan tugas dan wewenang oleh anggota organisasi yang mengakibatkan organisasi menjadi rusak. Pada pembahasan bab IV , telah dipaparkan nilai-nilai dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun nilai-nilai dasar yang dianut dalam lingkup Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan tersebut yaitu: transparansi/keterbukaan, profesionalisme, responsif, akuntabel, kreatif. Inilah yang menjadi nilai dasar bagi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, diantaranya untuk mendeteksi kecurangan di pemerintahan. Tidak sampai disitu, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal yang justru dianggap menjadi jati diri yang mengatur dan mengikat sehingga menjadi pedoman kerja dalam berperilaku dan
71
pengambilan keputusan. Adapun nilai-nilai lokal yang menjadi pedoman bagi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu: lempu’, adatongeng, sipakatau, tamappasilengngeng, dan a’bulosibatang. Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan memandang mengandung
nilai-nilai
lokal
tersebut
sangat
etis,
logis,
mulia,
sakral,
harapan masa depan, dan menjadi identitas jati diri yang
merupakan karakter inspektorat yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Melihat bangsa kita berada di gerbang globalisasi dan modernitas, tidak menutup kemungkinan, ini merupakan penyebab semakin amburadulnya bangsa termasuk di dalamnya pemerintahan karena tidak adanya lagi kesopanan, harga diri dan kesantunan. Oleh karenanya itu, nilai-nilai lokal diharapkan selalu dapat terefleksi dalam tatanan organisasi pemerintahan. Tujuannya adalah agar tidak salah dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik, sosial-ekonomi dan agama yang berhubungan dengan komunitaskomunitas etnik yang heterogen. Salah satunya berlaku di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam merefleksikan nilai-nilai lokal di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan khususnya dalam mendeteksi dan mengatasi kecurangan, ternyata memberikan poin positif tersendiri. Berikut akan dibahas dua nilai lokal yang peneliti anggap lebih utama dan sangat berhubungan dengan judul penelitian ini: a) Lempu’ Lempu’ diartikan ‘jujur’ atau dapat dipercaya. Adapun dalam makna lainnya yaitu lurus, tidak bengkok. Dalam berbagai konteks kata ini berarti ikhlas, benar, baik atau adil dan tidak menyimpang pada aturan dan norma. Arti ini dapat dipahami ketika ditemukan kata lempu’ dalam ungkapanungkapan bugis atau lontara. Berbagai cara pula lontara menerankan makna lempu’ ini dalam kehidupan sehari-hari.
72
Berikut filosofi lempu’ yang berbeda-beda maknanya dalam riwayat tokohtokoh adat Sulawesi Selatan yang memaknai, mengajarkan nilai lempu’ dalam kehidupan mereka, sehingga dijadikan panutan bagi masyarakat Sulawesi Selatan: I.
Ketika Tociung, cendekiawan Luwu, diminta nasihatnya oleh calon raja (Datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng, beliau menyatakan ada empat perbuatan jujur, yaitu (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; (d) dan tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
II.
Sejalan dengan pengertian ini Kajao Laliddong, cendekiawan Bone menjelaskan kejujuran ketika ditanya oleh Arumpone mengenai pokokpangkal keilmuan. “Apakah saksinya (sabbi) atau bukti kejujuran (lempu’)?”, Seruan (obbi’) ya Arumpone! ”Apa yang diserukan ya Kajao? ”Adapun yang diserukan adalah : Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang disandarkan, yang bukan engkau menyandarkannya; jangan juga kayu yang sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya. Betapapun dalam kesan nilai kejujuran itu pada diri pribadi La Manussa’ To Akkarangeng. Pada waktu rakyat Soppeng mengajukan kesepakatannya untuk meminta kesediaan beliau menjadi Datu Soppeng, berkali-kali ditolaknya sambil menyatakan supaya mencari orang lain dari padanya. Ketika beliau pada akhirnya menerima, masih pun diminta tempo untuk pergi berguru, mencari bekal keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat
73
rakyat Soppeng. Kalau sikapnya itu dikatakan berendah hati namun sikap itu lahir dari nilai kejujuran bercampur dengan keilmuan dan kepatutan. Dia tidak merasa rendah buat menyatakan kekurangannya dihadapan rakyat yang telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Rakyat Soppeng telah mengetahui bahwa syarat untuk seorang Datu di Soppeng telah dimiliki olehnya. III. Di pihak lain raja Bone yang di tangannya tergenggam kekuatan besar di antara para raja bugis lainnya, bersedia menerima nasihat, sedangkan pembantunya, Kajao, tanpa ragu-ragu memberikan pula nasihatnya. Mungkinkah pula ini tidak atas dasar kejujuran? Apabila tanaman dan kerbau dapat dimisalkan sebagai sumber makanan; kuda sebagai alat buat menyelenggarakan penghidupan, apakah ini tidak menunjukkan bahwa kejujuran itu bermakna pula menghormati hakhak bagi pemiliknya? Biarpun empunya tidak mengawal miliknya, tetapi telah diketahui bahwa sesuatu kayu sudah tersandar dan sudah terletak, iapun harus diberlakukan secara jujur sebagai tanda berlaku jujur menghormati hak yang empunya. IV. Di lain pihak seorang anak di Sidenreng yang melanggar nilai kejujuran harus menerima hukuman mati sebagai imbalannya. Hukuman mati itu dijatuhkan oleh si ayah sendiri sebagai hakim di negeri itu. Si ayah inilah yang bernama La Pagala Nenek Mallomo (1546-1645) yang lahir di Panrenge di sebelah utara Amparita. Jikalau orang harus merasa segan atau takut maka perasaan itu hanya patut diberikan kepada orang jujur. Memang pada mulanya kejujuran itu diatasi oleh kecurangan namun akhirnya yang menentukan kejujuran juga, ”kata La Tiringeng To Taba Arung Saotanre, raja cendekiawan Wajo di abad XV (Rahim dalam Samad, 2010). Lempu’ dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dimaknai untuk menjunjung sistem etika dan moral. Zulfikar, auditor wilayah IV mengungkapkan
74
pentingnya Lempu’ dalam melaksanakan fungsi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: Begini, seluruh auditor memang harus berintegritas dengan salah satu pembuktiannya harus jujur. Kenapa? karena integritas itu dapat membangun kepercayaan dan menghasilkan keputusan serta judgement yang andal. Otomatis ini ada dampaknya juga terhadap kualitas audit kita. Pernyataan berbeda dengan Syafruddin Kitta, Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: Seperti yang banyak diketahui oleh masyarakat luas, bahwa inspektorat itu merupakan tool dalam pemerintahan untuk mengatasi kecurangan, termasuk didalamnya juga mendeteksi. Kepercayaan masyarakat itulah yang harus kita pegang. Bagaimana caranya? ya, kita harus berpegang pada norma, etika dan aturan yang berlaku dalam pemeriksaan. Implikasi nilai lempu’ di Inspektorat Sulawesi Selatan semakin meningkatkan eksistensinya di mata masyarakat yang dibentuk oleh adanya integritas dan jati diri Inspektorat Sulawesi Selatan. Dengan adanya kepercayaan masyarakat itulah, sikap jujur dan tidak menyimpang menjadi karakter yang sangat penting sekalipun para auditornya memiliki kecakapan dalam bekerja. Diungkapkan dalam budaya Sulawesi Selatan bahwa nilai-nilai dasar lempu’ menjadi sumber ammaccang (kepandaian). Nilai kejujuran mempunyai posisi sentral. Kepandaian yang tidak bersumber atau tidak disertai kejujuran, tidak akan menopang pemeliharaan ’induk kekayaan’ negara dan rakyat. Kalau sumber kepandaian adalah kejujuran, maka saksinya (sabbi) menurut Kajao Laliddong adalah perbuatan (Gau’) (Ibrahim dalam Samad, 2010). Inspektorat memaknai ini dengan sifat objektif. Sekertaris Inspektorat Sulawesi Selatan mengatakan: Lempu’ juga kita maknakan bahwa apa yang kita peroleh dilapangan itulah hasil pemeriksaan kami. Dengan demikian nilai lokal lempu’ merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh auditor. Sebab, kejujuran merupakan salah satu unsur pembangun
75
integritas auditor. Hal demikian untuk membangun citra instansinya sebagai lembaga pengawas daerah. Jika ia dipandang objektif dan baik performancenya dalam bekerja sesuai pengharapan masyarakat, tentu saja hal tersebut mempengaruhi eksistensinya. Secara tidak langsung akan berdampak pada kualitas audit yang andal sebagai upaya pembangun integritas dan jati dirinya. b) Sipakatau Salah satu unsur budaya yang sangat prinsipil dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan adalah budaya sipakatau yang mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dari konsep tau inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Bugis Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya sipakatau. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan seseorang dapat mencapai keharmonisan dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Diri seseorang yang dinilai adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya. Penerapan budaya sipakatau di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan lingkungan organisasi formal, dimana Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan tool pemerintah untuk mengatasi dan mendeteksi kecurangan di pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi sebagai tumpuan harapan mencapai good governance. Penerapan nilai lokal sipakatau dalam Inspektorat Sulawesi Selatan diharapkan akan memberikan semangat dan
76
motivasi para auditor untuk senantiasa berperilaku baik dalam meningkatkan kinerja dan semangat untuk terus maju mencapai pengawasan yang lebih baik dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Dapat diketahui sipakatau yaitu ‘saling menghargai’ yang berorientasi pada etika dan moral.
Dalam Inspektorat Sulawesi Selatan, sipakatau ini
diaplikasikan yaitu dengan melihat subjeknya. Syafruddin Kitta, Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mengungkapkan: Meskipun kami merupakan pihak inspektorat yang melakukan pemeriksaan di SKPD-SKPD, kita harus tetap berada pada nilai kesopanan dan kesantunan. Opini lain diungkapkan oleh auditor wilayah IV, Zulfikar mengungkapan: Dalam memeriksa, saya tidak boleh merasa kedudukan saya lebih tinggi dari yang saya periksa, ya saling menghargai dan menghormatilah. Misalnya begini, kalau saya memeriksa dengan sikap yang sombong atau memberikan penekanan suara yang tinggi, bisa-bisa orang yang kita periksa justru tidak kooperatif, jadi supaya kita bisa persuasif dengan obyek yang diperiksa makanya harus dihargai juga, supaya ujungujungnya kita bisa lebih leluasa tanpa saling tegang. Kemudian Zulfikar menambahkan: Sebaliknya juga, saya tidak pernah memandang siapa yang saya periksa dan apa dia. Kan itu sudah tugas saya memang, jadi tidak perlu takut. Tapi, disitulah sipakatau yang berlaku. Jadi, kalau memang misalnya dalam pemeriksaan ada yang ganjil, ya tetap dilanjutkan, kalau tidak tetap juga tidak. Ini menunjukkan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan tetap memegang nilainilai lokal yaitu budaya saling menghargai dan menghormati tanpa melihat kedudukan dan posisinya sendiri, dan juga objek pemeriksaannya atau dengan kata lain menjunjung tinggi sikap objektif dalam memeriksa. Adanya nilai sipakatau dalam melaksanakan tugasnya, semakin memberikan keleluasaan bagi auditor di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan untuk menjunjung tinggi independensinya. pemerintahan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
77
dasar. Hal ini dapat membantu memaksimalkan nilai-nilai dasar yang diembannya. c) Tamappasilengngeng Tamappasilengeng diartikan ‘tidak membeda-bedakan’. Ini masih berada dalam lingkup etika dan moral. Dalam hal ini, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan lebih mengarahkan kepada subyeknya. Syafruddin Kitta, Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, mengatakan: Di inspektorat, keadilan adalah pokok. Oleh karenanya itu, kita tidak melihat subyek yang diperiksa, dengan kata lain harus bersikap adil. Auditor wilayah IV, Zulfikar mengatakan: Siapapun yang melakukan atau yang tersangka melakukan kecurangan, mau itu seorang staf biasa ataupun pihak manajemennya, ya harus obyektif. Tetap kita harus melakukan pemeriksaan, kita tidak takut, ya inilah fitrahnya kita. Siapa yang melakukan, itulah yang menerima akibatnya. Nilai lokal tamappasilengngeng tidak berbeda dengan obyektifitas dan independensi yang merupakan nilai dasar dalam organisasi ini, dimana Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan menjunjung keadilan dalam melaksanakan fungsinya. Tanpa memandang pelaku kecurangan dari segi jabatan, pangkat, ataupun hubungan kerabat. Jika diibaratkan prinsipnya “siapa yang menanam, dialah yang menuai”.
5.3 Upaya Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan Terhadap Pendeteksian Kecurangan SKPD Dan Kabupaten/Kota Pada dasarnya, audit internal pemerintah merupakan pendamping pemerintah dalam penyelenggaraan daerah baik dari segi keuangan ataupun non-keuangan. Audit internal menentukan apakah kebijakan dan prosedur pemerintah telah diikuti dan dijalankan di seluruh lapisan badan ataupun instansi
78
pemerintahan. Sebab, erat kaitannya ketidaksesuaian kebijakan dan prosedur pemerintah
yang
telah
dibuat
dengan
pelanggaran
ataupun
tindakan
penyimpangan. Sebagaimana yang diketahui, tindakan fraud bermuara dari adanya tindakan pelanggaran. Oleh karena itu, pihak audit internal sebagai benteng kedua dalam menjalankan pemerintahan diharapkan berupaya mampu menghadapi
berbagai
persoalan
kecurangan
yang
mana
pelaksana
pemeriksanya dibekali ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya sehingga pelaksanaan audit dapat berjalan lancar dan tepat sasaran. Dengan demikian, audit internal diharapkan mampu mendeteksi terjadinya kecurangan dan dapat memberikan saran-saran yang bermanfaat kepada SKPD dan kabupaten/kota untuk mengatasi kecurangan kecurangan. Jika ditinjau dari seluruh kegiatannya yang terkait dengan kecurangan, inspektorat berperan dalam mencegah, mendeteksi, dan menginvestigasi kecurangan. Namun, dengan ketiga upaya tersebut bukan berarti tindakan kecurangan dapat tuntas hingga keakar-akarnya. Hal demikian hanya merupakan upaya dalam meminimalisir tindakan kecurangan di Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang auditor wilayah lV: Seperti halnya dianalogikan perbuatan pencurian tidak bisa dihilangkan. Begitu juga dengan kecurangan. Tapi, sesuai tanggung jawab kami, kami berusaha melakukan pengawasan dan pendampingan. Pengawasan yaitu melalui pemeriksaan dan pembinaan. Sedangkan melalui pendampingan wujudnya dapat berupa konsultasi setiap saat dengan auditor-auditor terkait permasalahan-permasalahan yang ditemui. Hal senada diungkapkan oleh auditor di bagian perencanaan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: Pada dasarnya kecurangan tidak bisa dituntaskan hingga ke akarakarnya, tapi kami berupaya maksimal untuk bisa meminimalisirnya. Kami berupaya lebih banyak melakukan pembinaan kepada setiap SKPD supaya kesalahan yang terjadi tidak berulang. Dari segi implementasi tentunya diberikan rekomendasi bagi SKPD dan jika rekomendasi
79
diabaikan akan diberikan sanksi sebagai tindak lanjut oleh bagian evaluasi dan pelaporan. Dari hasil wawancara di atas, dapat kita ketahui bahwa auditor melihat kecurangan sebagai hal yang sangat potensial dalam setiap SKPD. Oleh karena itu, auditor melalukan pengawasan dan pendampingan terhadap SKPD dengan tujuan melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap kecurangan. Hal ini menunjukkan auditor di inspektorat secara individu memiliki komitmen yang tegas dalam menghadapi kecurangan sesuai dengan tanggung jawab masingmasing auditor. Mereka berusaha secara maksimal sesuai kapasitas masingmasing dalam meminimalisir kecurangan dengan mendeteksi dan mencegah kecurangan dengan pengawasan dan pendampingan SKPD.
Secara kelembagaan, terdapat upaya-upaya nyata oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang dilancarkan ke seluruh institusi sebagai tindakan pencegahan
dan
pendeteksian
kecurangan,
diantaranya:
a)
melakukan
pemeriksaan reguler/komprehensif terhadap seluruh SKPD; b) melakukan review laporan keuangan; c) melakukan pemeriksaan untuk tujuan tertentu; d) melakukan evaluasi LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah); e) melakukan evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah di 24 kabupaten/kota; f) melakukan pengecekan terkait serah terima jabatan; g) melakukan pemeriksaan akhir masa jabatan bupati/walikota.
Meski Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan telah melaksanakan upayaupaya tersebut di atas, namun jika pimpinan institusi/SKPD yang merupakan objek pemeriksaan lalai ataupun tidak memiliki sistem pengendalian yang baik dalam mengatur/mengarahkan SKPDnya maka tetap akan terdapat celah untuk terjadi kecurangan. Sesuai yang diungkapkan oleh Sekertaris Inspekorat:
80
Yang utama dalam mencegah kecurangan yaitu manajemen di SKPD itu sendiri atau dengan istilah tone at the top di mana posisi manajemen dalam pengawasan adalah yang paling tinggi dan yang paling utama, sehingga review dari pimpinan sangatlah penting dalam mendeteksi kecurangan terlebih dahulu. Dan inspektorat menjadi benteng kedua sebagai pengawas internal. Auditor wilayah III juga mengungkapkan hal yang sama: Kaidahnya memang seperti itu bahwa Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan berperan dalam yang pendeteksian kecurangan, tapi tone at the top? Kan dari pengendalian internalnya, saya rasa itu berlaku di semua organisasi. Auditor wilayah IV juga mengatakan: Manajemen juga berperan dalam pendeteksian kecurangan, kan rekomendasi dari kami itu bukan sekedar saran, tapi harus diikuti/dilaksanakan. Nah, review awal tentunya dari pihak manjemen. Manajemen yang mengarahkan, mengatur, dan mengkordinasikan semua itu di SKPD nya. Kita juga kan mereviewnya sesuai jadwal. Dapat ditarik kesimpulan, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan berperan dalam pendeteksian kecurangan, namun tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawab Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Sebab yang menjadi kunci utama untuk mendeteksi kecurangan itu sendiri terletak pada pimpinan SKPD itu sendiri. Pernyataan di atas sama dengan penelitian sebelumnya oleh Rozmita dan Nelly (2012) yang mengungkapkan bahwa 62,5% responden mengatakan bahwa manajemen review memiliki peran terpenting dalam upaya pendeteksian dan pembatasan tindakan fraud. Hal ini disebabkan karena prinsip ―tone at the top artinya apa yang dilakukan oleh atasan merupakan contoh bagi bawahan. Sedangkan penelitian berdasarkan ACFE tahun 2010 menyatakan tentang pentingnya auditor internal dalam mendeteksi fraud menjelaskan bahwa 60% responden mengatakan bahwa auditor internal memiliki peran yang sangat penting dalam upaya untuk mendeteksi terjadinya fraud.
81
Dalam mendeteksi kecurangan, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mengenali bentuk-bentuk dan cara seseorang melakukan tindakan kecurangan serta bagaimana menyusun sistem internal auditor yang baik. Hal ini memudahkan
auditor
dalam
mendeteksi dan
mencegah
kecurangan-
kecurangan. Kecurangan yang sering terjadi pada SKPD atau kabupaten/kota yaitu pembuatan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) fiktif, mark-up harga pada pembelian barang, pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan jumlah
barang atau volume
pekerjaan, tidak
disiplinnya oknum PNS.
Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam mendeteksi dan mengungkap kasus fraud. Kemudian kasus kecurangan yang telah terdeteksi tersebut wajib ditindaklanjuti agar pada pemeriksaan tahun selanjutnya tidak terjadi lagi pelanggaran yang sama. Dengan begitu kasus kecurangan dapat diminimalisir.
Sedangkan
deteksi
kecurangan
dilakukan
yaitu
dengan
upaya
mengidentifikasi gejala-gejala (symptom) kecurangan. Inspektorat selaku audit internal Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mendeteksi kecurangan dengan melihat indikasi-indikasi kemungkinan terjadinya kecurangan. Sebab kecurangan itu tidak mudah untuk dideteksi. Auditor wilayah lV mengatakan: Dalam mendeteksi kecurangan, pada saat kita memeriksa akan tampak dengan sendirinya gejala-gejala yang timbul. Salah satunya yang paling utama yaitu tidak adanya dokumen-dokumen serta tidak kooperatifnya SKPD ataupun sebaliknya dimana SKPD yang overkooperatif. Selain itu, adanya hasil kegiatan yang tidak sesuai dengan perencanaan. Karena semakin mencurigakan, semakin kita juga mencari karena kita harus skeptis. Intinya, kita memang memiliki punya insting yang kuat. Tidak begitu berbeda dengan yang diungkapkan oleh seorang auditor di wilayah III:
82
Tampaknya gejala kecurangan dalam pemeriksaan membuat kita semakin menginvestigasi gejala tersebut. Karena gejala itu bisa diidentifikasi melalui kelengkapan bukti dokumen pertanggungjawaban dari SKPD ataupun auditi enggan memberikan keterangan lengkap seolah-olah menyembunyikan suatu hal. Dengan demikian, kecurangan itu dapat terdeteksi lebih awal dengan adanya symptom (gejala-gejala) yang menunjukkan sebuah ketidakwajaran seperti terdapatnya dokumen-dokumen yang mencurigakan, tidak kooperatifnya auditi ataupun over kooperatifnya auditi. Tentu saja penemuan ini tidaklah mudah, oleh karenanya auditor inspektorat memiliki skill yang baik, serta auditornya memiliki rasa curiga yang besar sehingga meningkatkan rasa ingin tahunya apakah telah terjadi kecurangan atau tidak. Tidak hanya dengan menemukan indikasi kecurangan, terkadang kecurangan itu bisa dideteksi oleh inspektorat oleh adanya whistleblower. Menemukan whistleblower merupakan upaya lain untuk mendeteksi kecurangan. Whistleblower berperan dalam memberikan informasi kecurangan di tempat ia bertugas. Hal ini kadang mereka lakukan karena kemungkinan adanya ketidakpuasan dengan sistem di tempat ia bertugas, ketidakadilan terhadap dirinya dari atasannya ataupun kecemburuan dari temannya sendiri. Hal ini dikemukakan auditor wilayah l: Whistleblower dalam setiap SKPD itu ada. Jadi, tanpa mereka ditanya mereka akan mengungkapkan sendiri penyimpangan yang terjadi di SKPDnya sendiri. Jadi kita harus mencari whistleblower itu dengan teknik komunikasi dengan pendekatan individu. Auditor wilayah lV juga menegaskan akan keharusan auditor yang memiliki kemampuan khusus untuk menemukan secara tidak langsung whistleblower dalam melakukan pemeriksaan: Seorang auditor itu tidak hanya dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk menemukan kecurangan secara normatif. Tetapi seorang auditor juga dituntut untuk mempunyai performance yang bagus kemudian harus memiliki kemampuan dan wawasan yang luas dan bisa berdiskusi secara
83
persuasif yang memungkinkan pegawai untuk mengungkapkan keluhankeluhannya. Dengan demikian, pendeteksian kecurangan oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan tidak hanya ditemukan melalui adanya gejala yang dilihat oleh auditor, tapi juga whistleblower dalam SKPD dapat menjadi narasumber yang memberikan informasi tentang penyimpangan yang terjadi. Dengan adanya whistleblower, auditor dapat memberikan sedikit penilaian tentang adanya kecurangan meski harus membutuhkan investigasi lebih lanjut. Oleh karena itu, whistleblower dibutuhkan pula oleh auditor untuk memperoleh informasi tambahan/pelengkap. Namun, kemunculan whistleblower diperlukan adanya pendekatan persuasif.
5.1.1.1 Tindakan Korektif Dari Penilaian Hasil Proses Audit Oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan Setelah melakukan pemeriksaan di SKPD, prosedur umum selanjutnya yaitu auditor menuangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk masing-masing LHP (laporan hasil pemeriksaan) sesuai jumlah pelaksana penyelenggara pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Kemudian LHP tersebut diserahkan kepada kepala bagian evaluasi dan pelaporan yang dibawahi oleh Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan untuk ditindaklanjuti. Dalam hal ini pengelolaan dan penilaian hasil pemeriksaan kemudian disimpan sebagai dokumen induk. Sebab proses pemeriksaan dapat dikatakan belum efektif apabila tidak ditindaklanjuti laporan hasil pemeriksaannya.
Dari sinilah dapat
dilihat berbagai macam penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi pada SKPD yang diperiksa. Hal ini dikemukakan oleh auditor wilayah I: Di inspektorat ada bagian TL (Tindak Lanjut) yaitu dengan merekapitulasi semua temuan yang ada pada SKPD. Jika telah ditindaklanjuti proses
84
auditnya boleh dikatakan efektif, sebaliknya jika persentase belum ditindaklanjutinya tinggi, maka boleh dikatakan bahwa audit belum efektif terlaksana. Apabila auditor rekomendasi
untuk
memperoleh
perbaikan
temuan di
sesuai
dengan
SKPD,
maka dibuatkan
tingkat
kesalahan
atau
ditindaklanjuti. Kepala bagian evaluasi dan pelaporan menuturkan: Ada dua hasil pemeriksaan yang sama: pertama, SKPD diminta untuk melakukan pengembalian atas kerugian negara. Kedua, dibuatkan teguran kepada oknum PNS yang melakukan pelanggaran/penyimpangan jika sifat pelanggarannya terkait kedisiplinan. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Sekertaris Inspektorat: Dalam setiap pembinaan maupun pengawasan ada rekomendasi hasil pemeriksaan dari auditor dan wajib dilakksanakan oleh SKPD yang bersangkutan. Kalau indikasi pelanggaran disiplin pegawai, maka diberi sanksi kepegawaian tapi jika terindikasi kerugian negara, maka direkomendasikan untuk wajib melakukan pengembalian ke kas daerah/negara. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan secara strukturisasi merupakan aparat pengawas menjalankan tugas dan fungsinya secara tegas dan independen. Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan tidak mendapatkan intervensi ataupun tekanan dari siapapun dan dari manapun dalam memeriksa. Ini menonjolkan sikap independen dan objektif yang dimiliki oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya proses penindaklanjutan secara tegas atas seluruh pelanggaran, penyimpangan yang terjadi di SKPD baik dari segi disiplin pegawai maupun yang bersifat material. Hal demikian dilakukan agar SKPD enggan lagi untuk melakukan kecurangan dan akhirnya akan berdampak pada rendahnya persentase kecurangan sesuai yang diharapkan. Namun demikian, berbagai macam pula reaksi yang ditunjukkan oleh SKPD dalam menilai rekomendasi para auditor setelah proses pemeriksaan.
85
Oleh karena itu, auditor harus memberi keyakinan kepada SKPD atas temuan yang diperoleh pada saat pemeriksaan. Terkadang SKPD menunjukkan ketidakpuasan atau ketidak yakinan atas hasil pemeriksaan auditor atau dengan kata lain pihak SKPD membantah rekomendasi dari auditor. Namun hal ini bukan menjadi persoalan bagi auditor. Sebagaimana bahwa auditor hanya menjalankan tugas sesuai fungsi inspektorat. Seorang auditor wilayah IV menegaskan : Setelah mendapatkan dokumen/bukti yang cukup sesuai kriteria/aturan yang dilanggar, maka disampaikan bahwa pihaknya telah melakukan penyimpangan berdasarkan bukti dan dokumen yang ada dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, kami menunjukkan hasil audit yang bertentangan dengan aturan dan kondisi. Kalau memang pihak SKPD membantah rekomendasi kami, maka tindakan kami, pihak yang bersangkutan di SKPD harus diangkat/diproses. Hal senada diungkapkan oleh auditor wilayah I dengan menegaskan: Setelah kita kumpulkan semua bukti-bukti dan terbukti terdapat penyimpangan atau ketidakberesan baik secara administrasi maupun fakta secara fisik, maka dari itu kita minta pernyataan dari pihak SKPD tentang kesediaannya atau tidak untuk mengembalikan kerugian negara jika fraud yang terjadi di aspek keuangan. Jika bersedia, maka dibuatkanlah penyataan. Sebaliknya, jika pihak SKPD tidak bersedia, maka kami selaku auditor yang bertugas memeriksa di instansi tersebut menandatangani dan menyatakan bahwa pihak SKPD tidak menandatangani atas adanya pernyataan penyimpangan di SKPDnya. Dari hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa fungsi inspektorat dapat dinilai efektif dalam mendeteksi dan pengentasan kecurangan. Hal ini dapat dilihat dari auditornya yang bersikap tanggap dan tegas memberikan sanksi dalam pemeriksaan apabila menjumpai sebuah temuan di suatu SKPD melalui bukti-bukti yang relevan. Sanksi dalam hal ini, bukan berupa penjatuhan hukuman bagi pihak fraudsternya, sebab fitrah dari inspektorat provinsi hanya pendamping gubernur untuk menilai kewajaran dengan melakukan pemeriksaan kegiatan di setiap SKPD, atau dengan kata lain dengan memberikan rekomendasi yang mana jalan tersebut berupa unsur pembinaan.
86
Para auditor di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam memeriksa meyakini hasil auditnya telah akurat. Hal ini diungkapkan oleh seorang auditor wilayah lI: Saya menjamin hasil audit saya telah akurat, karena saya berdasarkan prinsip REKOCUME (relevan, kompeten, cukup dan materiil), melaksanakan sesuai prosedur audit, berdasarkan SOP (standar operasional perusahaan) serta mentaati kode etik dan norma auditor. Jika pemeriksaan kita berdasarkan semua standar atau tatanan tersebut, pasti kita yakin akan keakuratan hasil pemeriksaan secara keseluruhan. Auditor wilayah lV menanggapi hal yang sama mengatakan: Dalam memeriksa, saya menganut prinsip REKOCUME (relevan, kompeten, cukup dan materiil), dan saya kira semua auditor disini menganut prinsip tersebut, kerena baik pada saat proses maupun setelah pemeriksaan, saya sendiri juga yang harus mempertanggungjawabkan penyimpangan, pelanggaran/LHP saya yang saya temukan. Dan yang penting harus memiliki dokumen-dokumen/bukti yang REKOCUME. Sangat
jelas
bahwa,
di
Inspektorat
Provinsi
Sulawesi
Selatan
mengemban prinsip rekocume yang merupakan singkatan dari relevan, kompeten, cukup dan materiil. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu buktibukti/dokumen-dokumen oleh SKPD yang akan dijadikan dokumen audit yang juga sifatnya rekocume. Oleh karena itu, auditor di inspektorat menjamin temuannya bersifat akurat apabila memegang prinsip tersebut dan prinsip ini bersifat universal dalam lingkungan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan.
5.1.1.2 Indikator Pencapaian Keberhasilan Inspektorat Dalam Mendeteksi Kecurangan Di SKPD Provinsi Sulawesi Selatan Sampai saat ini tidak ada alat ukur untuk mengukur pencapaian keberhasilan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Akan tetapi, Hal ini dapat dilihat melalui kinerjanya, di mana Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan harus memahami upaya-upaya yang dilakukan telah memenuhi standar mutu yang harus dicapai.
87
Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Kinerja (prestasi kerja) dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar), di mana kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan
waktu
adalah
kesesuaian
waktu
yang
telah
direncanakan
(Trisnaningsih, 2007 dalam Tjahjono, 2012). Akan tetapi, pengukuran kinerja dari segi kualitas lebih sulit dibandingkan pengukuran kinerja dari segi kuantitas. Misalnya, jumlah jam training, persentase realisasi penugasan, jumlah temuan berulang, persentase rekomendasi yang diiplementasikan, dan semacamnya merupakan indikator yang mudah diukur. Namun indikator yang bersifat kualitatif dengan menunjukkan tingkat persepsi seperti kepuasan manajemen/auditee dan komite
audit, memerlukan teknik
lebih
lanjut agar
dapat diukur
dan
diperbandingkan dari waktu-waktu. Teknik yang sering digunakan misalnya dengan skala ordinal dan atau statistik nonparametrik. Sesuai rumpun standar 1300, aktivitas audit internal harus menerapkan program pemastian kualitas dan peningkatan (QAIP - Quality Assurance and Improvement Program). Secara umum program tersebut dilakukan untuk memastikan beberapa hal pokok, yaitu: 1) kesesuaian aktivitas audit internal dengan kode etik, definisi, dan standar audit internal yang berlaku umum; 2) efisiensi dan efektivitas aktivitas audit internal; 3) mengidentifikasi peluangpeluang untuk perbaikan dan peningkatan. Kesesuaian antara kode etik standar dan definisi terhadap aktivitas audit telah dilaksanakan di dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Kode etik dan standar menjadi pengendali auditor dalam melakukan audit. Hal ini diungkapkan oleh Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan bahwa:
88
Ada yang melakukan pengawasan oleh aktivitas supervisi dan ada kode etik untuk aparat pengawasan Provinsi Sulawesi Selatan. Kemudian auditor wilayah I menambahkan:
Saya menjamin hasil audit saya berdasarkan prinsip rekocume (relevan, kompeten, cukup dan materil), melaksanakan sesuai dengan prosedur audit yang namanya SOP. Jika kita berdasarkan itu kita pasti yakin, serta yang paling pokok yaitu menaati kode etik dan norma auditor. Dapat disimpulkan, kode etik yang berlaku dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan memberikan pengaruh besar terhadap kinerja auditor. Hal ini dilihat dari keyakinan akan keakuratan auditor terhadap hasil pemeriksaanya. Tentu saja ini bisa juga meningkatkan profesionalisme auditor.
Sementara itu, untuk mengukur kinerja yang efektif dan efisien, diperlukan identifikasi terhadap aspek-aspek dalam kinerja audit internal. Kaplan dan Norton dengan metode balance scorecard, menyarankan beberapa aspek pengukuran audit internal, yaitu: 1) inovasi dan pembelajaran untuk menjawab pertanyaan apakah audit internal mampu berkelanjutan dan menciptakan value; 2) proses audit internal untuk melihat perkembangan yang baik audit internal dari hari ke hari; 3) manajemen/auditee, adaptasi perspektif pelanggan, yaitu untuk menjawab pertanyaan
bagaimana
customer
memandang
audit
internal;
4)
board/komite audit, adaptasi dari perspektif keuangan, untuk menjawab pertanyaan bagaimana audit internal memandang stakeholders. Inspektorat provinsi menggunakan indikator kinerja dengan perspektif proses internal (jumlah laporan, jumlah rekomendasi, nilai temuan, dll), pembelajaran (jumlah training, persentase tingkat pemahaman masalah, dll), dan
89
juga indikator klien eksternal (jumlah SKPD yang sudah berbasis SAP (standar akuntansi pemerintahan) badan usaha yang meningkat performanya, dll). Indikator kinerja inspektorat di atas berorientasi kepada indikator kinerja BPKP. Sebagaimana yang diketahui bahwa inspektorat termasuk sebagai lembaga APIP (aparat pengawas internal pemerintah), sementara BPKP sebagai koordinator APIP (aparat pengawas internal pemerintah).
Dalam institusi, keberhasilan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam melakukan audit dapat dilihat dari upaya tindak lanjut oleh bagian evaluasi dan pelaporan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti dari hasil wawancara sebelumnya
dikatakan
bahwa
efektifnya
proses
pemeriksaan
apabila
rekomendasi temuan dari hasil pemeriksaan oleh auditor tertindak lanjuti. Sesuai yang diungkapkan oleh auditor wilayah lII:
Untuk melihat efektifnya hasil audit bisa dilihat dari evaluasinya. Dalam artian adanya tindak lanjut dari temuan, apakah saran dari temuan sudah tertindak lanjuti atau tidak, kemudian memastikan apakah perbuatan penyimpangan kecurangan tidak berulang lagi di pemeriksaan selanjutnya. Auditor wilayah l juga mengatakan: Yaitu dengan TL (tindak lanjut) yaitu dengan merekapitulasi semua temuan yang ada pada SKPD. Jika telah ditindaklanjuti, proses auditnya boleh dikatakan efektif. Sebaliknya jika persentase belum ditindak lanjutinya tinggi, maka boleh dikatakan bahwa audit belum efektif terlaksana. Upaya tindak lanjut merupakan upaya untuk memastikan seluruh rekomendasi temuan oleh auditor telah dilaksanakan atau sesuai dengan sasaran
rekomendasi
kesalahan/penyimpangan
ataupun yang
pemberian
telah
dilakukan.
pendeteksian boleh dikatakan berhasil hingga akhir.
sanksi Dengan
sesuai begitu,
tingkat upaya
90
Sedangkan jika dilihat dari sudut luar institusi, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan telah menunjukkan kinerja yang baik sebagai lembaga APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah). Hal ini dibuktikan dengan prestasi yang dicapai oleh Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini diungkapkan oleh Sekertaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan: Sulawesi Selatan telah memperoleh status WTP sebanyak dua kali. Selain itu juga menurunnya pula kasus-kasus kecurangan dalam dua tahun terakhir. Sebagaimana yang diketahui, indikator untuk memeroleh status WTP dari BPK
yaitu
pengelolaan
keuangan
daerah
yang
bersih
tanpa
adanya
ketidakwajaran. Selain itu, dari tahun ke tahun terjadi penurunan temuan oleh Inspektorat. Pada tahun 2012, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan berhasil menemukan
585
penyimpangan.
287
temuan
(49,1%)
pada
kategori
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Kategori ini yang mendominasi jumlah temuan. Hal ini disebabkan banyaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang melakukan kegiatan atau program kerjanya tidak sesuai prosedur. 107 temuan (18,3%) yaitu pelanggaran berupa hambatan terhadap tugas pokok dan fungsi atau tupoksi, serta 191 temuan (32,6%) pada kategori lainnya yang bermacam-macam. Pada tahun 2011 ditemukan 928 penyimpangan, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 1.264 penyimpangan. Penurunan penyimpangan ini adalah implementasi dari tahun pengawasan yang dicanangkan 2010 lalu, di mana Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang mendominasi peran sebagai aparat pengawas. Selain itu, penandatanganan pakta intregritas tidak melakukan korupsi oleh gubernur sampai PNS golongan terendah. Kepala bagian perencanaan menambahkan:
91
Selain status WTP selama dua tahun berturut-turut yang disandang dalam empat tahun terakhir, Provinsi Sulawesi Selatan saat ini berada pada peringkat ke-3 kinerja terbaik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 2008, 2009, 2010, 2011. Prestasi tersebut yang dicapai oleh Provinsi Sulawesi Selatan hingga saat ini menggambarkan fungsi penyelenggara pemerintahannya telah berjalan baik serta pemerintahannya yang bersih. Tentu saja hal ini tidak lepas dari adanya peran fungsi pengawasan yang diemban oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Ini menunjukkan bahwa inspektorat sebagai lembaga APIP dapat dikatakan efektif dalam menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya yang tidak hanya sebagai watchdog, tetapi juga mengedepankan fungsi consultant dan quality assurance.
92
BAB VI PENUTUP
Sebagaimana yang diketahui, bahwa Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 24 kabupaten/kota dan 28 SKPD tingkat I, maka persoalan yang potensial yaitu adanya integrity risk dalam rangka penyelenggaran pemerintahan. Dengan adanya integrity risk, inspektorat yang merupakan pilar utama sebagai pengawas internal pemerintah melakukan upaya preventif (pencegahan) sebelum terjadi kecurangan di SKPD dan kabupaten/kota dengan melakukan pendampingan, pembinaan dan pengawasan dalam setiap kegiatan SKPD Provinsi Sulawesi Selatan. Hal demikian ini adalah upaya mengeliminasi tindakan kecurangan di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Namun, tindakan preventif saja belumlah memadai. Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan juga dituntut untuk mampu mendeteksi kecurangan. Auditor internal di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan harus memahami kecurangan, sebab bentuk kecurangan yang terjadi di SKPD sangat variatif, maka teknik mendeteksinya pun tertentu pula. Oleh karena itu, dibutuhkan SDM yang memadai dalam artian mempunyai skill yang memadai dalam mengidentifikasi indikator terjadinya kecurangan, teliti dalam pemeriksaan dan tingkat akurasi yang tinggi. Selain itu, auditor harus bersifat skeptis dalam melakukan pemeriksaan dengan tujuan mencari informasi yang lebih dalam lagi guna mengidentifikasi kecurangan. Jadi, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mengidentifikasi terlebih dahulu gejala-gejala kecurangan dengan mengamati perubahan karakteristik kondisi tertentu untuk memudahkan pendeteksian
92
93
kecurangan. Hal ini merupakan sebuah gejala yang memerlukan penelusuran atau investigasi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam melakukan deteksi kecurangan di dalam pemeriksaan yaitu membuat persiapan rencana pemeriksaan yang berpedoman pada PKPT terdapat langkah awalnya dengan membuat surat tugas (menentukan tugas audit pada bagian tugas masing-masing: penanggungjawab, supervisi, pengendali teknis, ketua tim, anggota), membuat PKP (program kerja pemeriksaan) mengekspos hasil temuan dari pemeriksaan dan pengawasan dengan menyusun LHP (laporan hasil pemeriksaan). Di dalam LHP tersebut berisi rekomendasi dari hasil pemeriksaan auditor berupa saran perbaikan bagi SKPD jika ditemukan penyimpangan. Rekomendasi yang diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan yang dibuat oleh oknum PNS. Kemudian LHP tersebut di serahkan ke Sekertaris inspektorat bagian evaluasi dan pelaporan dan diteruskan kepada Inspektur untuk Gubernur Sulawesi Selatan agar ditindaklanjuti, dan diberikan pula kepada SKPD. Setelah itu tim tindak lanjut dari pihak inspektorat memastikan rekomendasi hasil pemeriksaan telah dilaksanakan dan diikuti dengan baik pada pemeriksaan kemudian. Dengan demikian, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai peran yang memadai dalam mendeteksi/menemukan dan mencegah kecurangan di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini memperjelas
fungsi dan
tanggung jawab inspektorat sebagai pendamping gubernur (pemerintah) dalam menyukseskan penyelenggaraan daerah yang bersih, bebas dari tindakan kecurangan. Demikianlah pembahasan skripsi yang berjudul “Analisis Peranan Audit Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan” yang memfokuskan bagaimana peranan Inspektorat Provinsi Sulawesi
94
Selatan dalam mendeteksi kecurangan di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya akan dibuatkan kesimpulan dan saran berdasarkan uraian sebelumnya.
5.1 KESIMPULAN 1.
Kecurangan terjadi umumnya disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal dalam SKPD yang mendukung adanya kesempatan (opportunity), lalu tekanan (pressure) dan rasionalisasi (attitude). Lemahnya pengendalian internal di SKPD merupakan celah terjadinya fraud, akan tetapi kokohnya pengendalian internal dalam SKPD belum menjamin juga untuk tidak terjadi fraud, namun auditor-auditor di Inspketorat Provinsi Sulawesi Selatan sangat maksimal bekerja dengan bekal kompetensi serta kemahiran jabatannya sehingga dapat mendeteksi dan mengungkap terjadinya fraud melalui pemberian rekomendasi SKPD/manajemen.
2.
Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan melalui auditor-auditornya mendeteksi kecurangan dengan mengidentifikasi dokumen-dokumen audit yang relevan, kompeten, cukup dan material. Sedangkan gejala-gejala yang terjadinya kecurangan yaitu dilihat dari tidak kooperatifnya objek pemeriksaan ataupun sebaliknya.
3.
Adapun whistleblower juga dapat membantu auditor untuk medeteksi kecurangan dengan memberikan informasi bagi pelaku kecurangan.
4.
Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan sangat berperan dalam mendeteksi dan mencegah kecurangan. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya kasuskasus kecurangan di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan dan yang tidak kalah pentingnya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan memperoleh status
95
WTP (wajar tanpa pengecualian) sebanyak dua kali berturut-turut di periode tahun 2008-2013 meskipun secara bertahap. Selain itu, Provinsi Sulawesi Selatan berada di urutan ketiga kinerja pemerintahan terbaik se-Indonesia.
3.2 SARAN Saran penulis untuk inspektorat provinsi Sulawesi Selatan yaitu harus memperkuat dan memperkokoh jaringan sistem pengendalian internal pemerintahan Sulawesi Selatan. Dengan kuatnya sistem pengendalian internal maka kasus dapat dicegah sekecil-kecilnya dan mudah untuk mengungkap siapa pelakunya dari kasus tersebut.
3.3 KETERBATASAN PENELITIAN Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu bahasan pada nilai-nilai lokal yang tidak diuraikan satu per satu dalam penelitian ini, dan dibatasi hanya tiga nilai lokal Inspektorat saja yang diuraikan.
96
DAFTAR PUSTAKA Achmed, Yan. 2012. Audit Internal. http://yannachmad.blogspot.com/2012/04/auditor.html (Diakses: 24 Mei 2013) Aryanto, Pramudya. 2012. Pengertian Nilai, Moral dan Norma. http://coretanseadanya.blogspot.com/2012/09/pengertian-nilai-moral-dannorma-dalam.html (Diakses: 22 Mei 2013) Badu,
Soemitro, R. 2010. Perkembangan Behavioral Accounting. http://ronaldbadu.blogspot.com/2010/11/perkembangan-behavioralaccounting.html (Diakses: 25 Juni 2013)
Dewi, Rozmita dan Apandi, Nelly Nur, 2012. Gejala Fraud Dan Peran Auditor Internal Dalam Pendeteksian Fraud Di Lingkungan Perguruan Tinggi (Studi Kualitatif). Universitas Pendidikan Indonesia. Erna,
MS 2008. Pendekatan Interpretif. http://ernams.wordpress.com/2008/01/07/pendekatan-interpretif/ (Diakses: 17 oktober 2012)
Hartadi, Bambang. 1991. Internal Auditing: Suatu Tinjauan Sistem Informasi Manajemen Dan Cara Pelaporannya. Edisi 1. Andi Offset: Yogyakarta.
Husaini, Usman dan Setiady, Purnomo. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. PT.Bumi Aksara: Jakarta. Hutasuhut, Ririn. 2012. Pentingnya Audit Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada Inspektorat Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Fakultas Ekonomi Uiversitas Sumatera Utara. Kosasih, Ruhcyat. 1981. Auditing: Prinsip Dan Prosedur. Ananda Yogyakarta: Yogyakarta. Lia. 2009. Teori Peran. http://bidanlia.blogspot.com/2009/07/teori-peran.html (Diakses: 16 September 2012) Masyhuri, Zainuddin, M. 2008. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Refika Aditama: Malang Moeller, Robert. 2009. Brink’s Modern Internal Auditng: A Common Body Of knowledge. Edisi 7. Canada. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
97
Revida, Erika. 2003. Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya. Jurnal. FISIP Universitas Sumatera Utara. Rinaldy Bima, Muhammad, 2011. Fungsi Inspektorat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Ishlah, Vol.13 No. 03. Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Samad, Abdu. 2010. Pengaruh Nilai Budaya Bugis Terhadap Perilaku Aparat Birokrasi Di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone. Tesis. Makasaar.Universitas Hasanuddin. Santoso, Urip dan Pambelum, 2008. Pengaruh Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dalam Mencegah Fraud. Jurnal Administarasi Bisnis, Vol.4. FISIP-UNPAR. Sekaran, Uma. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis: Buku 1. Edisi 4. Salemba empat: Jakarta 2009. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis: Buku 2. Edisi 4. Salemba empat: Jakarta Syahrianto, 2010. Mempertahankan Nilai Kearifan Budaya Lokal Sulawesi Selatan, Sebuah Keniscayaan? http://syahriartato.wordpress.com/2010/02/15/mempertahankan-nilaikearifan-budaya-lokal-sulawesi-selatan-sebuah-keniscayaan/ (Diakses: 22 Mei 2013) Tunggal, Widjaja. 2011. Pengantar kecurangan Korporasi. Harvarindo: Jakarta 2012. Pedoman Pokok Audit Internal. Harvarindo: Jakarta Wardhini, Meta. 2010. Peranan Audit Internal dalam Pencegahan Fraud (Studi Kasus PT. PLN Distribusi Jabar). Skripsi. Bandung: Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Widyatama, Arif. 2012. Paradigma-Paradigma Akuntansi. Zainuddin,
2011. Pengawasan
Fungsional Pemerintah
Daerah
Sebagai
Instrumen Good Local Governance. Jurnal Ilmiah Ishlah, Vol.13 No. 02. Sekretaris Daerah Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan. Website: http://diploma4stan.wordpress.com/2012/02/16/resume-audit-internalpemerintah/ (Diakses: 7 Maret 2012) http://jeperis.wordpress.com/2009/02/05/desain-penelitian-kualitatif/ (Diakses: 4 September 2012)
98
http://wajburni.wordpress.com/2012/01/17/paradigma-penelitian-kualitatif/ (Diakses: 17 oktober 2012) http://www.dephut.go.id/files/PP_60_08.pdf (Diakses: 31 Agustus 2012) http://www.lensaindonesia.com/2012/08/31/payah-ppatk-nyatakan-pemprovjatim-terkorup-keempat-se-indonesia.html (Diakses: 26 September 2012) http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php/2011/12/12/kadis-pumakassar-terbukti-korupsi-dan-harus-ditahan (Diakses: 26 September 2012) http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materi-kuliah/288-metode-pengumpulandata-penelitian-kualitatif.html (Diakses: 3 November 2012) http://www.reindo.co.id/reinfokus/edisi18/reinfokus_16.html (Diakses: 5 mei 2012) http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/05/27/m4o9w3-kpk-sorotkorupsi-biaya-perjalanan-dinas-pejabat (Diakses: 26 September 2012) http://www.sarjanaku.com/2011/03/analisis-data.html (Diakses 17 Oktober 2012) http://www.tribunnews.com/2012/08/31/sulsel-terkorup-syahrul-yasin-limpominta-support (Diakses 26 September 2012) www.auditorinternal.com www.inspektoratsulsel.org www.menulisproposal.blogspot.com www.sulsel.go.id www.theiia.org www.transperency.org