1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal bentuk-bentuk perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan tetapi dari bentuk-bentuk yang ada itu, selain koperasi yang memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan adalah PT. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi pendirian PT mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebaginya, maka bentuk perusahaan PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan.1 Banyaknya pendirian PT baik yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia(WNI) maupun Warga Negara Asing terutama dalam
rangka
kegiatan
penanaman
modal,
lebih
banyak
dilatarbelakangi pertimbangan sehubungan dengan status badan 1
Irna Nurhayati, 16/02/2010 10:55, Ulasan Tentang Status Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. H.1. Magister Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com
1
2
hukum yang melekat pada PT, di samping itu juga karena sifat PT sebagai suatu asosiasi. Sifat sebagai asosiasi menempatkan PT itu dalam bidang yang luas karena istilah tersebut dapat mengandung pengertian bahwa pada satu sisi PT merupakan asosiasi modal dan pada sisi lain PT adalah asosiasi orang.
Sebagai asosiasi modal berarti
terdapat pengumpulan modal dari berbagai pihak dalam PT, dan asosiasi orang mencerminkan PT merupakan wadah berkumpulnya banyak pihak yang bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dituangkan dalam anggaran dasar. Dari sifat-sifat baik sebagai asosiasi modal maupun orang, keduanya mencerminkan satu pemahaman bahwa keberadaan PT dapat memberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi bagi angkatan kerja atau juga menciptakan peluang-peluang
usaha
bagi banyak pihak yang nantinya merupakan mitra bisnis. Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan, memiliki dan mengelola Perseroan Terbatas (PT) tidaklah merupakan perbuatan tunggal, melainkan sejak bentuk badan hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang melibatkan lebih dari satu orang, bahkan banyak orang. Di dalam PT terdapat berbagai hubungan hukum yaitu antara pemegang saham yang satu dengan yang lain, antara perseroan dengan
3
direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak ketiga. Keberadaan berbagai hubungan tersebut merupakan suatu indikator atau suatu pertanda yang menunjukan bahwa PT sejak mulai dari perancangan pendiriannya, tahap operasional sampai dengan berakhirnya jangka waktu untuk mana PT itu didirikan sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu dikemukakan bahwa PT merupakan perwujudan dari perjanjianperjanjian. Bertumpu pada uraian singkat tersebut semakin jelaslah di dalam suatu PT terdapat suatu proses yang didukung oleh berbagai perjanjian.
Keberadaan
menghidupkan,
perjanjian-perjanjian
memelihara
kelangsungan
itu
hidup
bersifat PT
yang
bersangkutan, bahkan dapat juga mengantarkan menuju pada proses yang mengakhiri eksistensi PT itu sendiri. Perjanjian diantara
para
pemegang
saham
pada
pokoknya
bersifat
menghidupkan dan sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian dengan direksi, stake holder terutama karyawan serta pihak ketiga mengandung sifat yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup PT. Berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan dalam rangka kelangsungan hidup atau operasional PT, maka pertama-
4
tama terlihat pentingnya kedudukan pemegang saham termasuk Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) dan direksi, komisaris termasuk pula para staf serta pegawai yang dipekerjakan pada PT dan tidak ketinggalan pihak ketiga, misalnya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Direksi sebagai wakil PT dengan pihak lain seperti perjanjian dagang. Seluruh komponen yang telah disebutkan itu pada pokoknya memberikan kontribusi yang tidak kecil berupa kewajiban-kewajiban dan atau peranan sesuai porsinya masingmasing
dalam
perkembangan
rangka PT.
Oleh
memajukan karena
itu
dan agar
meningkatkan tercipta
suatu
keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian mengenai aspek perlindungan hukumnya. Sehubungan dengan pandangan bahwa PT merupakan suatu bentuk yang paling dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk dominan dari perusahaan , maka perkembangan pemanfaatan PT yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaturan PT yang berkembang dengan pesat pula. Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (pasal 26 s/d pasal 56 KUHD) diganti dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang
5
No. 40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106) atau yang disingkat dengan UUPT. Sejalan dengan pertimbangan bahwa PT merupakan kelembagaan
perekonomian
yang
kokoh
dalam
rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka UUPT pada pokoknya memberikan kesempatan yang lebih luas kepada PT untuk menjalankan atau mewujudkan maksud dan tujuan serta kegiatan usahanya sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam anggaran dasar. Berkaitan dengan penyelenggaraan PT, undang-undang memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Pasal 75 ayat (1) UUPT yang menentukan : “RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan / atau Anggaran Dasar”. Disamping itu juga hak-hak lain seperti hak untuk memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris. Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, Pasal 92 ayat (1)
UUPT menentukan : “Direksi menjalankan
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal tersebut
6
menyatakan, bahwa ketentuan tadi menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan seharihari dari Perseroan. Bertumpu pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 92 ayat 1 UUPT tersebut sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya dimana Direksi dalam menjalan pengurusan Perseroan harus tetap berpedoman dan tidak boleh bertentangan dengan maksud serta tujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan. Apabila dirinci lebih jauh lagi, Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan tunduk pada prinsip-prinsip, pertama, Direksi dalam pengurusan harus memegang prinsip kehati-hatian dalam bertindak, kedua, direksi harus mengutamakan kepentingankepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadinya, dan yang ketiga, tindakan-tindakan Direksi haruslah tetap sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang tertuang dalam Anggaran Dasar. Apabila Direksi menyimpang dari prinsip ini terutama terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak langsung telah menempatkan Perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang melampaui kewenangan yang telah diberikan. Dalam berbagai kepustakaan hukum, tindakan ini disebut dengan ultra vires.
7
Tindakan ultra vires itu dapat menimbulkan kerugian pada Perseroan yang berarti kerugian pula bagi para pemegang saham. Di samping itu ultra vires juga dapat merugikan pihak ketiga. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini misalnya Direksi sebuah PT Perbankan yang justru lebih banyak mengalirkan dana kepada pemegang saham sehingga mengakibatkan PT Perbankan itu bangkrut dan atau dilikuidasi serta merugikan nasabah penyimpan. Dalam hal ini timbul ketidaksesuaian antara norma hokum (das sollen) pada satu sisi dengan kenyataannya dalam praktek (das sein) pada sisi lain. Dalam hal ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pemegang saham, maka UUPT telah menyediakan norma-norma hukum yang dapat dimanfaatkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegang saham baik yang mayoritas maupun minoritas. Norma hukum yang dimaksud antara lain ketentuan yang mengatur hak pemegang saham melalui RUPS meminta pertanggungjawaban Direksi, dan ketentuan mengenai hak pemegang saham minoritas untuk meminta dilakukannya pemeriksaan atas jalannya Perseroan. Akan tetapi apabila ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pihak ketiga, maka pertanggungjawaban Direksi tidaklah jelas dan UUPT tidak mengaturnya secara tegas atau tidak jelas mengaturnya. Bab VII Bagian Kesatu UUPT mulai dari Pasal
8
92 sampai dengan Pasal 107 tidak dijumpai ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai pertangungjawaban tersebut. Akan tetapi apabila mengacu pada Pasal 97 ayat (1) yang menentukan Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, maka pada satu sisi dapat dikemukakan terdapat pengaturan tanggung jawab direksi tetapi pada sisi lain pengaturan itu tidak jelas dan lebih menekankan tanggung jawab terhadap perseroan. Ketidakjelasan pengaturan tersebut merupakan suatu permasalahan hukum yang harus dicarikan kejelasannya. Di samping dalam rangka keperluan memperjelas hukum perseroan juga berkaitan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan rasa aman kepada pihak ketiga yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah seperti di atas dapatlah dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut: a.
Bagaimanakah dasar-dasar perlindungan hukum terhadap Pihak
Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires?
9
b.
Bagaimana upaya pemulihan hak-hak Pihak Ketiga atas
tindakan ultra vires Diresksi Perseroan Terbatas 1.3. Ruang Lingkup Masalah Sehubungan dengan maksud memperoleh hasil analisis yang terfokus, maka terhadap rumusan masalah perlu diberikan batasbatas atau ruang lingkupnya. Dalam rumusan masalah yang pertama permasalahan yang dibahas berkisar pada pertanyaan bagimana hak-hak pihak ketiga, apakah terhadap tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan bagi Pihak Ketiga. Disamping itu relevan pula dibahas adalah mengenai kondisi dasar hukum tersebut apakah memadai dan dapat diterapkan, serta bagaimana pula bentuk-bentuk perlindungan hukumnya. Sehubungan permasalahannya
dengan
rumusan
berkisar
mengenai
masalah
yang
kedua
bentuk
dan
proses
pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi Pihak Ketiga, apakah diberikan secara langsung atau melalui perseroan dan atau pemegang saham mengingat direksi itu diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemagang Saham.
10
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Sejalan dengan banyaknya dilakukan pendirian PT untuk keperluan bisnis, pemahaman dan pengembangan aspekaspek ilmu hukum yang berkaitan dengan PT harus dilakukan secara seimbang dan tidak boleh berhenti. Hal ini sesuai dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) dimana dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas keebnaran di bidang obyeknya masing-masing2. Oleh karena itu secara umum penelitian ini bertujuan mengembangkan aspek ilmu hukum khususnya hukum tentang Perseroan Terbatas. 1.4.2. Tujuan Khusus 1)
Untuk mengetahui,
memahami
dan menganalisis
perlindungan hokum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires 2)
Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme serta upaya-upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak Ketiga atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas.
2
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magisetr Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, hal. 10
11
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai PT dalam berbagai hubungan hukumnya dengan berbagai pihak.
1.5.2.
Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian diharapkan
dapat
menjadi pedoman yang komprehensif bagi semua pihak yang terkait pendirian, pemilikan, pengelolaan dan pihak-pihak yang berhubungan atau mengadakan transaksi dengan PT dalam pemecahan masalah tanggung jawab terhadap pihak ketiga berkaitan dengan tindakan ultra vires.
1.6.
Landasan Teoritis Peningkatan pendirian tersebut dapat ditandai terjadinya hampir berbarengan dengan mulai meningkatnya aktivitas perkenomian Indonesia setelah pertengahan dasawarsa 1960an. Disusul dengan mengalirnya investasi asing yang masuk Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal
12
nasional untuk menanamkan modalnya baik secara mandiri maupun berpatungan dengan investor asing. Peningkatan ini berdampak positif terhadap perkembangan pendirian PT. Di samping itu turut pula memacu peningkatan pendirian PT di tanah air adalah semakin berkembangnya aspek yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap bentuk perusahaan ini yang dimulai dengan diundangkannya Undangundang No. 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan pasal 54 KUHD.
Dilanjutkan dengan
diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan pasal 21 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Terakhir undang-undang ini diganti dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Petrseroan Terbatas. Perkembangan pengaturan itu secara tidak langsung menunjukan perkembangan pemahaman mengenai PT sehingga mengakibatkan banyak yang memilih bentuk perusahaan ini. Apabila ditinjau lebih jauh, terpilihnya PT sebagai bentuk perusahaan berbadan hukum yang paling diminati saat ini tidaklah terlepas dari elemen-elemen yang terkandung secara integral dalam PT itu sendiri.
13
Berdasarkan penelusuran terhadap suatu bahan hukum sekunder3 terdapat 15 elemen yuridis dari PT pada pokoknya sebagai berikut : 1) Perjanjian Perjanjian yang merupakan dasar pendirian PT adalah perjanjian yang dibuat diantara para pendiri PT tersebut. Perjanjian seperti ini dan sepanjang memenuhi syarat-syarat menurut Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menimbulkan perikatan diantara pihak-pihak yang membuatnya. 2) Adanya para pendiri Pendiri PT sering juga disebut dengan perintis yang terdiri dari minimal 2(dua) orang. Mengingat PT merupakan suatu badan hukum dalam pengertian person(orang) secara semu, maka PT itu didirikan, bukan dilahirkan sehingga perlu adanya pendiri yang menurut Pasal 7 UU. No. 40 Tahun 2007 diwajibkan menjadi pemegang saham. 3) Pendiri atau pemegang saham bernaung dibawah satu nama bersama
3
Samuel Label, 22/02/2010 http://rechtheory.blogspot.com.
13:00, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya,
14
Undang-undang mewajibkan bahwa PT harus mempunyai nama dan Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas yang masih berlaku hingga saat ini menyatakan, Perseroan Terbatas dalam kiprahnya sebagai salah satu bentuk usaha yang berbadan hukum memerlukan suatu nama sebagai jati dirinya. Pasal 2 PP tersebut pada pokoknya menentukan, penggunaan perkataan Perseroan Terbatas atau yang disingkat “PT” yang diletakkan di depan nama perseroan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang didirikan berdasarkan UUPT. Hal ini merupakan perlindungan hukum terhadap nama PT dan menimbulkan daya tarik tersendiri untuk mendirikan PT. 4) Merupakan asosiasi dari pemegang saham Bertumpu pada teori yang menyatakan bahwa PT merupakan perwujudan dari perjanjian dan dalam perjanjian itu sendiri pada pokoknya terdapat dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, maka dikatakanlah PT itu sebagai asosiasi orang dan karena orang-orang yang merupakan pendiri itu diwajibkan menjadi pemegang saham yang berarti harus mengeluarkan modal sehingga dengan demikian PT juga merupakan asosiasi modal. 5) Merupakan badan hukum
15
PT merupakan suatu badan hukum atau rechtpersoon, legal entity, corpotaion. Dalam keadaan seperti ini PT memiliki kedudukan yang dipersamakan dengan manusia dan karena itu disebut juga manusia semu. PT sebagai badan hukum memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan pribadi para pemegang sahamnya. Pemisahan tersebut sesuai dengan sistem tanggung jawab terbatas pemegang saham terhadap perikatanperikatan yang dibuat oleh PT melalui Direksi. 6) Diciptakan oleh hukum PT merupakan suatu badan hukum yang dipersamakan pengertiannya dengan person atau orang. Akan tetapi dalam hal ini baru menjadi badan hukum atau subyek hukum menurut Pasal 7 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT) setelah akte pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Inilah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa PT diciptakan oleh hukum. 7) Mempunyai kegiatan usaha Sesuai pengertian Perseroan Terbatas yang tercantum dalam dalam pasal 1 ayat (1) UUPT dan juga anggaran-aggaran dasar PT terlihatlah bahwa tujuan pendirian PT adalah melaksanakan satu atau beberapa bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang akan diberikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden
16
sesuai kebijaksanaan perseroan sebagaimana telah menjadi keputusan Rapat Umum Pemegang Saham. Agar dapat membagikan keuntungan maka
PT itu harus memiliki dan
menjalankan usaha. 8) Berwenang melakukan kegiatan usaha Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum adalah subyek hukum yang berarti pula merupakan pendukung dalam pengertian pemilik dan pelaksana hak serta kewajibankewajiban hukum. Dengan demikian PT sebagai badan hukum dapat melakukan kegiatan sendiri seperti layaknya manusia yang dilaksanakan oleh Direksi yang merupakan salah satu organ PT. Dalam rangka eksisetnsi kelangsungan hidupnya PT memang layak diberi wewenang melakukan kegiatan usaha. Untuk selanjutnya wewenang yang diberikan tetap menjadi pedoman dalam bertindak. 9) Kegiatannya termasuk dalam ruang lingkup yang ditentukan oleh hukum positif Kegiatan atau aktivitas terutama bisnis perseroan harus sesuai dengan ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Apabila PT melalui tindakan-tindakan direksinya melakukan kegiatan di luar ruang lingkup usaha seperti yang ditentukan dalam anggaran dasarnya, maka PT tersebut berarti
17
telah melakukan ultra vires. Sehubungan dengan ini perlu dijelaskan lebih jauh lagi mengenai siapa yang bertanggung jawab dan mekanisme pertanggungjawabannya. 10) Adanya modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor Setelah PT memperoleh status badan hukum, maka PT harus memiliki modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan (issued capital) dan modal disetor(paid up capital). Diantara modal-modal yang telah disebutkan itu maka modal yang bersifat operasional adalah modal disetor. Modal ini secara langsung menunjukkan nilai nominal saham yang telah diambil dan dibayar tunai oleh pemegang saham. 11) Modal perseroan dibagi kedalam saham-saham Modal
perseroan
dibagi
kedalam
saham-saham
dalam
pengertian dari modal dasar kemudian ada modal ditempatkan dan modal disetor. Modal yang terakhir inilah yang harus dibayar secara tunai oleh pemegang saham. Setiap saham mengandung nilai nominal modal yang disetor. 12) Esksistensinya terus berlangsung Kecuali disebabkan karena terjadinya kepailitan (bankruptcy) dan
dilakukan
likuidasi,
PT
merupakan
suatu
bentuk
perusahaan yang dapat mempertahankan masa hidupnya atau
18
kelangsungan hidup secara terus menerus, meskipun para pemegang sahamnya silih berganti, bahkan meninggal dunia. Suatu PT dapat memiliki sifat seperti ini disebabkan karena PT menganut prinsip keterpisahan sehingga eksistensi PT sebagai badan hukum terpisah dengan para pemegang sahamnya. Dengan demikian PT dapat berlangsung terus, walaupun terjadi pergantian pemegang saham, peralihan saham termasuk apabila saham itu dijadikan
jaminan
utang. Berkaitan
dengan
kelangsungan hidup PT secara terus-menerus itu dikemukakan bahwa PT memiliki perpetual succession. Menurut ensiklopedi Wikipedia4 perpetual succession merupakan the continuation of a corporation’s or other organization’s existence despite the death, bankruptcy, insanity, change in membership or an exit from the business of any owner or member, or any transfer of stock, etc... Perpetual succession, along with a common seal, is one of the features defining a corporation’s legal existence as separate from those of its owners. Sementara itu Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter5, yang mengemukakan, the corporation creates an immortial juridical entity that exists beyond the lives of its participants. Dari pandangan-pandangan tersebut dapat dapat disimpulkan, PT sebagai badan hukum dilengkapi 4
dengan
prinsip
perpetual
succession
yang
Wikipedia Encyclopedia, 24/02/10, Perpetual Succession, www.En.wikipedia.org Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, 1994, Corporation, Examples and Explanations, Little, Brown and Company, Boston, hal. 13. 5
19
memberikan semacam kehidupan atau eksistensi secara terus menerus. Ketika jangka waktu pendiriannya berakhir, jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang lagi. Ini berarti PT akan dapat menjamin kelangsungan eksistensinya. 13) Berwenang menerima, mengalihkan dan memegang asetasetnya Dalam melaksanakan kegiatan usahanya PT mempunyai kewenangan untuk menerima, mengalihkan dan memegang aset-asetnya menurut peraturan yang berlaku. Namun demikian terhadap kewenangan itu terdapat juga pembatasanya. Salah satu pembatasan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan pemilikan hak atas tanah. PT sebagai badan hukum yang berarti juga merupakan subyek hukum tidak ada permasalahan apabila memegang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai dan Hak Sewa. Akan tetapi untuk dapat memegang Hak Milik atas Tanah, maka tidaklah setiap PT dapat diberikan hak milik atas tanah, kecuali badan hukum yang bergerak di bidang sosial dan PT-PT tertentu milik negara yang bergerak di bidang perbankan. Pembatasan-pembatasan seperti ini dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia/LNRI Tahun 1963 Nomor 61).
20
14) Dapat menggugat dan digugat di pengadilan Sehubungan dengan pelaksanaan aktivitas bisnis sehari-hari suatu PT sudah sewajarnya apabila menjalin hubungan hukum dengan pihak lainnya atau stake holder yang antara lain meliputi pemerintah, karyawan, dan pihak ketiga. Dalam hubungan hukum tersebut seringkali terdapat tindakan-tindakan yang melanggar perjanjian yang sudah disepakati. Dalam upaya mempertahankan hak-hak masing-masing, baik PT maupun pihak lain tersebut dapat menggugat dan digugat di pengadilan. Dalam hal PT menggugat atau digugat di pengadilan, maka Direksilah yang mewakili perseroan (Pasal 98 UUPT), dan apabila dilakukan penyitaan, sesuai dengan prinsip pemisahan kekayaan, maka penyitaan itu dilakukan terhadap aset perseroan. 15) Mempunyai organ perseroan PT memiliki 3 (tiga) orang yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Direksi dan Komisaris. RUPS
adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Direksi merupakan organ perseroan yang berwenang dan
21
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
Menurut
T.
Kitagawa
yang
pada
pokoknya
mengemukakan, the development of an organic theory of the corporation may also be considered a response to the organic theory of the state, memang tampak persamaan antara organ perseroan dengan organ pemerintahan terutama apabila dilihat dari segi fungsinya. Sehubungan dengan ini perlu dikemukakan Theory of the Corporation menurut pandangan Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter6 bahwa the corporation separates the functions of funding and managing the business. Secara garis besarnya organ-organ PT menurut fungsi yang dijalankan pada pokoknya dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi pendanaan dan fungsi pengelolaan. Fungsi pertama mencakup keberadaan pemegang saham dan yang kedua mencakup direksi serta komisaris.
6
Ibid. hal. 5
22
Dari elemen-elemen tersebut maka yang sangat perlu dicermati khususnya karena menyangkut topik penelitian yang sedang digarap ini adalah elemen yang pertama, yaitu perjanjian yang menurut Prof. Subekti7 merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan menurut Prof. Wirjono Projodjodikoro8 perjanjian itu adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas pelaksanaan janji itu. Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan, memiliki dan mengurus PT ternyata terdapat perjanjianperjanjian. Pada saat para pendiri mengadakan kesepakatan mendirikan PT terdapat perjanjian yang kemudian dituangkan dalam akte pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan pemilikan saham yang sebenarnya berarti pemilikan PT juga dijumpai adanya perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli saham. Pengurusan PT yang dilakukan Direksi pada pokoknya merupakan pula pelaksanaan dari perjanjian bahwa Direksi akan melaksanakan tugasnya sesuai anggaran dasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PT sebagai badan hukum 7 8
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 7 Syarif Basir, 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, hal. 1
23
sebenarnya merupakan implementasi atau perwujudan dari berbagai perjanjian baik yang terjadi diantara sesama pendiri, sesama pemegang saham, antara pemegang saham dengan pengurus atau direksi, dan antara perseroan melalui direksi dengan berbagai komponen stake holder atau pihak ketiga. Terhadap fenomena PT merupakan perwujudan dari perjanjian-perjanjian melalui penelusuran berbagai kepustakaan dijumpai landasan teoritisnya. Landasan yang dimaksud diformulasikan dalam The Nexus of Contract Theory. Menurut Wikipedia Encyclopedia9, PT sebagai a nexus of contract mengandung pengertian bahwa teori tersebut .... is an idea....which asserts that corporations are nothing more than a collection of contracts between different parties - primarily shareholders, directors, employees, suppliers, and customers. Sedangkan Stefano Lombardo dan Piero Pasotti10 mengemukakan bahwa The Nexus of Contract Theory pada pokoknya ....views the business corporation a set of coordinated contracts among different parties. Dengan menelusuri makna dari The Nexus of Contract Theory sebenarnya sudah dapat dipahami bahwa teori tersebut 9
Wikipedia Encyclopedia, 16/02/2010 12:11, Nexus of Contract, http://en.wikipedia.0rg Stefano Lombardo dan Oiero Pasotti, 2009, Disintegrating The Regulation of The Business Corporation As a Set of Coordinated Contracts Among Different Parties, http://journals.cambridge.org hal. 35 10
24
secara tidak langsung mencerminkan subyek-subyek hukum yang menjadi para pihak dalam perjanjian-perjanjian (the contracting party) dalam dan dengan PT itu sendiri. Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda
yang berarti
perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian11 seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati. Di samping asas Pacta Sun Servanda, maka perlu juga memperhatikan asas Itikad Baik yang menurut M.L. Wry seperti dikutip oleh Setia DTH12 merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa menggangu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain. Di samping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang menunjuk kepada perberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen,13 mengajarkan agar memberikan perlindungan terhadap hak-hak pihak ketiga yang sangat 11
Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Pacta Sun Servanda,http:// www.kamushukum.com hal. 1 Setia DTH, 2008, Itikad Baik Menurut Hukum, http://setia-ceriahati.blogspot.com 22/02/10 13:15, hal. 1 13 Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, WWW.Scribb.com hal.1 12
25
berperan dalam menunjang perkembangan perseroan. Tanpa ada pihak ketiga sebenarnya suatu perseroan tidak akan berkembang. Berdasarkan
uraian-uraian
di
atas
dapatlah
dikemukakan, makna-makna yang terkandung dalam The Nexus of Contract Theory yang dikaitkan dengan Asas Pacta Sun Servanda dan Asas Itikad Baik serta asas kepastian hukum merupakan landasan teoritis untuk memformulasikan dasar hukum
yang
sangat
dibutuhkan
untuk
memberikan
perlindungan hukum bagi para pihak dalam hal ini terutama pihak ketiga. Perlindungan hukum terhadap pihak ketiga perlu mendapat perhatian sehubungan dengan alasan karena pihak ketiga dapat mengalami kerugian yang diakibatkan oleh perseroan dan perseroan itu sendiri menderita kerugian antara lain karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Direksi sebagai wakil perseroan. Tindakan-tindakan yang dimaksudkan itu diantaranya adalah tindakan yang bersifat menyimpang dari ruang lingkup fungsinya dalam mewakili perseroan atau tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap anggaran dasar. Dalam Hukum Perseroan tindakan seperti itu disebut dengan ultra vires.
26
Robert
W.
Hamilton14
mengemukakan
ultra
vires….literally beyond the scope of the purpose or powers of a corporation. Sementara itu Stephen H. Gifis seperti dikuti Munir Fuady15 pada pokoknya menyatakan hukum disetiap negara tanpa melihat ke dalam sistem mana dia tunduk umumnya menghadapi masalah yuridis yang disebut dengan “pelampauan kewenangan” (ultra vires) dari suatu perseroan. Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh Anggaran Dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut. Pandangan tradisional mengenai utra vires pada pokoknya memandang bahwa tindakan itu dapat menimbulkan konsekuensi yuridis dimana tindakan tersebut batal demi hukum (null and void) dan karena itu maka tindakan yang diklasifikan ultra vires itu tidak dapat diratifikasi atau tidak dapat disahkan oleh perseroan melalui RUPS. Pandangan secara tradisional juga menyediakan upayaupaya hukum yang merupakan konsekuensi yuridis antara lain sebagai berikut :
14
Robert W. Hamilton, 1991, The Law Of Corporation In Nutshell, West Publishing Company, St. Paul, Minnesota, hal. 52 15 Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,hal. 110.
27
Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya, a.
Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut, b.
Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.16 c.
Ternyata upaya-upaya hukum yang disediakan oleh pandangan secara tradisional tersebut bersifat sangat terbatas sehingga tidak atau kurang maksimal dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga, padahal peranan dan kontribusi pihak ketiga sehubungan dengan kelangsungan bisnis perseroan tidaklah kecil. Pandangan mengenai konsekuensi yuridis dari tindakan perseroan yang ultra vires itu ternyata juga mengalami perkembangan
dan
dalam
perkembangan
tersebut
pada
pokoknya dikemukakan, ….sebagai akibat dari berbagai modifikasi terhadap konsepsi ultra vires, telah berkembang beberapa akibat hukum yang mungkin timbul dari adanya ultra vires antara lain tanggung jawab pribadi. Tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggung jawab pribadi dari direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires itu. Memang, umumnya tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya tanggung jawab 16
Ibid. hal. 130.
28
pribadi direksi atau petugas yang bertanggungjawab atas tindakan tersebut, antara lain berdasarkan doktrin piercing the corporate veil. Pandangan seperti di atas pada dasarnya sudah menunjukkan perkembangan Doktrin Ultra vires dari sifatnya yang tradisional berkembang ke arah yang lebih luwes dan beragam. Dari perkembangan itu pula sebenarnya tercermin mekanisme
yang
dapat
ditempuh
mengenai
bagaimana
memulihkan kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak ketiga akibat tindakan direksi yang diklasifikasikan ultra vires. Terlepas dari persoalan mekanisme tersebut menurut Teori Keadilan Distributif
yaitu keadilan yang memberikan
kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, 17 dengan ini dapat dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang berjasa dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga berdasarkan teori ini harus diberikan keadilan, dalam pengertian hak-haknya dapat dipulihkan. Dari uraian-uraian yang telah disajikan pada intinya doktrin, dan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan itu mengarah pada satu hal yang sangat penting bahwa pihak PT tetap bertanggung jawab terhadap kerugia-kerugian yang dialami oleh Pihak ketiga, dan kendati pun masih mengandung beberapa kekaburan pada berbagai aspeknya, akan tetapi 17
L.J. van Apeldoorn, 1978, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 23
29
doktrin dan pandangan itu dapat digali lebih dalam lagi untuk menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat melalui tesis ini.
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Dalam Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum18 dijelaskan Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Usulan penelitian untuk tesis ini termasuk dalam kategori jenis Penelitian Hukum Normatif.
Pemilihan pada jenis itu didasarkan pada alasan
karena Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Dalam Hal Diresksi Perseroan Terbatas Melakukan Tindakan Ultra vires merupakan permasalahan kesenjangan hukum. Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci. Sedangkan perlindungan terhadap pihak ketiga yang sebenarnya sangat berperan demi kelangsungan hidup PT tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya 18
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Op.cit. hal. 1.
30
kurang jelas. Jadi disinilah terjadi kesenjangan dalam norma hukum. 1.7.2.
Jenis Pendekatan Penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan yakni :
-
Pendekatan Kasus (The Case Approach)
-
Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
-
Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
-
Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical &
Conseptual Approach) -
Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach),
-
Pendekatan Sejarah (Historical Approach),
-
Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Sejalan dengan tujuan dan rumusan masalahnya, Usulan penelitian ini menggunakan 3 jenis pendekatan yang terdiri dari:
-
Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
-
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical &
Conceptual Approach).
31
-
Pendekatan Perbandingan Hukum (comparatif Approach) Pendekatan Perundang-undangan bertujuan mengalisis peraturan perundangan dalam hal ini Undang-undang PT terutama yang berkaitan dengan kekosongan atau kekaburan norma hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pihak ketiga. Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum pada pokoknya mengedepankan analisisanalisis terhadap konsep-konsep hukum. Direksi, PT, Pihak Ketiga dan Ultra vires adalah merupakan konsep-konsep hukum. Analisis terhadap konsep-konsep ini ditekankan pengertian, hak dan kewajiban (Direksi, PT, dan Pihak Ketiga),
serta tidak ketinggalan adalah mengenai ruang
lingkup dan perkembangan ultra vires. Akan tetapi karena bahan-bahan yang dianalisis juga berkaitan dengan bahanbahan yang diperoleh dari sistem hukum yang berlaku di negara lain, maka tidak tertutup kemungkinannya, usulan penelitian ini juga menggunakan Pendekatan Perbandingan (The Comparative Approach).
1.7.3.
Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum normatif menggunakan Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Bahan Hukum Primer
32
dalam hal ini terdiri dari Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan norma-norma hukum yang tersusun terutama dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya,antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Bahan Hukum Sekunder meliputi buku teks hukum (legal text book), Jurnal hukum, karya tulis hukum yang memuat pandangan ahli hukum baik dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa, kamus hukum, ensiklopedi hukum. Dalam penelitian ini dibahas juga bahan-bahan hukum yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti definisi-definisi hukum. 1.7.4.
Bahan Hukum Penunjang Di samping bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder maka dalam penelitian ini digunakan pula bahanbahan yang diperoleh dari praktisi hukum dalam ini Notaris yang berpengalaman atau pun pihak lain yang memahami permasalahan mengenai tatacara menyelesaikan tanggung jawab PT terhadap pihak ketiga. Bahan Hukum Penunjang dapat diperoleh melalui penelusuran jaringan internet yang
33
menyediakan fasilitas informasi yang relevan dengan topik tesis ini.
1.7.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan yang akan dianalisis dalam penelitian ini pengumpulannya dilakukan dengan menggunakan sistem kartu (card system). Berdasarkan sistem ini informasi yang diperoleh dari berbagai sumber itu dicatat secara cermat substansi, sumber informasi (penulis,
informan),
waktu
diperolehnya
dan
tempat
(perpustakaan, kantor). Dalam penelitian ini tidak tertutup kemungkinannya diperoleh bahan yang sudah tersusun dengan rapi baik berupa buku, laporan maupun bentuk-bentuk lain yang bersifat tertulis dan terhadap bahan-bahan seperti ini tetap diterapkan card system yang ditekankan pada pencatan mengenai informasi yang relevan dengan topik permasalahan.
1.7.6.
Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam
menganalisis
bahan-bahan
diterapkan teknik-teknik sebagai berikut :
yang
telah
34
1)
Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum
yang tidak jelas rumusannya sehingga harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. 2)
Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau
tidak tepatnya suatu informasi baik diperoleh dari Bahan Hukum Primer maupun Sekunder juga diterapkan dalam penelitian ini untuk memperoleh hasil yang benar-benar sesuai dengan topik yang dibahas. 3)
Teknik argumentasi mengetengahkan alasan-alasan yang
merupakan hasil penalaran setelah dilakukannya teknik evaluasi. Dalam pembahasan masalah penelitian ini sedapat mungkin akan dilakukan teknik argumentasi menurut kemampuan yang serba terbatas. 4)
Teknik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan
suatu norma hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. 5)
Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan
bersifat mutlak. Hal ini mengandung pengertian, teknik ini harus dilaksanakan dalam pembahasan hukum agar pembahasan dapat dipahami oleh orang lain. Dalam penelitian ini berdasarkan Teknik Deskripsi, isu-isu hukum digambarkan atau diuraikan secara lengkap
35
dan jelas sehingga dapat diketahui duduk persoalannya dan dapat ditentukan arahnya untuk mencapai suatu solusi.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES 2.1. Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya
Terhadap bentuk perusahaan yang menjadi topik bahasan dalam tesis ini terdapat berbagai istilah yang bersumber dari berbagai bahasa. Beberapa diantaranya yang seringkali dibahas dalam kepustakaan adalah, Company Limited by shares, Naamloze Vennootschap(NV) dan Perseroan Terbatas yang masing-masing perlu dijelaskan maknanya. Menurut E.W. Chance19 Company Limited by shares is a partnership, the liablity of its members is restricted to the amount remaining unpaid on his shares …The limitation of 19
E.W. Chance, 1948, Principles of Mercantile Law, The Gregg Publishing Co., Ltd, London, hal. 171-172
36
liability in a limited company is in respect only of the liability of the members, which is to the company. The liability of the company to its creditors is in no way restricted: the creditors may look only to the company for payment of their debts and they have no rights against the members as such. Unlike a partnership, a company is at law a corporate body, a legal persona with an existence quite independent of its members.
Naamloze Vennootschap atau yang sering disingkat dengan(NV) pada pokoknya menurut Achmad Ichsan20 merupakan suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan “naamloos” dalam arti tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggauta peseronya; identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya umpama PT. Perusahaan Dagang Beras.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, istilah Perseroan Terbatas atau yang sering disingkat dengan PT dapat dikatakan merupakan istilah mulai populer penggunaannya di Indonesia. Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para sarjana sebagai berikut:
34
M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas itu ialah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal yang tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiaptiap pesero-pemegang saham-turut serta didalamnya sebanyak satu
20
Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, AturanAturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, hal. 134
37
saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu.21 Dengan kalimat yang kurang-lebih sama maknanya K.R.M.T Tirtodiningrat kemudian mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bahagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggung jawab atas pinjaman-pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.22
Pandangan beberapa sarjana mengenai definisi PT tersebut secara tidak langsung menunjukkan perjalanan sejarah dari istilah atau nama
yang
dipergunakan secara khusus dan resmi untuk
menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang(KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pada intinya istilah Perseroan Terbatas tidaklah merupakan terjemahan dari istilah Naamloze Vennootschap, namun demikian
istilah
Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang diserap dari perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih relevan dan dapat secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat perseroan yang diatur dalam pasal-pasal KUHD itu.
21
M.H. Tirta Amidjaja, 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, hal. 108. K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Pembangunan, Jakarta, hal. 132 22
38
Hal ini dapat ditelusuri dari pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Soekardono23 bahwa pada dasarnya istilah tersebut lebih sesuai dengan
sifat-sifatnya
bentuk
perusahaan
yang
dijalankan.
Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata, yaitu: perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham(aandeel, aktien), sedangkan kata “terbatas” itu tertuju pada tanggung jawab pemegang saham atau pesero yang bersifat “terbatas” pada jumlah nominal daripada saham-saham yang dimilikinya. ....istilah “perseroan terbatas” lebih tepat daripada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan senyatanya....24,
maka makna dari istilah Perseroan Terbatas menjadi semakin jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan sebagai istilah resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen notariil maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara Republik Indonesia(BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia(TBNRI). Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang dituangkan dalam KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56 secara berturut-turut sudah digantikan dengan diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 dan Undang-undang No. 47 Tahun 23
R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali, Jakarta, hal. 127 24 H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk-Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, hal. 89
39
2007,
penggunaan
istilah
Perseroan
Terbatas
masih
tetap
dipertahankan. Di samping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama atau titel, kedua undang-undang tersebut secara khusus
juga
mencantumkan
yang
pengertian
atau
definisi
mengenai
apa
dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang menentukan : Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis tersebut dapatlah diuraikan adanya 5(lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan sebagai beikut: a.
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, b.
didirikan berdasarkan perjanjian,
c.
melakukan kegiatan usaha,
d.
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
40
e.
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya. Mengingat karena beberapa hal menyangkut unsur-unsur tersebut sudah disinggung secara garis besarnya pada bahasan terdahulu, maka dalam bahasan pada sub bab ini sebenarnya akan lebih ditekankan pada penguraian unsur Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Namun demikian dan mengingat pula bahwa unsur-unsur yang lainnya juga memiliki arti yang tidak kalah pentingnya, maka penguraiannya tidaklah cukup hanya berupa penegasan semata-mata. Terhadap unsur-unsur yang lainnya itu akan ditambahkan pula penjelasan-penjelasan yang perlu dan relevan. Ad.a. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun 2007
tentang
Perseroan
Terbatas(UUPT)bahwa
Perseroan
Terbatas(PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal mengandung dua hal; pertama,memberikan ketegasan dan kedua, UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan PT sebagai badan hukum persekutuan modal. Mengenai hal yang pertama, hendaknya patut diberikan apresiasi yang tinggi karena dengan ditegaskannya bahwa PT adalah
41
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, berarti UUPT telah memberikan suatu kepastian hukum mengenai status hukum PT. Di samping itu penegasan tersebut merupakan langkah maju apabila dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara tegas tentang status PT sebagai badan hukum. Berkaitan dengan hal yang kedua, perihal badan hukum dan persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi PT yang menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh lagi, akan tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum sekunder. Menurut
R.
Subekti25
badan
hukum
adalah
perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan
suatu seperti
seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajibankewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan. Selanjutnya ditambahkan….perseroan terbatas atau NV sebagai badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan terbatas mempunyai suatu kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan para pesero atau pengurusnya.26
25 26
R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 14 R. Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 171.
42
Rochmat Soemitro27 mengemukakan badan hukum, dalam bahasa Belanda “Rechtspersoon”, ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi. Kedua pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran hukum Belanda yang pada pokoknya mengikuti alur berpikir menurut Civil Law System. Oleh karena itu untuk mengimbanginya, maka sehubungan dengan penguraian perihal badan hukum dalam bahasan ini perlu pula diuraikan pandangan dari sistem hukum lain sebagai pembanding. Dalam sistem common law, badan hukum dipadankan dengan corporation dan Henry Campbell Black28 mengemukakan bahwa corporation merupakan an artificial person or legal entity created by or under the authority of the laws of a state or nation. Selanjutnya secara lebih rinci, Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter 29 memandang…a corporation is a structuring device for conducting modern business. It is a framework-a legal person- through which a business can enter into contracts, own property, sue in court and be sued.
27
Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung, hal. 10 28 Henry Campbell Black, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, ST.Paul Minn, hal. 307 29 Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, Op.cit., hal. 3
43
Berdasarkan
penelusuran
sumber-sumber
bahan
hukum
sekunder baik dari penulis yang pemikirannya dilatarbelakangi prinsipprinsip civil law system maupun common law system dapat dipetik makna yang umum, bahwa
badan hukum itu pada pokoknya
merupakan suatu entitas yang diciptakan oleh hukum dan diperlakukan sama seperti layaknya manusia. Dengan mengadopsi pandangan bahwa untuk adanya suatu badan haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
adanya harta kekayaan yang terpisah,
b.
mempunyai tujuan tertentu,
c.
mempunyai kepentingan sendiri,
d.
adanya organisasi yang teratur30
maka dapat dikemukakan PT sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal mengandung pengertian, bahwa PT itu ditetapkan secara yuridis
mewadahi kegiatan pemupukan, pengelolaan dan
pemanfaatan modal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi para pemegang sahamnya yang bertanggungjawab secara terbatas pada sejumlah modal yang disetor untuk kepentingan menjalankan usaha perseroan. Ad.b. didirikan berdasarkan perjanjian, 30
R. Ali Rido, 1984, Hukum Dagang Tentang Aspek-Aspek Hukum Dalam Asuransi Udara Dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Remadja Karya, Bandung, hal. 231
44
PT menurut The Nexus of Contract Theory sebagaimana telah dikutip pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi atau kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Diantara
tahap-tahap
pendirian
(konstruksi),
beroperasi
(operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan PT(terminasi), maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang sangat dominan ketika PT berada pada tahap operasional. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada tahap-tahap yang lainnya. Keberadaan perjanjian dalam PT sebenarnya sudah dimulai dan berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh dua atau lebih calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan. Perjanjian semacam inilah yang oleh Andrew Hicks dan S.H. Goo31 termasuk dalam hubungan hukum yang disebut dengan Pre-Incorporation Contracts yaitu perjanjian-perjanjian yang dipersiapkan untuk dibuat oleh suatu perseroan sebelum perseroan tersebut memasuki tahapan memperoleh status sebagai badan hukum(a contract purpoted to be made by a company before the date of incorporation). 31
Andrew Hicks dan S.H. Goo, 2001, Case And Materials On Company Law, Blackstone Press, London, hal. 80
45
Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh 2(dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan penafsiran secara gramatikal,
ketentuan
tersebut mengandung pengertian bahwa sebelum datang menghadap di hadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah mempersiapkan kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan diantara mereka sebelumnya. Adanya
perjanjian
pendahuluan
yang
sifatnya
konsensual(consensueel) atau suatu perjanjian yang didasarkan pada kata sepakat32 itu dan juga akta notaris yang juga berisi anggran dasar sebagai tonggak awal berdirinya suatu PT tersebut keduanya semakin memperlihatkan dengan pasti bahwa PT didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu dapat dikemukakan pendirian dan eksistensinya
PT
sebenarnya
merupakan
implementasi
atau
perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama pendiri. Mengingat PT itu didirikan berdasarkan perjanjian, maka hal ini mencerminkan bahwa sebenarnya pendirian PT tunduk pada Hukum Perjanjian atau Contract Law yang menurut Gordon D Schaber dan Claude D. Rohwer33 ….is initially concerned with determining what
32
J.C.T. Simorangkir, et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 29 Gordon D. Schaber dan Claude D. Rohwer, 1990, Contracts In A Nutshell, West Publishing, St.Paul Minn., hal. 1 33
46
promises the law will enforce or otherwise recognize as creating legal rights. Ad.c. melakukan kegiatan usaha, Berkaitan dengan unsur ini Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Pertama-tama yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya merupakan suatu konsekuensi logis dari pemikiran teoritis bahwa pendirian
PT
didasarkan
pada
perjanjian
dan
sebagai
hasil
implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala sesuatunya dan dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan
tidak
boleh
bertentangan
dengan
ketiga
batasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan adalah bahwa melakukan kegiatan usaha merupakan kewajiban bagi PT. Mengikuti pandangan H.L.A. Hart34 yang menekankan kewajiban merupakan primary rules(aturan-aturan yang menetapkan kewajibankewajiban dan hak-hak warga masyarakat), dimana sebenarnya kewajiban tersebut berkaitan erat dengan keyakinan serta motivasi 34
H.L.A. Hart, 1986. The Concept of Law, ELBS/Oxford University Press, Oxford, hal. 6
47
internal, bahwa apabila tidak dilaksanakan akan timbul akibat-akibat yang tidak menyenangkan. Sebaliknya dengan melaksanakannya diharapkan akibat-akibat tersebut tidak akan terjadi, bahkan diyakini akan mendatangkan suatu kenikmatan. Dengan demikian kewajiban tersebut
harus
dilaksanakan,
karena
apabila
sebaliknya
akan
menimbulkan sanksi-sanksi. Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang dibebankan oleh Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata “harus” sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri, keharusan melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format isian untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan(Pasal 9 ayat (1) ). Apabila tidak melaksanakan pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana sebagai sanksinya Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan. Secara ringkas dapatlah diuraikan, The Nexus if Contract Theory sebenarnya mengandung makna bahwa melaksanakan kegiatan usaha merupakan maksud dan tujuan yang dengan sendirinya harus terbangun(built-in) dalam rangkaian perjanjian-perjanjian mendirikan dan mengelola PT. Disamping itu mengingat PT juga merupakan wahana bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan aktivitas yang pokok dan mutlak sifatnya. Ad.d. modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
48
Sebelum sampai pada topik pokoknya maka terlebih dahulu akan diuraikan mengenai komposisi permodalan Perseroan Terbatas. Dengan demikian berarti pertama-tama yang diuraikan itu menyangkut permasalahan modal Perseroan Terbatas itu terdiri dari apa saja atau dari unsur-unsur apa saja permodalan Perseroan dibentuk. Menyangkut komposisi tersebut, ketentuan-ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 33 ayat UUPT pada pokoknya sudah menyatakan modal Perseroan itu terdiri dari 3 jenis modal yaitu modal dasar(authorized capital), modal ditempatkan(issued capital) dan modal disetor(paid up capital). Akan tetapi dalam hal ini UUPT tidak menentukan mengenai apa yang dimaksud dengan ketiga jenis modal itu. Rochmat Soemitro35 yang menggunakan istilah modal perseroan, modal yang ditempatkan dan modal bayar, secara garis besarnya menjelaskan makna-makna dari ketiga jenis modal itu sebagai berikut: Modal dasar merupakan modal perseroan disebut juga modal saham atau modal sero, atau dalam bahasa Belanda “maatschappelijk kapitaal” (statutair kapital) ialah jumlah modal yang disebut dalam akta pendirian dan merupakan suatu jumlah maksimum, sampai jumlah mana dapat dikeluarkan surat-surat saham. Mengenai modal ditempatkan dijelaskan, modal perseroan menurut kebiasaan tidak seluruhnya sekaligus ditempatkan, akan tetapi sebagian dahulu ditempatkanm sedangkan sebagian lagi disimpan dalam portpolio, dan baru akan dikeluarkan jika ternyata dibutuhkan modal lebih banyak lagi. Modal bayar ialah modal perseroan yang diwujudkan dalam jumlah uang. 35
Rochmat Soemitro, Loc.cit., Hal. 21-23
49
Berkaitan dengan modal perseroan perlu dijelaskan pengertian tersebut murni merupakan pengertian yuridis….tidak ada hubungannya dengan pengertian ekonomis….dan perihal modal perseroan itu praktis selalu dicantumkan dalam anggaran dasar.36 Pendapat ini semakin relevan karena dalam UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk mencantum jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor(Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka Menteri dapat melakukan penolakan(Pasal 10 ayat 4). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan pendapat bahwa modal Perseroan Terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham.37 Modal perseroan yang kemudian dibagi ke dalam sahamsaham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi saham menurut UUPT. Sehubungan dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan
hanya
diperkenankan
mengeluarkan
saham atas nama
pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan, anggaran dasar menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih. 36
Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 180. 37 Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 133
50
Pengertian yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT tersebut menunjukkan seluruh saham yang dikeluarkan Perseroan merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham lainya yang boleh dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu menurut UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain: a.
saham dengan hak suara atau tanpa hak suara
b.
saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
c.
saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain
d.
saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif
e.
saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan
ayat (4), Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan gabungan dua atau lebih klasifikasi.
51
Uraian tersebut diatas pada pokoknya memperlihatkan kedudukan modal dalam perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal disetor dalam menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan perlu pula diuraikan secara garis besarnya. Mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34 UUPT menentukan: (1)
Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang
dan/atau dalam bentuk lainnya, (2)
Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan, (3)
Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus
diumumkan dalam 1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14(empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut. Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dan memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang berkeinginan menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan. Dalam hal ini Pasal 34 itu memperbolehkan penyetoran atas modal saham
52
perseroan tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar sesuai harga pasar atau penilaian ahli yang independen. Di samping dalam bentuk uang yang memang secara umum sudah dilakukan dan dalam bentuk lain yang dinilai dengan uang secara wajar, Pasal 34 UUPT secara khusus menyebutkan penyetoran saham juga dapat dilakukan dalam bentuk benda tidak bergerak. Dari sekian banyak contoh benda tidak bergerak, maka untuk Indonesia tanah merupakan yang paling potensial dijadikan setoran atas modal saham Perseroan. Hal ini didukung fakta karena tanahlah yang paling mungkin dimiliki terutama oleh investor Indonesia yang akan berpatungan mendiri Perseroan dengan investor asing. Uraian mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham(ad.d.) tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya modal dasar kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada khalayak khususnya investor yang berminat menanamkan modal dengan jalan memiliki saham baik melalui partisipasi langsung ketika PT didirikan maupun bursa efek. Pada sisi lainnya, pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti diungkapkan oleh Mas Soebagio38 pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat mengukur besarnya tanggung jawab dalam arti hak dan kewajiban setiap pemegang saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. 38
Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung, hal. 135
53
Ad.e. memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya. Unsur ini pada pokoknya semakin memperlihatkan bahwa merancang, mendirikan dan mengelola PT sebenarnya akumulasi atau perwujudan dari perjanjian-perjanjian(a nexus of contracts) di antara para pendiri yang kemudian menjadi pemegang saham, antara PT dengan direksi, dan antara PT melalui direksi dengan pihak ketiga. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa PT merupakan a nexus of contract dan berarti tunduk pada
Asas
Kebebasan berkontrak(Freedom of Contract atau Beginselen van Contractvrijheid). Di dalam asas tersebut terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas
melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas
dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.39 Pandangan yang pada pokoknya memberikan ruang lingkup kebebasan berkontrak yang sangat luas itu ternyata dalam prakteknya menurut berbagai sistem hukum tidaklah berarti bahwa perjanjian dapat dibuat dan dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Hal dapat disimak dari pendapat sebagai berikut:
39
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak dalam : Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 219.
54
Asas kebebasan berkontrak bukan tanpa pembatasan. Untuk mencegah disalahgunakan asas itu baik dengan undue influence di negara-negara dengan sistem common law atau misbruik van omstandigheden di negara-negara dengan civil law, asas kebebasan berkontrak perlu didampingi asas aequitas praestationis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undangundang, kepatutan dan ketertiban umum(openbare orde) atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.40
Pendapat tersebut pada pokoknya mengemukakan setiap perjanjian haruslah mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri dapat dijumpai dalam undang-undang baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa PT harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang. Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang pentingnya kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan perjanjian. Tentang pentingnya kedudukan itu dapat disimak dari pendapat Robert Duxbury41 berkaitan dengan perjanjian dalam sistem common law yang mengemukakan, a contract may be expressly forbidden by a statutory provision. Di Indonesia kedudukan yang sama kuatnya dapat dijumpai pada Paragraf kedua Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan persetujuan-persetujuan itu tidak
40 41
Ibid. Robert Duxbury, 2006, Contract In A Nutshell, Sweet & Maxwell, London, hal. 92
55
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup itu. 2.2. Kompetensi Perseroan Terbatas Sehubungan dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah yaitu kewenangan dan kompetensi. Secara gramatikal kedua istilah ini memiliki pengertian yang hampir sama, akan tetapi istilah kewenangan itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah yang biasanya dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran42 sebagai berikut : Pengertian kewenangan adalah : Sumber-sumber kewenangan terdiri atas : 1. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang Undang Dasar maupun pembentuk Undang Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang Undang. 2. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah. 3. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggung jawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.
42
Yosran, 2008, Teknik Pembuatan Keputusan Tata Usaha, http://ptunpdg.blogspot.com. Hal.1
56
Di samping karena istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari dalam hukum administrasi negara, tampak pula istilah itu tidak ada relevansinya dengan topik bahasan tesis ini. Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan relatief kompetentie.43 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili….sedangkan relatief kompetentie atau kekuasaan relatif menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.44 Di samping itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam hukum pembuktian(in the law of evidence) yang menunjukkan kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum kontrak(in the law of contract). Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak yang
tidak
memiliki
cacat
mental
atau
tidak
memiliki
kapasitas(without mental disability or incapacity).45 Dalam Bahasa Belanda, istilah kompetensi mengacu pada istilah bevoeg yang artinya berwenang atau berkompeten.46
43
R. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hal. 39 44 Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19 45 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 257. 46 J.C.T. Simorangkir, et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 200. Hal. 19
57
Secara keseluruhan uraian mengenai pengertian kompetensi tersebut pada pokoknya mengarah pada satu makna, bahwa kompetensi itu menunjukkan kapasitas atau kemampuan melakukan tindakan. Apabila pembahasannya menyangkut kompetensi PT, maka itu berarti membahas kemampuan PT melakukan tindakan-tindakan apa saja. Inilah yang merupakan pertimbangan mengapa dalam sub bahasan tesis ini dipergunakan istilah kompetensi. Namun demikian karena maknanya yang hampir sama dan sepanjang tidak mengganggu konsistensi uraian, penggunaan istilah kewenangan secara bergantian dengan istilah kompetensi kiranya masih dapat diterima. Secara garis besarnya dapat diuraikan bahwa kompetensi tersebut berkaitan erat dengan hak atau recht atau right yaitu kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu.47 PT sebagai badan hukum merupakan subyek hukum yang dapat memiliki kewajiban dan hak-hak. Oleh karena itu dikatakanlah PT memiliki kompetensi. Namun demikian mengingat antara manusia dan badan hukum terdapat perbedaan, maka ruang lingkup kompetensi subyek hukum tersebut juga berbeda. Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan perbedaan antara manusia (natural person) dengan badan hukum(artificial person) dalam kompetensinya berkaitan dengan hak-hak konstitusional
47
Ibid.hal. 60
58
misalnya, yaitu The Business Interest Theory dan The Purely Personal Theory. The Business Interest Theory holds that a corporation does have constitutional rights but only those necessary to the firm’s business interests. For example, when a state creates a corporation with the power to acquire and utilize property, it necessarily and implicitly guarantees that the corporation will not be deprived of that property absent due process of law. under The Purely Personal Theory, a corporation has all the constitutional rights enjoyed by natural person except those that are “purely personal”…. is determined on the basis of the nature, history, and purpose of that particular right.48
Menurut kedua teori yang berkembang di Amerika Serikat tersebut sebenar kompetensi badan hukum perusahaan(business firm corporation) itu sepanjang dipandang perlu bagi perusahaan sangat luas ruang lingkupnya hingga meliputi hak-hak konstitusional, kecuali yang menyangkut hak-hak yang sifatnya sangat pribadi. Dalam kaitan ini dapatlah dikemukakan sebagai suatu contohnya adalah hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Dikaji dari aspek sifat, sejarah dan tujuannya, hak tersebut merupakan very purely personal right sehingga hanya dapat diberikan kepada natural person dan tidak dapat diberikan kepada badan hukum. Untuk
mengetahui
apakah
PT
di
Indonesia
memiliki
kompetensi dan sampai sejauh mana ruang lingkupnya pertama-tama
48
Gary A. Moore, tanpa tahun, The Legal Environtment Of Business: A Contextual Approach, South Western, hal. 79
59
dipastikan kedudukan PT tersebut dalam hukum(apakah merupakan badan hukum atau tidak) dan selanjutnya dianalisis prasyarat yang harus dimiliki untuk dapat diberikan kompetensi. Mengenai
PT
yang
dinyatakan
sebagai
badan
hukum
sebenarnya tidaklah mengherankan karena semenjak ditetapkan dalam Wetboek van Koophandel(WvK), apa yang kemudian dikenal dengan istilah Perseroan Terbatas itu sudah diterima sebagai suatu bentuk badan hukum persekutuan modal atau badan hukum yang bersifat komersial. Oleh karena itu persoalannya tidaklah terletak pada pertanyaan apakah PT itu merupakan badan hukum atau tidak, melainkan apakah PT sebagai badan hukum dapat memiliki kehendak dan apabila dapat, maka apakah kehendak tersebut dapat dilaksanakan oleh PT itu sendiri. Berkaitan dengan persoalan kehendak, Friedrich Carl von Savigny dengan Teori Fiksi sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali49 pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut: ….hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungking menjadi suatu subyek dari hubungan hukum….badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang-orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal….Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukannya ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. 49
Chidir Ali, 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 32
60
Kendati pun sangat menegaskan badan hukum tidak dapat membuat kehendak sendiri, Teori Fiksi sebagaimana diuraikan secara ringkas tersebut sebenarnya mengakui adanya kehendak dalam badan hukum dan sudah tentu kehendak itu tidak dibuat oleh badan hukum itu sendiri. Kehendak itu direncanakan oleh orang-orang yang mendirikan badan hukum yang bersangkutan dan sekaligus melalui suatu mekanisme berfungsi melaksanakan atau mewujudkan kehendak untuk dan atas nama badan hukum. Intinya, PT sebagai badan hukum memiliki kehendak yang nantinya merupakan kompetensi badan hukum itu sendiri untuk melaksanakannya. Di Indonesia berdasarkan Pasal 2 UUPT yang menentukan, Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, maka adanya kompetensi PT dapat disaksikan dalam rumusan mengenai Maksud Dan Tujuan Serta Kegiatan Usaha yang terdapat pada setiap Akta Pendirian-Anggaran Dasar PT. Untuk memperjelas uraian tersebut diatas selanjutnya disajikan contoh rumusan Maksud Dan Tujuan Serta Kegiatan Usaha yang dikutip dari sebuah Akta Pendirian-Anggaran Dasar PT berikut : MAKSUD DAN TUJUAN SERTA KEGIATAN USAHA Pasal 3
61
1.
Maksud dan tujuan Perseroan ialah : Industri penempaan, logam;
pengepresan,
dan penggulungan
2. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas Perseroan dapat melaksanakan kegiatan usaha sebagai berikut: diversifikasi produk didalam lingkup industri penempaan, pengepresan, dan penggulungan logam, termasuk tetapi tidak terbatas pada pengerjaan baja nir-karat terpadu(integrated stainless steel work), penggulungan panas dan dingin (hot and cold rolling), grinding, polishing, annealing, pickling, slitting, leveling, tube making, blanking, circle cutting.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut dapat dikemukakan, UUPT pada pokoknya hanya mengatur hak-hak komersial(commercial rights) saja, dan dari ketentuan itu pula dapat diketahui bahwa PT harus mempunyai maksud dan tujuan atau kehendak serta
wajib
melaksanakan kegiatan usaha yang telah ditentukan secara limitatif dalam anggaran dasar. Berkaitan dengan bidang usaha, maka rumusan tersebut merupakan kompetensi PT itu sendiri untuk melaksanakannya. Penyebutan secara rinci mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha tersebut secara langsung pula menunjukkan adanya pembatasan terhadap kompetensi PT, dan pembatasan seperti itu bersifat umum dalam pengertian diakui secara internasional. Dari praktek dan regulasi misalnya yang berlaku di Belgia 50 dan Australia51 dapat diketahui, bahwa perumusan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha haruslah bersifat tertentu agar dapat memberikan kepastian. 50 51
http://www.ucb.com, 10/05/2010 20:14 http://www.asic.gov.au 10/05/2010 20;20
62
2.3. Eksistensi Organ-Organ Perseroan Terbatas dan Kompetensinya Mengingat PT itu merupakan suatu badan yang diwajibkan melaksanakan kegiatan usaha, dimana sejak mulai tahap perancangan, pendirian, operasional, bahkan sampai dengan tahap PT itu berakhir jangka waktu pendiriannya atau mengalami kepailitan atau likuidasi, maka sudah tentu banyak sekali orang atau pun pihak yang turut berpartisipasi
baik
langsung
maupun
tidak
langsung
dalam
mewujudkan tahap-tahap tersebut. Untuk mengetahui orang atau pihak mana yang merupakan organ PT sangat perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu. Identifikasi pertama-tama dilakukan terhadap istilah corporate
constituent
dilanjutkan
dengan
stakeholder
dengan
menggunakan kriteria organ sebagai tolok ukur. Istilah organ yang biasanya digandengkan dengan suatu badan baik yang bersifat publik maupun privat seperti PT berasal dari bahasa Belanda yaitu orgaan yang menurut J.C.T Simorangkir dkk berarti peralatan/alat perlengkapan bagian dari suatu badan/pemerintah.52 Bertumpu pada pengertian tersebut dapatlah dikemukakan, “Organorgan Perseroan Terbatas” pada pokoknya adalah bagian-bagian yang merupakan peralatan atau alat perlengkapan dari Perseroan Terbatas dan pada umumnya diwujudkan dalam bentuk badan-badan(boards) atau dewan. 52
J.C.T. Simorangkir, et.al., Op.cit. hal. 117
63
Sementara itu seperti pada pokoknya dikemukakan Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter53 terutama dalam sistem common law terdapat banyak pihak yang terlibat dalam suatu korporasi. Pihak-pihak tersebut disebut dengan istilah Corporate Constituents yang terdiri dari : •
Managers (Directors and Officers) yaitu para pelaku bisnis yang menginvestasikan kemampuan mereka (human capital) untuk menjalankan usaha perseroan, •
Shareholders yaitu para pemegang saham baik individual maupun institusional seperti badan hukum yang menginvestasikan modalnya dengan harapan memperoleh pengembalian investasi(return) berupa deviden, sisa hasil likuidasi, dan apresiasi pasar, •
Lenders (debtholders) adalah pihak-pihak yang meminjamkan uangnya kepada perseroan dengan janji memperoleh pembayaran bunga dan pengembalian pinjaman pokok. Pinjaman seperti ini dapat diberikan dalam bentuk-bentuk antara lain : secured banks loans, sortterm notes, •
Employees merupakan tenaga kerja yang memberikan tenaga dan pikirannya untuk usaha perseroan. Tenaga kerja ini tunduk pada arahan dari manajer korporasi, •
Customers and Suppliers merupakan para pembeli dan penjual barang serta jasa-jasa yang menjalin hubungan dengan perseroan, baik melalui long-term contract maupun market transactions. •
Contract creditors adalah para pemasok dan pelanggan yang dalam hubungannya dengan perseroan memperoleh kontrak dan hakhak atas pelunasan(payment rights), •
Tort creditors merupakan customer atau warga masyarakat terhadap siapa perseroan bertanggungjawab atas kerugian-kerugian yang diakibatkan karena kegiatan usaha perseroan, •
Tax authorities yang terdiri dari negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
53
Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, Op.cit. hal. 4
64
•
Government Regulators merupakan instansi-instansi yang diberikan fungsi mengatur bisnis Kementrian Perdagangan, Perindustrian, Kesehatan, dan Komisi Pengawas Persaingan.
Konstituen-konstituen yang telah disebutkan secara rinci itu ternyata lebih memenuhi kriteria sebagai stakeholder yaitu ; Person, group, or organization that has direct or indirect stake in an organization because it can affect or be affected by the organization's actions, objectives, and policies. Key stakeholders in a business organization include creditors, customers, directors, employees, government (and its agencies), owners (shareholders), suppliers, unions, and the community from which the business draws its resources, ….54 Dari uraian-uraian tersebut timbul suatu persoalan apakah corporate constituent maupun stakeholder itu merupakan organ perseroan. Persoalan ini pada pokoknya dapat dijelaskan dengan menggunakan pengertian organ itu sendiri kriteria.
Kata kunci
pengertian organ pada pokoknya adalah bahwa untuk dapat diidentifikasi sebagai organ perseroan, maka satuan-satuan yang dimaksud harus merupakan bagian struktural dari perseroan. Status sebagai organ perseroan tidaklah sekedar satuan-satuan itu terlibat atau berperan dalam perencanaan pendirian dan beroperasinya suatu perseroan, melainkan semata-mata karena dirancang sebelumnya harus menjadi bagian dan masuk dalam struktur.
54
….2010, Stakeholder, http://www.businessdictionary.com
65
Termasuk dalam struktur mengandung pengertian, organ perseroan itu merupakan satuan kerja yang secara artifisial termuat atau
tersusun
dalam
bagian-bagian
yang
dirancang
untuk
bekerjasama(piece of work artificially built up or composed of parts purposefully joined together).55 Apabila dibandingkan, tampak eksistensi organ tersebut bersifat permanen karena merupakan bagian, sedangkan konstituen dan stakeholder lebih bersifat kontraktual, insidental dan kasuistis atau temporer. Dikatakan bersifat temporer atau sementara karena keberadaan baik konstituen korporasi maupun stakeholder sangat tergantung pada kontrak dan kebutuhan, misalnya supplier yang hanya dapat memasok perseroan apabila terdapat kontrak, begitu kontrak berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi maka kontrak tersebut menjadi terhapus dan supplier yang bersangkutan tidak dapat lagi memasok perseroan tersebut. Eksistensi konstituen korporasi dan stakeholder dalam hubungannya dengan perseroan sangat ditentukan oleh sifat-sifat kontrak dan keperluan perseroan itu sendiri. Apabila karena keperluan memenuhi persyaratan di bidang perizinan misalnya, maka perseroan membutuhkan otorisasi dari unsur government. Dalam kaitan ini izin memang dapat diberikan untuk waktu yang tak terbatas, akan tetapi apabila usaha perseroan tidak dilaksanakan lagi atau terjadi perubahan maksud dan tujuan serta usaha perseroan yang tidak sesuai lagi dengan 55
Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 1436.
66
peruntukan izin yang telah diberikan, maka izin sebelumnya itu dapat dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini pada akhirnya menambah alasan bahwa keberadaan konstituen korporasi dan stakeholder itu bersifat temporer. Sementara itu keberadaan organ perseroan secara institusional merupakan persyaratan mutlak dalam pengertian organ-organ yang dimaksudkan harus ada dalam setiap perseroan. Personalia organ dapat berubah strukturnya bahkan diganti, akan tetapi organnya sendiri sebagai suatu wadah harus tetap dalam setiap perseroan.
Dalam
hubungannya dengan perencanaan pendirian, pengelolaan operasional dan berakhirnya perseroan, organ memiliki hak dan kewajiban yang tidak dimiliki baik oleh konstituen korporasi maupun stakeholder selain pemegang saham dan direksi. Bertumpu pada uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi dari unsur-unsur konstituen korporasi dan stakeholder itu bahwa yang merupakan organ khususnya untuk perseroan yang tunduk pada sistem common law adalah
directors(direksi) dan shareholders(pemegang
saham). Sementara itu untuk perseroan yang tunduk pada hukum Indonesia, maka organ-organnya harus ditambah dengan keberadaan komisaris. Organ menduduki peranan yang sangat penting dan berkaitan dengan kedudukan organ dalam perseroan tersebut. Pentingnya
67
kedudukan itu dapat diuarikan pertama-tama dari pendapat mengenai kedudukan mandiri PT dan yang dimaksudkan itu adalah : Bahwa PT dalam hukum dipandang berdiri sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang berada dalam PT tersebut. Di satu pihak PT merupakan wadah yang menghimpun orangorang yang mengadakan kerja sama dalam PT, namun di lain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama dalam PT itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Karena itu konsekuensinya, keuntungan yang diperoleh, dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila terjadi suatu utang atau kerugian dianggap sebagai beban PT sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan PT. semata-mata. Manusia orang perorangan yang ada, dianggap lepas eksistensinya dari PT itu.56
Pendapat tersebut pada pokoknya dengan sangat tegas hanya memisahkan antara PT sebagai badan hukum yang memiliki kewenangan bertindak(kompetensi) dalam hukum pada satu sisi dengan manusia orang perorangan pada sisi yang lain. Patut dicermati bahwa pendapat ini tidak memisahkan antara PT dengan organorgannya terutama Direksi yang juga merupakan badan(board) itu. Hal ini dapat ditelusuri dari pandangan Robert Charles Clark yang mengemukakan directors usually must act as a board(i.e., as a group).57 Dengan demikian dapat dikemukakan pendapat tadi sebenarnya tetap memandang organ-organ sebagai bagian yang tak terpisahkan dari PT yang menaunginya. 56
Rudhi Prasetya, Op.cit., hal. 9 Robert Charles Clark, 1986, Corporate Law, Little, Brown and Company, Boston-Toronto, hal. 109 57
68
Mengikuti pandangan bahwa PT sebagai badan hukum merupakan artificial person atau persona yang diciptakan oleh hukum(created by law),58 maka PT tanpa alat perlengkapan sebenarnya tidak memiliki daya. Oleh karena itu agar dapat mewujudkan maksud dan tujuan serta kegiatan usahanya, setiap PT dipandang mutlak membutuhkan dan menciptakan di dalamnya organ yang representatif. Pemikiran tersebut didasarkan pandangan dari Otto von Gierke yang mengemukakan Teori Orgaan. von Gierke sebagaimana dikutip Chidir Ali59 menyimpulkan : badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum….Badan hukum itu menjadi suatu “verbandpersoblich keit”, yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas.
Makna yang dapat diambil dari Teori Orgaan terutama adalah bahwa sehubungan dengan perancangan pendirian suatu badan hukum haruslah bersifat komprehensif dalam pengertian dapat pula mencakup aspek organ-organ yang menjadi bagian badan hukum tersebut. Eksistensi organ-organ dalam suatu badan hukum merupakan sesuatu yang sangat signifikan. Tanpa adanya organ-organ, suatu badan hukum itu tidak akan fungsional dan operasional. Organ-organ itulah yang 58 59
Elizabeth A. Martin, 1997, Oxford Dictionary of Law, Oxford University Press, Oxford, hal. 14 Ibid
69
membuat badan hukum yang bersangkutan menjadi dinamis sehingga dengan demikian dapat dikatakan organ tersebut terutama Direksi dalam struktur korporasi merupakan wakil yang melaksanakan kehendak yang ada dalam badan hukum. Struktur korporasi pada pokoknya menekankan pada aspek struktur yang merupakan satuan kerja yang secara artifisial termuat atau tersusun dalam bagian-bagian yang dirancang untuk bekerjasama dalam korporasi itu sendiri. Satuan kerja atau bagian-bagian yang bekerja sama dalam perseroan adalah organ-organ. Dengan demikian struktur korporasi sebenarnya terdiri dari organ-organ, akan tetapi dalam kaitan ini persoalannya, organ-organ apa saja yang dapat dimasukan ke dalam struktur korporasi. Sistem common law dan civil law ternyata tidak secara seragam mengatur mengenai struktur tersebut. Cornelius dan Natalie Mulia60 yang
mengutip
Piarlie
Koh
dan
Victor
Yeo
pada
intinya
mengemukakan hukum korporasi menurut sistem common law seperti yang dianut oleh Singapura menganut single-tier management structure dimana manajemen perseroan di bawah kontrol penuh dari Direksi. Dalam hal ini ditegaskan pula, Sistem common law tersebut tidak mengenal lembaga Dewan Komisaris.
60
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1
70
Komposisi organ yang lebih rinci mengenai single-tier management structure tersebut dapat disimak dari pandangan Jesse Jack61 yang pada pokoknya mengemukakan
A typical corporation's
structure consists of three main groups: directors, officers(
Chief
Executive Officer (CEO) or President, Chief Operating Officer (COO), Chief Financial Officer (CFO) or Treasurer, Secretary), and shareholders. Kendati pun dalam komposisi ternyata juga tidak tercantum adanya Komisaris tidaklah berarti menurut single-tier management structure tidak dilakukan supervisi atau pengawasan terhadap manajemen perseroan. Dalam rangka menjaga agar perseroan tetap berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya serta menumbuhkan kepercayaan, maka pengawasan harus tetap pula dilakukan. Dalam single-tier management structure sebenarnya terdapat pengawasan yang dimaksudkan, akan tetapi kebijakan tersebut dijalankan oleh Direksi berada di tangan para pemegang saham, badan pembentuk undang-undang, para kreditur perseroan, dan pihak lainnya yang memiliki kepentingan.62 Variant atau bentuk lain dari Single-Tier Management Structure adalah the Two-Tier Management System yang berlaku dalam hukum
61
Jesse Jack, 2009, Corporate Structure : Directors to Shareholders, www.jessejacklaw.com. Hal.
1 62
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Loc.cit. hal. 1
71
korporasi pada negara-negara yang menganut sistem civil law pada umumnya. Sehubungan dengan variant tersebut DVB Bank SE63 melalui websitenya secara garis besarnya mengemukakan: the two-tier system, there are two other executive bodies prescribed in addition to the General Meeting, one of which conducts the company’s business (management body: Board of Managing Directors) and the other supervises the management (supervising body: Supervisory Board).
Alur kerja yang nantinya membedakan antara The Single-Tier Management Structure dengan The Two-Tier Management System digambarkan sebagai berikut:
63
Dvbbank, 2008, Management System, http;//www.dvbbank.com, hal. 1
72
Dengan menyimak pandangan dan struktur korporasi menurut the
two-tier management system seperti yang telah diuraikan itu dapatlah dikemukakan, bahwa dari perspektif keberadaan organ-organya sama dengan yang diterapkan di Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 47 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(UUPT), yang mengenal adanya Rapat Umum Pemegang Saham(General Meeting), Direksi(Board of Director), dan Komisaris(Supervisory Board). Selanjutnya akan diuraikan secara garis besarnya organ-organ PT beserta kompetensi masing-masing. Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) Pasal 1 angka 4 UUPT menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal tersebut menentukan pengertian RUPS itu sendiri dan apabila dibandingkan ternyata rumusan pengertiannya berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UU. No. 1 Tahun 1995 atau UUPT lama yang menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
73
Dari rumusan pada UUPT lama tampak dengan jelas undangundang menempatkan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan. Sedangkan dalam rumusan UUPT yang baru hal tersebut tidak kelihatan. UUPT tampak lebih menekankan perbedaan wewenang yang dimiliki RUPS dengan wewenang organ-organ lainnya. Namun demikian penekanan itu tidaklah mengurangi kedudukan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kedudukan ini menjadi nyata karena UUPT juga menentukan pada pokoknya kekuasaan RUPS hanya dapat dibatasi oleh undang-undang PT dan/atau anggaran dasar PT yang bersangkutan. Penelusuran terhadap UUPT pun menunjukkan kompetensi RUPS memiliki ruang lingkup yang luas. Dari hasil identifikasi terdapat sebanyak 34 pasal UUPT yang menentukan mengenai kompetensi RUPS sebagai berikut : 1.
Memberikan persetujuan terhadap perbuatan hukum calon pendiri untuk kepentingan perseroan yang belum didirikan sehingga perbuatan hukum calon pendiri tersebut mengikat perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum(Pasal 13 ayat I UUPT),
2.
Memberikan persetujuan terhadap perbuatan hukum pendiri setelah pendirian perseroan tetapi PT belum memperoleh status badan hukum(Pasal 14),
3.
Memberikan persetujuan terhadap usulan perubahan anggaran dasar perseroan(Pasal 28),
74
4.
Memberikan persetujuan atas penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak(Pasal 34 ayat 3),
5.
Menyetujui hak tagih pemegang saham atau kreditur terhadap perseroan sebagai kompensasi penyetoran saham dalam permodalan perseroan(Pasal 35),
6.
Memberikan
persetujuan
terhadap
maksud
perseroan
melakukan buy back(membeli kembali) saham yang telah dikeluarkan(Pasal 38) 7.
Menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris untuk memberikan
persetujuan
atas
maksud
melakukan
buy
back(Pasal 39), 8.
Memberikan persetujuan atas penambahan modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor(Pasal 41 ayat 1),
9.
Menyerahkan kewenangan untuk memberikan persetujuan pelaksanaan keputusan RUPS tentang penambahan modal perseroan kepada Dewan Komisaris(Pasal 42 ayat 2),
10. Menyetujui pengurangan modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor(Pasal 44 UUPT), 11. Dengan ketentuan apabila anggaran dasar mempersyaratkan, RUPS dapat memberikan persetujuan pemindahan hak atas saham(Pasal 57 ayat 1 huruf b),
75
12. Dengan ketentuan apabila dipersyaratkan anggaran dasar, RUPS dapat memberikan persetujuan atas rencana kerja tahunan yang disusun oleh Direksi(Pasal 64 ayat 2 dan 3), 13. Melakukan penolakan untuk mengesahkan laporan keuangan perseroan untuk perseroan-perseroan tertentu misalnya yang bergerak di bidang pengerahan dana masyarakat sebagaimana dimaksudkan Pasal 62 ayat 1 dan 2), 14. Memberikan persetujuan terhadap laporan tahunan perseroan dan mengesahkan perhitungan tahunan perseroan(Pasal 69 ayat 1 UUPT), 15. Menyetujui penggunaan laba bersih
termasuk penentuan
jumlah penyisihan untuk cadangan(Pasal 71 ayat 1) 16. Mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukan ke dalam cadangan khusus(Pasal 73 ayat 2), 17. Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan, pengajuan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya dan pembubaran perseroan(Pasal 89 ayat 1), 18. Menetapkan pembagian tugas dan wewenang pengurusan Perseroan di antara anggota Direksi(Pasal 92 ayat 5), 19. Mengangkat anggota Direksi(Pasal 94 ayat 1) dan anggota Dewan Komisaris(Pasal 111 ayat 1),
76
20. Memberhentikan anggota Direksi(Pasal 94 ayat 5) juncto Pasal 105 ayat 1 dan anggota Dewan Komisaris(Pasal 115 ayat 5 dan Pasal 119), 21. Menetapkan besaran gaji dan tunjangan anggota Direksi(Pasal 96 ayat 1) dan besaran gaji atau honorarium dan tunjangan anggota Dewan Komisaris(Pasal 113), 22. Menetapkan
pembatasan
atau
persyaratan
kewenangan
Direksi(Pasal 98 ayat 3), 23. Menunjuk pihak di luar anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan untuk mewakili Perseroan dalam hal terdapat seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan(Pasal 99 ayat 2 huruf c), 24. Menyetujui maksud Direksi untuk mengalihkan kekayaan atau menjadikan
jaminan
merupakan
lebih
utang dari
kekayaan
50%
dari
perseroan kekayaan
yang bersih
Perseroan(Pasal 102 ayat 1), 25. Menyetujui atau menolak rencana/maksud Direksi untuk mengajukan permohonan pailit atas Perseroan(Pasal 104 ayat 1), 26. Mencabut atau menguatkan keputusan Dewan Komisaris yang memberhentikan sementara anggota Direksi(Pasal 106 ayat 6),
77
27. Meminta laporan Dewan Komisaris tentang tugas pengawasan yang
telah dilakukan selama
tahun buku yang
baru
lampau(Pasal 116 huruf c), 28. Memberikan kewenangan kepada Dewan Komisaris untuk melakukan tindakan pengurusan Perseroan apabila Direksi tidak ada ata apabila seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan(Pasal 118 ayat 1), 29. Mengangkat Komisaris Independen(Pasal 120 ayat 2), 30. Menyetujui rancangan penggabungan yang disusun Direksi dan sebelumnya telah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris Perseroan(Pasal 123 ayat 3), 31. Menyetujui pengambilalihan (Pasal 125 ayat 4 juncto Pasal 126 ayat 2 dan Pasal 127 ayat 1) dan rancangan pengambilalihan (Pasal 128 ayat 1), 32. Menyetuji pembubaran perseroan(Pasal 142 ayat 1 huruf a), 33. Menunjuk likuidator(Pasal 142 ayat 3 juncto Pasal 145 aat 2), 34. Menyetujui
laporan
pertanggungjawaban
likuidator
atas
likuidasi Perseroan yang dilakukannya(Pasal 152 ayat 1). Selanjutnya dari 34 poin tersebut terdapat sekurang-kurangnya 7 kategori yang merupakan pokok-pokok kompetensi RUPS dalam PT sebagai berikut:64
64
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Op.cit. hal. 7.
78
1. Persetujuan RUPS atas perbuatan hukum calon pendiri pra pendirian PT yang terdiri : a. Persetujuan RUPS pertama b. Persetujuan tertulis seluruh calon pendiri 2. Persetujuan RUPS atas perbuatan hukum yang dilakukan setelah pendirian PT namun sebelum PT memperoleh status badan hukum 3. Persetujuan RUPS atas perubahan anggaran dasar PT 4. Persetujuan RUPS atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris PT 5. Persetujuan RUPS atas maksud Direksi untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan 6. Persetujuan RUPS atas penggabungan(merger), peleburan, pengambilalihan atau pemisahan 7. Persetujuan RUPS atas pembubaran dan likuidasi perseroan.
Dengan bertumpu pada uraian di atas dapatlah dikemukakan, di samping merancang dan melaksanakan tindakan-tindakan yang kompeten atas dasar inisiatif sendiri, kompetensi RUPS juga meliputi penentuan sikap atau pengambilan keputusan apakah menolak atau menerima tindakan-tindakan dari calon pendiri dan organ-organ lainnya yaitu Direksi dan Dewan Komisaris untuk kepentingan perseroan. Dalam hal RUPS menerima, terkandung pengertian RUPS memberikan persetujuan terhadap tindakan-tindakan tersebut. Secara khusus persetujuan yang diberikan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan pada periode yang disebut dengan Preincorporation Contracts, yaitu perjanjianperjanjian yang dibuat pada masa-masa dimana perseroan belum berbadan hukum. Dalam kaitannya dengan UUPT di Indonesia Preincorporation Contracts dapat meliputi : perbuatan hukum calon pendiri pra pendirian PT,
79
dan perbuatan hukum yang dilakukan setelah pendirian PT namun sebelum PT memperoleh status badan hukum. Mendirikan dan mengelola atau mengoperasikan perseroan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan dimensi waktu dan kesempatan yang seringkali memaksa calon pendiri untuk bertindak cepat tetapi cermat dalam memanfaatkan peluang yang tersedia justru pada periode Preincorporation Contracts. Sepanjang tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan perseroan yang akan berbadan hukum, didasarkan pada itikad baik dan yang terpenting tidak merugikan perseroan, maka persetujuan seperti itu sangat penting artinya dan sudah seharusnya diberikan oleh RUPS Kepentingan perseroan, itikad baik dan tidak merugikan tersebut pada pokoknya merupakan pedoman bagi RUPS untuk dapat memberikan persetujuan yang merupakan jaminan bagi calon pendiri untuk melakukan tindakan yang perlu dan dapat mempersiapkan pendirian perseroan secara masksimal. Di samping itu pihak yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan perseroan pada masa pra pendirian dan pra badan hukum adalah calon pendiri, sehingga sangat berdasar apabila RUPS memberi persetujuan.
Direksi Seperti halnya RUPS, maka pengertian mengenai Direksi juga dituangkan dalam UUPT. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan ;
80
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dari pengertian tersebut tercermin beberapa hal penting antara lain penegasan yang mendasar seperti halnya terhadap RUPS maka Direksi pun juga dinyatakan merupakan organ perseroan, Direksi memiliki tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, dan memiliki kewenangan mewakili perseroan. Direksi yang pada dasarnya merupakan badan eksekutip atau manajer perusahaan atau pelaksana kegiatan usaha agar perseroan dapat mewujudkan maksud dan tujuannya memiliki kewajiban dan tanggung jawab dengan ruang lingkup yang luas, dan dalam melaksanakan kewajibannya itu Direksi menjunjung prinsip fiduciaries duties dimana pada pokoknya Direksi memegang sesuatu kepercayaan kepengurusan untuk kepentingan perseroan,65 Sebagai manajer perusahaan, Direksi memiliki dua kewajiban pokok terhadap perseroan yaitu Duty of Care dan Duty of Loyalty. Kewajiban yang pertama menekankan standar minimal perhatian dan kebijaksanaan. Duty of care menentukan standar-standar penilaian terhadap kememadaian dari keputusan-keputusan korporasi. Kewajiban yang kedua menekankan keberpihakan terhadap perseroan bilamana Direksi sebagai pemegang
65
Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 33
81
kepercayaan(fiduciary)
perseroan
melakukan
suatu
transaksi
yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan.66 Intinya, Direksi dalam melaksanakan fungsi kepengurusannya haruslah selalu mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingankepentingan yang lainnya. Sampai sejauh mana Direksi itu telah melaksanakan fungsi-fungsinya, maka pelaksanaannya diukur dengan menggunakan duty of care,67 dan juga duty of loyalty sebagai kriteria. Fiduciary duty, duty of care dan duty of loyalty pada dasarnya dipandang sebagai doktrin-doktrin yang lebih memberatkan posisi Direksi.68 Padahal dikaji dari aspek peranannya, Direksi merupakan organ yang paling relevan melaksanakan pengurusan perseroan. Dalam kaitan ini Direksi menduduki posisi yang sangat strategis dalam perseroan. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan keseimbangan maka kepada Direksi perlu diberikan keleluasaan sehubungan dengan pengambilan keputusan-keputusan untuk pengurusan perseroan. Sehubungan dengan itu di samping doktrin-doktrin fiduciary duty, duty of care dan duty of loyalty, maka untuk menunjang pelaksanaan kewajiban-kewajibannya, terhadap Direksi diterapkan juga Doktrin Business Judgment Rule. Pada intinya doktrin ini mengajarkan bahwa suatu keputusan Direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun keputusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan.69 Pengaruh doktrin ini terhadap keluasan ruang gerak 66
Lewis D.Solomon dan Alan R. Palmiter, 1987, Op.cit. hal. 314,315. Ibid.hal. 319 68 Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 197 69 Ibid. hal. 198. 67
82
Direksi
sangat signifikan, karena kewenangan yang kuat sehingga
berdasarkan
Business
Judgment
Rule,pengadilan
pun
tidak
boleh
mencampurinya.70 Kendati pun dapat dipandang sebagai kewenangan yang kuat, pelaksanaan Doktrin Business Judgment Rule tetap harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1.
Keputusan harus sesuai dengan hukum yang berlaku,
2.
Dilakukan dengan itikad baik,
3.
Dilakukan dengan tujuan yang benar,
4.
Keputusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang benar,
5.
Dilakukan dengan hati-hati,
6. Dilakukan dengan cara yang layak diyakini sebagai yang terbaik bagi perseroan.71
Pelaksanaan kewajiban Direksi sebagai organ perseroan yang bertanggung jawab penuh terhadap pengurusan operasional perseroan secara rutin dilengkapi dengan kewenangan yang ditetapkan dalam UUPT. Hal ini pada pokoknya sejalan dengan pandangan bahwa Direksi membutuhkan kewenangan agar dapat memenuhi kewajiban-kewajiban dan melaksanakan fungsi-fungsinya.72 Kewenangan yang dimaksudkan itu adalah kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menentukan Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ketentuan ini berlaku 70
Gordon W. Brown dan Paul A. Sukys, 2001, Business Law, Glencoe McGraw-Hill, New York, hal. 655. 71 Munir Fuady, 2002, Loc.cit. 72 Geoffrey Gibson, 2003, Law For Directors, The Federation Press, Sydney, hal. 13
83
untuk setiap anggota Direksi dalam hal Direksi terdiri lebih dari 1 orang, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar(Pasal 98 ayat 2). Dengan diberikannya kewenangan mewakili terkandung pengertian bahwa Direksi perseroan bersifat representative atau yang merupakan pihak yang berada pada tempat pihak lain.73 Adanya kewenangan mewakili tersebut pada intinya menunjukkan bahwa antara perseroan dengan Direksi sebagai salah satu organnya secara yuridis menempati kedudukan yang terpisah. Kendati pun demikian dalam kaitan perlu ditegaskan sekali lagi, Direksi sebagai organ tetap merupakan bagian atau alat perlengkapan perseroan. Pemilihan Direksi mewakili Perseroan tidaklah merupakan hasil dari keputusan RUPS, melainkan ketentuan UUPT yang dapat dikemukakan dalam waktu yang bersamaan juga membebankan tanggung jawab dan kewajiban melaksanakan pengurusan berdasarkan prinsip fiduciary duty. Dengan demikian Direksi perseroan merupakan pihak atau organ yang dapat dipercaya dan layak untuk diberikan kewenangan mewakili. Dari uraian tersebut timbul persoalan berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan yang dapat diberikan kepada Direksi perseroan, dan untuk ini Pasal 98 ayat (3) UUPT menentukan bahwa Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.
73
Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 1170.
84
Dengan mengingat mewakili pada intinya juga merupakan representasi, maka salah satu dari ruang lingkup kewenangan mewakili yang dinyatakan tak terbatas itu adalah kewenangan membuat atau mengikatkan perseroan
dalam
kontrak(to
enter
into
a
contract),
dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya. Dewan Komisaris Pengertian Dewan Komisaris dapat diketahui dari Pasal 1 angka 6 UUPT yang menentukan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi. Berbeda halnya dengan negara-negara dengan sistem common law yang Hukum Perseroannya menganut single-tier management structure
dimana eksistensi Dewan Komisaris sebagai organ bersifat relatif bahkan tidak ada, maka Hukum Perseroan Indonesia seperti tertuang dalam UUPT, eksistensi Dewan Komisaris dalam Perseroan baik dari aspek organisasional maupun fungsional merupakan suatu kewajiban. Dengan adanya Dewan Komisaris sebagai salah satu organ dalam struktur organisasi Perseroan tersebut, maka dapatlah dikemukakan bahwa UUPT pada dasarnya menuruti pola organisasi yang terdapat dalam suatu tatanan yang disebut dengan the two-tier management system yang
diterapkan dalam Hukum Perseroan pada negara-negara yang menganut sistem civil law pada umumnya.
85
Dikaji dari aspek fungsionalnya dapat dikemukakan kedua sistem tersebut sebenarnya sama-sama memandang penting dewan tersebut, akan tetapi hanya the two-tier management system yang menempatkan sebagai salah satu organ perseroan dan sehubungan dengan adanya Dewan Komisaris perlu dikaji lebih jauh lagi mengenai apa maksud dan tujuan dari keberadaan organ tersebut dalam Perseroan. Dalam hal ini baik The single-tier management structure maupun the two-tier management system tidak menjelaskan persoalan itu. A.Partomuan
Pohan74
pada
pokoknya
mengemukakan
persoalan tersebut dapat dijelaskan menurut paham “het Contractuele Standpunt” yang dianut antara lain oleh Molengraaf, Starbusmaan, Van Der Hayden yang berpendapat bahwa; PT adalah persetujuan diantara para pendiri yang termasuk dalam ruang lingkup Buku III. BW dan PT adalah suatu bentuk khusus dari maatschap. Sedangkan RUPS adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam PT, wewenang organ-organ lainnya dari perseroan dianggap bersumber dari RUPS. Pengurus dianggap sebagai yang mendapat mandat dari RUPS, sedang Dewan Komisaris dianggap melakukan pengawasan atas Direksi selaku mewakili atau atas nama pemegang saham.
Dengan bertumpu pada pendapat menurut paham “het Contractuele Standpunt”
74
dapatlah ditegaskan bahwa maksud dan
A.Partomuan Pohan, 1990, Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris, Direksi Dan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum Di Sekitar Penanaman Modal, Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, hal. 30
86
tujuan atau latar belakang keberadaan Dewan Komisaris dalam Perseroan pada pokoknya adalah dalam mewakili kepentingan pemegang saham. Keberadaan Dewan Komisaris sangat bergantung pada kepentingan pemegang saham dan hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan undang-undang. Namun
demikian
pandangan
menurut
pahak
tersebut
sebenarnya hanya mengandung relevansi ketika pengaturan mengenai PT
masih
bertumpu
Dagang(KUHD)
pada
Kitab
Undang-undang
Hukum
yang memberi kedudukan yang sangat istimewa
kepada pemegang saham. Sedangkan apabila bertumpu pada UUPT, maka pandanga tersebut sudah tidak relevan lagi, karena Penjelasan atas Pasal 108 ayat (2) sudah menegaskan, pengawasan oleh Dewan Komisaris dilakukan untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Eksistensi Organ Dewan Komisaris dalam struktur organisasi Perseroan di Indonesia sebagai kewajiban dapat disimak dari Pasal 15 ayat (1) huruf “f” yang pada pokoknya menentukan, Anggaran dasar….memuat sekurang-kurangnya nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, dan Pasal 108 sampai dengan Pasal 121 UUPT mengenai tugastugas Dewan Komisaris pada umumnya. Dengan adanya kewajiban berdasarkan undang-undang tersebut maka keberadaan organ itu semakin kuat sehingga harus dilaksanakan dalam setiap pendirian Perseroan.
87
Fungsi Dewan Komisaris dapat disimak dari Pasal 1 angka 6 UUPT dimana ditentukan organ tersebut menjalan fungsi pengawasan(supervisi) baik umum maupun khusus dan fungsi memberi nasehat(advisory). Mengenai rincian terhadap fungsi pengawasan dan pemberian nasehat tersebut, UUPT tidak mengaturnya. Berbeda halnya dengan kompetensi Dewan Komisaris, dimana dalam hal ini UUPT mencantumkan pengaturan yang tegas seperti Pasal 117 ayat (1) yang menentukan, Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, dan Pasal 118 ayat (1), bahwa berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangkawaktu tertentu.
BAB III HAK PIHAK III ATAS PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT TINDAKAN DIREKSI YANG ULTRA VIRES
3.1. Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra vires
3.1.1. Pengetian Ultra Vires Istilah ultra vires sebenarnya secara etimologis berasal dari Bahasa Latin. Secara harfiah Ultra berarti sesuatu yang sangat besar dan melampaui ukuran yang semestinya, dan vires berarti tindakan. Dengan demikian ultra vires dapat diartikan sebagai tindakan yang melampaui ukuran yang telah
88
ditetapkan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa yang telah diuraikan tadi merupakan pengertian ultra vires pada umumnya. Sebagai istilah umum maka istilah tersebut tidak hanya dikenal dalam Hukum Perseroan, melainkan terdapat pula dalam berbagai bidang hukum seperti dikemukanan dalam Wikipedia, the free encyclopdia, sebagai berikut: Under constituional law, particularly in Canada and the United States, constitutions give federal and provincial or state governments various powers. To go outside those powers would be ultra vires; for example, although the court did not use the term, in striking down a federal law in United States v.Loves on the ground that it exceedded the Constitutional authority of Congress, the Supreme Court effectively declared the law to be ultra vires…. In administrative law, an act may be judicially reviewable ultra vires in a narrow or broad sense. Narrow ultra vires applies if an administrator did not have the substantive power to make a decision or it was wrought with procedural defects. Broad ultra vires applies if there is an abuse of power.75 Bertumpu pada uraian tersebut dapat dikemukakan, ultra vires ternyata dikenal baik dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata Negara kewenangan itu pada pokoknya menyangkut hubungan antara negara dengan pemerintahnya yang diatur konstitusi. Apabila 834 melampaui konstitusi maka pemerintah federal, provinsi atau negara bagian dapat dinyatakan telah melakukan ultra vires.
Sementara itu Hukum
Administrasi Negara memiliki pandangan yang lebih beragam. Bidang hukum ini mengenal ultra vires dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, ultra vires terjadi bilaman pejabat tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan atau membuat keputusan dengan prosedur yang cacat.
75
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/08/2009 9:00
89
Pengertian ultra vires yang luas berlaku apabila terdapat penyalahgunaan wewenang. Dalam Hukum Perseroan baik yang berorientasi pada sistem common law maupun yang menganut sistem civil law, wewenang atau kompetensi juga dikenal dan diterapkan. Namun demikian menemukan uraian pengertian ultra vires dalam perangkat sistem civil law termasuk dalam UUPT sangatlah sulit bahkan tidak ditentukan sama sekali. Oleh karena itu uraian mengenai pengertian ultra vires lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber yang mengacu pada sistem common law. Dari perspektif Hukum Perseroan pada pokoknya terdapat berbagai pengertian dan penjelasan yang diberikan bahwa ultra vires adalah sebagai berikut:
Ultra vires menggambarkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu korporasi dimana tindakan-tindakan tersebut bersifat melampaui ruang lingkup kewenangan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasarnya(corporation’s articles of incorporation) atau dalam suatu ketentuan anggaran rumah tangganya(in a clause in its bylaws).76
Acts beyond the scope of the powers of a corporation, as defined by its charter or laws of state of incorporation77
….what happens when a corporation acts in a way that goes beyond the powers given to it by the governing corporate statute
76 77
Ibid. hal 1. Henry Campbell Black, 1979, Op.cit.,hal. 1365
90
and articles of incorporation? This is the so called ultra vires problem,78
Munir Fuady yang mengutip Stephen H. Gifis mengemukakan terminologi “ultra vires” dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh anggaran
dasarnya
atau
oleh
peraturan
yang
melandasi
pembentukan perseroan tersebut.79
Ewan MacIntyre pada pokoknya mengemukakan, ultra vires merupakan an act which a company’s objects clause did not permit the company to do.80 Pandangan-pandangan tersebut pada dasarnya mengandung
makna, bahwa perseroan sebagai badan hukum memiliki kompetensi untuk bertindak. Berhubung karena perseroan tidak dapat melakukan tindakan sendiri maka dibutuhkan Direksi sebagai wakil perseroan yang mewujudkan tindakan-tindakan itu. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya haruslah memperoleh persetujuan atau termasuk dalam ruang lingkup tindakan-tindakan yang diatur dalam ketentuan-ketentuan mengenai tujuan perseroan(company’s objects clause). Apabila tidak sesuai atau tidak tercantum dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka terjadilah ultra vires atau tindakan yang melampaui kompetensi. 78
Robert Charles Clark., 1986, Op.cit. hal.675 Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 110 80 Ewan MacIntyre, 2007, Essential Of Business Law,Pearson Education Limited, Harlow, England, hal. 447 79
91
Istilah atau terminologi ultra vires seringkali digandengkan dengan istilah doctrine atau doktrin sehingga menjadi ultra vires doctrine dan terhadap istilah
ini juga terdapat beberapa penjelasan
sebagai berikut :
Robert W. Hamilton(1991: 52) menegaskan ….the doctrine of ultra vires pada dasarnya merupakan suatu ajaran hukum mengenai tindakan-tindakan yang melampaui ruang lingkup maksud dan tujuan atau kewenangan dari suatu badan hukum(…. beyond the scope of the purpose or powers of a corporation.81
Paul
Latimer
yang
mengetengahkan
mengenai
legal
impossibility of corporation dan old legal rule of ultra vires pada intinya juga memberikan pengertian yang sama, bahwa doktrin ultra vires merupakan suatu doktrin pengaruh yang timbul dari tindakan yang melampaui kewenangan korporasi.82; berkonotasi pada tindakan yang dilakukan oleh perusahaan.
Dalam
cousework.com83
dikemukakan….bilamana
suatu
kewenangan yang telah ditetapkan dalam suatu kewenangan umum terlampaui, maka tindakan-tindakan yang telah dilakukan dengan melampaui kewenangan itu merupakan tindakantindakan yang cacat seperti halnya ultra vires. The ultra vires
81
Robert W. Hamilton, 1991, Op.cit.hal. 52 Paul Latimer, 2009, Australian Business Law, CCH Australia Limted, Sydney, hal. 333, 667 83 www.coursework.com. 20/08/2009: 9.07 82
92
doctrine menyediakan sarana kontrol terhadap pihak-pihak yang tindakannya melampaui kewenangan.
Legal-dictionary.com.84
20/08/2009
9.00)
pada
dasarnya
memberi penjelasan….the doctrine in the law of corporations that hold if a corporation enters into a contract that is beyond the scope of its corporate powers, the contract is illegal. Pengertian yang lebih komprehensif tersedia pada Oxford Dictionary Of Law85 pada pokoknya menjelaskan bahwa istilah tersebut merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu kewenangan publik, perusahaan, atau subyek hukum lain yang melampaui batas-batas wewenang yang diberikan. Doktrin Ultra Vires relevan dengan seluruh wewenang dalam pengertian yang mencakup kekuatan, kekuasaan, dan kemampuan baik yang tercipta melalui peraturan perundangundangan maupun dokumen pribadi atau perjanjian-perjanjian. Sebagai
suatu
doktrin
hukum
yang
mengandung
pengertian
berdasarkan pemahaman hukum umum merupakan ajaran dan di dalam ajaran itu sendiri terdapat prinsip-prinsip hukum yang dapat diterima secara universal, maka terhadap ultra vires doctrine tidak perlu dipersoalkan lagi apakah doktrin tersebut berasal dari negara dengan tradisi hukum common law system ataukah dari civil law system.
Berdasarkan penelusuran tersebut pula dapatlah dikemukakan, doktrin ultra vires pada intinya merupakan ajaran tentang penyelesaian akibat 84 85
tindakan-tindakan yang melampaui kewenangan yang telah
www.legal-dictionary.com. 20/08/2009: 9.00 Elizabeth A. Martin, 1997, Op.cit. hal. 479
93
diberikan baik yang dilakukan oleh perseroan. Dasar pertimbangannya, perseroan dapat diberikan dan memiliki kewenangan atau kompetensi mengandung pengertian bahwa perseroan itu dapat pula melakukan tindakan yang melampaui kewenangan. Oleh karena itu subyek hukum tersebut dapat ditundukkan pada doktrin ultra vires, dan sesuai dengan topik bahasan, maka dalam tulisan ini uraian mengenai ultra vires secara khusus ditujukan pada tindakan-tindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan. Dengan bertumpu pada pengertiannya, Doktrin ultra vires pada pokoknya dapat diterapkan secara luas, dan dari keluasan ruang lingkup tersebut dapatlah diidentifikasi adanya tiga sifat tindakan ultra vires sebagai berikut:
a. Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif, b. Tindakan ultra vires yang bersifat tidak beraturan atau iregularitas, c. Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik ad. a. Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif Tindakan ultra vires yang bersifat eksesif mengandung pengertian bahwa tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksi merupakan aktivitas yang melampaui kewenangan atau kompetensi yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Dalam hal ini tindakan Direksi melebihi batas-batas kompetensi yang diberikan. ad. b. Tindakan ultra vires yang bersifat tidak beraturan atau
94
Tindakan ultra vires yang bersifat
iregularitas lebih menunjukkan
pelaksanaan kegiatan perseroan yang tidak teratur. Dalam hal ini perseroan pada dasarnya memiliki kompetensi untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan, akan tetapi perseroan melaksanakannya secara tidak beraturan atau tidak konsisten dan cendrung spekulatif. ad. c. Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik Kedua sifat tindakan ultra vires seperti yang telah diuraikan itu menggunakan anggaran dasar sebagai acuan, apakah melampaui atau tidak konsisten dengan anggaran dasar tersebut. Sedangkan untuk tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik, di samping anggaran dasar juga menggunakan peraturan hukum dan ketertiban umum sebagai acuan.
3.1.2. Perkembangan Doktrin Ultra Vires Dalam perkembangan Doktrin mengenai ultra vires berdasarkan perspektif hukum pada umumnya terdapat tiga aspek pokok yang perlu memperoleh perhatian, yaitu aspek-aspek yang terkait dengan persoalan, pertama, sejak kapan ultra vires dikenal dalam perseroan, kedua, bagaimana perkembangannya, dan ketiga, bagaimana pengaruhnya. Aspek pertama yang disebutkan diatas sebenarnya sangat sulit diuraikan karena tidak dijumpai adanya sumber bahan hukum yang menyebutkan secara pasti sejak kapan Hukum Perseroan
95
mengenal Doktrin ultra vires. Namun demikian tidaklah berarti aspek tersebut tidak dapat ditelusuri sama sekali. Sehubungan dengan sejarah Doktrin ultra vires terdapat pandangan pada pokoknya sebagai berikut: ….pada awal diakuinya suatu badan hukum sebagai badan dengan hak , kewajiban dan tanggung jawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah pula dengan pribadi dilandasi oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi, eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum….salah satu cara menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat kewenangan-kewenangannya….Dalam melaksanakan kewenangannya suatu perseroan tidak diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditetapkan….Dari latar belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin hukum yang disebut dengan ultra vires itu.86
Pandangan tersebut mengandung suatu makna bahwa pemberian kewenangan atau kompetensi terhadap perseroan sebagai badan hukum tidaklah bersifat tunggal dalam pengertian yang diberikan itu tidak hanya kewenangan semata-mata, melainkan pula dibarengi dengan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan itu sendiri. Dengan demikian dapatlah dikemukakan, perseroan mengenal ultra vires dan memandang perlu adanya pembatasan adalah sejak perseroan itu diberikan kewenangan-kewenangan. Jadi
86
Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 114-115.
96
antara pemberian kewenangan dan pembatasannya terjadi dalam waktu yang bersamaan. Kendati pun negara-negara Eropa seperti Prancis sudah sejak lama mengenal Doktrin ultra vires dengan konsep Specialite Statutaire, dimana suatu perusahaan dilarang untuk membuat transaksi yang tidak termasuk ke dalam ruang lingkup objek perseroan,87
maka dapat dikemukakan Inggrislah yang dicatat
pertama kali menerapkan doktrin itu dalam suatu kasus terkenal yang disebut dengan the Directors, &C., of the Ashbury Railway Carriage and Iron Company (Limited) v Hector Riche pada 1875.88 Ashbury Railway Carriage and Iron Company (Limited) merupakan sebuah PT yang bergerak dalam bidang-bidang usaha yang sangat beragam seperti membuat, menjual, meminjamkan dengan kompensasi(lend on hire) gerbong dan alat angkut kereta api, menjalankan usaha rekayasa mekanikal, membeli dan menjual hasil tambang, mineral, batubara, tanah sampai dengan usaha menjadi kontraktor umum(general contractors) seperti membangun jalan kereta api, membangun proyek fisik
pertambangan dan
membangun gedung-gedung, pada akhirnya dipandang telah melakukan ultra vires ketika Direksi Ashbury sepakat membeli konsesi untuk membangun jalan kereta api di suatu negara asing. 87
Ibid. hal. 115. Doctrine of Ultra Vires-Effec And Exceptions, http://www.csstudentonlineclub.com. 14/06/2010 10:15 88
97
Sehubungan dengan aspek kedua mengenai bagaimana perkembangan
Doktrin
ultra
vires
pada
pokoknya
lebih
memperlihatkan sikap atau perlakuan yang diberikan oleh sistem hukum dalam mengatur konsekuensi-konsekuensi yuridis atau akibat hukum dari tindakan-tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai ultra vires. Sistem hukum dalam hal ini common law dalam upayanya mengatur akibat-akibat hukum ultra vires tersebut ternyata menunjukkan sifat yang dinamis. Kedinamisan ini pada akhirnya memperlihatkan perkembangan yang signifikan mengenai cara pandang hukum dalam menyelesaikan akibat-akibat tindakan ultra vires. Doktrin ultra vires yang mengalami perkembangan atau yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires89 pada pokoknya menganggap batal demi hukum(null and void) terhadap tindakan perseroan yang ultra vires. Ada pun alasannya adalah karena perseroan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tidakan tersebut baik menurut anggaran dasar maupun menurut hukum yang berlaku. Mengingat konsekuensinya adalah batal demi hukum, maka tindakan ultra vires itu sama sekali tidak dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Dalam kondisi seperti itu, maka
89
Munir Fuady, 2002, Op. cit., hal. 125
98
Direksilah yang tetap dibebani tanggung jawab atas kerugiankerugian yang timbul. Sejalan
dengan
perubahan
zaman,
perkembangan
pemahaman dan kebutuhan akan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait serta berkepentingan dengan tindakan ultra vires, maka apa yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires itu telah banyak mengalami modifikasi. Apabila dikaji kembali Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires itu memang tampak sangat kaku dimana
dengan
dinyatakannya suatu tindakan melampaui, tidak beraturan dan bertentangan dengan anggaran dasar serta hukum yang berlaku, maka dengan segera pula tindakan itu dapat dinyatakan sebagai ultra vires,
dan sama sekali tidak memberikan kesempatan baik
kepada pemegang saham maupun terhadap Direksi untuk merevisi dan membela diri. Dalam hal ini dirasakan tidak ada keadilan bagi Direksi yang merupakan wakil perseroan itu. Adapun modifikasi atau perkembangan Doktrin Ultra Vires yang dimaksud dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut: 1.
Hak untuk Meratifikasi Terdapatnya kasus yang memungkinkan diberikannya hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan yang tergolong ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut tidak dibenarkan.
99
2.
Transaksi yang Telah Dieksekusi Terhadap transaksi yang telah dieksekusi dengan sempurna oleh kedua belah pihak tidak dapat lagi dibatalkan dengan alasan ultra vires.
3.
Transaksi yang Baru Dieksekusi Sebagian Terhadap transaksi yang baru dieksekusi sebagian, dapat diajukan keberatan berdasarkan alasan ultra vires, tetapi dibatasi oleh doktrin-doktrin yang lain, seperti doktrin Estopel, Unjust Enrichment, dan pure fairness, bagi negara-negara yang berlaku doktrin tersebut.
4.
Peranan Jaksa Di Negara-negara tertentu, Jaksa dapat memerintahkan perseroan untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra vires atau bahkan meminta agar perseroan dibubarkan.
5.
Perbuatan Melawan Hukum Perdata atau Pidana Terhadap perbuatan melawan hukum perdata atau pidana tidak dapat diajukan keberatan dengan jalan ultra vires.
6.
Tanggung Jawab Pribadi Tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggung jawab pribadi dari Direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.90
Dari uraian yang merupakan pengembangan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires menuju Doktrin Ultra Vires yang Modern itu terdapat suatu poin inti yang perlu diberikan penjelasan tambahan. Poin yang dimaksudkan adalah Hak untuk Meratifikasi.
90
Ibid. hal. 126.
100
Meratifikasi
sebenarnya
mengandung
pengertian
memberikan konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dalam hal ini oleh pihak pemberi konfirmasi sendiri(the confirmation of a previous act done …. By the party himself).91 Dengan demikian sehubungan dengan Doktrin ultra vires, maka meratifikasi berarti memberikan pengakuan terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Direksi. Meratifikasi pada pokoknya bertujuan menyatakan bahwa tindakan Direksi tersebut sah, dan dengan adanya ratifikasi ini tanggung jawab atas tindakan itu dipikul oleh perseroan. Ratifikasi tersebut diberikan oleh para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS). Dalam RUPS seperti
itu
Direksi
dapat
dihadirkan
dan
Direksi
dapat
memanfaatkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Pada proses inilah tampak perkembangan pemahaman mengenai Doktrin ultra vires tersebut telah memberikan suatu keadilan
kepada Direksi
untuk hadir dan memberi penjelasan. Dibandingkan dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires yang dengan segera dapat menyatakan bahwa tindakan Direksi adalah ultra vires apabila melampaui kewenangan yang diberikan, maka adanya hak meratifikasi menurut Doktrin Ultra Vires Modern 91
Henry Campbell Black, 1979, Op.cit. hal. 1135
101
sebenarnya pada satu sisi merupakan suatu langkah maju yang progresif dan menguntungkan Direksi, akan tetapi pada sisi lain menimbulkan persoalan yang sulit dijelaskan. Adapun
persoalan
yang
dimaksud
pada
pokoknya
menyangkut tidak ditentukannya kriteria mengenai tindakan Direksi yang bagaimana saja yang dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Apakah tindakan Direksi yang dalam kenyataannya bertentangan dengan anggaran dasar perseroan juga dapat diratifikasi. Solusi atas persoalan tersebut belum dijumpai dalam Doktrin Ultra Vires Modern. Di samping memperkenalkan hak meratifikasi, Doktrin Ultra Vires Modern juga membawa perkembangan yang cukup monumental yaitu perlindungan pihak ketiga(pihak luar perseroan) yang
bertransaksi
dengan
perseroan.92
Hal
ini
merupakan
perkembangan yang paling relevan dengan topik tulisan ini. 3.2. Urgensi Perlindungan Hukum 3.2.1. Pihak-Pihak Yang Dapat Dirugikan Akibat Tindakan Ultra Vires Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, PT merupakan a nexus of contracts yang pada pokoknya mengandung pengertian bahwa PT dalam kaitannya dengan pendirian, pelaksanaan kegiatan-kegiatan usaha dan sampai dengan berakhirnya jangka waktu berdirinya itu 92
Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 127
102
terdapat berbagai perjanjian. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang dapat diterima berdasarkan logika apabila banyak orang atau pihak yang terlibat dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Keterlibatan
dari
banyak
pihak
tersebut
sebenarnya
mencerminkan banyaknya pula pihak-pihak yang berkompeten terhadap PT dan hal ini secara tidak langsung menyiratkan pihak-pihak yang sangat berkepentingan agar supaya tindakan yang merupakan ultra vires dilarang dengan tegas. Munir Fuady93 mengemukakan, pihak yang berkepentingan tersebut yang disebut juga dengan constituensies pada pokoknya adalah sebagai berikut: a.
Pihak Pemegang Saham
b.
Pihak Kreditur
c.
Pihak Pekerja
d.
Pihak Constituencies lainnya. Ad.a. Pihak Pemegang Saham Pemegang saham sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam PT, sehingga perlu diketahui deskripsinya kendati pun secara umum, akan tetapi dalam hal ini
UUPT tidak mengatur mengenai
pengertian pemegang saham tersebut. UUPT hanya menentukan pengertian Rapat Umum Pemegang Saham sebagai Organ Perseroan. Oleh 93
Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 112
103
karena itu pengertiannya ditelusuri pada sumber bahan hukum yang lainnya. Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter 94 pada pokoknya mendefinisikan shareholders atau para pemegang saham itu merupakan investor-investor baik individual maupun institusional yang menanamkan uangnya dengan harapan memperoleh penghasilan dari investasinya. Disamping penghasilan, para pemegang saham juga memperoleh hak-hak tertentu berkaitan dengan saham yang dimilikinya. Di samping dari text book, pengertian pemegang saham juga dapat dijumpai dalam sumber bahan hukum sekunder khususnya kamus hukum95 yang mengemukakan, pemegang saham merupakan pemilik satu atau lebih stock atau saham dalam suatu perseroan sehingga pada umumnya disebut juga stockholder. Keuntungan-keuntungan menjadi pemegang saham meliputi penerimaan dividen yang ditentukan oleh Direksi, hak bersuara dalam RUPS bagi pemegang saham yang memenuhi persyaratan anggaran dasar, dapat melakukan tindakan derivatif berupa gugatan apabila perseroan tidak dijalankan dengan baik oleh Direksi, dan turut memperoleh bagian dari sisa hasil likuidasi(apabila ada). Apabila dikaji dengan menggunakan Theory of the Corporation yang
menekankan
pemisahan
secara
ketat
antara
fungsi
pendanaan(function of funding) dengan fungsi pengelolaan(function of 94 95
Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimiter, 1994, Op.cit. hal. 4 Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/05/2010 : 10.31
104
managing),96 maka dapat dikemukakan bahwa kedudukan hukum para pemegang saham adalah sebagai pengembang fungsi pendanaan kegiatan usaha perseroan. Dengan demikian sudah tersedia cukup pertimbangan untuk mengemukakan bahwa para pemegang saham itu merupakan investor atau pemilik modal perseroan yang dibuktikan dengan pemilikan saham, dan sebagai pemilik modal berarti para pemegang saham itu merupakan pemilik perseroan yang bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Semakin besar jumlah saham yang dimilikinya maka semakin besar pula tanggung jawab yang diembannya. Uraian ini sebenarnya menunjukkan tanggung jawab para pemegang saham yang besar dan berat berkaitan dengan masalah keuangan perseroan. Kendati pun demikian penelusuran selanjutnya menemukan bahwa besar dan beratnya tanggung jawab para pemegang saham ternyata tidak seimbang dengan hak diperoleh misalnya dalam hal pembagian aset perseroan, walaupun yang bersangkutan merupakan pemegang saham dengan klasifikasi didahulukan(preferen). Sehubungan dengan pembagian aset yang tersisa misalnya setelah dilakukan likuidasi, sistem common law menempatkan para pemegang saham pada urutan bawah atau yang disebut dengan
96
Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter, 1994, Op.cit. hal. 5
105
Shareholder as residual claimants97 dimana para pemegang saham harus tunduk pada hirarkhi yang dibangun oleh perseroan yang mewajibkan pemegang
saham
menunggu
setelah
claim-claim
yang
lainnya
terpenuhi(Shareholder claims come behind all others). Dalam sistem hukum perseroan Indonesia juga dijumpai konstruksi hukum yang serupa yaitu yang tertuang dalam Pasal 149 ayat(1) huruf c dan d. Ketentuan tersebut pada pokoknya menempatkan para pemegang saham pada urutan setelah kreditur perseroan. Ketidakseimbangan tersebut masih harus ditambahkan lagi dengan persoalan yang dapat timbul dari kewenangan Direksi yang dikhawatirkan dipergunakan secara tidak benar atau tidak layak atau setidak-tidaknya tidak menguntungkan bagi para stakeholder dari suatu perseroan98 termasuk didalamnya para pemegang saham. Bertumpu pada uraian tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa para pemegang saham memiliki motivasi modal yang telah diinvestasi dalam saham dapat mendatangkan hasil berupa dividen, dan maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan dapat dilaksanakan dengan baik oleh Direksi. Sehubungan dengan motivasi inilah maka para pemegang saham sangat berkepentingan agar terdapat pembatasan atau pedoman terhadap kewenangan Direksi supaya tidak menjadi ultra vires. Ad.b. Pihak Kreditur 97
Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter, 1994, Op.cit. hal. 5
98
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 71.
106
Setiap perseroan kecuali yang tidak aktif(unless dormant) dapat dipastikan keterlibatannya dalam menjalankan suatu kegiatan bisnis. Keterlibatan ini membutuhkan sejumlah uang yang seringkali tidak dapat dipenuhi
melalui
pemupukan
dana
dengan
jalan
mengeluarkan
saham(raise finance by issuing shares). Adanya kendala tersebut akhirnya menyebabkan perseroan berpaling pada sumber lain berupa uang pinjaman. Dalam hal ini membiayai kegiatan-kegiatannya dengan jalan membuat utang(enter into debt).99 Uraian ringkas tersebut diatas pada pokoknya memperlihatkan latar belakang adanya kreditur perseroan atau lender atau debtholder yang merupakan penanam modal atau investor yang meminjamkan uangnya kepada perseroan dengan perjanjian memperoleh pembayaran bunga dan utang pokok. Pinjaman kepada perseroan dapat secured bank loans, unsecured bonds, short-term notes, dan suppliers’ trade credit. Secured Bank Loans pada pokoknya merupakan pinjaman yang diberikan oleh bank dengan suatu jaminan. Penerimaan jaminan didasarkan atau disesuaikan dengan jumlah uang yang dipinjam debitur.100 Berbeda dengan Unsecured Bonds yang hanya didasarkan pada faktor kepercayaan(trust) semata-mata(based on the trust that payment will be made in the future).101 Short-term notes dipersamakan dengan short-term loans yang merupakan utang-utang dengan jangka waktu pembayaran maksimal 99
Peter Gillies, 2003, Business Law, The Federation Press, John St, Leichhardt, NSW, hal. 935, 939 100 Ricky Lim, 2009, What Are Secured Bank Loans, http://ezinearticles.com. 22/06/2010 11.10 101 Unsecured Bonds, http://www.thefreedictionary.com. 22/06/2010 11;15
107
lima tahun atau kurang. Jadi semacam utang jangka pendek.102 Sedangkan Suppliers’ trade credit adalah suatu bentuk kredit yang diberikan oleh supplier kepada para pembeli atau customernya.103 Dikaji dari bentuk kegiatannya tampaklah ada persamaan antara pemegang saham pada satu sisi dengan kreditur perseroan pada sisi lain, yaitu sama-sama memberikan uang atau modal kepada perseroan. Namun demikian dari aspek kedudukan dan tanggung jawab tampak perbedaan yang sangat tajam. Pemegang saham merupakan pemilik modal dan memperoleh saham sebagai tanda pemilikan modal, sedangkan kreditur yang merupakan sumber alternatif (pilihan lain) pembiayaan hanya meminjamkan modal yang juga sangat dibutuhkan oleh perseroan. Pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada perseroan juga sangat berkepentingan agar perseroan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang ultra vires.104 Kepentingan tersebut sangatlah beralasan karena perbuatan-perbuatan yang bersifat ultra vires akan dapat menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kreditur. Di samping perjanjian kreditnya dapat dinyatakan batal demi hukum(null and void), untuk pelunasan utang seperti itu kreditur secara tidak langsung dipaksa mengalokasikan tenaga, perhatian, waktu yang panjang dan biaya yang tidak murah. Ad.c. Pihak Pekerja 102
Short-term notes, http://www.google.co.id. 22/06/2010 11:20 Suppliers’ trade credit, http://en-mimi.hu. 22/06/2010 11.25. 104 Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 112 103
108
Sebelum menguraikan lebih jauh dan untuk mengarahkan uraian selanjutnya agar tidak menyimpang maka dipandang perlu membahas terlebih dahulu mengenai siapa yang dimaksud dengan pekerja dalam perseroan. Apabila pekerja itu bukan atau tidak termasuk dalam kualifikasi Direksi, perlu dijelaskan hubungannya dengan organ perseroan tersebut. Berdasarkan identifikasi tersebut barulah kemudian diuraikan latar belakang pekerja perseroan itu sebagai pihak yang berkepentingan dengan adanya larangan terhadap ultra vires. Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter105 pada pokoknya mengemukakan, pekerja perseroan atau employees merupakan salah satu konstituen korporasi (corporate constituents) sebagai tenaga kerja yang mendayagunakan human capitalnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha perseroan(those who supply their labor(human capital) to the business). Sementara itu mengenai human capital dipandang oleh Adam Smith106 merupakan tipe modal yang keempat setelah mesin-peralatan, bangunan dan tanah. Human Capital itu terdiri dari segala kemampuan-kecakapan(abilities) yang diperoleh dari seluruh lapisan masyarakat. Dapat pula ditambahkan bahwa Human Capital merupakan rangkaian ketrampilan yang dibutuhkan pekerja untuk menunjang pelaksanaan pekerjaannya. Ketrampilan tersebut diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman yang dapat meningkatkan nilai pekerja itu sendiri di pasaran.107
105
Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter, 1994, Op.cit. hal. 4 Human Capital, http://en.wikipedia.org. hal. 1 23/06/2010 11:20 107 Human Capital, http://www.investorwords.com. 23/06/2010 11:14 106
109
Uraian tersebut diatas mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan pekerja dalam perseroan itu sebenarnya adalah pegawai(karyawan atau karyawati) yang direkrut(diangkat atau dijadikan sebagai demikian) oleh Direksi dari warga masyarakat. Ketrampilan yang dimiliki pekerja didayagunakan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan usaha perseroan. Dengan demikian kedudukan pekerja tidaklah dapat disejajarkan dengan Direksi. Sebagai Organ perseroan, nama dan identitas Direksi dicantumkan dalam Akta Pendirian-anggaran dasar dan perubahannya, sedangkan identitas pekerja dapat dicantumkan pada panel susunan personalia pelaksana kegiatan perseroan. Pencantumannya pada Akta Pendirian bersifat otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang, sedangkan pencantumannya pada panel dapat dikemukakan tidak didasarkan pada suatu kewajiban hukum. Mengenai hubungannya dengan Direksi, pekerja perseroan harus patuh kepada Direksi yang merupakan manajer korporasi(subject to the direction of the corporate managers).108 Oleh karena pekerja perseroan itu diangkat oleh Direksi, maka pekerja tersebut bertanggung jawab kepada Direksi. Tugas pokok pekerja pada dasarnya adalah mengimplementasikan fungsi-fungsi Direksi. Dengan demikian konsekuensi tindakan Direksi yang ultra vires dapat pula menimpa pekerja. Oleh karena itu dan mengingat eksistensi pekerja perseroan bergantung pada Direksi maka merupakan suatu kewajaran apabila pekerja berkepentingan pula dalam kaitannya dengan ultra vires.
Ad.d. Pihak Constituencies lainnya 108
Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter, 1994, Loc.cit. hal. 4
110
Pihak-pihak yang merupakan konstituen yang sebenarnya dapat memiliki hubungan hukum atau menjalin kontra-kontrak dengan perseroan pada pokoknya terdiri dari customers,suppliers,dan tort creditors. Berikut ini akan diuraikan secara garis besarnya pengertian dari masing-masing konstituen perseroan tersebut. Customers atau pelanggan dan dalam hubungan hukum perbankan adalah nasabah pada dasarnya merupakan orang, perusahaan atau entitas lain yang membeli atau mempergunakan barang dan jasa-jasa yang dihasilkan oleh orang, perusahaan atau entitas lain(A person, company, or other entity which buys goods and services produced by another person, company, or other entity),109 sedangkan suppliers atau pemasok merupakan pihak yang menyediakan produk-produk barang dan jasa. Tort creditors merupakan suatu konsep yang dipergunakan untuk menggambarkan kedudukan customers dan warga masyarakat terhadap siapa perseroan menjadi pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan usaha perseroan(customers and members of the public to whom the corporation becomes obligated because of losses caused by its business activities).110 Dapat dikemukakan, konsep Tort Creditors mengandung dua aspek yaitu kedudukan pelanggan pada satu sisi dan 109 110
Customer, http://www.investorwords.com. 23/06/2010 20:15 Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter, 1994, Loc.cit. hal. 4
111
kedudukan warga masyarakat umumnya(members of the public) pada sisi lain yang biasanya berkaitan dengan dampak kegiatan usaha terhadap lingkungan . Sejalan dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pelestarian lingkungan, sistem common law sudah sejak lama memberikan akomodasi terhadap kepentingan tersebut. Sementara itu di Indonesia baru memperoleh perhatian sejak 2007 bersamaan dengan diundangkannya UUPT yang baru. Perhatian terhadap pelestarian lingkungan dapat dilihat dalam Pasal 74 mengenai kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Customer dan supplier merupakan pihak-pihak yang harus dan selalu ada dalam hubunganya dengan kegiatan-kegiatan usaha perseroan. Bagi perseroan yang bergerak dalam kegiatan usaha industri misalnya, pemasok berfungsi sebagai penyedia bahan untuk diolah, sedangkan pelanggan merupakan pangsa pasar dimana output dari industri didistribusikan. Dengan demikian dapatlah dibayangkan seandainya pemasok dan pelanggan tidak ada dimana hal ini berarti perseroan kehilangan sumber(pemasok) dan tujuan(pelanggan). Dengan berdasarkan pada maksud agar kegiatan usaha perseroan tetap berjalan dan berkembang, maka kontrak-kontrak baik dengan pemasok maupun pelanggan harus tetap terjalin. Oleh karena itu pada satu sisi pihak perseroan berkewajiban memperhatikan kelangsungan eksistensi mereka, dan pada sisi lain pemasok dan pelanggan berkepentingan agar perseroan
112
tidak melakukan tindakan ultra vires yang konsenkuensinya dapat mengancam kelangsungan hubungan hukum mereka dengan perseroan. Dengan mempertimbangkan relevansinya dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini, maka perlu dilakukan identifikasi mengenai konstituen mana yang merupakan pihak ketiga secara komersial. Dengan mempergunakan pemahaman mengenai organ perseroan dan aspek manajemennya sebagai kriteria, maka dapatlah diidentifikasi bahwa yang merupakan pihak ketiga adalah kreditur, supplier dan customer. Pihakpihak ini dapat mengalami kerugian-kerugian akibat tindakan Direksi perseroan yang ultra vires, akan tetapi UUPT tidak secara jelas mengatur
3
mengenai perlindungan hukumnya. Berdasarkan uraian tersebut, hubungan-hubungan hukum dan terjadinya tindakan ultra vires dalam bentuk bagan sebagai berikut : 7
R U P S 4
KOMISARIS
1 PERSEROAN TERBATAS(PT)
3
2
DIREKSI
PIHAK KETIGA
5 INTRA VIRES
6
ULTRA VIRES Bagan tersebut dapat dijelaskan sesuai urutan nomornya sebagai berikut :
113
1.
Perseroan Terbatas (PT) didirikan dengan Akta Pendrian dan Anggaran Dasar berdasarkan UU. No. 40 Tahun 2007
2.
Direksi merupakan organ perseroan yang mewakili perseroan
3.
Pihak Ketiga dapat terdiri dari kreditur, supplier dan customer mengadakan transaksi dengan perseroan melalui atau yang diwakili Direksi
4.
Komisaris merupakan organ perseroan yang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap tindakan-tindakan Direksi
5.
Apabila transaksi antara Pihak Ketiga dengan Perseroan melalui Direksi sesuai dengan anggaran dasar, maka perseroanlah yang bertanggungjawab dan hal ini disebut dengan intra vires
6.
Apabila transaksi antara Pihak Ketiga dengan Perseroan melalui Direksi tidak sesuai dengan atau melampaui kompetensi menurut anggaran dasar, maka perseroan tidak bertanggungjawab dan hal ini disebut dengan Ultra vires.
7.
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan organ perseroan yang dapat memutuskan mengakui tindakan direksi yg ultra vires(ratifikasi), menolak yang berarti membebankan tanggung jawab secara pribadi pada Direksi, atau menyatakan ultra vires akan tetapi mengingat tindakan itu dilakukan untuk kepentingan PT serta untuk menjaga hubungan baik dengan
114
Pihak Ketiga, maka RUPS memutuskan agar perseroanlah yang mengganti kerugian(substitution). 1.2.2. Dampak Tindakan Ultra Vires Terhadap Perjanjian Antara
Perseroan Dan Pihak Ketiga Mengenai dampak atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh Doktrin Ultra Vires terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perseroan pada dasarnya sudah disinggung dalam uraian mengenai pengertian ultra vires itu sendiri, dimana dikemukakan bahwa perjanjian yang demikian adalah tidak sah(illegal). Dari uraian tersebut sebenarnya sudah tampak dengan jelas, dimana Doktrin Ultra Vires memang memiliki pengaruh terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat perseroan dengan pihak ketiga. Beberapa kepustakaan pada pokoknya mengemukakan, perjanjian ultra vires yang dinyatakan tidak sah itu adalah null and void(batal demi hukum) dan voidable(dapat dimohonkan pembatalan).
Namun
yang
menjadi
persoalan,
bagaimana
uraiannya sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan demikian atau sebaliknya. Terdapat penanganan terhadap beberapa kasus yang dapat menjelaskan mengenai dampak doktrin tersebut baik yang terjadi pada negara-negara dengan sistem common law maupun di Indonesia seperti yang tercermin dalam Kasus PT Dhaeseng/PT Interland melawan PT Usaha Sandang.
115
Dalam kasus Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd v Riche(1875) LR 7 HL 653 yang terjadi di Inggris dijumpai fakta berupa tindakan-tindakan sebagai berikut: The company was incorporated ‘to make and sell, or lend on hire, railway carriage and wagons, and all kinds of railway plant, fittings, machinery, and rolling stock; to carry on the business of mechanical engineers and general contractors; to purchase and sell any such materials on commission, or as agents’. Under the articles of association, ‘an extension of the company’s business beyond or for other than the objects or purposes expressed or implied in the memorandum of association shall take place only in pursuance of a special resolution’. The company entered into a agreement with Riche to privide finance for the construction of a railway in Belgium, but later repudiated the agreement.111 Companies
Acts di negara tersebut pada pokoknya
menentukan suatu perusahaan yang telah berbadan hukum hanya diberikan kompetensi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang dinyatakan secara tegas maupun yang termasuk dinyatakan demikian dalam anggaran dasarnya. Suatu transaksi yang ultra vires dinyatakan batal(void) dan tidak dapat diratifikasi dengan keputusan RUPS yang didasarkan suara bulat sekali pun(the unanimous agreement of the shareholder). Berdasarkan klarifikasi fakta tindakan dimana The Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd juga melaksanakan kegiatan pembangunan jalan kereta api di Belgia dengan biaya dari Riche
yang berarti tidak sesuai,
menyimpang dan melampaui kompetensi menurut anggaran
111
Andrew Hicks dan S.H. Goo, 2001. Op.cit. hal. 168.
116
dasarnya, maka The House of Lords yang menangani kasus tersebut menyatakan perjanjian atau transaksi antara Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd dengan Riche merupakan ultra vires dan tidak dapat diratifikasi. Keputusan tersebut dapat dikemukakan sebagai suatu produk hukum yang sukses dalam menyatakan tindakan suatu perseroan merupakan ultra vires. Berbeda halnya dengan keputusan atas Kasus Bell Houses Ltd. Versus City Wall Properties Ltd (1966) 2 QB 656. Dalam kasus tersebut, the Court of Appeal mengakui adanya subjective objects clause112 sebagai berikut: The objects of the plaintiff company were to cary on business as general, civil and engineering contractors and in particular to construct houses. By clause 3(c) the company was empowered to carry on any other trade or business whatsoever which can, in the opinion of the board of directors, be advantageously carried on by the company in connection with or ancillary to any of the above businesses or the general business of the company. Subjective objects clause pada pokoknya dapat diuraikan sebagai suatu ketentuan dalam anggaran dasar perseroan yang dapat diinterpretasikan secara fleksibel, terlebih-lebih apabila hasil penafsiran tersebut memberikan keuntungan kepada perseroan, maka kegiatan-kegiatan lain kendatipun tidak tercantum dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dapat dipandang sebagai kompetensi perseroan untuk melaksanakannya. Subjective objects 112
Ibid.
117
clause tersebut terdapat dalam clause 3(c). Berdasarkan adanya klausul itu maka The Court of Appeal kemudian memutuskan bahwa tindakan-tindakan melaksanakan kegiatan-kegiatan di luar ruang lingkup
business as general, civil and engineering
contractors and in particular to construct houses itu bukanlah ultra vires. Tindakan-tindakan yang didasarkan pada clause 3(c) adalah intra vires. Elizabeth A. Martin113 pada intinya mengemukakan, intra vires merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu badan(baik publik maupun perusahaan), tindakan mana masih termasuk dalam batas-batas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau ditetapkan dalam suatu dokumen seperti anggaran dasar perseroan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan, intra vires sebenarnya merupakan kebalikan dari ultra vires, dan dari putusan The Court of Appeal dapat disaksikan tentang pengakuan terhadap
kekuatan
mengikat
dari
suatu
memorandum
of
association(anggaran dasar) perseroan. Kedua kasus yang telah diuraikan itu menghasilkan putusan yang saling bertolak belakang. Uraian mengenai kasus selanjutnya memperlihatkan kesulitan-kesulitan menyatakan suatu
113
Elizabeth A. Martin, 1997, Op.cit. hal. 245.
118
tindakan merupakan ultra vires atau intra vires sehingga harus menempuh prosedur yang membutuhkan waktu relatif lama. Dalam Kasus PT Dhaeseng/PT Interland Kontra PT Usaha Sandang terdapat fakta dimana pada pokoknya Presiden Direktur membuat Surat Pernyataan Hutang kepada PT Usaha Sandang untuk dan atas nama PT Dhaeseng/PT Interland(badan hukum) tanpa persetujuan Komisaris, sesuai dengan ketentuan di dalam anggaran dasar.114 Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Direktur atau Direksi tersebut sebenarnya sudah memenuhi unsur-unsur adanya tindakan melampaui kompetensi atau ultra vires, karena dalam praktek sudah merupakan suatu kelaziman menuangkan ke dalam anggaran dasar ketentuan mengenai kewajiban Direksi untuk memperoleh persetujuan Komisaris apabila hendak mengikatkan perseroan dalam perjanjian hutang-piutang. Ternyata Direksi tidak menempuh prosedur tersebut sehingga tindakannya itu dapat dikualifikasi sebagai ultra vires. Pengadilan Negeri yang menangani kasus tersebut pada intinya memutuskan memang benar bahwa hutang tersebut merupakan tanggung jawab pribadi Presiden Direktur PT Dhasaeng, dengan hanya menyebutkan, oleh karena tindakan 114
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, hal. 41 sebagaimana dikutip dari Varia Peradilan Tahun XIV Nomor 160 Januari 1999.
119
membuat Surat Pernyataan Hutang itu tanpa persetujuan komisaris, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab pribadi Presiden Direktur tersebut. Putusan itu sama sekali tidak menyebut doktrin ultra vires.115 Terlepas dari penerimaan secara substansial, hal ini dapat disebabkan karena istilah ultra vires belum begitu populer di Indonesia. Pada
tingkat
banding,
Pengadilan
Tinggi
bahkan
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri dengan alasan sebagai berikut: • Surat perjanjian pengakuan pembayaran hutang bahan tekstil tidak dapat digolongkan mengikat perseroan sebagai penjamin(Pasal 11 ayat (2) Anggaran Dasar PT Dhasaeng), • Surat perjanjian di atas, merupakan pembelian bahan tekstil, yang termasuk dalam “bidang usaha” perseroan, sehingga tergugat(Presiden Direktur) dianggap tetap berwenang dan sah melakukan perbuatan tersebut(tanpa persetujuan komisaris). Baru di tingkat kasasi(Mahkamah Agung), diterapkan doktrin ultra vires.116 Berbagai kasus tersebut di atas pada dasarnya sudah memperlihatkan dampak atau pengaruh tindakan yang ultra vires terhadap perjanjian antara perseroan dengan pihak ketiga. Ada pun dampak yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
115 116
Ibid. Hal. 47 Ibid.
120
1. Oleh
karena tindakan ultra vires merupakan tindakan
melampaui kompetensi dan bersifat tidak sah sehingga batal demi hukum, maka perjanjian-perjanjian yang merupakan hasil perwujudan nyata dari tindakan ultra vires juga bersifat tidak sah. 2. Oleh
karena
perjanjian-perjanjian
yang
pada
awalnya
dimaksudkan sebagai ikatan antara perseroan dan pihak ketiga dinyatakan tidak sah, dimana hal ini menimbulkan dampak berupa beralihnya tanggung jawab Direksi secara pribadi. Dari setiap dampak tindakan ultra vires tersebut pada dasarnya dapat menimbulkan kerugian pada pihak ketiga, baik yang menyangkut pelaksanaan perjanjiannya sendiri maupun kelangsungan eksistensi. Oleh karena itu sangat berdasar apabila pihak ketiga membutuhkan perlindungan hukum. 3.3. Prinsip Dasar Perlindungan Hukum 3.3.1. Pengaturan Ultra Vires Dalam Hukum Perseroan Dan Dasar Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang dirugikan akibat perjanjian yang dibuat karena tindakan ultra vires, maka terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin tersebut dalam sistem hukum Indonesia. Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam hukum perseroan.
121
Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Ultra Vires itu berasal dari sistem Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun demikian secara bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan di berbagai negara seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika Serikat, Australia, dll. Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini sudah memperbarui sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan Doktrin Ultra Vires yang berasal dari sistem common law itu, maka terlebih dahulu haruslah diketahui apakah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(UUPT) mengatur dalam pengertian menerima doktrin tersebut. Berdasarkan
penelusuran
terhadap
Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai ultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima
Doktrin Ultra Vires, semata-mata
122
karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas. Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan ini dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan. Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul DoktrinDoktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih mendasarkan pendapatnya pada Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di Indonesia dengan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan
doktrin yang berlaku universal. Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Ultra Vires ini. 2. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun
1995 mengisyaratkan berlakunya Doktrin Ultra Vires, yang antara lain menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang penting. Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius.117 Kendati pun masih mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 yang sudah diganti dengan Undang-undang 117
Munir Fuady, 2002, Op.cit. Hal. 147.
123
Nomor 40 Tahun 2007, pendapat tersebut pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan dapat diterima. Hal ini disebabkan
karena
kedua
undang-undang
itu
sama-sama
memandang bahwa mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek yang sangat penting sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan perseroan yang harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang dan
dituangkan
dalam anggaran
dasar secara tegas pula. Secara ringkas dapat dikemukakan, secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam UUPT terdapat sekitar 3(tiga) kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut: 1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, 2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara
tegas maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya,
124
3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Di samping beberapa pengertian mengenai ultra vires yang telah mengisyaratkan keterkaitan antara tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya dengan anggaran dasar(memorandum of association), terdapat pula pandangan, bahwa bilamana suatu perusahaan telah berbadan hukum, perusahaan itu membutuhkan suatu konstitusi(memorandum of association) yang secara mendasar mencatat maksud-maksud untuk mana perusahaan itu didirikan, dan yang mengatur pendistribusian wewenang dalam perusahaan dan yang persoalanpersoalan prosedur internal.118 Dari pengertian dan pandangan tersebut dapat diketahui fungsi-fungsi anggaran dasar. Di samping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat kedudukan, jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam hubungan ini anggaran dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk mengukur terjadi atau tidaknya tindakan ultra vires. Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima 118
Andrew Hicks dan S.H. Goo., 2001, Op.cit. hal. 165.
125
Doktrin Ultra Vires, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk menerapkan doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan. Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama adalah untuk melindungi investor atau para pemegang saham.119 Sehubungan dengan adanya tindakan ultra vires yang berdampak merugikan pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula perlindungan hukum terhadap pihak ketiga. Kendati pun perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang bersifat ultra vires itu batal(null and void) dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi kelangsungan usaha perseroan. Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:
119
a.
Asas Itikad Baik
b.
Asas Pacta Sun Servanda
Chatamrrasjid Ais, Op.cit. hal. 40
126
c.
Doktrin Ultra Vires Modern.
Ad.1. Asas Itikad Baik Agar perjanjian-perjanjian yang dibuat perseroan dengan pihak mana pun dapat dilaksanakan dengan baik dan berkesinambungan dibutuhkan
adanya
kondisi
saling
mempercayai.
Untuk
menumbuhkan kondisi ini maka kedua belah pihak harus menunjukan itikad baik. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, itikad baik itu merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa menggangu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain.120 Dengan demikian berarti, perjanjian yang dilandasi itikad adalah perjanjian yang dilandasi kejujuran dan keseimbangan dalam memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Asas Itikad baik pada dasarnya juga mengandung unsur keadilan yaitu keadilan perbaikan(remedial justice). Konsepsi keadilan ini dimaksudkan untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Keadilan ini merupakan pula suatu titik tengah di antara kutub keuntungan(gain) dan kerugian(loss). Konsepsi inilah yang 120
Setia DTH, 2008, Loc.cit.
127
kemudian menjadi pengertian keadilan sebagai perbaikan terhadap kesalahan dengan memberikan ganti rugi kepada korban kesalahan atau hukuman kepada pelakunya.121 Dengan
bertumpu
pada
uraian
tersebut
dapat
dikemukakan Asas Itikad Baik relevan sekali dengan perlindungan terhadap pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires. Dalam hubungan ini, pihak ketiga dapat
dipandang
sebagai
korban
yang
harus
diberikan
perlindungan hukum. Keberadaan asas tersebut menjadi semakin relevan dengan adanya ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kalimat terakhir yang menentukan, persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan Pasal 1341paragraf kedua, bahwa hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, diperlindungi. Jadi asas ini memang dapat melindungi pihak ketiga. Ad.2. Asas Pacta Sun Servanda Sebagaimana pula telah diuraikan, asas Pacta Sun Servanda mengandung pengertian, perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian.122 Keharusan tersebut diperkuat oleh Pasal 121 122
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Penerbit Super, Yogyakarta, 1979, hal. 23. Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Loc.cit.
128
1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa sepanjang perjanjian
itu
tidak
bertentangan
dengan
undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati. Asas dan ketentuan tersebut harus dikaitkan dengan pandangan bahwa Pasal 1338 dan peraturan-peraturan dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah pada umumnya hanya merupakan “hukum pelengkap(aanvullend recht), bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.123 Dengan demikian dan ditambahkan dengan kewajiban melaksanakan berdasarkan itikad baik, kendati pun suatu perjanjian dinyatakan tidak sesuai dengan undang-undang dan ultra vires, maka tidaklah dengan serta merta dapat mengabaikan asas Pacta Sun Servanda. Pelaksanaan asas ini harus tetap dikaitkan dengan asas Itikad Baik, sehingga pihak ketiga tetap memperoleh perlindungan hukum minimal sebatas menyangkut hak-hak pokoknya, seperti pemberian kompensasi atas modal dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Ad.3. Doktrin Ultra Vires Modern Salah satu perkembangan dari doktrin ultra vires yang cukup monumental
adalah
perlindungan
pihak
ketiga(pihak
luar
perseroan) yang bertransaksi dengan pihak perseroan, bahkan 123
R. Subekti, 1977, Op.cit. hal. 106.
129
tindakan yang tergolong ultra vires tetap dianggap sah untuk kepentingan
pihak
lawan
transaksi(pihak
ketiga)
asalkan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Pihak ketiga tersebut beritikad baik
2.
Pihak ketiga tidak menyadari adanya unsur ultra
vires tersebut.124 Perkembangan tersebut pada dasarnya bertolak belakang dengan substansi doktrin ultra vires yang bersifat tradisional, dimana suatu tindakan ultra vires berakibat batas demi hukum(null and void) .
Berdasarkan perkembangan yang bersifat sangat
progresif itu, perlindungan hukum terhadap pihak ketiga menjadi semakin kokoh.
3.3.2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Istilah perlindungan hukum atau rechtsbescherming(Belanda) atau legal
protection(Inggris)
untuk
kepentingan
uraian
ini
dipergunakan sebagai suatu konsep untuk menggambarkan hal-hal yang dapat dan patut diberikan oleh hukum agar tidak sampai timbul kerugian pada satu sisi, serta hal-hal yang dapat dan wajib dilakukan untuk menanggulangi kerugian yang timbul.
124
Munir Fuady, 2002, Op.cit. hal. 127.
130
Batasan tersebut pada dasarnya merujuk pada jenis-jenis perlindungan hukum yaitu: perlindungan hukum preventif
dan
perlindungan hukum represif. Dikaji dari aspek tujuannya, perlindungan hukum preventif bertujuan mencegah terjadinya akibat hukum yang merugikan dan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menanggulangi atau menyediakan sarana-sarana hukum dalam melakukan penanggulangan terhadap akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu peristiwa atau hubungan hukum. Dalam kaitannya dengan ultra vires, perlindungan hukum preventif dalam pengertian upaya-upaya menghindarkan atau mencegah agar perjanjian-perjanjian yang ultra vires tidak terwujud dan pihak ketiga tidak terjerumus membuat perjanjian seperti itu(enter into contract) serta mengalami kerugian pada pokoknya terdiri dari: a.
Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar
b.
Meningkatkan client awareness.
Ad.a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar Dalam hubungan ini perlu dikemukakan kembali bahwa anggaran dasar memegang peranan yang sangat penting. Bagi perseroan eksistensi anggaran dasar merupakan konstitusi dimana ketentuan-
131
ketentuan terutama yang berkenaan dengan pendirian dan beberapa aspek dalam pengoperasian perseroan dituangkan. Hal tersebut dapat disimak dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUPT yang pada pokoknya menentukan anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya: a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan; b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. Jangka waktu berdirinya Perseroan; d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f.
Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris. i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
Sebagai
landasan
konstitusional
perseroan,
maka
anggaran dasar tersebut dapat dikatakan merupakan norma dasar dan menjadi pedoman dalam perseroan. Dengan demikian sudah semestinya tindakan Direksi yang mewakili perseroan harus mematuhi dan sesuai dengan anggaran dasar. Tindakan ultra vires perseroan melalui Direksi itu terjadi karena ketidaksesuaian
132
tindakan tersebut dengan anggaran dasar.
Jadi Direksi harus
bersikap konsisten terhadap ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar terutama yang mengatur mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Disamping melindungi investor dalam perseroan yaitu pemegang saham sendiri, ketentuan tersebut juga mengandung tujuan melindungi khalayak ramai baik yang berkedudukan sebagai kreditur maupun konstituen lain bagi perseroan seperti pemasok dan pelanggan. Direksi tidak boleh seperti terbujuk dan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan atau transaksi-transaksi seperti memberikan derma atau pemberian lain, menjadi penjamin atau memberikan jaminan atas utang perusahaan lain baik dalam satu kelompok(grup perusahaan) maupun yang tidak terafiliasi sama sekali, padahal perseroan tidak memiliki kapasitas untuk mengikatkan diri dalam perjanjian seperti itu karena tidak tercantum dalam ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Dalam hukum perseroan dengan sistem common law, perjanjian
atau
transaksi-transaksi
seperti
disebut
dengan
Gratuitous Transactions yang pada pokoknya merupakan tindakan atau transaksi-transaksi yang tidak berdasar.
Dalam kaitan ini
Andrew Hicks dan S.H. Goo mengemukakan, perseroan tidak memiliki kompetensi mengadakan hubungan hukum dalam
133
perjanjian seperti itu dan seluruh transaksi yang tidak berdasar itu bersifat ultra vires. (company did not have the capacity to enter into wholly gratuitous transactions which were thus ultra vires).125 Ditambahkan pula, untuk mengukur apakah suatu perseroan melakukan gratuitous transactions atau tidak, terdapat beberapa tes yang relevan. Tes-tes tersebut pada pokoknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah transaksi tersebut dilakukan secara insidental ? 2. Apakah transaksi tersebut dapat dipercaya(bonafide) ? 3. Apakah
transaksi
tersebut
menguntungkan
dan
dapat
memajukan kesejahteraan perseroan.126 Tes tersebut pada dasarnya dapat bersifat subyektif karena dapat pula mendorong Direksi untuk berspekulasi dan melakukan interprestasi sendiri terhadap anggaran dasar, sehingga akurasinya dalam menentukan apakah suatu transaksi merupakan Gratuitous Transactionsi atau sebaliknya dapat mengundang keragu-raguan. Suatu spekulasi pada dasarnya merupakan perbuatan yang bersifat untung-untungan dan apabila dilakukan secara berlebuhan dapat mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Sementara itu menurut The Nexus of Contract Theory, perseroan termasuk anggaran 125 126
Andrew Hicks dan S.H. Goo, 2001, Op.cit. hal. 184. Ibid.
134
dasarnya sebenarnya merupakan akumulasi perjanjian. Melakukan interpertasi terhadap perjanjian(anggaran dasar) yang sudah jelas tidaklah diperkenankan oleh KUH Perdata. Oleh karena itu pencegahan terhadap tindakan ultra vires dan kerugian pada pihak ketiga masih lebih efektif apabila dilakukan dengan mempergunakan secara langsung ketentuanketentuan dalam anggaran dasar sebagai ukuran yang dicocokan dengan perilaku nyata Direksi. Dengan demikian dalam rangka perlindungan hukum preventif terhadap pihak ketiga maka terhadap Direksi tetap dituntut bersikap konsisten atau taat asas terhadap anggaran dasar . Ad.b. Meningkatkan client awareness Client awareness pada dasarnya merupakan salah satu sikap yang direkomendasikan oleh Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer sehubungan dengan perancangan kontrak yang efektif.127 Penulis itu sendiri tidak memberikan definisi mengenai istilah tersebut. Namun demikian istilah tersebut dapat diuraikan dapat diuraikan secara kata demi kata. Istilah client pada umumnya dipergunakan untuk menyebut antara lain orang yang dibela oleh pengacara dan orang-orang yang dilayani oleh notaris. Akan tetapi secara gramatikal berarti langganan 127
Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer, 2002, Drafting Efective Contract, A Practitioner’s Guide, Aspen Law & Business, New York, hal. 1-3
135
atau nasabah. Oleh karena itu pihak ketiga baik kreditur maupun pemasok dan pelanggan yang berhubungan dengan perseroan dapat pula disebut client perseroan. Sementara itu awareness berarti sadar atau mengetahui. Dengan demikian client awareness mengandung makna, bahwa
pihak ketiga dalam menjalin hubungan kontraktual
dengan perseroan harus menyadari dan mengetahui kondisi perseroan, apakah perseroan memiliki kompetensi membuat perjanjian yang dimaksud dengan pihak ketiga. Untuk menunjang pelaksanaan client awareness tersebut pihak ketiga berhak memperoleh informasi mengenai kompetensi perseroan sesuai anggaran dasar dan
Direksi wajib memberikan
informasi tersebut. Di Indonesia hal ini menjadi sangat relevan sehubungan dengan adanya kewajiban untuk mengumumkan anggaran dasar perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia(BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia(TBNRI) dengan tujuan agar khalayak mengetahuinya. Dengan demikian terlihat dengan jelas client awareness yang menekankan perlunya kesadaran dan kewajiban pihak ketiga untuk mengetahui kompetensi perseroan itu pada dasarnya bertujuan mencegah terjadinya tindakan ultra vires
dan kerugian pada pihak
ketiga, karena apabila pihak ketiga mengetahui atau menyadarinya sudah tentu pihak ketiga dapat mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires. .
136
Perlindungan
hukum represif dalam pengertian
upaya
menanggulangi atau menyelesaikan akibat-akibat dari tindakan ultra vires terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian adalah dengan memulihkan atau mengembalikan kondisi pihak ketiga pada keadaan semula. Dalam kaitan itu sistem hukum harus membuka kesempatan kepada pihak ketiga untuk memperoleh kondisi-kondisinya kembali baik secara litigasi atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun non litigasi seperti arbitrase dan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif. Sementara itu perseroan apabila terbukti ultra vires berkewajiban memberikan remedy berupa kompensasi.
BAB IV UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK III DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PERSEROAN 4.1. Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan 4.1.1. Kerugian Pihak III Akibat Tindakan Ultra Vires Kata kunci dari sub uraian ini adalah berkisar pada kerugian yang dialami oleh pihak ketiga. Oleh karena itu untuk memperjelas maknanya maka perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian kerugian itu sendiri. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
137
pengertian bahwa kerugian atau damage pada pokoknya sebagai berikut: a.
Kerusakan atau cidera pada harta kekayaan atau orang
yang mengakibatkan pelemahan terhadap kemanfaatan
atas
kekayaan atau orang tersebut.128 b.
Kehilangan atau kerusakan yang terjadi karena cidera
atau kecacatan pada orang, harta kekayaan atau nama baik(repurtation).129 c.
Cidera atau kerusakan pada orang, harta kekayaan atau
nama
baik;
suatu
kehilangan
yang
mengurangi
nilai;
kekurangsempurnaan; luka-luka.130 d.
Kerugian atau damage pada dasarnya merupakan suatu
kehilangan(loss) atau pengurangan(diminution) dari apa yang dimiliki orang yang terjadi karena kesalahan orang lain.131 Suatu kehilangan atau kekurangan yang disebabkan 131 oleh seseorang terhadap orang lain atau terhadap harta e.
kekayaannya,
baik
dengan
maksud
mencederai,
karena
kelalaian, dan kekuranghati-hatian, maupun karena kejadian yang tidak dapat dielakkan(inevitable accident).132 128
Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/06/2010 8:29 Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/06/2010 8:35 130 Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/06/2010 8:38 131 Hanry Campbell Black, 1979, Op.cit. hal. 351. 132 Damage, http://www.lectlaw.com. 30/06/2010 8:45. 129
138
Pengertian-pengertian
tersebut
dapat
dikelompokan
menjadi dua bagian yaitu pengertian yang bersifat umum yang diuraikan pada huruf a, b, c, dan pengertian menurut hukum seperti diuraikan pada huruf d serta e. Kedua pengertian tersebut pada dasarnya mengandung suatu persamaan dan perbedaan atau penekanan-penekanan tersendiri. Dikaji dari aspek persamaannya, baik pengertian umum maupun yang secara hukum, keduanya sama-sama memandang bahwa kerugian merupakan suatu kehilangan atau pengurangan yang dapat menimpa sesuatu dari diri pribadi atau harta kekayaan baik sudah ada maupun yang diharapkan akan ada dikemudian hari. Inilah yang merupakan inti persamaan dari seluruh pengertian kerugian. Pengertian-pengertian tersebut rata-rata menguraikan bahwa sasaran kerugian atau obyek yang dapat dirugikan itu berkisar pada harta kekayaan berupa benda, dan bentuk-bentuk seperti luka, cidera atau cacat pada orang. Namun demikian pengertian yang diuraikan pada huruf
b dan c, secara khusus mengemukakan dimana nama
baik(reputation) juga dapat dirugikan. Kehilangan atau pengurangan yang menyangkut harta kekayaan atau hak-hak kebendaan dan cidera atau cacat fisik itu pada pokoknya memperkenalkan istilah kerugian materiil atau fisik. Sementara itu kerugian yang berkaitan dengan nama
139
baik atau reputasi seseorang akhirnya menimbulkan istilah kerugian immateriil. Bentuk penekanan lain tercermin pula dari pengertiann yang diuraikan pada huruf d bahwa kerugian-kerugian disebabkan oleh kesalahan(fault) yang dilakukan oleh orang lain. Sebaliknya pengertian pada huruf e menguraikan, bahwa di samping orang lain sebagai penyebab, suatu kerugian juga dapat terjadi karena inevitable accident(kejadian yang tak dapat dielakan). Kejadian ini pada dasarnya merupakan salah satu contoh dari act of God(bencana alam). Penekanan tersebut perlu dipahami karena berkaitan dengan persoalan siapakah yang bertanggungjawab atas kerugian yang timbul itu, dan terhadap siapakah tuntutan itu dialamatkan serta apakah dari setiap kerugian tersebut melahirkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian. Sehubungan
dengan
persoalan
siapakah
yang
bertanggungjawab atas kerugian yang timbul itu, terdapat suatu pandangan sebagai berikut: Siapa pun yang menyebabkan kerugian berkewajiban untuk memperbaikinya(is bound to repair it), dan apabila itu dilakukan dengan maksud jahat(maliciously) maka pelakunya dapat ditekankan(compelled) untuk memberi ganti rugi yang melebihi kerugian yang nyata. Apabila kerugian terjadi karena kecelakaan tanpa adanya kesalahan terhadap seseorang, maka kerugian itu ditanggung sendiri. ... Bilamana kerugian disebabkan karena bencana alam(act of God) atau kejadian yang tak dapat dielakan seperti kerusuhan, prahara, badai,
140
banjir, gempa bumi dan sebab-sebab alami lainnya, kerugian ditanggung oleh pemilik benda itu sendiri(the loss must be borne by the owner).133
Pandangan tersebut pada pokoknya mengandung makna bahwa setiap kerugian harus dapat dipertanggungjawabkan sepanjang pelakunya adalah subyek hukum. Pelakunya harus dapat dijangkau oleh hukum sehingga hukum dapat diterapkan untuk menanggulangi kerugian yang ditimbulkannya. Sehubungan dengan persoalan terhadap siapakah tuntutan ganti kerugian itu dialamatkan dapatlah diuraikan, bahwa tegasnya suatu tuntutan hanya dapat diajukan terhadap subyek hukum, yaitu orang dan atau badan hukum. Hal ini didasarkan pada alasan karena subyek hukum itu tunduk pada hukum, memiliki dan dapat melaksanakan hak serta kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Dalam hal beracara di pengadilan misalnya selalu disyaratkan agar identitas baik penggugat maupun tergugat haruslah jelas dan dapat dibuktikan adanya. Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut penggugat/eiser/plaintiff, yakni orang atau badan hukum yang memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum dan oleh karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan langsung atau melekat 133
Ibid.
141
dari si penggugat….134 Kepentingan tersebut lahir karena timbul kerugian pada penggugat yang perlu segera dipulihkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar lagi. Jadi dalam hal ini terlihat hubungan langsung antara kerugian dan timbulnya kepentingan untuk menggugat. Sementara itu tergugat/gedagde/dependant yaitu: orang atau badan hukum yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan hak. Tergugat dapat terdiri dari seseorang atau beberapa orang atau satu badan hukum atau beberapa badan hukum atau gabungan orang perorangan dengan badan hukum. Oleh karenanya harus hati-hati dalam menyusun gugatan terhadap tergugat karena bisa terjadi tergugatnya tidak tepat. Untuk itu dipresentasikan tabel sebagai berikut135:
No 134
TERGUGAT
GUGATAN DITUJUKAN
DASAR
Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bakti, hal. 2. 135 Ibid. hal. 4-5
142
KEPADA
HUKUM
1
Orang Perorangan
2
Badan Hukum Publik Badan Hukum Publik itu di Pasal 6 (negara/pemerintah) wakili Pemimpinnya. No. 3 RV
3
Badan Hukum Keperda- Badan Hukum itu diwakili petaan(PT, Yayasan, Kope- ngurusnya, bila telah dibubar rasi) kan kepada salah seorang likuidatornya.
4
Firma
Seluruh pesero atau salah se- Pasal 6 orang pesero No. 5 RV
5
CV
CV itu pengurus
6
BUMN :
Pemerintah RI cq Departemen UU. No. yang membawahi BUMN cq. 19 Tahun BUMN itu, diwakili 2003 Pemimpinnya.
7
Orang Perorangan itu
a.
Persero
b.
Perum
BUMD (Badan Milik Daerah)
diwakili
pesero
Usaha Pemerintah RI cq Departemen yang membawahinya, cq. Pemda yang membawahinya, cq. BUMD itu, diwakili Pemimpinnya.
Dari uraian dan tabel tersebut tampak dengan jelas bahwa suatu gugatan atau tuntutan hak harus ditujukan kepada sosok yang jelas yaitu subyek hukum. Karena subyek hukum yang memenuhi syarat memiliki kemampuan dan kompetensi melaksanakan hukum, misalnya dalam hal pengadilan memutuskan subyek hukum yang digugat itu diwajibkan membayar ganti kerugian. Kewajiban ini hanya dapat dilaksanakan oleh subyek hukum yang memiliki harta kekayaan yang nyata.
143
Sehubungan dengan persoalan apakah dari setiap kerugian tersebut melahirkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian, haruslah terlebih dahulu dikaji, pertama, dari perspektif hak, dan kedua, dari bentuk-bentuk kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum. Kajian
yang
pertama
pada pokoknya
memperlihatkan
terdapatnya dua macam hak, yaitu hak absolut dan hak relatif sebagai berikut: Hak absolut memberi wewenang bagi pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat, yang pada dasarnya dapat melaksanakannya terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak. Kalau ada hak absolut pada seseorang maka ada kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati dan tidak menggangunya. Pada hak absolut pihak ketiga berkepentingan untuk mengetahui eksistensinya sehingga memerlukan publisitas.
Hak relatif adalah hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu. Jadi hanya berlaku bagi orang-orang tertentu: kreditur tertentu, debitur tertentu. ….Hak relatif ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak terlibat dalam perikatan tertentu. Jadi hanya berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian. Hak relatif ini berhadapan dengan kewajiban seseorang tertentu…. Antara kedua pihak terjadi hubungan hukum yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan yang lain wajib memenuhi prestasi.136
Bertumpu pada pandangan dari kajian yang pertama tersebut dapatlah dikemukakan bahwa kerugian yang timbul pada pihak ketiga 136
45.
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum(Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal.
144
yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires pada pokoknya dapat melahirkan hak relatif. Penyebutan dengan istilah “pihak ketiga” tidaklah dimaksudkan pihak tersebut tidak terlibat dalam perjanjian. Penyebutan pihak ketiga dalam hubungannya dengan ultra vires mengacu pada kreditur dan konstituen-konsituen korporasi lainnya seperti pemasok dan pelanggan. Oleh karena itu pihak ketiga tersebut merupakan para pihak dalam perjanjian. Dengan demikian apabila terjadi kerugian, pihak ketiga memiliki hak relatif, yaitu menuntut ganti kerugian pada perseroan. Kajian yang kedua bertumpu pada pandangan Elizabeth A. Martin yang pada pokoknya mengemukakan bahwa tidak semua bentuk kerugian melahirkan suatu hak untuk bertindak(not all forms of damage give rise to a right of action).137 Bentuk-bentuk kerugian yang dimaksud dapat diketahui dari kasus-kasus ultra vires. Berikut ini secara berturut akan diuraikan secara garis besarnya kasus-kasus tersebut dan selanjutnya akan diidentifikasi bentuk-bentuk kerugian dari masing-masing pihak ketiganya. Dari beberapa kasus ultra vires yang terjadi baik di negaranegara dengan sistem common law maupun di Indonesia pada pokoknya dapat ditelusuri bentuk-bentuk kerugiannya sebagai berikut: a.
Pihak ketiga sudah mengalokasikan sumber berupa dana,
tenaga dan pikiran untuk persiapan, perancangan dan pelaksanaan 137
Elizabeth A. Martin, 1997, Op.cit. hal. 124.
145
tetapi perjanjian tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dan sudah diakhiri di luar kesepakatan kedua belah pihak, bahkan pada akhirnya dinyatakan tidak sah serta batal demi hukum. b.
Harapan pihak ketiga memperoleh keuntungan tidak menjadi
kenyataan. Keuntungan yang diharapkan tersebut pada dasarnya merupakan suatu kerugian bagi pihak ketiga dalam bentuk harta kekayaan yang akan ada di kemudian hari, tetapi harta yang secara akuntansi sudah termasuk hak pihak ketiga itu tidak sempat diwujudkan. Kedua bentuk kerugian seperti yang telah diuraikan tersebut dapat pada dasarnya dapat dijumpai baik dalam kasus Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd v Riche(1875) LR 7 HL 653 yang terjadi di Inggris maupun Kasus PT Dhaeseng/PT Interland Kontra PT Usaha Sandang yang terjadi di Indonesia. Riche merupakan konstituen Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd yang menjadi partner bisnis dalam kegiatan membangun jalan kereta api di Belgia, sedangkan
PT Usaha Sandang adalah
kreditor dari PT Dhaeseng/PT Interland. Dengan demikian perjanjianperjanjian yang bersangkutan, keduanya merupakan pihak ketiga. Gugatan-gugatan yang mempergunakan Doktrin ultra vires sebagai dasar pada pokoknya memiliki tujuan, pertama, untuk menyatakan perjanjian tidak sah dan batal(null and void) dan kedua,
146
untuk menegaskan maksud agar perjanjian tidak dilanjutkan sehingga dengan demikian kerugian yang lain dapat dicegah. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa Doktrin ultra vires sebenarnya lebih menekankan pada aspek pelanggaran kompetensi dan ketidaksahan serta kebatalannya. Doktrin ultra vires sama sekali tidak mengingkari dan meniadakan kerugian yang
timbul
sebagai
akibat dibatalkannya
dan
dihentikannya
perjanjian. Dalam hubungan ini Doktrin ultra vires bahkan menyediakan suatu solusi dalam menanggulangi kerugian yang timbul dengan mengalihkan tanggung jawab dari perseroan kepada Direksi secara pribadi. Mengenai solusi ini lebih jauh akan diuraikan pada bahasan berikutnya. Jadi intinya, kerugian yang timbul akibat perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang ultra vires dapat melahirkan hak untuk mengajukan gugatan ganti kerugian sebagai upaya memperoleh remedy atau repair atau pemulihan. 4.1.2. Jenis-Jenis Pertanggungjawaban Pembahasan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam perseroan menjadi semakin menarik, karena pertanggungjawaban tersebut dijadikan sebagai salah satu pertimbangan mengapa kalangan pengusaha lebih memilih mendirikan PT untuk menjadi badan hukum bagi perusahaannya.
147
Pengutamaan perseroan dalam pilihan tersebut tercermin pula dari pandangan, bahwa ada beberapa faktor atau alasan mengapa seorang pengusaha memilih Perseroan Terbatas untuk menjalankan usaha dibandingkan dengan bentuk perusahaan lain seperti Persekutuan Perdata, Koperasi, Firma, CV, yaitu....semata-mata untuk mengambil manfaat karakteristik pertanggungjawaban terbatas.138 Bagi para pengusaha atau calon pendiri perseroan yang kemudian akan menjadi pemegang saham, apa yang dikemukakan oleh pandangan tersebut memang menampakkan kebenaran, dan tidak dapat dipungkiri bahwa aspek pertanggungjawaban yang terbatas itu turut pula membuat perseroan menjadi semakin populer serta pilihan yang utama. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pertanggungjawaban terbatas yang pada dasarnya merupakan suatu instrumen yang khas perseroan terbatas itu tidak semata-mata dimanfaatkan kemudahannya apalagi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang tercela dalam dunia bisnis. Dalam rangka menuju kinerja perseroan yang efektif dan efisien, Pemegang Saham, Direksi, Komisaris dan konstituenkonstituen
perseroan
lainnya
harus
memahami
tidak
hanya
pertanggungjawaban terbatas, tetapi juga komponen-komponen lain dari sistem pertanggungjawaban perseroan pada umumnya.
138
Binoto Nadapdap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Jala Permata Aksara, Jakarta, hal. 2.
148
Secara garis besarnya sistem pertanggungjawaban dalam perseroan terdiri dari : a.
Tanggung Jawab Pemegang Saham
b.
Tanggung Jawab Komisaris
c.
Tanggung Jawab Direksi
d.
Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Ad.a. Tanggung Jawab Pemegang Saham Sehubungan dengan uraian mengenai tanggung jawab pemegang saham terlebih dahulu hendaknya dipisahkan antara Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) yang merupakan salah satu organ perseroan. Sementara itu Pemegang saham pada dasarnya merupakan pribadi atau orang dan atau badan hukum yang memiliki saham-saham suatu perseroan. Dengan demikian Pemegang Saham bukanlah organ perseroan. Berbeda hal nya dengan RUPS, Pemegang Saham tidak memiliki kewenangan, melainkan kewajiban pokok yaitu melakukan penyetoran atas modal saham yang diambilnya, dan suatu tanggung jawab. Adapun tanggung jawab yang dimaksud adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UUPT. Tanggung jawab tersebut meliputi tanggung jawab terbatas dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab terbatas mengandung pengertian, dimana Pemegang saham Perseroan
149
tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya(Pasal 3 ayat 1). Tanggung jawab pribadi mengandung pengertian, Pemegang saham Perseroan tidak dibatasi lagi tanggung jawabnya dalam hal persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi, yang bersangkutan dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi, yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan, dan yang bersangkuatn secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan(Pasal 3 ayat 2). Tanggung jawab pribadi Pemegang Saham yang antara lain seperti tertuang dalam ketentuan tersebut pada intinya merupakan suatu asas atau prinsip dalam pengertian mengecualikan berlakunya asas tanggung jawab terbatas Pemegang Saham.. Asas tanggung jawab pribadi bersifat
menerobos keberadaan
prinsip yang selaman ini
membentengi dan menjadi kebanggaan bagi pemegang saham. Oleh karena sifatnya yang menerobos atau menguak suatu hambatan, maka kinerja asas tanggung jawab pribadi tersebut disebut pula dengan Piercing The Corporate Veil Principle. Berdasarkan Piercing The Corporate Veil Principle, tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat menjadi hapus apabila terbukti
150
telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, ssehingag eolah-olah perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.139 Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa dengan Piercing The Corporate Veil Principle, pemegang saham tidak dapat lagi bersembunyi di balik tirai sistem tanggung jawab terbatas. Ad.b. Tanggung Jawab Komisaris UUPT pada dasarnya menentukan tanggung jawab Komisaris secara limitatif dan ketentuan-ketentuannya dapat dijumpai dalam Pasal 114 dan Pasal 115. Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui, bahwa ruang lingkup tanggung jawab Komisaris itu meliputi dua hal, pertama, Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan menyangkut kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada Direksi(Pasal 114 ayat 1 yang merujuk Pasal 108 ayat 1), dan kedua, dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut
139
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas(UU. No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya Bakti Bandung, Hal. 19
151
bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi(Pasal 115). Dalam hal Komisaris melaksanakan tanggung jawab yang kedua, berarti Komisaris tunduk pada Sistem Majelis. Sistem Majelis ini dimaksudkan bahwa seseorang tidak dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal mewakili satu kelompok. Melainkan haruslah selalu bertindak secara bersama-sama.140 Sistem Majelis adalah sesuai dengan Pasal 108 ayat (3) dan (4) yang pada pokoknya menentukan Dewan Komisaris terdiri atas 1(satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1(satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. UUPT menetapkan organ Komisaris tersebut sebagai dewan atau board, dan apabila anggotanya lebih dari satu, maka dewan itu sudah merupakan suatu majelis(assembly). Oleh karena karakteristik kinerja suatu assembly bertumpu pada kebersamaan dari setiap anggota, maka Dewan Komisaris sebagai majelis harus bertindak dan bertanggung jawab secara bersama-sama. Tanggung jawab inilah yang dalam UUPT dikukuhkan dengan konsep Tanggung Jawab Renteng. Ad.c. Tanggung Jawab Direksi 140
Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 74.(selanjutnya disebut Munir Fuady II)
152
Seperti halnya Dewan Komisaris, tanggung jawab Direksi pun juga diatur secara limitatif. Pengatuan mengenai tanggung jawab Direksi dapat dijumpai dalam Pasal 97 ayat (1) ayat (3), dan ayat (4). Ketentuan-ketentuan tersebut pada pokoknya menentukan, Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan (Pasal 97 ayat (1) yang merujuk Pasal 92 ayat 1). Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila
yang
bersangkutan
bersalah
atau
lalai
menjalankan
tugasnya(Pasal 97 ayat 3). Dalam hal Direksi terdiri atas 2(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku tanggung jawab renteng bagi setiap anggota Direksi(Pasal 97 ayat 4). Tidak seperti Dewan Komisaris yang dapat merupakan majelis, keberadaan Direksi menurut UUPT tidak dirancang sebagai majelis, akan tetapi personalia atau anggotanya dapat terdiri lebih dari 1(satu) orang. Oleh karena itu dari aspek pertanggungjawaban, pada satu sisi Direksi menganut Sistem Individual Representatif, dan pada sisi lainnya tunduk pada Sistem Kolegial. Sistem Individual Representatif memperkenalkan semacam otoritas dengan mana seseorang dapat bertindak sendiri untuk mewakili satu kelompok.141 Implementasi sistem tersebut dapat 141
Ibid.
153
dijumpai dalam Pasal 98 ayat (2) yang pada pokoknya menentukan, dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1(satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dewan Komisaris melaksanakan tugas sesuai karakteristik majelis, sedangkan Direksi menunaikan tugas-tugas yang dibebankan berdasarkan model yang bersifat kolegial.142 Sistem kolegial tersebut pada intinya juga dapat diterapkan terhadap Direksi yang melakukan perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut(Pasal 14 ayat 1). Ad.d. Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan pada dasarnya merupakan suatu istilah yang bersifat spesifik karena untuk pertama kalinya di Indonesia dituangkan dalam hukum positif, yaitu Pasal 74 UU. No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam empat ayat. Namun demikian undang-undang tersebut sama sekali tidak menentukan atau mengatur pengertiannya. Pada kepustakaan yang didasarkan pada sistem common law yang dijumpai adalah istilah Corporate Social Responsibility(CSR), bukan 142
Ibid. hal. 76.
154
Corporate Social Responsibility and Environment. Akan tetapi terhadap istilah Corporate Social Responsibility(CSR) pun juga tidak dijumpai adanya uraian mengenai pengertianya. Namun demikian di antara kepustakaan yang ditelusuri terdapat pandangan bahwa ….. berdasarkan judul “corporate social responsibility” or “corporate governance”….mengandung pengertian membahas peranan korporasi bisnis yang berkaitan dengan tujuan-tujuan yang secara tradisional dipandang sebagai tanggung jawab dari unit-unit pemerintahan.143 Dari uraian yang sangat lugas itu dapatlah ditangkap suatu gambaran umum(conception), bahwa CSR pada dasarnya merupakan suatu terma berkenaan dengan peranan, tujuan dan tindakan(kebijakan) perusahaan yang lebih pantas dilakukan untuk masyarakat. Dalam terma ini terdapat dua hal pokok; peranan bisnis perusahaan yang dikaitkan dengan sasaran-sasaran yang secara tradisional menjadi tanggung jawab unit-unit pemerintahan. Oleh karena itu tanggung jawab sosial perusahaan(corporate social responsibility) seringkali juga disebut dengan corporate governance. Dalam
perspektif
CSR,
perusahaan
dibayangkan
seperti
unit
pemerintahan, seperti jawatan, dinas bahkan departemen atau instansi pemerintahan lainnya yang memiliki kewajiban secara yuridis
untuk
mengalokasikan sumber-sumber(tenaga, pikiran dan materi) dalam rangka pelaksanaan
kebijakan
public(public
policy)
yang
secara
konvensional
seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian dapat pula dibayangkan bahwa pada satu sisi dengan CSR, pelaksana proyek-proyek kebijakan publik menjadi bertambah dengan keikutsertaan pihak perusahaan, dan 143
Robert Charles Clark, 1986, Op.cit. hal. 676.
155
pada sisi lain terbayang pula tentang betapa berat, rumit, dan mahalnya CSR itu,terlebih-lebih untuk kondisi Indonesia dengan jumlah penduduknya yang dua ratusan juta jiwa dan lokasinya yang tersebar di ribuan pulau. Keragaman ini harus ditambahkan lagi dengan aneka kebiasaan dan kebudayaan masing-masing. Berkenaan dengan sisi berat tersebut, berselang hampir setahun setelah diundangkan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) sudah mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Pasal 74 UU. No. 40 Tahun 2007 ke Mahkamah Konstitusi seperti dimuat dalam Harian Kompas, 29-11-2008 halaman 19. Kepada media yang mengutip dijelaskan, pengaturan CSR pada Pasal 74 dan juga Penjelasannya menimbulkan ketidakpastian hukum, diskriminatif, dan membuat iklim usaha tidak efisien dan tidak adil. Ketidakpastian hukum itu timbul karena tercipta kontradiksi. Di satu sisi CSR merupakan tanggung jawab sukarela, tetapi di sisi lain CSR bersifat mandatori dan memaksa perusahaan. Berbeda dengan bentuk-bentuk tanggung jawab yang lainnya dimana Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan Direksi masing-masing telah ditentukan tanggung jawabnya, maka secara ringkas dapat dikemukakan, Tanggung jawab sosial Dan Lingkungan pada dasarnya merupakan tanggung jawab perseroan(Pasal 74 ayat 1) yang pelaksanaan ditangani oleh Direksi karena berkaitan dengan kegiatan usaha perseroan.
4.1.3. Pertanggungjawaban Dalam Hubungannya Dengan Pihak III Uraian mengenai sistem pertanggungjawaban perseroan yang telah ditentukan secara limitatif dan telah pula disesuaikan dengan organ-
156
organ perseroan tersebut pada akhirnya menimbulkan persoalan
siapakah yang bertanggung jawab dalam hal pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires. Pemegang saham yang tanggung jawabnya juga dapat meliputi antara lain perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas
nama
Perseroan
oleh
anggota
Direksi
sebelum
pengangkatannya batal(Pasal 95 ayat 3), pada dasarnya dapat diminta
memberikan
pertanggungjawaban
secara
pribadi
sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan ultra vires itu dilakukan untuk memenuhi tujuan pribadi pemegang saham. Demikian pula halnya dengan Dewan Komisaris dan Direksi. Di antara stakeholder perseroan yang telah disebutkan itu, Direksilah yang menjadi sasaran yang paling relevan untuk diminta pertanggungjawaban dalam hal pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa oleh undangundang Direksi sudah ditetapkan sebagai wakil perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian Direksilah yang berhadapan langsung dengan pihak ketiga. Prinsipnya, mengingat pihak ketiga yang beritikad baik dan tidak menyadari adanya unsur ultra vires itu harus
157
memperoleh perlindungan hukum, maka secara logika haruslah ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabanya, dalam pengertian harus terdapat solusi atau upaya-upaya baik yang bertujuan mencegah(prevensi) maupun yang bersifat remedial atau memulihkan(remedy). 4.2. Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak III 4.2.1. Bentuk-Bentuk Upaya Remedial Henry Campbell Black mengemukakan, Remedy
pada pokoknya
merupakan, the means by which a rights is enforced or the violation of a right is prevented, redresses, or compensated…. The rights given to a party may exercise upon a default by the other contracting party, or upon the commission of a wrong (a tort) by another party.144 Bertumpu pada pengertian tersebut, remedy sebenarnya merupakan suatu fasilitas atau sarana dengan mana suatu hak dapat dilaksanakan, atau suatu pelanggaran hak dapat dicegah, dan dipulihkan atau diberikan kompensasi terhadap kerugian-kerugian yang ditimbulkan. Fasilitas yang diberikan itu dapat dilaksanakan terhadap kesalahan pihak lawan dalam perjanjian. Istilah Remedy pada dasarnya merupakan kata benda(noun) yang sudah umum dipergunakan dalam uraian-uraian mengenai ultra vires sebagai konsep atau istilah untuk upaya-upaya yang bertujuan 144
Henry Campbell Black, 1979, Op.cit. Hal. 1163.
158
memperbaiki(Repair) dan atau memulihkan(remedial) kerugiankerugian yang dialami oleh pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires. Dari uraian mengenai pengertian remedy tercermin dua tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Oleh karena itu uraian selanjutnya mengenai bentuk-bentuk upaya remedial sudah tentu akan disesuaikan dengan aspek-aspek tersebut, yaitu : a.
Ratifikasi,
b.
Ganti Rugi.
Ad.a. Ratifikasi Berdasarkan pengertian yang umum, ratifikasi merupakan suatu langkah memberi konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya baik oleh pihak pihak pemberi konfirmasi maupun yang lainnya(in a broad sense, the confirmation of a previous act done either by the party himself or by another),145 sehingga dengan demikian dapat pula dikemukakan, adanya ratifikasi tersebut sebenarnya menunjukkan adanya suatu penerimaan atau pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian yang sebelumnya telah dibuat tanpa mengindahkan atau tidak sesuai dengan ruang lingkup wewenang yang ada.
145
Henry Campbell Black, Op.cit., hal. 1135.
159
Dalam hubungan ini dapat dikemukakan contoh, PT A menurut maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tercantum dalam anggaran dasar ditetapkan untuk hanya menjalankan kegiatan usaha bidang jasa konstruksi. Suatu ketika PT A juga menjadi pemasok bahan bangunan. Pelaksanaan kegiatan usaha yang kedua ini pada dasarnya sudah tidak sesuai lagi dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha atau wewenang yang telah diberikan oleh anggaran dasar. Dengan demikian berarti PT A telah melampaui kompetensinya, dan karena itu sebenarnya sudah dapat dinyatakan ultra vires. Perjanjian-perjanjian pemasokan bahan bangunan yang telah dibuat dengan pihak ketiga dapat dinyatakan tidak sah dan batal(null and void). Akan tetapi perseroan tidak melakukan itu justru memberikan persetujuan atas tindakan Direksinya. Persetujuan seperti inilah yang disebut dengan Ratifikasi. Dalam perseroan pada umumnya Ratifikasi diberikan melalui RUPS atau merupakan hasil atau keputusan RUPS. Dengan melaksanakan prosedur ratifikasi seperti itu, maka segala tindakan dan kontrak yang diratifikasi menjadi sah bahwa itu menjadi tanggung jawab perseroan. Ratifikasi tidak dapat diberikan semata-mata karena tindakan atau kontrak yang telah dilakukan menguntungkan perseroan, melainkan harus sesuai dengan kriteria tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Ratifikasi dalam perseroan pada dasarnya selalu berkaitan dengan tindakan bersegi satu atau tindakan sepihak yang dilakukan oleh Direksi, misalnya memberikan sumbangan secara insidental dan tindakan bersegi dua berupa perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan pihak ketiga. Oleh karena itu
160
dapatlah diterima apabila pemberian ratifikasinya didasarkan pada penilaian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan sebagai kriteria pokok. Hal ini sesuai dengan The Nexus of Contract Theory yang pada intinya memandang perseroan sebagai akumulasi dari perjanjianperjanjian. Sementara itu perjanjian-perjanjian tunduk pada asas yang paling mendasar, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kriteria tersebut. Kriteria tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan merupakan saringan awal atau pendahuluan dalam pengertian pada saat menilai suatu perjanjian, kriteria inilah yang bekerja lebih awal memandang bahwa perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan adalah batasl demi hukum, sebelum perjanjian tersebut dinyatakan sebagai tindakan ultra vires yang juga mengakibatkan perjanjian tadi tidak sah dan batal(null and void). Di samping itu dalam meratifikasi suatu tindakan Direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar diperlukan beberapa pertimbangan penting yang menyangkut itikad baik, loyalitas dan profesionalisme dari Direksi. Dengan demikian dapat dikemukakan, sehubungan dengan meratifikasi tindakan Direksi, Doktrin Business Judgment Rule yang pada intinya mengajarkan bahwa suatu keputusan Direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun keputusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan itu, dikesampingkan dulu untuk sementara.
161
Dengan perkataan lain, penilaian dalam rangka ratifikasi tindakan Direksi masih didasarkan kembali pada ukuran-ukuran apakah dalam melaksanakan tindakan tersebut sudah dilandasi prinsip fiduciaries duties dimana Direksi memegang kepercayaan dalam bertindak untuk kepentingan perseroan. Di samping itu komitmen Direksi dalam melaksanakan Duty of Loyalty yang mempersyaratkan keberpihakan terhadap perseroan bilamana Direksi sebagai pemegang kepercayaan(fiduciary) perseroan melakukan suatu transaksi yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Kewajiban-kewajiban tersebut pada dasarnya memang menuntut adanya tanggung jawab dan kesetiaan yang tinggi dari Direksi terhadap kepentingan perseroannya. Namun demikian tidaklah dapat diterima apabila dengan alasan mengutamakan kepentingan perseroan semata-mata, Direksi kemudian melakukan tindakan-tindakan yang pada akhirnya dapat dinyatakan sebagai tindakan ultra vires.Oleh karena itu untuk menjaga obyektivitas penilaian, maka dalam hal meratifikasi, RUPS tetap melengkapi penilaiannya dengan memasukkan unsur-unsur kepatuhan terhadap hukum, itikad baik, kebenaran dasar, motivasi, dan kelayakan cara bertindak sebagai kriteria.
Bagi perseroan, melakukan ratifikasi terhadap tindakan ultra vires sebenarnya dapat menimbulkan persoalan berkaitan dengan rumusan ketentuan mengenai maksud, tujuan kegiatan usaha perseroan yang sudah tercantum dalam anggaran dasar. Agar dapat memberikan pedoman dan mencegah Direksi mengulangi tindakannya yang ultra vires di kemudian hari, keputusan RUPS mengenai ratifikasi tersebut harus diikuti dengan perubahan anggaran dasar. Apabila tindakan yang
162
akhirnya dinyatakan ultra vires itu hendak diakui atau diterima sebagai tindakan yang intra vires melalui ratifikasi,
maka tindakan
sebelumnya yang tidak tercantum itu haruslah dimasukan dan menjadi bagian ketentuan maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasar perubahan. Di Indonesia, mengubah anggaran dasar baik secara umum maupun khusus yang meliputi maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan tersedia dasar hukum yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPT. Dalam proses perubahan ini anggaran dasar perseroan diperiksa dan dinilai kembali oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh pengesahan. Mengubah atau meratifikasi tindakan yang sebelumnya merupakan tindakan yang inkompeten menjadi tindakan yang kompeten dalam perseroan harus dilakukan melalui prosedur yang sah. Kendati pun relatif membutuhkan waktu, prosedur itulah yang harus ditempuh dalam hal mengubah tindakan ultra vires menjadi intra vires atau tindakan-tindakan Direksi yang sesuai dengan kompetensi perseroan yang pada dasarnya juga banyak memberi manfaat terutama bagi konstituen perseroan. Di samping menimbulkan dampak positif terhadap keberlanjutan perjanjian, karena dengan dilakukannya ratifikasi terkandung pengertian bahwa perjanjian yang sebelum tidak sah dan batal(null and void) akibat tindakan ultra vires kemudian menjadi perjanjian yang dapat dilaksanakan(an
163
unenforceable contract ….can become enforceable contract),146 beberapa konstituen perseroan seperti Direksi dan pihak ketiga yang menjadi contracting party juga dapat memetik manfaat dari ratifikasi tersebut. Dilakukannya ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang ultra vires justru memberikan keuntungan tersendiri bagi Direksi. Apabila sebelumnya Direksi karena tindakan ultra vires yang dilakukannya diwajibkan untuk bertanggungjawab secara pribadi, dengan dilakukannya ratifikasi yang berarti pula merupakan pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggung jawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggung jawab tersebut(relief from liablity). Di samping Direksi, pihak ketiga pun memperoleh manfaat yang tidak kecil. Seperti sudah dikemukakan, ratifikasi mengandung pengertian bahwa perjanjian yang sebelumnya merupakan tindakan ultra vires dapat dilanjutkan. Dengan demikian pihak ketiga dapat mengharapkan keuntungan dan yang terpenting kerugian yang kemungkinan timbul karena perjanjian dihentikan akhirnya dapat dicegah. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dipetik makna bahwa langkah perseroan dalam hal ini RUPS melakukan ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang ultra vires pada dasarnya merupakan upaya yang bersifat remedial dalam pengertian ratifikasi tersebut bertujuan memperbaiki kondisi
perjanjian dan mencegah kerugian. Ad.b. Ganti rugi
146
Elizabeth A. Martin, 1987, Op.cit. hal. 381.
164
Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Oleh karena itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial untuk menanggulangi kerugian yang timbul sebagai akibat dihentikanya perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang ultra vires. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kajian hukum memang mengenal lebih dari sekitar 25 (dua puluh lima) jenis ganti rugi. Akan tetapi untuk menanggulangi kerugian yang timbul dari perjanjian yang ultra vires, tidak semua jenis ganti rugi tersebut mengandung relevansi untuk dapat diterapkan. Penerapan jenis-jenis ganti rugi yang efektif dan efisien dalam hubungannya dengan akibat tindakan tersebut harus disesuaikan dengan bentuk-bentuk kerugian yang terjadi, dan sebagaimana telah diuraikan pada pokoknya terdapat dua bentuk kerugian, pertama, kerugian berupa sumber-sumber yang telah dialokasikan untuk menunjang sampai tahap pelaksanaan, akan tetapi perjanjianya sendiri dihentikan sebelum berakhir jangka waktunya, dan kedua, kerugian karena tidak berhasil memperoleh keuntungan yang terjadi dengan dilaksanakan perjanjian secara penuh. Dari bentuk-bentuk kerugian tersebut dapatlah dikemukakan bahwa pihak ketiga berhak memperoleh dua jenis ganti rugi, yaitu substantial damages yang didasarkan pada kerugian nyata147 dan 147
Ibid. Hal. 124.
165
prospective damages yang merupakan ganti rugi yang diharapkan,148 karena berkaitan dengan prospek keuntungan yang terjadi di kemudian hari apabila perjanjian tersebut dilaksanakan secara penuh.
4.2.2. Mekanisme Pelaksanaan Akibat hukum yang timbul dari perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang ultra vires sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian-uraian sebelumnya meliputi konsekuensi-konsekuensi seperti perjanjian dinyatakan tidak sah, perjanjian batal demi hukum, dan perseroan
tidak
bertanggungjawab.
Dalam
kondisi
demikian,
Direksilah yang dibebani dan melaksanakan tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga sebagai contracting party yang dirugikan. Berdasarkan
Ultra
Vires
Doctrine
yang
pada
pokoknya
mengajarkan cara-cara menanggulangi akibat-akibat dari tindakan ultra vires, dapat dikemukakan dalam hal terjadinya tindakan ultra vires yang dilakukan Direksi, RUPS juga memiliki kompetensi memanggil dan meminta pertanggungjawaban Direksi atas tindakan yang telah dilakukannya.
Pembebanan tanggung jawab tersebut kepada Direksi pada akhirnya menimbulkan persoalan apakah Direksi selalu harus bertanggungjawab secara pribadi terhadap setiap tindakan ultra vires. Terhadap persoalan tersebut terdapat pandangan, bahwa tidak 148
Henry Campbell Black, 1979, Op.cit. hal. 353.
166
selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan jawab pribadi dari direksi yang melakukan ultra vires. Memang umumnya tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya tanggung jawab pribadi direksi, antara lain berdasarkan doktrin piercing the corporate veil.149 Pandangan
tersebut
berdasarkan
pemahaman
umum
mengenai keadilan terutama berhubungan dengan pernyataan bahwa Direksi tidak selamanya bertanggung jawab secara pribadi terhadap tindakan ultra vires dapat diterima. Akan tetapi terhadap pernyataan bahwa tanggung jawab pribadi Direksi itu didasarkan juga pada doktrin piercing the corporate veil masih perlu dijelaskan latar belakangnya. Pemahaman doktrin piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil yang intinya menekankan tanggung jawab pribadi berdasarkan hukum positif dalam hal ini Pasal 3 ayat (2) Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebenarnya menunjukkan kewajiban untuk bertanggungjawab secara pribadi itu hanya dibebankan kepada pemegang saham. Apa pertimbangannya sehingga tanggung jawab pribadi Direksi juga dipandang berdasarkan doktrin piercing the corporate veil. Dasar pandangan tersebut pada pokoknya dapat disimpulkan dari pengertian bahwa proses
yudisial
piercing
dengan
mana
corporate veil merupakan suatu pengadilan
mengesampingkan
kekebalan(imunitas) dari organ perseroan dari tanggung jawabnya 149
Munir Fuady, 2002 (I), Op.cit. hal. 118
167
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha perseroan. Tanggung jawab terbatas(limited liability) pemegang saham diabaikan dan tanggung jawab pribadi(personal liability) ditekankan baik pada pemegang saham maupun komisaris dan direksi.150 Pengertian itulah yang menjadi dasar untuk meletakkan tanggung jawab pribadi pada Direksi terhadap tindakan ultra vires. Namun demikian sampai dengan tahapan ini, membebankan tanggung jawab secara pribadi untuk ultra vires kepada Direksi yang merupakan organ perseroan, yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip duty of care, fiduciary duty, duty of loyalty dan business judgement rule masih dipandang kurang berkeadilan, dan terlalu memojokkan Direksi yang pada dasarnya merupakan wakil perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Membebankan tanggung jawab secara pribadi kepada Direksi tersebut sebenarnya merupakan upaya pamungkas, suatu langkah yang tidak dapat diterapkan dengan begitu saja. Penelusuran terhadap kepustakaan hukum menunjukkan adanya beberapa langkah recovery yang dapat dilakukan sebelum menerapkan tanggung jawab pribadi. Adapun langkah-langkah yang dimaksud pada pokoknya adalah yang disebut dengan injunction dan tracing seperti diuraikan sebagai berikut:
150
Henry Campbell Black, 1979, Op.cit. hal. 1033.
168
a. Injunction --- if the money lent to the company has not been spent the lender can get the injunction to prevent the company from parting with it. b. Tracing--- the lender can recover his money so long as it is found in the hands of the company in its original form.151 Secara garis besarnya, dengan melakukan injunction, pihak ketiga dapat mengupayakan suatu penetapan untuk mencegah perseroan membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga. Sementara itu melalui tracing, pemberi pinjaman dapat menarik kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh. Di samping tampak kurang memperhatikan faktor-faktor yang bersifat
yuridis
yang
justru
sangat
diperlukan
dalam
rangka
menanggulangi akibat-akibat tindakan ultra vires, baik injunction maupun tracing sebenarnya hanya relevan diterapkan untuk tindakan ultra vires yang berkaitan dengan pihak ketiga yang berkedudukan sebagai kreditur atau pemberi pinjaman kepada perseroan. Injunction dan Tracing juga tidak dapat menghindarkan Direksi dari kewajiban melakukan tanggung jawab secara pribadi. Dengan demikian dalam hal pertanggungjawaban terhadap kerugian-kerugian
pihak
ketiga
akibat
tindakan
ultra
vires,
pembebanan tanggung jawab pribadi pada Direksi tidak dapat 151
http://www.csstudentonlineclub.com.Loc.cit.
169
dihindarkan. Persoalannya, apakah Direksi yang merupakan pengurus perseroan memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab sementara tindakannya yang akhirnya dinyatakan ultra vires itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Dalam kondisi demikian langkah apa yang harus ditempuh agar kerugian pihak ketiga memperoleh remedy atau pemulihan. Pihak ketiga sebagai pihak yang dirugikan pada dasarnya tidak
memiliki
kepentingan
mengenai
siapa
yang
harus
bertanggungjawab atas kerugian yang dialaminya apakah perseroan atau Direksi. Pihak ketiga hanya memaklumi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah hubungan hukum antara dirinya dengan perseroan dan Direksi merupakan wakil perseroan. Tidak ada relevansinya menarik pihak ketiga ke dalam persoalan mengenai siapa yang bertanggungjawab. Pihak ketiga hanya membutuhkan agar kerugian yang dialaminya segera dapat dipulihkan. Pemulihan atau remedy atas kerugian pihak ketiga akibat perjanjianya dengan perseroan dinyatakan ultra vires, sementara Direksi yang dibebani tanggung jawab pribadi tidak mampu bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup, dalam hal ini terdapat pandangan bahwa pemulihan tersebut dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme atau tatacara antara lain seperti yang terdapat dalam lembaga subrogasi.
170
Sebagai gambaran awal, subrogasi atau subrogatie atau subrogation adalah the substitution of one person in the place of another with reference to a lawfull claim, demand or right, so that he who is substituted succeeds to the rights of the other in relation to the debt or claim, and its rights, remedies, or securities.152 Khusus berkaitan dengan uang yang dipinjam perseroan, pandangan yang lainnya pada pokoknya mengemukakan, apabila uang yang dipinjam itu sudah dipergunakan untuk membayar utang yang sah dari perusahaan, pemberi pinjaman dapat menuntut hak subrogasi dan sebagai akibatnya, pemberi pinjaman berdiri diatas sepatu kreditor(he will stand in the shoes of the creditor) dan dapat menuntut informasi penggunaan uang selanjutnya, akan tetapi subrogasi ini tidak memberikan prioritas yang sama dengan kreditur yang asli.153 Dalam hubungan hukum terutama yang menyangkut utangpiutang yang tunduk pada sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia
pada
umumnya
juga
terdapat
lembaga
subrogatie
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan bahwa, subrogarsi atau penggantian hak-hak si berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpitang itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undang-undang. 152 153
Henry Campbell Black, 1979, Op.cit. hal. 1279. http://www.csstudentonlineclub.com.Loc.cit.
171
Secara keseluruhan baik dari pandangan-pandangan maupun dari ketentuan tersebut di atas pada dasarnya tercermin bahwa subrogasi itu merupakan penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga yang telah membayar atau melunasi utang-utang debitur. Pihak ketiga memperoleh subrogasi karena sudah membayar utang-utang debitur. Rumusan Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga, dan pembayaran oleh pihak ketiga. Berkaitan dengan unsur yang pertama perlu diuraikan yang dimaksud dengan ‘hak-hak kreditur’ disini adalah hak-hak yang dipunyai oleh kreditur terhadap debiturnya, sedangkan ‘pihak ketiga’ adalah pihak yang bukan kreditur maupun debitur(utama).154 Sementara itu berkaitan dengan unsur yang kedua, diuraikan, pihak ketiga baru memperoleh hak-hak berdasarkan subrogasi apabila dan hanya dalam hal utangutang yang dilunasi.155 Sehubungan
dengan
subrogasi
secara
umum
timbul
persoalan apakah mekanisme yang tersedia dalam lembaga subrogasi itu relevan untuk diterapkan dalam proses pemulihan hak pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires.
154
J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang, Alumni, Bandung, hal. 50. 155 Ibid. hal. 58.
172
Persoalan sehubungan
dengan
tersebut
menjadi
penyebutan
istilah
semakin pihak
membingunkan ketiga.
Dalam
hubungannya dengan subrogasi istilah itu sudah tepat untuk menyebut yang menggantikan kreditur, akan tetapi apabila diterapkan dalam ultra vires, maka istilah itu akan menghasilkan kebingunan karena dalam hubungannya dengan perjanjian-perjanjian yang ultra vires, subyek-subyek seperti kreditur perseroan, pemberi pinjaman terhadap perseroan, pemasok dan pelanggan sebenarnya sudah menjadi pihak ketiga dan kreditur terlebih dahulu. Sehingga apabila kepada mereka diberikan lagi kedudukan sebagai pihak ketiga, maka persoalannya hak-haknya siapa yang mereka gantikan. Pertimbangan dalam Putusan Pengandilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951 yang mengemukakan, bahwa dalam setiap pembayaran oleh pihak ketiga terdapat subrogasi tidak dapat diterima, dimana menurut J. Satrio, itu tidak benar dan bahkan pada prinsipnya pembayaran oleh pihak ketiga tidak menimbulkan subrogasi, malahan juga tidak menimbulkan tagihan baru, misalnya seseorang yang membayar karena mengira bahwa ia mempunyai utang dan mengira ia adalah debitur. Selain itu pihak ketiga mungkin membayar karena terpaksa, karena kebetulan ia adalah debitur dari debitur.156 Pandangan tersebut dapat dipahami karena memang terdapat faktor-faktor yang mewajibkan untuk melakukan atau menempuh 156
Ibid. hal. 51.
173
subrogasi. Faktor-faktor tersebut adalah sesuai dengan Pasal 1401 dan 1402 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan, subrogasi terjadi dengan persetujuan dan demi undangundang. Sepanjang pembayaran oleh pihak ketiga dilakukan tidak dalam konteksnya dengan Pasal 1401 dan 1402 tersebut, dapatlah dikemukakan
bahwa
pembayaran
yang
dilakukan
itu
tidak
menimbulkan apa yang disebut dengan subrogasi. Secara umum dapat dikemukakan, gagasan dan mekanisme yang tercemin dari subrogasi secara mutatis mutandis atau dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya dapat diterapkan dalam rangka pemulihan kerugian pihak ketiga karena perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires. Namun demikian
sehubungan
dengan maksud itu pula masih tersedia satu mekanisme lagi yang perlu dicermati dan diperbandingkan karakteristik dan relevansinya. Adapun mekanisme yang dimaksud adalah upaya yang disebut
dengan
mengandung
substitusi(substitution),
pengertian,
melayani
yang orang
secara lain
umum sebagai
pengganti(serving in lieu of another).157 Dalam mekanisme substitution terdapat hubungan segitiga di antara pengganti, yang digantikan dan pihak ketiga. Substitution atau penggantian pada pokoknya merupakan prinsip yang telah diterima secara luas bahwa dengan prinsip tersebut 157
Henry Campbell Black, 1979, Op.cit. hal. 1282.
174
seseorang atau pengutang baru(new debtor) dapat menerima utang dari orang lain(debitur atau debitur asli), dan dengan cara demikian pengutang baru itu kemudian menggantikan kedudukan debitur.158 Upaya penggantian tersebut tidaklah muncul dengan sendiri, melainkan harus pula didasarkan pada adanya persetujuan penggantian dari krediturnya. Dalam upaya pemulihan kerugian pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires, persetujuan penggantian yang dimaksud harus diberikan oleh pihak ketiga. Berdasarkan upaya penggantian atau substitution terjadilah peralihan kewajiban dari debitur asli kepada debitur baru. Analog dengan pemulihan kerugian sebagai diuraikan di atas, maka peralihan kewajiban terjadi dari Direksi yang sebelumnya dibebani tanggung jawab pribadi itu kepada perseroan. Apabila dibandingkan tampaklah suatu perbedaan yang cukup signifikan, dan secara garis besarnya perbedaan tersebut dapat diuraikan dengan kalimat, proses dalam subrogasi pada pokoknya menghasilkan kreditur baru yang disebut dengan pihak ketiga, sedangkan
mekanisme
dalam
penggantian
atau
substitution
menciptakan adanya debitur baru yang berkewajiban sebagai pengganti(in lieu of) melaksanakan kewajiban debitur asli.
158
Eric Clive Ole Lando, Principles Of European Contract Law, http://books, google.co.id. 04/07/2010 16: 15. Hal. 125
175
Dari perbedaan karakteristik tersebut tampak mekanisme penggantianlah yang lebih mengandung relevansi. Hal ini didasarkan pula pada pemikiran bahwa yang dibutuhkan oleh Direksi adalah pengganti yang dapat melaksanakan kewajibannya terhadap pihak ketiga, bukan kreditur yang nantinya justru akan menuntut kompensasi dari Direksi. Dikaji dari perspektif pelaksanaan fiduciary duty, duty of care, duty of loyalty yang secara umum memperlihatkan bahwa Direksi dalam keadaan lengkap dengan segala kewajiban, kompetensi dan tanggung jawabnya sebenarnya sudah identik dengan perseroan itu sendiri, maka cukup berkeadilan apabila Direksi yang sudah menunjukkan loyalitas dan integritasnya itu memperoleh substitusi ketika ia diwajibkan mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan juga demi perseroan itu.
176
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Dari uraian tersebut di atas dapat disajikan simpulan sebagai berikut: 5.1.1. Doktrin ultra vires pada intinya merupakan ajaran tentang
penyelesaian akibat
tindakan-tindakan perseroan yang
melampaui kewenangan yang telah diberikan. Tindakan ultra vires yang dilakukan oleh perseroan dapat merugikan pemegang saham, pihak kreditur, pihak pekerja, dan pihak constituencies(supplier
dan
customer)
yang
lainnya.
Dengan mempergunakan pemahaman mengenai organ perseroan dan aspek manajemennya sebagai kriteria, maka dapatlah diidentifikasi bahwa yang merupakan pihak ketiga adalah kreditur, supplier dan customer. Pihak-pihak ini dapat
mengalami
kerugian-kerugian
akibat
tindakan
Direksi perseroan yang ultra vires, baik yang menyangkut pelaksanaan perjanjiannya sendiri maupun kelangsungan
169
177
eksistensi. Oleh karena itu sangat berdasar apabila pihak ketiga membutuhkan perlindungan hukum.
Akan tetapi
UUPT tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan hukumnya. Namun demikian hal ini tidak mengandung pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap akibatakibat dari tindakan ultra vires tidak ada dasarnya. Adapun dasar-dasar perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires pada pokoknya dapat diuraikan dari pandangan bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin yang berlaku secara universal. Di Indonesia dapat dikemukakan secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Di samping itu terdapat pula beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasar-dasar tersebut meliputi Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan Doktrin Ultra Vires Modern. Dengan bertumpu pada dasar-dasar tersebut, maka dapatlah diberikan perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
178
5.1.2. Bertumpu pada pemahaman mengenai perspektif hak dan
bentuk-bentuk kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum, maka kerugian akibat tindakan Direksi perseroan yang ultra vires dapat melahirkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian. Proses penggantian kerugian tersebut meliputi upaya-upaya pemulihan atau upaya-upaya remedial yang bertujuan untuk mengembalikan atau menggantikan hak-hak dari pihak yang dirugikan baik yang secara nyata sudah terjadi maupun yang diharapkan akan terwujud.
Pemahaman mengenai upaya pemulihan atau
remedy mencerminkan dua tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bentuk-bentuk upaya remedial terhadap kerugian akibat tindakan ultra vires tersebut meliputi tindakan ratifikasi dan pemberian ganti rugi. Ratifikasi berarti pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggung jawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggung jawab yang bertujuan
memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian. Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu
179
kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Di samping itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial yang bersifat menanggulangi kerugian yang timbul. dirugikan
Dalam hal pihak ketiga yang
merupakan
melakukan
kreditur,
injunction
atau
maka
mereka
mencegah
dapat
perseroan
membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga, dan tracing atau
menarik kembali pinjaman sepanjang dapat
ditemukan dalam kondisi utuh. Dalam hal Direksi yang dibebani
tanggung
jawab
pribadi
tidak
mampu
bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup, maka langkah yang dapat dipandang sebagai solusinya adalah melakukan proses substitution. Dengan langkah ini, perseroan terlebih dahulu melakukan penalangan terhadap kerugian pihak ketiga dan selanjutnya Direksi
berkewajiban
mempertanggungjawabkannya
kepada perseroan. Dalam hubungan ini yang diutamakan adalah memulihkan hak-hak pihak ketiga.
5.2. Saran-saran 5.2.1. Prioritas utama dalam penerapan Doktrin Ultra Vires pada
dasarnya adalah pencegahan terhadap tindakan Direksi
180
yang melampaui kewenangan perseroan. Berkaitan dengan upaya mendukung pencegahan tersebut maka baik Direksi maupun pihak ketiga yang akan menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan hendaknya memahami terlebih dahulu ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang bersangkutan. Pemahaman itu antara lain dapat diperoleh melalui konsultasi hukum. Dengan pemahaman tersebut akan dapat diketahui
kesesuaian
antara
transaksi
yang
hendak
dilakukan dengan ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. 5.2.2. Dalam upaya menciptakan kepastian hukum, maka aspek-
aspek yang berkaitan dengan dasar-dasar perlindungan hukum dan upaya pemulihan hak-hak Pihak Ketiga atas tindakan ultra vires Diresksi perseroan perlu diatur secara tegas dan terperinci dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas. Penegasan dan rincian mengenai aspek-aspek
tersebut
dapat
juga
dituangkan
dalam
anggaran dasar perseroan yang pada dasarnya merupakan konstitusi bagi perseroan yang bersangkutan.
181
DAFTAR PUSTAKA Ais, Chatamarrasjid, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung Ali, Chidir, 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung Apeldoorn, L.J. van, 1978, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Basir, Syarif , 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, Jakarta Black, Henry Campbell, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minn. Brown, Gordon W., dan Paul A. Sukys, 2001, Business Law, Glencoe McGraw-Hill, New York. Chance, E.W., 1948. Principle of Mercantile Law, Vol. I, The Gregg Publishing Co., Ltd., London. Clark, Robert Charles, 1986, Corporate Law, Little, Brown and Company, Boston-Toronto. Duxbury, Robert, 2006, Contract In Nutshell, Sweet & Maxwell, London. Feldman, Robert A., dan Raymond T.Nimmer, 2002, Drafting Effective Contract. A Practioner’s Guide, Aspen Law & Business, New York.
182
Fuady, Munir, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. …………….., 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 71. ………………,2001, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung Gibson, Geoffrey, 2003, Law For Directors, The Federation Press, Sydney. Gillies, Peter, 2003, Business Law, The Federation Press, New South Wales Ginting, Jamin, 2007, Hukum Perseroan Terbatas (UU. No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya Bakti, Bandung. Hart, H.L.A., The Concepts of Law, ELBS/Oxford University Press, Oxford. Hicks, Andrew and S.H. Goo, 2001, Cases and Materials On Company Law, Blackstone Press Limited, London Hamilton, Robert W., 1991, The Law Of Corporation In Nutshell, West Publishing Company, St. Paul, Minnesota Ichsan, Achmad, 1983, Hukum Dagang: Lembaga Perserikatan, SuratSurat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramita, Jakarta. Latimer, Paul, 2009, Australian Business Law, CCH Australia Limited Sydney. Liang Gie, The, Teori-Teori Keadilan, Penerbit Super, Yogyakarta MacIntyre, Ewan, 2007, Essentials of Business Law, Pearson Education Limited, Sydney. Makarao, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta. Martin, Elizabeth A., 1997, Oxford Dictionary of Law, Oxford University Press, Oxford.
183
Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Dalam : Yuridika vol. 18 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta Moore, Gary, A., et.al., n.d., The Legal Environmental Business: A Contextual Approach, South-Western. Nadapdap, Binoto, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Jala Permata Aksara, Jakarta. Partomuan Pohan, A., 1990, Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Dan Pemegang Saham, dalam: Beberapa Permasalahan Hukum Di Sekitar Penanaman Modal, Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. Pramono, Nindyo, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Prasetya, Rudhi, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung Prinst, Darwan, 2002, Stratgei Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung Purwosutjipto, HMN., 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk-Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta. Ridho, Ali, Hukum Dagang Tentang Aspek-Aspek Hukum Dalam Asuransi Udara dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Remadja, Karya, Badung. Rochmat, Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan Dan Wakaf, Eresco, Bandung Satrio, J., Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, Alumni, Bandung. Schaber, Gordon D., dan Claude D. Rohwer., 1990, Contracts In A Nutshell, West Publishing, St. Paul Minn. Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta.
184
Simorangkir, J.C.T., 1997, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Soebagio, Mas, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung. Smith K, and D.J Keenan., 1975, Company Law, Pitman Publishing, Victoria Subekti, R., 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. .................., 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta. .................., 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Soekardono, R., 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I(bagian kedua), CV. Radjawali, Jakarta. Solomon, Lewis D. dan Alan R. Palmiter, 1994, Corporation, Examples and Explanations, Little, Brown and Company, Boston _________________Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magister lmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Tirta Amidjaja, M.H., 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta. Tirtodiningrat, KRMT., 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Pembangunan, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, R., 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung.
Internet http://www.asic.gov.au. 10/05/2010. 20:20 http://www.businessdictionary.com. 15/06/2010 21.09 http://www.coursework.com. 20/08/2009 9.07. http://www.legal-dictionary.com.20/08/2009 9.15
185
http://www.ucb.com. 10/05/2010. 20: 14 ________, Doctrine of Ultra Vires-Effect and Exceptions, http://www.csstudentonlineclub.com. 14/06/2010 10:15 Dvbbank, 2008, Management System, http://www.dvbbank.com. Doctrine of Ultra Vires-Effec And http://www.csstudentonline.com. 14/06/2010 10;15
Exceptions,
Eric Clive Ole Lando, Principles Of European Contract Law, http://books,google.co.id. 04/07/2010 16:25 http://en.wikipedia.org. 20/08/2009 9:00 Jack, Jesse, 2009, Corporate Structure: Directors to Shareholders, www.jessejacklaw.com. Kusumohamidjojo, Budiono, 1986, http://www.kamushukum.com.
Pacta
Sun
Servanda,
Label, Samuel, 22/02/2010 13:00, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya, http://rechtheory.blogspot.com. Nurhayati, Irna, 16/02/2010 10:55, Ulasan Tentang Status Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Magister Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, www.scribb.com. Ricky
Lim, 2009, What Are Secured http://ezinearticles.com. 22/06/2010 11:10
Setia
DTH., 2008, Itikad ceriahati.blogspot.com.
Baik
Menurut
Bank
Hukum,
Loans, http://setia-
Lombardo, Stefano, dan Oiero Pasotti, 2009, Disintegrating The Regulation of The Business Corporation As a Set of Coordinated Contracts Among Different Parties, http://journals.cambridge.org Wikipedia Encyclopedia, 16/02/2010 12:11, Nexus of Contract, http://en.wikipedia.0rg
186
Wikipedia Encyclopedia, www.En.wikipedia.org Yosran,
24/02/10,
2008, Teknik Pembuatan http://ptunpdg.blogspot.com.
Perpetual Keputusan
Succession, Tata
Usaha,
Undang-undang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Nama Perseroan Terbatas.
187