BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kehadiran jabatan Notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan tujuan untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai peristiwa, keadaan, atau suatu perbuatan hukum.1 Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris bersifat autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak maupun ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Kekuatan pembuktian akta autentik, demikian juga dengan akta Notaris merupakan akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta autentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh Undang-undang kepada pejabat-pejabat tertentu. Dalam ranah hukum perdata, seorang mengklaim suatu hal atau menegaskan hal tersebut harus bisa membuktikan adanya bukti tentang hal yang dimaksud. Ini menunjukan bahwa adanya bukti mendukung dalil seseorang sangat penting. Pasal 1866 KUHPerdata menentukan bahwa salah satu alat bukti yang terpenting adalah alat bukti tulisan. Selanjutnya Pasal 1867 KUHPerdata menjelaskan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan autentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Munculnya lembaga Notaris dilandasi akan kebutuhan salah satu alat bukti khususnya alat bukti 1
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 73.
autentik sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu: “Akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Menurut pendapat G.H.S. Lumban Tobing, pada setiap akta autentik, dengan demikian juga pada akta Notaris, mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, antara lain:2 1. Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijsracht) Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan. 2. Kekuatan pembuktian formal (Formele Bewijskracht) Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta autentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga 2
G.H.S. Lumban Tobing, 1980, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 55.
dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum didalam menjalankan jabatannya. 3. Kekuatan pembuktian material (Materiele Bewijskracht) Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta autentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya. Kekuatan pembuktian ini dimaksud dalam Pasal 1870, 1871 dan 1975 KUHPerdata antara para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu. Dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu. Pada tahun 2004, untuk menciptakan dasar hukum bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka disahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan UUJN), yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disingkat UUJN-P). UUJN maupun UUJN-P keduanya merupakan pedoman bagi Notaris dalam menjalankan profesinya. Pasal 1 angka 1 UUJN-P memberikan pengertian mengenai Notaris yakni sebagai berikut:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dengan undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Pasal 1 angka 7 UUJN-P menentukan bahwa akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Menurut bentuknya, akta Notaris terbagi atas dua yaitu Akta yang dibuat oleh Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dituangkan dalam bentuk Akta Notaris dan Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut Akta Pihak atau Partij Akta, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.3 Pembuatan akta Notaris baik Akta Relaas maupun Akta Pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud.4 Dalam hal ada permasalahan yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, maka:5 1.
Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas 3
Habib Adjie, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung,
4
Ibid. Ibid, hlm. 11-12
hlm. 10. 5
akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat pembatalan tersebut. 2.
Apabila para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang telah didegredasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian Hakim. Apabila dalam posisi lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari
akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Berdasarkan kedua posisi tersebut di atas, maka penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, baik dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materiil atas akta Notaris. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukan di atas, maka penulisan ini mengkaji suatu kasus yang pernah terjadi di Yogyakarta, berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta tanggal 23 April 2015 Nomor 32/PDT/2015/PT YYK. Para pihak dalam kasus ini adalah AGUNG SUGIHARTO sebagai Pembanding/Penggugat, GRAHITA EMMA PUTRI sebagai Terbanding I /
Tergugat I, dan HJ. CARLINA LIESTYANI,SH., Notaris/PPAT sebagai Terbanding II / Tergugat II. Tuntutan di atas tersebut berlatar belakang kejadian di mana Terbanding II/Tergugat II sebagai Notaris/PPAT di Kota Yogyakarta bertindak dalam jabatannya selaku Notaris membuat akta “Pengakuan Hutang Dan Pernyataan Pinjam Nama Serta Pinjam Jaminan” yang berisi keteranganketerangan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada, yaitu mencantumkan di dalam akta tersebut secara jelas menerangkan dengan kalimat “GRAHITA EMMA PUTRI.. dst.. menurut keterangannya dalam melakukan perbuatan hukum ini bertindak mewakili dan sebagai kuasa dari Ibu kandungnya yaitu ..dst”, hanyalah berdasarkan keterangannya saja bukan berdasarkan pada surat kuasa yang sah, yang seharusnya menurut kaidah pembuatan akta yang benar harus diterangkan dan dilampirkan dalam akta tersebut. Oleh karena dalam melakukan perbuatan hukum tersebut tanpa didasari dengan surat kuasa yang sah maka tindakan salah satu pihak tersebut tidak sah untuk mewakili dan sebagai kuasa dari ibu kandungnya, dengan demikian akta tersebut terbukti cacat secara formal. Hal ini tidak sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 47 ayat (1) UUJN mengatur: “Surat kuasa autentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib dilekatkan pada Minuta Akta”. Hal tersebut di ataslah yang menjadi dasar pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk pembatalan akta “Pengakuan Hutang Dan Pernyataan Pinjam Nama Serta Pinjam Jaminan”, namun Putusan
Hakim pada Pengadilan Negeri adalah gugatan tersebut tidak dapat diterima atau dengan kata lain putusan tersebut merupakan Putusan NO. Berdasarkan hal itu, isi gugatan dari penggugat belum diperiksa dan dipertimbangkan oleh hakim, oleh karena itu akta tersebut dinilai tetap sah dan mengikat para pihak. Berdasarkan Putusan Hakim di tingkat Pengadilan Negeri itulah, Penggugat mengajukan tuntutan Banding ke tingkat Pengadilan Tinggi, namun oleh Hakim Pengadilan Tinggi juga menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang telah dijadikan bahan penulisan hukum dalam bentuk tesis dengan judul “Akibat Hukum Atas Pencantuman Keterangan Di Dalam Akta Yang Tidak Sesuai Fakta (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 32/PDT/2015/PT YYK.) ”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana keabsahan akta yang mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta di dalam akta Notaris berdasarkan kasus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 32/PDT/2015/PT YYK.?
2.
Apa akibat suatu putusan pengadilan terhadap kekuatan pembuktian akta?
C. Tujuan Penelitian Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dikemukan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan akta yang mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta di dalam akta Notaris berdasarkan kasus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 32/PDT/2015/PT YYK. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat suatu putusan pengadilan terhadap kekuatan pembuktian akta.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan dibidang ilmu hukum kenotariatan pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi negara, masyarakat dan juga penulis agar mendapat pemahaman yang lebih mengenai pembuatan akta notariil dan mengenai gugatan pembatalan yang diajukan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Serta menambah khasanah perpustakaan khususnya tentang berbagai hal di bidang kenotariatan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran ke berbagai sumber di perpustakaan, media cetak maupun media internet, penulis menemukan beberapa penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan implementasi pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan fakta di dalam akta Notaris, akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan fokus penelitian dan tanpa menutup kemungkinan kalaupun ada penelitian yang dilakukan serupa dengan penulis maka diharapkan mampu untuk saling melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya, yaitu : 1. Muhammad Rizky Akbar Harahap, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Notaris Yang Dibatalkan Melalui Putusan Pengadilan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN)” Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2010,6 dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan akta autentik dibatalkan melalui putusan pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN? b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang dibatalkan melalui putusan pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN? c. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris terhadap aktanya yang dibatalkan melalui putusan pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN? Dengan hasil kesimpulan faktor yang menyebabkan akta Notaris dibatalkan yaitu adanya perbuatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sehingga akibat hukum terhadap Notaris yang aktanya dibatalkan adalah kesepakatan maupun perjanjian yang ada pada akta tersebut
6
Muhammad Rizky Akbar Harahap, Analisis Yuridis Terhadap Akta Notaris Yang Dibatalkan Melalui Putusan Pengadilan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN), Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010.
menjadi
batal
dan
tidak
berlaku,
Notaris
hanya
dibebankan
pertanggungjawaban untuk mengembalikan surat-surat berharga yang dititipkan kepadanya. 2. Andi Musdalifah Zainal, “Pembatalan Akta Notaris Dengan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Makassar”, Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2004,7 dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Faktor apa yang menyebabkan sehingga akta Notaris dapat dibatalkan oleh Hakim? b. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pembatalan atas akta Notaris tersebut? Berdasarkan hasil kesimpulan “Pembatalan Akta Notaris Dengan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Makassar” tahun 2004 masih mengacu pada Peraturan Jabatan Notaris yang ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Faktor yang menyebabkan akta Notaris dapat dibatalkan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat formal dan materiil pembuatan akta Notaris sehingga akibat hukum dari adanya pembatalan atas akta Notaris tersebut sebagai akta yang cacat hukum. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa hal yang menunjukan persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan penulis angkat, yaitu:
7
Andi Musdalifah Zainal, Pembatalan Akta Notaris Dengan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004.
-
Persamaan : telah terjadi tuntutan pembatalan akta Notaris di karenakan tidak terpenuhinya syarat materiil dan syarat formal dalam hal pembuatan akta notariil.
-
Perbedaan : lokasi penelitian yang berbeda-beda pada masing-masing studi kasus dan perbedaan masing-masing pertimbangan Hakim sebelum memutus perkara gugatan pembatalan akta. Pada penelitian “Akibat Hukum Atas Pencantuman Keterangan Di Dalam Akta Yang Tidak Sesuai Fakta (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 32/PDT/2015/PT YYK.) ” penulis membahas alasan hukum gugatan perkara didasarkan adanya perbuatan yang tidak sesuai prosedur pembuatan akta oleh Notaris di kota Yogyakarta. Dasar
pertimbangan
Hakim
memutuskan
perkara
adalah
dikarenakan adanya gugatan terhadap akta Notaris oleh penggugat namun Hakim tidak mengabulkan gugatan penggugat yaitu membatalkan akta Pengakuan Hutang dan Pernyataan Pinjam Nama Serta Pinjam Jaminan nomor 09 tanggal 26-10-2011 yang dibuat oleh dan di hadapan Tergugat II selaku Notaris di Yogyakarta adalah tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat serta menghukum Penggugat untuk membayar seluruh biaya perkara. Penulis berkeyakinan penulisan hukum atau penelitian hukum yang mengkaji atau menganalisis mengenai tesis berjudul “Akibat Hukum Atas Pencantuman Keterangan Di Dalam Akta Yang Tidak Sesuai Fakta (Analisis
Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 32/PDT/2015/PT YYK.) ” belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, penulisan atau penelitian yang diajukan atau diteliti dalam tesis ini adalah asli hasil karya penulis, bukan merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya pihak lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.