BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1. LATAR BELAKANG MASALAH Sejak Soeharto memutuskan untuk lengser keprabon, Indonesia memasuki era baru yang sering disebut sebagai era reformasi. Salah satu gejala dominan yang tampak dalam era reformasi ini adalah lunturnya “kesucian” lembaga pemerintahan dan apa saja yang berbau negara. Goenawan Mohammad menyebut gejala itu sebagai sikap “emoh negara”1. Sikap “emoh negara” sendiri mungkin sudah muncul di tengah masyarakat sejak rezim Soeharto berkuasa, tetapi setelah runtuhnya Orde Baru tahun 1998 sikap itu seakan menemukan momentum pelampiasannya. Di luar Indonesia ada juga sikap “emoh negara” semacam itu. Apa yang akan menjadi perhatian lebih lanjut uraian berikut ini adalah gejala yang terjadi dalam kaitannya dengan sektor ekonomi. Gejala “emoh negara” melanda Inggris dan Amerika Serikat terhitung sejak tahun 1970-an, dan semakin menguat pengaruhnya ke beberapa negara Eropa Barat lain dan Jepang sejak ambruknya Uni Soviet dan Blok Timur. Mulai tahun 1980-an dan seterusnya di Inggris terjadi privatisasi perusahaan-perusahaan negara dan pemangkasan kebijakan kesejahteraan (welfare policy). Ada empat wilayah welfare policy: pelayanan kesehatan, pendidikan, santunan penganggur dan pensiun hari tua.2 Kebijakan ini dimulai pada masa Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri tahun 1979, diteruskan oleh John Major dan bahkan oleh Tony Blair dari Partai Buruh. Kepeloporan Inggris ini diiikuti oleh sejumlah negara Eropa seperti Perancis, Italia, dan Jerman. Mereka beramai-ramai mengadakan privatisasi, mengurangi subsidi, menurunkan pajak perusahaan dsb. Di seberang Lautan Atlantik, Amerika Serikat dipimpin Ronald Reagan menjalankan kebijakan serupa. Deng Xiaoping 1
Istilah ini berarti “tidak menghendaki peran negara”, dilontarkan oleh Goenawan Mohamad dalam suatu diskusi informal di Jakarta sebagaimana diterangkan dalam: I. Wibowo, ““Emoh Negara”: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara”, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Cerdas, 2002), catatan akhir no. 1, h. 291. 2 I. Wibowo, ““Emoh Negara”: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara”, h. 268-270
1
pada waktu yang kurang lebih sama, sejak tahun 1980, di Cina juga melancarkan usaha besar-besaran untuk melucuti peran negara. Pada prinsipnya gerakan “emoh negara” inilah yang memaksa negara untuk mundur dari semua keterlibatan di bidang ekonomi, karena dianggap sebagai biang keladi merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit belanja negara, dst.3 Sistem ekonomi yang menolak segala macam campur tangan negara itu umumnya populer disebut neoliberalisme4. Menurut aliran ekonomi ini mekanisme pasar pada dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi. Invisible hand sudah cukup untuk membuat lancar produksi, distribusi maupun konsumsi. Setiap campur tangan negara hanya akan menimbulkan distorsi. Misalnya kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja. Masalah gaji dan masalah-masalah lain dari tenaga kerja adalah sepenuhnya urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Neoliberalisme sendiri adalah bagian dari proses globalisasi yang melanda seluruh dunia. Ia menjadi ideologi yang membawa dampak menyeluruh, mempengaruhi semua wilayah dan sektor kehidupan serta mengandung daya paksa yang membuat hampir semua negara harus tunduk dan menyesuaikan diri. Dalam berbagai bentuk, ideologi ini dikenal dengan beragam nama yang berbeda – sistem ekonomi neoliberal, neoklasik, libertarian, kapitalisme pasar, atau liberalisme pasar.5 Nama neoliberalisme biasa digunakan di Amerika Latin. Tetapi di kebanyakan negara, termasuk Amerika Serikat, ia datang tanpa istilah tertentu. Tanpa nama, ideologi ini masuk tanpa perdebatan, asumsi-asumsi dasarnya tidak pernah ditelaah.6 Teori Competitive Advantage yang dituangkan Michael Porter dalam bukunya The Competitive Advantage of Nations (1990) makin mendorong banyak negara untuk menjalankan ekonomi neoliberalisme. Meskipun mendapat kritik dari berbagai ahli tetapi 3
I. Wibowo, ““Emoh Negara”: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara”, h. 268-270 “Neoliberal” sebagai sebuah istilah tidak hanya dipakai dalam ranah ekonomi tetapi dipakai juga dalam bidang keilmuan lain seperti politik, teologi, dsb., tentu dalam pengertian yang berbeda. 5 David Korten, Bila Korporasi Menguasai Dunia, (Jakarta: Professional Books, 1997), h.116-118. 6 David Korten, Bila Korporasi Menguasai Dunia, h.116-118. 4
2
sampai kini teori itu tetap mendominasi para perancang kebijakan nasional di seluruh dunia.7 Negara-negara berlomba menurunkan tarif impor, membuka pasar dan menyediakan fasilitas-fasilitas bagi para investor asing. Demi competitiveness yang tinggi, negara rela minggir sama sekali dari ekonomi. Pendapat paling ekstrim dikemukakan oleh ahli manajemen Jepang, Kenichi Ohmae dalam The End of the Nation-States yang menyarankan agar negara sama sekali tidak berperan, membiarkan barang dan modal bergerak bebas di seluruh dunia, membagi-bagikan kemakmuran menurut hukum supply and demand semata.8 Akhirnya perlu dibahas di sini apa yang disebut sebagai Konsensus Washington (Washington Consensus). Ketika negara-negara Amerika Latin— terutama tiga negara paling berpengaruh, yaitu Meksiko, Brasil, dan Argentina— bangkrut pada pertengahan 1980-an dan paruh pertama 1990-an, IMF, Bank Dunia, dan para ekonom Amerika Serikat yang bermarkas di Washington lalu “meracik resep obat generik” untuk mengatasinya. Oleh ekonom John Williamson, resep generik ini diberi nama Konsensus Washington, yang praktis dihasilkan oleh para ekonom beraliran liberal dan konservatif. Semula, resep ini didesain untuk menangani Amerika Latin, tetapi kemudian terpikir, negara-negara berkembang lainnya pun bisa mengaplikasikannya. Konsensus ini terdiri atas 10 elemen, yang bisa dirangkum menjadi tiga pilar, yakni (1) disiplin anggaran pemerintah (fiscal austerity atau fiscal disipline), (2) liberalisasi pasar (market liberalization), dan (3) privatisasi BUMN.9 Konsensus Washington ini menjelma menjadi ideologi yang memayungi semua pegiat neoliberal serta menjadi sebuah konsensus tidak resmi antar pejabat dalam lingkaran institusi internasional dan pengusaha tentang pembangunan ekonomi yang mensyaratkan: pasar, liberalisasi perdagangan dan pengurangan peran negara dalam ekonomi.10 Konsensus inilah yang coba memompakan ideologi neoliberalisme melalui individu-individu, lembaga-lembaga konsultasi dan institusi-institusi ekonomi internasional seperti IMF, Bank
7
I. Wibowo, ““Emoh Negara”: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara”, h. 280. I. Wibowo, ““Emoh Negara”: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara”, h. 280. 9 A. Tony Prasetiantono, “IMF”, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, h. 78-90. 10 A. Tony Prasetiantono, “IMF”, h. 78-90. 8
3
Dunia dan ADB, kepada klien mereka. Atas dasar luasnya kampanye emoh negara di seluruh dunia, jelas bahwa ideologi itu diterima dan berkembang dalam pikiran banyak orang, mencapai kemenangan atas ideologi-ideologi lain, juga di negara-negara yang belum maju seperti Indonesia. Jejak neoliberalisme di Indonesia dapat dirunut mulai sekitar tahun 1997. Seperti diketahui krisis moneter yang menimpa perekonomian Indonesia pada saat itu menyebabkan terus merosotnya nilai kurs rupiah terhadap dollar. Semakin membumbungnya harga minyak di pasaran dunia membawa dampak pada rendahnya daya beli masyarakat Indonesia. Berbagai cara diusahakan pemerintah agar perekonomian Indonesia bisa kembali bangkit seperti sediakala, termasuk salah satunya adalah dengan meminjam dana bantuan kepada IMF dan Bank Dunia. Kepada setiap negara peminjam, kedua badan keuangan dunia tersebut mensyaratkan untuk menjalankan kebijakan program penyesuaian struktural (SAP, Structural Adjustment Programs), di mana salah satu tujuannya adalah untuk merangsang pengalihan kegiatan ekonomi, dari semula dikelola negara menjadi dimiliki swasta (privatisasi). Persyaratan ini sesuai dengan kecenderungan ekonomi global yang meminimalisasikan peran negara dalam perekonomian sebagaimana dilakukan di Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Sebagai hasilnya dalam kurun waktu lima tahun, 1998 – 2002, seperti yang tercantum dalam LoI (Letter of Intent), pemerintah dan IMF sepakat untuk melaksanakan privatisasi pada sekurang-kurangnya 16 BUMN. Beberapa di antaranya: PT Indosat, PT Pupuk Kaltim, PT Telkom, PT Semen Gresik dan PT Kimia Farma.11 A.2. POKOK MASALAH Praktik neoliberalisme yang akan menjadi pokok masalah dalam skripsi ini adalah kebijakan privatisasi. Kebijakan privatisasi dengan sendirinya dapat dikatakan sebagai pendukung utama praktik utama neoliberalisme, sebuah sistem ekonomi yang “emoh negara”, oleh karena ia memihak kepada pihak swasta (privat). Adapun contoh yang akan diambil adalah privatisasi dalam sektor air. Seperti yang diketahui kegunaan air bagi kehidupan manusia tidak terbantahkan. Sejalan dengan meluasnya manfaat air, meningkat 11
Indra Bastian., Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), h. 206
4
pula penggunaannya. Air, di samping untuk keperluan sehari-hari, manusia seperti mandi dan minum, air juga digunakan untuk pertanian, industri, pembangkit listrik dan lain-lain. Namun meningkatnya pemanfaatan air tidak diiringi dengan persediaan air yang memadai. Di berbagai belahan dunia, terjadi kekeringan akibat perubahan drastis dalam iklim global. Hujan tidak lagi mengikuti siklus normal yang dapat diprediksi dan cenderung semakin jarang terjadi. Ketersediaan air tanah merosot drastis akibat buruknya sistem pengelolaan dan konservasi. Sementara itu, kualitas air semakin merosot akibat polusi yang berasal dari sektor rumah tangga dan, terutama, sektor industri sehingga semakin mengancam hidup manusia. Kelangkaan air bersih bahkan memakan korban. Pada tahun 1999 sekitar 1,2 milyar dari seluruh penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih. Jumlah itu diperkirakan akan menjadi 2,3 milyar pada tahun 2025 bila tidak segera dilakukan usaha signifikan untuk mengatasi masalah kelangkaan air ini. Sekitar 3,4 juta manusia di seluruh dunia kehilangan nyawa baik secara langsung karena mengkonsumsi makanan dan/atau minuman yang terkontaminasi maupun secara tidak langsung karena menderita penyakit yang dijangkitkan oleh organisme yang hidup di air kotor.12 Sementara itu statistik yang dibuat UNESCO tahun 2005 menyebutkan, setiap delapan detik, seorang anak mati akibat penyakit yang berhubungan dengan air, lima puluh persen penduduk negara berkembang menderita satu atau lebih penyakit yang berhubungan dengan air dan delapan puluh persen penyakit di negara berkembang disebabkan air yang terkontaminasi.13 Barang yang langka mempunyai nilai jual yang tinggi. Itulah sebab mendasar sehingga kelangkaan sumber daya seperti air dilihat sebagai peluang untuk mencari untung secara ekonomi. Karena itu wajarlah jika muncul prediksi bahwa pada abad ke-21 air akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20: menjadi komoditas bernilai yang menentukan kesejahteraan bangsa-bangsa.14 Namun, tidak seperti minyak, air tidak memiliki substitusi! Itulah kecenderungan dalam pasar global neoliberal, yakni bahkan 12
Berdasarkan laporan World Commission on Water for 21st Century tahun 1999 sebagaimana dikutip oleh Henry Heyneardhi dan Savio Wermasubun, Dagang Air: Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan atas Air di Indonesia, (Salatiga: Widyasari Press, 2004), h. 2-3. 13 Judi Fisher, Water: God’s Gift of Life, (Switzerland: WARC, 2005), h. 15. 14 Shawn Tully, “Water, Water Everywhere”, dalam majalah Fortune, Mei 2000, h. 70.
5
bagian-bagian dari kehidupan yang sebelumnya dianggap sakral seperti kesehatan dan pendidikan, kebudayaan dan warisan, kode genetik dan bibit-bibit tanaman, serta sumbersumber daya alam, termasuk air, tidak luput dikomodifikasikan.15 Itu pula agaknya yang dapat diamati terjadi di Indonesia. Air, yang dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 disebut “dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sekarang sudah menjadi bagian dari komoditas. Privatisasi air di Jakarta akan dibahas sebagai contoh kasus dalam skripsi ini. Alasannya utamanya adalah karena dalam kasus privatisasi air di Jakarta dapat jelas diamati bagaimana proses pengalihan pengelolaan air kepada swasta telah menjadikan air yang pada awalnya menjadi bagian milik umum (komunal) menjadi komoditas dagang milik privat. Jejak keterlibatan berbagai lembaga keuangan maupun korporasi transnasional juga dapat ditelusuri dalam perdagangan air di Jakarta. Di samping itu kasus privatisasi air di Jakarta sejak awal mula hingga kini, akhir 2007, cukup banyak disorot berbagai media massa antara lain oleh karena masih buruknya pelayanan jasa air. Contoh-contoh kasus privatisasi di tempat lain akan dibahas apabila diperlukan. Apabila uraian di atas sudah diakui sebagai bagian dari realitas kehidupan aktual di Indonesia maka, dalam upaya untuk berteologi secara kontekstual, perlu digumulkan kaitan antara privatisasi air dengan bagaimana Gereja akan melakukan tugas panggilannya untuk menghadirkan Kerajaan Allah di sini dan kini, di dalam konteksnya, yakni masyarakat dalam segala pergumulannya.16 Dengan kata lain, yang mau dicari jawabannya dalam keseluruhan persoalan neoliberalisme dalam praktik privatisasi air ini adalah: Quo vadis Gereja? Di mana dan apa peran Gereja dalam menghadapi tantangan neoliberalisme di Indonesia? B. PEMILIHAN JUDUL
15
Maude Barlow & Tony Clarke, Blue Gold: Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 102-105. 16 Bdk. EG. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), h. 24-28.
6
Berdasarkan permasalahan di atas penulis memutuskan untuk menulis skripsi dengan judul: NEOLIBERALISME EKONOMI DALAM PERSPEKTIF TEOLOGIS KRISTIANI
C. METODE PEMBAHASAN
Penulisan skripsi akan dimulai dengan menelusuri data-data berhubungan dengan judul di atas yang didapatkan melalui berbagai sumber seperti: buku, majalah, koran dan internet. Data-data itu diharapkan dapat menjelaskan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini secara deskriptif. Pengolahan data secara analitis akan dilakukan khususnya dengan menggunakan pertimbangan pendekatan teologis, dengan tidak menutup penggunaan pendekatan disiplin lain seperti sosio-ekonomis maupun filosofis.
D. SISTEMATIKA PEMBAHASAN BAB I
PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan dideskripsikan permasalahan, latar belakang masalah, pokok masalah, pemilihan judul, metode pembahasan, dan sistematika pembahasan.
BAB II
SELAYANG PANDANG NEOLIBERALISME Bagian ini akan mendeskripsikan secara ringkas sejarah neoliberalisme. Setelah itu akan dikupas karakteristik neoliberalisme dan akan ditunjukkan juga bagaimana Lembaga-lembaga Keuangan Internasional (LKI) dan korporasi transnasional (TNCs) berada di balik maraknya neoliberalisme. Pembahasan mengenai bagaimana neoliberalisme menapakkan kakinya di Indonesia akan mengakhiri bab ini.
BAB III
NEOLIBERALISME DALAM PRIVATISASI AIR Pertama-tama akan disampaikan secara deskriptif bagaimana kebijakan privatisasi adalah bentuk neoliberalisme yang didukung penuh oleh LKI dan
7
TNC. Lalu dalam konteks Indonesia akan dibahas pula latar belakang, dan problem yang menyertai proses privatisasi air. BAB IV
TINJAUAN
TEOLOGIS
ATAS
NEOLIBERALISME
DALAM
PRIVATISASI AIR Bagian awal bab ini akan mengkritisi neoliberalisme, khususnya yang berkaitan dari segi sosio-ekonomis. Setelah itu bagian pokok bab ini adalah berupa evaluasi teologis terhadap neoliberalisme dalam privatisasi air.
BAB V
MISI
GEREJA
DI
DALAM
MENGHADAPI
TANTANGAN
NEOLIBERALISME Melalui bab ini akan dibahas misi yang dapat dilakukan Gereja dalam perspektif teologi publlik.
BAB VI
KESIMPULAN Bab ini berisikan kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan di bab-bab sebelumnya.
8