BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal ini dapat terjadi. Telah banyak peraturan atau regulasi yang dibuat untuk mengatasi hal ini, tetapi hal tersebut bukan menjadi jaminan bahwa Tindak pidana tidak akan terjadi lagi. Sebagian orang hanya memandang regulasi sebagai tulisan semata. Menurut pendapat Moeljatno yang dikutip oleh Adami Chazawi (2011:71) tindak pidana atau yang disebut sebagai perbuatan pidana, didefinisikan oleh beliau sebagai, “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Dari hal ini dapat dipahami jika tindak pidana atau perbuatan pidana adalah sebuah tindakan yang mana melawan atau melanggar suatu aturan hukum yang mana didalamnya dimuatkan sanksi terhadap perbuatannya. Tindak kejahatan atau tindak pidana merupakan hal yang begitu marak terjadi di Negara berkembang. Angka kriminalistik seolah telah menjadi tolak ukur sebuah Negara berkembang, tak terkecuali seperti apa yang terjadi di Indonesia. Peningkatan
modus
operandi
kejahatan
belakangan
ini
sangat
menghawatirkan, tidak bisa dipungkiri hal tersebut juga terjadi di wilayah Indonesia. Hal tersebut bukan tanpa sebab, kejahatan selalu berkembang sesuai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat serta mengikuti perkembangan zaman. Faktor pemicu kejahatan dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun demikian, bukan hal tersebut yang pantas disoroti. Perkembangan zaman yang makin pesat, dapat menimbulkan ide ataupun cara dari pelaku yang menyebabkan minimnya alat bukti dan barang bukti yang dapat diperoleh. Dalam praktek banyak diketemukan berbagai tindak
1
2
pidana baru yang seolah menghadirkan sebuah bukti baru juga yang sebelumnya belum pernah diketemukan maupun digunakan dalam sebuah tindak pidana. Kondisi tersebut juga berlaku kepada tindak pidana yang tergolong lama atau konvensional seperti tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau lebih dikenal sebagai pembunuhan, apalagi yang tergolong dilakukan secara berencana. Dapat diketemukan banyak sekali Tindak pidana yang sebenarnya jelas, tetapi menjadi sulit dalam pelacakannya maupun pengusutannya. Tindak pidana tersebut banyak yang disertai dengan pelenyapan barang bukti sehingga mempersulit dalam penelusuran pelaku maupun pengusutan kasusnya. Pelenyapan hasil kejahatan atau hasil Tindak pidana adalah suatu hal yang sering dijumpai dan selalu menimbulkan polemik dalam penyelidikan dan penyidikan sebuah kasus sehingga menimbulkan kesulitan untuk pengidentifikasian lebih lanjut, terlebih mengenai pelacakan pelakunya. Hal ini tentu akan menyulitkan para penegak hukum untuk mengungkap kebenaran. Begitu juga dengan adanya sebuah alat bukti yang dihadirkan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan yang seolah tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHAP bahwa itu merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Hal ini tentu membuat isu yang menarik dalam hukum. Pemeriksaan perkara pidana pada hakekatnya adalah mencari suatu kebenaran materiil. Hal tersebut dapat diketahui dari usaha aparat penegak hukum untuk mencari bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik dari pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan hingga tahap akhir seperti pemeriksaan perkara tersebut dipersidangan. Oleh karenanya penegak hukum wajib mengusahakan perolehan fakta maupun alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Penegak hukum dalam hal menggali fakta maupun alat bukti seringkali berhadapan dengan berbagai masalah yang berada diluar kemampuan atau keahliannya. Kondisi seperti ini tentunya memaksa penegak hukum untuk meminta bantuan pada ahli yang lebih mengerti tentang permasalahan tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, permintaan tenaga ahli memang diperbolehkan dan telah diatur dalam KUHAP. Pengertian keterangan
3
ahli menurut Pasal 1 butir ke-28 KUHAP adalah, “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Demikian halnya dengan Permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi, “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”. Dewasa ini dalam perkembangannya, peran seorang ahli memang sangat dibutuhkan. Terlebih pada berbagai peristiwa pidana yang menyagkut kepada tubuh, kesehatan dan nyawa manusiayang tidak bisa dengan mudahnya diketahui oleh para penegak hukum. Ahli tersebut dapat mengidentifikasi mayat, bagian tubuh manusia, kondisi jasad Korban, waktu kematian Korban, penyebab Korban meninggal bahkan hingga membuat berbagai keterangan tertulis. Ahli yang dimaksud disini adalah seorang ahli forensik atau ahli kedokteran kehakiman. Di Negara maju bahkan pembuktian dengan menggunakan Forensik ini telah berkembang dan digunakan sebagai alat bukti sah utama dalam memberikan keyakinan hakim, walaupun tersangka/Terdakwa bersikap diam atau membisu atau tidak mengakui perbuatannya (R. Abdussalam, 2006:4). Ilmu Forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjelaskan penyebab, cara dan keadaan kematian. Dalam sistem hukum, banyak ilmu dapat berkontribusi untuk menjelaskan apa yang terjadi pada orang yang meninggal dalam keadaan mencurigakan dan/atau akibat kekerasan. Namun disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih meliputi sesuatu atau metodemetode yang bersifat ilmiah dan juga aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk melakukan pengenalan terhadap bukti-bukti fisik
4
(contohnya mayat, bangkai, dan sebagainya) (http://blogs.icrc.org/indonesia/ilmuforensik-2/ diakses pada Senin, 16 November 2015 pukul 13:24). Ilmu forensik menjadi sangat penting karena itu berarti penggunaan metode ilmiah untuk menjelaskan fakta dan fenomena yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (selanjutnya disingkat TKP). Deskripsi visual saja tidak cukup dan bisa menyesatkan, sehingga para ilmuwan forensik menggunakan bukti-bukti yang terdapat pada tubuh jenazah dan juga TKP. Seorang ahli forensik merupakan seorang ahli yang dapat menjelaskan menjelaskan penyebab, keadaan kematian, dan identifikasi terhadap bukti-bukti fisik sedangkan tugas Ilmu Kedokteran Forensik sendiri adalah untuk menentukan suatu hubungan kausal suatu Tindak pidana yang menyebabkan kecederaan atau gangguan kesehatan dan sama sekali tidak bertujuan untuk menyembuhkan (Herkutanto, 2006: 199). Peran ini berhubungan dengan bantuan yang dapat diberikan oleh Dokter atau Ahli Kedokteran Kehakiman untuk mengungkap Saksi bisu atau Silent Witness. Seorang Dokter memang diwajibkan memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum apabila diminta, karena dalam beberapa kasus, sangat dibutuhkan peran Ahli. Dokter atau Ahli Kedokteran Kehakiman dapat memberikan banyak bantuan. Bahkan pada selain membantu pemeriksaan atau pencarian alat bukti pada tempat kejadian perkara yang kurang dikuasai aparat penegak hukum. Dokter atau Ahli Kedokteran Kehakiman dapat pula melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap mayat atau bahkan bagian mayat Korban pembunuhan agar dapat diperoleh keterangan yang sejelas-jelasnya mengenai Tindak pidana yang terjadi dan kemudian memberikan keterangan tertulis terhadapnya, atau yang lebih dikenal sebagai Visum atau Visum et Repertum (VeR). Visum et Repertum ini menjadi sangat berguna karena merupakan sebuah rangkuman dan hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Dokter atau Ahli Kedokteran Kehakiman yang bisa dipergunakan sebagai alat bukti pada persidangan. Alat bukti yang sah menjadi sangat penting Karen Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan harus berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
5
suatu Tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Jelas dikatakan bahwa dalam menjatuhkan pemidanaan hakim tidak boleh hanya berorientasi pada alat bukti saja, tetapi juga harus didasari oleh keyakinannya, sedangkan Hakim juga memiliki batasan-batasan tertentu dalam pengetahuannya. Dalam proses pembuktian, hakim jelas tidak akan bisa mengungkap semua kebenaran materiil yang ada, sehingga dibutuhkan seorang ahli yang bisa membantu mengungkap kebenaran materiil yang tidak semuanya dikuasai oleh hakim.
Hal tersebut kembali kepada sebuah ketentuan bahwa
seorang hakim tidak diperbolehkan leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian (M. Yahya Harahap, 2000:253). Kasus penemuan kerangka di Desa Pinang Sebatang Timur, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak bisa saja menjadi tanda tanya besar. Namun para aparat penegak hukum dengan bantuan ahli menemukan fakta lain dilapangan maupun didepan persidangan. Tulang Kerangka tersebut diidentifikasi sebagai tulang kerangka manusia oleh Ahli, dan oleh aparat penegak hukum diketemukan fakta dan bukti yang mengarahkan pada sebuah tindak pidana pembunuhan. Melalui proses pemeriksaan lebih lanjut dengan alat bukti baik melalui yang diketemukan oleh aparat penegak hukum maupun oleh ahli berupa Visum et Repertum pemeriksaan terhadap tulang kerangka, Terdakwa dipanggil secara patut kepersidangan dan dilakukan pemeriksaan terhadapnya dengan alat bukti yang ada. Hal ini kemudian menarik perhatian penulis untuk dikaji sebagai suatu permasalahan hukum sebagaimana termuat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Pekan Baru Nomor: Nomor: 35/PID.B/2015/PT.PBR yang memutus pidana mati terhadap Terdakwa karena telah dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersamasama melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Korban yang identitasnya
terungkap
setelah
dilakukan
pemeriksaan
terhadap
tulang
kerangkanya pada Laboratorium Forensik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menjadikannya sebuah penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul,
6
“PEMERIKSAAN LABORATORIUM FORENSIK TERHADAP TULANG KERANGKA UNTUK MENGUNGKAP IDENTITAS KORBAN PEMBUNUHAN
BERENCANA
SEBAGAI
UPAYA
PEMBUKTIAN
KESALAHAN TERDAKWA SEHINGGA DIPUTUS PIDANA MATI (Studi Putusan Nomor : 35/PID.B/2015/PT.PBR)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah yang ingin dikaji oleh penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas Korban pembunuhan berencana dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP? 2. Apakah hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik dipertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara pembunuhan berencana membuktikan kesalahan Terdakwa hingga dijatuhi pidana mati sesuai Pasal 183 juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh penulis, yang mana tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif: a. Mengetahui keabsahan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas Korban pembunuhan berencana sehingga dapat dikategorikan sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP. b. Mengetahui kaitan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik dengan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembunuhan berencana membuktikan kesalahan Terdakwa hingga dijatuhi pidana mati sesuai Pasal 183 juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
7
2. Tujuan Subjektif: a. Menambah wawasan penulis terhadap Ilmu hukum, baik dalam teori maupun dalam pengembangan kerangka berfikir ilmiah. Terlebih dalam proses peradilan pidana. b. Memberikan wujud nyata dari seluruh Ilmu maupun teori-teori hukum yang didapatkan penulis selama perkuliahan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat umum maupun penulis sendiri. c. Memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar Strata 1 atau gelar S1 di bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Hal yang diharapkan dalam penelitian adalah manfaat atau kegunaan yang dapat diambil. Sebab, tolak ukur nilai-nilai keberhasilan sebuah penelitian ditentukan oleh manfaat penelitian itu sendiri. Oleh karenanya, adapun yang menjadi manfaat penulisan ini sendiri adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat dan kontribusi terhadap pemikiran dan pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada umumnya. b. Memberikan sarana pengajaran, pemahaman, pengkajian, pengembangan, referensi tambahan, ataupun literatur bagi penelitian hukum selanjutnya yang berguna bagi pihak-pihak lain. c. Memberikan bahan pendalaman dan referensi bagi Ilmu Pengetahuan di bidang
hukum
khususnya
dalam
penggunaan
hasil
pemeriksaan
Laboratorium Forensik kaitannya dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan pembuktian di dalam persidangan yang membuktikan kesalahan Terdakwa sehingga Terdakwa dapat dijatuhi pidana mati. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan manfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya, serta dapat menjadi sebuah referensi bagi penyidik maupun penuntut umum dalam hal penggalian maupun
8
pengajuan terhadap hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana. b. Penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi hakim dalam menerapkan hukum dalam perkara yang melibatkan alat bukti berupa pemeriksaan Forensik. Khususnya dalam penggunaan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik terhadap tulang kerangka sebagai alat bukti dan kaitannya dengan penjatuhan hukuman mati terhadap Terdakwa. c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Forensik itu sendiri. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa para Ahli Forensik semakin dibutuhkan dalam hal pembuktian kebenaran materiil dalam perkara pidana.
E. Metode Penelitian Metode merupakan suatu hal yang merujuk kepada sebuah cara (metode) untuk mencari dan mencapai kebenaran ilmiah sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, serta menguji suatu kebenaran. Sedangkan penelitian erat halnya dengan riset atau proses yang dilakukan secara berlanjut dan sistematis yang bertujuan untuk menemukan ataupun merevisi fakta-fakta. Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian merupakan sesuatu yang amat penting. Metodologi memainkan peran agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tetap pada kebenaran. Berdasarkan alasan tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian antara lain: 1.
Jenis Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter perspektif ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 35). Oleh karenanya, jenis penelitian yang digunakan oleh penulis disini adalah jenis penelitian normatif. Metode penelitian normatif atau metode penelitian kepustakaan
9
adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Penelitian yang dilakukan adalah guna menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. Mempelajari norma atau ketentuan dalam hukum merupakan hal yang esensial dalam Ilmu Hukum. Penelitian hukum dilakukan untuk melakukan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 35). Penulis dalam memilih penelitian hukum normatif selain didasarkan alasan tersebut, didasarkan juga kepada sumber penelitian yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan penulis yang berkenaan dengan pemeriksaan laboratorium forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas Korban pembunuhan berencana sebagai upaya pembuktian kesalahan Terdakwa sehingga diputus pidana mati berdasarkan studi Putusan Nomor : 35/PID.B/2015/PT.PBR yang berkaitan dengan hukum acara pidana, yang mensyaratkan kemampuan penalaran dari aspek hukum normatif. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum yang dipilih oleh penulis yaitu penelitian hukum normatif sudah sesuai dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat.
2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini kembali kepada sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan , rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 22). Penelitian ini memberi petunjuk, pendalaman serta analisis atas suatu kasus atau peristiwa yang didasarkan kepada ketentuan resmi atau peraturan
10
perundang-undangan. Kemudian, sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan , rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
3. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengenal pendekatan
penelitian
berupa
Pendekatan
Undang-undang
(Statute
Approach), Pendekatan Kasus (Case Approach), Pendekatan Historis (Historical Approach), Pendekatan Komparatif (Comparative Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 93). Berdasarkan
beberapa
pendekatan
tersebut,
pendekatan
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Kasus (Case Approach). Penelitian kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Hal yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio deciendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio deciendi, yaitu alsan-alasan yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 119). Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasuskasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu pemeriksaan laboratorium forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas Korban pembunuhan berencana sebagai upaya pembuktian kesalahan Terdakwa sehingga diputus pidana mati berdasarkan studi Putusan Nomor : 35/PID.B/2015/PT.PBR. Oleh karenanya, penulis dalam penelitian ini memilih Pendekatan Kasus (Case Approach).
11
4.
Jenis dan Sumber Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 141). Sumber-sumber hukum yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah: a.
Bahan hukum primer: 1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP); 2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 3) Putusan
Pengadilan
Tinggi
Pekan
Baru
Nomor:
35/PID.B/2015/PT.PBR.. b.
Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum, referensi, majalah, artikel,dan komentar-komentar putusan pengadilan yang berkaitan dengan topik ini.
5.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan Bahan Hukum yang digunakan oleh penulis adalah melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan digunakan sebagai dasar teori maupun sebagai
pendukung. Dalam studi kepustakaan ini, penulis
mengkaji dan mempelajari buku-buku, jurnal, arsip-arsip, dan dokumen maupun peraturan perundang-undangan, dokumen, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
12
6. Teknik Analisis Bahan Hukum Suatu penelitian hukum, selayaknya dilakukan langkah-langkah seperti : Mengindentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya mempunyai relevansi, melakukan telaah atas isu-isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan kemudian menarik suatu kesimpulan dan bentuk argumentasi yang akan menjawab isu hukum, dan memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 171). Analisis bahan hukum merupakan bagian terpenting dalam sebuah penelitian. hal ini disebabkan karena dalam penlitian bahan hukum yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Metode yang kemudian dipilih oleh penulis dalam penulisan ini adalah metode deduktif silogisme. Metode deduksi sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2010:47). Halhal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada ketentuan yang khusus. Dalam penelitian ini penulis mengkritisi teori-teori ilmu hukum yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang dianalisis. Sebagai premis mayor, penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan untuk premis minor, adalah fakta hukum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Pekan Baru Nomor: 35/PID.B/2015/PT.PBR. Selanjutnya berdasarkan premis mayor dan premis minor tersebut, penulis menarik kesimpulan menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium forensik dikaitkan dengan alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan pertimbangan hakim dalam memutuskan kesalahan Terdakwa sesuai dengan Pasal 183 juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
13
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini dibagi kedalam empat bab yang dalam tiap-tiap bab didalamnya dibagi kedalam sub-sub bab yang bertujuan untuk memudahkan dalam memahami keseluruhan isi dari penulisan hukum ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi mengenai uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi mengenai kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang Penyidikan, tinjauan umum tentang laboratotium forensik, tinjauan umum tentang pembuktian, tinjauan umum tentang putusan pengadilan, tinjauan umum tentang Tindak Pidana pembunuhan.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi mengenai uraian dan sajian pembahasan dari hasil
penelitian
Kesesuaian
berdasarkan
Hasil
Pemeriksaan
rumusan
masalah
Laboratorium
yaitu,
Forensik
Terhadap Tulang Kerangka untuk Mengungkap Identitas Korban Pembunuhan Berencana Dinilai Sebagai Alat Bukti yang Sah Menurut Pasal 184 KUHAP dan Kesesuaian Hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik dipertimbangkan hakim dalam
memutuskan
perkara
pembunuhan
berencana
membuktikan kesalahan Terdakwa hingga dijatuhi pidana mati sesuai Pasal 183 juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi mengenai simpulan dan saran berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN