1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, masalah kesehatan jiwa banyak terjadi dengan berbagai variasi dan gejala yang berbeda-beda. Seseorang dikatakan dalam kondisi jiwa yang sehat, dapat dilihat dari kondisi jiwanya yang sehat secara emosional, psikologi dan sosial. Untuk mencapai kesehatan jiwa, beberapa upaya dapat dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat yang didukung sarana pelayanan keseha tan jiwa dan sarana lain seperti keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan merupakan salah satu sarana yang memiliki peran penting untuk menunjang upaya kesehatan jiwa dan memiliki peran sebagai stressor yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Akan tetapi pada tingkat tertentu, lingkungan juga dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008). Skizofrenia merupakan suatu penyakit kronik yang dapat berlangsung seumur hidup dengan angka kesembuhan yang kecil yang mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan dalam memproses informasi, hubungan antar individu, serta memecahkan masalah (Stuart, 2002). Keluarga merupakan orang terdekat dengan pasien, mempunyai peranan penting dalam kesembuhan pasien, salah satunya yaitu dukungan berupa komunikasi dan tanggung jawab bersama yang termasuk di dalamnya memberikan solusi atas masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang dilakukan seseorang (Butar, 2012). Bentuk dukungan
yang
bisa
diberikan
keluarga
adalah
dukungan
psikososial.
Psychosocial support (dukungan psikososial) berhubungan dengan pentingnya konteks sosial dalam menghadapi dampak psikososial yang dihadapi individu karena kejadian yang membuat stress (Stuart, 2002). Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang berperan dalam memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat dan sakit pasien skizofrenia. Umumnya keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup merawatnya (Keliat, 2002). 1
2
Banyak pasien skizofrenia yang hanya dititipkan di rumah sakit jiwa dan tidak dikunjungi. Keluarga sudah menyerahkannya pada rumah sakit dan perawat yang bertugas
dirumah sakit tersebut. Padahal, keberhasilan terapi gangguan jiwa
skizofrenia tidak hanya terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis terapi lainnya, tetapi juga peran serta keluarga dan masyarakat
turut menentukan
(Hawari, 2003). Ketika pasien skizofrenia menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa, keluarga seharusnya tetap memberikan perhatian dan dukungan sesuai dengan petunjuk tim medis rumah sakit. Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh penderita gangguan jiwa dalam memotivasi mereka selama perawatan dan pengobatan (Friedman, 1998). Berdasarkan studi pendahuluan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, angka kejadian skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta merupakan kasus terbanyak dengan jumlah 1156 pasien dari 1534 pasien. Itu berarti presentase pasien skizofrenia 75,4% dari seluruh jumlah pasien yang ada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Pasien skizofrenia di dirawat inap antara 1 sampai 85 hari. Rata-rata lama rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta yaitu 31 hari (Rekam Medik, 2013). Dengan latar belakang di atas sangat menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang hubungan dukungan psikososial keluarga dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi masalah penelitian yang menjadi dasar untuk melakukan penelitian ini sebagai berikut: Adakah hubungan dukungan psikososial keluarga dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan psikososial keluarga dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
3
D. Tinjauan Pustaka 1. Skizofrenia Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (Hawari, 2003). Skizofrenia adalah bahwa penderita skizofrenia umumnya memiliki pemikiran yang tidak konsisten demikian juga perilakunya. Jadi orang yang menderita skizofrenia tidak konsisten, tidak rasional dan tidak pasti (Lumbantobing, 2007). Seseorang dikatakan terkena skizofrenia apabila tidak mampu lagi berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari, di rumah, di sekolah atau kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya.
Seseorang
yang
menderita
gangguan
jiwa
akan
mengalami
ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupannya sehari-hari (Hawari, 2003). Dampak yang diakibatkan oleh skizofrenia pada diri pasien di antaranya adalah sulit untuk berhubungan dengan orang lain, sulit untuk berinteraksi, mengalami masalah dalam hal kepercayaan dan keintiman, pasien tidak percaya diri, merasa asing atau berbeda dari orang lain dan tidak percaya bahwa mereka adalah individu yang berharga. Pada keluarga dan masyarakat, prestasi di sekolah atau tempat kerja dapat sangat terganggu, serta sulit memenuhi peran dalam keluarga seperti; sebagai seorang laki-laki atau perempuan atau sebagai saudara kandung (Videbeck, 2008).
2. Penatalaksanaan Skizofrenia Terapi yang bisa dilakukan pada penderita skizofrenia meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi. a. Terapi Farmakologi Obat-obatan yang biasa digunakan pada terapi farmakologi pada pasien skizofrenia adalah golongan obat antipsikotik. Pada awalnya, obat antipsikotik hanya digunakan saat episode akut saja, namun selanjutnya digunakan juga untuk mencegah risiko kekambuhan. Oleh karena itu, obat antipsikotik ini digunakan dalam jangka waktu yang lama karena memang berfungsi untuk terapi
4
pemeliharaan. Selain itu antipsikotik juga berguna untuk mengurangi gejala. Terdapat 2 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncullah antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin, flufenazin, dan haloperidol. Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin, risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin (Jiwo, 2012). Obat antipsikotik memiliki efek samping yang bermakna terutama jika digunakan dalam dosis besar dalam jangka waktu yang lama. Efek samping utama yang paling sering muncul dan dijadikan bahan pertimbangan dalam pemberian terapi adalah efek samping ekstrapiramidal pada penggunaan antipsikotik generasi lama. Termasuk dalam efek samping ekstrapiramidal ini yaitu distonia akut, dan pseudoparkinsonisme. Efek samping ini umumnya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik dan biasanya sulit untuk diatasi. Selain adanya efek samping ekstrapiramidal yang muncul, efek samping lain yang ditimbulkan oleh penggunaan antipsikotik yaitu sedasi, neuroleptic malignant
syndrome,
gangguan
kardiovaskular,
efek
antikolinergik
dan
antiadrenergik, gangguan metabolisme, kenaikan berat badan, dan disfungsi seksual. Salah satu cara untuk mengatasi efek samping dari antipsikotik adalah dengan menggunakan dosis obat serendah mungkin yang masih dapat memberikan efek farmakologis. Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini (Irwan, 2008).
5
Terapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah HaloperidolKlorpromazin. Haloperidol merupakan golongan potensi rendah untuk mengatasi penderita dengan gejala dominan gaduh, gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien yang diobati haloperidol. Klorpromazin merupakan golongan potensi tinggi untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, hipoaktif, waham dan halusinasi. Klorpromazin menimbulkan efek sedasi yang disertai acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Timbulnya sedasi tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat (Jarut, 2013). Penggunaan clozapin dapat mengatasi sindrom positif, sindrom negatif dan kognitif tanpa menyebabkan gejala ekstrapiramidal, disamping itu obat ini dapat mengurangi depresi dan keinginan bunuh diri (Fatemi, 2009).
b. Terapi Non Farmakologi Terapi non farmakologi pada penderita skizofrenia salah satunya pendekatan psikososial. Peningkatan kualitas hidup dan kesembuhan pasien skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu memberikan manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga pasien mampu meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik (Jiwo, 2012). Dukungan sosial keluarga adalah suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya. Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses untuk keluarga atau dukungan sosial bisa atau tidak digunakan (Friedman,1998). Menurut Keliat (2002), peran keluarga adalah mampu mengenal masalah kesehatan, mampu membuat keputusan tindakan, mampu melakukan perawatan pada keluarga yang sakit, mampu memodifikasi lingkungan rumah, dan mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami atau
6
istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal. Dukungan sosial keluarga juga dapat meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998). Menurut Kumfo, 1995 (dalam Videbeck, 2008), keluarga sebagai sumber dukungan
sosial
menjadi
faktor
kunci
dalam
penyembuhan
penderita
skizofrenia.Walaupun anggota keluarga tidak selalu merupakan sumber positif dalam kesehatan jiwa, mereka paling sering menjadi bagian penting dalam penyembuhan. Keluarga berperan dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali. Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah (Keliat, 2002).
3. Lama Rawat Inap Rawat inap adalah pelayanan terhadap pasien yang masuk ke rumah sakit yang menggunakan tempat tidur untuk keperluan observasi, diagnosis, terapi, rehabilitasi medik dan atau penunjang medik lainnya (Depkes, 1995). Menurut Depkes (1991) dalam Marzuki (1998), lama rawat inap adalah
jumlah hari
perawatan yang dibutuhkan oleh seorang penderita yang di rawat inap di suatu rumah sakit dihitung mulai dari hari masuk rumah sakit sampai dengan hari keluar rumah sakit. Menurut Marzuki (1998), lama hari rawat adalah suatu indikator yang digunakan dalam penilaian sistem manajemen rumah sakit. Lama hari rawat inap yang ideal menurut Depkes (2011) yaitu 6 sampai 9 hari. Berdasarkan hasil penelitian Farikhah (2012), variasi lama rawat inap pasien skizofenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo ditemukan lama rawat inap pasien yang paling rendah yaitu 1 hari, sedangkan lama dirawat yang paling lama yaitu selama 101 hari dengan diagnosa utama Paranoid Schizophrenia (F20.0) yaitu sebesar 31,88%.
7
D. Landasan Teori Keluarga memiliki peran terhadap proses penyembuhan pasien skizofrenia, diantaranya memberikan bantuan utama terhadap penderita gangguan jiwa berupa dukungan pada penderita sampai dapat kembali menjalani hidup bersama keluarga dan masyarakat sekitar (Salahuddin, 2009). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien yang menderita skizofrenia, dengan cara memotivasi selama proses perawatan dan pengobatan. Sehingga, ketika pasien skizofrenia menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa, keluarga harus tetap memberikan perhatian dan dukungan yang maksimal (Friedman, 1998). Dukungan keluarga untuk pasien skizofrenia masuk kategori sedang, serta ada hubungan pengetahuan tentang gangguan jiwa dengan dukungan keluarga yang mempunyai anggota keluarga skizofrenia di RSJD Surakarta (Fahanani, 2010). Di Indonesia, pasien yang dirawat inap di rumah sakit jiwa, memiliki ratarata lama hari rawat inap yang tinggi yaitu 54 hari, dan pasien yang paling lama dirawat adalah pasien dengan diagnosa skizofrenia. Data rumah sakit jiwa pusat Bogor 2001, menunjukkan rata-rata lama hari rawat adalah 115 hari (Keliat, 2002). Banyak pasien skizofrenia yang ditelantarkan oleh keluarganya setelah dimasukkan di rumah sakit jiwa. Banyak pasien gangguan jiwa justru ditelantarkan keluarganya. Keluarga banyak yang tidak mengurus dan melupakan begitu saja. Padahal, jika keluarga rajin menjenguk dan memberikan dukungan kepada pasien skizofrenia, maka ini akan sangat membantu kesembuhan mereka (Yosep, 2008).
E. Hipotesis Berdasarkan landasan teori tersebut, maka diperoleh hipotesis dalam penelitian ini yaitu : a. H1 : ada hubungan antara dukungan psikososial keluarga dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. b. H0 : tidak ada hubungan antara dukungan psikososial keluarga dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.