BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan investasi dan sumber masa depan perkembangan suatu bangsa. Pengelolaan dan perlakuan yang benar terhadap anak akan mempertinggi peluang tercapainya kemajuan masa depan suatu bangsa dan negara. Aspek perkembangan jasmani merupakan suatu faktor dominan yang tidak dapat dikesampingkan, bahkan merupakan prioritas untuk dikelola dengan benar dan optimal. Pengembangan aspek jasmani anak dapat ditunjang melalui beberapa kegiatan antara lain melalui kegiatan olahraga. Kegiatan yang lebih mengarah pada proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah melalui programprogram yang tertuang dalam kurikulum mata pelajaran pendidikan jasmani. Menurut Rusli Lutan (2001), bahwa Pendidikan Jasmani merupakan serangkaian materi pelajaran yang memberikan konstribusi nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani peserta didik. Oleh karena itu penyelenggaraan Pendidikan jasmani harus lebih dikembangkan ke arah yang lebih optimal sehingga peserta didik akan lebih inovatif, terampil, kreatif, dan memiliki kesegaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat serta memiliki pengetahuan dan pemahaman gerak manusia. Di setiap jenjang sekolah, upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan manajemen pendidikan jasmani serta kualitas output pendidikan itu sendiri telah dilakukan dengan berbagai cara, termasuk berbagai peraturan dan kebijakan yang
mendukung telah dilahirkan dan dilaksanakan, serta mulai menampakkan hasilnya meskipun belum optimal. Upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan manajemen. Pendidikan Jasmani di sekolah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini terlihat dari siswa masih kesulitan dalam memahami konsep dan penguasaan terhadap teknik dasar olahraga dan guru-guru juga kesulitan dalam menanamkan konsep dan penguasaan teknik dasar olahraga pada siswa sehingga berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa. Dari hasil ujian sekolah tahun 2009/2010 diperoleh hasil penguasaan siswa SMP PENDA Tawangmangu pada materi lempar lembing hanya (58, 94 %). Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa antara lain kurang kreatifnya guru Pendidikan jasmani di sekolah dalam membuat dan mengembangkan
media pembelajaran sederhana, guru miskin akan model-model
pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang monoton, guru hanya menggunakan metode ceramah dan metode tugas, karena mereka hanya mengejar bagaimana materi pelajaran tersebut dapat selesai tepat waktu, tanpa memikirkan bagaimana pembelajaran itu bermakna dan dapat diaplikasikan oleh siswa dalam kesehariannya. Di lain pihak hasil pengamatan penulis di kelas VII.2 SMP PENDA TAWANGMANGU menunjukan proses pembelajaran belum melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Proses belajar mengajar hanya didominasi oleh beberapa siswa saja, hal ini menunjukan kurang efektifnya suatu metode dalam proses belajar dan pembelajaran yang diterapkan oleh guru
dan kurangnya tingkat partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Akibatnya hanya sebagian siswa saja yang secara aktif mengikuti proses pembelajaran, sedangkan beberapa siswa masih asyik bercanda, ngobrol dengan teman, atau bermain sendiri dilapangan tanpa menghiraukan apa yang dijelaskan oleh guru. Dari pengamatan yang dilakukan oleh penulis, dari 33 siswa menunjukan bahwa 40,62% siswa yang memperhatikan pelajaran, 31,25% siswa yang tidak serius mengikuti pelajaran, 28,12% siswa yang tidak fokus terhadap pelajaran. Kurangnya partisipasi siswa dalam mengikuti pelajaran akan menurunkan tingkat keberhasilan siswa dalam belajar oleh karena itu diperlukan suatu tindakan yang mampu melibatkan partisipasi siswa dan sekaligus dapat digunakan untuk mempermudah siswa dalam mengikuti proses pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran yang direncanakan. Faktor lain dalam pengajaran pendidikan jasmani yang dianggap membosankan dan kurang disenangi adalah model pembelajaran guru yang tidak menyesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan perkembangan anak. Guru pendidikan jasmani mengajarkan materi dan memperlakukan siswa sama dengan orang dewasa. Pendidikan Jasmani untuk Sekolah Menengah Pertama seharusnya berbeda dengan orang dewasa. Kegiatan jasmani merupakan sebuah kegiatan yang perlu diprogramkan dengan pengelolaan yang benar melalui pendekatan pertumbuhan dan perkembangan anak. “Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil” (Harsono, 1988) Untuk itu setiap anak memiliki ciri dan sifat yang khas yang harus diberikan perlakuan yang khas pula.
Bila orang dewasa memiliki kegiatan jasmani dalam bentuk olahraga dengan fasilitas yang standar, maka anak-anak memerlukan implementasi kegiatan jasmani dengan segala peralatannya yang khas sesuai dengan ciri dan sifat anak tersebut. Kondisi ini sangat diperlukan agar anak dapat melakukan kegiatan jasmani dan olahraga sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Upaya untuk menyesuaikan pembelajaran pendidikan jasmani dengan karakteristik, kemampuan, dan perkembangan siswa SMP, dapat dilakukan melalui pembelajaran pendidikan jasmani yang dimodifikasi. Menurut Soepartono (2004) bahwa modifikasi pendidikan jasmani dapat dilakukan dengan penekanan pada berbagai aspek seperti materi, alat, ukuran lapangan, bentuk, jumlah pemain. Untuk mewujudkan suatu kondisi pembelajaran pendidikan jasmani yang memaksimalkan pengalaman belajar siswa, diperlukan alat-alat pembelajaran dalam jumlah yang memadai, bila sekolah tidak memiliki peralatan, guru pendidikan jasmani bersama siswa dapat membuat peralatan sederhana (Depdiknas, 2004). Dalam penelitian ini, modifikasi pendidikan jasmani difokuskan pada aspek alat yaitu modifikasi lembing. Secara umum kendala yang sering dihadapi guru dalam pembelajaran lempar lembing adalah keterbatasan alat dengan jumlah siswa yang cukup besar. Setiap kelas terdiri atas 33 orang siswa, sedangkan alat yang tersedia hanya empat buah lembing. Apabila proses pembelajaran teknik dasar lempar lembing dilaksanakan apa adanya, guru pendidikan jasmani tidak akan mampu menciptakan suatu strategi pembelajaran yang baik. Akibatnya pengalaman belajar siswa sangat kurang sekali. Artinya kesempatan belajar yang diperoleh untuk menguasai teknik-teknik dasar lempar lembing hanya beberapa kali saja. Di sisi lain
alokasi waktu yang tersedia yang semestinya digunakan oleh siswa untuk memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, karena minimnya alat-alat pembelajaran, malah lebih banyak digunakan untuk mengambil lembing yang dilempar jauh, dan menunggu giliran untuk melempar. Modifikasi adalah pengubahan. Dalam penelitian tindakan kelas ini, peneliti akan mencoba strategi modifikasi dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani pada siswa kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu tahun ajaran 2009/2010, dengan materi teknik dasar lempar lembing. Peningkatan hasil belajar dengan yang dimaksud peneliti adalah modifikasi pembelajaran dengan pendekatan permainan yang mengarah
terhadap pendekatan teknik. Disamping itu, modifikasi yang
digunakan peneliti adalah suatu metode pembelajaran untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam mengikuti proses belajar dan pembelajaran Penjas khususnya materi teknik dasar lempar lembing. Dengan diadakannya modifikasi pembelajaran pendidikan jasmani yang dilakukan peneliti, diharapkan akan memecahkan atau akan mengetahui sekaligus akan menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi guru dan siswa dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, khususnya pembelajaran teknik dasar lempar lembing. Tujuan modifikasi lembing ini ialah agar siswa lebih tertarik, senang dan mudah menguasai teknik dasar lempar lembing. Setidak-tidaknya sifat kaku tradisional yang terikat pada peraturan dan teknik dasar praktik pembelajaran lempar lembing, untuk sementara dapat diabaikan. Guru dalam mengajarkan lempar lembing harus selalu memikirkan tentang bagaimana bagian dari materi pelajaran lempar lembing dapat dibuat semenarik dan
menyenangkan mungkin. Bentuk peralatannya, susunan kelompok, dan gerakan lemparnya harus bervariasi. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis dan dari masalah umum yang dihadapi guru penjas dalam menyampaikan materi khususnya teknik dasar lempar lembing, maka penulis merasa tertarik dan yakin untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siswa kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan judul “Penggunaan Alat Bantu Pembelajaran
dalam Meningkatkan Hasil Belajar Lempar Lembing”. Diharapkan dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang penulis lakukan dapat memberikan jalan keluar dari masalah yang selama ini dihadapi oleh para guru Pendidikan Jasmani, olahraga dan kesehatan dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani pada umumnya dan pembelajaran teknik dasar lempar lembing pada khususnya, serta mampu memperbaiki proses pembelajaran pendidikan jasmani yang akhirnya mampu meningkatkan partisipasi aktif dan kemampuan siswa dalam bidang olahraga pada umumnya, di bidang penguasaan teknik dasar lempar lembing pada khususnya.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat di identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu belum mencapai hasil yang optimal.
2. Partisipasi siswa dalam proses pembelajaran khususnya di kelas VII.2 SMP Tawangmangu masih kurang. 3. Kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan proses pembelajaran khususnya di kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu. 4. Kurang kreatifnya guru Pendidikan jasmani dalam membuat dan mengembangkan media pembelajaran sederhana di dalam proses pembelajaran khususnya di kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu.
C. Pembatasan Masalah Sehubungan dengan luasnya permasalahan yang timbul dari topik kajian maka pembatasan masalah perlu dilakukan guna memperoleh kedalaman kajian dan menghindari perluasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam hal ini adalah: 1. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu semester ganjil Tahun Pelajaran 2009/2010. 2. Objek Penelitian a.
Pembelajaran teknik dasar lempar lembing yang dimodifikasi melalui penggunaan rudal dalam meningkatkan hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu.
b.
Partisipasi siswa mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan, dan berpartisipasi dalam pembelajaran lempar lembing.
D. Perumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, maka permasalahan yang menjadi pokok penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah penggunaan alat bantu (rudal) dalam pembelajaran penjaskes dapat meningkatkan hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII.2 SMP Penda Tawangmangu. 2. Bagaimanakah cara meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran Penjas khususnya pembelajaran teknik dasar lempar lembing siswa kelas VII.2 SMP Penda Tawangmangu.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui: 1. Meningkatkan hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII.2 SMP Penda Tawangmangu tahun ajaran 2009/2010 melalui penggunaan alat bantu pembelajaran berupa rudal/ lembing yang dimodifikasi. 2. Meningkatkan partisipasi siswa kelas VII.2 SMP Penda Tawangmangu tahun ajaran 2009/2010 melalui penggunaan alat bantu pembelajaran berupa rudal/ lembing yang dimodifikasi.
F. Manfaat Penelitian 1. Bagi Lembaga Pendidikan (Instansi) a. Sebagai bahan masukan/saran untuk mengembangkan strategi belajar mengajar yang tepat dalam rangka untuk meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil belajar siswa ataupun mutu lulusan.
2. Bagi Guru a. Memotivasi
kreatifitas
guru
di
sekolah
dalam
membuat
dan
mengembangkan media pembelajaran sederhana b. Sebagai bahan masukan/ saran bagi guru dalam memilih alternatif pembelajaran yang dapat meningkatkan keterlibatan atau partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar 3. Bagi Siswa Memacu siswa agar lebih berpartisipasi dan berperan serta secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar agar mendapatkan hasil belajar yang lebih baik dan dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Pembelajaran a. Konsep Pembelajaran Pembelajaran adalah seperangkat prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk menyusun berbagai kondisi yang dibutuhkan mencapai tujuan pendidikan. Moh. Uzer Usman (2001: 62) mengemukakan bahwa: Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik, berlangsung untuk mencapai tujuan tertentu. Dari pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa syarat utama berlangsungnya proses belajar-mengajar yaitu adanya interaksi. Selanjutnya, menurut Mulyasa (2003: 100) menyatakan ”pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik”. Interaksi adalah saling mempengaruhi yang bermula adanya saling berhubungan antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Interaksi dalam pembelajaran adalah kegiatan timbal balik dan saling mempengaruhi antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memfasilitasi, meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran merupakan upaya sistematis dan sistemik untuk memfasilitasi dan meningkatkan proses belajar maka kegiatan pembelajaran berkaitan erat
dengan jenis hakikat dan jenis belajar serta hasil belajar tersebut. Pembelajaran harus menghasilkan belajar, tapi tidak semua proses belajar terjadi karena pembelajaran. Proses belajar terjadi juga dalam konteks interaksi sosial-kultural dalam lingkungan masyarakat. Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal, yakni pendidikan di sekolah. Sebagian kecil pembelajaran terjadi juga di lingkungan masyarakat. Miisalnya, pada saat kegiatan ko-kurikuler (kegiatan di luar kelas dalam rangka tugas suatu mata pelajaran), ekstra-kulikuler (kegiatan di luar mata pelajaran, di luar kelas), dan ekstramual (kegiatan dalam rangka proyek belajar atau kegiatan di luar kurikulum yang di selenggarakan di luar kampus di sekolah, seperti kegiatan perkemahan sekolah). Dengan demikian proses belajar biasa bias terjadi di kelas, dalam lingkungan sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam bentuk interaksi social-kultural melalui media massa dan jaringan. Dalam konterks pendidikan non formal justru sebaliknya proses pembelajaran sebagian besar terjadi dalam lingkungan masyarakat, termasuk dunia kerja, media massa dan jaringan internet. Hanya sebagian kecil saja pembelajaran terjadi di kelas dan lingkungan, secara diagramatis
kompleksitas
dan
peraksis
belajar dan
pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut:
Pembelajaran Belajar
Interaksi Sosial Kultural
Interaksi Virtual Maya Gambar 1. Diagaram Kompleksitas Setting Belajar dan Pembelajaran (Udin S. Winataputra, 2007 : 1,19)
Istilah pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya, kita menggunakan istilah”proses
belajar-mengajar”
dan
“pengajaran”.
Istilah
pembelajaran
merupakan terjemahan dari kata “instruction”. Menurut Gagne, Briggs, dan Wager yang dikutip oleh Winataputra (2007: 1.19) Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Instruction is a set event that affect learners in such a way that learning is facilitated. Dalam pasal 1 butir 20 UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni” Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dari pengertian diatas, kita mengetahui bahwa ciri pembelajaran adalah inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan proses belajar siswa. Ini menunjukan bahwa unsur kesengajaan dari pihak di luar individu yang melakukan proses belajar, dalam hal ini pendidik secara perorangan atau kolektif dalam suatu sistem, merupakan ciri utama dalam konsep pembelajaran. Ciri utama dari konsep pembelajaran. Ciri lain dari pembelajaran adalah adanya komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen tersebut adalah tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi pembelajaran. Tujuan pembelajaran mengacu pada kemampuan atau kompetensi yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu (Winataputra, 2007: 1.19). Materi pembelajaran adalah segala sesuatu yang dibahas dalam pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan pembelajaran mengacu pada penggunaan pendekatan, strategi, metode, dan teknik
dan media dalam rangka membangun proses belajar, antara lain membhas materi dan melakukan pengalaman belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Proses pembelajaran dalam arti luas mrupakan jantungnya dari pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. b. Paradigma Dasar Pembelajaran Winataputra
(2007:
1.21-1.31)
mengemukakan
paradigma
dasar
pembelajaran yaitu sebagai berikut: 1) Model Pengkodisian Operant dari B.F Skinner Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut: a) Mengembangkan iklim kelas yang kondusif Langkah pertama: Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini (1)
Perilaku positif di kelas yang mendapat penguatan saat ini
(2)
Perilaku negatif yang saat ini diberi toleransi
(3)
Hukuman apa yang saat ini di jalankan
Langkah kedua: Mengembangkan daftar penguat potensial (1)
Kegiatan yang disukai peserta didik
(2)
Perilaku yang selam ini mendapat hukuman
(3)
Latar alami yang selama ini menjadi penguat
Langkah ketiga: Memilih urutan perilaku yang mulai dilakukan (1)
Jenis hukuman apa yang akan diubah menjadi penguatan di kelas
(2)
Perilaku positif mana yang cenderung muncul terus-menerus di kelas
(3)
Stimulus mana yang digunakan untuk secara berbeda untuk mengendalikan perbuatan
Langkah ke empat: Menerangkan urutan, memelihara cacatan anekdotal, dan melakukan perubahan yang dikehendaki (1)
Penggunaan aturan rutin di kelas yang jelas dan konsisten
(2)
Penggunaan metode penguatan yang jelas dan potensial yang mengubah perilaku peserta didik
(3)
Peluang yang sama bagi setiap peserta didik untuk memperoleh penguatan
(4)
Penerapan penguatan mengikuti perubahan perilaku peserta didik
b) Menyusun pembelajaran terprogram/berbingkai Langkah pertama: Mengidentifikasi perilaku akhir dan menganalisis materi yang akan dipelajari (1)
Apa yang dipilih perilaku akhir pembelajaran?
(2)
Kata kunci apa yang perlu dipelajari untuk memperoleh perilaku akhir tersebut?
(3)
Contoh-contoh apa saja yang perlu mendapat respon peserta didik selama proses belajar?
Langkah kedua: Mengembangkan urutan awal bingkai dan konfirmasi respon (1)
Informasi apa yang akan ditempatkan pada bingkai pertama?
(2)
Urutan logis mana yang diharapkan muncul dari peserta didik?
(3)
Apakah urutan rangsangan yang dipakai mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks?
Langkah ketiga: mereview urutan awal bingkai dan melakukan perubahan sesuai kebutuhan (1)
Apakah urutan benar-benar dari yang sederhana ke yang kompleks?
(2)
Apakah isyarat secara berangsur hilang bersamaan di dalam urutan?
(3)
Apakah respon peserta didik cukup bermakna atau alasan saja?
Langkah keempat: Menerapkan pembelajaran pada sekelompok kecil peserta didik dan menyempurnakan lebih lanjut (1)
Apakah peserta didik mengalami kesulitan untuk bingkai itu?
(2)
Apakah ada gejala peserta didik berlomba untuk selesai dengan hanya membaca bagian dari bingkai itu?
(3)
Apakah pembelajaran itu mengarah pada penguasaan penampilan atau tes akhir yang merujuk pada kriteria?
2) Model Kondisi Belajar dari Robert Gagne-Briggs Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini mempunyai langkah-langkah sebagai berikut.
Tabel 1. Langkah-langkah strategi pembelajaran Tahap Satu: Mengembangkan Kerangka Kurikulum
Tahap Dua: Mengembangkan Kerangka Pembelajaran
Langkah 1: Identifikasi kebutuhan, Tujuan jangka panjang, Dan prioritas
Langkah 5: Analisis tujuan yang menjadi target ke dalm prosedur dan komponen subsekill
Latihan 10: Latihan Pembelajaran dalam menggunakan sistem
Langkah 2: Identifikasi kelayakan pencapaian tujuan
Langkah 6: Merumuskan tujuan pembelajaran untuk setiap subskill Langkah 7: Identifikasi peristiwa pembelajaran untuk setiap tujuan
Langkah 11: Melakukan evaluasi formatif
Langkah 8: Memilih media untuk setiap peristiwa pembelajaran
Langkah 13: Melakukan dan evaluasi sumatif dari system
Langkah 9: Mengembangkan tes untuk setiap tujuan pembelajaran
Langkah14: Mengembangkan dan menyebarluaskan sistem
Langkah 3: Mengembangkan tujuan kurikulum
Langkah 4: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tahap Tiga: Mengembangkan Sistem
Langkah 12: Melakukan uji lapangan dan melakukan revisi
3) Model Pemrosesan Informasi Dalam mengembangkan srategi pembelajaran di kelas, model ini memiliki dua langkah pokok sebagai berikut: a)
Pemahaman pengetahuan Langkah pertama: mengembangkan atau syarat untuk membimbing penerimaan pengetahuan baru. (1) Pertanyaan informal apa yang akan menghubungkan struktur kognitif peserta didik saat ini?
(2) Apakah pembelajaran itu memiliki tujuan yang tertulis atau pertanyaan arah saja yang akan menarik peserta didik saat ini? (3) Bagaimana pengetahuan atau keterampilan baru akan memperkuat yang sudah dimiliki peserta didik saat ini? Langkah ke dua: pilih atau kembangkan dukungan konseptual yang akan mampu memfasilitasi penyampaian informasi. (1) Informasi mana yang perlu digunakan sebagai pemandu awal yang akan menjembatani pengetahuan lama dengan pengetahuan baru? (2) Konsep, episode, dan citra mana yang sudah diterima yang dapat digunakan untuk member ilustrasi istilah, definisi, atau konsep baru? (3) Apakah pertanyaan penghubung dalm teks dapat digunakan oleh peserta didik untuk mensimulasi hal yang baru? (4) Hal apa yang secara logis menarik peserta didik untuk melakukan simulasi lebih lanjut? Langkah ke tiga: mengembangkan isyarat yang dapat membantu peserta didik untuk mengingat kembali yang telah dipelajarinya. (1) Perbandingan seperti apa dalam konsep, istilah, atau gagasan yang dapat dibuat untuk semua hal yang telah dipelajarinya? (2) Pertanyaan inferensi apa yang dapat digunakan untuk menyimpulkan hasil pembelajaran? b)
Pemecahan masalah Langkah pertama: menganalisis hakikat masalah
(1) Proses seperti apa yang telah dituntut oleh masalah? Penyusunan, transformasi, induksi, atau analisis historis. (2) Apa yang meski ada dalam masalah dan kendala dalam pemecahan masalah itu? (3) Untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah yang optimum langkah yang mana perlu dimusnahkan? Langkah ke dua: menganalisis perilaku dari pemecahan masalah pemula. (1) Unsur masalah mana yang menjadi pusat perhatian pemecahan masalah pemula dan bagaimana perbedaannya dengan masalah yang menjadi pusat perhatian para pakar? (2) Unsur masalah penting mana yang biasanya diabaikan oleh pemecah masalah pemula? (3) Strategi umum mana yang biasanya digunakan oleh pemecah masalah pemula, yang dinilai kurang produktif? Langkah ke tiga: menyajikan masalah kepada peserta didik dan menerapkan langkah yang tepat untuk membantu peserta didik melalui proses pemecahan masalah. (1) Membantu peserta didik megidentifikasi masalah yang sesungguhnya, jumlah keharusan yang minimum, dan kendala yang implisit dalam masalah. (2) Membantu peserta didik merumuskan tujuan, melakukan analisis historis, dan strategi lain yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah.
(3) Mendorong peserta didik untuk merumuskan dengan kata-katanya sendiri masalah, tujuan dan strategi yang akan digunakan dalam pemecahan masalah. (4) Memberikan
pelurusan
arah
pemecahan
masalah,
jika memang
diperlukan, pada akhir kegiatan bahas strategi yang digunakan, dan evaluasi strategi tersebut untuk pemecahan masalah lainnya atau pemecahan lebih lanjut.
4) Model Pengembangan Kognitif dari Jean Piaget Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut. Langkah pertama: menentukan topik dalam mata pelajaranatau kurikulum yang biasanya diajarkan dalam ceramah yang dapat menjadi penelitian peserta didik secara terbimbing. Aspek mana dalam kurikulum yang cocok untuk eksperimentasi a)
Topik mana yang kondusif untuk kegiatan pemecahan masalah dalam situasi kelompok?
b)
Topik mana yang dapat diperkenalkan dengan cara memanipulasi objek fisik sebelum perlakuan verbal? Langkah ke dua: memilih atau mengembangkan kegiatan kelas untuk
mengidentifikasi topik, dan mengevaluasi kegiatan terpilih yang menggunakan pertanyaan sebagai berikut. a)
Apakah kegiatan itu member peluang diterapkannya berbagai metode eksperimentasi?
b)
Dapatkah kegiatan itu mengarah pada munculnya berbagai pertanyaan dari peserta didik?
c)
Dapatkah peserta didik membandingkan berbagai cara penelaran dalam bekerja melalui kegiatan?
d)
Apakah masalah itu tidak bias dipecahkan atas dasar persepsi dan isyarat semata?
e)
Apakah kegiatan itu dapat membangkitkan baik kegiatan fisik maupun peluang untuk kegiatan bersifat kognitif?
f)
Dapatkah kegiatan itu memperkaya konstruk/kerangka pikir yang sudah ada? Langkah ke tiga: mengidentifikasi peluang pertanyaan bagi guru yang
dapat menopang proses pemecahan masalah. a)
Pertanyaan pelacak/probing mana yang digunakan?
b)
Potensi
proses
pembandingan
seperti
apa
yang dilakukan
dengan
memenfaatkan bahan yang kondusif bagi timbulnya pertanyaan spontan? Langkah ke empat: mengevaluasi setiap kegiatan, mencatat keberhasilan, dan merencanakan revisi yang diperlukan. a) Aspek kegiatan mana yang membangkitkan minat dan keterlibatan peserta didik paling kuat? Apakah hal itu dapat digunakan pada masa yang akan mendatang? b) Aspek kegiatan mana, bila ada, yang terasa datar saja, dan apakah hal itu disebabkan karena peserta didik gagal melibatkan diri dan bagaimana mengatasinya pada kesempatan lain?
c) Apakah kegiatan itu memberi peluang untuk mengembangkan strategi investigasi/penelitian digunakan?
5) Model Belajar Sosial dari Albert Bandura Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut. Langkah pertama: menganalisis perilaku yang akan dimodelkan. a)
Bagaimana hakikat perilaku itu? Bersifat konseptual, motorik, atau efektual?
b)
Urutan tahap apa yang seperti perilaku itu?
c)
Apa yang merupakkan titik kritis dari urutan itu yang sukar diamati atau bias menimbulkan perilaku yang keliru?
Langkah ke dua: membangun nilai fungsional dari perilaku dan memilih model dari perilaku itu. a)
Apakah perilaku itu akan membawa perkiraan keberhasilan, seperti berhasil mengoperasikan alat atau promosi jabatan?
b)
Jika perilaku itu mengandung kelemahan yang diprekdisikan, model potensial mana yang lebih mugkin mampu memeprediksikan keberhasilan?
c)
Meskikah model itu merupakan model hidup atau simbolik? Perlu dipertimbangkan waktu, biaya, dan kesempatan untuk menggambarkan nilai fungsional dari perilaku itu?
d)
Penguatan apa yang perlu diterima oleh model untuk perilakunya?
Langkah ke tiga: mengembangkan urutan pembelajaran a)
Untuk keterampilan motorik, perintah apa yang dapat digunakan untuk menyatakan kerjaan ini dan jangan kerjakan itu?
b)
Langkah-langkah mana dalam keseluruhan urutan pembelajaran yang perlu disajikan dengan pelan-pelan, dan kode verbal apa yang digunakan untuk mendukung langkah itu?
Langkah ke empat: menerapkan pembelajaran untuk membimbing proses reproduksi kemepuan kognitif dan motorik peserta didik dapat dikategorikan dengan cara berikut: a)
Sajikan model
b)
Beri kesempatan peserta didik untuk mengulanginya
c)
Beri kesempatan peserta didik untuk berlatih bersamaan dengan balikan visual
Untuk perlu konseptual dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Sajikan model dengan atau tanpa dukungan kode verbal atau arah untuk menemukan konsisitensi dalam berbagai contoh b) Berikan peserta didik kesempatan untuk mengintisarikan perilaku yang dimodelkan itu. c) Jika pembelajaran itu tentang pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan peserta didik untuk menjadi pemodel partisipasif. d) Beri peserta didik kesempatan untuk menerapkan generalisasi pada situasi lain
6) Model Atribusi dari Bernard Weiner Dalam mengembangkan strategi pembeljaran dikelas, model ini memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut:
Langkah pertama: menata ulang tujuan pembelajaran di kelas dalam hal proses dan strategi belajar. a) Tujuan mana yang kurang jelas dan perlu dirumuskan ulang agar memberi tekanan pada strategi pembelajaran? b) Perubahan apa dalam materi pembelajaran untuk memberi tekanan pada proses belajar? c) Apa makna dari pengetesan yang dilakukan apakah bersifat formatif atau diagnostik untuk mendapat balikan yang diperlukan untuk perbaikan strategi belajar? Langkah ke dua: mengidentifikasi kegiatan kelas yang: (a) mengurangi semangat interpersonal. (b) memfasilitasi pengembangan strategi berpendekatan tugas yang efektif. a) Apakah persentase waktu yang digunakan untuk kegiatan klasikal dan kegiatan kelompok dan kegiatan duduk di bangku terlalu besar, misalnya 8020? b) Kegiatan kelompok kecil mana yang dapat digunakan untuk meningkatkan proses belajar kooperatif? c) Permainan individual atau kelompok apa yang tersedia dapat digunakan untuk memperkuat atau memperbaiki strategi pembelajaran?
c.
Konsep Belajar Ngalim Purwanto (1990: 84) menyatakan definisi belajar adalah setiap
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman: Dengan demikian perubahan-perubahan yang
terjadi karena proses pertumbuhan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti perubahan-perubahan fisik pada seorang bayi sejak lahir. Dimyati dam Mudjiono (1999: 24) memaparkan pendapat para ahli tentang konsep belajar dan pembelajaran yaitu: 1) Belajar Menurut Pandangan Skinner Skinner berpendapat bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika ia tidak belajar maka responnya akan menurun. Dalam belajar ditemukan hal berikut: a)
Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon pebelajar.
b)
Respon si pembelajar, dan
c)
Konsekuensi yang bersifat menguatkan respon tersebut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respon si pembelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respon yang tidak baik diberi hukuman dan teguran. Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan
skinner ini terkenal dengan nama teori skinner. Dalam menerapkan teori skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu: Pemilihan stimulus yang diskriminatif dan, penggunaan penguatan. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan sebagai berikut: (1) Ke satu, mempelajari keadaan kelas. Guru Guru mencari dan meneukan perilaku siswa yang positif dan negative. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.
(2) Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih disukai saja, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat dijadikan penguat. (3) Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatannya. (4) Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku, dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidak berhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutnya. 2) Belajar Menurut Gagne Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks, hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki ketrampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulus yang berasal dari lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar. Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang merubah sifat stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapasitas baru. Menurut Gagne belajar dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Gagne melukiskan hal-hal berikut: a) Belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”.
b) Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, ketrampilan intelek, ketrampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Kelima
hasil
belajar
tersebut
merupakan
kapabilitas
siswa.
Kapabilitas siswa tersebut berupa: (1) Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilikan informasi verbal memungkinkan individu berperan dalam kehidupan. (2) Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambing. Keterampilan intelek ini terdiri dari dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi dan prinsip. (3) Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktifitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. (4) Keterampilan motorik adalah kemampuan setangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. (5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut. Gagne berpendapat bahwa dalam belajar terdiri dari tiga tahap yang meliputi Sembilan fase. Tahap itu sebagai berikut: (a) Persiapan untuk belajar (b) Pemerolehan dan unjuk belajar (performansi)
(c) Alih belajar Pada tahap persiapan dilakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi. Pada tahap pemerolehan dan performanisasi digunakan untuk persepsi selektif, sandimatik, pembangkitan kembali dan respon, serta penguatan. Tahap alih belajar meliputi pengisyaratan untuk membangkitkan, dan pemberlakuan secara umum. Adanya tahap dan fase belajar tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran. Dalam rangka pembelajaran maka guru dapat menyusun acara pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan antara fase belajar dengan acara-acara pembalajaran tersebut dapat dilukiskan dalam tabel.2 dibawah ini: Tabel 2. Hubungan Antara Fase Belajar Dan Acara Pembelajaran Tahapan Fase Belajar Acara Pembelajaran Persiapan untuk belajar Mengarahkan Menarik perhatian siswa dengan kejadian perhatian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus ekspektansi
Pemerolehan dan unjuk perbuatan
Retrival dan alih belajar
Retrival (informasi dan ketrampilan yang relevan untuk memori kerja) Persepsi selektif atas sifat stimulus Sandi semantik
Memberi tahu siswa mengenai tujuan belajar Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar(apa yang telah dipelajari) sebelumnya Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya Memberikan bimbingan belajar
Retrival dan respon
Memunculkan perbuatan siswa
Penguatan
Memberikan balikan informative
Pengisyaratan
Menilai perbuatan siswa
Pemberlakuan secara umum
Meningkatkan retensi dan alih belajar
3) Belajar Menurut Pandangan Piaget Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut (i). sensori motor (0-2 tahun), (ii). Pra-operasional (2-7 tahun), (iii). Operasional konkret (7-11 tahun), (iv). Oprasi formal (11-keatas). Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensori dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan menggerak-gerakkannya. Pada tahap praoperasional, anak mengandalkan diri pada presepsi tentang realitas. Ia mampu menggunakan symbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar,
dan
menggolong-golongkan.
Pada
tahap
konkret,
anak
dapat
mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadangkadang memecahkan masalah secara “trial and error”. Pada tahap operasi formal anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa. Menurut Piaget yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999:14), pembelajaran terdiri dari empat langkah, yaitu: a) Langkah satu: menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri. b) Langkah dua: memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut c) Langkah
tiga:
mengetahui
adanya
kesempatan
bagi
guru
mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah
untuk
d) Langkah empat: menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan tiap keberhasilan, dan melakukan revisi. Secara singkat, Piaget menyarankan agar dalam pembalajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplanasi.
4) Belajar Menurut Rogers Rogers menyayangkan praktek pendidikan disekolah tahun 1960an. Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menitik beratkan pada segi pengajaran, bukan siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominant dan saiswa hanya menghafalkan pelajaran. Menurut Rogers, yang dikutip oleh Dr. Dimyati dan Drs. Mudjiono dalam Buku Belajar dan Pembelajaran (1999: 16) mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran tersebut sebagai berikut: a) menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya. b) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. c) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagai bagian yang bermakna dalam bagi siswa. d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat moderen berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bejkerja sama dengan melakukan pengubahan diri terus menerus. e) Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berprestasi secarabertanggung jawab dalam proses belajar.
f) Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi diri sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder. g) Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguhsungguh. Menurut Rogers, yang dikutip oleh Dr. Dimyati dan Drs. Mudjiono dalam buku Belajar dan Pembelajaran (1999: 17) mengemukakan saran tentang langkah-langkah
pembelajaran
yang perlu
dilakukan
oleh
guru.
Saran
pembelajaran itu meliputi: a)
Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
b)
Guru dan siswa membentuk kontrak belajar.
c)
Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (Discovery Learning)
d)
Guru menemukan metode simulasi
e)
Guru mengadakan latihan kepekaan agar mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok lain
f)
Guru bertindak menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreatifitas Keempat pandangan tentang belajar tersebut merupakan bagian kecil
dari pandangan yang ada. Untuk kepentingan pembelajaran, para guru dan calon
guru masih perlu memilih teori yang relevan bagi bidang studi asuhannya. Guru juga perlu memodifikasi secara praktis sesuai kondisi perilaku siswa belajar.
d. Ciri-ciri Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada dilingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, atau hal-hal lain yang dijadikan bahan belajar. Dimyati dan Mudjiono (1999:8) menjelaskan beberapa ciri-ciri umum pendidikan, belajar, dan perkembangan pada tabel.3. Tabel 3. Ciri-ciri umum pendidikan, belajar, dan perkembangan. Unsur-unsur Pelaku
Tujuan
Proses
Tempat
Lama Waktu Syarat Terjadi Ukuran Keberhasilan
Faedah
Hasil
Pendidikan
Belajar
Perkembangan
Guru sebagai pelaku mendidik dan siswa
Siswa yang bertindak
Siswa yang mengalami
yang terdidik
belajar atau pebelajar
perubahan
Membantu siswa menjadi pribadi
Memperoleh hasil belajar
Memperoleh perubahan
mandiri yang utuh
dan pengalaman hidup
mental
Internal pada diri pebelajar
Internal pada diri pebelajar
Sembarang tempat
Sembarang tempat
Sepanjang hayat
Sepanjang hayat
Motivasi belajar
Kemauan mengubah diri
Proses interaksi sebagai faktor eksternal belajar Lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah Sepanjang hayat dan sesuai jenjang lembaga Guru memiliki kewibawaan pendidikan Terbentuk pribadi terpelajar
Bagi masyarakat mencerdaskan kehidupan bangsa
Pribadi sebagai pembangun yang produktif dan kreatif
Sumber: Dimyati dan Midjiono (1999:8)
Dapat memecahkan masalah Bagi pebelajar mempertinggi martabat pribadi Hasil belajar sebagai dampak pengajaran dan pengiring
Terjadinya perubahan positif
Bagi pebelajar memperbaiki kemajuan mental
Kemajuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik
e. Dinamika Siswa dalam Belajar Siswa belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik terhadap lingkungannya. Ada beberapa ahli yang mempelajari ranah-ranah tersebut dengan hasil penggolongan kemampuan-kemampuan pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara hierarkis. Bloom, Krathwohl, Simpson menyusun penggolongan perilaku (kategori perilaku) berkenaan dengan kemampuan internal dalam hubunganya dengan tujuan pengajaran. Hasil penelitian mereka dikenal dengan Taksonomi Instruksional Bloom. Dimyati dan Mudjiono (1999: 26) yang dijabarkan sebagai berikut: 1) Ranah Kognitif: terdiri dari enam jenis perilaku sebagai berikut: a) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, atau metode. b) Pemahaman, mencakup kemampuan menagkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari. c) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. d) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. e) Sintetis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. f) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu.
2) Ranah Afektif: terdiri dari lima jenis perilaku sebagai berikut: a) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut. b) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam kegiatan. c) Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup menerima suati nilai, menghargai, mengakui, dan menentukan sikap. d) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan peganggan hidup. e) Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. 3) Ranah psikomotorik: terdiri dari tujuh jenis perilaku sebagai berikut: a) Presepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan hal-hal secara khas, dan menyadari adanya perbedaan yang khas tersebut. b) Kesiapan, yang mencakup kemampuan penempatan diri dalam keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan c) Gerakan terbimbing, mencakup kemampua melakukan gerakan sesuai contoh. d) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakangerakan tanpa contoh. e) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau ketrampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara lancer, efisien dan tepat.
f) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan menandakan perubahan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku. g) Kreatifitas, mencakup kemampuan melahirkan pola gerak-gerak yang baru atas dasar prakarsa sendiri.
f. Dinamika Guru dalam Kegiatan Pembelajaran Peran guru dalam kegiatan pembelajaran disekolah relatif
tinggi.
Peran guru tersebut terkait dengan peran siswa dalam belajar (Dimyati dan Drs. Mudjiono, 1999: 33). 1) Bahan Belajar, dapat berwujud benda dan isi pendidikan. Isi pendidikan tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap, dan metode pemerolehan. 2) Suasana Belajar, kondisi gedung sekolah, tata ruang kelas, alat-alat belajar mempengaruhi kegiatan belajar disamping kondisi fisik tersebut, suasana pergaulan disekolah juga berpengaruh pada kegiatan belajar. 3) Media dan Sumber Belajar dapat ditemukan dengan mudah. Sawah percobaan, kebun bibit, tempat wisata, museum, gedung olahraga dll. Disamping itu buku bacaan, laboratorium sekolah juga tersedia semakin baik. 4) Guru Sebagai Subyek Pebelajar, guru sebagai guru pebelajar siswa. Sebagai subyek pebelajar guru berhubungan langsung degan siswa.
g. Prinsip-Prinsip Belajar Menurut Purwanto (1990:85) menyatakan beberapa elemen yang penting yang mencirikan tentang pengertian tentang belajar, yaitu: a. Belajar merupakan perubahan dalam tingkah laku. b. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman. c. Perubahan dalam belajar itu harus relative mantap. d. Tingkah laku yang mengalami perubahan
karena belajar
menyangkut berbagaiaspek kepribadian. 1) Perhatian dan motivasi Perhatian mempunyai peran penting dalam proses belajar, Gagne dan Berliner yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999: 42) mengatakan tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peran penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang mengerakan dan mengarahkan aktivitas seseorang. “motivasion is the concept we use when describe the force action on or within an organism to initiate and direct behavior” demikian menurut H. L. Petri (Petri, Herbert L, 1986:3). Motivasi dapat merupakan tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, motivasi merupakan salahsatu tujuan dalam mengajar. 2) Keaktifan Proses kegiatan belajar megajar akan berjaalan dengan baik jika siswa sebagai obyek belajar mempunyai keaktifan yang tinggi. Sehingga kegiatan belajar mengajar akan berjalan lancer dan tujuan dari kegiatan pembelajaran pun dapat tercapai. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa menoleh informasi yang kita terima, tidak sekedar
menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 42) 3) Keterlibatan langsung Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan “learning by Doing”. Belajar harus dialami melalui keterlibatan langsung. Belajar harus dilakukan siswa secara aktif, baik individual maupun kelompok dengan cara memecahkan masalah. Dan guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 46) Keterlibatan siswa didalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan. 4) Pengulangan Teori Psikologi Daya yang mengemukakan bahwa melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menaggap, mengingat, mengkhayal, berpikir, dengan mengadakan pengulanggan maka daya-daya tersebut akan berkembang. Teori lain yang menekan prinsip pengulangan tersebut adalah teori Psikologi Assosiasi atau Koneksionisme dengan tokohnya Thorndike yang didasarkan atas hokum belajarnya “Law of Exercise”, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan
pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 46). 5) Tantangan Teori Medan (Field Teory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa mengahadapi tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar haruslah menantang (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 48). 6) Balikan dan penguatan Teori belajar Operant dari B.F Skinner. Yang diperkuat dalam teori ini adalah responnya. Sebagaikuncinya adalah teori belajar Law of Effect dari Thorndike. Yaitu siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 48). 7) Perbedaan individual Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifai-sifatnya.
Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem pendidikan klasikal yang dilakukan disekolah kita kurang memperhatikan
masalah
perbedaan
individual,
umumnya
pelaksanaan
pembelajaran di kelas dengan melihat siswa individu dengan kemampuan ratarata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya. Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbedaan individual dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode atau strategi belajar mengajar yang bervariasi sehingga perbedaan-perbedaan kemampuan siswa dapat terlayani. Juga penggunaan media instruksional akan membantu melayani perbedaan-perbedaan siswa dalam cara belajar. Usaha lain untuk memperbaiki pembelajaran klasikal adalah dengan memberikan tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa yang pandai, dan memberikan bimbingan belajar bagi anak-anak yang kurang (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 46)
2. Alat Bantu Pembelajaran a. Pengertian Alat Bantu Pembelajaran Alat bantu adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Alat bantu ini lebih sering disebut alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan meragakan sesuatu dalam proses pendidikan pengajaran. Alat bantu ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indera. Semakin
banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan perkataan lain, alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indera sebanyak mungkin kepada suatu objek sehingga mempermudah persepsi. Seseorang atau masyarakat di dalam proses pendidikan dapat memperoleh pengalaman/pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Tetapi masing-masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda dalam
membantu
persepsi seseorang.
b. Manfaat Alat Bantu Pembelajaran Menurut Soekidjo (2003), secara terperinci, manfaat alat peraga antara lain sebagai berikut: 1)
Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
2)
Mencapai sasaran yang lebih banyak.
3)
Membantu mengatasi hambatan bahasa.
4)
Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan.
5)
Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan cepat.
6)
Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima
7)
kepada orang lain.
8)
Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para pendidik pelaku pendidikan.
9)
Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan. Seperti diuraikan di atas bahwa pengetahuan yang ada pada seseorang diterima melalui indera.
Menurut penelitian para ahli indera, yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% sampai 25% lainnya tersalur melalui indera yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan. (a) Mendorong keinginan orang untuk mengetahui kemudian lebih mendalami dan akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik. Orang yang melihat sesuatu yang memang diperlukan akan menimbulkan perhatiaannya. Dan apa yang dilihat dengan penuh perhatian akan memberikan pengertian baru baginya yang merupakan pendorong untuk melakukan/memakai sesuatu yang baru tersebut. (b) Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh. Di dalam menerima sesuatu yang baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan atau lupa. Untuk mengatasi hal tersebut, AVA akan membantu menegakkan pengetahuanpengetahuan yang telah diterima oleh manusia sehingga apa yang diterima akan lebih lama tinggal/disimpan didalam ingatan.
c. Syarat Alat Bantu Pembelajaran yang Baik Menurut Soekidjo (2003) suatu alat pembelajaran dapat dikatakan baik, apabila mempunyai tujuan pendidikan untuk: Mengubah pengetahuan/pengertian, pendapat dan konsep-konsep, Mengubah sikap dan persepsi, Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru. Selain itu, alat bantu harus efisien dalam penggunaanya, dalam waktu yang singkat dapat mencakup isi yang luas dan tempat yang
diperlukan tidak terlalu luas. Penempatan alat bantu
perlu diperhatikan
ketepatannya agar dapat diamati dengan baik oleh seluruh siswa. Efektif artinya memberikan hasil guna yang tinggi ditinjau dari segi pesannya dan kepentingan siswa yang sedang belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan komunikatif ialah bahwa media tersebut mudah untuk dimengerti maksudnya.
3. Lempar Lembing a. Sejarah Atletik Memahami sejarah tidak hanya sekedar untuk pengertian atau menguasai pengetahuan, tetapi menghayatin perkembangan atletik, sejak zaman kuno hingga kini. Dengan mengetahui kejadian masa lampau diharapkan pengetahuan itu dapat membangkitkan kesadaran untuk menata masa depan yang lebih baik. Sejarah dunia olahraga mencatat bahwa atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang memiliki nilai-nilai yang unik. Diantaranya, melalui kegiatan atletik terbina kemajuan manusia untuk bertahan hidup hingga menjadi manusia yang produktif. Atletik yang mencakup jalan, lari, lompat, dan lempar boleh dikatakan sebagai cabang olahraga yang tertua, sama tuanya dengan usia manusia pertama di dunia. Hal ini mudah dipahami, karena manusia pada saat itu harus berjalan, lari, lompat, dan lempar untuk mempertahankan hidupnya. Jalan, lari, lempar, dan lompat adalah bentuk kegiatan yang tidak ternilai artinya bagi hidup manusia. Semua gerakan ini tercangkup dalam atletik, bahkan gerakan-gerakan tersebut merupakan esensi dari semua cabang olahraga.
Tentu saja, penguasaan teknik dalam jalan, lari, lompat, dan lempar pada waktu itu masih sangat sederhana, Demikian pula keadaan alat dan fasilitas yang dipakai. Keadaan ini, tentu sangat berbeda dengan perkembangan atletik modern yang dikelola dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi. Menurut para ahli sejarah olahraga atletik sudah dilakukan di negeri Yunani pada abat ke-6 sebelum nabi Isa lahir. Pandanmgan ini didasarkan pada lukisan-lukisan pada zaman itu dan tulisan ahli filsafat yang bernama Xenophenes. Perkembangan atletik pada masa itu sangat erat hubungannya dengan perlombaan di Yunani yang mengalami Zaman keemasan, antara 500 s/d 400 Sebelum Masehi. Pada abat ke-12 Setelah Masehi, atletik masih belum dikenal oleh khayalak ramai. Namun, memasuki abad ke-18, mulai dibentuk berbagai perkumpulan atletik di Inggris, sekaligus sebagai dimulainya kembali perlombaan atletik. Setelah Amerika Serikat mendirikan perkumpulan pada tahun 1860 di San Fransisco, semakin semaraklah kegiatan atletik di seantero dunia, sehingga dapat dimasukan ke dalam kegiatan Olympiade pertama tahun 1896, meskipun hanya diikuti oleh kaum pria saja. Sekarang ini tidak kurang dari 24 nomor diperlombakan untuk pria, dan 14 nomor untuk wanita. Di Indonesia, atletik mulai dikenal lewat bangsa Belanda yang telah menjajah kita. Pada saat itu atletik belum banyak dikenal, karena hanya dilakukan di lingkungan sekolah dan kemiliteran saja, pada tahun 1943 mulai diselenggarakn perlombaan atletik antara sekolah yang diikuti tiga perkumpulan sekolah yaitu GASEMBA di Bandung, GASEMMA di Yogya, dan GASEMBO di
Solo. Mulai saat itulah atletik sering diperlombakan Setelah Indonesia merdeka pengembangan cabang olahraga atletik semakin pesat dengan berdirinya organisasi PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) tahun 1950 di Kota Bandung. Sejak saat itulah atletik menjadi cabang olahraga yang sangat digemari masyarakat. Hampir setiap pagi, orang melakukan jogging bahkan kalau hari libur, jaln raya sering dipenuhi oleh masyarakat untuk berolahraga lari atau jalan. Sampai memasuki abat millennium ke-3, tetap menjadi primadona masyarakat dalam berolahraga. Di sekolah dewasa ini, atletik sering menjadi kegiatan yang sering diberikan kepada siswa. Sekolah dapat menyesuaikan diri dengan fasilitas yang dimiliki. Atletik dikenal sebagai kegiatan yang murah, mudah, dan masal. Dalam kondisi apapun, sekolah bias menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar pendidikan
jasmani dengan pokok bahasan atletik. Guru perlu memiliki
kreativitas dan inisiatif agar pembelajaran atletik tidak membosankan siswa. Guru harus mampu mengemasnya dengan bentuk-bentuk kegiatan yang menarik. Pendekatan
bermain
kompetisi,
menjadi
salah
satu
pendekatan
dalam
pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran atletik di SLTP.
b. Pentingnya Atletik bagi Siswa SLTP Atletik dapat menjadi salah satu kegiatan primadona dalam proses belajar mengajar pendidikan jasmani di SLTP. Dalam setiap kegiatan pendidikan jasmani, guru dapat mengunakan unsur atletik sebagai pembuka, inti, atau penutup kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian atletik memiliki nilai lebih khususnya dalam pembentukan kwalitas fisik-psikis siswa agar lebih berkembang.
Bila kita sepakat atletik penting bagi pendidikan siswa SLTP, guru perlu mengupayakan model baru bagi pembelajaran yang lebih atraktif dan mengembirakan siswa. Untuk itu guru harus berusaha seoptimal mungkin dalam merancang tugas-tugas belajar. Tanpa perencanaan pengajaran yang baik, atletik justru akan lebih memupuk rasa kebosanan siswa terhadap kegiatan atletik yang terkenal monoton. Perlu disadari benar oleh para guru pendidikan jasmani bahwa siswa SMP barada pada tahap pencarian jati diri, mereka selalu mencari sesuatu yang baru,
termasuk
dalam
pembelajaran
atletik.
Siswa berada satu
tahap
kemampuaanya di atas siswa SD. Dengan ciri seperti itu, guru harus pula memperlakukan mereka secara berbeda dengan siswa SD. Meskipun materi yang diberikan sama, namun dalam model penyampaian dan tingkat kesulitas harus berbeda. Jadi, unsur pentahapan dan pengembangan sekuensi tugas gerak merupakan unsur penting dalam perencanaan pembelajaran. Sebenarnya dalam pembelajaran atletik tidak diperlukan peralayan yang mutakhir. Dengan peralatan yang sederhanapun pembelajaran itu bias berlangsung untuk mencapai tujuan. Guru berpesan untuk memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada di lingkungan sekolah dan sumber belajar yang digunakanpun, cukup dengan alat yang dimodifikasi guru atau siswa secara bersama-sama. Kondisi sekolah di kota besar dengan di desa sangat berbeda. Umumnya sekolah di kota, jauh lebih tersedia peralatannya dibandingkan desa. Namun dikota sering ada kendala berupa lahan yang tidak memadai untuk menampung aktifitas siswa. Untuk pembelajaran atletik, kondisi seperti ini tidak
perlu dirisaukan. Dalam kondisi apapun, proses penyampaian materi akan bias dijalankan, selama guru mempunyai keinginan untuk maju. Tantangan bagi guru pendidikan jasmani sangatlah tinggi, upaya tanpa mengenal menyerah menjadi kunci kesuksesan guru pendidikan jasmani. Untuk menyalurkan keinginan siswa dalam atletik diperlukan pengembangan atletik yang memiliki unsur permainan dan kompetisi. Unsur ini menjadi bagian proses pembelajaran, Apabila guru mampu merancang tugas ajar secara apik dalam proses pembelajaran, pengalaman itu dapat membantu siswa untuk mengerti dan mencintai atletik.
c. Program Pembelajaran Lempar di SLTP Untuk pembelajaran teknik lempar pada siswa SLTP akan lebih mudah dibandingkan dengan pembelajaran pada anak SD. Untuk siswa SLTP, kehatihatian dalam pelaksanaan pembelajaran tetap menjadi bahan pertimbangan. Dalam pembelajaran teknik lempar, guru dapat dimulai dari pengenalan alat. Selanjutnya, guru menggunakan alat ganti yang aman dan ringan pada siswa. Langkah ini perlu dilakukan, terutama dalam upaya pembentukkan teknik yang baik dan benar dalam melempar. Apabila siswa sejak awal dengan memekai alat yang sesungguhnya, pembentukan sikap gerak akan terganggu karena siswa masih sulit menggunakan alat tersebut. Penggunaan alat bantu dalam tahap penganalan pembelajaran teknik lempar ini, dapat dilaksanakan melalui beberapa langkah perbaikan ketrampilan siswa. Setelah siswa menguasai secara teknis dasar-dasar pelaksanaan teknik lempar, guru bisa mengajari mereka dengan alat yang sesungguhnya. Apabila
guru memulai pelajaran, langsung mengunakan alat yang sebenarnya, maka dibutuhkan pengawasan dan bimbingan. Dalam pembelajaran teknik lempar, guru bisa memulainya dari yang termudah yaitu lempar lembing, tolak peluru, lempar cakram, dan lempar martil. Tahap ini perlu dipahami agar siswa tidak dihadapkan dengan tugas yang sulit terlebih
dahulu.
Apabila
keliru
dalam
menentukan
pentahapan
dalam
pembelajaran berpotensi dikhawatirkan akan berdampak pada kesalahan gerak yang selanjutnya menimbilkan cidera yang tidak diinginkan.
d. Teknik Dasar Lempar Lembing Lempar lembing merupakan bagian dari nomor lempar dalam atletik. Menurut Yudha M Saputra (2001) bahwa lempar lembing merupakan salah satu kemampuan dalam melemparkan benda berbentuk lembing, sejauh mungkin. Untuk dapat melakukan lempar lembing dengan baik, sebaiknya siswa harus menguasai teknik dasar lempar lembing. Menurut Roji (2004) bahwa baik buruknya lemparan sangat ditentukan oleh penguasaan teknik dasar lempar lembing seperti; cara memegang lembing, membawa lembing, awalan, dan cara melempar. Untuk lebih jelasnya teknik-teknik tersebut diuraikan sebagai berikut: 1)
Cara memegang lembing Menurut Yudha M Saputra (2001) terdapat tiga cara memegang lembing
yaitu cara biasa (Amerika style), Cara Finlandia (Fin style), dan cara menjepit (Tang style). Memegang lembing dengan cara biasa dilakukan dengan ibu jari dan jari telunjuk berada di pangkal lembing, sedangkan jari lainya menempel pada lembing.
Cara Finlandia dilakukan dengan memegang lembing pada bagian tali lilitan pegangan, dengan posisi ibu jari dan jari tengah berada pada bagian belakang tali pagangan, sedangkan jari telunjuk diluruskan menempel pada lembing. Dan Cara menjepit; lembing dipegang dengan cara dijepit oleh telunjuk dan jari tengah pada bagian tali lilitan pegangan dan jari lainnya memperkuat pegangan pada lilitan lembing. 2)
Cara membawa lembing Lembing dibawa setinggi telinga, mata lembing mengarah bawah atau ke
atas, yang diawali dengan sikap berdiri tegak menghadap ke arah lemparan, lembing dipegang kemudian diangkat setinggi telinga dengan siku ditekuk. 3)
Awalan Awalan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan lemparan. Mengambil
awalan dapat dilakukan dengan sikap lari dan diakhiri dengan langkah jingkat atau langkah silang. 4)
Melempar lembing Sebelum melempar lembing terlebih dahulu pelempar harus mengambil
posisi melempar yang sempurna, yaitu jarak kaki cukup jauh, tangan yang memegang lembing diluruskan ke samping bawah, berat badan berada pada salah satu kaki, dalam posisi seperti ini dilanjutkan dengan gerakan meluruskan kaki kanan, setelah itu memutar dan mendorong pinggul ke kiri. Sesaat kaki kanan hampir lurus, siku kanan ditekuk dan mengangkat lembing ke depan atas, bersamaan berat badan dipindahkan ke kiri selanjutnya kaki kiri berpijak pada tanah. Dalam posisi ini lembing segera di lempar dan diikuti dengan gerak lanjutan.
4. Penelitian tindakan kelas Menurut Kemmis dan Taggart (1994:117), penelitian tindakan merupakan sebuah inkuiri yang bersifat reflektif mandiri yang dilakukan oleh partisipan dalam situasi sosial termasuk kependidikan dengan maksud untuk meningkatkan kemantapan rasionalitas dari a. praktik-praktik sosial kependidikan, b. pemahaman terhadap praktek-praktek tersebut, c. situasi pelaksanaan praktekpraktek pembelajaran. Instrumen yang diperlukan dalam penelitian tindakan kelas sangat sejalan dengan prosedur dan langkah penelitian tindakan kelas itu sendiri. Ditinjau dari hal tersebut, maka instrument-instrument ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; instrumen untuk mengobservasi guru (observing teacher), instrumen untuk mengobservasi kelas (observing classroom), instrumen untuk mengobservasi perilaku siswa (observing student). Penelitian tindakan kelas atau istilah dalam bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR) sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu dikenal dan ramai dibicarakan dalam dunia pendidikan. Ada tiga kata pembentuk pengertian PTK yaitu: (a). penelitian, menunjuk pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hasil yang menarik minat dan penting bagi peneliti, (b). tindakan, menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu, dalam penelitian berbentuk rangkaian kegiatan siklus untuk siswa, (c) kelas, dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik yaitu sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama dari guru yang
sama pula. Dalam menggabungkan batasan pengertian tiga kata tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiata belajar berupa sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa (Arikunto, 2006:11). Sudah lebih dari sepuluh tahun Penelitian Tindakan Kelas (yang biasa disingkat dengan PTK) dikenal dan ramai dibicarakan dalam dunia pendidikan. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin Mc Tanggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya (Zainal Aqib, 2006:13). Menurut John Elliot yang dikutip oleh Zainal Aqib pada buku “Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru” PTK adalah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan didalamnya. Dalam bahasa inggris PTK diartikan Classroom Action Research (CAR). Namanya sendiri sebetulnya sudah menunjukan isi yang terkandung didalamnya. Menurut Zainal Aqib (2006:12) ada tiga kata yang membentuk pengertian PTK, maka ada tiga pengertian pula yang dapat diterangkan. a. Penelitian adalah kegiatan mencermati suatu objek, menggunakan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu dari suatu hal yang menarik minat dan penting bagi peneliti.
b. Tindakan adalah suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu, yang dalam penelitian ini berbentuk rangkaian siklus kegiatan. c. Kelas adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari seorang guru. Dengan menggabungkan batasan pengertian tiga kata tersebut segera dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan yang disengaja dimunculkan, dan terjadi dalam sebuah kelas. Menurut Zainal Aqib (2006:16), karakteristik PTK adalah sebagai berikut: 1) Didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional. 2) Adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya. 3) Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi. 4) Bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktik instruksional. 5) Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus. 6) Pihak yang melakukan tindakan adalah guru sendiri, sedangkan yang melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah peneliti, bukan guru yang sedang melakukan tindakan. Sedangkan
menurut
Susilo
(2009:17),
menjelaskan
beberapa
karakteristik PTK yaitu: 1) Ditinjau dari segi permasalahan, karakteristik PTK adalah masalah yang diangkat berangkat dari persoalan praktik dan proses pembelajaran sehari-hari dikelas yang benar-benar dirasakan langsung oleh guru.
2) Penelitian tindakan kelas selalu berangkat dari kesadaran kritis guru terhadap persoalan yang terjadi ketika praktik dan proses pembelajaran berlangsung, dan guru menyadari pentingnya untuk mencari pemecahan masalah melalui suatu tindakan atau aksi yang direncanakan dan dilakukan secermat mungkin dengan cara-cara ilmiah dan sistematis. 3) Adanya rencana tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki praktik dan proses pembelajaran dikelas. Jika penelitian yang dilakukan hanya sekedar ingin tahu tanpa disertai tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki persoalan atau permasalahan maka itu tidak bias disebut penelitian tindakan kelas. 4) Adanya upaya kolaborasi antar guru dengan teman sejawat lainnya dalam rangka membantu untuk mengobservasi dan merumuskan persoalan mendasar yang perlu diatasi. Menurut Zainal Aqib (2006:14), jenis-jenis ptk adalah sebagai berikut: 1) PTK diagnostik, ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun penelitian kearah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosis dan memasuki situasi yang terdapat dalam latar penelitian. 2) PTK partisipasi, ialah apabila orang yang akan melakukan penelitian harus terlibat langsung didalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian yang berupa laporan. 3) PTK empiris, ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan tindakan atau aksi dan melakukan apa yang dilaksanakan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung.
4) PTK eksperimental, ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien didalam suatu kegiatan belajar mengajar. Zainal Aqib (2006:27) menjelaskan sasaran PTK, yaitu: 1) Unsur siswa: dapat dicermati objek ketika siswa sedang asyik mengikuti proses pembelajaran dikelas, laboratoriium, lapangan, bengkel, atau ketika siswa sedang mengikuti kerja bakti dilkuar sekolah. 2) Unsur guru: dapat dicermati ketika guru sedang mengajar dikelas, sedang membimbing siswa-siswa yang sedang berdarmawisata, atau ketika guru sedang mengadakan kunjungan ke rumah siswa. 3) Unsur materi pelajaran: dapat dicermati ketika guru sedang mengajar atau sebagai bahan yang ditugaskan kepada siswa. 4) Unsur Peralatan atau sarana pendidikan: dapat dicermati ketika guru sedang mengajar. Dengan tujuan meningkatkan mutu hasil belajar, yang dapat diamati guru, siswa, atau keduanya. 5) Unsur hasil pembelajaran: yang ditinjau dari tiga ranah yang dijadikan titik tujuan yang harus dicapai melalui pembelajaran, baik susunan maupun tingkat pencapaian. 6) Unsur lingkungan: baik lingkungan siswa dikelas, sekolah maupun yang melingkupi siswa dirumahnya. 7) Unsur Pengelolaan: yang jelas-jelas merupakan gerak kegiatan sehingga mudah diatur, direkayasa dalam bentuk kegiatan.
Menurut Susilo (2009:16) PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru atau dikelas tempat disekolah, dengan penekanan pada penyempurnaan atau peningkatan praktik dan proses dalam pembelajaran. Dalam PTK guru dapat melakukan penelitian sendiri terhadap proses pembelajaran dikelas atau juga secara kolaboratif bekerja sama dengan guru dan peneliti lain. Susilo (2009:16) menjelaskan bahwa, dalam prakteknya PTK adalah tindakan yang bermakna melalui prosedur penelitian yang mencakup empat langkah yaitu: a) Merumuskan masalah dan merencanakan tindakan (planning) b) Melaksanakan tindakan (acting) dan pengamatan (observing) c) Merefleksikan (reflecting) d) Perbaikan atau perubahan perencanaan (replanning) untuk pengembangan tingkat keberhasilan. Ada beberapa model yang dapat diterapkan dalam PTK, Zainal Aqib (2006:21) menyebutkan beberapa modal PTK yaitu: 1. Model Kurt Lewin Zainal Aqib (2006:21) bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin yang menyatakan bahwa dalam satu siklus terdiri atas empat langkah, yaitu: b. Perencanaan (Planning) c. Aksi atau tindakan (Acting) d. Observasi (Observing) e. Refleksi (Reflecting) (Lewin,1990).
Sementara itu empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T Stringer dikolaborasi lagi menjadi: a) Perencanaan (Planning) b) Pelaksanaan (Implementing) c) Penelitian (Evaluating) (Ernest,1996) Berdasarkan langkah-langkah seperti yang digambarkan PTK diatas, selanjutnya dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa siklus yang akhirnya kumpulan dari beberapa siklus.
1. Model John Elliot Apabila dibandingkan dengan dua model yang sudah diutarakan diatas yaitu model Kurt Lewin dan Kemmis – Mc Taggart, PTK model John Elliot ini tampak lebih detail dan memungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara tiga sampai lima aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah (step), yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Maksud penyusunan secara terinci PTK model John Elliot ini, supaya dapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf didalam pelaksanaan aksi atau proses belajar mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan menjadi beberapa sub pokok bahasan atau mata pelajaran, adalah bahwa dalam kenyataan dilapangan setiap pokok bahasan bisanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi dalam beberapa langkah, itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan model sebelumnya.
2. Model Dave Ebbutt Sesudah
Dave
Ebbutt
mempelajari
model-model
PTK
yang
dikemukakan para ahli PTK sebelumnya, dia berpendapat bahwa model-model PTK yang ada seperti yang diperkenalkan oleh John Elliot, Kemmis dan Mc Taggart, dipandang sudah cukup bagus. Akan tetapi didalam model-model tersebut masih ada beberapa hal yang belum tepat sehingga masih perlu dibenahi. Pada dasarnya Ebbutt setuju dengan gagasan yang diutarakan oleh Kemmis dan Elliot tetapi tidak setuju mengenai beberapa interpretasi Elliot mengenai karya Kemmis. Selanjutnya dinyatakan pula olehnya tentang pandangan Ebbutt yang menyatakan bahwa bentuk spiral yang dilakukan oleh Kemmis dan Mc Tanggart bukan merupakan cara yang terbaik untuk menggambarkan proses aksi refleksi (action-reflection). Karena Dave Ebbutt merasa tidak puas dengan adanya model-model PTK yang hadir sebelumnya, kemudian dia memperkenalkan model PTK yang disusunya sendiri. Adapun model PTK yang dimaksud menggambarkan adanya empat tahap yakni sebagai berikut: a. Tahap 1 : menyusun rancangan tindakan (perencanaan), yang menjelaskan tentang apa, dimana, oleh siapa dan bagaimana tindakan tersebut dilaksanakan b. Tahap 2 : pelaksanaan tindakan, yaitu implementasi atau penerapan isi rancangan didalam kancah, yaitu menggenakan tindakan kelas. c. Tahap 3 : pengamatan, yaitu pelaksanaan pengamatan oleh pengamat d. Tahap 4 : refleksi, atau pantulan, yaitu kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah terjadi.
Secara keseluruhan, keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus.
Siklus
ini
kemudian
diikuti
oleh
siklus-siklus
lain
secara
berkesinambungan seperti sebuah spiral. Namun sebelum keempat tahapan itu berlangsung, biasanya diawali oleh suatu tahap pra PTK, yang meliputi: identifikasi masalah, analisa masalah, rumusan masalah, dan rumusan hipotesis tindakan.
3. Model Kemmis dan Mc. Taggart Inti konsep yang diperkenankan Kurt Lewin seperti yang sudah dikemukakan diatas itulah yang selanjutnya dikembangkan oleh para ahli PTK yang hadir kemudian, misalnya Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John Elliot, Dave Ebbutt dan sebagainya. Model yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc Taggart tampaknya masih begitu dekat dengan model yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin
sehingga belum tampak adanya perubahan. Keempat komponen
tersebut meliputi: a. Perencanaan (Planning) b. Aksi/Tindakan (Acting) c. Observasi (Observing) d. Refleksi (Reflecting) Hanya saja, sesudah suatu siklus selesai diimplementasikan, khususnya sesudah adanya refleksi, kemudian diikuti dengan adanya perencanaan ulang yang dilaksanakan dalam bentuk siklus tersendiri. Demikian seterusnya, atau dengan
beberapa kali siklus. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan PTK model Kemmis dan Taggart yang dikemukakan secara sistematis: Observasi dan Wawancara
Perencanaan
Tindakan I
Evaluasi
Pemahaman konsep
Refleksi
Gambar 2. Konsep PTK menurut Kemmis dan Taggart
a. Perencanaan (Planning) Kegiatan perencanaan mencakup (1) identifikasi masalah, (2) analisis penyebab adanya masalah, dan (3) pengembangan bentuk tindakan (aksi) sebagai pemecahan masalah. Untuk keperluan identifikasi masalah dalam penelitian tindakan kelas ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: 1) Masalah harus benar-benar terjadi dan dirasakan oleh guru pada saat melaksanakan tugas (on the job problem oriented) 2) Problematik, artinya masalah perlu dipecahkan berkaitan dengan tanggung jawab, kewenangan dan tugas seorang guru. 3) Memiliki manfaat yang jelas, artinya pemecahan masalah yang dilakukan akan memberikan manfaat yang jelas bagi siswa dan guru karena ada kemungkinan kalau masalah tidak segera diatasi akan mengganggu penguasaan kompetensi berikutnya dalam proses pembelajaran yang mempunyai sifat kesinambungan. 4) Dapat dipecahkan oleh guru selaku pelaksana penelitian tindakan kelas.
b. Tindakan (Acting) Dalam
menentukan
tindakan
(aksi)
yang
dipilih
perlu
mempertimbangkan pertanyan-pertanyaan sebagai berikut: (a) apakah tindakan yang dipilih telah mempunyai landasan berfikir yang mantap, baik secara kajian teoritis maupun konsep? (b) apakah alternatif tindakan yang dipilih dipercaya dapat
menjawab
permasalahan
yang
muncul?
(c)
bagaimanakah
cara
melaksanakan tindakan dalam bentuk strategi langkah-langkah setiap siklus dalam proses pembelajaran dikelas? (d) bagaimana cara menguji tindakan sehingga dapat dibuktikan telah terjadi perbaikan kondisi dan peningkatan proses dalam kegiatan pembelajaran dikelas yang diteliti? Setelah ditetapkan bentuk tindakan yang dipilih sesuai dengan rencana pelaksanaan tindakan, maka langkah selanjutnya adalah mengimplemintasikan tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan scenario pembelajaran yang sudah dibuat oleh guru.
c. Observasi (Observing) Kegiatan observasi atau pengamatan dalam penelitian tindakan kelas dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran lengkap secara objektif tentang perkembangan proses pembelajaran, dan pengaruh dari tindakan yang dipilih terhadp kondisi kelas dalam bentuk data. Data yang dihimpun melalui pengamatan ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Pengambilan data harus bersifat multiple data collection, jangan hanya menggunakan satu instrumen saja. Kegiatan pengambilan data dapat dilakukan diantaranya dengan cara:
1)
Observasi atau pengamatan (non-tes), bagaimana cara anak mempersiapkan alat dan bahan, bagaimana anak menggunakan alat, bagaimna sikap anak ketika mengerjakan tugas.
2)
Wawancara (non-tes), terhadap tiga anak yang unik, tiga anaka yang pintar, tiga anak yang tidak bisa (bodoh), tiga anak yang mempunyai antusias tinggi, tiga anak enggan mengikuti proses.
3)
Angket (non-tes), sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa secara tertulis yang berguna untuk menggungkap tanggapan balik siswa dan dampak dari aktifitas tindakan selama proses pembelajaran berlangsung.
4)
Jurnal (non-tes), catatan harian siswa tentang media cara guru mengajar, interaksi kawan dan lain-lain.
5)
Dokumentasi (non-tes), gambar dan foto PBM.
6)
Nilai ulangan (tes), penilaian hasil tugas yang dilakukan guru yang sejenis.
d. Refleksi (Reflecting) Refleksi dilakukan untuk mengadakan upaya evaluasi yang dilakukan guru dan tim pengamat dalam penelitian tindakan kelas. Refleksi dilakukan dengan cara berdiskusi terhadap berbagai masalah yang muncul dikelas penelitian yang diperoleh dari analisis data sebagai bentuk dari pengaruh tindakan yang telah dirancang. Pada kegiatan refleksi ini juga ditelaah aspek-aspek mengapa, bagaimana, dan sejauh mana tindakan yang dilakukan mampu memperbaiki masalah secara bermakna.
B. Kerangka Pemikiran Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu melibatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar yakni menggunakan kegiatan siswa sendiri secara efektif di dalam pembelajaran. Siswa diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang sesuai dengan konsep pembelajaran yang sedang dipelajari. Dalam hal ini peran guru hanya sebagai motivator dan fasilitator. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa, siswa diberi kesempatan seluasluasnya untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam menyelesaikan masalah yang sesuai dengan materi pembelajaran. Permasalahan umum dalam pembelajaran Penjas adalah kurangnya sarana atau peran aktif siswa dalam kegiatan belajar. Proses pembelajaran yang berlangsung belum mewujudkan adanya partisipasi siswa secara penuh. Di sini siswa berperan sebagai objek pembelajaran, yang hanya mendengarkan dan mengaplikasikan apa yang disampaikan oleh guru. Selain itu, proses pembelajaran kurang mengoptimalkan penggunaan modifikasi pembelajaran yang dapat memancing partisipasi siswa. Penggunaan suatu model nyata yang dapat diamati dan dipegang secara langsung oleh siswa memungkinkan siswa untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Model nyata yang dimaksud adalah media pembelajaran. Penggunaan modifikasi pembelajaran memungkinkan siswa untuk lebih banyak melakukan kegiatan seperti melihat, menyentuh, merasakan, atau mengalami melalui modifikasi tesebut.
Penggunaan modifikasi dalam pelaksanaan tindakan tiap siklusnya disesuaikan dengan topik materi yang sedang dipelajari. Secara garis besar modifikasi yang digunakan antara lain berupa rudal. Secara lebih rinci jenis-jenis media tersebut dijabarkan dalam RPP tiap-tiap pertemuan. Penggunaan modifikasi dapat memunculkan fenomena atau gejala yang dapat ditangkap siswa sehingga dapat memunculkan masalah-masalah yang terkait dengan topik atau materi yang sedang dipelajari. Permasalahanpermasalahan inilah yang menjadi basis dalam pembelajaran untuk dipecahkan bersama di dalam kelas. Pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah di dalam kelas adalah dengan penggunaan rudal dalam pembelajaran teknik dasar lempar lembing. Kurangnya kreatifitas guru yang dapat mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa antara lain kurang kreatifnya guru Pendidikan jasmani di sekolah dalam membuat dan mengembangkan
media pembelajaran sederhana, guru miskin akan
model-model pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang monoton, guru hanya menggunakan metode ceramah dan metode tugas, karena mereka hanya mengejar bagaimana materi pelajaran tersebut dapat selesai tepat waktunya, tanpa memikirkan bagaimana pembelajaran itu bermakna dan dapat diaplikasikan oleh siswa dalam kesehariannya.
Secara sederhana kerangka pemikiran dari
penelitian ini dapat
digambarkan pada gambar 3 sebagai berikut:
Kondisi awal
Tindakan
Kondisi akhir
Guru: kurang kreatif & inovatif dalam mengajar Pendidikan Jasmani
Meningkatkan teknik dasar lempar lembing melalui penggunaan alat bantu pembelajaran
Melalui penggunaan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan teknik dasar lempar lembinng siswa (siswa lebih bersemangat dan prestasi belajar meningkat)
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Siswa: - siswa kurang tertarik & cepat bosan dengan pelajaran lempar lembing - hasil belajar Penjas rendah - pemahaman teknik dasar siswa rendah. Siklus I: guru & peneliti menyusun bentuk gerakan & teknik yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar teknik dasar lempar lembing siswa.
Siklus II dan III: upaya perbaikan dari tindakan dari siklus I sehingga melalui penggunaan alat bantu pembelajaran dapat berhasil meningkatkan hasil belajar teknik dasar lempar lembing siswa.
C. Hipotesis 1. Penggunaan alat bantu pembelajaran pendidikan jasmani dapat meningkatkan kemampuan teknik dasar lempar lembing siswa SMP Penda Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. 2. Partisipasi siswa dalam pembelajaran Penjas meningkat, khususnya pada pembelajaran teknik dasar lempar lembing siswa SMP Penda Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian 1. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2009, karena dalam penelitian tindakan kelas berlangsungnya pengamatan adalah dilakukan setiap hari dalam waktu tertentu, dan dilakukan pengamatan adalah setiap berlangsungnya mata pelajaran Pendidikan Jasmani Kelas VII 2 SMP Penda Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, yaitu setiap hari selasa dari pukul 07:00 sampai dengan pukul 09:30 WIB. Hal ini dilakukan karena dalam penelitian tindakan kelas proses pelaksanaan penelitian tidak boleh menggangu proses belajar mengajar itu sendiri. Pelaksanaan tindakan kelas tidak menganggu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran. No
Tabel 4. Rincian Kegiatan Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian Rencana Kegiatan Tahun 2009 - 2010 Agts
1.
a. Observasi
xxx
xxx
a. Identifikasi Masalah
xxx
xxx
b. Penentuan Tindakan
xxx
xxx
c. Pengajuan Judul
xxx
xxx
d. Penyusunan Proposal
xxx
Nov
Feb
xxx
Pelaksanaan a. Seminar Proposal b. Pengumpulan Data Penelitian
3.
Okt
Persiapan
e. Pengajuan Izin Penelitian 2.
Sept
xxx xxx
Penyusunan Laporan a. Penulisan Laporan b. Ujian Skripsi
xxx xxx
2. Tempat Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMP PENDA Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.
B. Subjek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah: 1.
Siswa, subjek dalam penelitian ini siswa kelas VII SMP PENDA Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Jumlah keseluruhan siswa kelas VII.2 adalah sebanyak 33 orang. Seluruh siswa diamati untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan.
2.
Guru, subjek yang diamati adalah guru dalam memberikan pembelajaran, meliputi persiapan, proses, dan penilaian pada saat pembelajaran Pendidikan Jasmani.
C. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer, berupa hasil belajar dan proses pembelajaran penjas di SMP PENDA Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. 2. Data Sekunder, berupa RPP, silabus dan dokumen kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi informasi tentang keadaan siswa dilihat dari aspek kualitatif, dan kuantitatif. Aspek kualitatif berupa catatan lapangan pelaksanaan pembelajaran, hasil observasi dengan berpedoman pada lembar observasi. Aspek kuantitatif yang dimaksud adalah hasil penilaian belajar
dari materi pokok lempar lembing. Data penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber meliputi : a.
Informasi mitra kolaboratif dan siswa
b.
Tempat peristiwa dan berlangsungnya aktivitas pembelajaran
c.
Dokumentasi atau arsip yang antara lain berupa kurikulum, sekenario pembelajaran, silabus buku penilaian dan buku referensi mengajar. Tabel 5. Teknik/ Alat pengumpulan data
Aspek yang diteliti
Teknik/ Alat Pengumpulan Data
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Studi simak (RPP yang dibuat guru)
Alat Bantu Pembelajaran (APP)
Pelaksanaan Pembelajaran Semangat dan keaktivan siswa Pemahaman siswa terhadap proses pembelajaran Partisipasi belajar aktif siswa
- Studi simak: untuk melihat rancangan alat bantu yang akan digunakan. - Observasi lapangan: untuk melihat ketersediaan dan pemanfaatan alat bantu yang sudah direncanakan digunakan Lembar Observasi pengamatan lapangan Kartu Ceria, angket Lembar Pengamatan
D. Validasi Data Menurut Lexy J. Maleong (2007: 330) teknik triangulasi sumber data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding data. Triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber data dan metode. Jenis triangulasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda, dan bahkan
lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kebenaran informasinya. Dalam penelitian ini, digunakan metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara, angket dan tes KBM berlangsung. Skema triangulasi dalam penelitian ini terlihat pada gb.4 sebagai berikut: Observasi
Angket
Ujian/Tes
Peneliti
Wawancara
Studi Dokumen Gambar 4. Skema Triangulasi Sumber Data Penelitian (Iskandar, 2009: 86)
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik analisis tersebut dilakukan karena sebagian besar data yang dikumpulkan berupa uraian diskriptif tentang perkembangan proses pembelajaran, yakni partisipasi siswa dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan teknik dasar lempar lembing. Teknik analisis ini mengacu pada model analisis Miles dan Huberman (dalam Iskandar, 2009:75-76) yang dilakukan dalam 3 komponen yaitu. 1. Reduksi data yaitu meliputi penyeleksian data melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas.
2. Penyajian data dilakukan dalam rangka mengorganisasikan data yang merupakan penyusunan informasi secara sistematik dari hasil reduksi data dimulai dari perencanaan, pelaksanaan tindakan observasi dan refleksi pada masing-masing siklus. 3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan upaya pencarian makna data, mencatat keteraturan dan penggolongan data. Data yang terkumpul disajikan secara sistematis dan bermakna. Berikut skema model interaktif dalam analisis data. Penyajian Data
Display Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan Gambar 5. Model Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Secara Interaktif (Sumber: Miles dan Huberman, dalam Iskandar, 2009:76)
F. Prosedur Penelitian Merupakan langkah-langkah yang harus dilalui peneliti. Langkah pertama menentukan metode yang digunakan dalam penelitian, yaitu metode Penelitian Tindakan Kelas. Langkah selanjutnya menentukan banyaknya tindakan yang dilakukan dalam siklus. Dalam Penelitian Tindakan Kelas ini, peneliti akan melakukan tindakan-tindakan yang dalam pelaksanaannya berlangsung secara terus menerus
dan tindakan-tindakan ini akan dilaksanakan dalam siklus yang peneliti berikan pada siswa yang peneliti jadikan subyek penelitian. Adapun langkah-langkah pelaksanaan PTK secara prosedurnya adalah dilaksanakan secara partisipatif atau kolaborasi (guru, dosen dengan tim lainnya) bekerjasama, mulai dari tahap orientasi dilanjutkan penyusunan rencana tindakan dilanjutkan pelaksanaan tindakan dalam siklus pertama, diskusi yang bersifat analitik yang kemudian dilanjutkan kepada langkah refleksi-evaluatif atas kegiatan yang dilakukan pada siklus pertama, untuk kemudian mempersiapkan rencana modifikasi, koreksi, atau pembetulan, atau penyempurnaan pada siklus kedua dan seterusnya.
Adapun prosedur atau langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terlihat pada gambar 6. Orientasi Perencanaan Pelaksanaan Tindakan
Refleksi
SIKLUS I Pengamatan Orientasi Perencanaan Berikut
Perbaikan Perencanaan Refleksi
SIKLUS II
Pelaksanaan Tindakan
Pengamatan Dilanjutkan Ke Siklus Berikut? Gambar 6. Siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Iskandar, 2009:67)
Keterangan: 1. Mengidentifikasi permasalahan umum 2. Mengadakan pengecekan dilapangan (reconnaissance) 3. Membuat perencanaan umum 4. Mengembangkan tindakan pertama 5. Mengobservasi, mengamati, mendiskusikan tindakan pertama 6. Refleksi-evaluatif, dan merevisi atau memodifikasi untuk perbaikan dan peningkatan pada siklus kedua dan berikutnya
Untuk memperoleh hasil penelitian seperti yang diharapkan, prosedur penelitian ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Survei Awal Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah: Peneliti mengobservasi sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian. 2. Tahap Seleksi Informan, Penyiapan Instrumen dan Alat Pada tahap ini peneliti melakukan persiapan yang meliputi: a. Menentukan subjek penelitian b. Menyiapkan alat dan instrumen penelitian dan evaluasi 3. Tahap Pengumpulan Data dan Treatment Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data tentang: a. Hasil belajar lempar lembing b. Kepuasan siswa terhadap proses pembelajaran c. Ketepatan Rencana Pelaksanaan Pebelajaran (RPP) d. Alat Bantu Pembelajaran (APP) e. Pelaksanaan Pembelajaran f. Semangat dan keaktifan siswa 4. Tahap Analisis Data Dalam tahap ini analisis yang digunakan penelitian adalah deskriptif kualitatif. Teknik analisis tersebut dilakukan karena sebagian besar data yang dikumpulkan
berupa
uraian
diskriptif tentang perkembangan
proses
pembelajaran, yakni partisipasi siswa dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan teknik dasar lempar lembing.
5. Tahap Penyusunan Laporan Pada tahap ini peneliti menyusun laporan dari semua kegiatan dari awal survei sampai dengan menganalisis data yang dilakukan pada waktu penelitian.
G. Proses Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII SMP PENDA Tawangmangu. Setiap tindakan upaya pencapaian tujuan tersebut dirancang dalam satu unit sebagai satu siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Penelitian ini, direncanakan dalam 3 siklus. 1. Rancangan Siklus I a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti dan guru kelas menyusun: 1) Skenario pembelajaran sebagai berikut: a) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) b) Menyusun lembar penilaian dan hasil pembelajaran c) Menyusun lembar Observasi d) Menyiapkan lembar tes dan angket e) Menyiapkan rudal f) Menyiapkan lapangan g) Penetapan alokasi waktu pelaksanaan penelitian h) Sosialisasi kepada subyek penelitian
b. Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan, kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan proses pembelajaran di lapangan dengan langkah-langkah kegiatan antara lain: 1) Menjelaskan kegiatan belajar mengajar secara umum 2) Melakukan pemanasan 10 menit 3) Membentuk kelompok (5 kelompok @ 8 siswa) 4) Melakukan latihan teknik dasar lempar lembing a) Cara memegang lembing b) Cara membawa lembing c) Cara awalan dengan langkah jingkat d) Cara melempar lembing 5) Diskusi kelompok membahas masalah masing-masing 6) Membantu secukupnya pada masing-masing kelompok 7) Melaksanakan diskusi kelas 8) Menarik kesimpulan 9) Penilaian dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung 10) Melaksanakan penenangan c. Tahap Observasi Kegiatan pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan Pelaksanaan Tindakan I. Pada Tahap ini dilakukan pengamatan terhadap efektifitas modifikasi pembelajaran penjas yang diterapkan terhadap proses pembelajaran teknik dasar lempar lembing. Observasi dilakukan dengan menggunakan instrument berupa lembar observasi siswa.
d. Tahap Evaluasi (Refleksi) Mengemukakan hasil temuan-temuan dari pelaksanaan tindakan I yang memerlukan perbaikan pada siklus berikutnya. Tabel 6. Indikator Ketercapaian Belajar Siswa Persentase Aspek Target Capaian yang Diukur Cara mengukur Siklus 1 Siklus 2
Keaktian siswa pembelajaran
selama
30%
50%
Diamati saat guru memberikan materi teknik dasar lempar lembing dengan penggunaan alat bantu pada awal pembelajaran
Keaktivan semangat siswa dalam mengikuti pembelajaran
40%
60%
Diamati saat pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi oleh peneliti dan dihitung dari jumlah siswa yang menunjukkan kesungguhan dalam kegiatan belajar mengajar. Diamati saat pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi oleh peneliti.
Siswa yang sudah mampu melakukan teknik dasar lempar lembing dengan menggunakan alat bantu pembelajaran Ketuntasan hasil belajar (hasil dari tes kemampuan teknik dasar)
40%
40%
50%
65%
Dihitung dari jumlah siswa yang memperoleh nilai 65 ke atas untuk tes tingkat kesegaran jasmani. Siswa yang mendapat nilai 65 atau lebih dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar.
e. Tahap pelaksanaan, dilakukan dengan melaksanakan skenario pembelajaran yang telah direncanakan, Tahap ini dilakukan bersamaan dengan observasi terhadap dampak tindakan. f. Tahap observasi dan interpretasi, dilakukan dengan mengamati dan menginterpretasikan pendekatan aplikasi pembelajaran bermain pada proses pembelajaran pendidikan jasmani maupun pada hasil pembelajaran yang
telah dilaksanakan untuk mendapatkan data tentang kekurangan dan kemajuan aplikasi tindakan pertama. g. Tahap analisis dan refleksi, dilakukan dengan menganalisis hasil observasi dan interpretasi sehingga diperoleh kesimpulan bagian mana yang perlu diperbaiki atau disempurnakan dan bagian mana yang telah memenuhi target.
2. Rancangan Siklus II dan III Pada siklus II perencanaan tindakan dikaitkan dengan hasil yang telah dicapai pada tindakan siklus I sebagai upaya perbaikan dari siklus tersebut dengan materi pembelajaran sesuai dengan silabus mata pelajaran pendidikan jasmani. Demikian halnya dengan siklus III yang perbaikan tindakannya dikaitkan dengan tindakan pada siklus II dan seterusnya, termasuk perwujudan tahap pelaksanaan, observasi dan interpretasi, serta analisis dan refleksi yang juga mengacu pada siklus sebelumnya.