BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan tidak hanya menawarkan kebahagiaan tetapi juga penderitaan kepada manusia. Human life can be fullified not only in creating and enjoying, but also in suffering. Frankl (dalam Bastaman, 1996) mengatakan bahwa dalam hidup, manusia tidak hanya bekerja dan berbahagia tetapi juga mengalami penderitaan. Manusia dalam kehidupannya seringkali menghadapi peristiwa tragis, yaitu kejadian yang tidak mengenakkan dan terjadi di luar harapan. Perasaan tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkan sehubungan dengan peristiwa tragis yang dialami seseorang kemudian disebut sebagai penderitaan. Penderitaan merupakan bagian integral dalam hidup manusia. Keberadaan manusia selalu berkisar antara senang dan susah, tawa dan air mata, juga derita dan bahagia. Manusia wajib berupaya seoptimal mungkin untuk mengatasi penderitaan yang tengah dialaminya, tetapi bila ternyata penderitaan itu tidak mungkin diatasi atau tidak dapat dihindarkan lagi, maka tiba saatnya penderitaan itu harus diterima sebagai bagian dari hidupnya (Bastaman, 1996). Penerimaan ini membuat manusia mampu menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi penderitaan yang tidak dapat dielakkan lagi. Hal ini akan menimbulkan perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna (the meaningful
life)
dengan
kebahagiaan
1
(happiness)
sebagai
hasilnya.
2
Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memiliki nilai khusus bagi seseorang. Kehendak untuk hidup bermakna menjadi motivasi utama pada diri manusia. Hal inilah yang memotivasi setiap individu untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya dengan tujuan membuat hidupnya menjadi berharga dan menghayatinya secara bermakna (Bastaman, 1996). Individu yang memiliki penghayatan hidup bermakna akan menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan jauh dari perasaan hampa. Mereka menyadari bahwa makna hidup tetap dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari meskipun berada dalam keadaan yang buruk. Mereka akan mampu menghadapi situasi yang tidak nyaman atau penderitaan dengan tabah. Peristiwa tragis yang terjadi dalam hidup manusia ada banyak jenisnya. Salah satu bentuk peristiwa tragis bagi orang tua adalah memiliki anak kandung yang terlahir dengan kondisi tidak seperti yang mereka harapkan. Setiap orang tua memiliki harapan agar anak mereka dapat terlahir dengan normal, sehat, dan dapat bertumbuh kembang dengan baik. Namun tidak semua orang tua terpenuhi harapannya karena anak mereka terlahir dengan kondisi memiliki gangguan tertentu. Salah satu bentuk gangguan tersebut adalah cerebral palsy. Cerebral palsy (CP) adalah gangguan gerakan dan postur tubuh yang muncul selama masa bayi atau anak usia dini (Berker dan Yalcin, 2010). Hal ini disebabkan oleh kerusakan nonprogresif pada otak sebelum, selama, atau segera setelah lahir. Kerusakan otak tersebut bersifat permanen dan tidak dapat disembuhkan, tetapi konsekuensi akibat kerusakan tersebut dapat diminimalkan.
3
Proses gangguan tersebut juga tidak bersifat sementara waktu (Miller dan Bachrach, 2006). Oleh karena itu, seorang anak yang memiliki masalah motorik sementara atau yang memiliki masalah motorik dengan kondisi memburuk dari waktu ke waktu tidak dapat dikategorikan sebagai cerebral palsy. Cerebral palsy adalah salah satu permasalahan kelahiran yang sering terjadi. Setiap 2.000 bayi yang lahir, 5 di antaranya lahir dengan cerebral palsy (Miller dan Bachrach, 2006). Hal ini bersifat konstan selama lebih dari 30 tahun, meskipun terdapat kemajuan dalam bidang kebidanan dan perawatan anak. Jumlah tersebut mulai naik sedikit pada tahun-tahun terakhir abad kedua puluh di Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya. Namun adanya perbaikan dalam perawatan dan medis kemajuan medis mengakibatkan kelangsungan hidup anak-anak dengan gangguan cerebral palsy yang sebelumnya akan meninggal di usia muda, menjadi tetap bisa bertahan hidup. Miller dan Bachrach (2006) mengemukakan bahwa seseorang dengan cerebral palsy dapat menampakkan gejala kesulitan dalam hal motorik seperti menulis atau menggunakan gunting; masalah keseimbangan dan berjalan; atau masalah pada gerakan involunter seperti selalu mengeluarkan air liur. Individu dengan cerebral palsy juga mungkin memiliki banyak jenis masalah medis lainnnya. Sebagian besar masalah ini terkait dengan cedera otak termasuk epilepsi, keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Gejala tersebut dapat berbeda setiap pasien. Penyandang cerebral palsy derajat berat akan mengakibatkan ketidakmampuan berjalan dan membutuhkan perawatan ekstensif dan jangka panjang, sedangkan
4
penyandang cerebral palsy derajat ringan mungkin hanya sedikit canggung dalam gerakan dan membutuhkan bantuan yang tidak khusus. Gangguan atau kelainan yang dimiliki oleh bayi akan memberikan dampak terhadap orang tua dan fungsi keluarga (Miller dan Bachrach, 2006). Orang tua yang mendengar bahwa bayi mereka mengalami cerebral palsy, akan mengalami shock atau rasa tidak percaya. Ayah dan ibu dari anak dengan cerebral palsy juga akan merasa bersalah dan merasa mereka yang telah menyebabkan adanya gangguan pada anak mereka (Miller dan Bachrach, 2006). Survei awal yang dilakukan terhadap subjek penelitian menunjukkan bahwa dua dari tiga subjek tersebut merasakan rasa bersalah ketika mengetahui anak mereka terlahir dengan kondisi cerebral palsy. “Kenapa kok anak saya yang seperti ini?Kenapa kok saya yang diberi itu? Apa dosa saya? Apa dosa saya, apa kesalahan saya? Saya koreksi diri apa.. dosa saya, apa saya salah anak jadi seperti ini?” (Wawancara subjek I, 21 Mei 2015) “Istilahnya saya menyalahkan diri saya sendiri, gitu loh. Saya merasa salah ngene yo mbak.. kok aku ndek mben ki ra ngerti yo hamil i kok sampe nggak tahu. Tahunya lah dokter e ki piye, kan aku wis manut dokter. Kadang-kadang kayak menyalahkan diri, kok aku ndek mbek ki ra ngerti ngopo yo.. Tanggapan saya itu loh mbak kadang-kadang, kok anakku sing kena imbasnya” (Wawancara subjek II, 26 Mei 2015) Orang tua dari penyandang cerebral palsy sering bertanya-tanya apakah ada dosa dalam dirinya sehingga keluarganya mendapatkan hukuman dari Tuhan . Rasa tertekan juga sering timbul dalam pengasuhan anak karena difabilitas yang dialami dan juga karena orang tua tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan (Valentina, 2014). Orang tua dari penyandang cerebral palsy tidak hanya merasakan perasaan bersalah tetapi juga merasa cemas dan takut terhadap kondisi anak mereka. Perasaan cemas dan tersebut bahkan tidak berhenti setelah diagnosis diberikan,
5
tetapi akan berlanjut selama masa perkembangan anak (Miller dan Bachrach, 2006). Semakin bertambah usia anak, semakin keras usaha yang dibutuhkan orang tua untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan. Anak yang memiliki gangguan cerebral palsy akan menunjukkan perkembangan yang lebih lamban pada beberapa aspek. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gangguan cerebral palsy juga akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Orang tua harus membawa anak kepada dokter atau terapis yang tepat. Pemberian terapi sangat berguna untuk membantu anak dalam aspek-aspek perkembangan yang berjalan lamban. Penyandang cerebral palsy selalu membutuhkan pengawasan dari orang tua. Kebutuhan ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya dalam hal keamanan. Selama tahap perkembangan bayi dan anak-anak awal, penyandang cerebral palsy akan sangat menggantungkan keselamatan mereka kepada orang lain (Miller dan Bachrach, 2006). Penyandang cerebral palsy skala berat bahkan menggantungkan keselamatan mereka seumur hidup. Para caregiver terutama orang tua harus melindungi anak dari keadaan-keadaan yang dapat melukai anak. Keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang cerebral palsy menjadi ancaman bagi keselamatan mereka. Mereka tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh sehingga mereka memiliki kemungkinan untuk terjatuh bahkan ketika berada dalam posisi duduk. Saat berada di atas kursi roda, mereka juga memiliki kemungkinan untuk tergelincir atau menabrak ketika tidak mampu mengendalikan kursi roda tersebut. Selain dari diri sendiri, ancaman keselamatan bagi penyandang cerebral palsy juga bersumber dari orang lain dan lingkungan luar. Penyandang cerebral palsy
6
tidak memiliki kemampuan untuk memberontak atau melindungi diri mereka saat ada orang lain yang melakukan tindak kejahatan terhadap mereka. Tanpa adanya pengawasan penuh dari caregiver terutama orang tua, ancaman-ancaman terhadap keselamatan para penyandang cerebral palsy akan memberikan dampak yang fatal seperti cedera parah atau trauma psikis. Faktor lain yang menjadi ancaman bagi keselamatan penyandang cerebral palsy adalah perilaku self injurious. Penyandang cerebral palsy memiliki kecenderungan melukai atau menyakiti diri sendiri dengan cara menggigit tangan, memukul-mukul tangan, membenturkan kepala, dan menggaruk-garuk mata (Miller dan Bachrach, 2006). Perilaku tersebut semakin bertambah parah ketika penyandang cerebral palsy berada sendirian tanpa pengawasan atau saat mereka sedang tidak melakukan kegiatan apapun. Oleh karena itu, orang tua tidak bisa meninggalkan mereka tanpa pengawasan dan sebisa mungkin melibatkan penyandang cerebral palsy dalam berbagai kegiatan sehingga perhatian mereka dapat teralihkan dari perilaku self injurious. Pengawasan orang tua bagi penyandang cerebral palsy tidak hanya dibutuhkan dalam faktor keamanan, tetapi juga dalam faktor komunikasi. Masalah komunikasi yang terdapat pada penyandang cerebral palsy disebabkan oleh gangguan dalam kemampuan berbicara. Sebagian penyandang cerebral palsy tidak mampu mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas dan berbicara dengan gagap. Masalah komunikasi dapat menyebabkan frustasi pada penyandang cerebral palsy sebab mereka tidak mampu menyampaikan keinginan dan kebutuhan mereka melalui kata-kata atau gestur. Frustasi tersebut seringkali
7
berujung pada sikap tantrum. Masalah komunikasi yang mereka alami juga akan membuat mereka mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain (Miller dan Bachrach, 2006). Kesulitan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar juga disebabkan oleh postur tubuh penyandang cerebral palsy yang berbeda dengan anak pada umumnya dan keterbatasan fisik yang dimiliki. Seringkali penyandang cerebral palsy terisolasi dari lingkungan sosial mereka (Miller dan Bachrach, 2006). Orang tua dalam hal ini berperan untuk selalu ada bagi penyandang cerebral palsy dan siap mendengarkan keluhan yang mereka berikan ketika ditolak dari lingkungan sosial mereka. Orang tua juga harus mampu menjelaskan kepada penyandang cerebral palsy tersebut mengapa sebagian individu dalam lingkungan sosial di sekitar mereka tidak mampu menerima mereka. Meski demikian, orang tua juga tetap harus membantu anak untuk tetap bersosialisasi dengan orang lain. Pendampingan orang tua bagi penyandang cerebral palsy tidak hanya berhenti pada aspek keamanan dan komunikasi. Aspek kemandirian merupakan perhatian utama bagi para orang tua dari penyandang cerebral palsy dan menyebabkan penyandang cerebral palsy selalu membutuhkan kehadiran orang tua di sisi mereka. Penyandang cerebral palsy skala berat akan mengalami kesulitan untuk menjadi mandiri dan sangat memiliki kemungkinan untuk menggantungkan diri mereka seumur hidup kepada caregiver. Keterbatasan fisik yang dimiliki, membuat penyandang cerebral palsy memiliki kesulitan mengerjakan aktivitas sehari-hari bahkan yang sangat sederhana seperti untuk
8
berpindah tempat, makan, mengganti pakaian, dan kegiatan kebersihan tubuh. Mereka membutuhkan bantuan untuk melakukan hampir seluruh aktivitas tersebut. “Kalau makan ya sudah makan sendiri, minum. Tapi ya dia memang nda bisa jadi cuman mengguling. Misalnya kalau mengambil barang kalau cuma di tempat tidurnya kan mbak, di bawah jadi bisa. Kalau saya dudukkan di meja belajar ya bisa, tapi memang diangkat trus saya kasih kursi dan meja. Kalau mandi juga ndak bisa mbak, kalau ada kursinya dia cuma mainan air sih bisa. Kan angkat-junjung terus mbak, saya kan punya kursi roda. Tapi kalau buat.. buat.. buang, untuk apa..itu pup itu kan belum ada dulu trus kan ada dari dinas sosial yang muter itu akhirnya dapat itu juga tapi saya coba itu kan dia juga lama ndak bisa kayak itu, trus akhirnya ya saya itu.. tetep saya angkat, ya seperti itulah mbak” (Wawancara subjek III, 2 Juli 2015) “Kegiatan sendiri belum ada mbak, belum bisa. Kalau makan gitu nek dipegangke umpamanya karak, apa kerupuk, apa rambak kayak gitu kan bisa dipegang. Kalau roti gitu kan ada yang bisa dipegang, itu bisa dipegangke trus makan. Yang lainnya disuapin semua, makan, minum, semua” (Wawancara subjek II, 26 Mei 2015) Kondisi yang dimiliki penyandang cerebral palsy tidak hanya menimbulkan perhatian khusus dalam aspek sosial tetapi juga aspek finansial dari keluarga. Penyandang cerebral palsy membutuhkan pendidikan khusus, terapi, serta peralatan-peralatan yang dapat membantu mereka. Sebagian penyandang cerebral palsy membutuhkan walker untuk membantu berjalan, kursi roda, kursi khusus untuk menopang tubuh mereka, juga sepatu ortopedik. Selain itu, penyandang cerebral
palsy
juga
membutuhkan
beberapa
terapi
untuk
menunjang
perkembangan mereka seperti terapi okupasi, terapi bicara, terapi fisik, dan terapi musik (Hermawan, 2013). Penyandang cerebral palsy yang tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah umum akan membutuhkan sekolah khusus. Merawat dan mendampingi anak berkebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah, terutama anak dengan cerebral palsy. Orang tua harus selalu mendampingi anak sebab anak dengan cerebral palsy memiliki keterbatasan dalam kemandrian dan keamanan diri. Orang tua juga harus membagi perhatian
9
antara bekerja, merawat anak berkebutuhan khusus, serta merawat anak-anak yang lainnya. Saudara dari penyandang cerebral palsy seringkali merasakan cemburu dan mencari-cari perhatian orang tua mereka karena merasa kurang mendapatkan perhatian (Miller dan Bachrach, 2006). Proses mendampingi dan merawat penyandang cerebral palsy membuat orang tua merasakan banyak emosi negatif. Paragraf di atas telah menyebutkan orang tua dari penyandang cerebral palsy merasa cemas, takut dan merasa bersalah ketika mengetahui anak mereka terlahir berbeda. Emosi negatif lainnya yang dirasakan orang tua adalah kemarahan, stress, ketidakpastian, kecemasan, dan kecewa. Emosi-emosi negatif tersebut jika tidak ditangani dengan baik, tidak hanya berakibat buruk bagi orang tua, tetapi juga dapat menyebabkan anak mengalami gangguan psikologis (Parkes dkk, 2008). Ibu memiliki peran sentral dalam keluarga dan bertanggung jawab dalam hal merawat anak (Borzoo, Nickbakht, dan Jalalian, 2014). Ibu lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibanding ayah (Santrock, 1995). Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang dilakukan ibu sifatnya berulang-ulang dan rutin seperti memasak, beres-beres rumah, berbelanja, mencuci, dan merawat anak. Sedangkan ayah dalam keluarga lebih berperan sebagai pencari nafkah dan menyediakan sumber ekonomi keluarga. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan ibu dapat menimbulkan munculnya berbagai emosi negatif dalam diri ibu seperti kekhawatiran dan kelelahan. Ibu juga berperan lebih banyak dalam merawat dan mendampingi penyandang cerebral palsy.
10
Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi yang dialami. Ibu tetap dapat menemukan kebermaknaan hidupnya meski dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Penemuan makna hidup tersebut dapat dicapai dengan melakukan perubahan sikap terhadap kondisi yang tengah dihadapi. Kebermaknaan hidup merupakan motivasi utama dalam diri manusia untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya (Bastaman, 1996). Ibu yang menemukan kebermaknaan hidupnya akan lebih mampu memberikan upaya maksimal dalam merawat dan mendampingi penyandang cerebral palsy. Makna hidup memiliki sifat yang penting bagi hidup seseorang sebab berperan sebagai motivasi utama bagi manusia untuk bekerja dan berkarya serta mendorong individu untuk memenuhi apa yang sudah ditetapkan menjadi makna dalam hidupnya. Pemenuhan makna akan menyebabkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan menjadi lebih terarah. Keberhasilan menemukan makna hidup selanjutnya akan menyebabkan kehidupan ini terasa berarti dan berharga (Bastaman, 1996). Makna hidup juga mengandung tujuan hidup, yaitu hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi selama seseorang menjalani kehidupan. Pencapaian makna hidup ini tetap dapat dilakukan meskipun dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, proses pencapaian kebermaknaan hidup ini adalah bagian yang menarik dan penting serta mampu menggambarkan tahapan yang dilalui seseorang ketika menghadapi penderitaan yang bersumber dari peristiwa tragis yang dialami hingga mampu menemukan makna hidupnya. Pencapaian hidup penuh makna tersebut dapat dilakukan oleh semua orang,
11
termasuk oleh seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hal tersebut dan penjelasan pada paragraf sebelumnya mengenai makna hidup yang dapat dipenuhi meski berada dalam penderitaan akibat peristiwa tragis, serta penjelasan mengenai ganggauan cerebral palsy, peneliti ingin mengetahui serta menggambarkan proses pencapaian kebermaknaan hidup pada ibu dalam penelitian berjudul : “Studi Kasus Proses Pencapaian Kebermaknaan Hidup pada Ibu dari Penyandang Cerebral Palsy”
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman secara mendalam mengenai proses pencapaian kebermaknaan hidup pada Ibu dari penyandang cerebral palsy. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana Ibu yang memiliki anak penyandang cerebral palsy dapat mencapai proses kebermaknaan hidupnya. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan dua macam manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis Memberikan masukan secara teoritis bagi disiplin ilmu psikologi khususnya bidang psikologi perkembangan, psikologi klinis, psikologi abnormal, dan psikologi eksistensial.
12
b. Manfaat Praktis 1) Memberikan
gambaran
pengalaman
nyata
proses
pencapaian
kebermaknaan hidup pada ibu dari penyandang cerebral palsy kepada para orangtua dan caregiver yang menangani anak berkebutuhan khusus. Hal ini dapat memotivasi para ibu dari anak dengan cerebral palsy serta para caregiver yang menangani anak berkebutuhan khusus agar
mampu
mempertahankan
dan
meningkatkan
pencapaian
kebermaknaan hidup yang telah diperoleh agar dapat mendampingi serta memberikan pola asuh terbaik kepada anak-anak tersebut. 2) Memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat mengenai penyandang cerebral palsy dan gambaran pengalaman nyata proses pencapaian kebermaknaan hidup pada ibu dari penyandang cerebral palsy. Melalui hal tersebut, masyarakat diharapkan dapat memberi dukungan positif kepada para caregiver terutama ibu dari penyandang cerebral palsy dan anak berkebutuhan khusus lainnya. 3) Memberikan informasi bagi para ahli terkait seperti psikolog dan guru sekolah inklusi mengenai gambaran pengalaman nyata proses pencapaian kebermaknaan hidup pada ibu dari penyandang cerebral palsy. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan penanganan yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya dan anak cerebral palsy pada khususnya.
13
4) Memberikan
masukan
dan referensi
bagi
penelitian-penelitian
selanjutnya mengenai gambaran pengalaman nyata proses pencapaian kebermaknaan hidup pada ibu dari penyandang cerebral palsy.
14