BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dari tahun 1992 hingga kini belum mampu mewujudkan tercapainya cakupan peserta program jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia (universal coverage) (Mukti & Moertjahjo, 2010). Hal ini berdasarkan data bahwa sekitar 37% (87 juta) dari penduduk Indonesia belum memiliki atau tercover asuransi/ jaminan kesehatan. Salah satu upaya pemerintah dalam hal universal coverage di mana semua warga berhak mendapatkan jaminan kesehatan, pada tahun 2004 telah menetapkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa jaminan kesehatan merupakan program jaminan sosial yang menjadi prioritas untuk diimplementasikan. Penetapan undang-undang ini merupakan salah satu wujud nyata komitmen penyelenggara negara untuk menjalankan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Tindak lanjut dari Undang-Undang No 40 Tahun 2004, dikeluarkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (1) adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS bidang kesehatan sudah mulai berjalan 1 Januari 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan berjalan pada Juli 2015. Dalam melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS perlu adanya perangkat peraturan pendukung. Namun, sampai Januari 2013, Pemerintah baru mengeluarkan satu peraturan Presiden yang mendukung pelaksanaan UU SJSN ini yaitu Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Perangkat pendukung tidak mudah disusun oleh pemerintah dikarenakan perdebatan dari berbagai pihak yang belum memberikan hasil kesepakatan dalam hal ini mengenai masalah besaran iuran. Besaran iuran berdasarkan buku peta jalan JKN (Kemenkokesra, DJSN, dan Kemenkes, 2012), untuk tahap awal iuran non PBI diperhitungkan berkisar 56% gaji sebulan atau penetapan nilai nominal, sedangkan untuk PBI, kebutuhan 1
2
iuran tahap awal adalah sebesar Rp22.000,- sampai Rp27.000,- Per Orang Per Bulan (POPB). Batas atas upah penetapan iuran dan besaran iuran akan disesuaikan paling lama setiap 2 tahun. Menurut IDI dalam (Prawira, 2013) menyatakan iuran yang ideal adalah sebesar Rp38.000,-. Berbeda dengan IDI, sebagian besar pekerja buruh yang masuk dalam jaminan kesehatan milik PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) menginginkan pembayaran iuran BPJS yang serendah-rendahnya (Ariyanti, 2013). Menurut Direktur Utama PT Askes, Fachmi Idris sudah ada tiga lembaga yang mengajukan angka iuran BPJS ke PT Askes, antara lain Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebesar Rp27.000,- Kemenkes Rp22.000,- serta dari Kemenkeu sebesar Rp15.000,(Ariyanti, 2013). Perdebatan tentang iuran program pemeliharaan kesehatan oleh BPJS Kesehatan ini disebabkan oleh cara pandang perhitungan yang berbeda-beda dari masing-masing pihak yang berkepentingan dalam hal ini IDI, Pemerintah dan Pekerja. Perhitungan IDI didasarkan atas nilai keekonomian dan profesionalisme. Menurut Ketua Bidang Pembiayaan dan Ekonomi Kesehatan PB IDI, Mahlil Ruby, menilai bahwa perhitungan rate iuran yang berbasis kunjungan pasien tidak dapat memberikan gambaran rill lapangan karena tidak semua orang sakit datang ke sarana pelayanan kesehatan. IDI berpendapat maksimal hanya 60% atau bahkan kurang dari 60% orang sakit yang datang ke sarana pelayanan kesehatan. Seharusnya, perhitungan rate utilisasi didasarkan pada survey tingkat kesakitan. Disamping itu, aspek profesionalisme dokter juga turut diperhitungkan sehingga dokter senior dan fresh graduate dibiayai berbeda, demikian pula dengan letak geografi (Aby, 2012) Berbeda dengan IDI yang menggunakan perhitungan premi yang berbasis hitungan aktuaria seperti pada asuransi komersil. Perhitungan premi program pemeliharaan kesehatan pada pelaksanaan BPJS Kesehatan kedepan basisnya mengikuti perhitungan asuransi sosial. Menurut Thabrany (2011), perhitungan iuran asuransi sosial tidak didasarkan atas tingkat angka kesakitan melainkan atas dasar prosentase upah. Perhitungan besaran iuran berdasarkan prosentase pendapatan/upah merupakan wujud pemerataan (equity) dan solidaritas sosial
3
sekaligus fungsi pengaturan dan pengayoman pemerintah terhadap penduduk yang pendapatannya rendah (Samba, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Iwan et al, 2008) mengemukakan bagaimana pentingnya sebuah premi/iuran dengan memperhitungkan beberapa aspek terkait dengan premi rill, premi utilisasi normatif dan benefit paket dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan membayar masyarakat. Hasil temuannya menyatakan bahwa jika jumlah kebutuhan dana untuk menanggulangi klaim terus meningkat dan tidak diimbangi dengan konsekuensi pembayaran premi yang sesuai maka beban badan penyelenggara/asuradur akan semakin besar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, BPJS Kesehatan menghitung kelebihan dan kekurangan iuran sesuai dengan gaji atau upah peserta. Iuran bagi peserta non PBI atau peserta pekerja penerima upah dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja. Berbeda dengan perpres ini, JPK PT Jamsostek yang pada 1 Januari 2014 akan bergabung dengan BPJS Kesehatan, penyelenggaraan penarikan iuran sepenuhnya dibayarkan oleh pengusaha/pemberi kerja. Umumnya peserta mengharapkan (menuntut) pelayanan yang lebih baik dari suatu sistem asuransi/jaminan kesehatan. Kalau premi terlalu rendah akibatnya pembayaran kepada PPK (Penyedia Pelayanan Kesehatan) juga rendah dan akan sulit bagi PPK melakukan peningkatan mutu pelayanan (Gani et al., 2008). Pembayaran kepada PPK selama dua dekade terakhir dalam skema asuransi kesehatan di Indonesia telah menggunakan sistem pembayaran kapitasi (Hendrartini, 2008). Dengan pembayaran kapitasi yang diberikan secara pra upaya, diharapkan PPK dapat merencanakan efisiensi program dengan lebih baik (Hendrartini, 2010). Namun hal ini akan berbeda, jika rasio pendapatan dari pembayaran kapitasi masih rendah maka pembayaran kapitasi tidak efektif untuk mengubah kinerja dokter. Dari hasil penelitian Hendrartini (2008), dikemukakan bahwa rasio pendapatan kapitasi dan kepuasan dokter mempunyai efek tidak langsung terhadap kinerja dokter, tetapi mempengaruhi sikap dokter sebagai variabel moderator terhadap kinerja dokter dalam pengendalian biaya.
4
Penelitian Wisnuadi menemukan bahwa adanya ketidakpatuhan dokter yang bekerja sama dengan Jamsostek untuk mengikuti aturan yang berlaku disebabkan oleh kapitasi yang kecil (Wisnuadi, 2007). Kapitasi yang kecil merupakan salah satu masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan Program JPK PT. Jamsostek yang menimbulkan kekecewaan pesertanya (Sutjana dan Adiputra, 2008). Besaran pembayaran yang jauh di bawah harga rata-rata pasar menghasilkan kualitas layanan yang tidak baik dan tidak memuaskan peserta (Thabrany, 2011). Untuk itu, penelitian ini juga akan menerangkan bagaimana persepsi para dokter keluarga yang berkerja sama dengan PT. Jamsostek mengenai besaran kapitasi yang berlaku selama ini. Metode perhitungan nilai kapitasi yang berbasis pada tarif riil dan berdasarkan utilisasi pelayanan diperlukan untuk mengetahui harga pelayanan sesungguhnya di suatu daerah sehingga kecukupan dana bagi pelaksana pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. Selain itu, perhitungan nilai kapitasi berdasarkan persentase iuran, banyak mengandung kelemahan antara lain tidak dapat mencerminkan harga pelayanan kesehatan sesungguhnya sesuai dengan harga pasar/tarif
yang
berlaku.
Kualitas
pelayanan
terhadap
peserta
akan
menurun/kurang baik mengingat harga pelayanan kesehatan tidak terjangkau, bervariasinya upah minimum propinsi/kota sehingga dapat mempengaruhi pendapatan iuran sebagai basis untuk membayar kapitasi. Bervariasinya upah antara satu sektor perusahaan dengan sektor lainnya, kepatuhan perusahaan untuk membayar upah sesungguhnya masih sangat rendah sehingga pendapatan premi juga rendah (Sucahyono, 2002). Perhitungan besaran nilai kapitasi dan nilai premi ini menggunakan data atau memilih tempat di Badan penyelenggara PT. Jamsostek. Hal dikarenakanoleh apa yang telah dilakukan oleh PT Jamsostek dalam pelaksanaan kegiatan credentialing dan recredentialing PPK yang semakin baik, adanya peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan oleh personil JPK serta semakin luas dan sebagian besar jam buka PPK 1 semakin lama (Jamsostek, 2011). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa di Propinsi DIY, program kerja PPK berubah dari praktek perorangan ke klinik dan telah ada 20 klinik kesehatan yang melayani
5
peserta JPK PT. Jamsostek selama 24 jam dan rencananya pada Tahun 2013 pelayanan klinik 24 jam ini akan diberlakukan seluruh Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang mengenai masalah besaran iuran yang masih diperdebatkan saat ini dan besaran kapitasi JPK Jamsostek yang masih kecil, dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu bagaimana analisa besaran kapitasi dan nilai premi JPK berdasarkan biaya klaim dan utilisasi pelayanan kesehatan? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui besaran biaya kapitasi dan premi program JPK PT. Jamsostek berdasarkan biaya klaim dan utilisasi pelayanan kesehatan 2. Mendeskripsikan persepsi dokter keluarga mengenai besaran kapitasi yang berlaku di program JPK Jamsostek
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan evaluasi terhadap pelaksanaan pembayaran kapitasi program JPK Jamsostek 2. Sebagai bahan kajian pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan 3. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam hal pembayaran kapitasi dan premi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2014
E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian yang dilakukan oleh Sucahyono (2002) Analisis Penetapan Besaran Nilai Kapitasi Penuh Berbasis Pada Tarif Riil dan Utilisasi Pelayanan; Studi Kasus pada PT Jamsostek Kota Semarang, melakukan evaluasi terhadap
6
pembiayaan program JPK Jamsostek di Kota Semarang. Penelitian ini difokuskan pada kemampuan Jamsostek membayar kapitasi penuh pada PPK. Jenis penelitian adalah penelitian non-eksperimental dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Data dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 4 penyedia utama yaitu PT Jamsostek (Persero) Kantor Cabang Semarang, yaitu Pt. Nayaka Era Husada, Yayasan Suraya Medika, Yayasan Dwi Puspita, dan Yayasan Medika Usaha Bersama. Hasil penelitian rasio kapitasi penuh berdasarkan pemanfaatan layanan dan biaya yang sebenarnya adalah Rp.4.850,16, sedangkan perhitungan PPK dari Yayasan Surya Medika adalah Rp.4.204,87, Yayasan Medika Usaha Bersama sebesar Rp. 4.064,46, PT Nayaka Era Husada adalah Rp.4.561, 86, Yayasan Dwi Puspita adalah Rp.4.400, 62 dan keputusan PT Jamsostek (Persero) berdasarkan persentase premi yang diterima adalah Rp.3.750,. Perbedaan penelitian ini adalah hanya menghitung nilai kapitasi penuh berdasarkan kajian pemanfaatan dan biaya satuan pelayanan oleh PPK, tidak dilanjutkan dengan penghitungan besaran premi yang ideal untuk mencukupi nilai kapitasi penuh yang dihitung. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Hutauruk (2000) Evaluasi Pembiayaan Program JaminanPemeliharaan Kesehatan Masyarakat di Kota Medan, bertujuan untuk mengevaluasi penyelenggaraan JPKM di Kotamadya Medan khususnya yang menyangkut penetapan premi dan sistem pembiayaan JPKMKPUM Kotamadya Medan. Jenis penelitian ini adalah studi kasus yang retrospektif,
dalam
pelaksanaanya
mengevaluasi
seluruh
pembiayaan
pemeliharaan kesehatan peserta JPKM-KPUM di Kotamadya Medan mulai tahun 1996 sampai tahun 1998. Subjek penelitiannya adalah penyelenggaraan JPKM–KPUM dengan unit analisis berupa data kegiatan badan penyelenggara JPKM-KPUM Kotamadya Medan. Hasil penelitian didapatkan selama 3 tahun umur penyelenggaraan badan penyelenggara JPKM-KPUM Kotamadya medan telah mengalami kerugian. Penghitungan penetapan premi dengan melibatkan utilization review danunit tarifyang berlaku pada rumah sakit rujukan di Kotamadya Medan, maka didapatkan kesimpulan bahwa dengan
7
premi Rp.1.000 ternyata tidak dapat membiayai pelayanan kesehatan peserta secra paripurna. Untuk menetapkan premium berdasarkan utilization review dari peserta JPKM-KPUM tahun 1998 tidak mengikuti kaidah yang berlaku. Tetapi jika harus dilakukan penghitungan penetapan premi yang dapat membiayai pelayanan kesehatan secara paripurna adalah sebesar 4.822. Hasil evaluasi juga menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian kebijakan topdown untuk penetapan tarif. Perbedaanpenelitian ini adalah menggunakan penghitungan premi berdasarkantarif yang sudah ada, yaitu tarif yang ditetapkan berdasarkan Perda. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Samba (2006), Analisis Besaran Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di Kabupaten Jembrana Propinsi Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran premi riil dan premi standar utilisasi normatif jaminan kesehatan Jembrana dan persepsi stakeholder mengenai besaran anggaran. Metode penelitian menggunakan rancangan studi kasus. Jenis penelitian ini adalah deskriftif dengaan analisis kuantitatif dan pendekatan kualittatif. Hasil penelitian didapatkan bahwa besaran premi riil tahun 2003 masih di bawah standar utilisasi normatif, sedangkan tahun 2004 melebihi standar utilisasi normatif. Persepsi stakeholder terhadap besaran
premi
menggunakan
dengan
manajemen
standar utilisasi
normatif sangat
digunakan sebagai acuan penganggaran JKJ
yang
mekanismenya
menerima dan setuju untuk pada tahun mendatang.
Perbedaan penelitian ini adalah menggunakan persepsi stakeholder mengenai besaran premi dikaitkan dengan keinginan, menggunakan angka standar utilisasi normal bukan berdasarkan pelayanan yang sebenarnya.