1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan fonem dalam suatu bahasa merupakan hal yang umum, hampir semua bahasa di dunia ini memiliki konsep mengenai perubahan fonem tersebut. Begitu juga bahasa Jawa yang memiliki konsep perubahan fonem, dalam hal ini tampak dalam majalah Panjebar Semangat. Panjebar
Semangat
merupakan
jenis
majalah
mingguan
„kalawarti‟ yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Majalah Panjebar Semangat sudah ada sejak 23 September 1993. Penggunaan bahasa Jawa dalam majalah Panjebar Semangat, memberikan warna tersendiri di tengah arus media cetak negara ini yang cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Dalam bahasa Jawa cukup produktif kasus perubahan bunyi ataupun fonem suatu kata yang terjadi akibat adanya proses morfologi. Perubahan bunyi yang terjadi akibat adanya proses morfologi tersebut dalam
ilmu
linguistik
disebut
sebagai
morfofonemik.
Morfofonemik
(disebut juga morfonologi atau morfofonologi) adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem sebagai akibat dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun proses komposisi (Chaer, 2008:43). Kata ana [ɔnɔ] dapat diidentifikasi kapan fonem /a/ dibaca [ɔ] dan kapan pula dibaca [a]. Ketika kata ana mendapat imbuhan sufiks {-ne}
1
2
maka
secara
otomatis
akan
terjadi
perubahan
bunyi.
Identifikasi
morfofonemik ini akan menghasilkan sebuah rumusan pola-pola baku, yang dapat dijadikan sebagai dasar kapan harus menggunakan [ɔnɔ], kapan pula bentuk [anane] harus dipakai. Perubahan bunyi yang diakibatkan oleh proses morfologi ini ada kalanya
berbentuk
pemunculan fonem,
perubahan fonem,
pelesapan
fonem, peluluhan fonem ataupun pergeseran fonem (Samsuri, 1987:201). Seperti contoh [ɔnɔ] dan [anane], terjadi perubahan fonem /ɔ/ menjadi fonem /a/. Perubahan fonem tersebut selain diakibatkan oleh adanya proses morfologi, faktor kehomorganan bunyi juga sangat berpengaruh. Hal ini sejalan dengan definisi morfofonemik yang diutarakan oleh Soepomo Poedjosoedarmo dkk bahwa morfofonemik adalah perubahan fonemis yang diakibatkan oleh fonem yang ada di sekitarnya (1979:186). Pada kasus [ɔnɔ] dan [anane] di atas, fonem /e/ dalam morfem {-ne} yang tergolong sebagai vokal tidak bulat mempengaruhi fonem /ɔ/ [ɔnɔ] yang tergolong vokal bulat, menjadi vokal tidak bulat berupa fonem /a/ [anane]. Selanjutnya muncul pertanyaan apakah setiap proses morfologi akan menyebabkan perubahan bunyi atau fonem? Apabila iya, apakah wujud dari perubahan tersebut, apakah pemunculan, pelesapan, peluluhan, perubahan atau justru pergeseran. Jika tidak, proses morfologi seperti apakah
yang
mengakibatkan
adanya
mendasari mengapa penulis tertarik Penulis
tertarik
untuk
meneliti
apa
perubahan bunyi. untuk saja
Inilah yang
melakukan penelitian ini. proses
morfologi
yang
mengakibatkan perubahan bunyi dan juga hasil dari proses morfologi
3
tersebut kaitannya dengan bunyi yang ada di cerkak majalah Panjebar Semangat. Penelitian ini menggunakan majalah Panjebar Semangat sebagai sumber data utamanya. Hal ini didasari karena Panjebar Semangat merupakan salah satu majalah berbahasa Jawa yang sampai sekarang masih ada, sehingga untuk masalah praktis, tidak akan sulit untuk mencari majalah
tersebut.
Selain
itu,
penulis
ingin
memanfaatkan
majalah
Panjebar Semangat yang jumlahnya cukup banyak yang terdapat di Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. Rubrik yang dipilih dalam majalah Panjebar Semangat adalah cerkak. Cerkak merupakan akronim dari cerita cekak „cerita pendek‟. Rubrik cerkak dipilih karena rubrik ini adalah satu dari beberapa rubrik yang ada di dalam majalah Panjebar Semangat, yang penggunaan bahasa Jawanya masih sangat kuat. Berbeda misalnya dengan rubrik sariwarta, walaupun tetap menggunakan bahasa Jawa, namun kontennya bersifat umum, sehingga penggunaan bahasanya akan banyak mengandung diksi dari bahasa Indonesia ataupun bahasa selain Jawa. Telah ada sebelumnya beberapa penelitian yang terkait dengan morfofonemik, yaitu tesis dari mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya, Yani Paryono. Tesis ini berjudul Morfofonemik Bahasa Jawa Dialek Banyumas, tahun 2008. Tesis ini mengkaji mengenai morfofonemik bahasa Jawa dialek Banyumas yang meliputi afiksasi, reduplikasi, klitiksasi, komposisi dan modifikasi intern. Ada juga skripsi berjudul Morfofonemik Bahasa Jawa
4
Dialek Cirebon (Studi Kasus di Bringin Cirebon), karya Sigit Hardadi mahasiswa Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Ada dua poin yang dikaji dalam skripsi ini, pertama mengenai proses morfofonermik
bahasa Jawa dialek Cirebon yang
terdapat di Desa Bringin Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Poin kedua mengenai jenis morfofonemik bahasa Jawa dialek Cirebon di Desa Bringin
Kecamatan
Ciwaringin
Kabupaten
Cirebon.
Analisis
Morfofonemik pada Cerita Bersambung Pak Guru dalam Majalah Djaka Lodang Tahun 2012 Karya Suhindriyo, merupakan karya ilmiah lain yang juga mengkaji mengenai morfofonemik bahasa Jawa. Penulisnya adalah mahasiswa
Pendidikan
Bahasa
dan
Sastra
Jawa
Universitas
Muhammadiyah Purworejo, Heru Tafiyanto, tahun 2013. Heru Tafiyanto mengangkat dua rumusan masalah dalam penelitiannya, pertama mengenai proses morfofonemik pada cerita bersambung Pak Guru, dan kedua mengenai bentuk morfofonemik yang terdapat pada cerita bersambung Pak Guru.
B. Batasan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian terkait dengan sumber data penelitian. Hanya cerkak majalah Panjebar Semangat yang terbit pada tanggal 2 Januari-5Maret 2016 dan 12 Maret-14 Mei 2016 yang dipakai sebagai sumber data penelitian. Pemilihan cerkak dengan tanggal 2 Januari-5 Maret 2016 dan 12 Maret-14 Mei 2016 terkait dengan alasan kebaruan dari cerkak yang terbit paling baru, sehingga kemungkinan cerkak tersebut telah dikaji oleh peneliti lain sangatlah kecil.
5
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1. Proses morfologi apakah yang terdapat pada morfofonemik bahasa Jawa dalam cerkak majalah Panjebar Semangat? 2. Bagaimanakah bentuk morfofonemik bahasa Jawa dalam cerkak majalah Panjebar Semangat?
D. Tujuan Pembahasan Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan proses morfologi pada morfofonemik bahasa Jawa dalam cerkak majalah Panjebar Semangat. 2. Mendeskripsikan bentuk morfofonemik bahasa Jawa dalam cerkak majalah Panjebar Semangat.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini ada dua, manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat teoretis, manfaat teoretis yang dimaksud yakni penelitian ini semoga dapat melengkapi teori tentang morfofonemik bahasa Jawa. 2. Manfaat praktis, manfaat praktis yang dimaksud yakni diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan bacaan bagi para mahasiswa ataupun siapa saja yang ingin mengetahui masalah morfofonemik bahasa Jawa. .
6
F. Landasan Teori Teori yang dipakai dalam penelitian ini sehubungan dengan masalah yang telah ditetapkan adalah (1) fonem (2) proses morfologi, (3) morfofonemik, dan (4) bentuk morfofonemik. Teori-teori tersebut
dipakai karena relevan dengan rumusan
masalah, selain itu dengan adanya teori-teori yang telah ditetapkan akan menjadikan penelitian ini semakin terarah, karena adanya landasan yang jelas mengenai konsep
keilmuan yang menjadi penghubung menuju
pembahasan masalah. 1. Fonem Fonem adalah satuan terkecil yang terdiri atas bunyi-bunyi ujaran yang dapat membedakan arti (Keraf, 1991:20). Chaer menyebut fonem sebagai bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata (2007:125). Fonem bahasa Jawa dibagi menjadi, fonem vokal dan fonem konsonan (Sasangka, 2013:2). Sasangka (2013:2) mengartikan vokal iku swara kang duwe uni, utawa swara sing muni jalaran pametune angin saka paru-paru kang kawedhar saka jroning tutuk ora ana kang ngalangngalangi, artinya „vokal adalah suara yang memiliki bunyi, atau suara yang berbunyi karena keluarnya angin dari paru-paru yang keluar melalui mulut tanpa mendapat halangan.‟ Fonem vokal bahasa Jawa jumlahnya ada tujuh, yaitu /a/, /ɔ/, /o/, /i/, /u/, /e/, dan /ə/ (Sasangka, 2013:3).
7
a. Fonem vokal /a/ Fonem vokal /a/ termasuk vokal rendah, terbuka, depan dan tidak bulat (Marsono, 1989:45). Fonem vokal /a/ dalam bahasa Jawa disebut a swara miring, vokal /a/ bisa berposisi di awal, tengah dan juga akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:3). b. Fonem vokal /ɔ/ Fonem vokal /ɔ/ termasuk vokal tengah, belakang, semi terbuka, dan bulat (Marsono, 1989:45). Fonem vokal /ɔ/ dalam bahasa Jawa disebut a swara jejeg, vokal /ɔ/ dapat berposisi di awal, tengah dan juga akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:3). c. Fonem vokal /o/ Fonem vokal /o/ termasuk vokal tengah, belakang, semi tertutup, dan bulat (Marsono, 1989:45). Fonem vokal /o/ dapat berposisi di awal, tengah dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:3) d. Fonem vokal /i/ Fonem vokal /i/ bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi dua, [i] i swara jejeg dan [I] i swara miring (Sasangka, 2013:4). Vokal i swara jejeg termasuk vokal tinggi, depan, tertutup dan tidak bulat, sedangkan vokal i swara miring termasuk vokal tinggi, depan, tertutup dan tidak bulat (Marsono, 1989:45). Vokal i swara jejeg dapat berposisi di awal, tengah dan akhir sebuah kata, sedangkan vokal i swara miring hanya dapat berposisi di tengah.
8
e. Fonem vokal /u/ Fonem vokal /u/ bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu vokal [u] disebut u swara jejeg, dan vokal [U] disebut u swara miring (Sasangka, 2013:4). Vokal u swara jejeg tergolong vokal tinggi, belakang, tertutup dan bulat, sedangkan vokal u swara miring tergolong vokal tinggi, belakang, semi tertutup, dan bulat (Marsono, 1989:46). Vokal u swara jejeg dapat berposisi di awal, tengah dan akhir, sedangkan vokal u swara miring hanya dapat berposisi di tengah kata (Sasangka, 2013:4). f.
Fonem vokal /e/
Fonem vokal /e/ bahasa Jawa dibedakan menjadi dua, yaitu [e] disebut e swara jejeg, dan [ɛ] disebut e swara miring (Sasangka, 2013:5). Vokal e swara jejeg tergolong vokal tengah, depan, tertutup, dan tidak bulat, sedangkan vokal e swara miring tergolong vokal tengah, depan, semi terbuka, dan tidak bulat (Marsono, 1989:45). Vokal e swara jejeg dapat berposisi di awal, tengah dan akhir sebuah kata, sedangkang vokal e swara miring hanya dapat berposisi di awal dan tengah kata (Sasangka, 2013:5). g. Fonem vokal /ə/ Fonem vokal /ə/ bahasa Jawa disebut e pepet, vokal /ə/ ini hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:5). Fonem vokal /ə/ tergolong vokal tengah, semi terbuka dan tidak bulat (Marsono, 1989:45). Sasangka (2013:11) menyebut konsonan iku swara kang tanpa uni, utawa swara sing durung muni yen durung sumambung karo vokal, artinya „konsonan adalah suara yang tanpa bunyi, atau suara yang belum berbunyi
9
apabila tidak bergabung dengan vokal.‟ Marsono (1989:16) menyatakan bahwa bunyi disebut konsonan, apabila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara. Berikut fonem konsonan pada bahasa Jawa. a. Fonem konsonan /b/ Fonem konsonan /b/ tergolong konsonan hambat letup bilabial bersuara (Marsono, 1989:61). Konsonan /b/ dalam bahasa Jawa dapat berposisi di awal, tengah, dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). b. Fonem konsonan /p/ Fonem konsonan /p/ tergolong konsonan hambat letup bilabial tidak bersuara (Marsono, 1989:61). Konsonan /p/ dalam bahasa Jawa dapat berposisi di awal, tengah dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). c. Fonem konsonan /m/ Fonem konsonan /m/ tergolong konsonan nasal (sengau) bilabial bersuara (Marsono, 1989:74). Fonem konsonan /m/ dalam bahasa Jawa dapat berposisi di awal, tengah dan juga akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). d. Fonem konsonan semi vokal /w/ Fonem semi vokal /w/ tergolong konsonan semi vokal bilabial bersuara (Marsono, 1989:97). Konsonan semi vokal merupakan jenis konsonan yang saat diartikulasikan belum membentuk konsonan murni (Verhaar dalam Marsono, 1989:96). Dalam bahasa Jawa konsonan semi vokal /w/ hanya dapat berposisi pada awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:11).
10
e. Fonem konsonan semi vokal /y/ Fonem konsonan semi vokal /y/ tergolong konsonan semi vokal mediopalatal bersuara (Marsono, 1989:99). Dalam bahasa Jawa konsonan semi vokal /y/ hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:12). f.
Fonem konsonan /t/
Fonem konsonan /t/ tergolong konsonan hambat letup apiko-dental tidak bersuara (Marsono, 1989:63). Dalam bahasa Jawa fonem konsonan /t/ dapat berposisi di awal, tengah dan juga akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). g. Fonem konsonan /d/ Fonem konsonan /d/ tergolong konsonan hambat letup apiko-dental bersuara (Marsono, 1989:65). Dalam bahasa Jawa fonem konsonan /d/ dapat berposisi di awal, tengah dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). h. Fonem konsonan /n/ Fonem konsonan /n/ tergolong konsonan nasal apiko-alveolar bersuara (Marsono, 1989:65). Fonem konsonan /n/ dalam bahasa Jawa dapat berposisi di awal, tengah, dan akhir sebuah kata (sasangka, 2013:11) i.
Fonem konsonan /r/
Fonem konsonan /r/ tergolong konsonan getar apiko-alveolar (Marsono, 1989:93). Dalam bahasa jawa konsonan /r/ dapat berposisi di awal, tengah, dan juga akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). j.
Fonem konsonan /l/
11
Fonem konsonan /l/ tergolong konsonan sampingan (lateral) apikoalveolar bersuara (Marsono, 1989:80). Dalam bahasa Jawa konsonan /l/ dapat berposisi di awal, tengah dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). k. Fonem konsonan /s/ Fonem konsonan /s/ tergolong konsonan geseran lamino-alveolar tidak bersuara (Marsono, 1989:87). Dalam bahasa Jawa konsonan /s/ dapat berposisi di awal, tengah, dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:11). l.
Fonem konsonan /ṭ/
Fonem konsonan /ṭ/ tergolong konsonan hambat letup apiko-palatal tidak bersuara (Marsono, 1989:66). Dalam bahasa Jawa konsonan /ṭ/ hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:12). m. Fonem konsonan /ḍ/ Fonem konsonan /ḍ/ tergolong konsonan hambat letup apiko-palatal bersuara (Marsono, 1989:67). Dalam bahasa Jawa konsonan /ḍ/ hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:12). n. Fonem konsonan /j/ Fonem konsonan /j/ tergolong konsonan hambat letup medio-palatal bersuara (Marsono, 1989:68). Dalam bahasa Jawa konsonan /j/ hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:12). o. Fonem konsonan /c/ Fonem konsonan /c/ tergolong konsonan hambat letup medio-palatal tidak bersuara (Marsono, 1989:68). Dalam bahasa Jawa konsonan /c/ hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:12).
12
p. Fonem konsonan /ñ/ Fonem konsonan /ñ/ tergolong konsonan nasal medio-palatal bersuara (Marsono, 1989:76). Dalam bahasa Jawa konsonan /ñ/ hanya dapat berposisi di awal dan tengah sebuah kata (Sasangka, 2013:12). q. Fonem konsonan /g/ Fonem konsonan /g/ tergolong konsonan hambat letup dorso-velar bersuara (Marsono, 1989:70). Dalam bahasa Jawa konsonan /g/ dapat berposisi di awal, tengah maupun akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:12). r. Fonem konsonan /k/ Fonem konsonan /k/ tergolong konsonan hambat letup dorso-velar tidak bersuara (Marsono, 1989:70). Dalam bahasa Jawa konsonan /k/ dapat berposisi di awal, tengah maupun akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:12). s. Fonem konsonan /ŋ/ Fonem konsonan /ŋ/ tergolong konsonan nasal dorso-velar bersuara (Marsono, 1989:77). Dalam bahasa Jawa konsonan /ŋ/ dapat berposisi di awal, tengah maupun akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:12). t.
Fonem konsonan /h/
Fonem konsonan /h/ tergolong konsonan geseran laringal tidak bersuara (Marsono, 1989:92). Dalam bahasa Jawa konsonan /h/ dapat berposisi di awal, tengah maupun akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:12). u. Fonem konsonan /?/ Fonem konsonan /?/ tergolong konsonan hambat letup glotal tidak bersuara (Marsono, 1989:72). Dalam bahasa jawa konsonan /?/ hanya dapat berposisi di tengah dan akhir sebuah kata (Sasangka, 2013:12).
13
2. Proses Morfologi Proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam komposisi), pemendekan (dalam proses akronimisasi), dan perubahan status (dalam proses konversi) (Chaer, 2008:25). Morfofonemik terjadi akibat adanya proses morfologi, baik itu afiksasi, komposisi maupun reduplikasi. Proses morfologi inilah yang mengakibatkan berubahnya bunyi atau fonem konsonan maupun vokal dalam suatu kata. a. Afiksasi Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar (Chaer, 2007:177). Afiks adalah sebuah bentuk berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah bentuk dasar dalam proses pembentukan kata (Keraf, 1991:121). Afiksasi yang ditemukan dalam penelitian ini ada lima yaitu prefiks (awalan), sufiks (akhiran), konfiks dan simulfiks. Berikut penjelasan mengenai kelima bentuk afiks tersebut. 1) Prefiks Prefiks atau dalam bahasa Jawa disebut ater-ater, merupakan imbuhan yang diletakkan pada awal atau kiri sebuah bentuk dasar (Keraf, 1991:122). Sasangka menyebut bahwa ater-ater dalam bahasa Jawa ada banyak, yaitu ater-ater anuswara „nasal‟ (n-, m-, ny-, dan ng-.), ater-ater a- atau bawa ha (a-, ma, dan mer-), maN-, ka-, ke, di-, sa-, pa anuswara-, pi-, pri-, pra-, tar- atau ter-, kuma-, kami-, dan kapi- (20013:41). Berikut
14
merupakan salah satu contoh morfofonemik yang terjadi karena adanya proses afiksasi berupa prefiks. Data (30) Sawijining bengi aku kasil nyopet tas ing sepur malam (PS:C11, hlm. 23, p 11). „Suatu malam saya berhasil mencuri tas di sebuah kereta malam.‟ Pada data di atas terdapat kata nyopet yang merupakan bentuk morfofonemik yang berasal dari proses prefiksasi sebagai berikut: ny-
+
copet
nyopet
Kata nyopet berasal dari bentuk dasar copet yang mendapat imbuhan morfem ater-ater anuswara berupa {-ny}. Kata copet yang diawali dengan konsonan /c/, karena mendapat prefiks nasal berupa {ny-}, maka konsonan /c/ tadi mengalami peluluhan, sehingga berubah menjadi nyopet. Luluhnya fonem konsonan /c/ ini karena adanya proses morfologi berupa prefiksasi nasal {ny-} 2) Sufiks Sufiks adalah morfem terikat yang diletakkan dibelakang suatu morfem dasar (Keraf, 1989:110). Sufiks dalam bahasa Jawa disebut panambang. Sasangka menyebut sufiks bahasa Jawa di antaranya -i, -a, -e atau -ne, -en, -an, -na, -ana, -ane, dan -ake (2013:62). Berikut merupakan salah satu contoh kasus morfofonemik dari adanya sufiksasi. Data (31) Kersane Sing Gawe Lakon, Kang, wong sing bayine dakcopet iku pegatan, njur kenal aku ing proyek, akhire dadi bojoku (PS:C11, hlm. 23, p 12). „Inginnya Yang Membuat Hidup, Kang, orang yang bayinya saya copet itu cerai, lalu kenal saya di proyek, akhirnya menjadi istriku.‟
15
Pada data di atas terdapat kata kersane yang merupakan bentuk morfofonemik yang berasal dari proses sufiksasi sebagai berikut. kersa
+
-ne
kersane
Kata kersane berasal dari bentuk dasar kersa yang mendapat imbuhan morfem sufiks {-ne}. Kersa memiliki vokal akhir berupa /ɔ/, namun saat kata kersa mendapat morfem sufiks {-ne} maka vokal yang tadinya berupa /ɔ/ berubah menjadi vokal /a/. Berubahnya vokal /ɔ/ pada suku akhir kata kersa menjadi vokal /a/ terjadi karena adanya proses morfologi berupa sufiksasi morfem
{-ne}.
3) Konfiks Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang kedua berposisi pada akhir bentuk dasar (Chaer, 2007:179). Perlu diperhatikan pula bahwa dua morfem pada konfiks ini haruslah datang secara serentak, bukan satu per satu. Sasangka (2013:82) menyebut imbuhan konfiks dalam bahasa Jawa jenisnya yaitu ka-an atau ke- -an, ke- -en, pa- -an, paA- -an, dan pra- -an. Berikut merupakan salah satu contoh kasus morfofonemik dari adanya konfiksasi: Data (42) keakraban padha dirasakake kaya jaman iseh padha amor…(PS:C13, hlm. 23, p 2). „Keakraban pada dirasakan seperti jaman masih pada bersama.‟ Pada data di atas terdapat kata keakraban yang merupakan bentuk morfofonemik yang berasal dari adanya proses konfiks sebagai berikut. ke-
+
akrab
+
-an
keakraban
16
Kata keakraban terjadi dari penambahan afiks {ke- -an} yang datang secara serentak atau bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya kata keakrab ataupun akraban. Kata keakraban dalam bahasa Jawa lazim diucapkan [kəkrapan], seolah-olah bunyi konsonan /b/ berubah menjadi bunyi konsonan /p/. Berubahnya vokal /b/ ini terjadi karena adanya proses pengimbuhan afiks {ke- -an}. Bunyi konsonan /b/ masih jelas terdengar pada bentuk dasar akrab [akrab]. Berubahnya fonem konsonan /b/ menjadi konsonan /p/ baru terasa tampak saat adanya proses konfiksasi berupa morfem {ke- -an}, [kəakrapan]. 4) Simulfiks Simulfiks merupakan dua imbuhan (depan dan belakang) yang hadir secara bertahap (Materi kuliah pengantar linguistik jurusan Sastra Jawa UNS 2012, oleh Dyah Padminingsih pada tanggal 12 September 2012). Wujud simulfiks dalam bahasa Jawa yaitu A- -i, A- -a, A- -ake, A- ana, di- -i, di- -a, di- -ake, di- -ana, -in- -i, -in- -ake, -in- -ana, dan sa- -e (Sasangka,
2013:88).
Berikut
merupakan
salah
satu
contoh
kasus
morfofonemik dari adanya proses simulfiks: Data (32) Nanging akhire aku kecekel, digebugi wong akeh (PS:C11, hlm. 23, p 17). „Namun akhirnya saya tertangkap, dipukuli orang banyak.‟ Pada data di atas terdapat kata digebugi yang merupakan bentuk morfofonemik dari adanya proses simulfiks. Proses simulfiks kata digebugi diawali dari bentuk dasar gebug yang mendapat imbuhan morfem {di-}. di
+
gebug
digebug
17
Kemudian, kata digebugi mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {-i} digebug
+
-i
digebugi
Proses simulfiks pada kata dasar gebug merubah bunyi fonem vokal /U/ menjadi fonem vokal /u/. Hal ini tampak ketika kata gebug belum mendapat imbuhan, bunyi vokal /U/ tidak mengalami perubahan sama sekali [gəbUg]. Bunyi vokal /u/ baru muncul ketika kata gebug mengalami proses simulfiks dengan mendapat imbuhan {di- -i} menjadi [digəbugi] di-
+
[gəbUg]
+
-i
[digəbugi]
b. Reduplikasi Reduplikasi atau
kata
ulang
adalah
proses morfologi yang
mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian, maupun disertai dengan perubahan bunyi (Abdullah dan Ahmad, 2012:64). Sasangka menyebut reduplikasi dalam bahasa Jawa jenisnya ada tiga, yaitu dwipurwa, dwilingga, dan dwiwasana. Dwilingga dibagi menjadi dua, dwilingga wutuh dan dwilingga salin swara (2013:97). “Dwipurwa iku tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung
lingga
utawa
pangrangkepe
wanda
kawitaning
tembung”(Sasangka, 2013:97). Dwipurwa yaitu kata yang terjadi dari penggabungan suku awal sebuah kata. “Dwilingga yaiku tembung lingga kang dirangkep”(Sasangka, 2013:100). Dwilingga adalah kata dasar yang diulang. Apabila kata dasar yang diulang tidak mengalami perubahan bunyi maka disebut dwilingga wutuh, secara sederhana kata dasar tadi diulang apa adanya. Namun jika
18
pengulannya juga disertai dengan perubahan bunyi maka disebut sebagai dwilingga salin swara. “Dwiwasana iku tembung kang ngrangkep wanda wekasan utawa ngrangkep wasanane tembung”(Sasangka, 2013:104). Dwiwasaana adalah pengulangan pada suku akhir sebuah kata. Berikut merupakan salah satu contoh kasus morfofonemik dari adanya proses reduplikasi: Data (59) Banjur ngalih klepat tanpa tolah-toleh (PS:C17, hlm. 23, p 1) „Lalu berpindah tanpa tengak-tengok.‟ Kata tolah-toleh pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses pengulangan. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar toleh yang diulang sacara keseluruhan dengan perubahan bunyi. Kemudian, pengulangan kata toleh membentuk kata jadian tolah-toleh. toleh
tolah-toleh
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata toleh yang terletak di sebelah kiri tanda panah suku akhirnya berupa fonem vokal /ɛ/. Bandingkan dengan kata tolah-toleh yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal /ɛ/ tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ pada bentuk ulangannya. toleh
tolah-toleh
proses pengulangan di atas menghasilkan bentuk ulangan dengan jenis dwilingga salin swara, sebab bentuk dasar toleh tidak hanya diulang secara
keseluruhan,
pengulangannya.
namun juga ada perubahan vokal pada hasil
19
Data (45) Pungkasaning jejagongan wong loro padha….(PS:C13, hlm. 23, p4). „Selesai kumpul-kumpul dua orang pada…‟ Kata jejagongan pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses pengulangan. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar jagong yang mendapat imbuhan morfem {-an}, membentuk kata jadian jagongan. Kemudian, kata jagongan diulang secara sebagian (suku awal), menjadi jejagongan. jagong jagongan
+
-an
jagongan jejagongan
Tampak pada proses pengulangan di atas, kata jagongan yang terletak di sebelah kiri tanda panah, suku awalnya berupa fonem vokal /a/. Bandingkan dengan jejagongan yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal /a/ tadi berubah menjadi fonem vokal /ə/ pada bentuk ulangannya. jagongan
jejagongan
Proses pengulangan di atas menghasilkan bentuk ulangan dengan jenis dwipurwa. Sebab yang diulang hanya suku awal dari kata jagong yaitu ja. Kemudian, fonem vokal /a/ pada ja berubah menjadi fonem vokal /ə/. jagong
jajagong
jejagong
3. Morfofonemik Morfonemik (disebut juga morfonologi atau morfofonologi) adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem
20
sebagai akibat dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun proses komposisi (Chaer, 2008:43). Morfofonemik
mempelajari
perubahan-perubahan
fonem
yang
timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan dalam Tarigan, 1985:27). Selanjutnya Alwi (2003,31) memberi pengertian bahwa
morfofonemik
merupakan
proses
perubahan
bentuk
yang
disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan. Lebih lanjut Soepomo Poedjosoedarmo dkk menyatakan bahwa morfofonemik adalah perubahan fonemis yang diakibatkan oleh fonem yang ada disekitarnya (1979:186).
Jadi, perubahan morfofonemik tidak hanya semata-mata
dipengaruhi oleh proses morfologi, namun juga pengaruh bunyi ataupun fonem yang ada disekitarnya. Berdasarkan pengertian para ahli di atas, morfofonemik akan terjadi ketika ada proses morfologi atau bertemunya morfem satu dengan morfem lainnya, sehingga ada perbedaan antara morfofonemik dengan perubahan bunyi lain seperti asimilasi, disimilasi, netralisasi. 4. Bentuk Morfofonemik Bentuk morfofonemik menurut Chaer (2008:43) ada lima, yaitu pemunculan fonem, pelesapan fonem, peluluhan fonem, perubahan fonem, dan pergeseran fonem. Berikut bentuk morfofonemik yang ditemukan dalam penelitian ini. a. Pemunculan Fonem Pemunculan fonem yaitu munculnya fonem (bunyi) dalam proses morfologi yang pada mulanya tidak ada (Chaer, 2008:43). Misalnya dalam
21
proses pengimbuhan morfem sufiks {-an} pada kata gage, menghasilkan bunyi baru yaitu fonem konsonan /y/ yang sebelumnya tidak ada. Fonem semi vokal /y/ ini terletak setelah bunyi konsonan /e/. Data (39) …gageyan mencolot saka colt brondhol (PS:C12, hlm. 24, p 13) „…cepat melompat dari colt brondhol.‟ gage
+
-an
gageyan
b. Peluluhan Fonem Peluluhan fonem yakni luluhnya sebuah fonem serta disenyawakan dengan fonem lain (Chaer, 2008:44). Misalnya, luluhnya fonem konsonan /c/ pada kata copet ketika dibubuhi prefiks nasal {ny-}. Data (36) sawijining bengi aku kasil nyopet tas ing sepur malam (PS:C11, hlm. 23, p 11). „Suatu malam saya berhasil mencopet tas di kereta malam.‟ ny-
+
copet
+
nyopet
c. Perubahan Fonem Perubahan fonem yakni berubahnya sebuah fonem atau sebuah bunyi, sebagai akibat terjadinya proses morfologi (Chaer, 2008:43). Misalnya, proses pengimbuhan sufiks {-e} pada kata seda, mengakibatkan berubahnya vokal /ɔ/ menjadi vokal /a/. Data (29) ing dina sedane Ki Sura….(PS:C11, hlm. 23, p 3). „di hari meninggalnya Ki Sura.‟ [sedɔ]
+
-e
[sedane]
22
G. Metode dan Teknik Penelitian Metode menurut Nawawi dan Martini diartikan sebagai prosedur atau rangkaian cara yang sistematik dalam menggali kebenaran ilmiah (2005:71). Lebih lanjut Djajasudarma (2010:1) menerangkan metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan,
dsb.); cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Dapat dipahami dari uraian di atas bahwa metode merupakan prosedur atau serangkaian cara yang dilakukan guna mencapai hasil yang telah ditentukan. Metode
penelitian
ini
akan
membahas
mengenai
(1)
sifat
penelitian, (2) data dan sumber data, (3) alat penelitian, (4) metode pengumpulan data, (5) metode analisis data, (6) teknik penyajian hasil analisis data. 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, Sutopo (2006:40) menjelaskan sifat deskripstif ini, data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan dideskripsikan menggunakan menggambarkan
kalimat situasi
yang
rinci,
lengkap,
sebenarnya.
menerangkan bahwa sifat deskriptif
dan
Selanjutnya
mendalam, Subroto
yang
(1992:7)
maksudnya peneliti mencatat dengan
teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian, memorandum, video-tape.
23
Penelitian
ini
tergolong
penelitian
kualitatif,
yaitu
sebuah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010:6). Berdasarkan uraian di atas maka diketehui bahwa penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, sebab penelitian ini
mendeskripsikan data kebahasaan secara
rinci pada konteks tertentu yang bersifat alamiah. 2. Data dan Sumber Data Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus dicari/dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Subroto, 1992:34). Data di sini dimengerti sebagai fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:6). Sudaryanto (1990:14) lebih jelas lagi menyatakan bahwa data adalah objek plus konteks. Objek sendiri dipahami sebagai pokok atau topik penelitian (Sudaryanto, 1990:9). Objek dalam penelitian
ini adalah
kata
yang
mengandung
unsur
proses
morfofonemik, seperti gonta-ganti, ditabuhi dan jejodhoan. Data dalam penelitian ada dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah data tulis berupa kata yang tergolong proses morfofonemik, yang terdapat pada cerkak majalah
24
Panjebar Semangat edisi 2 Januari-5 Maret 2016 dan edisi 12 Maret-14 Mei 2016. Data tersebut salah satunya adalah. Data (4) Jambret sing ketaton iku banjur digawa menyang rumah sakit saperlu ngetokake mimis saka kentole (PS:C2, hlm. 43, p 69) Data (17) Wagito wiwit ngempakake rayuwan gombal (PS:C6, hlm. 24, p 17) „Wagito mulai melancarkan rayuan gombal.‟ Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya ilmiah yang ada kaitannya dengan proses morfofonemik, seperti skripsi, thesis dan jurnal. Data mempunyai sumber; ada asalnya, dari sumber itu peneliti dapat memperoleh data sesuai dengan yang diinginkan (Sudaryanto, 1990: 33). Sumber data dapat dipahami dari masalah yang akan dikaji, seperti penelitian ini yang akan mengkaji mengenai morfofonemik bahasa Jawa yang terdapat pada cerkak majalah Panjebar Semangat. Sumber data dalam penelitian ini ada dua, sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini yaitu cerkak majalah Panjebar Semangat edisi 2 Januari-5 Maret 2016 dan edisi 12 Maret-14Mei 2016. Sedangkan sumber data sekundernya yaitu bukubuku,
artikel,
jurnal,
karya
morfofonemik bahasa Jawa.
ilmiah
yang
ada
kaitannya
dengan
25
3. Alat Penelitan Alat yang digunakan untuk penelitian ini terbagi menjadi dua, alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti menjadi instrumen yang vital dalam penelitian ini, sebab posisinya tidak dapat diganti dengan instrumen lain. Hanya peneliti atau manusialah yang mampu untuk
menentukan objek
penelitian sesuai
dengan permasalahan ataupun tema yang akan diangkat. Alat utama dalam penelitian ini terlibat langsung secara aktif dalam penentuan judul, objek kajian, dan juga perumusan masalah. Adapun alat bantu yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu bolpoin, kertas, flashdisk serta netbook. Alat bantu dalam penelitian ini fungsinya hanya sebatas membantu untuk mempermudah jalannya kerja seorang peneliti ataupun instrumen utama. Seperti saat pengumpulan data, seorang peneliti akan mudah untuk mengelompokkan data jika dicatat menggunakan kertas dan bolpoin. Setiap data yang
ditemukan pada
majalah Panjebar Semangat diberi tanda underline menggunakan bolpoin, untuk kemudian diketik ulang pada netbook. Di sinilah letak posisi alat bantu dalam sebuah penelitian, tanpa bermaksud untuk membandingbandingkan antara alat utama dan alat bantu, sebuah penelitian akan berjalan dengan lancar jika antara kedua alat tersebut dapat melaksanakan fungsinya masing- masing sesuai dengan porsi dan kadar kemampuannya.
26
4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah serangkaian cara yang dipakai oleh peneliti dalam usahanya untuk meng-umpulkan data. Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode simak. Mahsun (2005:90) menyatakan metode penyediaan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan
untuk
memperoleh
data
dilakukan
dengan
menyimak
penggunaan bahasa. Penyimakan dilakukan pada data tulis. Jadi setelah menentukan objek penelitian, penulis melakukan penyimakan terhadap data yang ada pada cerkak majalah Panjebar Semangat. Teknik lanjutan yang dipakai setelah tahap penyimakan selesai adalah
catat.
Pencatatan
dilakukan
untuk
mempermudah di dalam
pengklasifikasian data. Selain itu, agar lebih mudah dalam pencatatan, maka sebelumnya perlu ditandai terlebih dahulu data mana saja yang perlu untuk dicatat dengan memberi underline menggunakan bolpoin. Teknik catat ini memakai alat bantu bagan yang dibuat pada aplikasi microsoft word. Bentuk bagannya sendiri telah disesuaikan dengan kebutuhan dalam penelitian
ini,
seperti
dibuat
adanya
kolom
bentuk
perubahan
morfofonemik dan juga baris yang berisi mengenai macam-macam proses morfologi. Setiap data yang telah diberi underline dicatat pada bagan
27
penyimakan
penentuan objek
pencatatan data
menandai data
5. Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk analisis data pada penelitian ini adalah metode proses (name and process model). Dalam metode proses setiap bentuk kompleks diakui terjadi sebagai hasil dari suatu proses yang melibatkan dua buah komponen, komponen proses (Chaer, morfofonemik
terjadi
yaitu komponen dasar dan juga
2008:10). Sebagaimana diketahui, bahwa
akibat
adanya
proses
morfologi,
sehingga
pendekatan analisis morfologi dengan model metode proses, menurut penulis tepat. Model analisis morfologi sendiri sebenarnya cukup bervariasi, Chaer (2008:9) menyebut setidaknya ada 4 model analisis morfologi, yaitu (1) teknik
analisis unsur bawahan langsung; (2) model kata dan
paradigma; (3) model tata nama dan (4) model proses. Metode proses ini dipakai untuk mengetahui proses morfologi apakah
yang
mengakibatkan
berubahnya
bunyi atau
fonem dalam
penelitian ini. Melalui metode analisis proses, akan diketahui bentuk
28
morfofonemik seperti pemunculan fonem, perubahan fonem, pelesapan fonem, peluluhan fonem dan pergeseran fonem. Berikut disajikan contoh penggunaan model (name and process model) analisis morfologi yang diterapakan pada penelitian ini, baik untuk mengetahui
proses
morfologi
dari
morfofonemik,
maupun
untuk
mengetahui bentuk dari morfofonemik itu sendiri. Data (36) …..didandhani karo mlaku anut kemampuane awake dhewe (PS:C11, hlm. 24, p 31). „…..diperbaiki sambil jalan sesuai kemampuan kita.‟ Proses morfologi Kata kemampuane pada data di atas, merupakan bentuk morfofonemik mengenai jenis
morfofonemiknya
akan
dibahas
setelah
ini
yang
mengalami dua tahap proses afiksasi. Mula-mula bentuk dasar mampu mendapat imbuhan {ke- -an}, dengan proses konfiksasi. ke-
+
mampu
+
-an
kemampuan
Imbuhan {ke- -an} ini datang secara bersamaan bukan bertahap, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya kata kemampu ataupun mampuan. Selanjutnya, bentuk kemampuan mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {-e} melalui proses sufiksasi. kemampuan
+
-e
kemampuane
Bentuk morfofonemik Kemampuane
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa
pemunculan
fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /w/. Fonem /w/ ini muncul di antara fonem /u/ dan fonem /a/ yang sebelumnya tidak ada pada
29
bentuk dasar mampu. Kemunculan fonem /w/ ini baru tampak saat ada proses konfiksasi berupa morfem {ke- -an}. keJadi,
+ kata
mampu
+
kemampuane
-an merupakan
kemampuwan morfofonemik
dengan
bentuk
pemunculan fonem.
H. Sistematika Penyajian Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini menggunakan metode formal dan informal. Metode formal yaitu perumusan data dengan tanda
dan
lambang-lambang
(Sudaryanto,
1993:145).
Tanda
yang
dimaksud di antara-nya, tanda kurung siku ([ ]), tanda panah (→), dan tanda tambah (+). Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).
30
BAB II ANALISIS DATA A. Proses Morfologi Proses morfologi dalam konteks ini yakni proses morfologi yang menyebabkan terjadinya perubahan bunyi atau fonem vokal maupun konsonan pada sebuah kata. Seperti yang telah dijelaskan pada landasan teori, morfofonemik terjadi akibat adanya proses morfologi. Proses morfologi yang ditemukan dalam penelitian ini ada dua, pertama penambahan afiks, kedua reduplikasi (pengulangan). Berikut pembahasan mengenai proses morfologi yang mengakibatkan terjadinya perubahan bunyi atau fonem. 1. Prefiksasi Berikut
analisis
proses
morfologi dari bentuk
prefiks yang
mengakibatkan berubahnya bunyi atau fonem vokal maupun konsonan pada penelitian ini. a. Ater-ater anuswara Wujud ater-ater anuswara yaitu m-, n-, ng-, ny- (Sasangka, 2013:41). Berikut analisis prefiksasi dari ater-ater anuswara yang mengakibatkan terjadinya perubahan bunyi atau fonem pada penelitian ini. 1) Ater-ater anuswara nyData (30) Sawijining bengi aku kasil nyopet tas ing sepur malam (PS:C11, hlm. 23, p 11)
31
„Suatu malam saya berhasil mencopet tas di kereta malam.‟ Kata nyopet pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata nyopet terbentuk dari kata dasar copet yang mendapat imbuhan morfem {ny-}. ny-
+
copet
nyopet
Fonem konsonan /c/ pada kata copet mengalami peluluhan ketika bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem anuswara {ny-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata copet yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /c/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di kanan tanda panah, fonem konsonan /c/ tampak luluh serta disenyawakan dengan morfem {-ny}. Luluhnya fonem konsonan /c/ terjadi sebagai hasil dari penggabungan kata copet dengan morfem anuswara {ny-} dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi. ny-
+
copet
nyopet
2) Ater-ater anuswara mData (21) Kabeh mung padha mrentah, ora jelas sapa sing dikongkon (PS:C9, hlm. 23, p 2) „semua cuma saling menyuruh, tidak jelas siapa yang disuruh.‟ Kata mrentah pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata mrentah terbentuk dari kata dasar prentah yang mendapat imbuhan morfem anuswara m-
{m-}. +
prentah
mrentah
32
Fonem konsonan /p/ pada kata prentah mengalami peluluhan ketika bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem anuswara {m-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata prentah yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /p/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di kanan tanda panah, fonem konsonan /p/ tampak luluh. Lesapnya fonem konsonan /p/ terjadi sebagai hasil dari penggabungan kata prentah dengan morfem anuswara {m-} dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi. m-
+
prentah
mrentah
3) Ater-ater anuswara nData (52) Ninggal kanca-kanca sing wis akrab wiwit cilik, ninggal desa lan pesawahan asri kang wis nggedhekake aku (PS:C14, hlm. 24, p 14) ‘Meninggalkan teman-teman yang sudah akrab sejak kecil, meninggalkan desa dan persawahan asri yang sudah membesarkan saya.‟ Kata ninggal pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata ninggal terbentuk dari kata dasar tinggal yang mendapat imbuhan morfem anuswara {n-}. n-
+
tinggal
ninggal
Fonem konsonan /t/ pada kata tinggal mengalami peluluhan ketika bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem anuswara {n-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata tinggal yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /t/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di kanan tanda panah, fonem konsonan /t/ tampak luluh. Luluhnya fonem konsonan /t/ terjadi sebagai
33
hasil dari penggabungan kata tinggal dengan morfem anuswara {n-} dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi. n-
+
tinggal
ninggal
4) Ater-ater anuswara ngData (37) Ing bengi mbruwah kuwi murid-muride kudu adus kramas terus ngumpul ing omahe sang guru saperlu padha slametan (PS:C13, hlm. 23, p 2) „Di malam yang bahagia itu murid-muridnya harus mandi kramas kemudian berkumpul di rumah sang guru guna untuk syukuran.‟ Kata ngumpul pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata ngumpul terbentuk dari kata dasar kumpul yang mendapat imbuhan morfem anuswara {ng-}. ng-
+
kumpul
ngumpul
Fonem konsonan /k/ pada kata kumpul mengalami peluluhan ketika bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem anuswara {ng-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata kumpul yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /k/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di sebelah kanan tanda panah, fonem konsonan /k/ tampak luluh. Luluhnya fonem konsonan /k/ terjadi sebagai hasil dari penggabungan kata kumpul dengan morfem anuswara {ng-} dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi ng-
+
kumpul
ngumpul
34
b. Pa anuswara (paA- atau pa-N) Wujud ater-ater pa anuswara yaitu pa-, pam-, pan-, pang-, dan pany(Sasangka,
2013:52). Berikut analisis proses morfologi dari prefiksasi
ater-ater pa anuswara yang mengakibatkan berubahnya bunyi atau fonem vokal maupun konsonan pada penelitian ini. 1) PanyData (11) …tolak balak panyebaring tenung jengges (PS:C4, hlm. 23, p 2) „…menolak bahaya penyebaran santet jengges.‟ Kata penyebaring pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata panyebaring berasal dari bentuk dasar sebar yang mendapat imbuhan morfem pa-N {pany-}. pany-
+
sebar
+
ing
panyebaring
Fonem konsonan /s/ pada kata sebar mengalami peluluhan ketika bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem {pany-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata sebar yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /s/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di kanan tanda panah, fonem konsonan /s/ sudah tidak tampak. Luluhnya fonem konsonan /s/ terjadi sebagai hasil dari penggabungan morfem {pany-} dengan kata sebar dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi. pany-
+
sebar
+
ing
panyebaring
35
2) PangData (24) Jeksa pangarsaning tim pelaksanaan eksekusi, menganggo seragam soklat donker mawa tandha bintang mercy traju telu ing pundhak sarta badge gambar pedhang lan timbangan ing lengen, ngunclug maju (PS:C9, hlm. 24, p 13) „Jaksa pemimpin tim pelaksana eksekusi, memakai seragam coklat dongker dan tanda bintang mercy traju tiga di pundak serta badge gambar pedang dan neraca di lengan, maju berjalan tanpa bergeming.‟ Kata pangarsaning pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata pangarsaning berasal dari bentuk karsaning yang mendapat imbuhan morfem pa-N {pang-} pang-
+
karsa
+
-ing
pangarsaning
Fonem konsonan /k/ pada kata karsa mengalami peluluhan ketika bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem pa-N {pang-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata karsaning yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /k/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di kanan tanda panah, fonem konsonan /k/ sudah tidak tampak. Luluhnya fonem konsonan /k/ terjadi sebagai hasil dari penggabungan kata karsa dengan morfem {pang-} dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi. pang-
+
karsa
+
- ing
pangarsaning
3) PanData (58) Yen panemuku diundhakake selawe persen wae (PS:C16, hlm. 24, p 31) „Jika pendapatku dinaikkan dua puluh lima persen saja.‟
36
Kata panemuku pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Kata panemuku berasal dari bentuk dasar temu yang mendapat imbuhan morfem pa-N {pan}. pan-
+
temu
+
Fonem konsonan /t/ pada kata
ku
panemuku
temu mengalami peluluhan ketika
bergabung ataupun mendapat imbuhan morfem {pan-}. Dapat dilihat pada proses di atas, kata temu yang berada di sebelah kiri tanda panah masih tampak adanya fonem konsonan /t/, namun bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang berada di kanan tanda panah, fonem konsonan /t/ sudah tidak tampak. Luluhnya fonem konsonan /t/ terjadi sebagai hasil dari penggabungan kata temu dengan morfem {pan-} dengan proses yang disebut sebagai prefiksasi. c. Ater-ater piData (5) Yen aseme pinuju awoh nuli diundhuh lan diedol menyang pasar (PS:C3, hlm. 23, p 5) „Jika pohon asemnya menuju berbuah, lalu diunduh dan dijual ke pasar.‟ Kata pinuju pada data (10) di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses itu diawali dari bentuk dasar tuju yang mendapat ater-ater morfem {pi-}. Selanjutnya, gabungan antara kata tuju dengan morfem {pi} membentuk kata jadian yaitu pinuju. pi-
+
tuju
pinuju
37
Proses penggabungan afiks pada kata pinuju mengakibatkan berubahnya fonem konsonan /t/ pada kata tuju menjadi fonem konsonan /n/. Perhatikan proses perubahan fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. pi-
+
tuju
pinuju
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata tuju yang terletak di sebelah kiri tanda panah diawali dengan fonem konsonan /t/, bandingkan dengan kata pinuju yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem konsonan /t/ pada kata tuju berubah menjadi fonem konsonan /n/. Hal itu terjadi karena adanya proses prefiksasi morfem {pi-} yang terletak di sebelah kiri tanda panah dengan kata tuju. 2. Sufiksasi Wujud sufiks atau panambang dalam bahasa Jawa di antaranya -i, -a, -e atau -ne, -en, -an, -na, - ana, -ane, dan –ake (Sasangka, 2013:62). Berikut analisis
proses
morfologi
dari
bentuk
sufiks
yang
mengakibatkan
berubahnya bunyi atau fonem vokal maupun konsonan pada penelitian ini. 1) Panambang -an Data (56) Sing dirembug kanca-kanca diarani wigati ya wigati, diarani ora wong nyatane gaweyan ajeg neng protelon iki pikolehe uga dienteni wong ngomah (PS:C16, hlm. 23, p 4) „yang dibahas teman-teman dianggap penting ya penting, dianggap tidak kenyataannya kerjaan konsisten di pertigaan ini hasilnya juga ditunggu keluarga.‟ Kata gaweyan pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik yang terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar gawe yang mendapat morfem akhiran {-an}.
38
gawe
+
-an
gaweyan
Perhatikan kata gaweyan yang terletak di sebelah kanan tanda panah, di antara fonem vokal /e/ dan fonem vokal /a/ terdapat fonem semi vokal /y/. Bandingkan dengan bagian yang berada di kiri tanda panah, tidak tampak adanya fonem semivokal /y/. Fonem semi vokal ini baru muncul sebagai hasil dari penggabungan kata gawe dengan morfem sufiks {-an} dengan proses yang disebut sebagai sufiksasi. gawe
+
-an
gaweyan
2) Panambang -ane Data (77) Bageyane anak-bojo trus apa lek awak dipadhakne mesin ngene iki? (PS:C20, hlm. 24, p 17) „Bagiannya anak istri terus apa jika tubuh disamakan dengan mesin seperti ini?‟ Kata bageyane pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik
tersebut
terjadi
akibat
adanya
proses
penggabungan
morfem. Awalnya bentuk dasar bagi mendapat akhiran morfem {-ane}. Kemudian gabungan antara kata bagi dengan morfem sufiks {-ane} membentuk kata jadian yaitu bageyane. bagi
+
-ane
[bagɛyane]
Perhatikan fonem vokal /i/ pada kata bagi dan fonem vokal /a/ pada morfem {-ane} yang terletak di sebelah kiri tanda panah. Bandingkan dengan kata bageyane yang terletak di sebelah kanan tanda panah sebagai hasil dari proses yang terletak disebelah kiri. Tampak fonem vokal /i/ dan fonem vokal /a/ berubah menjadi fonem vokal /ɛ/. Hal itu terjadi akibat
39
adanya proses sufiksasi morfem
{-ane} dengan bentuk dasar bagi. Proses
sufiksasi ini juga yang menyebabkan munculnya fonem baru yaitu fonem semi vokal /y/. bagi
+
-ane
[bagɛyane]
3) Panambang -e Data (33) Mbok menawa aku sing paling siyal nasibe (PS:C1, hlm. 23, p 17) „Siapa tahu saya yang paling sial nasibnya.‟ Kata nasibe pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar nasib yang mendapat akhiran morfem {-e}. Kemudian, gabungan antara kata nasib dengan morfem sufiks {-e} membentuk kata jadian yaitu nasibe. nasib
+
-e
nasibe
Proses afiksasi pada kata nasibe mengakibatkan berubahnya fonem konsonan /b/ menjadi fonem konsonan /p/. Perhatikan proses perubahan fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. [nasIb]
+
-e
[nasipe]
Tampak pada proses sufiksasi di atas kata nasib yang terletak di sebelah kiri tanda panah diakhiri dengan fonem konsonan /b/. Bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang terletak di kanan tanda panah, tampak adanya perubahan. Perubahan itu adalah hilangnya fonem konsonan /b/ yang diganti dengan fonem konsosnan /p/. Fonem konsonan /p/ ini muncul
40
sebagai hasil dari proses yang terletak di sebelah kiri tanda panah, yakni proses sufiksasi berupa morfem {e-}. 4) Panambang -na Data (74) Rungokna dhisik kandhaku (PS:C17, hlm. 24, p 38) „Dengarkan dahulu ucapanku.‟ Kata rungokna pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik
tersebut
terjadi
akibat
adanya
proses
penggabungan
morfem. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar rungu yang mendapat akhiran morfem {-na}. Kemudian, gabungan antara kata rungu dengan morfem sufiks {-na} ini membentuk kata jadian yaitu rungokna. rungu
+
-na
rungo?na
Proses afiksasi pada kata rungokna mengakibatkan berubahnya fonem vokal /u/ menjadi fonem vokal /ɔ/. Perhatikan proses perubahan fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. rungu
+
-na
rungo?na
Tampak pada proses penggabungan morfem di atas, kata rungu yang terletak di sebelah kiri tanda panah diakhiri dengan fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang terletak di kanan tanda panah, tampak adanya perubahan. Perubahan itu adalah hilangnya fonem vokal /u/ yang diganti dengan fonem vokal /ɔ/. Fonem vokal /ɔ/ ini muncul sebagai hasil dari proses yang terletak di sebelah kiri tanda panah yakni proses sufiksasi berbentuk morfem
{-na}. Selain itu, proses sufiksasi
ini juga mengakibatkan munculnya fonem baru yaitu fonem konsonan /?/.
41
5) Panambang -ake Data (22) Malah dadekake bingung (PS:C9, hlm. 23, p 2) „Malah membuat bingung.‟ Kata dadekake pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik
tersebut terjadi akibat adanya penggabungan morfem.
Proses tersebut diawali dari bentuk dasar dadi yang mendapat akhiran morfem {-ake}. Kemudian, gabungan antara kata dadi dengan morfem sufiks {-ake} ini membentuk kata jadian yaitu dadekake. dadi
+
-ake
dadekake
Proses sufiksasi pada kata dadekake mengakibatkan berubahnya fonem vokal /i/ menjadi fonem vokal /ɛ/. Perhatikan proses perubahan fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. dadi
+
-ake
[dadɛ?ake]
Tampak pada proses penggabungan morfem di atas, kata dadi yang terletak di sebelah kiri tanda panah diakhiri dengan fonem vokal /i/. Bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang terletak di kanan tanda panah, tampak adanya perubahan. Perubahan itu adalah hilangnya fonem vokal /i/ yang diganti dengan fonem vokal /ɛ/. Fonem vokal /ɛ/ ini muncul sebagai hasil dari proses yang terletak di sebelah kiri tanda panah yakni proses sufiksasi berbentuk morfem
{-ake }. Selain itu, proses sufiksasi
morfem {-ake} juga menyebabkan munculnya fonem baru, yaitu fonem konsonan glotal /?/.
42
3. Konfiksasi Wujud konfiks dalam bahasa Jawa yaitu ka- -an atau ke- -an, ke- -en, pa- an, paA- -an, dan pra- -an (Sasangka, 2013:52). Berikut analisis proses morfologi dari bentuk konfiks yang mengakibatkan berubahnya bunyi atau fonem vokal maupun konsonan pada penelitian ini. 1) ka- -an Data (67) Aku keraya-raya teka mrene iki merga arep ngabarake yen Dana ngalami kacilakan (PS:C17, hlm. 24, p 38) „Saya cepat-cepat datang ke sini karena ingin mengabarkan jika Dana mengalami kecelakaan.‟ Kata kacilakan pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar cilaka yang mendapat imbuhan morfem
{ka- -an}. Morfem {ka- -an} ini datang secara bersamaan,
sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk kacilaka ataupun cilakan. Kemudian, gabungan antara kata dadi dengan morfem {ka- -an} ini membentuk kata jadian yaitu kacilakan. ka-
+
cilaka
+
-an
kacilakan
Proses penggabungan morfem pada kata kacilakan di atas mengakibatkan berubahnya fonem vokal /ɔ/ pada kata cilaka menjadi fonem vokal /a/. Perhatikan
proses
perubahan
fonem
tersebut
di
bawah
ini dan
penjelasannya. ka-
+
[cilɔkɔ]
+
-an
[kacilakan]
43
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata cilaka yang terletak di sebelah kiri tanda panah, fonem keempat dan keenam berupa fonem vokal /ɔ/, bandingkan dengan kata kacilakan yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem keempat dan keenam yang tadinya berupa fonem vokal /ɔ/, setelah melewati proses penggabungan dengan morfem {ka- an}, dua fonem tadi berubah menjadi fonem vokal /a/. Hal itu terjadi karena adanya proses konfiksasi yang terletak di sebelah kiri tanda panah berupa penggabungan morfem {ka- -an} dengan kata dasar cilaka. Data (40) Kang satemene dheweke ora siap migunakake kalodhangan kanggo nglawan, nyipati kedadean kasebut Giran kaya diwulang-wuruk Jarot (PS:C12, hlm. 24, p 20) „Sebenarnya dirinya tidak siap menggunakan kesempatan untuk melawan, menyikapi kejadian tersebut Giran seperti dinasihati Jarot.‟ Kata kedadean pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar dadi yang mendapat imbuhan morfem {ke- -an}. Morfem {ke- -an} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk kedadi ataupun dadean. Gabungan antara kata dadi dengan morfem {ke- -an} ini membentuk kata jadian yaitu kedadean. ke-
+
dadi
+
-an
kedadean
Proses penggabungan afiks pada kata kedadean mengakibatkan munculnya fonem semi vokal /y/, yang terletak di antara fonem vokal /i/ dan fonem
44
vokal /a/. Perhatikan proses munculnya fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. ke-
+
dadi
+
-an
[kədadeyan]
Tampak pada proses penggabungan morfem di atas, kata dadi yang terletak di sebelah kiri tanda panah diakhiri dengan fonem vokal /i/. Bandingkan dengan hasil proses afiksasi yang terletak di kanan tanda panah, tampak adanya perubahan. Perubahan itu adalah munculnya fonem semi vokal /y/. Walalupun dalam ragam bahasa tulis, fonem semi vokal /y/ tidak direalisasikan, namun dalam bentuk ujaran tampak sangat jelas. Fonem semi vokal /y/ ini muncul sebagai hasil dari proses yang terletak di sebelah kiri tanda panah, yakni proses konfiksasi berbentuk morfem {ke- an} dengan bentuk dasar dadi. 2) pa- -an Data (71) Dhasar rumah sakit bonafit, dhokter-dhokter lan paramedhis padha mumpuni ing pakaryane, ora mokal yen operasine lumaku rancag kasil kanthi becik (PS:C18, hlm. 24, p 17) „Dasar rumah sakit bonafit, dokter-dokter dan paramedis pada mumpuni dalam pekerjaannya, tidak mustahil jika operasinya berjalan cepat berhasil dengan baik.‟ Kata pakaryane pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar karya yang mendapat imbuhan morfem {pa- -an}. Morfem {pa- -an} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk pakarya ataupun karyan.
45
pa-
+
[karyɔ]
+
-an
[pakaryan]
Selanjutnya, bentuk pakaryan mendapat imbuhan lagi berupa morfem {e}. pakaryan Proses
penggabungan
+ afiks
-e
pakaryane
pada
kata
pakaryane
mengakibatkan
berubahnya fonem vokal /ɔ/ pada kata karya menjadi fonem vokal /a/. Perhatikan
proses
perubahan
fonem
tersebut
di
bawah
ini dan
penjelasannya. pa-
+
[karyɔ]
+
-an
[pakaryan]
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata karya yang terletak di sebelah kiri tanda panah, fonem kelima berwujud fonem vokal /ɔ/, bandingkan dengan kata pakaryan yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem kelima pada kata karya yang tadinya berupa fonem vokal /ɔ/, setelah melewati proses penggabungan dengan morfem {pa- -an} berubah menjadi fonem vokal /a/. Hal itu terjadi karena adanya proses konfiksasi yang terletak di sebelah kiri tanda panah berupa penggabungan morfem {pa- -an} dengan kata dasar karya. 4. Simulfiksasi Wujud simulfiks dalam bahasa Jawa yaitu A- -i, A- -a, A- -ake, A- -ana, di- -i, di- -a, di- -ake, di- -ana, -in- -i, -in- -ake, -in- -ana, dan sa- -e (Sasangka, simulfiks
2013:88). yang
penelitian ini.
Berikut analisis proses morfologi dari bentuk
mengakibatkan
berubahnya
bunyi atau fonem pada
46
1)
A- -i (n- -i)
Data (68) “Apa iki?” Lita nampani barang mau (PS:C17, hlm. 24, p 45) „Apa ini? Lita menerima barang tadi.‟ Kata nampani pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar tampa yang mendapat imbuhan morfem {n-}. n-
+
tampa
nampa
Selanjutnya, kata nampa mendapat imbuhan lagi, yaitu morfem {-i}. nampa
+
{-i}
nampani
Proses penggabungan afiks pada kata nampani mengakibatkan berubahnya fonem vokal /ɔ/ pada kata tampa menjadi fonem vokal /a/, dan juga fonem konsonan /t/ pada kata tampa mengalami peluluhan. Perhatikan proses perubahan fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. n-
+
[tɔmpɔ]
+
-i
[nampani]
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata tampa yang terletak di sebelah kiri tanda panah, fonem kedua dan kelima berwujud fonem vokal /ɔ/, bandingkan dengan kata nampani yang terletak di sebelah kanan tanda panah, dua fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/. Hal itu terjadi karena adanya proses simulfiks yang terletak di sebelah kiri tanda panah berupa penggabungan morfem {n- -i} dengan kata dasar tampa. 2) A- -ne (ng- -ne) Data (63)
47
Ibune unjal ambegan, sajak melu ngrasakne lara atine Lita (PS:C17, hlm. 23, p 21) „ibunya menarik napas, seolah ikut merasakan sakit hatinya Lita.‟ Kata ngrasakne pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar rasa yang mendapat imbuhan morfem {ng-}. ng-
+
rasa
ngrasa
Selanjutnya, kata ngrasa mendapat imbuhan lagi, yaitu morfem {-ne}. [ŋrɔsɔ] Proses
+
penggabungan
afiks
-ne pada
[ŋrasa?ne] kata
ngrasakne
mengakibatkan
berubahnya fonem vokal /ɔ/ pada kata rasa menjadi fonem vokal /a/. Perhatikan
proses
perubahan
fonem
tersebut
di
bawah
ini dan
penjelasannya. ng-
+
[rɔsɔ]
+
-ne
[ŋrasa?ne]
Tampak pada proses penggabungan di atas, fonem vokal pada kata rasa yang terletak di sebelah kiri tanda panah berwujud fonem vokal /ɔ/, bandingkan dengan kata ngrasakne yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal pada kata rasa tadi berubah menjadi fonem vokal /a/. Hal itu terjadi karena adanya proses simulfiks yang terletak di sebelah kiri tanda panah berupa penggabungan morfem {ng- -ne} dengan kata dasar rasa. 3) A- -ake (n- -ake) Data (27)
48
Suwe ora srawung karo Bu Utari aku ora nemokake owah-owahan sing signifikan (PS:C10, hlm. 47, p 27) „Lama tidak berjumpa dengan Bu Utari saya tidak menemukan perubahan yang signifikan.‟ Kata nemokake pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar temu yang mendapat imbuhan morfem {n-}. n-
+
temu
nemu
Selanjutnya, kata nemu mendapat imbuhan lagi, yaitu morfem {-ake}. nemu
+
-ake
nemo?ake
Proses penggabungan afiks pada kata nemokake mengakibatkan luluhnya fonem konsonan /t/ dan juga berubahnya fonem vokal /u/ pada kata temu menjadi fonem vokal /ɔ/. Perhatikan proses perubahan fonem tersebut di bawah ini dan penjelasannya. n-
+
[təmu]
+
-ake
[nəmɔ?ake]
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata temu yang terletak di sebelah kiri tanda panah diakhiri dengan fonem vokal /u/, bandingkan dengan kata nemokake yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal pada kata temu tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/. Hal itu terjadi karena adanya proses simulfiks yang terletak di sebelah kiri tanda panah berupa penggabungan morfem {n- -ake} dengan kata dasar temu.
49
4) Di- -i Data (12) Olehku golek sisik melik takrewangi nungsang njempalik, kaya wong edan ditabuhi, isin wirang taklakoni (PS:C4, hlm. 23, p 3) „Dalam rangka mencari rejeki saya usahakan sampai jungkir balik, seperti orang gila yang dipukuli (digoda), malu saya lakukan.‟ Kata ditabuhi pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses penggabungan afiks. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar tabuh yang mendapat imbuhan morfem {di-}. di-
+
tabuh
ditabuh
Selanjutnya, kata ditabuh mendapat imbuhan lagi, yaitu morfem {-i}. ditabuh
+
-i
ditabuhi
Proses penggabungan afiks pada kata ditabuhi mengakibatkan berubahnya fonem vokal /U/ pada kata dasar tabuh menjadi fonem vokal /u/. Perhatikan
proses
perubahan
fonem
tersebut
di
bawah
-i
[ditabuhi]
ini dan
penjelasannya. di-
+
[tabUh]
+
Tampak pada proses penggabungan di atas, kata tabuh yang terletak di sebelah kiri tanda panah, fonem keempatnya berupa /U/. Bandingkan dengan kata ditabuhi yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal pada kata tabuh tadi berubah menjadi fonem vokal /u/. Hal itu terjadi karena adanya proses simulfiks yang terletak di sebelah kiri tanda panah berupa penggabungan morfem {di- -i} dengan kata dasar tabuh.
50
5) Di- -ake Data (75) Niken dijodhokake karo priya pilihan bapake (PS:C19, hlm. 23, p18) „Niken dijodohkan dengan pria piilihan ayahnya.‟ Dijodhokake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem dan pemunculan bunyi. Perubahan fonem terjadi pada dua fonem vokal /o/ yang terdapat pada bentuk dasar dari dijodhokake yaitu jodho. Dua fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/ setelah bentuk dasar jodho mendapat imbuhan morfem {-ake}. Sedangkan pemunculan bunyi yang dimaksud yaitu munculnya bunyi glotal /?/. Bunyi glotal /?/ muncul di antara fonem vokal /ɔ/ dan fonem vokal /a/. Bunyi glotal /?/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari dijodhokake yaitu jodho. Kemunculan bunyi glotal /?/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {di- -ake}. Morfem {di- -ake} ini datang secara bertahap. Awalnya bentuk dasar jodho mendapat imbuhan morfem {-ake}. [joDo]
+
-ake
[jɔDɔ?ake]
Selanjutnya, bentuk jodhokake mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {di-} yang terletak di depan. di-
+
di-
+
[jɔDɔ?ake] [joDo]
+
[dijɔDɔ?ake] -ake
[dijɔDɔ?ake]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dijodhokake merupakan bentuk morfofonemik yang terjadi akibat adanya proses simulfiksasi berupa morfem {di- -ake}.
51
5. Reduplikasi Reduplikasi atau
kata
ulang
adalah
proses morfologi yang
mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian, maupun disertai dengan perubahan bunyi (Abdullah dan Ahmad, 2012:64). Berikut analisis proses morfologi dari bentuk reduplikasi yang mengakibatkan berubahnya bunyi atau fonem vokal maupun konsonan pada penelitian ini. 1) Dwilingga salin swara Data (43) Upama kepethuk bola-bali ing kana ya mesthi pangling (PJ:C13, hlm. 23, p 3). „Seumpama bertemu berulang-ulang di sana ya pasti pangling.‟ Kata bola-bali pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses pengulangan. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar bali yang diulang sacara keseluruhan dengan perubahan bunyi. Kemudian, pengulangan kata bali membentuk kata jadian bola-bali. bali
bola-bali
Tampak pada proses pengulangan di atas, kata bali yang terletak di sebelah kiri tanda panah suku awalnya berupa fonem vokal /a/ dan suku akhirnya berupa fonem vokal /i/. Bandingkan dengan bentuk pengulangan kata bali yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Dua fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/ pada bentuk ulangannya. bali
bola-bali
52
proses pengulangan diatas menghasilkan bentuk ulangan dengan jenis dwilingga salin swara. Sebab hasil pengulangan dari kata bali disertai pula dengan perubahan vokal. Data (70) Mesthi sang maratuwa ngguya-ngguyu kalegan (PS:C18, hlm. 24, p 13) „Pasti sang mertua tertawa-tawa lega.‟ Kata ngguya-ngguyu pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses pengulangan. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar ngguyu yang diulang sacara keseluruhan
dengan
perubahan
bunyi.
Kemudian,
pengulangan
kata
ngguyu membentuk kata jadian ngguya-ngguyu. ngguyu
ngguya-ngguyu
Tampak pada proses pengulangan di atas, kata ngguyu yang terletak di sebelah kiri tanda panah, suku akhirnya berupa fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil pengulangan dari kata ngguyu yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal /u/ tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ pada bentuk ulangannya. ngguyu
ngguya-ngguyu
Proses pengulangan di atas menghasilkan bentuk ulangan dengan jenis dwilingga salin swara. Sebab hasil pengulangan dari kata ngguyu disertai pula dengan perubahan vokal.
53
2) Dwipurwa Data (3) Jroning batin Ratih dedonga muga-muga bapake enggal mbukak wewadi nuduhi sapa ibune kang satemene (PS:C2, hlm. 24, p 38) „Di lubuk hati Ratih terus berdoa semoga ayahnya cepat membuka rahasia menjelaskan siapa ibunya yang sebenarnya.‟ Kata dedonga pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses pengulangan. Proses tersebut diawali dari bentuk dasar donga yang diulang secara sebagian (suku awal). Kemudian, pengulangan kata donga membentuk kata jadian dedonga. donga
dedonga
Tampak pada proses pengulangan di atas, kata donga yang terletak di sebelah kiri tanda panah, suku awalnya berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil pengulangannya yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal /ɔ/ tadi berubah menjadi fonem vokal /ə/. donga
dedonga
Proses pengulangan di atas menghasilkan bentuk ulangan dengan jenis dwipurwa. Sebab yang diulang hanya suku awal dari kata donga yaitu do. Kemudian, fonem vokal /ɔ/ pada do berubah menjadi fonem vokal /ə/. donga
dodonga
dedonga
Data (57) Kanca-kanca nyuwun tetimbangan panjenengan (PS:C16, hlm. 23, p 7) „Teman-teman meminta pertimbangan dari kamu.‟
54
Kata tetimbangan pada data di atas merupakan bentuk morfofonemik. Bentuk morfofonemik tersebut terjadi akibat adanya proses pengulangan. Awalnya kata timbangan diulang secara sebagian (suku awal). Kemudian, pengulangan pada kata timbangan membentuk kata jadian tetimbangan. timbangan
tetimbangan
Tampak pada proses pengulangan di atas, kata timbangan yang terletak di sebelah kiri tanda panah,
suku awalnya berupa fonem vokal /i/.
Bandingkan dengan hasil pengulangan dari kata timbangan yang terletak di sebelah kanan tanda panah. Fonem vokal /i/ tadi berubah menjadi fonem vokal /ə/. timbangan
tetimbangan
Proses pengulangan di atas menghasilkan bentuk ulangan dengan jenis dwipurwa. Sebab yang diulang hanya suku awal dari kata timbangan yaitu ti. Kemudian, fonem vokal /i/ pada ti berubah menjadi fonem vokal /ə/. timbangan
titimbangan
tetimbangan
B. Bentuk Morfofonemik Penelitian
ini
hanya
menemukan
bentuk
morfofonemik
berupa
pemunculan fonem, perubahan fonem, pelesapan dan pergeseran fonem. Berikut analisis bentuk morfofonemik pada penelitian ini.
55
1. Pemunculan Fonem Pemunculan
fonem
yaitu
munculnya
fonem
(bunyi)
dalam
proses
morfologi yang pada mulanya tidak ada (Chaer, 2008:43). Berikut analisis bentuk pemunculan bunyi atau fonem pada penelitian ini. 1) Pemunculan fonem /y/ Data (91) ….ing meja kerjane ngrampungake gaweyan (P S:C8, hlm. 23, p 8) „…di meja kerjanya menyelesaikan kerjaan.‟ Gaweyan merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /y/. Fonem semi vokal /y/ ini muncul di antara fonem vokal /e/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /y/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari gaweyan yaitu gawe. Kemunculan fonem semi vokal /y/ ini baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses sufiksasi morfem {-an}. gawe +
-an
gaweyan
Dari proses morfologi di atas dapat disimpulkan bahwa, kata gaweyan merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /y/. Data (77) Bageyane anak-bojo trus apa lek awak dipadhakne mesin ngene iki? (PS:C20, hlm. 24, p 17) „Bagiannya anak istri terus apa jika tubuh disamakan dengan mesin seperti ini?‟ Bageyane merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /y/. Fonem semi vokal /y/
56
ini muncul di antara fonem vokal /i/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /y/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari bageyane yaitu bagi. Kemunculan fonem semi vokal /y/ ini baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses sufiksasi morfem bagi +
-ane
{-ane}.
bageyane
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata bageyane merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /y/. Data (73) …tanpa ana siji-sijia kancane sing ngerti…(PS:C19, hlm. 23, p 17) „…tanpa ada satupun temannya yang tahu.‟ Siji-sijia merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /y/. Fonem semi vokal /y/ ini muncul di antara fonem vokal /i/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /y/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari siji-sijia yaitu siji-siji. Kemunculan fonem semi vokal /y/ ini baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses sufiksasi morfem {-a}. siji-siji +
-a
siji-sijiya
Dalam bentuk tulisan, fonem semi vokal /y/ ini tidak tampak, karena memang tidak perlu untuk direalisasikan, namun dalam bentuk ujaran, fonem semi vokal /y/ tampak sangat jelas. Jadi, kata siji-sijia merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /y/.
57
Data (76) Kamangka ora slaras karo penggaweyan dinasku saben dina (PS:C20, hlm. 23, p 4) „Padahal tidak sesuai dengan pekerjaan dinasku setiap hari.‟ Penggaweyan
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa
pemunculan
fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /y/. Fonem semi vokal /y/ muncul di antara fonem vokal /e/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /y/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari penggaweyan yaitu gawe. Kemunculan fonem semi vokal /y/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {peng- -an}. Morfem {peng- -an} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar gawe mendapat imbuhan morfem {-an}. gawe Selanjutnya,
bentuk
+
-an
gaweyan
gaweyan mendapat imbuhan lagi yaitu morfem
{peng} yang terletak di depan. peng-
+
peng-
+
gaweyan gawe +
penggaweyan -an
penggaweyan
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata penggaweyan merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /y/. 2) Pemunculan fonem semi vokal /w/ Data (17) Wagito wiwit ngempakake rayuwan gombal (PS:C6, hlm. 24, p 17) „Wagito mulai melancarkan rayuan gombal.‟
58
Rayuwan merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /w/. Fonem semi vokal /w/ muncul di antara fonem vokal /u/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /w/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari rayuwan yaitu rayu. Kemunculan fonem semi vokal /w/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses sufiksasi morfem {-an}. rayu
+
-an
rayuwan
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata rayuwan merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /w/. Data (41) Nek ngono, langgar iki padha didandhani karo mlaku anut kemampuane awake dhewe (PS:C11, hlm. 24, p 31) „kalau begitu, mushola ini diperbaiki sambil berjalan sesuai kemampuannya diri kita.‟ Kemampuane
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa
pemunculan
fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /w/. Fonem semi vokal /w/ muncul di antara fonem vokal /u/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /w/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari kemampuane yaitu mampu. Kemunculan fonem semi vokal /w/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {ke- -an}. Morfem {ke-an} ini muncul secara bersamann bukan satu persatu atau bertahap, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk kemampu ataupun mampuan.
59
keBentuk
+
kemampuan
mampu
+
-an
kemampuwan
ini selanjutnya mendapat imbuhan lagi berupa
morfem {-e}. kemampuan
+
-e
kemampuwane
Dalam bentuk tulis, fonem semi vokal /w/ ini tidak tampak, karena memang tidak perlu untuk direalisasikan, namun dalam bentuk ujaran, fonem semi vokal /w/ tampak sangat jelas. Jadi, kata kemampuane merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /w/. Data (26) Wong jejodhowan mono pawitane rak ati (PS:C10, hlm. 24, p 13) „Orang yang menjalin hubungan itu modalnya kan hati.‟ Jejodhowan merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem semi vokal /w/. Fonem semi vokal /w/ muncul di antara fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/. Fonem semi vokal /w/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari jejodhowan yaitu jodho. Kemunculan fonem semi vokal /w/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses sufiksasi morfem {-an}. jejodho
+
-an
jejodhowan
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata jejodhowan merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan fonem semi vokal /w/. 3) Pemunculan bunyi glotal /?/
60
Data (56) Bakal nyirnakake putu-putumu kang ambeg utama kae (PS:C14, hlm. 23, p 11). „Akan melenyapkan cucu-cucumu yang berwatak utama itu.‟ Nyirnakake merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan bunyi. Bunyi yang dimaksud yaitu bunyi glotal /?/. Bunyi glotal /?/ muncul di antara dua fonem vokal /a/. Bunyi glotal /?/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari nyirnakake yaitu sirna. Kemunculan bunyi glotal /?/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {ny- -ake}. Morfem {ny- -ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nyirna ataupun sirnakake. ny-
+
sirna
+
-ake
[~n irna?ake]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyirnakake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan bunyi glotal /?/. Data (32) Suwe ora srawung karo Bu Utari aku ora nemokake owah-owahan sing signifikan (PS:C10, hlm. 47, p 27) „Lama tidak bertemu dengan Bu Utari saya tidak menemukan perubahan yang signifikan.‟ Nemokake merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan bunyi. Bunyi yang dimaksud yaitu bunyi glotal /?/. Bunyi glotal /?/ muncul di antara fonem vokal /ɔ/ dan fonem vokal /a/. Bunyi glotal /?/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari nemokake yaitu temu. Kemunculan bunyi glotal /?/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses
61
simulfiks morfem {n- -ake}. Morfem {n- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar temu mendapat imbuhan morfem {n-}. n-
+
temu
nemu
Selanjutnya, bentuk nemu mendapat imbuhan lagi berupa morfem {-ake} yang terletak di belakang. nemu n-
+ +
-ake temu +
[nəmɔ?ake] -ake
[nəmɔ?ake]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nemokake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan bunyi glotal /?/. Data (59) Wong nyilih bakal mbalekake (PS:C14, hlm. 24, p 18). „Orang meminjam bakal mengembalikan.‟ Mbalekake merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan bunyi glotal /?/. Bunyi yang dimaksud yaitu bunyi glotal /?/. Bunyi glotal /?/ muncul di antara fonem vokal /ɛ/ dan fonem vokal /a/. Bunyi glotal /?/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari mbalekake yaitu bali. Kemunculan bunyi glotal /?/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {m- -ake}. Morfem {m- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar bali mendapat imbuhan morfem {-ake}. bali
+
-ake
[balɛ?ake]
62
Selanjutnya, bentuk balekake mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {m-} yang terletak di depan. m-
+
[balɛ?ake]
m-
+
bali
+
[mbalɛ?ake] -ake
[mbalɛ?ake]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata mbalekake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan bunyi glotal /?/. Data (75) Niken dijodhokake karo priya pilihan bapake (PS:C19, hlm. 23, p18) „Niken dijodohkan dengan pria piilihan ayahnya.‟ Dijodhokake merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan bunyi. Bunyi yang dimaksud yaitu glotal /?/. Bunyi glotal /?/ muncul di antara fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/. Bunyi glotal /?/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari dijodhokake yaitu jodho. Kemunculan bunyi glotal /?/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {di- -ake}. Morfem {di- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar jodho mendapat imbuhan morfem {-ake}. [joDo]
+
-ake
[jɔDɔ?ake]
Selanjutnya, bentuk jodhokake mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {di-} yang terletak di depan. di-
+
[jɔDɔ?ake]
di-
+
[joDo]
+
[dijɔDɔ?ake] -ake
[dijɔDɔ?ake]
63
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dijodhokake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan bunyi glotal /?/. Data (46) Wis kluthekan ing pawon cethik geni kanggo sarapan...(PS:C13, hlm. 23, p 5). „Sudah memasak di dapur untuk membuatkan sarapan…‟
nggawekake
Nggawekake merupakan bentuk morfofonemik berupa pemunculan bunyi. Bunyi yang dimaksud yaitu bunyi glotal /?/. Bunyi glotal /?/ muncul di antara fonem konsonan /e/ dan fonem vokal /a/. Bunyi glotal /?/ ini tidak muncul pada bentuk dasar dari nggawekake yaitu gawe. Kemunculan bunyi glotal /?/ baru tampak saat ada proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {ng- -ake}. Morfem {ng- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar gawe mendapat imbuhan morfem {ng-}. ng-
+
gawe
nggawe
Selanjutnya, bentuk nggawe mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {-ake} yang terletak di belakang. nggawe ng-
+
+
-ake
gawe
+
[ŋgawe?ake] -ake
[ŋgawe?ake]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nggawekake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis pemunculan bunyi glotal /?/.
64
2. Peluluhan Fonem Peluluhan fonem yakni luluhnya sebuah fonem serta disenyawakan dengan fonem lain (Chaer, 2008:44). Berikut analisis bentuk peluluhan fonem pada penelitian ini. 1) Peluluhan fonem konsonan /c/ Data (52) Tekan palagan atiku nyicil ayem (PS:C14, hlm. 24, p 17). „Sampai di medan pertempuran hatiku agak tenang.‟ Nyicil merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /c/. Fonem konsonan /c/ ini masih tampak jelas dalam bentuk dasar cicil. Fonem konsonan /c/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar cicil mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses prefiksasi morfem {ny-}. ny-
+
cicil
nyicil
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyicil merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /c/. Data (15) Aja nyampuri urusan pribadiku (PS:C5, hlm. 24, p 34) „Jangan mencampuri urusan pribadiku.‟ Nyampuri merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /c/. Fonem konsonan /c/ ini masih tampak jelas dalam bentuk dasar dari nyampuri yaitu campur. Fonem konsonan /c/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar campur mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {ny- -
65
i}. Morfem {ny- -i} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar campur mendapat imbuhan morfem {ny-}. ny-
+
campur
nyampur
Selanjutnya, bentuk nyampur mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {-i}. [~n ampUr] ny-
+
+
[~n ampuri]
-i
[campUr]
+
-i
[~n ampuri]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyampuri merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /c/. Data (44) …gayeng nyritakake lelakone dhewe-dhewe (PS:C13, hlm. 23, p 3). „…asik menceritakan kisahnya masing- masing.‟ Nyritakake merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /c/. Fonem konsonan /c/ ini masih tampak jelas dalam bentuk dasar dari nyritakake yaitu crita. Fonem konsonan /c/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar crita mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {ny- -ake}. Morfem {ny- -ake} ini datang secara besamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nyrita ataupun critakake. ny-
+
crita
+
-ake
nyrita?ake
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyritakake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /c/.
66
2) Peluluhan konsonan /p/ Data (23) Dhokter Sinung masang stetoskope (PS:C9, hlm. 23, p 8) „Dokter Sinung memasang stetoskop.‟ Masang
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa peluluhan fonem.
Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /p/. Fonem konsonan /p/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari masang yaitu pasang. Fonem konsonan /p/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar pasang mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses prefiksasi morfem {m-}. m-
+
pasang
masang
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata masang merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /p/. Data (65) Panjenengane ora ngendika apa-apa, katon yen lagi menggalih (PS:C17, hlm. 24, p 29) „Dia tidak berbicara apa-apa, tampak jika sedang membatin.‟ Menggalih merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /p/. Fonem konsonan /p/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari menggalih yaitu penggalih. Fonem konsonan /p/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar penggalih mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses prefiksasi morfem {m}. m-
+
penggalih
menggalih
67
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata menggalih merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /p/. 3) Peluluhan fonem konsonan /s/ Data (41) Nanging iseh prigel nyetir mobil dhewe saka daleme ing Yogya tekan ngomahku ing Trucuk, Klaten (PS:C13, hlm. 23, p 1). „Namun masih kuat menyetir mobil sendiri dari rumahnya di Jogja sampai rumahku di Trucuk, Klaten.‟ Nyetir merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /s/. Fonem konsonan /s/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari nyetir yaitu setir. Fonem konsonan /s/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar setir mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses prefiksasi morfem {ny-}. ny-
+
setir
nyetir
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyetir merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /s/. Data (61) Ibune nyelehake piring (PS:C17, hlm. 23, p 18) „Ibunhya menaruh piring.‟ Nyelehake merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /s/. Fonem konsonan /s/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari nyelehake yaitu seleh. Fonem konsonan /s/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar seleh mengalami proses
68
morfologi, dalam hal ini proses simulfiks morfem {ny- -ake}. Morfem {ny- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar seleh mendapat imbuhan morfem {-ake}. seleh
+
-ake
selehake
Selanjutnya, bentuk selehake mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {ny-}. ny-
+
selehake
ny-
+
seleh
+
nyelehake -ake
nyelehake
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyelehake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /s/. Data (45) Kang satemene dheweke ora siap migunakake kalodhangan kanggo nglawan, nyipati kedadean kasebut Giran kaya diwulang-wuruk Jarot (PS:C12, hlm. 24, p 20) „Sebenarnya dirinya tidak siap menggunakan kesempatan untuk melawan, mensifati kejadian tersebut Giran seperti diajari Jarot.‟ Nyipati merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /s/. Fonem konsonan /s/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari nyipati yaitu sipat. Fonem konsonan /s/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar sipat mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {ny- -i}. Morfem {ny- -i} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nyipat ataupun sipati. ny-
+
sipat
+
-i
nyipati
69
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyipati merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /s/. 4) Peluluhan konsonan (k) Data (72) Marta njegreg kaya reca, ora ngira yen sing ngragadi operasine jebul Sukri mantune sing disiya-siya telung tahun kepungkur (PS:C18, hlm. 24, p 25) „Marta terdiam seperti patung, tidak mengira jika yang membiayai operasinya ternyata Sukri menantunya yang disia-siakan tiga tahun yang lalu.‟ Ngira merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /k/. Fonem konsonan /k/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari ngira yaitu kira. Fonem konsonan /k/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar kira mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses prefiksasi morfem {ng-}. ng-
+
kira
ngira
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ngira merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /k/. Data (67) Aku keraya-raya teka mrene iki merga arep ngabarake yen Dana ngalami kacilakan (PS:C17, hlm. 24, p 38) „Saya cepat-cepat datang kesini karena ingin mengabarkan jika Dana mengalami kecelakaan.‟ Ngabarake merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /k/. Fonem konsonan /k/ ini
70
masih tampak jelas pada bentuk dasar dari ngabarake yaitu kabar. Fonem konsonan /k/ baru terleuluhkan ketika bentuk dasar kabar mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {ng- -ake}. Morfem {ng- -ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk ngabar ataupun kabarake. ng-
+
kabar
+
-ake
ngabarake
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ngabarake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /k/. Data (64) Mosok Dana tegel ngiyanati kowe, ndhuk? (PS:C17, hlm. 24, p 25) „Masak Dana tega menghiyanati kamu, nak?‟ Ngiyanati merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /k/. Fonem konsonan /k/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari ngiyanati yaitu kiyanat. Fonem konsonan /k/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar kiyanat mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {ng- -i}. Morfem {ng- -i} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk ngiyanat ataupun kiyanati. ng-
+
kiyanat
+
-i
ngiyanati
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ngiyanati merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /k/.
71
5) Peluluhan konsonan /t/ Data (47) Ninggal kanca-kanca sing wis akrab wiwit cilik (PS:C13, hlm. 24, p 14) „Meninggalkan teman-teman yang sudah akrab sejak kecil.‟ Ninggal
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa peluluhan fonem.
Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /t/. Fonem konsonan /t/ ini masih tampak jelas dalam bentuk dasar tinggal. Fonem konsonan /t/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar tinggal mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses prefiksasi {n-}. n-
+
tinggal
ninggal
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ninggal merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /t/. Data (50) Gendera kamenangan bisa nuwuhake girise mungsuh (PS:C14, hlm. 23, p 2). „Bendera kemenangan dapat menumbuhkan rasa takut musuh.‟ Nuwuhake merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /t/. Fonem konsonan /t/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari nuwuhake yaitu tuwuh. Fonem konsonan /t/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar tuwuh mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses konfiksasi morfem {n- -ake}. Morfem {n-ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim bentuk nuwuh ataupun tuwuhake. n-
+
tuwuh
+ -ake
nuwuhake
72
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nuwuhake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /t/. Data (62) Lita neruske olehe nangis ngangti entek (PS:C17, hlm. 23, p 18) „Lita melanjutkan tangisannya sampai selesai.‟ Neruske
merupakan bentuk
morfofonemik
berupa peluluhan fonem.
Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /t/. Fonem konsonan /t/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari neruske yaitu terus. Fonem konsonan /t/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar terus mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks {n- -ke}. Proses ini diawali dari bentuk dasar terus yang mendapat imbuhan morfem {-ke}. terus
+
-ke
teruske
Selanjutnya, bentuk teruske mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {n-}. n-
+
teruske
neruske
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata neruske merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /t/. Data (68) “Apa iki?” Lita nampani barang mau (PS:C17, hlm. 24, p 45) “Apa ini?” Lita menerima barang tadi.‟ Nampani merupakan bentuk morfofonemik berupa peluluhan fonem. Fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /t/. Fonem konsonan /t/ ini masih tampak jelas pada bentuk dasar dari nampani yaitu tampa. Fonem
73
konsonan /t/ baru terluluhkan ketika bentuk dasar tampa mengalami proses morfologi, dalam hal ini proses simulfiks {n- -i}. Proses ini diawali dari bentuk dasar tampa yang mendapat imbuhan morfem {-n}. n-
+
tampa
nampa
Selanjutnya, bentuk nampa mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {-i}. nampa
+
-i
nampani
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nampa merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis peluluhan fonem konsonan /t/. 3. Perubahan Fonem Perubahan fonem yakni berubahnya sebuah fonem atau sebuah bunyi, sebagai akibat terjadinya proses morfologi (Chaer, 2008:44). Berikut analisis bentuk perubahan fonem pada penelitian ini. 1) Perubahan fonem vokal /a/ Data (60) Nanging angel anggone mratelakake (PS:C17, hlm. 5, p 12) „Namun susah untuk menjelaskan.‟ Mratelakake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari mratelakake adalah pratela [pratelɔ]. Tampak fonem ketujuh dari kata pratela
berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses
morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {m- -ake}. Morfem {m- -ake} ini
74
datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk mratela ataupun pratelakake. m-
+
[pratelɔ]
+
-ake
[mratela?ake]
Dari proses konfiksasi morfem {m- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata mratelakake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (34) Swasanane sepi marming (PS:C11, hlm. 24, p 23) „suasanya sepi sekali.‟ Swasanane merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari swasanane adalah swasana [swasɔnɔ]. Tampak fonem kelima dan ketujuh dari kata swasana berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-ne}. [swasɔnɔ]
+
-ne
[swasanane]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata swasanane merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (67) Aku keraya-raya teka mrene iki merga arep ngabarake yen Dana ngalami kacilakan (PS:C17, hlm. 24, p 38) „Saya terburu-buru datang kesini karena ingin mengabarkan jika Dana mengalami kecelakaan.‟
75
Kacilakan merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari kacilakan adalah cilaka [cilɔkɔ]. Tampak fonem keempat dan keenam dari kata cilaka berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks
{ka- -an}. Morfem {ka- -an} ini
datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk kacilaka ataupun cilakan. ka-
+
[cilɔkɔ]
+
-an
[kacilakan]
Dari proses konfiksasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata kacilakan merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (49) Kowe kudu nglegani kersane ibumu (PS:C13, hlm. 24, p 26) „Kamu harus merelakan keinginan ibumu.‟ Nglegani merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari nglegani adalah lega [ləgɔ]. Tampak fonem keempat dari kata lega berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {ng- -ni}. Morfem {ng- -ni} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nglega ataupun legani. ng-
+
[ləgɔ]
+
-ni
[ŋləgani]
76
Dari proses konfiksasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nglegani merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (51) Bakal nyirnakake putu-putumu kang ambeg utama kae? (PS:C14, hlm. 23, p 11). „Akan melenyapkan cucu-cucumu yang berwatak utama itu?‟ Nyirnakake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari nyirnakake adalah sirna [sirnɔ]. Tampak fonem kelima dari kata sirna berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuham morfem konfiks {ny- -ake}. Morfem {ny- -ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nyirna ataupun sirnakake. ny-
+
[sirnɔ]
+
-ake
[~n irna?ake]
Dari proses konfiksasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyirnakake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (9) Enya iki kuncine gawanen pisan (PS:C3, hlm. 24, p 38) „Ini kuncinya bawa sekalian.‟ Gawanen merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari gawanen adalah gawa [gɔwɔ]. Tampak fonem kedua dan keempat dari kata gawa berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses
77
morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks [gɔwɔ]
+
{-nen}
-nen
[gawanən]
Dari proses konfiksasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata gawanen merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (59) Banjur ngalih klepat tanpa tolah-toleh (PS:C17, hlm. 23, p 1) „Lalu tiba-tiba berpindah tanpa tengak-tengok.‟ Tolah-toleh merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari tolah-toleh adalah toleh [toleh]. Tampak fonem keempat kata toleh berupa fonem vokal /e/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ pada bentuk ulangannya setelah melewati proses morfologi berupa pengulangan dwilingga salin swara. [toleh]
[tolah-toleh]
Dari proses pengulangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata tolah-toleh merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. Data (35) Karepku arep ndongakake kowe (PS:C11, hlm. 24, p 26). „Niat saya mendoakan kamu.‟ Ndongakake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari ndongakake adalah donga [doŋɔ]. Tampak fonem keempat dari kata donga
78
berupa fonem vokal /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /a/ setelah mendapat imbuham morfem simulfiks {n- -ake}. Morfem {n- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar donga mendapat imbuhan morfem {n-}. n-
+
[doŋɔ]
[ndoŋɔ]
Selanjutnya, bentuk ndonga mendapat imbuhan lagi yaitu morfem {-ake}. [ndoŋɔ] n-
+
+
-ake
[doŋɔ]
+
[ndoŋa?ake] -ake
[ndoŋa?ake]
Dari proses simulfiks di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ndongakake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /a/. 2) Perubahan fonem vokal /i/ Data (8) Nganti suwe Mbah Sadrana mung njenger, kareridhu batine sing ora jenjem (PS:C3, hlm. 23, p 11) „Cukup lama Mbah Sadrana hanya terdiam, terganggu batinnya yang tidak tenang.‟ Batine
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa
perubahan
fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /i/. Bentuk dasar dari batine adalah batin [batIn]. Tampak fonem keempat kata batin berupa fonem vokal /I/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /i/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks{-e}. [batIn]
+
-e
[batine]
79
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata batine merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /i/. Data (7) Nanging durung diparingi momongan (PS:C3, hlm. 23, p 7) „Namun belum diberi momongan.‟ Diparingi merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /i/. Bentuk dasar dari diparingi adalah paring [parIŋ]. Tampak fonem keempat kata paring berupa fonem vokal /I/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /i/ setelah mendapat imbuhan morfem simulfiks {di- -i}. Morfem {di- -i} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar paring mendapat imbuhan morfem {-i}. [parIŋ]
+
-i
[pariŋi]
Selanjutnya, bentuk paringi mendapat imbuhan lagi berupa morfem {di-}. di-
+
[pariŋi]
di-
+
[parIŋ]
[dipariŋi] +
-i
[dipariŋi]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata diparingi merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /i/. 3) Perubahan fonem vokal /u/ Data (38) Tutuke mangap-mangap karo grag-grog ambegane kaya babi (PS:C12, hlm. 24, p 11) „Mulutnya terus terbuka dengan nafas tersengal seperti babi.‟
80
Tutuke
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa perubahan fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /u/. Bentuk dasar dari tutuke adalah tutuk [tutUk]. Tampak fonem keempat kata tutuk berupa fonem vokal /U/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /u/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-e}. [tutU?]
+
-e
[tutu?e]
Dari proses sufiksasi dengan morfem {-e} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata
tutuke
merupakan bentuk
morfofonemik
dengan jenis
perubahan fonem vokal /u/. Data (6) Bisa nyukupi kebutuhaning uripe karo bojone (PS:C3, hlm. 23, p5) „Dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan istrinya.‟ Nyukupi merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /u/. Bentuk dasar dari nyukupi adalah cukup [cukUp]. Tampak fonem keempat kata cukup berupa fonem vokal /U/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /u/ setelah mendapat imbuhan morfem simulfiks {ny- -i}. Morfem {ny- -i} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar cukup mendapat imbuhan morfem {ny-}. ny-
+
[cukUp]
[~n ukUp]
Selanjutnya, bentuk nyukup mendapat imbuhan lagi berupa morfem {-i}. [~n ukUp]
+
-i
[~n ukupi]
81
ny-
+
[cukUp]
+
-i
[~n ukupi]
Dari proses simulfiks dengan morfem {ny- -i} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyukupi merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /u/. Data (10) Dadi gembur mawur, nyuburake uriping tanem tuwuh (PS:C3, hlm. 24, p 40) „Jadi gembur sekali, menyuburkan kehidupan tanaman dan tumbuhan.‟ Nyuburake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /u/. Bentuk dasar dari nyuburake adalah subur [subUr]. Tampak fonem keempat kata subur berupa fonem vokal /U/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /u/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {ny- -ake}. Morfem {ny- -ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nyubur ataupun suburake. ny-
+
[subUr]
+
-ake
[~n uburake]
Dari proses konfiksasi dengan morfem {ny- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nyuburake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /u/. Data (2) Ora wani ngajak rembugan perkara ibune maneh (PS:C2, hlm. 23, p 21) „Tidak berani mengajak musyawarah perkara ibunya lagi.‟
82
Rembugan merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /u/. Bentuk dasar dari rembugan adalah rembug [rəmbUg]. Tampak fonem kelima kata rembug berupa fonem vokal /U/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /u/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-an}. [rəmbUg]
+
-an
[rəmbugan]
Dari proses sufiksasi dengan morfem {-an} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata rembugan merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /u/. 4) Perubahan fonem vokal /ɔ/ Data (66) Rungokna dhisik kandhaku (PS:C17, hlm. 24, p 38) „Dengarkan dulu omonganku.‟ Rungokna merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɔ/. Bentuk dasar dari rungokna adalah rungu [ruŋu]. Tampak fonem keempat kata rungu berupa fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-na} [ruŋu]
+
-na
[ruŋɔ?na]
83
Dari proses sufiksasi dengan morfem {-na} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata rungokna merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɔ/. Data (13) Dheweke aweh keterangan yen sing tak goleki seprana-seprene wis ditemokake (PS:C4, hlm. 23, p 4) „Dia memberi keterangan jika yang saya cari selama ini sudah ditemukan.‟ Ditemokake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɔ/. Bentuk dasar dari ditemokake adalah temu [təmu]. Tampak fonem keempat kata temu berupa fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/ setelah mendapat imbuhan morfem simulfiks {di- -ake}. Morfem {di- -ake} ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar temu mendapat imbuhan morfem {-ake}. [təmu]
+
-ake
[təmɔ?ake]
Selanjutnya, bentuk temokake mendapat imbuhan lagi berupa morfem {di}. di-
+
[təmɔ?ake]
di-
+
[təmu]
+
[ditəmɔ?ake] -ake
[ditəmɔ?ake]
Dari proses silmulfiks dengan morfem {di- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ditemokake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɔ/. Data (4) Jambret sing ketaton iku banjur digawa menyang rumah sakit saperlu ngetokake mimis saka kentole (PS:C2, hlm. 43, p 69)
84
„Jambret yang terluka itu kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mengeluarkaan peluru dari betisnya.‟ Ketaton
merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɔ/. Bentuk dasar dari ketaton adalah tatu [tatu]. Tampak fonem keempat kata tatu berupa fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {ke- -an}. Morfem {ke- -an} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk ketatu ataupun taton. ke-
+
[tatu]
+
-an
[kətatɔn]
Dari proses konfiksasi berupa morfem {ke- -an} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ketaton merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɔ/. Data (28) Prelu nemtokake lakuning uripe…( PS:C11, hlm. 23, p 3) „Perlu untuk menentukan tujuan hidupnya…‟ Nemtokake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɔ/. Bentuk dasar dari nemtokake adalah temtu [təmtu]. Tampak fonem kelima kata temtu berupa fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {n- -ake}. Morfem
{n- -ake} ini datang secara
bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nemtu ataupun temtokake. n-
+
[təmtu]
+
-ake
[nəmtɔ?ake]
85
Proses konfiksasi berupa morfem {n- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nemtokake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɔ/. Data (74) …ora njaluk pitukon apa-apa nanging…(PS:C19, hlm. 23, p 18) „…tidak meminta pembelian apa-apa namun…‟ Pitukon
merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɔ/. Bentuk dasar dari pitukon adalah tuku [tuku]. Tampak fonem keempat kata tuku berupa fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {pi- -an }. Morfem {pi- -an } ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk pituku ataupun tukon. pi-
+
[tuku]
+
-an
[pitukɔn]
Proses konfiksasi berupa morfem {pi- -an} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata pitukon merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɔ/. Data (48) Disusoni nganti rong taun (PS:C13, hlm. 24, p 22) „Disusui sampai dua tahun.‟ Disusoni merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɔ/. Bentuk dasar dari disusoni adalah susu [susu]. Tampak fonem keempat kata susu berupa
86
fonem vokal /u/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɔ/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {di- -ni}. Morfem
{di- -ni} ini datang secara bersamaan,
sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk disusu ataupun susoni. di-
+
[susu]
+
-ni
[disusɔni]
Dari proses konfiks berupa morfem {di- -ni} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata disusoni merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɔ/. 5) Perubahan konsonan /t/ Data (19) Selak jagade kukut lho, ndhuk (PS:C8, hlm. 23, p 4) „Keburu dunianya berakhir lho, nak.‟ Jagade
merupakan bentuk
morfofonemik
berupa perubahan fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /t/. Bentuk dasar dari jagade adalah jagad [jagad]. Tampak fonem kelima kata jagad berupa fonem konsonan /d/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /t/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-e}. [jagad]
+
-e
[jagate]
Dari proses sufiksasi morfem {-e} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata jagade merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem konsonan /t/.
87
Data (72) Marta njegreg kaya reca, ora ngira yen sing ngragadi operasine jebul Sukri mantune sing disiya-siya telung taun kepungkur (PS:C18, hlm. 24, p 25) „Marta terdiam seperti patung, tidak menyangka yang membiayai oprasinya ternyata Sukri menantunya yang disia-siakan tiga tahun yang lalu.‟ Ngragadi merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /t/. Bentuk dasar dari ngragadi adalah ragad [ragad]. Tampak fonem kelima kata ragad berupa
fonem
konsonan
/d/.
Bandingkan
dengan
hasil
proses
morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /t/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {ng- -i}. Morfem {ng- -i} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk ngragad ataupun ragadi. ng-
+
[ragad]
+
-i
[ŋragati]
Dari proses konfiksasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ngragadi merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem konsonan /t/. 6) Perubahan fonem vokal /ɛ/ Data (25) Siji maneh, aja mbok lalekake yen Bu Utari iku wis…aku ora neruske ukaraku (PS:C10, hlm. 24, p 13) „Satu lagi, jangan lupakan jika Bu Utari itu sudah….saya tidak melanjutkan perkataanku.‟ Lalekake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɛ/. Bentuk dasar dari lalekake adalah lali [lali]. Tampak fonem keempat kata lali berupa fonem
88
vokal /i/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɛ/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-ake}. [lali]
+
-ake
[lalɛ?ake]
Dari proses sufiksasi morfem {-ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata lalekake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɛ/. Data (14) ….sing ngrabekake aku lan adhiku (PS:C5, hlm. 24, p 34) „….yang menikahkan saya dan adik saya.‟ Ngrabekake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɛ/. Bentuk dasar dari ngrabekake adalah rabi [rabi]. Tampak fonem keempat kata rabi berupa fonem vokal /i/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɛ/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {ng- -ake}. Morfem {ng- -ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk ngrabi ataupun rabekake. ng-
+
[rabi]
+
-ake
[ŋrabɛ?ake]
Dari proses konfiksasi morfem {ng- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ngrabekake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɛ/. Data (53) Wong nyilih bakal mbalekake (PS:C14, hlm. 24, p 18).
89
„Orang yang meminjam akan mengembalikan.‟ Mbalekake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /ɛ/. Bentuk dasar dari mbalekake adalah bali [bali]. Tampak fonem keempat kata bali berupa fonem vokal /i/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /ɛ/ setelah mendapat imbuhan morfem simulfiks {m- -ake}. Morfem
{m- -ake} ini datang secara
bertahap, awalnya bentuk dasar bali mendapat imbuhan morfem {-ake}. bali
+
-ake
[balɛ?ake]
Selanjutnya, bentuk balekake mendapat imbuhan lagi berupa morfem {m}. m-
+
m-
+
[balɛ?ake] [bali]
+
[mbalɛ?ake] -ake
[mbalɛ?ake]
Dari proses konfiksasi morfem {m- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata mbalekake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /ɛ/. 7) Perubahan fonem konsonan /p/ Data (16) Apa sebabe kowe kok njur padha nggoleki mrene (PS:C5, hlm. 24, p 57) „Apa sebabnya kamu pada mencari ke sini.‟ Sebabe
merupakan bentuk
morfofonemik
berupa perubahan fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /p/. Bentuk dasar dari sebabe adalah sebab [səbab]. Tampak fonem kelima kata sebab berupa
fonem
konsonan
/b/.
Bandingkan
dengan
hasil
proses
morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /p/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-e}.
90
[səbab]
+
-e
[səbape]
Dari proses morfologi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata sebabe merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /p/. Data (54) Gegaman sing nguntabake nyawane satriya telu kang luhur ing budi (PS:C14, hlm. 24, p 29) „Senjata yang mengeluarkan nyawa tiga satriya yang luhur dalam budi.‟ Nguntabake merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /p/. Bentuk dasar dari ngun-tabake adalah untab [untab]. Tampak fonem kelima kata untab berupa
fonem
konsonan
/b/.
Bandingkan
dengan
hasil
proses
morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /p/ setelah mendapat imbuhan morfem konfiks {ng- -ake}. Morfem {ng- ake} ini datang secara bersamaan, sebab dalam bahasa Jawa tidak lazim adanya bentuk nguntab ataupun untabapke. ng-
+
[untab]
+
-ake
[ŋuntapake]
Dari proses konfiksasi morfem {ng- -ake} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nguntabake merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem konsonan /p/. Data (55) ….jantungku trataban (PS:C14, hlm. 47, p 37) „…..jantungku tiba-tiba berdegup.‟ Trataban merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /p/. Bentuk dasar
91
dari trataban adalah tratab [tratab]. Tampak fonem keenam kata tratab berupa
fonem
konsonan
/b/.
Bandingkan
dengan
hasil
proses
morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /p/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-an}. [tratab]
+
-an
[tratapan]
Dari proses sufiksasi morfem {-an} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata trataban merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /p/. 8) Perubahan fonem konsonan /k/ Data (5) Nanging akhire aku kecekel, digebugi wong akeh (PS:C11, hlm. 23, p 17) „Namun akhirnya saya ditangkap, dipukuli orang banyak.‟ Digebugi merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /k/. Bentuk dasar dari digebugi adalah gebug [gəbUg]. Tampak fonem kelima kata gebug berupa
fonem
konsonan
/g/.
Bandingkan
dengan
hasil
proses
morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /k/ setelah mendapat imbuhan morfem simulfiks
{di- -i}. Morfem {di- -i}
ini datang secara bertahap, awalnya bentuk dasar gebug mendapat imbuhan morfem {di-}. di-
+
gebug
digebug
Selanjutnya, bentuk digebug mendapat imbuhan lagi berupa morfem {-i} yang terletak di belakang. digebug
+
-i
digebuki
92
di-
+
[gəbUg]
+
-i
[digəbuki]
Dari proses simulfiks morfem {di- -i} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata digebugi merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem konsonan /k/. Data (69) Ana pendharahan neng utege (PS:C17, hlm. 24, p 46) „Ada pendarahan di otaknya.‟ Utege
merupakan
bentuk
morfofonemik
berupa
perubahan
fonem.
Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem konsonan /k/. Bentuk dasar dari utege adalah uteg [utəg]. Tampak fonem keempat kata uteg berupa fonem konsonan /g/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Fonem konsonan tadi berubah menjadi fonem konsonan /k/ setelah mendapat imbuhan morfem sufiks {-e}. [utəg]
+
-e
[utəke]
Dari proses sufiksasi morfem {-e} di atas, dapat disimpulkan bahwa kata utege merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem konsonan /k/. 9) Perubahana fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/ Data (1) Dheweke pancen kerep gonta-ganti pacar (PS:C1, hlm. 23, p 2) „Dia memang sering berganti-ganti pacar.‟ Gonta-ganti merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari gonta-ganti adalah ganti [ganti]. Tampak fonem
93
kedua dan kelima kata ganti berupa fonem vokal /a/ dan /i/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Dua Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /o/ dan /a/ setelah mengalami proses pengulangan jenis dwilingga salin swara. ganti
gonta-ganti
Dari proses pengulangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata gontaganti merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/. Data (18) Larsih wis ongap-angop merga kesel olehe mubeng…(PS:C6, hlm. 24, p 28) „Larsih sudah berkali-kali menguap karena capek mengitari….‟ Ongap-angop merupakan bentuk morfofonemik berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang dimaksud yaitu fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/. Bentuk dasar dari ongap-angop adalah angop [aŋɔp]. Tampak fonem pertama dan ke-empat kata angop berupa fonem vokal /a/ dan /ɔ/. Bandingkan dengan hasil proses morfologinya. Dua Fonem vokal tadi berubah menjadi fonem vokal /o/ dan /a/ setelah mengalami proses pengulangan jenis dwilingga salin swara. [aŋɔp]
[oŋap-aŋɔp]
Dari proses pengulangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ongapangop merupakan bentuk morfofonemik dengan jenis perubahan fonem vokal /o/ dan fonem vokal /a/.