BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam tradisi pernikahan India, salah satu komponen pentingnya adalah dowry atau mahar. Mahar merupakan harta pengantin wanita yang ia bawa kepada suami dan keluarga semenjak pernikahan dan permintaan mahar tersebut terus berlanjut hingga setelah menikah. Mahar bisa berbentuk uang, perhiasan, peralatan rumah tangga, dan sebagainya (Rastogi dan Therly 67). Awalnya, mahar adalah milik pengantin wanita, yang berfungsi sebagai posisi tawar keuangan karena ia akan menjadi pendatang baru di rumah suaminya. Selain itu, mahar juga menjadi jaring pengaman yang mampu memberi perlindungan terhadap rumah tangga yang baru dibangun tersebut, terutama bila ada situasi tak terduga dalam pernikahan (Rastogi dan Therly 68; Badruddoja 403). Saat ini telah terjadi pergeseran terhadap definisi dan fungsi mahar di India. Mahar yang tadinya diperuntukkan bagi mempelai wanita sebagai jaring pengaman, kini diberikan dan menjadi milik suami dan keluarganya. Perubahan kepemilikan mahar ini didorong oleh peningkatan kesejahteraan dan modernisasi di India (Mandal 217). Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India memang meningkat sangat pesat, hingga 4 kali lipat (Syed dan Walsh, 2012). Kesejahteraan ekonomi tersebut berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat, termasuk terhadap tradisi pemberian mahar. Masyarakat cenderung menjadi konsumtif, yang cenderung menjadikan barang sebagai tolak ukur penentu status sosial (Williams, 2003). Jenis barang yang diminta untuk mahar juga berubah seiring waktu. Dulu wanita biasanya hanya membawa perhiasan, emas, dan perlengkapan pakaian pengantin sebagai mahar. Benda-benda ini merupakan benda yang bisa disimpan dan dimiliki oleh wanita. Namun, perubahan gaya hidup membuat masyarakat India 1
meminta mahar dalam bentuk barang-barang seperti televisi, lemari pendingin, mobil, motor, hingga tanah dan apartemen. Barang-barang seperti itu tidak bisa disimpan oleh wanita sehingga mudah dikuasai oleh keluarga suami. Sistem kasta yang telah melekat pada masyarakat India juga mendorong munculnya mahar. Untuk meningkatkan status keluarga wanita, perempuan di India didorong untuk menikah dengan lelaki yang kastanya lebih tinggi. Pernikahan seperti ini disebut hipergami. Akan menjadi hal tabu bila wanita menikah dengan pria dari kasta yang lebih rendah (Lakshmi 189-190). Peningkatan kesejahteraan di India menjadikan pria India menjadi lebih mapan dan berpendidikan. Hal ini membentuk hipergami jenis baru (Mullati 19), dimana pria dilihat bukan hanya dari kasta, tapi juga pendidikan dan pekerjaan yang menjanjikan. Para pria seperti ini dianggap memberi penghidupan yang baik sehingga wanita yang menjadi istrinya pasti terjamin kehidupannya. Padahal semakin tinggi tingkat pendidikan dan pekerjaan pria, semakin tinggi pula tuntutan maharnya (Iglitzin & Ross, 1986 dalam Rastogi dan Therly 68). Mahar yang tinggi dianggap wajar karena mahar adalah kompensasi terhadap biaya pendidikan pria tersebut serta sebagai pengganti biaya hidup wanita yang akan menjadi istrinya kelak (Rastogi dan Therly 68). Wanita di India memang dianggap sebagai beban keuangan baru karena menurut tradisi wanita-lah yang harus pindah ke rumah suami bila menikah. Konsekuensi dari pergeseran kepemilikan mahar ini membuat para pria menggunakan mahar sebagai cara baru untuk menjadi kaya dengan cara instan, dan untuk tujuan itu, mereka meminta sejumlah besar mahar hingga melampaui kapasitas keluarga wanita. Para pengantin pria meminta tanah, mobil, emas, uang tunai, dan hal-hal mewah lain sebagai syarat utama untuk membangun pernikahan. Bahkan setelah upacara pernikahan, pengantin pria dan keluarganya masih meminta mahar tambahan, dengan alasan untuk menunjang rumah tangga baru tersebut.
2
Permintaan terhadap mahar ini dapat memicu kekerasan dan bahkan pembunuhan, terutama ketika sang istri tidak mampu memenuhi keinginan suami dan keluarganya. Kekerasan secara terus-menerus tersebut dapat memicu sang istri untuk bunuh diri atau bahkan sang istri dibunuh oleh suami dan keluarganya, kemudian pembunuhan tersebut disamarkan sebagai bunuh diri. Pembunuhan dilakukan agar pelaku bisa lolos dari hukuman sehingga sang suami bisa menikah lagi untuk mendapat mahar baru (Oldenburg xi; Rastogi dan Therly 67; Badruddoja 403; Banerjee 34; Mullati 19). Mahar dan kaitannya dengan kekerasan terhadap wanita inilah yang kemudian memunculkan terminologi ‘dowry murder’, ‘dowry deaths’, atau ‘bride-burning’. Istilah terakhir muncul karena kebanyakan wanita dibunuh oleh suami dan atau keluarganya dengan cara dibakar. Dengan demikian, dowry deaths/ dowry murder adalah kekerasan terhadap mempelai wanita oleh mempelai pria dan atau keluarganya, sebagai hukuman karena pengantin wanita tidak mampu menyediakan mahar yang cukup, atau gagal memenuhi permintaan mahar tambahan setelah menikah, yang berakibat pada kematian sang pengantin wanita (Diamond-Smith, Luke, dan McGarvey (2008) dalam Banerjee 36). Dowry deaths adalah salah satu kejahatan terhadap perempuan di India yang mendapat perhatian besar, terutama karena jumlah korbannya yang masih sangat tinggi. The National Crime Records Bureau (NCRB)—bagian dari Ministry of Home Affairs India yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis data kejahatan di India—menunjukkan bahwa pada tahun 2008, sebaran kasus dowry deaths terjadi hampir di seluruh India. Secara nasional, NCRB melaporkan 8.618 perempuan dibunuh, dan 3.239 wanita melakukan bunuh diri pada tahun 2011 karena masalah mahar. The Asian Women’s Human Rights Council bahkan memperkirakan angka kematian yang jauh lebih tinggi, yakni hingga 25.000 orang, termasuk bunuh diri dan pembunuhan terkait mahar di tahun 2009 (Banerjee 34; Jagori 6). Tujuh negara bagian India yang memiliki kasus dowry deaths tertinggi adalah Uttar Pradesh (2.237 kasus), disusul oleh Bihar (1.210), Madhya Pradesh (805), Andra Pradesh (556), Odisha (461), West Bengal (451), dan Maharashtra (390) (Resen 114-5). 3
Data tersebut menunjukkan bahwa korban dowry deaths bukan hanya dari penganut Hindu, tapi juga terjadi pada budaya dan agama lainnya. India sendiri adalah negara yang sangat beragam dalam hal budaya, agama, ras, dan bahasa. Sekitar lebih dari 80% adalah Hindu, sisanya adalah Islam (12%), Kristen (2.5%), dan Jainism (2%). Karena Hindu merupakan mayoritas, maka masyarakat pada dasarnya mengikuti Hindu sebagai kepercayaan dalam hidup bermasyarakat (as socio-religious beliefs). Oleh karena itulah, kasus dowry deaths dan kekerasan yang terkait dengan mahar bisa terjadi pada agama dan budaya lain di India (Mullati 11; Jagori 6). Mengingat praktik memberi atau menerima mahar merupakan tradisi yang melekat di masyarakat India, kekerasan yang terkait dengan mahar ini tentu tidak mudah untuk dihilangkan. Namun demikian, pemerintah India berkewajiban melindungi perempuan dan melakukan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah dowry deaths yang menelan begitu banyak korban jiwa.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memformulasikan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana kebijakan pemerintah India untuk menangani masalah dowry deaths? Mengapa kebijakan tersebut kurang efektif dalam menanggulangi masalah dowry deaths?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai kebijakan yang dilakukan untuk menangani masalah ‘dowry deaths’ oleh pemerintah India. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan yang berguna bagi pengembangan studi hubungan internasional. Hal ini juga menjadi masukan atau informasi tambahan untuk mahasiswa, sarjana, dan akademisi, yang tertarik pada masalah penegakan
4
hak asasi manusia, khususnya dalam masalah kekerasan terhadap perempuan di India.
D. Kerangka Teori Kebijakan Publik/ Public Policy Ide mengenai kebijakan publik muncul saat masyarakat sadar ada suatu ruang atau wilayah yang tidak bisa bersifat privat atau milik pribadi, namun merupakan milik bersama dalam masyarakat atau umum. Yang dimaksud dengan publik itu sendiri merupakan aktivitas manusia yang dirasa perlu untuk diatur atau diintervensi, baik oleh pemerintah, aturan sosial, atau tindakan bersama. Menurut Dewey (1927) dalam Wayne (xi) menjelaskan bahwa kebijakan publik lebih menitikberatkan kepada bagaimana publik dan persoalannya. Kebijakan publik akan membahas bagaimana isu-isu serta berbagai persoalan milik umum tersebut disusun, didefinisikan, dan diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Berdasarkan pendapat Dye (1976) seperti dikutip dalam Wayne (xi), kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut.” Menurut Schneider dan Ingram (“Social Construction”), kebijakan publik merupakan salah satu institusi yang mampu menjadi solusi terhadap masalahmasalah yang ada di masyarakat. ...Through public policy, collective choice are made with significant consequences to how and whether problems are resolved, how benefits and costs are distributed, how target groups are viewed by themselves and others, and how such groups regard--and participate in--politics. Public policy is a complex combination of elements, including goals and objectives, agents and implementation structures, targets, tools, rules, and rationales (443-4).
5
Sementara Heidenheimer et al (1990) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah studi mengenai “bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah.” Pendapat Heidenheimer ini senada dengan pendapat Kraft dan Furlong (6), namun Kraft dan Furlong menekankan bahwa tindakan pemerintah tersebut ada kaitannya dengan berbagai faktor, yaitu: tujuan dari kebijakan, cara yang digunakan, aturan-aturan yang berlaku, dan bagaimana praktik dari badan-badan pemerintah tersebut mengimplementasikan program-program. Dengan demikian kebijakan publik tidak hanya mengenai pernyataan resmi pemerintah, namun justru lebih kepada tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah dan badan yang dinaunginya. Jadi, kebijakan publik dilihat dalam kerangka pemerintah sebagai aktor utama, dan bagaimana pemerintah menyediakan solusi, dengan mengatur, merespons atau memecahkan persoalan yang terjadi pada masyarakat. Persoalan yang perlu diintervensi oleh pemerintah atau tidak, dilihat dari persepsi publik terhadap masalah tersebut. Jika ada suatu kondisi dimana publik secara luas tidak bisa menerima kondisi itu, maka pemerintah perlu campur tangan untuk mengatasinya. Menurut Kraft dan Furlong, ada tiga alasan mengapa pemerintah campur tangan dalam suatu persoalan masyarakat, yakni: politis, moral, dan ekonomi. Untuk kasus dowry deaths yang terjadi di India, alasan pemerintah India adalah alasan politis, dimana pemerintah mengambil tindakan tertentu karena ada pergeseran terhadap opini publik atau bangkitnya gerakan sosial yang menekan pemerintah untuk mengambil tindakan. Dalam kasus dowry deaths, pemerintah India akhirnya melibatkan diri dalam isu-isu mahar dan kekerasan yang terkait dengannya, karena adanya perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap wanita yang diakibatkan oleh mahar ini (16). Setelah pemerintah memutuskan untuk ikut menyelesaikan suatu persoalan di masyarakat dengan alasan tersebut di atas, maka hal berikutnya yang penting diperhatikan adalah kebijakan publik seperti apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar kebijakan itu efektif dan dipatuhi oleh masyarakat? Untuk melihat 6
bagaimana masyarakat berperilaku atau bereaksi terhadap suatu kebijakan, maka dibutuhkan suatu model atau instrumen kebijakan publik. Ada beberapa pendapat mengenai alat kebijakan publik ini. Misalnya Bardach (1979) dalam Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions”) mengusulkan empat teknik: prescription, enabling, positive incentives dan deterrence (513). Selain itu, Kraft dan Furlong (139) mengatakan bahwa pemerintah bisa melakukan desain kebijakan seperti: a) regulate (memberikan izin, menerapkan standar, menerapkan sanksi); b) subsidize (memberi pinjaman, subsidi, bunga rendah, dll); c) ration (memberikan batas terhadap sumber daya yang terbatas); d) tax and spend (menggunakan pajak sebagai alat untuk mendukung atau membatasi serta menyediakan anggaran untuk kepentingan tertentu) ; e) contract out (kontrak atau pembelian produk dari pihak lain untuk kepentingan pemerintahan); f) use market incentives (termasuk kategori pajak namun pajak digunakan untuk mengubah perilaku masyarakat demi tercapainya kepentingan tertentu); g) privatize (layanan publik yang dimiliki pemerintah diberikan kepada pihak swasta); h) charge fees (dikenakannya biaya-biaya untuk layanan publik tertentu); i) educate (memberikan informasi pada publik); j) create public trust (pengelolaan properti publik oleh pemerintah); k) conduct research (dukungan terhadap penelitian dan pengembangan). Salah satu instrumen desain kebijakan dikembangkan oleh Anne Schneider dan Helen Ingram. Model yang dikembangkan Schneider dan Ingram menekankan pada reaksi masyarakat terhadap usaha yang dilakukan pemerintah. Untuk melihat permasalahan dowry deaths, instrumen Schneider dan Ingram ini bisa digunakan untuk menjelaskan kebijakan seperti apa yang digunakan pemerintah India, agar masyarakat mau melakukan seperti apa yang diharapkan pemerintah.
7
a) Authority tools Pemerintah menggunakan kekuasaan mereka untuk menyarankan atau meminta masyarakat agar berprilaku dalam cara tertentu, bisa berupa pemberian izin, pelarangan, atau meminta untuk melakukan suatu tindakan. Instrumen kekuasaan berasumsi bahwa masyarakat pada dasarnya patuh pada regulasi dan hukum meski tanpa hadiah atau imbalan. Sebagai warga negara, pemerintah yakin kepatuhan merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat dalam kehidupan bernegara (Schneider dan Ingram “Behavioral Assumptions” 514). Penggunaan kekuasaan sebagai alat mengontrol masyarakat memang tidak selalu efektif dan terkadang tidak dianggap demokratis, tergantung dari legitimasi pemerintah. Menurut Schneider dan Ingram (1997), instrumen kekuasaan bisa digunakan untuk masa krisis, ketika reaksi masyarakat terhadap kebijakan tersebut kemungkinan besar akan dilakukan sesuai harapan pemerintah (dalam Kraft dan Furlong 142). b) Incentive Tools Pemerintah menggunakan imbalan atau dorongan secara positif dan negatif agar
pemerintah
bisa
mengarahkan
masyarakat
untuk
pencapaian
kepentingannya. Secara positif berarti pemerintah memberikan insentif yang mendorong orang untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara sanksi bersifat negatif ditujukan untuk membuat orang tidak melakukan tindakan yang menghalangi kepentingan pemerintah (Schneider dan Ingram, 1997 dalam Kraft dan Furlong 142). Instrumen ini digunakan dengan asumsi bahwa masyarakat tidak akan patuh begitu saja kecuali mereka dipengaruhi, didorong, atau dipaksa dengan uang atau imbalan lainnya. Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions” 515-6) membagi alat ini menjadi empat, yakni: inducement/bujukan, charge/biaya, sanction/sanksi, dan force/kekuatan. Sanksi dan paksaan digunakan oleh pemerintah untuk memberikan label pada tindakan yang dicela pemerintah.
8
Sementara bujukan dan biaya diasosiasikan untuk perilaku yang diterima secara sosial. Bujukan (inducement) merupakan imbalan positif untuk mendorong partisipasi masyarakat. Bujukan digunakan atas dasar pemikiran bahwa individu merespon insentif positif dan biasanya akan memilih alternatif dengan nilai yang lebih tinggi atau lebih menguntungkan untuk dirinya. Misalnya akan dapat fasilitas yang lebih baik bila mau direlokasi, atau adanya penghargaan dalam institusi pendidikan. Biaya (charge) diasosiasikan dengan standar atau petunjuk sejauhmana individu boleh menggunakan sesuatu dalam batas yang diizinkan. Bila ingin menambah jumlah atau tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka akan dikenakan biaya. Instrumen ini memang bertujuan untuk mengontrol dan membatasi barang-barang atau aktivitas masyarakat. Namun berbeda dengan sanksi, biaya tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau menolak suatu aktivitas. Tujuannya hanyalah untuk mengontrol penggunaannya. Misalnya kebijakan kontrol polusi yang mengenakan biaya tambahan untuk polusi tambahan yang dihasilkan. Sanksi (sanction), merupakan standar atau aturan yang melarang atau mensyaratkan aktivitas tertentu. Sanksi merupakan alat utama yang digunakan untuk menegakkan hukum. Tujuannya adalah untuk menghilangkan perilaku tertentu dengan cara membebankan sesuatu yang nilainya jauh lebih tinggi atau lebih besar dari perilaku itu sendiri. Misalnya dengan memberikan denda, mencabut kebebasan atau nyawa seseorang, atau dengan hukuman percobaan dan pembebasan bersyarat. Alat ini digunakan dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya bereaksi pada tingkat beratnya hukuman. Penggunaan kekuatan atau paksaan (force) secara fisik memang bisa menghasilkan tindakan yang diharapkan. Asumsi dari instrumen ini adalah beberapa orang tidak akan bisa dipengaruhi untuk melakukan apa yang diinginkan pemerintah, atau akan memakan biaya yang terlalu mahal untuk
9
menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Alat ini berdampak bukan hanya pada individu yang menerima secara langsung, tapi juga pada masyarakat lain untuk memberikan efek jera atau sebagai tindakan pencegahan. Contohnya adalah memenjarakan penjahat atau lawan politik, mengambil alih properti dengan bantuan tentara, dan lain-lain. Incentive tools memanipulasi keuntungan yang dianggap oleh pembuat kebijakan relevan dengan situasi masa itu. Alat ini digunakan dengan keyakinan bahwa individu bisa memilih, mengenali kesempatan-kesempatan yang dimilikinya, dan punya informasi cukup serta kemampuan pengambilan keputusan yang baik. Kecakapan dalam memilih sesuai dengan keinginan di antara alternatif yang ada sangat diperlukan dalam instrumen insentif ini. c) Capacity-building tools Pemerintah berperan sebagai pihak yang meningkatkan kapasitas masyarakatnya, misalnya dengan memberikan pelatihan, pendidikan, informasi, dan berbagai bantuan lainnya. Tujuannya adalah agar masyarakat bisa mendapat informasi dan bisa memberdayakan diri mereka sendiri. Alat ini meyakini bahwa masalahnya adalah bukan pada adanya insentif atau tidak, melainkan karena adanya penghalang, misalnya kurangnya informasi, kemampuan, dan sebagainya yang diperlukan untuk melakukan tindakan yang bisa berkontribusi terhadap tujuan pemerintah. Dalam Schneider dan Ingram (“1990 Behavioral Assumptions” 517-8) dijelaskan lebih lanjut mengenai penghalang yang dimaksud: A.
Kelompok sasaran atau lembaga pemerintah tidak tahu ada alternatif kebijakan lainnya yang lebih efektif. Bisa juga mereka mengetahui namun
mereka tidak menyadari
pentingnya
mengubah perilaku mereka sesuai keinginan pemerintah tersebut. B.
Kelompok sasaran atau lembaga pemerintah tahu mengenai alternatif kebijakan, dan tahu perlunya mengubah perilaku mereka, namun mereka tidak mengetahui informasi akurat
10
mengenai karakteristik kebijakan tersebut, sehingga tidak bisa melakukan
evaluasi
terhadap
manfaat,
biaya,
dan
kemungkinannya. Dalam kondisi ini, diperlukan program informasi yang berupa tulisan, pendidikan, pelatihan, konferensi dan bantuan teknis. C.
Individu bisa saja hanya mengandalkan keputusannya sendiri (heuristics)
yang
menghasilkan
tindakan
yang
justru
mengganggu pencapaian tujuan kebijakan. Diperlukan pelatihan dalam hal pengambilan keputusan, penaksiran resiko, dan semacamnya agar meningkatkan rasionalitas dalam mengambil keputusan. D.
Individu mungkin memahami pentingnya suatu kebijakan, namun kekurangan sumber daya atau dukungan yang cukup (misalnya keuangan, organisasi, sosial, politik) untuk melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik. Situasi ini membutuhkan sumber daya dalam bentuk hibah, subsidi langsung, pinjaman, dan lainlain.
Instrumen ini didasarkan pemikiran bahwa kelompok sasaran akan berpartisipasi dalam aktivitas atau mengubah perilakunya selama mereka mendapat informasi yang tepat dan memiliki sumber daya yang diperlukan. Program-program yang berkaitan dengan instrumen ini didasarkan atas keyakinan bahwa tiap individu bebas memilih dan tidak perlu dipaksa melalui jalur hukum. Contohnya adalah kebijakan pemerintah berbagai negara yang masih melegalkan rokok. Meski merokok tidak dilarang dan rokok juga masih diperjualbelikan secara bebas, namun individu telah disediakan informasi yang cukup agar menjauhi atau mengurangi rokok. d) Symbolic and Hortatory tools Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions” 519) menjelaskan bahwa instrumen ini digunakan dengan pemikiran bahwa masyarakat pada dasarnya dimotivasi dari dalam diri dan memutuskan untuk melakukan sesuatu berdasarkan 11
nilai-nilai yang mereka percaya. Pengambilan keputusan didasari oleh kepercayaan kultural mengenai benar, salah, keadilan, persamaan, kewajiban, dan lain-lain. Berkebalikan dari capacity tools, instrumen simbol dan bujukan sangat menekankan pada keputusan dari dalam diri daripada mencari cara untuk mempengaruhi individu. Instrumen ini percaya bahwa individu akan melaksanakan tindakan yang mendukung kebijakan didasari oleh tiga asumsi dasar (Schneider dan Ingram “ Behavioral Assumptions” 520), yakni: (1) diperkenalkan oleh pemerintah sebagai masalah yang sangat penting; (2) konsisten dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut; (3) diasosiasikan dengan simbol, label, dan citra yang positif. Orang-orang yang mengambil keputusan seperti ini tidak bisa didekati melalui pendekatan insentif. Instrumen ini digunakan dengan asumsi bahwa Kelompok sasaran akan lebih patuh pada kebijakan apabila kebijakan tersebut konsisten dengan nilai yang dianut oleh Kelompok sasaran. Instrumen simbol dan bujukan bisa dimanfaatkan untuk mendorong kepatuhan tanpa penggunaan paksaan atau imbalan. Kebijakan bisa dilakukan dengan program-program komunikasi persuasif yang mencoba mengubah persepsi melalui nilai-nilai atau menggunakan gambar, simbol, dan label. e) Learning tools Alat ini digunakan dengan asumsi bahwa masalah sosial diketahui atau teridentifikasi, namun belum bisa dipahami atau tidak ada kesepakatan mengenai tindak-lanjut yang harus dilakukan. Karakteristik instrumen ini adalah pemerintah meyakini bahwa masyarakat bisa belajar dan memilih kebijakan mana yang paling efektif dari berbagai alternatif kebijakan yang ada. Pemerintah didorong atau diminta untuk mengambil pelajaran dari pengalaman melalui evaluasi, dengarpendapat, dan perencanaan yang mampu mendukung interaksi antara pemerintah dan kelompok sasaran. Kebijakan yang menggunakan learning tools biasanya sangat terbuka dengan tujuan dan sasaran yang dicapai, pemerintah hanya memberikan garis besar atau
12
tujuan yang masih sangat umum. Sisanya akan diserahkan pada pemerintah tingkat lokal untuk memilih tujuan dan kebijakan yang tepat. Jika tidak ada persetujuan atau kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, program mediasi atau arbitrasi bisa memfasilitasi masalah ketidaksepahaman tersebut. Dalam situasi dimana pemerintah tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat, maka instrumen partisipasi bisa digunakan seperti dengar-pendapat, dewan penasehat, panel warga, dan sebagainya. Ketika perilaku masyarakat sangat beragam dan tergantung pada konteks, kebijakan dapat diserahkan pada pemerintah lokal. Ini akan memungkinkan pemerintah lokal untuk memilih alternatif kebijakan yang bisa mendorong partisipasi masyarakat. Terkait dengan permasalahan dowry deaths di India, meski praktik ini telah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun-temurun di India, namun aksi dan gerakan massa yang mendorong pemerintah untuk ikut campur dalam masalah dowry deaths baru muncul sekitar tahun 1960-an. Di masa itulah, masyarakat mengalami pergeseran sudut pandang, dimana mereka menuntut agar tradisi mahar ini berhenti dilakukan dan dilarang di seluruh negeri, mengingat korban dari pihak wanita terus berjatuhan. Ketika akhirnya pemerintah terlibat untuk mengatasi persoalan yang terjadi di masyarakat, saat itulah pemerintah melakukan berbagai desain kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
E. Tinjauan Pustaka 1) Dowry Murder: The Imperial Origins of a Cultural Crime oleh Veena Talwar Oldenburg (2002) Meningkatnya perhatian terhadap isu hak asasi manusia membuat India menjadi salah satu negara yang seringkali dikritik karena pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan, khususnya masalah dowry deaths. Tradisi Hindu sering dituding sebagai penyebab utama kematian terkait mahar. Istilah 'dowry murder' dan 'bride-burning' semakin menyudutkan kebudayaan Hindu sebagai
13
kebudayaan yang 'barbar' dan 'kejam'. Dalam bukunya, Oldenburg ingin mengubah pola pikir tersebut dan mempertanyakan apakah pembunuhan terkait mahar ini memang merupakan suatu produk budaya Hindu seperti yang diklaim oleh Barat. Oldenburg melakukan penelitian dengan menelusuri dan menafsirkan kembali melalui tulisan-tulisan para penjajah Inggris ketika melakukan penelitian di India, dan dampak penjajahan Inggris terhadap masyarakat sipil India. Oldenburg menguraikan bahwa kolonisasi Inggris yang membawa budaya konsumerisme dan materialisme juga berkontribusi terhadap pergeseran nilai-nilai budaya tradisional, termasuk mahar yang dulunya adalah jaring pengaman, kini berubah seperti jerat (73). Selain itu, Oldenburg menjelaskan hal-hal dasar tentang budaya India yang berkaitan dengan mahar ini, untuk menunjukkan adanya pergeseran nilai dari dulu hingga sekarang. Penulis menggunakan buku ini sebagai tinjauan pustaka karena buku ini mampu menjelaskan fenomena dowry dan dowry murder secara lengkap, sehingga buku ini bisa menjadi referensi penulis untuk penelitian ini. Penulis menyetujui bahwa ‘dowry deaths’ sebenarnya adalah fenomena yang kompleks, karena memiliki hubungan dengan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat India— sistem kasta, aborsi terhadap anak perempuan, sex ratio India, sistem patriarki, preferensi terhadap anak, hak pria dan wanita atas properti, dan lain-lain—serta pengaruh dari luar India seperti kolonialisme Inggris dan modernisasi. 2) Dowry Murder Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Wanita di India oleh Putu Titah Kawitri Resen (2011) Resen menunjukkan bahwa penyebab dowry murders di India dipengaruhi oleh perubahan sistem internasional yakni globalisasi. Kasus dowry murder meningkat pesat hingga 15 kali lipat, dimana pada tahun 1980-an, ada 400 kasus, sementara tahun 1990, menjadi 6.000 kasus per tahun (4). Penyebab peningkatan ini sebagian karena pasar India semakin terbuka untuk budaya global, sehingga terjadilah proses globalisasi yang malah memperburuk sistem mahar ini.
14
Globalisasi dan kemajuan ekonomi India membuat masyarakat India menjadi lebih serakah dan konsumtif. Keluarga mempelai pria membutuhkan uang dan barang untuk memuaskan hasrat konsumtifnya tersebut. Meminta mahar dianggap sebagai cara tercepat untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Sebagai hasilnya, komodifikasi pernikahan terjadi dimana laki-laki mengeksploitasi perempuan melalui mahar. Resen mengungkapkan bahwa dengan dilarangnya mahar, tidak akan banyak membantu berkurangnya korban akibat mahar. Perubahan sistem ekonomi India yang lebih terbuka tidak akan secara otomatis mengubah nilai-nilai patriarki yang sudah mengakar, karena nilai-nilai patriarki tersebut ada di berbagai bidang. Oleh karenanya majunya India sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia malah memunculkan cara untuk eksploitasi perempuan dan keluarganya. Penulis menggunakan tulisan ini sebagai salah satu referensi karena selain kesamaan topik, juga karena penelitian ini termasuk penelitian baru (ditulis tahun 2011), sehingga data-data di dalamnya dianggap relevan untuk menunjang penulisan tesis ini. 3) Failing Gender Justice in Anti-Dowry Law oleh Vineeta Palkar (2003) Tulisan ini didasarkan pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2000 oleh sebuah sekolah hukum di Pune, yang berjudul ‘Implementation and Impact of Section 498-A of the Indian Penal Code’. Proyek ini meneliti berbagai efek dari reformasi hukum selama 1980-an dan mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam membuktikan pelanggaran dan membawa para pelaku kekerasan dalam rumah tangga ke peradilan. Dari studi tersebut, Palkar kemudian berusaha menganalisa bagaimana dan mengapa, untuk sebagian besar, korban yang rata-rata perempuan gagal untuk mendapatkan keadilan. Palkar menggunakan sudut pandang hukum, dimana Palkar menunjukkan kurang efektifnya perundang-undangan yang telah dibuat dalam menanggulangi kekerasan rumah tangga di India. Tulisan ini menekankan bahwa hukum yang 15
melarang mahar dan hukum yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga tidak tidak melindungi perempuan secara memadai terhadap segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan yang terkait mahar, karena ketimpangan struktural terus hadir dalam lingkup kehidupan pribadi dan sosial. Penulis menjadikan tulisan Palkar sebagai salah satu kajian pustaka karena terdapat kemiripan antara tesis ini dengan tulisan Palkar, terutama karena dowry deaths merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Penulis menjadikan tulisan Palkar sebagai referensi untuk melihat bagaimana pemerintah India menerapkan hukum untuk kasus-kasus dalam kekerasan rumah tangga. Namun yang membedakan dengan tesis ini adalah cakupan penelitian Palkar lebih luas, yakni penerapan dan penegakan hukum untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga secara umum di India.
F. Argumen Utama Kekerasan akibat dowry deaths merupakan fenomena yang kompleks, sehingga kebijakan Pemerintah India untuk mengatasi masalah dowry deaths menggunakan berbagai instrumen/ tools, seperti authority tools, incentive tools, capacity-building tools, symbolic and hortatory tools dan learning tools. Hal tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah yang menyeluruh dan bervariasi, bukan hanya mengeluarkan aturan-aturan yang melarang mahar seperti The Dowry Prohibiton Act dan amandemen hukum adat Hindu Code Bill; tapi juga peningkatan kualitas serta kapasitas wanita melalui program-program pendidikan dan kesehatan, serta penanggulangan dampak dari ‘dowry deaths’ seperti pelarangan aborsi, pelarangan Skema Sumangali, dan menyelenggarakan program-program lain yang berusaha menghilangkan diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan. Bila melihat jumlah pembunuhan terhadap istri karena dowry deaths yang setiap tahunnya yang tidak mengalami perubahan berarti—yakni 8.618 korban (2011) dan 8.233 pada tahun 2012—maka kebijakan yang dilakukan pemerintah 16
India masih kurang efektif dalam mencegah jatuhnya korban jiwa. Hal tersebut disebabkan oleh lemahnya penegakan aturan oleh institusi hukum seperti kepolisian dan kehakiman, terutama di tingkat lokal, karena masih kuatnya budaya patriarki yang mengakar di India, sehingga diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan masih terus terjadi.
G. Metode Penelitian Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (6). Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan documentary analysis atau analisis dokumen karena metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk dokumentasi, baik untuk memahami isinya secara substansi atau untuk menjelaskan makna yang lebih dalam dari dokumen-dokumen tersebut. Bahan dokumenter berbentuk buku atau catatan harian, laporan dari media, surat resmi, otobiografi, surat-surat pribadi, memorial, kliping, dokumen pemerintah atau swasta, data di website, dan seterusnya (Hammersley dan Atkinson (1995) dalam Ritchie 35; Rahmat 7). Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis atau analisis isi, yang berusaha mengkaji dokumen-dokumen berupa kategori umum dari makna. Gubrium et.al., menyatakan bahwa dalam analisis isi, peneliti dapat menganalisis aneka ragam dokumen, dari mulai kertas pribadi hingga sejarah kepentingan manusia (dikutip dalam Somantri 60). Terdapat lima fase atau tahapan dalam melakukan analisis terhadap penelitian ini, yakni: (1) Compiling, atau mengumpulkan dan menyusun data; (2) 17
Disassembling, menyusun sekaligus mengkategorisasi kembali data tersebut ke dalam topik-topik yang lebih sempit; (3) Reassembling (and Arraying), menyusun ulang kembali data yang telah dikategorisasi melalui tahap disassembling; (4) Interpreting, melakukan interpretasi terhadap data yang telah tersusun ke dalam narasi baru atau bentuk baru dan (5) Concluding, mengambil kesimpulan yang telah didapat dari tahap sebelumnya (Yin 177-9).
H. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari empat bab, yang terdiri atas: Bab pertama berisi pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan Pustaka, Argumen Utama, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab kedua membahas tentang fenomena ‘dowry deaths’ di India, yang membahas lebih dalam hubungan antara kasta, institusi pernikahan dan mahar di India, serta mengenai fenomena ‘dowry deaths’ itu sendiri. Bab ketiga menguraikan tentang analisis terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah India dalam menanggulangi masalah ‘dowry deaths’ dan juga alasan mengapa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah tersebut kurang efektif untuk mengatasi masalah ‘dowry deaths’ tersebut. Bab keempat merupakan bab terakhir mengenai kesimpulan dari penelitian ini.
18