BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini prevalensi penyakit yang muncul di Indonesia semakin berkembang dan bervariasi, sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan proyeksi usia harapan hidup, dari usia 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 menjadi usia 73 tahun pada tahun 2020–2025 (Anonim, 2013). Untuk menunjang kebutuhan terhadap kesehatan, tak jarang masyarakat membeli obat-obatan bebas dan bebas terbatas yang dijual di apotek atau toko obat sesuai gejala yang dialami. Rasa nyeri merupakan salah satu gangguan yang paling sering dialami oleh masyarakat. Apabila rasa nyeri tidak terkontrol, hal ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien dan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dapat digunakan obat analgetika. Obat analgetika atau yang biasa disebut obat pengurang rasa nyeri merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dan mudah didapatkan. Namun, obat analgetika dapat menimbulkan efek samping jika penggunaannya dalam jangka waktu panjang maupun dosis tinggi. Efek samping yang paling umum terjadi akibat penggunaan obat analgetika diantaranya gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, serta reaksi pada kulit. Kejadian toksisitas akibat efek samping penggunaan obat analgetika dilaporkan sebanyak 185 per 100 juta pada penggunaan aspirin, 592 per 100 juta pada penggunaan
1
2
diklofenak, dan 20 per 100 juta pada penggunaan parasetamol (Andradde dkk., 1998). Obat analgetika yang biasa digunakan untuk menjadi pilihan adalah parasetamol. Parasetamol, turunan dari p-aminofenol mempunyai daya analgetik yang baik. Namun, senyawa ini memiliki efek samping utama hepatotoksik dalam pemakaian jangka panjang atau dosis berlebih (10–15 g dosis tunggal) ataupun pada pasien defisiensi glutation. Efek samping hepatotoksik disebabkan oleh metabolit parasetamol berupa NAPQI (N-asetil-p-benzoquinonimina), yang dapat dilihat pada Gambar 1 (Mutschler, 1986). Cincin inti benzena dari NAPQI bersifat elektrolit sedangkan adanya sifat nukleofilik pada sel-sel hepar akan menyebabkan berikatan dengan muatan positif dari NAPQI. Oleh karena itu, dapat terjadi kerusakan pada sel-sel hepar tersebut (Doerge, 1982). O
HN
OH
O
CH3
HN
O
CH3
-e-, -H
-e-, -H
-e-, -H
-e-, -H
O-
parasetamol
N
CH3
O
NAPQI
Gambar 1. Mekanisme Terbentuknya NAPQI
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan senyawa yang kurang toksisitas dan mempunyai daya analgetik yang sama atau bahkan lebih dari parasetamol melalui pengubahan atau penambahan gugus fungsi pada p-aminofenol
3
(Delgado and Romers, 1991). Modifikasi dapat dilakukan pada gugus amino, hidroksi fenolik, atau pada kedua gugus tersebut. Beberapa contoh senyawa hasil modifikasi senyawa p-aminofenol diantaranya adalah parasetamol (pengubahan pada gugus amina), anisidin dan fenaldin (pengubahan pada gugus hidroksi fenolik) serta fenasetin dan laktilfenetidin (pengubahan pada gugus amina dan hidroksi) (Susilowati dan Handayani, 2006). Adanya modifikasi gugus fungsi pada paminofenol akan menyebabkan perubahan sifat fisika kimia senyawa, yaitu sifat lipofilik, elektronik, dan sterik yang selanjutnya dapat meningkatkan respon biologis. Selain itu, adanya modifikasi pada gugus hidroksi dapat mengurangi atau menghilangkan kemampuan pembentukan NAPQI sehingga efek hepatotoksiknya menjadi lebih rendah (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Purnomo (2012) telah mensintesis dan menguji aktivitas analgetika senyawa HP2009 [1,3-bis(para-hidroksifenil)urea]. Senyawa HP2009 memiliki aktivitas analgetika 1,96 kali lebih poten dan efek samping hepatotoksik lebih kecil dibandingkan parasetamol. Berdasarkan molecular docking, aktivitas analgetika dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa HP2009 dengan enzim COX-2, yang terlihat dari score docking bahwa senyawa HP2009 terhadap 6COX.PDB memiliki nilai yang lebih rendah yaitu (-85,1618) daripada parasetamol (-67,4556), sehingga senyawa HP2009 lebih stabil berinteraksi dengan enzim COX-2 (6COX.PDB) dibandingkan dengan parasetamol dan dapat dikatakan bahwa senyawa HP2009 lebih poten sebagai analgetika dibandingkan parasetamol. Adanya gugus ganda 4hidroksi fenil pada senyawa HP2009 dapat menurunkan muatan positif pada
4
NAPQI karena terjadi resonansi pada gugus karbonil, sehingga dapat menurunkan efek samping hepatotoksik. Sintesis senyawa 4-benzamidofenil benzoat merupakan modifikasi lain terhadap gugus fungsi senyawa p-aminofenol, yang dapat diperoleh dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida. Berdasarkan perhitungan dengan program molecular docking PLANTS secara komputasi yang dilakukan oleh Drs. Hari Purnomo, M.S., Apt, diprediksi senyawa tersebut mempunyai score docking terhadap 6COX.PDB seperti pada Tabel I. Senyawa 4-benzamidofenil benzoat lebih stabil berikatan dengan enzim COX2 dibandingkan dengan parasetamol. Hal ini terlihat dari score docking terhadap 6COX.PDB bahwa senyawa 4-benzamidofenil benzoat memiliki score lebih rendah (-75,8784) dibandingkan parasetamol (-67,3827). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa senyawa 4-benzamidofenil benzoat mempunyai efek analgetika yang lebih poten dibandingkan parasetamol.
Tabel I. Score Docking 4-Benzamidofenil Benzoat dan Parasetamol
Struktur kimia dan nama
Score docking analgetika terhadap 6COX.PDB
5
H O
N
-75,8784 O
O
4-benzamidofenil benzoat CH3
HN
O
-67,4556
OH
Parasetamol Ligand-native
-71,4036
Berdasarkan hasil score docking dan uraian beberapa penelitian, maka perlu dilakukan pengembangan penelitian terhadap sintesis senyawa turunan paminofenol dan aktivitas analgetikanya. Pada penelitian ini diharapkan reaksi antara p-aminofenol dan benzoil klorida mampu menghasilkan produk sintesis
6
senyawa 4-benzamidofenil benzoat yang memberikan aktivitas analgetika lebih poten dibandingkan parasetamol.
B. Perumusan Masalah 1.
Apakah senyawa 4-benzamidofenil benzoat dapat disintesis dari starting material p-aminofenol dan benzoil klorida ?
2.
Apakah senyawa 4-benzamidofenil benzoat memiliki aktivitas analgetika lebih poten dibandingkan parasetamol pada hewan uji mencit jantan galur BALB/c ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mendapatkan senyawa 4-benzamidofenil benzoat dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida.
2.
Mengetahui aktivitas analgetika senyawa 4-benzamidofenil benzoat dan membandingkannya dengan parasetamol.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan sintesis senyawa turunan p-aminofenol. Oleh karena itu, diharapkan sintesis senyawa 4benzamidofenil benzoat yang diperoleh dengan mereaksikan antara p-aminofenol
7
dan benzoil klorida dapat menjadi salah satu alternatif obat analgetika yang lebih poten dibandingkan parasetamol.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Nyeri Nyeri merupakan perasaan atau pengalaman emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan adanya kerusakan jaringan potensial atau akut. Rasa nyeri dapat muncul jika ada rangsang kimiawi, mekanik, panas, atau cidera melewati suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) sehingga menyebabkan pembebasan mediator rasa nyeri (Mustchler, 1986). Ambang rasa nyeri satu individu berbeda dengan individu lain, tergantung pada kondisi emosional, suasana hati, dan faktor psikologi. Patofisiologis nyeri dibedakan menjadi 4 tahap yaitu (Nugroho, 2014) : a.
Stimulasi. Rangsangan nyeri akan merangsang pelepasan mediator nyeri yaitu bradikinin, ion kalium, histamin, serotonin, substance P, prostaglandin, dan leukotrien yang selanjutnya akan mengaktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) dan diteruskan melalui serabut syaraf aferen menuju sumsum tulang belakang.
b.
Transmisi. Penghantaran nosiseptif yang melibatkan serabut syaraf aferen C yang menghasilkan penghantaran lambat, sensasi nyeri tumpul, dan nyeri panas sedangkan serabut Aδ menghantarkan respon cepat, menghasilkan sensasi nyeri tajam dan terlokalisasi. Selanjutnya penghantaran impuls nyeri menuju ke talamus otak.
8
c.
Persepsi. Impuls diteruskan ke bagian otak lain misalnya korteks, sistem limbik, dan otak kecil.
d.
Modulasi. Tubuh akan memodulasi sensasi nyeri melalui beberapa proses, diantaranya melalui neurotransmitter dan reseptor opioid untuk menghambat transmisi rasa nyeri. Prostaglandin merupakan salah satu mediator nyeri yang dapat
merangsang reseptor nyeri. Saat terjadi kerusakan jaringan, prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat. Prostaglandin yang paling banyak ditemukan dalam tubuh yaitu prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptornya, antara lain reseptor EP1 (kontraksi otot polos bronkus dan saluran pencernaan), EP2 (relaksasi otot bronkus, vaskuler, dan saluran pencernaan), dan EP3 (penghambatan sekresi asam lambung, peningkatan sekresi mukosa lambung, kontraksi saluran pencernaan, penghambatan lipolisis dan pelepasan neurotransmitter syaraf otonom) (Nugroho, 2014). Jalur siklooksigenase (COX) memperantai pembentukan prostaglandin dan tromboksan. Enzim COX memiliki 2 isoforrm yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif dan berperan dalam pengaturan fungsi normal tubuh termasuk pengaturan sekresi asam lambung, sedangkan COX-2 diinduksi dalam sel inflamasi oleh rangsangan inflamasi. Distribusi COX-1 dalam tubuh sangat luas dan selalu ada. Namun, distribusi COX-2 tergantung pada stimulus dan dapat distimulasi 10-18 kali oleh faktor pertumbuhan, promoter tumor, dan sitokin (Mutschler, 1986). Mediator nyeri yang lain
9
seperti bradikinin, ion kalium, histamin, dan serotonin juga terlibat dalam mengaktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) pada ujung saraf dan dapat menurunkan nilai ambang nyeri (Nugroho, 2014). Selain itu juga merupakan vasodilator kuat dan dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, mengakibatkan radang dan udema (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.
Analgetika Salah satu strategi terapi untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau nyeri yaitu secara farmakologi menggunakan obat analgetika. Analgetika merupakan salah satu golongan obat bebas, sehingga dapat digunakan sendiri tanpa saran maupun resep dari dokter atau apoteker. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa obat analgetika yang lazim digunakan tidak berbahaya, padahal penggunaan analgetika dalam jangka waktu panjang dan dosis yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti penyakit ginjal dan hepar. Penggolongan obat analgetika bermacam-macam. Menurut Tjay dan Rahardja (2002) serta Mutschler (1986) penggolongan obat analgetika berdasarkan potensi kerja dan mekanisme kerja dibagi menjadi 2 golongan yaitu : a.
Analgetika yang berkhasiat kuat Golongan ini sering disebut sebagai analgetika narkotik karena bekerja dengan cara mengurangi kesadaran (bersifat meredakan dan menidurkan), menimbulkan perasaan nyaman (euforia), mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi), serta ketergantungan fisik dan psikis
10
(ketagihan atau adiksi). Golongan ini bekerja di sistem saraf pusat (SSP) dengan menstimulasi reseptor sistem penghambat nyeri endogen. Secara kimiawi, golongan ini dibagi dalam beberapa kelompok, meliputi : 1). Alkaloida candu alamiah dan sintesis, misalnya morfin dan kodein, heroin, hidromorfin, hidrokodon, dan dionin. 2). Senyawa pengganti morfin yang terdiri dari petidin dan turunannya, metadon dan turunannya, serta fenantren dan turunannya. b.
Analgetika yang bersifat lemah. Golongan ini sering digunakan dan disebut juga sebagai analgetika non-narkotik karena tidak mempunyai sifat psikotropik dan sifat sedasi. Golongan ini bekerja secara perifer dan tidak mempengaruhi sistem daraf pusat (SSP). Selain sebagai analgetika, juga mempunyai khasiat sebagai antipiretik,
antiinflamasi,
dan
antireumatik.
Secara
kimiawi,
penggolongan analgetika perifer adalah sebagai berikut : 1). Golongan pirazolon : natrium salisilat, asetosal, salisilamida, dan benorilat. 2). Derivat p-aminofenol : fenasetin dan parasetamol. 3). Derivat antranilat : glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat. 4). Derivat pirazolon : antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutazon, dan turunan-turunannya yang semuanya mempunyai sifat anti radang kecuali antipirin.
11
3.
Parasetamol O
HN
CH3
OH
Gambar 2. Struktur Parasetamol
Parasetamol atau p-N-Asetaminofenol (dalam Farmakope Indonesia Edisi IV) merupakan obat analgetik-antipiretika, yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin pada susunan saraf pusat, sehingga biasa digunakan untuk mengurangi bahkan menghilangan rasa sakit, nyeri, sengal-sengal, maupun demam. Parasetamol mempunyai rumus molekul C8H9NO2, dengan bobot molekul 151,17 g/mol dan mempunyai struktur seperti Gambar 2. Parasetamol memiliki aktivitas sebagai analgetika dan antipiretik yang masing-masing aktivitas tersebut memiliki mekanisme aksi yang berbeda. Mekanisme kerja parasetamol sebagai analgetika yaitu melalui pengurangan kadar peroksida sitoplasma. Peroksida diperlukan untuk mengubah senyawa ferro menjadi ferri sehingga akan mengaktifkan enzim COX-2, yang selanjutnya berperan dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri. Dengan adanya penurunan kadar peroksida sitoplasma maka enzim COX-2 yang aktif menjadi sedikit. Selain itu, parasetamol juga bekerja secara selektif terhadap penghambatan enzim COX-2. Parasetamol efektif sebagai analgetika dalam kondisi tidak ada atau sedikit infiltrasi leukosit (Neal, 2009).
12
Aktivitas parasetamol sebagai antipiretik bekerja di pusat pengatur panas (termoregulasi) yang berada di hipotalamus yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer diikuti dengan pengeluaran panas dari dalam tubuh dan pengeluaran keringat (Tjay dan Rahardja, 2002). Parasetamol dapat menimbulkan efek samping pada pemberian dosis terapi maupun dosis besar. Pada dosis terapi, terjadi sedikit peningkatan enzim hepatik yang akan kembali menurun jika pemberian parasetamol dihentikan. Pada dosis tinggi akan menimbulkan gejala-gejala yang tidak diinginkan seperti pusing, kegelisahan, dan disorientasi. Pemberian parasetamol dosis 15 g atau lebih dalam sehari akan berakibat fatal hingga kematian karena terjadi kerusakan pada centrilobuter dan terkadang diikuti dengan kerusakan tubuler ginjal, yang selanjutnya berakibat hepatotoksik. Oleh karena itu, penggunaan parasetamol dosis >4 g dalam sehari tidak direkomendasikan. Gejala awal dari kerusakan hepar yaitu mual, muntah, diare, dan sakit pada abdomen (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada dosis terapi, 60-90% dari parasetamol mengalami metabolisme dengan proses konjugasi (Vale, 2007), sekitar 60% dikonjugasikan dengan glukoronida dan sekitar 30% dengan sulfat (Aripin and Choonara, 2009). Sebanyak 5-10% dari parasetamol mengalami oksidasi oleh enzim sitokrom P450 (CYP450) menghasilkan metabolit toksik N-asetil-p-benzoquinonimina (NAPQI). Oksidasi parasetamol menghasilkan NAPQI lebih spesifik dilakukan oleh enzim CYP2E1 (famili dari enzim CYP450). NAPQI dengan cepat akan
13
mengalami konjugasi dengan glutation dan dieksresikan sebagai konjugat sistein dan merkapturat (Vale, 2007). Efek samping hepatotoksik parasetamol terjadi karena adanya ikatan kovalen antara muatan positif pada NAPQI dengan sel-sel hepar yang bersifat nukleofilik. Saat konsentrasi NAPQI dalam darah lebih banyak dibandingkan konsentrasi tripeptida GSH (darah yang ada di hepar) maka sisa NAPQI tersebut akan diserang oleh nukleofil-nukleofil lain yang ada di dalam hepar namun tidak berperan dalam proses metabolisme. Nukleofil tersebut berasal dari adanya gugus –SH (thiol) yang terdapat di sel-sel hepar dan selanjutnya mempunyai kemampuan untuk menyerang sisa NAPQI yang bersifat elektrofil. Ikatan yang terbentuk antara NAPQI dan sel-sel hepar pada posisi orto dari gugus fenol parasetamol bersifat irreversible (tidak dapat diputus) dapat dilihat pada Gambar 3 (Doerge, 1982).
Gambar 3. Ikatan antara NAPQI dengan Sel Hepar
14
4.
p-Aminofenol Para aminofenol atau p-hidroksianilin atau 4-amino-1-hidroksibenzena merupakan senyawa dengan gugus amina dan hidroksi yang terikat pada inti benzena pada posisi para. Senyawa ini mempunyai rumus molekul HC6H5NH2 dengan bobot molekul 109,12 g/mol dan mempunyai struktur pada Gambar 4.
NH2
OH
Gambar 4. Struktur p-Aminofenol
Kelarutan p-aminofenol berbeda-beda tergantung dari suhu dan pelarutnya. Senyawa p-aminofenol sedikit larut dalam air, larut dalam metil etil keton, larut dalam etanol absolut, tidak larut dalam benzena dan kloroform. Titik didih p-aminofenol yaitu 284oC dengan mengalami penurunan dan titik leleh padaa 189o–190oC (Anonim, 1997). Senyawa ini bersifat amfoter, sehingga dapat membentuk garam dengan penambahan asam maupun basa. Bentuk garam p-aminofenol lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan bentuk awal p-aminofenol (Mitchell dkk., 2001). Sifat amfoter p-aminofenol ditunjukkan pada Gambar 5.
15
NH2
NH2
NH2HCl
HCl
HCl
NaOH
NaOH
ONa
OH
Na p-aminofenol
OH
p-aminofenol
p-aminofenol HCl
Gambar 5. Amfoter p-Aminofenol
Senyawa p-aminofenol memiliki aktivitas analgetika dan antipiretik yang kuat tetapi p-aminofenol terlalu toksik untuk digunakan sebagai obat, sehingga penggunaan p-aminofenol sebagai obat perlu dilakukan modifikasi struktur untuk mengurangi toksisitasnya. 5.
Benzoil Klorida Cl
O
Gambar 6. Struktur Benzoil Klorida
Benzoil klorida atau benzena karbonil klorida merupakan senyawa dengan gugus klorida yang terikat pada inti asil. Senyawa ini dapat diperoleh dengan mereaksikan antara asam benzoat (C6H5COOH) dengan fosfor pentaklorida atau tionil klorida. Benzoil klorida dapat bereaksi dengan berbagai senyawa, diantaranya reaksi dengan alkohol dan amina menghasilkan ester dan amida, reaksi dengan air menghasilkan asam klorida dan asam benzoat, serta reaksi dengan natrium peroksida menghasilkan benzoil peroksida dan natrium klorida (Wohler and Liebig, 1832).
16
Benzoil klorida berbentuk cairan tak berwarna dengan bau yang tajam. Senyawa ini mempunyai rumus molekul C7H5ClO dengan bobot molekul 140,57 g/mol, memiliki titik lebur 197,2oC, dan mempunyai struktur seperti Gambar 6. Benzoil klorida mudah didegradasi dengan adanya air dan alkohol, serta sempurna tidak campur dengan pelarut eter, benzena, karbon disulfida, dan minyak (Anonim, 1968). 6.
Kimia Komputasi Kimia komputasi merupakan suatu cabang kimia yang menggunakan hasil kimia teori yang diterjemahkan ke dalam program komputer untuk menghitung sifat-sifat molekul dan perubahannya maupun melakukan simulasi terhadap sistem-sistem besar (makromolekul seperti protein atau banyak molekul seperti gas, cairan, padatan, dan kristal cair) serta menerapkan program tersebut pada sistem kimia nyata (Anonim, 2008). Salah satu program kimia komputasi yang digunakan untuk mendukung penelitian sintesis suatu senyawa adalah Molecular Docking PLANTS. Molecular docking digunakan untuk memprediksi struktur kompleks ligan kecil dengan protein yang diaplikasikan secara luas dalam pemilihan virtual database besar dan dalam optimasi terbaik. Berdasarkan struktur protein, ligan, dan fungsi penilaian, tujuan molecular docking yaitu untuk menemukan konfirmasi energi ligan yang rendah di situs pengikatan protein yang sesuai dengan minimum penilaian fungsi global. PLANTS (Protein-Ligant ANTSystem) merupakan salah satu software untuk molecular docking yang didasarkan pada kelas algoritma optimasi stokastik yang disebut optimasi
17
koloni semut (ACO, Ant Colony Optimization), yang dilihat dari perilaku semut dalam meggunakan jejak feromon (sebagai komunikasi tidak langsung) untuk menandai jalur yang ditempuhnya, dalam upayanya menemukan jalan terpendek dari sarang menuju ke sumber makanan (Purnomo, 2011). Pada
molecular
docking
menunjukkan
nilai
atau
score
yang
menggambarkan energi total ikatan protein-ligan. Adanya perbandingan score antara satu senyawa dan senyawa yang lain dapat menjelaskan mengapa senyawa yang satu lebih poten dibandingkan senyawa lain. Makin kecil score suatu hasil docking maka kompleks protein-ligan akan semakin stabil sehingga ligan (senyawa) tersebut semakin poten. Dengan visualisasi dapat memperlihatkan asam amino apa saja yang berperan dalam menjaga stabilitas senyawa tersebut pada reseptornya (atau berupa enzim) (Purnomo, 2011). 7.
Rekristalisasi Rekristalisasi merupakan suatu metode untuk memurnikan zat padat dengan mengkristalkan kembali dari solvent atau campuran solvent yang sesuai, sehingga didapatkan senyawa dalam bentuk kristal yang lebih baik. Pengotor-pengotor dalam suatu sampel dapat menyebabkan suatu gangguan dalam penataan kisi kristal, akibatnya pembentukan kristal menjadi tidak sempurna dan akan menurunkan titik lebur padatan organik. Rekristalisasi bergantung pada penurunan kelarutan padatan dalam suatu solvent atau campuran pada suhu yang rendah. Pada kasus sederhana, rekristalisasi dilakukan dengan melarutkan sejumlah bahan yang berbentuk padatan, minyak, atau semipadat ke dalam solvent, dengan adanya bantuan
18
pemanasan untuk melarutkan bahan tersebut secara sempurna. Larutan yang hangat tersebut kemudian dibiarkan mendingin hingga temperatur kamar (atau lebih rendah lagi). Kristal-kristal yang seragam dengan lambat bermunculan setelah semalam atau lebih. Kristal yang ada diisolasi (dengan penyaringan dan pengeringan udara) dan diperiksa kemurniannya (dengan pemeriksaan titik lebur, GC, NMR, KLT, dan sebagainya). Pertimbangan pertama dalam melakukan rekristalisasi adalah pemilihan solvent, dimana sampel padatan harus mempunyai kelarutan dalam solvent panas lima kali lebih besar dibandingkan solvent dingin (Shriner et al., 1980). Beberapa solvent yang sering digunakan dalam rekristalisasi adalah air (titik didih 100°C), metanol (titik didih 64,5°C) dan etanol (titik didih 78°C). 8.
Penentuan titik lebur Titik lebur adalah besarnya suhu saat terjadi perubahan bentuk dari padatan menjadi cairan pada tekanan 1 atm. Titik lebur dapat digunakan sebagai parameter kemurnian dan sebagai parameter identifikasi suatu senyawa, sehingga titik lebur merupakan salah satu karakteristik penting untuk senyawa organik bentuk padatan. Senyawa dikatakan murni apabila memiliki rentang titik lebur yang sempit yaitu 1o-2oC (Sharp et al., 1989). Adanya pengotor dalam jumlah kecil baik yang bercampur sempurna maupun bercampur sebagian dengan senyawa sampel akan menghasilkan peningkatan jarak titik lebur. Selain itu, dapat juga menyebabkan mulainya peleburan berada pada suhu di bawah titik lebur senyawa murni (Vogel, 1956).
19
Jika rentang titik lebur lebih darii 2oC maka senyawa tersebut harus direkristalisasi kembali (Shriner et al., 1980). 9.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi dapat diartikan sebagai suatu metode analisis dimana fase gerak (mobile phase) akan melewati sebuah fase diam (stationary phase) sehingga campuran suatu zat dapat dipisahkan menjadi komponenkomponennya. Pemisahan senyawa dalam kromatografi didasarkan pada polaritas dari suatu senyawa. Komponen yang memiliki polaritas yang sama dengan fase diam akan tertinggal di fase diam, sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat (Hahn, 2007). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu metode analisis lama yang hingga saat ini masih sering digunakan dalam analisis kualitatif karena mudah, murah, cepat, dan sederhana (Firdaus dan Utami, 2009). Prinsip dari KLT yaitu pemisahan komponen-komponen senyawa berdasarkan adanya perbedaan partisi atau adsorpsi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut fase gerak tunggal atau fase gerak campur (Mulja dan Suharman, 1995). Selain itu, metode ini sering digunakan dalam analisis senyawa kimia untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian suatu senyawa obat (Handayani dkk., 2005). Fase diam yang digunakan dalam KLT berupa lapisan yang seragam pada permukaan suatu bidang datar yang didukung oleh suatu lempeng. Beberapa contoh fase diam diantaranya silika gel, selulosa, alumina, poliamida, dan penukar ion (Gocan, 2002). Fase gerak atau pelarut pengembang (eluen) dapat berupa pelarut tunggal atau campuran pelarut organik. Pemilihan fase gerak
20
yang sesuai memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pemisahan dengan KLT. Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh gaya kapiler pada pengembangan (elusi) secara menaik (ascending) atau pengaruh gravitasi pada pengembangan (elusi) secara menurun (descending). Komponen senyawa dapat berinteraksi dengan fase diam dan fase gerak pada tingkat yang berbeda-beda sehingga memiliki waktu retensi yang berbeda-beda dan dengan demikian komponen senyawa akan terpisah. Analisis secara kualitatif dalam KLT dilakukan berdasarkan karakteristik harga Rf (Retention factor), tetapi akan lebih baik jika dilakukan dengan pereaksi kimia atau pereaksi warna (Rohman, 2007). Perhitungan harga Rf merupakan perbandingan antara migrasi komponen dengan jarak migrasi fase gerak : Rf =
jarak mgrasi solute jarak migrasi fase gerak
Selanjutnya harga Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga Rf standar, namun harga Rf hanya berlaku untuk campuran tertentu dari pelarut dan penjerap yang digunakan (Sastrohamidjojo, 1991). 10. Elusidasi Struktur Elusidasi struktur atau spektroskopi merupakan suatu metode analisis struktur molekul yang didasarkan pada studi terkait interaksi antara energi cahaya dengan materi. Fokus utamanya pada kimia organik adalah adanya fakta bahwa panjang gelombang suatu senyawa organik dalam menyerap energi tergantung pada struktur senyawa tersebut. Oleh karena itu, tehnik-
21
tehnik elusidasi struktur dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1994). a.
Spektroskopi Infra Merah Spektroskopi infra merah merupakan metode spektroskopi yang memanfaatkan vibrasi dari suatu molekul yang tereksitasi menghasilkan suatu spektra infra merah. Penggunaan spektra infra merah untuk penentuan struktur senyawa organik biasanya antara 4000-400 cm-1. Daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 disebut daerah dekat sedangkan daerah di bawah frekuensi 400 cm-1 disebut daerah jauh (Silverstein and Webster, 1998). Spektra infra merah ini berfungsi untuk memberikan informasi gugus fungsional molekul pada analisis kualitatif dan kuantitatif (Kaban, 2005). Pada dasarnya, hanya ikatan-ikatan yang memiliki momen dipol yang mampu mengabsorpsi radiasi inframerah. Setiap ikatan kimia memiliki frekuensi vibrasi alamiah yang spesifik sesuai dengan ikatan tersebut. Jika ikatan kimia yang dipapari radiasi infra merah memiliki frekuensi yang sesuai dengan frekuensi alaminya, maka akan terjadi interaksi medan listrik. Hal tersebut menyebabkan perubahan vibrasi yang menandakan absorpsi radiasi infra merah oleh molekul bersangkutan. Energi yang diserap digunakan untuk meningkatkan amplitudo vibrasi ikatan-ikatan dalam molekul (Pavia et al., 2001).
b.
Spektroskopi Massa
22
Spektroskopi massa (MS) merupakan suatu tehnik analisis kualitatif yang dapat memberikan informasi berat molekul (BM) suatu senyawa organik. Spektrum massa menggambarkan hubungan antara limpahan relatif lawan dengan perbandingan massa/muatan (m/z). Partikel-partikel netral yang dihasilkan dalam pecahan/fragmentasi berupa molekul tak bermuatan atau radikal tidak dapat dideteksi dalam spektrometer massa (Sastrohamidjojo, 2001). Ada beberapa cara ionisasi untuk menjadikan suatu ion agar dapat dideteksi oleh spektrometer massa, yaitu EI (Electron Impact), CI (Chemical Ionization), ESI (Electrospray Ionization), FAB (Fast Atom Bombardment), FD (Field Desorption), dan MALDI (Matrix Assisted Laser Desorption/Ionization) (Silverstein and Webster, 1998). Electron Impact (EI) merupakan hard ionization yang dilakukan dengan menembakkan elektron ke molekul yang dianalisis sehingga akan membentuk suatu ion molekul atau fragmen ion. Sedangkan soft ionization, sumber ion yang digunakan berupa reagen pengionisasi yang akan mengionisasi molekul-molekul dalam sampel (Pavia et al., 2001). Selanjutnya, Electrospray Ionization (ESI) merupakan salah satu soft ionization yang prosesnya merupakan mekanisme elektroforesis. Medan listrik tinggi akan menyebabkan analit bermuatan sama yang telah terionisasi sebelumnya membentuk droplet, selanjutnya terjadi pengecilan ukuran droplet akibat penguapan dari pelarut yang membawanya. Kemudian droplet-droplet tersebut disemprotkan melalui pipa ESI menuju
23
pipa kapiler. Ion-ion ini kemudian akan dibawa menuju detektor. Pada ESI model ionisasi positif, ion molekul yang terbentuk merupakan ion molekul dengan tambahan ion hidrogen (proton) [M+H]+ atau berupa kation lain misalnya ion Na+ [M+Na]+. ESI model ionisasi negatif berupa ion molekul yang kehilangan proton [M-H]-. Selain itu juga terdapat ion molekul dalam bentuk dimer atau trimernya ([2M+H]+, [2M-H]- (Kazakevich and LoBrutto, 2007). c.
Spektroskopi 1H-NMR Spektroskopi NMR merupakan salah satu tehnik yang paling sering digunakan untuk menentukan atau verifikasi struktur senyawa-senyawa organik dan biomolekul. Kualitas spektra NMR ditentukan oleh 2 parameter, yaitu sensitivitas dan resolusi alat (Zangger, 2015). 1). Spektroskopi 1H-NMR (1H-Nuclear Magnetic Resonance) Suatu inti atom dalam keadaan ground state memiliki nilai spin tertentu. Jika suatu inti dipaparkan pada suatu medan magnet, maka inti tersebut akan mengalami presesi di sekitar sumbu spin-nya dengan frekuensi angular (). Frekuensi presesi suatu proton berbanding lurus dengan kekuatan medan magnet yang digunakan. Jika gelombang radio memiliki frekuensi yang sama dipaparkan pada proton yang berpresesi maka energi gelombang tersebut dapat diserap. Oleh karena itu, adanya kesesuaian antara frekuensi komponen medan listrik dari radiasi yang dipaparkan dengan medan listrik yang ditimbulkan proton yang berpresesi, akan menimbulkan suatu kopling pada kedua
24
medan listrik tersebut. Selanjutnya akan terjadi perpisahan energi dari radiasi ke inti dan menimbulkan perubahan spin (Pavia et al., 2001). Kegunaan utama dari resonansi magnet ini ialah untuk mengetahui banyaknya lingkungan proton pada suatu senyawa, banyaknya hidrogen di masing-masing lingkungan dan banyaknya serta posisi proton tetangga, sehingga metode ini dapat digunakan untuk menetapkan struktur suatu senyawa. Tidak setiap proton dalam molekul senyawa beresonansi pada frekuensi yang sama. Hal ini disebabkan oleh berbagai proton dalam molekul dikelilingi elektron dan menunjukkan sedikit perbedaan lingkungan elektronik dari satu proton dengan proton lainnya, sehingga setiap inti memiliki perlindungan elektron yang berbeda yang mengakibatkan frekuensi resonansi yang berbeda pula (Pavia et al., 2001). Proton tersebut mengalami shielding oleh elektron disekitarnya. Dalam medan magnet, elektron valensi dari proton yang bergerak menimbulkan medan magnet yang berlawanan arah dengan medan magnet yang dipaparkan pada proton tersebut. Hal ini menyebabkan medan magnet yang dirasakan oleh proton tersebut berkurang. Shielding atau perlindungan suatu proton bergantung pada kerapatan elektron yang mengelilinginya (Silverstein and Webster, 1998). Perubahan frekuensi resonansi yang terjadi sangat kecil. Oleh karena itu, frekuensi resonansi diukur secara relatif terhadap frekuensi resonansi proton senyawa referensi. Referensi baku yang digunakan
25
secara universal adalah tetrametilsilan (TMS). Senyawa ini dipilih karena protonnya lebih shielded daripada kebanyakan senyawa organik lainnya. Selain itu, TMS mudah dihilangkan karena memiliki titik didih yang rendah (Silverstein and Webster, 1998). Pergeseran resonansi terhadap TMS dipengaruhi oleh kekuatan medan magnet yang digunakan. Agar tidak menimbulkan kesalahan saat membandingkan spektra yang dihasilkan oleh dua instrumen dengan kekuatan medan magnet yang berbeda, maka muncul suatu parameter baru berupa geseran kimia (δ) yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan medan magnet yang digunakan. Pergeseran kimia ini menggambarkan kedudukan dan jenis proton-proton tersebut dalam senyawa yang diukur (Sastrohamidjojo, 2001). 2). Spektroskopi 13C-NMR (13C-Nuclear Magnetic Resonance) Sekitar 98,9% atom karbon dalam alam adalah
12 6C,
suatu isotop
yang intinya tidak mempunyai spin, sehingga tidak dapat dilakukan analisis spektroskopi NMR. Karbon-13 atau
13 6C,
merupakan atom
dengan massa yang ganjil dan intinya mempunyai spin, dengan I = ½. Keberadaan karbon-13 dalam alam sangatlah sedikit hanya sekitar 1,08%. Di samping itu, transisi paralel ke antiparalel dari sebuah inti 13
C adalah transisi energi rendah (Pavia et al., 2001). Spektroskopi
13
C-NMR berbeda dengan 1H-NMR, parameter
yang digunakan hanya geseran kimia (chemical shift), sedangkan pada 1H-NMR parameter yang digunakan meliputi geseran kimia,
26
nilai integrasi, dan pola splitting. Integral tidak reliabel dan tidak menunjukkan jumlah relatif dari atom karbon yang menghasilkan sinyal tersebut. Spin-spin antar karbon yang bersebelahan atau berdekatan sangat jarang karena kelimpahan atom bersebelahan relatif kecil. Atom
13
13
C yang
C mengalami interaksi spin-spin
dengan atom H yang diikatnya. Dengan melihat harga geseran kimianya, dapat diketahui jenis atom karbon sesuai dengan hibridisasinya, yaitu sp, sp2, atau sp3. Selain itu, dapat diperkirakan pula gugus fungsional yang terikat pada atom karbon tersebut. Dengan demikian, spektrum 13C-NMR akan memberikan informasi mengenai kerangka atom karbon dari suatu senyawa (Silverstein and Webster, 1998). Geseran-geseran kimia yang muncul pada spektra
13
C-NMR
jauh lebih besar dibandingkan dengan geseran kimia dalam spektra 1
H-NMR, yang merupakan suatu faktor lain yang menyederhanakan
spektra 13C karena peluang terjadinya tumpang-tindih absorbsi lebih kecil. Kebanyakan proton dalam spektra 1H-NMR menunjukkan absorbsi antara 0-10 ppm (nilai δ) di bawah-medan dari TMS (suatu pembanding-dalam), sedangkan absorbsi
13
C ditemukan dalam
rentang 0-200 ppm di bawah-medan dari TMS (Fessenden dan Fessenden, 1994). Terdapat dua tipe utama spektra proton
13
13
C yaitu spektra dekopling-
C dan spektra kopling proton, yang keduanya digunakan
secara saling berkaitan. Suatu spektrum dekopling-proton
13
C
27
merupakan suatu spektrum dimana
13
C tidak terkopling dengan 1H
sehingga tidak menunjukkan pemisahan spin-spin. Dekopling dicapai secara elektronis dengan menggunakan suatu frekuensi kedua atau energi tambahan yang akan menyebabkan terjadinya interkonversi cepat antara keadaan spin paralel dan antiparalel dari proton-proton tersebut. Akibatnya sebuah inti 13C hanya muncul pada suatu rata-rata dari dua keadaan spin proton dan isyaratnya tak akan terurai. Pada spektrum kopling-proton kopling antara
13
13
C merupakan suatu spektra dimana
C-1H tidak ditekan, sehingga isyarat untuk tiap
karbon diurai oleh proton-proton yang terikat langsung pada karbon tersebut. Dalam
13
C-NMR ini berlaku aturan n+1 dimana n ialah
banyaknya atom hidrogen yang terikat pada karbon (Fessenden dan Fessenden, 1994). 11. Diskoneksi Analisis retrosynthetic merupakan prosen pemutusan molekul target menjadi bahan awal yang tersedia secara FGI atau diskoneksi. Functional Group Interconvention (FGI) adalah proses konversi satu gugus fungsi menjadi gugus fungsi lain dengan cara subtitusi, eliminasi, oksidasi, atau reduksi, dan operasi dilakukan dengan reaksi terbalik yang digunakan dalam analisis, sedangkan diskoneksi merupakan operasi terbalik untuk reaksi dimana terjadi pemutusan suatu ikatan untuk memecah molekul menjadi bahan awal yang memungkinkan (Warrent, 1995).
28
Dari hasil analisis diskoneksi akan diperoleh sinton yang merupakan fragmen-fragmen dari molekul target dan pada umumnya berupa kation atau anion. Untuk sinton anion, reagen yang sering digunakan adalah hidrokarbon yang bersangkutan, sedangkan untuk sinton kationik, reagen yang umum digunakan merupakan halida yang bersangkutan (Warrent, 1995). Selanjutnya dilakukan penentuan ekivalen sintetik secara rasional untuk digunakan sebagai starting
material.
Ekivalen
sintetik
adalah
molekul-molekul
yang
melaksanakan fungsi dari sinton. Melalui analisis diskoneksi, senyawa 4benzamidofenil benzoat dapat diperoleh melalui jalur berikut ini (Gambar 7). Dari hasil analisis diskoneksi, diketahui bahwa untuk mensintesis senyawa 4-benzamidofenil benzoat diperlukan starting material p-aminofenol dan benzoil klorida.
29
O
O
C
C O
HN
O
O
C
C NH
O
+
O
O
C
C NH
Cl
OH
benzoil klorida O C OH
H2N
+
p-aminofenol
O C Cl
benzoil klorida Gambar 7. Mekanisme Diskoneksi Senyawa 4-Benzamidofenil Benzoat
30
12. Metode pengujian daya analgetika Rasa sakit atau nyeri sulit untuk didefinisikan atau diukur. Oleh karena itu, telah muncul berbagai cara untuk mengetahui intesitas rasa nyeri dengan menggunakan hewan uji. Menurut Turner (1965), pengujian daya analgetika dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan analgetika non-narkotik dan analgetika narkotik. Beberapa pengujian daya analgetika non-narkotik, yaitu : a.
Metode induksi cara kimia Pada metode ini, respon nyeri hewan uji timbul karena adanya rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yang diinjeksikan secara intraperitoneal. Beberapa zat yang digunakan sebagai rangsangan rasa nyeri antara lain asam asetat dan fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk uji analgetika yang mempunyai daya analgetika lemah. Selain peka, metode ini cukup sederhana, reprodusibel, dan hasilnya spesifik. Adanya pemberian analgetika akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri hewan uji sehingga jumlah geliat hewan uji menjadi berkurang atau bahkan tidak terjadi geliat sama sekali. Uji analgetika dengan metode ini, biasanya digunakan senyawa pembanding yaitu analgesik non-narkotik seperti asetosal dan sodium asetilsalisilat.
b.
Metode pododolorimeter Pada metode ini, digunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgetika. Aliran listrik berasal dari alas kandang tikus yang terbuat dari kepingan metal. Kemudian tikus diletakkan pada kandang dan akan
31
timbul aliran listrik. Respon nyeri ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam. c.
Metode rektodolometer Pada metode ini, tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan suatu penginduksi berupa kumparan. Ujung lain dari kumparan tersebut dihubungkan dengan suatu elektroda tembaga bersilinder. Pada bagian atas kumparan terdapat konduktor yang terhubung dengan suatu volumeter untuk mengatur tegangan yang diberikan. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan respon teriakan tikus adalah 1 sampai 2 volt.
F. Landasan Teori Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengubahan atau penambahan gugus fungsi pada p-aminofenol dapat meningkatkan aktivitas analgetika yang lebih poten dan kurang toksisitasnya dibandingkan senyawa induknya. Senyawa 4benzamidofenil benzoat dapat disintesis dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida, serta diprediksi memiliki daya analgetika yang lebih poten dibandingkan parasetamol secara in-vivo. Hal tersebut ditunjukkan dari score docking terhadap 6COX.PDB bahwa senyawa 4-benzamidofenil benzoat memiliki energi yang lebih rendah (-75,8784) daripada parasetamol (-67,3827) untuk berikatan dengan enzim COX-2. Adanya ikatan yang lebih stabil antara 4benzamidofenil benzoat dengan enzim COX-2 dapat meningkatkan potensi daya analgetika.
32
G. Hipotesis 1.
Senyawa 4-benzamidofenil benzoat dapat disintesis dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida.
2.
Senyawa 4-benzamidofenil benzoat mempunyai aktivitas analgetika lebih poten dibandingkan parasetamol pada hewan uji mencit jalur BALB/c.