1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peningkatan usia harapan hidup merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia. Usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 64,7 tahun pada tahun 1995-2000 dan menjadi 70 tahun pada tahun 2008, sehingga diperkirakan pada tahun 2015 proporsi penduduk usia lanjut akan mencapai sekitar 24 juta (Depkes RI, 2010). Namun penduduk usia lanjut tidak bisa terlepas dari gangguan kesehatan, terutama wanita. Wanita usia lanjut tentu saja mengalami masa menopause yang dalam masa ini mengakibatkan penurunan fungsi indung telur sehingga menyebabkan defisiensi estrogen. Salah satu akibat dari defisiensi estrogen adalah timbulnya penyakit osteoporosis (Gennari et al., 2004). Problema yang timbul akibat osteoporosis cukup besar, yaitu dapat menimbulkan morbiditas dan dibutuhkan biaya cukup besar apabila terjadi patah tulang sehingga dapat menurunkan angka harapan hidup (National Osteoporosis Foundation, 2010). Gangguan pada wanita menopause biasanya diatasi dengan pemberian terapi hormon estrogen yang biasa disebut HRT (Hormon Replacement Teraphy). Namun, penggunaan HRT dapat menimbulkan cacat fisik, pendarahan, ketergantungan serta kanker payudara (Beral, 2003). Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif yang aman dan murah sebagai pengganti HRT, salah satunya adalah dengan fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan senyawa pada tumbuhan
2
yang memiliki aktivitas estrogenik, sehingga dapat menggantikan fungsi estrogen (Yildiz, 2005). Penelitian mengenai tumbuhan yang memiliki aktivitas estrogenik telah banyak dilakukan, diantaranya yaitu daun kenikir, kedelai, kayu secang, daun pepaya, biji labu kuning dan kunyit. Beberapa dari penelitian tersebut menggunakan model hewan uji tikus terovariektomi, yaitu metode pengangkatan ovarium tikus melalui operasi yang ditujukan untuk membuat tikus dalam keadaan terdefisiensi estrogen. Penelitian Seifi et al., (2015) telah dibuktikan adanya penurunan kadar estrogen dalam serum darah tikus yang awalnya sebesar 196,9±61,65 pg/mL turun menjadi 94,57±10,5 pg/mL setelah 4 minggu pasca ovariektomi. Adanya penurunan kadar estrogen menjadikan metode ovariektomi pada hewan uji sering digunakan pada penelitian yang berhubungan dengan masa tulang. Penelitian ilmiah mengenai efek estrogenik rimpang kencur sudah dilakukan melalui uji in Silico oleh Setyaningsih, (2016) untuk mengetahui afinitas kandungan senyawa dari kencur (etil sinamat, etil p-metoksisinamat, pmetoksitiren, keren, borneol, parrafin) dengan reseptor estrogen β. Hasilnya diketahui bahwa etil p-metoksisinamat memiliki afinitas yang baik pada reseptor estrogen β. Menurut Benassayag et al., (2002) terdapat 4 jenis senyawa fitoestrogen yang terkandung di dalam tanaman antara lain flavonoid, coumestan, lignan, dan stilbel. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol rimpang kencur pada penelitian Hasanah et al., (2011) terbukti mengandung metabolit sekunder yaitu golongan senyawa flavonoid, polifenol, tanin, monoterpen/seskuiterpen, dan
3
steroid. Selain itu rimpang kencur juga mengandung minyak atsiri antara lain 2,4,6-trimethyl octane 25,03%, 2-butyl-1-octanol 1,49%, Ethyl cinnamate 8,49%, Limonene dioxide 1,73%, Ethyl ester 3-(4-methoxyphenyl) 2-propenoic acid 9,19%, Ethyl pmethoxycinnamate 54,07%. Berdasarkan pengetahuan tersebut ekstrak etanol rimpang kencur diduga mampu memiliki efek estrogenik, sehingga pada penelitian ini diharapkan efek estrogenik rimpang kencur berpengaruh terhadap kepadatan tulang tikus betina galur wistar terovariektomi. Hasil penelitian ini bisa dijadikan dasar pengembangan produk nutrasetikal yang bisa digunakan untuk mencegah osteoporosis pada wanita menopouse. B. Perumusan Masalah Apakah pemberian ekstrak etanol rimpang kencur dapat meningkatkan densitas tulang tikus betina galur Wistar yang terovariektomi? C. Tujuan Penelitian Melihat pengaruh pemberian ekstrak etanol rimpang kencur terhadap peningkatkan densitas tulang tikus betina galur Wistar yang terovariektomi. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yakni: 1. Membuktikan efek estrogenik rimpang kencur dalam meningkatkan densitas tulang tikus betina galur Wistar yang terovariektomi. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang kegunaan kencur sebagai pencegah osteoporosis pada wanita menopause.
4
E. Tinjauan Pustaka 1. Menopause a. Definisi Menopause Menopause menurut WHO adalah berhentinya siklus menstruasi untuk selamanya bagi wanita yang sebelumnya mengalami menstruasi sebagai akibat dari hilangnya aktivitas folikel ovarium. Menopause diartikan sebagai tidak dijumpainya menstruasi selama 12 bulan berturutturut dimana ovarium secara progresif telah gagal dalam memproduksi estrogen. Jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat, hingga pada suatu ketika tidak tersedia lagi folikel yang cukup (Kregel and Zhang, 2007) Menopause berasal dari bahasa yunani yaitu men (month) dan pausis (cessation). Masa peralihan antara siklus ovarium yang normal menuju
kemunduran
fungsi
ovarium
disebut
sebagai
masa
perimenopause. Produksi estrogen berkurang dan haid tidak terjadi lagi. Setelah memasuki usia menopause selalu ditemukan kadar FSH yang tinggi (>35mIU/ml). Pada awal menopause kadang-kadang kadar estrogen rendah. Bila seorang wanita tidak haid selama 12 bulan dan dijumpai kadar FSH>35 mIU/ml dan kadar estradiol < 30 pg/ml, maka wanita tersebut dapat dikatakan telah mengalami menopause (Rahman et al., 2010).
5
b. Patofisiologi Menopause Pada wanita menopause hilangnya fungsi ovarium secara bertahap akan menurunkan kemampuannya dalam menjawab rangsangan hormonhormon hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid. Saat dilahirkan wanita mempunyai kurang lebih 750.000 folikel primordial. Dengan meningkatnya usia, jumlah folikel tersebut akan semakin berkurang. Pada usia 40-44 tahun rata-rata jumlah folikel primordial menurun sampai 8300 buah, yang disebabkan oleh adanya proses ovulasi pada setiap siklus juga karena adanya apoptosis yaitu proses folikel primordial yang mati dan terhenti pertumbuhannya. Proses tersebut terjadi terus-menerus selama kehidupan seorang wanita, hingga pada usia sekitar 50 tahun fungsi ovarium menjadi sangat menurun. Apabila jumlah folikel mencapai jumlah yang kritis, maka akan terjadi gangguan sistem pengaturan hormon yang menyebabkan insufisiensi korpus luteum, siklus haid anovulatorik dan pada akhirnya terjadi oligomenore. Perubahanperunahan dalam sistem vaskularisasi ovarium sebagai akibat proses penuaan dan terjadinya sklerosis pada sistem pembuluh darah ovarium diperkirakan
sebagai
penyebab
gangguan
vaskularisasi
ovarium.
Terjadinya proses penuaan dan penurunan fungsi ovarium menyebabkan ovarium
tidak
mampu
menjawab
rangsangan
menghasilkan hormon steroid (Heinemann et al., 2004).
hipofisis
untuk
6
2. Osteoporosis Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009). Menurut WHO, Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirny meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Suryati and Nuraini, 2006). Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu (Junaidi, 2007): 1) Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.
7
2) Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause. 3) Osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obatobatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini. 4) Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. 3. Estrogen dan Metabolisme Tulang a. Estrogen Estrogen merupakan hormon golongan steroid yang memiliki banyak fungsi yakni untuk pertumbuhan dan diferensiasi dan fungsi lain dibeberapa jaringan dan merupakan faktor penting dalam pemeliharaan
8
kesehatan tulang. Estrogen dapat meningkatkan aktivitas osteogenesis (Mc.Dougal et al., 2002). Estrogen yang terdapat secara alamiah adalah 17 β estradiol, estron dan estriol
seperti gambar 1., dimana 17β estradiol adalah yang paling
dominan.
Gambar 1. Struktur Estrogen A (Estron) B (Estriol) C (Estradiol) (Speroff et al., 2005)
Hormon-hormon ini disekresikan oleh teka interna dan sel granulosa folikel ovarium, korpus luteum dan plasenta. Estrogen juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi. Aromatase adalah enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi 17β estradiol. 17β estradiol berada dalam keseimbangan dengan estron, estron mengalami metabolisme lebih lanjut pada hati menjadi estriol. Estradiol paling kuat sedang estriol paling lemah. Estradiol yang berada bebas dalam darah hanya 2% sedangkan yang lain terikat sekitar 6% pada albumin dan 38% pada gonadal steroid binding globulin (GBG) serupa dengan yang mengikat testosteron. Hampir semua estrogen berasal dari ovarium dan terdapat dua puncak sekresi yaitu pada saat sebelum ovulasi dan selama fase midluteal (Sherwood, 2004). b. Pertumbuhan Tulang (Modeling dan Remodeling Tulang)
9
Pertumbuhan tulang adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan perubahan struktur tulang yakni pada saat pembentukan skeleton, pertumbuhan dan pematangan (Baron, 2006). Pertumbuhan tulang (modeling) mengarah ke proses pengubahan ukuran dan bentuk tulang. Pertumbuhan tersebut terjadi hingga akhir pubertas, akan tetapi peningkatan kepadatan masih terjadi hingga dekade ke empat (Deftos, 2002), sedang remodeling adalah proses regenerasi yang terjadi secara terus menerus dengan mengganti tulang yang lama (old bone) dengan tulang yang baru (new bone) (Monologas, 2000). Tempat dimana terjadi peristiwa remodeling diberi istilah basic multicelluler units (BMUs) atau bone remodeling unit. Remodeling berlangsung antara 2-8 minggu dimana waktu terjadinya pembentukan tulang berlangsung lebih lama dibanding dengan terjadinya resorpsi tulang. Proses remodeling berlangsung sejak pertumbuhan tulang sampai akhir kehidupan. Tujuan remodeling tulang belum diketahui secara pasti, tetapi aktivitas tersebut dapat berfungsi antara lain untuk (Baron, 2006): 1) Mempertahankan kadar ion kalsium dan fosfat ekstraseluler. 2) Memperbaiki kekuatan skeleton sebagai respon terhadap beban mekanik. 3) Memperbaiki kerusakan (repair fatique demage) tulang dan, 4) Mencegah penuaan sel tulang. Modeling dan remodeling akan mencapai dua hal dalam kehidupan seseorang yaitu: pemanjangan tulang (longitudinal bone growth) dan
10
kepadatan tulang (bone massa). Proses remodeling meliputi dua aktivitas yaitu: proses pembongkaran tulang (bone resorption) yang diikuti oleh proses pembentukan tulang baru (bone formation), proses yang pertama dikenal sebagai aktivitas osteoklas sedang yang kedua dikenal sebagai aktivitas osteoblas. Proses remodeling melibatkan dua sel utama yaitu osteoblas dan osteoklas, dan kedua sel tersebut berasal dari sumsum tulang (bone marrow). Osteoblas berasal dari pluripotent mesenchymal stem cell yaitu: fibroblast coloni forming unit (CFU-F), sedang osteoklas berasal dari hematopoietic stem cell yaitu granulocyt-macrophage colony-forming units (CFU-GM) (Baron, 2006). Proses remodeling tulang merupakan suatu siklus yang meliputi tahapan yang komplek yaitu (Baron, 2006): 1) Tahap aktivasi (activation phase) adalah tahap interaksi antara prekusor osteoblas dan osteoklas, kemudian terjadi proses diferensiasi, migrasi, dan fusi multinucleated osteclast dan osteoklas yang terbentuk kemudian akan melekat pada permukaan matrik tulang dan akan dimulai tahap berikutnya yaitu tahap resorpsi. Sebelum migrasi ke matrik tulang osteoklas tersebut akan melewati sederetan lining sel osteoblas pada permukaan tulang untuk dapat mengeluarkan enzim proteolitik. Interaksi sel antara stromal cell (sel stroma) dan hematopoietik cell (sel hematopoietik) menjadi faktor penentu perkembangan osteoklas. Perkembangan osteoklas dari prekusor hematopoietik tidak bisa diselesaikan jika tidak ada kehadiran sel
11
stroma. Oleh karena itu hormon sistemik dan lokal yang mempengaruhi perkembangan osteoklas disediakan oleh stromalosteoblastic lineage (sel stroma). 2) Tahap resorpsi (resorption phase) adalah tahap pada waktu osteoklas akan mensekresi ion hydrogen dan enzim lisosom terutama cathepsin K dan akan mendegradasi seluruh komponen matriks tulang termasuk kolagen. Setelah terjadi resorpsi maka osteoklas akan membentuk lekukan atau cekungan tidak teratur yang biasa disebut lakuna howship pada tulang trabekular dan saluran haversian pada tulang kortikal. 3) Tahap reversal (reversal phase), adalah tahap pada waktu permukaan tulang sementara tidak didapatkan adanya sel kecuali beberapa sel mononuclear yakni makrofag, kemudian akan terjadi degradasi kolagen lebih lanjut dan terjadi deposisi proteoglycan untuk membentuk coment line yang akan melepaskan faktor pertumbuhan untuk dimulainya tahap formasi. 4) Tahap formasi (formation phase), adalah tahap pada waktu terjadi proliferasi dan diferensiasi prekusor osteoblas yang dilanjutkan dengan pembentukan matrik tulang yang baru dan akan mengalami mineralisasi. Tahap formasi akan berakhir ketika defek (cekungan) yang dibentuk oleh osteoklas telah diisi. Tahapan remodeling tulang tersaji pada Gambar 2:
12
Gambar 2. Tahapan Proses Remodeling Tulang (Compston, 2001) Keterangan : Activation = tahap terjadi aktivasi, Resorption = tahap resorpsi, Formation = tahap formasi, Mineralisation = tahap mineralisasi, Quiscence = tahap tidak terjadi remodeling.
c. Aksi Biologi Reseptor Estrogen Aksi biologi estrogen diketahui melalui reseptor estrogen. Reseptor estrogen (ERs) disintesis oleh beberapa tipe sel dalam dua isoform yaitu ERα dan ERβ. Distribusi ERα dan ERβ terdapat pada berbagai target organ antara lain: endometrium, uterus, oviduct, cervix/vagina, tulang, otak, pembuluh darah dan jantung, sistem imun, kulit, ginjal dan paru (Wierman, 2007), namun ERα lebih lebih dominan dibanding ERβ diberbagai target organ, sedang ERβ lebih banyak ditemukan di ovarium, prostat, paru, dan hipotalamus. Haris (2007) menyatakan ERβ memiliki peran yang lebih kecil dalam memperantarai aksi biologi estrogen di
13
uterus, hipothalamus dan pada tulang dan sebaliknya memiliki peran yang cukup besar pada ovarium, sistem kardiovaskuler dan otak. ER termasuk anggota superfamili dari nuclear receptor. ERs terdiri dari 6 domain (bagian) fungsional yaitu : 1) Domain A/B, merupakan bagian yang aktivasinya tidak tergantung ligan atau disebut bagian transactivation fungtion 1 (AF 1). 2) Domain C, merupakan tempat berikatan dengan DNA (DNA binding domain). Daerah ini memiliki kesaman asam amino sebesar 99 % pada kedua ERs. 3) Domain D, merupakan bagian terdapatnya signal dengan nukleus dan berhubungan dengan domain C. 4) Bagian terminal yaitu domain AF yang merupakan bagian yang berikatan dengan ligan, terjadinya dimerisasi dan fungsi transaktivasi yang tergantung ligan (AF2). Bagian ini memiliki kesamaan asam amino sebesar lebih kurang 58 % (Nilsson et al., 2001). Aksi biologi reseptor estrogen melalui dua mekanisme yaitu, secara klasik yang biasa disebut genomic action (mekanisme genomik) dan non genomic action (mekanisme non genomik) (Bjornstorm and Sjoberg, 2005). Aksi genomik melibatkan reseptor estrogen yang terletak di nukleus (nuclear receptor). Ikatan antara ligan dan reseptor atau molekul yang agonis akan menyebabkan perubahan formasi pada ER dan akan membentuk dimerisasi yaitu homodimer atau heterodimer kemudian akan berikatan dengan daerah promoter yang dinamakan estrogen response
14
element (ERE) pada target gen dan akan mengatur terjadinya proses transkripsi gen. Aksi biologi ini memerlukan waktu yang lama dan sensitif terhadap inhibitor trankripsi demikian halnya dengan inhibitor tranlasi (Losel et al., 2003). Aksi biologi genomik juga terjadi pada sel osteoblas dalam mempengaruhi aktivitas osteogenesis (Almeida et al., 2006). Aksi non genomik melibatkan reseptor estrogen yang berada di luar nukleus (extranuclear) dalam hal ini adalah reseptor estrogen yang berada di membran plasma dan sitoplasma (Razandi et al., 2002). Tidak seperti halnya dengan reseptor pada growth faktor yakni reseptor IGF-I dan EGFR, estrogen tidak memiliki bagian transmembran dan kinase. Oleh karena itu aksi estrogen tersebut melibatkan protein komplek dan molekul signaling antara lain mitogen activated protein kinase (MAPK) dan jalur Akt seperti yang telah diteliti pada sel kanker payudara (Almeida et al., 2006), kanker prostat (Maroni et al., 2004), pada kultur sel endotel (Haynes et al., 2000), kultur sel osteoblas (Kousteni et al., 2003). Pietras tahun 1977 dan Szego tahun 1980 adalah yang pertama kali mengungkapkan adanya reseptor estrogen di membran plasma. ERα pada membran plasma adalah sekitar 5-10 % dan menunjukkan afinitas yang sama dengan yang terdapat pada nukleus dengan berat molekul 66-kDa pada berbagai tipe sel, namun demikian ERα dengan berat molekul 46-kDa dan 36-kDa juga ditemukan (Hammes and Levin, 2007). Seperti halnya reseptor estrogen di nukleus, reseptor estrogen di membran plasma juga menimbulkan efek fisiologi pada berbagai tipe sel
15
yang meliputi pelepasan kalsium, sekresi prolaktin, memicu inositol trifosfat atau nitric oxide dan aktivasi MAPK dan respon yang diberikan tergantung dengan sel target. Estrogen dapat melakukan aksi biologi melalui reseptor ekstranuklear dengan cara berinteraksi langsung dengan faktor pertumbuhan lain yakni reseptor EGF atau melalui membran ER. ER endogen ditemukan dalam jumlah kecil di membran plasma pada chinese hamster ovary (ovarium hamster). Reseptor estrogen tersebut terkonsentrasi di bagian caveolae (kaveol) dari daerah sel target (Razandi et al., 2002). Lebih lanjut Razandi et al., (2003) menyatakan bahwa seperti pada reseptor estrogen di nukleus, reseptor di membran plasma akan membentuk dimer untuk mendukung aksi tranduksi signal secara cepat dan dapat mempengaruhi fungsi fisiologi. Aksi non genomik akan menyebabkan peningkatan aktivitas aksi genomik atau bersifat konvergen atau terjadi integrasi antara aksi non genomik dan non genomik dalam mempengaruhi ekspresi gen (Pedram et al., 2002), namun demikian berdasarkan penelitian Almeida et al., (2006) menunjukkan bahwa aksi non genomik dapat berperan secara lansung pada ekspresi gen tanpa adanya aksi genomik, yang artinya aksi non genomik juga dapat bersifat divergen sebagai contoh adanya ekspresi gen c-fos pada aksi non genomik yang tidak dipengaruhi oleh adanya aksi genomik. Rai et al., (2005) menyatakan aksi biologi reseptor di membran plasma dengan reseptor di nukleus yang diamati pada sel kanker payudara menunjukkan adanya perbedaan, dimana estrogen respon element (ERE) lebih banyak
16
terjadi up regulated oleh reseptor dinukleus sedang aksi non genomik akan mempengaruhi faktor trnskripsi AP-I (Activator protein 1) (Bjornstrom and Sjoberg, 2005). Aksi biologi estrogen genomik maupun non genomik dapat mengaktivasi faktor pertumbuhan lain dalam hal ini IGF-I sehingga terjadi cross-talk antara IGF-I dan Estrogen. IGF-I berperan pada proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas. IGF-I terdapat pada ekstrak tulang dari berbagai spesies dan diketahui sebagai salah satu mitogenik yang jumlahnya cukup banyak baik pada fetus maupun pada tulang dewasa (Kato et al., 2000). Estrogen juga mempengaruhi proses pembongkaran tulang dengan cara menghambat pematangan osteoklas sehingga bisa menghambat resorpsi tulang, Progenitor osteoblas akan mensekresikan RANKL/ODF yang akan membentuk ikatan yang bersifat aktif dengan RANK pada sel progenitor osteoklas dan akan mengakibatkan terjadi pematangan osteoklas sehingga membentuk osteoklas yang fungsional, dan pada saat yang sama juga akan disekresikan faktor penghambat osteoklastogenesis yang dikenal sebagai osteoprotegerin (OPG). OPG kemudian akan berikatan dengan RANKL untuk menghambat osteoklastogenesis. Estrogen meningkatkan sekresi osteoprotogerin yang kemudian akan berikatan dengan RANK ligan untuk kemudian dapat menghambat resorpsi tulang (Arjmandi and Khalil, 2003).
17
4. Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan senyawa dari tumbuhan yang memiliki kemiripan struktur dengan estrogen sehingga dapat menunjukkan sifat agonis pada Estrogen Reseptor (ER). Kemampuan meniru efek estrogen oleh fitoestrogen didasarkan oleh keberadaan senyawa dengan BM setara dengan estrogen (272 g/mol), cincin fenolik sebagai binding site dan memiliki inti dengan dua gugus hidroksil dengan jarak 11,0-11,5A. Terdapat 4 jenis senyawa fitoestrogen yang terkandung di dalam tanaman antara lain flavonoid, coumestan, lignan, dan stilben (Benassayag et al., 2002). 5. Kencur (Kaempferia galanga L.) a. Deskripsi Kencur (Kaempferia galanga, L.) merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh diberbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan
tanaman
kencur
sebagai
hasil
pertanian
yang
diperdagangkan dalam jumlah yang besar. Bagian dari tanaman kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang tinggal didalam tanah yang disebut dengan rimpang kencur atau rizoma (Soeparto, 1986). Daun kencur berbentuk bulat lebar, tumbuh mendatar diatas permukaan tanah dengan jumlah daun tiga sampai empat helai. Permukaan daun sebelah atas berwarna hijau sedangkan sebelah bawah berwarna hijau pucat. Panjang daun berukuran 10-12 cm dengan lebar 8-10 cm
18
mempunyai sirip daun yang tipis dari pangkal daun tanpa tulang tulang induk daun yang nyata (Backer, 1986). Rimpang kencur terdapat didalam tanah bergerombol dan bercabang cabang dengan induk rimpang ditengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian dalam putih berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih kekuningan dengan kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang lebih tua ditumbuhi akar pada ruas ruas rimpang berwarna putih kekuningan. Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari empat helai daun mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil kecil sepanjang 2–3 cm, tidak bercabang, dapat tumbuh lebih dari satiu tangkai, panjang tangkai 5–7 cm berbentuk bulat dan beruas ruas. Putik menonjol keatas berukuran 1–1,5 cm, tangkai sari berbentuk corong pendek. Tanaman kencur dapat dilihat pada gambar 3.
a
b
c
Gambar 3. Tanaman Kencur (Kaemferia galanga, L.) a) tanaman kencur, b) bunga kencur dan c) rimpang kencur (biologionline.info/2014/09/klasifikasikencur.html)
b. Kalsifikasi Klasifikasi Kaempferia Galanga, L. di dalam dunia botani adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
19
Divisi
: Spermaiophyta
Sob Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Subfamili
: Zingiberoideae
Genus
: Kaempferia
Spesies
: Kaempferia galanga L. (Backer, 1986)
c. Kandungan Kimia Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol rimpang kencur pada penelitian Hasanah et al., (2011) terbukti mengandung metabolit sekunder yaitu golongan senyawa flavonoid, polifenol, tanin, monoterpen/seskuiterpen, dan steroid, selain itu kendungan minyak atsiri dalam rimpang kencur antara lain 2,4,6-trimethyl octane 25,03%, 2-butyl-1-octanol 1,49%, Ethyl cinnamate
8,49%,
Limonene
dioxide
1,73%,
Ethyl
ester
3-(4-
methoxyphenyl) 2-propenoic acid 9,19%, Ethyl pmethoxycinnamate 54,07%. Struktur etil p-metoksisinamat terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur etil p-metoksisinamat
20
d. Khasiat Kencur adalah salah satu komponen dari apotek hidup yang sering dijadikan obat tradisional maupun jamu, rempah-rempah, penyedap rasa alami, sampai campuran untuk produk kosmetik. Kencur memiliki banyak sekali manfaat karena terdapat lebih dari 23 jenis zat baik yang dikandungnya, seperti methanol yang bermanfaat untuk melawan bakteri yang menjadi penyebab terjadinya infeksi pada mata. Manfaat kencur yang lainnya, yaitu dapat dijadikan obat batuk, sakit perut, peningkat nafsu makan, hingga digunakan sebagai obat penghilang rasa lelah setelah beraktivitas. Asam p-metoksi sinamat yang terdapat dalam kencur memiliki beberapa fungsi, salah satunya sebagai antiinflamasi. Kencur sebagai antiinflamasi bekerja dengan menghambat produksi dari mediatormediator inflamasi seperti IL-6 dan PGE2 (Nie et al., 2012). 6. Ekstraksi Ekstrak menurut Farmakope Indonesia edisi IV (1995) adalah sedian kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan danmassa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi
bakuyang
ditetapkan.
Proses
pembuatan
ekstrak
memerlukan suatu cairan penyari yaitu suatu cairan yang dapat melarutkan kandungan senyawa kimia yang berkhasiat atau aktif yang ada di dalamtanaman yang diekstraksi (Depkes RI, 2000).
21
Metode ekstraksi ada dua macam yaitu ekstraksi cara dingin dan panas. Metode ekstraksi cara dingin antara lain maserasi dan perkolasi. Metode ekstraksi cara panas antara lain sokletasi, infusa, dekokta, dan refluks. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhausiv extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya yaitu penetesan atau penampungan ekstrak, terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000). 7. Cairan Penyari Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan beberapa faktor antara lain selektifitas, harganya terjangkau, ramah lingkungan, dan keamanan. Cairan penyari yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi adalah air dan etanol karena bersifat universal artinya semua kandungan kimia zat berkhasiat atau zat aktif dapat tertarik, baik yang bersifat polar maupun non polar dan bersifat tidak toksik. Selain itu, cairan penyari harus memenuhi syarat kefarmasian (pharmaceutical grade). jenis penyari yang biasa digunakan adalah air dan alkohol (etanol, metanol) (Depkes RI, 2000). Sebagai
cairan
pengekstraksi,
air
atau
etanol
lebih
disukai
penggunaannya ekstraksi air dari suatu bagian tumbuhan dapat melarutkan gula, bahan lendir, amina, tannin, vitamin, asam organik, garam organik serta bahan pengotor lain. Sedangkan jika etanol sebagai cairan pengekstraksi
22
mampu menarik bahan balsam, klorofil, dan hanya sedikit menarik asamoraganik, garam anorganik dan gula (Voigt, 1994). Etanol tidak menyebabkan pembegkakan membrak sel, sehingga memperbaiki stabilitas zat yang berasal dari tanaman yang terlarut. Ekstrak etanol 70% dapat menganduk bahan aktif yangoptimal,. Bahan pengotor hanya terlarut dalamsenyawa kecil dalam etanol 70% (Voigt, 1994). 8. Ovariektomi Studi osteoporosis postmenopausal memiliki kendala untuk dipelajari karena merupakan penyakit yang terbatas bagi manusia. Penggunaan model hewan akan mengurangi masalah yang berhubungan dengan mempelajari penyakit osteoporosis pada manusia, seperti waktu dan variabilitas dalam perilaku subjek tes. Bahkan studi klinis sangat mahal dan memerlukan jangka waktu yang lebih lama, yang merupakan salah satu alasan lagi yang menjelaskan mengapa model hewan memainkan peran penting dalam memahami penelitian osteoporosis (Khajuria et al., 2012). Hewan yang paling umum digunakan untuk menyelidiki osteoporosis adalah tikus karena murah, mudah rumah, tumbuh pesat, banyak tersedia dan masyarakat umum sudah terbiasa dengan peran tikus untuk digunakan dalam research. Ovariektomi merupakan metode pengangkatan ovarium dengan cara operasi. Ovariektomi pada tikus betina dapat dilakukan dalam berbagai cara dan pemilihan metode operasi untuk ovariektomi sangat penting, terutama ketika jumlah hewan yang sangat tinggi dan durasi percobaan pendek. Ada terutama dua jenis sayatan yang digunakan untuk melakukan ovariektomi
23
pada tikus betina yaitu dua sayatan kulit punggung dan satu sayatan dorsolateral (Khajuria et al., 2012). Metode ovariektomi tikus melalui dua sayatan kulit punggung dan satu sayatan dorsolateral atau perut dapat dilihat pada gambar 5 dan 6.
A
B
C
Gambar 5. Ovariektomi dua sayatan daerah punggung. A. Bulu di area operasi dicukur; B. Sayatan horizontal 1 cm dilakukan pada punggung kanan, lalu jaringan ovarium di potong; C. Bekas sayatan dijahit. Perlakuan diulang pada punggung bagian kiri. (protap ovariektomi CCRC UGM)
A
B
C
Gambar 6. Ovariektomi satu sayatan dorsolateral. Kerangan: A. Sayatan tunggal 1 cm dibagian perut; B. Uterus ditarik keluar hingga ovarium terlihat jelas kemudian ovarium dipotong; C. Uterus dikembalikan kedalam rongga perut dan sayatan dijahit (Khajuria et al., 2012).
9. Uji Densitas Tulang Alat Bone Densitometri digunakan untuk mengukur massa tulang terutama bagi mereka yang rentan terhadap fraktur (patah). Pemeriksaan ini bermanfaat dalam mengindentifikasi penurunan masa tulang seseorang sehingga meminimalkan resiko fraktur, mencegah terjadinya fraktur di masa yang akan datang dan dapat memonitor terapi untuk menjaga massa tulang.
24
Densitometer umumnya digunakan untuk mendiagnosis kepadatan tulang yang rawan keropos (osteoporosis) dengan mengukur kepadatan mineral tulang. Sistem kerja alat ini ada yang dapat mengukur lumbal, pangkal paha, lengan bawah ataupun tulang tumit saja. Densitometer dapat digunakan sebagai deteksi dini adanya patah tulang (Tandra, 2009). Bone
densitometer
atau
juga
disebut
Dual
Energy
X-ray
Absorptiometry (DEXA). Mesin ini memungkinkan pengukuran kepadatan tulang belakang, tulang paha dan pergelangan tangan, serta komposisi tubuh total (lemak). Pandangan lateral tulang belakang juga dapat diperoleh untuk deteksi fraktur. Bonedensitometer secara ilmiah terbukti sebagai metode terbaik untuk pengukuran kepadatan tulang (Tandra, 2009). Pemeriksaan
energi
ganda
X-Ray
Absorpitometry
(DEXA)
memperkirakan jumlah konten mineral tulang di daerah tertentu dari tubuh. Pemeriksaan DEXA mengukur jumlah x-sinar yang diserap oleh tulang dalam tubuh. Pemeriksaan memungkinkan ahli radiologi untuk membedakan antara tulang dan jaringan lunak, memberikan estimasi yang sangat akurat dari kepadatan tulang. Scan kepadatan tulang lebih cepat dan tidak memerlukan suntikan radionuklida serta bebas rasa sakit. Tes kepadatan tulang (DEXA) juga dapat digunakan untuk menentukan apakah obat tertentu yang meningkatkan kekuatan kepadatan tulang dari waktu ke waktu. Macammacam densitometer yaitu (Tandra, 2009) : 1. SPA (Single Photon Absorptiometry) untuk mengukur pergelangan tangan.
25
2. SXA (Singel Energy x-ray absorptiometry) untuk mengukur pergelangan tangan atau tumit. 3. Ultrasound untuk mengukur densitas tulang tumit, digunakan untuk skrining 4. QCT (Quantitative Computed Tomography) untuk mengukur belakang dan pinggang. 5. DEXA untuk mengukur tulang belakang, pinggul, atau seluruh tubuh. 6. PDXA (Peripheral Dual Energy x-ray Absorptiometry) untuk mengukur pergelangan tangan, tumit atau jari. 7. RA (Radiographic Absorptiometry) menggunakan sinar x pada tangan atau sepotong metal kecil untuk menghitung kepadatan tulang. 8. DPA (Dual Photo Absorptiometry) untuk mengukur tulang belakang, pinggang atau seluruh tubuh. Pengujian densitas tulang dilakukan di Laboratorium Fisika Citra Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada menggunakan alat yang terdapat pada Gambar 7 sebagai berikut :
Gambar 7. Densitometer
26
F. Landasan Teori Wanita menopause mengalami penurunan fungsi indung telur sehingga mengakibatkan defisiensi estrogen (Kregel and Zhang, 2007). Berkurangnya kadar estrogen dalam tubuh dapat menyebabkan penurunan densitas tulang yang bisa meningkatkan resiko osteoporosis (McDougal et. al., 2002), namun resiko tersebut bisa dicegah dengan asupan fitoestrogen. Senyawa fitoestrogen akan menggantikan fungsi estrogen (Benassayag et al., 2002) dalam memodulasi kepadatan tulang sehingga menurunkan resiko osteoporosis pada wanita menopause. Hasanah et al., (2011) menyebutkan bahwa ekstrak etanol rimpang kencur mengandung flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa fitoestrogen (Benassayag et al., 2002), selain itu penelitian ilmiah mengenai efek estrogenik rimpang kencur sudah dilakukan melalui uji in Silico oleh Setyaningsih, (2016). Hasilnya diketahui bahwa etil p-metoksisinamat memiliki afinitas yang baik pada reseptor estrogen β yang banyak terdapat pada bagian tulang, sehingga efek estrogenik rimpang kencur diduga mampu meningkatkan densitas tulang. Percobaan dilakukan secara in vivo menggunakan model hewan uji tikus terovariektomi. Ovariektomi merupakan metode yang biasa digunakan untuk mengkondisikan hewan uji terdefisiensi estrogen. G. Hipotesis Berdasarkan landasan teori diatas, dapat ditarik hipotesis bahwa ekstrak etanol rimpang kencur mampu meningkatkan densitas tulang tikus betina galur Wistar terovariektomi.