1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh dunia. Pada tahun 1996, Indonesia mengekspor cabai merah sebesar 1.788.760 kg dengan nilai impor US$ 1.667.794 (Anonim, 1998). Peningkatan pertumbuhan penduduk di Indonesia menyebabkan permintaan cabai dalam negeri terus meningkat setiap tahun (Herlinda dkk., 2007). Pada tahun 2011, produksi cabai merah di Indonesia sebesar 857.191 ton (Anonim, 2011). Industri lokal yang menggunakan cabai sebagai bahan baku antara lain industri pengawetan daging, pelumatan buah dan sayur, tepung, mie, roti, kue, kecap, kerupuk, dan bumbu masak. Cabai merah menjadi salah satu komoditas pangan dengan nilai ekonomi tinggi. Selain dikonsumsi masyarakat sebagai bahan pangan, cabai merah mengandung senyawa aktif yang memiliki efek farmakologi dalam tubuh seperti kapsikol dan capsaicin. Kapsikol dapat melancarkan sekresi asam lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan (Wirakusumah, 2002). Kapsikol termasuk dalam golongan minyak atsiri sehingga dapat menggantikan kayu putih yang berfungsi mengurangi pegal dan gatal. Cabai merah mengandung sekitar 0,5% capsaicin (Ekawaty, 2005). Capsaicin memiliki efek peningkatan peredaran darah, anti rematik, anti alergi, dan analgesik. Capsaicin juga dapat mengeluarkan lendir dari paru-paru sehingga dapat mendukung terapi bronkitis, influenza,
2
masuk angin, sinusitis, dan asma (Wirakusumah, 2002). Selain itu, cabai merah juga mengandung flavonoid dan antioksidan yang berguna untuk mencegah kanker (Ekawaty, 2005). Cabai merah merupakan komoditas bahan pangan yang penting. Oleh karena itu, cabai merah perlu memenuhi kriteria Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Keamanan pangan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat sehingga kualitas dan keamanan cabai merah perlu ditingkatkan. Logam berat merupakan elemen penyusun tanah. Logam berat ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk proses metabolisme. Namun, jika konsentrasi logam berat tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan toksisitas. Adanya logam berat dalam tanah pertanian dapat menurunkan kualitas hasil pertanian serta membahayakan kesehatan manusia melalui konsumsi bahan pangan yang dihasilkan tanaman yang tercemar logam berat tersebut (Subowo dkk., 1999). Logam berat yang banyak terdapat dalam tanaman yang tercemar logam berat adalah kadmium (Cd), timbal (Pb), dan raksa (Hg). Logam berat masuk ke dalam tanah melalui penggunaan bahan kimia yang langsung mengenai tanah, penimbunan debu, hujan, pengikisan tanah, dan limbah industri (Darmono, 1995). Kandungan logam Cd dan Pb di dalam tanah yang tercemar limbah industri tekstil yakni 0,05-0,19 dan 8-23 mg/kg (Suganda dkk, 2002). Pupuk sumber fosfor merupakan salah satu sumber pencemaran logam berat di tanah. Pupuk tersebut mengandung P2O5, Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, serta beberapa jenis unsur logam berat. Logam berat yang terkandung dalam pupuk
3
tersebut berasal dari bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan pupuk. Kandungan Cd, Pb dan Hg dalam pupuk berkisar antara 1-113, 5-156, dan 9 ppm (Setyorini dkk., 2002). Hal ini menyebabkan sejumlah kangkung dan bayam yang dijual di Bogor mempunyai kadar Pb di atas ambang batas cemaran logam berat (Ayu, 2002). Penggunaan pestisida yang berlebihan dilakukan dalam budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti cabai (Sumarni dan Rosliani, 1996). Residu bahan aktif pestisida dalam cabai di Jawa Barat adalah 6,4 ppb BHC, 0,2 ppb klorpirifos, 0,5 ppb endosulfan, 48,2 ppb karbofuran, dan 1,0 ppb dieldrin (Abdul, dkk). Kandungan residu pestisida pada beberapa komoditas cabai merah di Indonesia telah melebihi ambang batas yang ditetapkan. Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan menyebabkan terakumulasinya logam berat dalam tanah (Charlena, 2004). Logam berat dapat diserap akar dan didistribusikan ke dalam jaringan tanaman (Darmono, 2001 cit Alloway, 1990). Tubuh manusia dapat menyerap logam berat melalui saluran pencernaan pada saat mengonsumsi bahan pangan yang terkontaminasi logam berat. Keamanan dan mutu hasil pertanian menjadi turun karena logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga mengganggu kesehatan manusia. Cd bersifat nefrotoksik, sitotoksik, dan karsinogenik (Kumar dan Singh, 2010). Pb memiliki efek toksik terhadap sistem saraf dan ginjal (Weeden, 1982). Hg bersifat toksik terhadap sistem renal dan saraf serta mampu melewati sawar plasenta sehingga menyebabkan efek toksik pada janin (Anonim, 2003).
4
Untuk melindungi konsumen, beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkan batas aman cemaran logam berat pada makanan. Direktorat Jenderal Badan Pengawasan Obat dan Makanan Indonesia telah mengeluarkan Keputusan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan untuk Sayuran Segar yang menetapkan batas keamanan Cd, Pb, dan Hg adalah 0,2; 0,5; dan 0,03 mg/kg bahan (Anonim, 2009). Oleh karena itu, kadar Cd, Pb, dan Hg pada cabai merah dapat menjadi salah satu parameter keamanan untuk menjamin kualitas dan keamanannya dikonsumsi oleh manusia. Untuk mendapatkan metode analisis yang baik, validasi metode perlu dilakukan. Validasi metode analisis merupakan salah satu cara untuk penjaminan mutu analisis kuantitatif. Metode yang sering digunakan dalam penentuan logam berat adalah spektrofotometri serapan atom (Chaldas dan Machado, 2004). Penggunaan SSA untuk analisis logam berat yang telah dilakukan antara lain analisis Cd, Pb, dan Hg pada tanaman obat di Brazil (Chaldas dan Machado, 2003); analisis Pb dan Cd pada suplemen diet (Garcia-Rico dkk., 2007); dan analisis Cd pada cokelat (Dickson, 2010). Hg biasanya ditetapkan kadarnya menggunakan metode SSA uap dingin dengan mereduksi Hg yang ada dalam sampel (Ertas dan Tezel, 2005). Meskipun demikian, saat ini dikembangkan instrumen yang dirancang khusus untuk penentuan Hg yaitu Mercury Analyzer. Melalui kajian pustaka, analisis kandungan Cd, Pb, dan Hg pada cabai merah belum pernah dilaporkan. Studi ini bertujuan untuk melakukan validasi metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Nyala untuk analisis Cd dan Pb serta Mercury Analyzer untuk Hg pada cabai merah. Hasil penelitian ini
5
diharapkan dapat memberikan gambaran parameter validasi metode analisis yang dapat digunakan menjadi acuan peneliti lain dalam menganalisis Cd, Pb, dan Hg pada cabai merah.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut 1. Bagaimana gambaran parameter validasi metode analisis Cd dan Pb pada cabai merah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Nyala ? 2. Bagaimana gambaran parameter validasi metode analisis Hg pada cabai merah dengan Mercury Analyzer ? 3. Bagaimana penerapan metode yang divalidasi ini pada penetapan logam Cd, Pb, dan Hg pada cabai merah yang ada di pasaran ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Melakukan validasi metode analisis Cd dan Pb pada cabai merah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Nyala. 2. Melakukan validasi metode analisis Hg pada cabai merah dengan Mercury Analyzer. 3. Menerapkan metode yang divalidasi ini pada penetapan logam Cd, Pb, dan Hg pada cabai merah yang ada di pasaran.
6
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi gambaran parameter validasi metode analisis Cd dan Pb pada cabai merah dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom Nyala, serta validasi metode analisis Hg dengan menggunakan Mercury Analyzer. Informasi ini dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti lain untuk menerapkan metode analisis ini pada penetapan kadar Cd, Pb, dan Hg dalam cabai merah.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Cabai merah (Capsicum annum L.) Dalam tata nama ilmiah, klasifikasi tanaman cabai merah (Gambar 1)
adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledon
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annum L. (Rukmana, 2001)
7
Gambar 1. Cabai merah (Capsicum annum L.) . Tanaman cabai termasuk dalam jenis tanaman perdu. Tinggi tanaman cabai sekitar 50-120 cm. Ujung akar tanaman cabai dapat menyebar dan menembus tanah dengan kedalaman 10-15 cm. Daun cabai berbentuk lonjong dan bagian ujungnya meruncing dengan panjang daun berkisar antara 10-14 cm serta lebar daun berkisar antara 1,5 hingga 4 cm. Bentuk dan ukuran buah bervariasi tergantung varietasnya (Samadi, 2007). Cabai merah memiliki panjang sekitar 915 cm, diameter sekitar 1-1,75 cm, dan berat sekitar 7,5 gram/buah (Sastradiharja dan Firmanto, 2011). Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin-vitamin, dan senyawa-senyawa alkali seperti capsaicin, flavonoid, dan minyak atsiri seperti kapsikol (Zulfitri, 2003).
2. Logam Berat Logam berat merupakan istilah yang digunakan untuk unsur-unsur transisi yang mempunyai massa jenis atom lebih besar dari 5 g/cm3 (Darmono, 1995). Kadmium (Cd), timbal (Pb), dan raksa (Hg) merupakan logam berat yang berasal dari luar tanah dan berkaitan erat dengan kesehatan manusia, pertanian, dan
8
ekotoksikologi (Darmono, 1995 cit Alloway, 1995). Logam berat masuk ke dalam tanah melalui penggunaan pupuk dan pestisida, penimbunan debu, hujan, pengikisan tanah, dan limbah industri (Darmono, 1995). Tabel I menunjukkan berbagai jenis industri yang menggunakan bahan baku logam berat yang memiliki potensi untuk mencemari lingkungan.
Tabel 1. Jenis-jenis industri yang menggunakan bahan baku potensial mengandung unsur-unsur logam berat (Anonim, 2000) Jenis Industri Cd Pb Hg Plastik /resin + + Farmasi dan kosmetik + + Klorin + Elektroplating + Cat anti karat + Tekstil + Keramik + + + Penyamakan kulit + Pulp dan kertas + + Baterai dan accu + + + Sabun/detergen + + Logam + Pestisida + + + Keterangan : + = ada, - = tidak ada
Absorbsi logam berat dalam tanaman dapat terjadi melalui akar, daun, dan stomata dengan translokasi. Transpor ini terjadi dari sel ke sel menuju jaringan vaskuler agar dapat didistribusikan ke seluruh tumbuhan (Soemirat, 2003). Akumulasi logam pada tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi logam dalam tanah, jenis logam, pH tanah, dan spesies tanaman yang sensitif terhadap logam berat tertentu. Akumulasi logam berat yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
9
kadar logam berat pada hasil pertanian yang dipanen kemudian akan masuk ke dalam siklus rantai makanan (Darmono, 2001). Hasil pertanian yang tercemar logam berat tanpa sadar dikonsumsi oleh manusia. Meskipun logam berat yang dikonsumsi dalam konsentrasi yang sangat rendah, namun logam berat dapat terakumulasi di dalam tubuh manusia. Akumulasi pada jaringan tubuh manusia dapat menimbulkan penyakit apabila melebihi batas toleransi. Di dalam tubuh, logam berat berikatan dengan gugus sulfhidril sehingga fungsi enzim pada siklus Krebs terganggu sehingga proses oksidasi fosforilasi tidak terjadi. Logam berat memiliki efek langsung pada jaringan yakni menyebabkan kematian sel (nekrosis) pada lambung dan saluran pencernaan, dan kerusakan pembuluh darah, hati, dan ginjal (Charlena, 2004).
a. Kadmium Kadmium (Cd) adalah logam putih keperakan dengan titik lebur 321°C. Dalam tabel periodik unsur, Cd termasuk dalam golongan IIB dengan massa atom 112,41 dan valensi +2 (Claasen, 2001). Cd memiliki nomor atom 48 dengan konfigurasi elektron adalah [Kr] 4d10 5s2. Logam ini memiliki potensial elektroda yang negatif sehingga dapat larut dalam asam encer dengan melepaskan atom hidrogen (Vogel, 1990). Cd dapat teroksidasi dengan membentuk oksida logam (CdO) yang tidak larut air (Anonim, 2006). Kadmium dapat bereaksi dengan asam nitrat, asam klorida, dan asam sulfat untuk membentuk garam yang larut dalam air (Vogel, 1990).
10
Peningkatan kandungan kadmium dalam tanah dapat berasal dari limbah rumah tangga, udara, asap kendaraan bermotor dan pupuk fosfat yang terakumulasi dalam tanah. Kadar Cd di udara biasanya dalam rentang nanogram per meter kubik. Kadar Cd di air yang tidak terkontaminasi sekitar 1 μg/L (Frank, 1995). Tanaman dapat menyerap kadmium yang kemungkinan berasal dari tanah yang sebelumnya telah terkontaminasi kadmium dari udara, air atau pupuk yang mengandung kadmium (Claasen, 2001). Tanaman biasanya menyerap sekitar 15% larutan kadmium yang ditambahkan ke dalam tanah. Akumulasi dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan kandungan kadmium dalam tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Intoksikasi Cd ke tubuh manusia yang paling banyak terjadi adalah dari makanan yang berasal dari tanaman. Cd dapat berikatan dengan sel darah merah dan terakumulasi dalam ginjal dan hati. Cd juga dapat berikatan dengan protein sebagai metalotionin. Metalotionin mengandung unsur sistein sehingga Cd akan terikat dengan gugus sufhidril (-SH) dalam enzim (Hodgson, 2000). Toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat (Darmono, 2001). Selain itu, Cd juga dapat menstimulasi produksi radikal bebas yang menimbulkan berbagai penyakit pada manusia (Waisberg dkk, 2003).
b. Timbal Timbal (Pb) merupakan logam berwarna abu-abu kebiruan. Pb memiliki nomor atom 82 dengan konfigurasi elektron adalah [Xe] 4f14 5d10 6s2 6p2. Logam
11
ini digunakan dalam pembuatan baterai, solder, perisai radiasi, pipa dan pelapis pada kabel listrik. Pb bereaksi dengan asam klorida dan asam sulfat menghasilkan senyawa garam yang tidak larut serta bereaksi dengan asam nitrat menghasilkan senyawa garam yang larut air (Vogel, 1990). Pb dapat diabsorbsi ke dalam tubuh melalui inhalasi, saluran pencernaan dan kontak dengan kulit. Tanaman dapat mengabsorbsi Pb yang berasal dari tanah yang tercemar logam berat (Juberg, 2000). Pb menganggu permeabilitas sawar darah otak (Ruan dan Gu, 1999) serta berpindah ke janin melalui plasenta (Goyer, 1990). Akumulasi Pb dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada ginjal (Weeden, 1982).
c. Raksa Raksa (Hg) adalah logam berwarna putih keperakan yang berwujud cair pada temperatur kamar (Vogel, 1990). Hg memiliki nomor atom 80 dengan konfigurasi elektron [Xe] 4f14 5d10 6s2. Bila Hg dipanaskan, logam ini akan berubah wujud menjadi gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Hg dapat bereaksi dengan senyawa karbon membentuk persenyawaan organik seperti metil raksa (Anonim, 2005). Hg terabsorbsi ke dalam tubuh melalui kulit, pernafasan, dan makanan. Sebagian besar Hg dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan dan makanan. Raksa dapat menyebabkan toksisitas pada sistem saraf serta dapat melewati sawar plasenta (Anonim, 2003). Logam ini apabila terakumulasi di ginjal dapat menyebabkan kerusakan pada sistem renal (Anonim, 2005).
12
3. Destruksi Sampel Dalam penetapan kadar elemen sekelumit (trace element) dalam matriks sampel yang banyak mengandung senyawa organik seperti tanaman, perlu dilakukan tahapan destruksi sampel terlebih dahulu (Soylak dkk., 2004). Destruksi sampel dapat mendekomposisi seluruh komponen organik dan membebaskan elemen logam dari matriks sampel. Metode yang sering digunakan untuk destruksi sampel antara lain metode pengabuan kering (dry ashing) dan digesti basah (wet digestion). Metode pengabuan kering dilakukan dalam tungku dengan temperatur sekitar 450°C. Residu dari pengabuan ini dilarutkan dalam asam nitrat lalu larutan ditepatkan volumenya dengan labu takar untuk dianalisis lebih lanjut. Metode pengabuan kering tidak cocok digunakan untuk beberapa elemen yang volatil karena penggunaan temperatur yang tinggi akan menyebabkan hilangnya sejumlah analit akibat penguapan. Penguapan elemen toksik seperti raksa dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan sehingga analisis Hg tidak sesuai jika menggunakan destruksi pengabuan kering (Hoenig, 2001). Digesti basah merupakan metode destruksi sampel yang paling banyak digunakan. Keuntungan dalam penggunaan metode digesti basah dibandingkan pengabuan kering adalah prosesnya yang lebih cepat dan temperatur yang digunakan rendah sehingga cocok untuk beberapa elemen yang volatil. Temperatur pemanasan yang digunakan dalam digesti basah tidak boleh melebihi titik didih asam atau campuran asam yang digunakan. Tabel II menunjukkan
13
beberapa asam mineral yang umum digunakan pada metode digesti basah (Matusiewiz, 2003).
Tabel II. Asam mineral yang digunakan pada metode digesti basah (Matusiewiz, 2003) Berat Kadar Densitas Titik didih Senyawa Molekul (% b/b) (kg/L) (°C) Asam klorida (HCl) 36,46 36 1,19 110 Asam fluorida (HF) 20,01 48 1,16 112 Asam nitrat (HNO3) 63,01 68 1,42 122 Asam perklorat (HClO4) 100,46 70 1,67 203 Asam fosfat (H3PO4) 98,00 85 1,71 213 Asam sulfat (H2SO4) 98,08 98 1,84 338
Asam atau campuran asam yang akan digunakan harus menghasilkan pelarutan analit yang diinginkan. HCl dapat melarutkan garam-garam dari asam lemah, logam-logam di atas potensial reduksi standar hidrogen, dan berbagai jenis oksida. H2SO4 memiliki titik didih yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk dekomposisi berbagai jenis sampel organik. HNO3 dapat melarutkan hampir semua logam kecuali alumunium dan kromium. HClO4 merupakan agen pengoksidasi yang sangat poten melalui pembentukan garam perklorat yang sangat larut air (Twyman, 2005).
4. Spektrofotometri Serapan Atom Nyala Pada tahun 1955, spektrofotometri serapan atom telah dikembangkan oleh Walsh, Alkamede, dan Melatz untuk analisis logam dalam sampel (Mulja dan Suharman, 1995). Analisis logam dengan SSA didasarkan pada penyerapan energi sinar tampak atau ultraviolet oleh atom-atom netral (Gandjar dan Rohman,
14
2007). Sampel yang akan dianalisis dengan SSA harus dalam bentuk larutan yang encer dan jernih, supaya dapat diuapkan ke dalam nyala dan diubah menjadi bentuk uap atomnya, sehingga nyala akan mengandung atom-atom yang akan dianalisis. Meskipun sebagian besar proses atomisasi memerlukan temperatur yang tinggi, akan tetapi atom bebas dari elemen Hg dapat ditemukan pada temperatur kamar. Hg dapat diukur dengan teknik SSA tanpa pemanasan yang dikenal dengan istilah SSA uap dingin (Beaty dan Kerber, 1993). Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu tergantung pada energi yang dibutuhkan untuk mengubah tingkat elektronik atom tersebut (Ma dan Gonzales, 1997). Absorbsi terjadi jika elektron mengabsorbsi energi radiasi sehingga elektron tersebut berpindah dari tingkat energi yang rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Dengan mengukur jumlah cahaya yang diserap, maka penentuan jumlah analit secara kuantitatif dapat dilakukan. Penggunaan sumber sinar dan pemilihan panjang gelombang yang tepat dapat menghasilkan analisis kuantitatif yang spesifik terhadap elemen yang diinginkan (Beaty dan Kerber, 1993).
a. Pengukuran pada SSA Nyala Pada SSA Nyala, sampel dalam bentuk larutan encer mengalir melalui pipa kapiler dan dinebulisasi oleh aliran gas pengoksidasi sehingga menghasilkan aerosol. Aerosol yang terbentuk bercampur dengan bahan bakar menuju ke pembakar (burner). Aerosol tersebut dicampur dengan gas pembakar seperti campuran asetilen-udara dalam sel sampel kemudian dibakar pada nyala dengan
15
temperatur 2100-2800°C. Selama pembakaran, atom elemen yang dianalisis akan direduksi menjadi bentuk bebas pada kondisi tidak tereksitasi. Bentuk atom bebas tersebut yang dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang yang spesifik tergantung karakteristik masing-masing logam (Ma dan Gonzales, 1997). Ilustrasi proses yang terjadi dalam nyala ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Skema proses terjadinya nyala (Noviana, 2011 cit Christian, 2003)
b. Instrumentasi SSA Nyala Instrumen SSA terdiri dari sumber sinar, sel sampel, monokromator dan detektor. Sistem peralatan SSA yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.
Nyala
Katoda berongga Sumber sinar Sampel
Gas pembakar
Monokromator
Elektronik dan sistem pembacaan hasil
Gambar 3. Instrumentasi SSA nyala (Ferantika, 2011 cit Kellner dkk., 1998)
16
1). Sumber sinar Sumber sinar pada SSA yang dapat digunakan adalah lampu katoda berongga, electrodeless discharge lamp (EDL), dan sinar kontinyu. Sumber sinar yang paling banyak digunakan pada SSA Nyala adalah sumber sinar tunggal berupa lampu katoda berongga (Kellner dkk., 1998). Lampu katoda terbuat dari gelas yang di dalamnya terdapat katoda dan anoda. Bila antara katoda dan anoda dalam lampu katoda berongga diberi suatu selisih tegangan yang tinggi, maka akan menyebabkan gas-gas pengisi terion oleh anoda (Cantle, 1982). Katoda memancarkan berkas elektron menuju ke anoda dengan kecepatan dan energi tinggi. Elektron tersebut akan bertumbukan dengan Ar sehingga Ar akan kehilangan elektronnya menjadi Ar+. Ketika Ar+ menabrak katoda, atom akan diubah menjadi bentuk uap atomnya. Atom dalam keadaan azas tersebut kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dan memancarkan spektrum pancaran yang sama dengan elemen yang dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007). Tabung ini diisi gas mulia bertekanan rendah seperti neon atau argon (Christian, 1994).
2). Sumber nyala Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya (Christian, 1994). Sumber nyala diperoleh dari campuran berbagai jenis gas pembakar. Sumber nyala yang biasa digunakan adalah udara-propana, udara-asetilen, nitrous oksida-asetilen. Udara-propana ini relatif lebih dingin (1800 °C) dibandingkan jenis nyala lainnya. Nitrous oksida–
17
asetilen ini paling panas (3000 °C). Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi. Untuk sistem nyala udara-asetilen suhu yang dapat dicapai kira-kira sebesar 2200oC (Gandjar dan Rohman, 2007). Beberapa elemen hanya bisa teratomisasi pada temperatur yang sangat tinggi. Pada temperatur yang cukup tinggi, jika terdapat oksigen berlebih maka sejumlah logam dapat membentuk oksida sehingga jumlah atom yang dihasilkan berkurang. Untuk mencegah pembentukan oksida, kondisi nyala dimodifikasi sehingga menghasilkan nyala reduksi. Pemilihan jenis bahan pembakar dan gas pengoksida serta komposisinya yang tepat mempengaruhi suhu nyala, sehingga dalam pengatoman perlu dicari campuran yang sesuai (Mulja dan Suharman, 1995). Tabel III menunjukkan karakteristik sumber nyala pada SSA nyala. Tabel III. Karakteristik sumber nyala pada SSA Nyala (Ma dan Gonzales, 1997 cit. Reynold dan Aldous 1970) Kecepatan nyala Temperatur maksimum Sumber nyala maksimum (cm/s) (°C) Udara-coal gas 55 1840 Udara-propana
82
1925
Udara-hidrogen
320
2050
Udara-50% oksigen-asetilen
160
2300
Dinitrogen oksida-hidrogen
390
2650
Dinitrogen oksida-asetilen
180
2955
Nitrogen oksida-hidrogen
150
2660
Nitrogen oksida-asetilen
90
3095
Oksigen-nitrogen-asetilen
640
2815
Oksigen-asetilen
1130
3060
Oksigen-sianogen
140
4640
18
3). Monokromator Monokromator berada di antara nyala dan detektor (Mulja dan Suharman, 1995). Monokromator digunakan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis (Gandjar dan Rohman, 2007). Monokromator harus mampu melewatkan panjang gelombang pada garis resonansi tertentu. Monokromator kisi difraksi merupakan jenis monokromator yang umum digunakan pada SSA (Cantle, 1982). Cahaya polikromatis yang ditransmisikan oleh nyala akan dijadikan monokromatis kemudian ditangkap oleh detektor. Monokromator yang biasa digunakan adalah kisi (grating) yang sering dikombinasikan dengan prisma yang dinamakan monokromator Echelle.
4). Detektor Sinar dengan panjang gelombang spesifik dari monokromator kemudian diteruskan ke detektor. Detektor berfungsi untuk mengubah energi cahaya menjadi arus listrik (Mulja dan Suharman, 1995). Detektor yang dapat digunakan pada SSA adalah tabung penggandaan foton (photo multiflier tube) dan charged coupled device (CCD). Detektor yang banyak digunakan pada SSA adalah tabung penggandaan foton. Arus listrik dari tabung penggandaan foton kemudian diamplifikasi dan diproses untuk menghasilkan sinyal yang menunjukkan besarnya absorbsi sinar yang terjadi pada sel sampel (Beaty dan Kerber, 1993).
19
5). Readout Readout merupakan sistem pencatatan hasil yang dilakukan oleh suatu alat yang sebelumnya telah dikalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbansi (Gandjar dan Rohman, 2007). Readout yang digunakan dalam SSA berfungsi untuk mengubah sinyal yang diterima dalam bentuk digital sehingga dapat mencegah atau mengurangi kesalahan dalam pembacaan skala secara paralaks, kesalahan interpolasi di antara pembacaan skala dan sebagainya, serta menyeragamkan tampilan data yakni dalam satuan absorbansi (Cantle, 1982).
c. Gangguan pada SSA Gangguan pada SSA adalah hal-hal yang dapat menyebabkan hasil pembacaan unsur yang dianalisis lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sebenarnya (Gandjar dan Rohman, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah atom pada kondisi azas ini dapat dikategorikan sebagai gangguan pada SSA. Beberapa gangguan yang umum terjadi pada SSA yakni gangguan spektral, proses ionisasi, gangguan kimia, dan gangguan fisik alat. Gangguan spektral terjadi disebabkan oleh panjang gelombang unsur yang diperiksa berdekatan dengan panjang gelombang atom atau unsur lain yang terdapat dalam larutan yang diperiksa. Selain itu, adanya absorbsi dari komponen yang ada dalam matriks sehingga menaikkan signal absorbansi. Hal ini disebabkan oleh adanya difusi partikel dapat terjadi ketika adanya konsentrasi garam yang tinggi dalam larutan terserap karena molekulnya tidak bisa terdisosiasi dalam bentuk atom (Kellner dkk., 1998).
20
Gangguan pada proses ionisasi terjadi pada unsur-unsur yang mudah mengalami ionisasi dalam nyala. Proses ionisasi ini dapat terjadi jika suhu nyala yang digunakan untuk atomisasi terlalu tinggi. Unsur-unsur tersebut dapat menambah jumlah elektron bebas yang ada dalam nyala. Hal ini akan menyebabkan serapan dalam SSA menurun. Gangguan ini dapat diatasi dengan cara ekstraksi ion atau gugus pengganggu (Gandjar dan Rohman, 2007). Gangguan kimia yang sering terjadi dalam SSA adalah terbentuknya senyawa refraktori. Senyawa refraktori adalah senyawa yang stabil terhadap pemanasan sehingga tidak terjadi atomisasi pada nyala (Kellner dkk., 1998). Larutan sampel mengandung komponen yang stabil terhadap pemanasan. Hal ini dapat menyebabkan respon absorbansinya berkurang. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan nyala dengan suhu yang tinggi seperti campuran dinitrogen oksida-asetilen. Gangguan fisik alat ini dapat mempengaruhi hasil pembacaan oleh SSA. Hal-hal yang dapat mengganggu dalam hasil pembacaan dengan SSA antara lain kecepatan aliran gas, variasi dalam viskositas sampel yang akan berpengaruh terhadap suhu, atau variasi pelarut. Gangguan ini dapat diatasi dengan lebih sering membuat kurva kalibrasi atau standardisasi.
5. Mercury Analyzer a. Teknik Raksa Uap Dingin (Cold Vapour Mercury Technique) Atom bebas elemen Hg dapat ditemukan pada temperatur kamar sehingga Hg dapat diukur dengan teknik SSA tanpa pemanasan (Beaty dan
21
Kerber, 1993). Hg direduksi menjadi bentuk atom bebasnya yang kemudian didorong oleh udara, gas nitrogen, atau argon menuju sel optik. Ketika atom Hg melewati sel absorbsi dan menyerap radiasi dari sumber sinar, terjadi peningkatan absorbansi terukur yang proporsional dengan peningkatan konsentrasi atom Hg pada sel absorbsi (Shrader dan Hobbins, 2010).
b. Instrumentasi Mercury Analyzer Dasar penetapan kadar Hg dengan instrumen Mercury Analyzer adalah absorbsi atom Hg dalam keadaan azas pada panjang gelombang 253,7 nm pada temperatur kamar. Secara umum instrumen Mercury Analyzer terdiri atas wadah sampel (tempat proses reduksi raksa terjadi), pompa untuk udara atau gas pendorong (argon atau nitrogen), sumber sinar berupa Electrodeless Discharge Lamp (EDL), sel optik (tempat proses absorbsi atomik terjadi), monokromator, detektor, dan bagian readout. SnCl2 atau NaBH4 mereduksi elemen raksa yang terdapat dalam sampel menjadi bentuk atom bebasnya (Shrader dan Hobbins, 2010). Aliran udara yang berasal dari pompa akan mendorong Hg menuju sel absorbsi. Pada sel absorbsi ini, atom Hg akan mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang 253,7 nm. Intensitas sinar yang diteruskan akan dideteksi oleh detektor dan diolah menjadi nilai absorbansi yang besarnya proporsional dengan jumlah analit yang terdapat pada sel absorbsi.
22
6. Validasi Metode Analisis Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Sesuai ISO: 17025, validasi metode ditujukan untuk menjamin bahwa metode analisis memenuhi spesifikasi yang dapat diterima sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Anonim, 2005b). Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa setiap pengukuran serupa yang dilakukan di masa mendatang akan menghasilkan nilai terhitung yang cukup dekat atau sama dengan nilai sebenarnya dari jumlah analit yang terdapat dalam sampel (Gonzalez dan Herrador, 2007). Validasi metode pengukuran dan validasi metode analisis perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa metode yang digunakan sudah valid dan kesalahan (error) yang terjadi masih dalam batas yang diijinkan. Menurut International Conference on Harmonization, validasi metode meliputi linieritas dan rentang linier, sensitivitas yang dinyatakan dengan batas deteksi dan batas kuantitasi, ketelitian, dan ketepatan (Anonim, 1994).
a. Linieritas dan rentang linier Linieritas adalah kisaran konsentrasi yang memberikan korelasi yang baik dan proporsional antara respon dengan konsentrasi analit. Linieritas ditentukan dengan pengukuran pada beberapa konsentrasi analit dan hasilnya dinyatakan dengan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2). Rentang linier merupakan penyataan batas terendah dan tertinggi analit dengan
23
ketepatan, ketelitian dan lineritas yang dapat diterima (Utami, 2010 cit. Snyder, 1997). Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada regresi linier y = a + bx. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1 tergantung pada arah garis (Harmita, 2004). Koefisien korelasi dengan nilai mendekati 1 menunjukkan korelasi yang baik antara konsentrasi analit dengan respon (Harmita, 2004). Menurut Miller dan Miller (2005), suatu analisis dikatakan memiliki korelasi yang baik jika koefisien korelasi ≥ 0,99. Mengacu Eurachem (1998), metode analisis bersifat linier pada rentang konsentrasi tertentu jika R2 yang diperoleh lebih besar dari 0,995.
b. Sensitivitas Sensitivitas merupakan parameter yang menunjukkan besarnya kenaikan respon analitik karena bertambahnya satu satuan konsentrasi. Sensitivitas diukur dari tingkat kemiringan (slope) kurva kalibrasi. Sensitivitas metode memiliki korelasi positif dengan tingkat kemiringan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, maka semakin tinggi sensitivitas metode (Utami, 2010). Sensitivitas metode juga dinyatakan dengan nilai batas deteksi (Limit of Detection) dan batas kuantitasi (Limit of Quantitation). Batas deteksi (LOD) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terkecil yang dapat dideteksi dan dapat dibedakan secara nyata dari nol, tetapi tidak cukup signifikan untuk kuantifikasi, sedangkan batas kuantitasi (LOQ) merupakan konsentrasi terkecil analit yang dapat ditentukan secara kuantitatif dengan tingkat
24
presisi yang dapat diterima (Gonzalez dan Herrador, 2007). Batas deteksi (LOD) merupakan kadar terkecil analit dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan memberikan respon berbeda secara signifikan dibanding dengan respon blangko atau noise (Miller dan Miller, 2005). Meskipun demikian, batas deteksi ini tidak dapat dikuantitasikan, hanya menunjukkan hasil secara kualitatif. Batas kuantitasi (LOQ) merupakan konsentrasi terendah analit yang dapat ditetapkan secara kuantitatif pada nilai presisi yang masih dapat diterima (Gonzales dan Herrador, 2007).
c. Ketelitian (precision) Presisi atau ketelitian adalah ukuran kedekatan hasil dalam suatu seri pengukuran dengan berbagai macam proses sampling pada sampel yang sama bila dilakukan pengamatan berulang (Miller dan Crowther, 2000). Presisi dapat dinyatakan sebagai: 1) Keterulangan (repeatability) yaitu ketelitian pada kondisi percobaan yang sama (berulang baik orangnya, peralatan, tempat, maupun waktunya). 2) Presisi antara (intermediate precision) yaitu ketelitian pada kondisi yang berbeda, baik orang, peralatan, tempat atau waktunya. 3) Ketertiruan (reproducibility) adalah presisi antara laboratorium satu dengan laboratorium lainnya (Ermer dan Miller, 2005) Presisi dapat dinyatakan dengan simpangan baku relatif (RSD). Menurut Gonzales dan Herrador (2007), kisaran nilai RSD yang masih diperbolehkan
25
menurut ketentuan Horwitz dan AOAC Peer Verified Methods (PVM) berdasar level analitnya adalah sebagaimana dalam Tabel IV.
Tabel IV. Nilai RSD yang diperbolehkan menurut Horwitz dan AOAC PVM (Gonzalez dan Herrador, 2007) Horwitz AOAC PVM Analit (%) Fraksi Analit Unit (% RSD) (% RSD) 100 1 100 % 2 1,3 -1 10 10 10 % 2,8 1,8 -2 1 10 1% 4 2,7 -3 0,1 10 0,1 % 5,7 3,7 -4 0,01 10 100 ppm 8 5,3 -5 0,001 10 10 ppm 11,3 7,3 -6 0,0001 10 1 ppm 16 11 -7 0,00001 10 100 ppb 22,6 15 -8 0,000001 10 10 ppb 32 21 -9 0,0000001 10 1 ppb 45,3 30
d. Ketepatan (accuracy) Ketepatan (accuracy) adalah suatu derajat kedekatan hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya. Ketepatan dapat dinyatakan dengan persen perolehan kembali (recovery) terhadap sampel yang kadarnya telah diketahui secara pasti (Harmita, 2004). Menurut Harmita (2004), ketepatan dapat ditentukan dengan tiga cara yaitu: membandingkan dengan standar baku, recovery dengan menambahkan analit ke plasebo, dan penambahan baku pada analit. Untuk mendokumentasikan akurasi, International Conference on Harmonization (ICH) merekomendasikan pengumpulan data dari 9 kali penetapan kadar dengan tiga konsentrasi yang berbeda. Data yang diperoleh selanjutnya dilaporkan sebagai nilai persen perolehan kembali (Gandjar dan Rohman, 2007).
26
Kriteria ketepatan tergantung pada ketelitian metode dan konsentrasi analit dalam matriks. Nilai persen perolehan kembali yang diperoleh dari hasil validasi analisis, sebaiknya memenuhi rentang nilai persen perolehan kembali (% recovery) yang masih diperbolehkan dan tidak menyimpang terlalu jauh dari accepted true value. Menurut Gonzales dan Herrador (2007) penyimpangan persen perolehan kembali (% recovery) yang masih diperbolehkan tergantung pada besar konsentrasi analit dalam sampel. Tabel V menunjukkan persentase perolehan kembali yang masih diperbolehkan sesuai dengan pernyataan AOAC (Gonzalez dan Herrador, 2007).
Tabel V. Persentase perolehan kembali yang diperbolehkan pada studi akurasi menurut AOAC (Gonzales dan Herrador, 2007) Analit (%) Fraksi Analit Unit Rentang perolehan kembali (%) 100 1 100 % 98-102 -1 10 10 10 % 98-102 -2 1 10 1% 97-103 -3 0,1 10 0,1 % 95-105 -4 0,01 10 100 ppm 90-107 -5 0,001 10 10 ppm 80-110 -6 0,0001 10 1 ppm 80-110 -7 0,00001 10 100 ppb 80-110 -8 0,000001 10 10 ppb 60-115 -9 0,0000001 10 1 ppb 40-120
F. Landasan Teori Kadmium (Cd), timbal (Pb), dan raksa (Hg) adalah cemaran dalam cabai merah dalam jumlah sekelumit (trace). Menurut SNI, nilai Batas Maksimum Residu (BMR) Cd, Pb, dan Hg dalam cabai merah adalah 0,2; 0,5; dan 0,03 mg/kg bahan (Anonim, 2009). Oleh karena itu, diperlukan metode analisis yang
27
dapat menetapkan kadar logam Cd, Pb, dan Hg pada tingkat konsentrasi yang rendah di bawah BMR. Spektrofotometri serapan atom (SSA) nyala merupakan methode of choice untuk analisis sekelumit (trace analysis) logam dalam berbagai jenis matriks sampel. SSA nyala ini mendasarkan prinsip absorbsi cahaya oleh atom terjadi pada panjang gelombang tertentu yang sifatnya spesifik bergantung pada energi yang dibutuhkan untuk mengubah tingkat elektronik atom tersebut (Gandjar dan Rohman, 2007). Spektrofotometer serapan atom (SSA) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sensitivitas yang tinggi ditunjukkan dengan kemampuan SSA dalam menganalisis kadar logam Cd dan Pb di bawah 1 ppm (Gandjar dan Rohman, 2007 cit Khopkar, 1990). Spesifisitas yang tinggi ditunjukkan dengan kemampuan SSA dalam menganalisis kadar logam dengan panjang gelombang yang spesifik untuk masing-masing logam sehingga dengan SSA dimungkinkan tidak adanya gangguan pembacaan serapan atom dari logam selain yang akan dianalisis. Penetapan kadar logam kadmium dan timbal dapat dilakukan secara SSA nyala pada panjang gelombang yang spesifik untuk masing-masing elemen yaitu berturut-turut 228,8 nm untuk logam kadmium, dan 217,0 nm untuk logam timbal (Gandjar dan Rohman, 2007 cit Khopkar, 1990). Mercury analyzer merupakan methode of choice untuk analisis Hg. Mercury analyzer merupakan instrumen yang didesain spesifik untuk analisis raksa dengan prinsip pengukuran yang hampir sama dengan SSA yaitu memanfaatkan fenomena absorbsi oleh uap atom raksa. Penetapan kadar raksa dapat dilakukan pada panjang gelombang 253,7 nm (Khopkar, 1990).
28
Sampel yang akan dianalisis dengan SSA harus dalam bentuk larutan yang encer dan jernih (Gandjar dan Rohman, 2007). Cabai merah mengandung banyak komponen organik yang perlu didekomposisi dahulu. Dekomposisi senyawa organik dilakukan dengan destruksi sampel. Destruksi sampel dilakukan sebagaimana dalam Eleyinmi (2002) yakni dengan digesti basah menggunakan campuran asam nitrat-asam perklorat. Campuran asam nitrat-asam perklorat merupakan reagen pengoksidasi kuat yang mampu melarutkan Cd, Pb, dan Hg melalui pembentukan garam nitrat dan perklorat yang larut air (Twyman, 2005). Spektrofotometri serapan atom (SSA) nyala dan teknik Mercury Analyzer dapat dikatakan metode yang valid dalam pengukuran Cd, Pb, dan Hg dalam cabai apabila telah memenuhi parameter validasi metode analisis. Validasi metode analisis dilakukan dengan mengacu International Conference on Harmonization, yaitu dengan menganalisis parameter-parameternya yang meliputi linieritas dan rentang linier, sensitivitas, ketelitian, dan ketepatan (Anonim, 1994).
G. Hipotesis 1.
Validasi metode analisis kadmium dan timbal secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Nyala memberikan hasil yang valid.
2.
Validasi metode analisis raksa dengan teknik Mercury Analyzer memberikan hasil yang valid.
3.
Kedua metode ini dapat diaplikasikan untuk analisis kuantitatif kadmium, timbal dan raksa dalam cabai merah yang ada di pasaran.
logam