BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tingkat kepedulian masyarakat di seluruh dunia terhadap isu-isu lingkungan dan perubahan iklim meningkat pesat akhir-akhir ini. Berbagai gerakan hijau dilakukan untuk melindungi bumi dari efek pemanasan global dengan cara meminimalisir penggunaan energi dan dampak kerusakan lingkungan, salah satunya dilakukan pada sektor konstruksi (Huda, dkk., 2013). Sektor konstruksi layak mendapat perhatian khusus mengingat bahwa bangunan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Bangunan menghasilkan 30-40 persen dari seluruh emisi CO2 di bumi. Oleh karena itu, wajar apabila setiap pengurangan emisi pada bangunan diharapkan dapat memiliki daya ungkit yang besar terhadap upaya antisipasi pemanasan global (Firsani dan Utomo, 2012). Fakta-fakta menarik lain terkait dengan bangunan adalah bahwa bangunan yang ada di dunia telah menghabiskan lebih dari 1/3 sumber daya dunia untuk konstruksinya, menggunakan 40 persen dari total energi global, dan menggunakan 12 persen dari total persediaan air bersih (Widjanarko, 2013). Muncul pula fenomena Sick Building Syndrome (SBS), yaitu permasalahan kesehatan dan ketidaknyamanan yang dialami oleh penghuni bangunan sehingga mempengaruhi produktivitas. Menurut World Health Organization (WHO), 30 persen bangunan gedung di dunia mengalami masalah kualitas udara dalam ruangan (Sudarwani, 2012). Oleh karena itu, wajar apabila pengembangan dan penerapan konsep
1
2
bangunan hijau (green building) yang ramah lingkungan dan nyaman dihuni kini telah menjadi tren internasional. Meskipun telah menjadi tren internasional, namun penerapan konsep bangunan hijau belum begitu populer di Indonesia. Dari sisi regulasi, sepanjang penulis ketahui belum ada peraturan yang secara khusus dan komprehensif mengatur tentang penerapan konsep ini dalam lingkup nasional. Adapun peraturan yang telah terbit adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Selain itu, ada pula Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau. Untuk peraturan yang pertama masih bersifat umum dan belum rinci, sedangkan untuk peraturan yang kedua hanya berlaku regional di Provinsi DKI Jakarta saja. Selain persoalan regulasi, berdasarkan wawancara pendahuluan penulis dengan pengelola gedung, ditemukan adanya persepsi bahwa membangun bangunan hijau membutuhkan biaya investasi yang jauh lebih tinggi. Terdapat pula persepsi sebagian penghuni yang menyatakan bahwa bangunan hijau tidak senyaman bangunan non hijau. Hal-hal tersebut juga ditengarai menjadi penyebab kurang populernya bangunan hijau di Indonesia. Persepsi tersebut didukung oleh Vinyangkoon (2012) yang menyebutkan bahwa bangunan hijau (dengan penghematan energinya) memiliki nilai tambah yang tidak terlalu tinggi mengingat bangunan hijau memerlukan biaya konstruksi dan pemeliharaan yang tinggi pula. Selain itu, hasil penelitian Gou, dkk. (2013) juga menyebutkan bahwa hanya sebagian dari sejumlah bangunan hijau yang diteliti mampu menghasilkan
3
kepuasan dan kenyamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan non hijau, sedangkan sebagian lagi justru menghasilkan kepuasan dan kenyamanan yang lebih rendah. Kondisi di lapangan juga cukup memprihatinkan. Sampai dengan penelitian ini dibuat, di Indonesia baru ada 8 gedung yang telah mendapatkan sertifikat sebagai bangunan hijau dan 38 gedung masih dalam proses sertifikasi. Sementara itu, Singapura yang hanya berupa negara kota telah memiliki sekitar 500 gedung bersertifikat hijau (Green Building Council Indonesia, 2013). Sedikitnya jumlah bangunan hijau di Indonesia tersebut menjadi alasan logis mengapa penelitian tentang bangunan hijau di Indonesia masih sangat jarang dilakukan, sehingga pengetahuan dan bukti empiris terkait performa bangunan hijau di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam penelitian ini penulis mengambil objek penelitian berupa bangunan gedung kantor pemerintah karena pemerintah adalah pihak yang paling berkepentingan
untuk
mengawal
program
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable development). Selain bertanggung jawab membuat regulasi dan kebijakan yang mendukung program tersebut, pemerintah juga wajib memberikan teladan. Dalam konteks ini adalah menerapkan konsep bangunan gedung milik pemerintah yang ramah lingkungan, nyaman untuk dihuni, dan menguntungkan secara ekonomis.
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian terkait bangunan hijau telah cukup banyak dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Pada penelitian ini penulis mengadopsi dan menggabungkan
4
metoda serta alat analisis yang digunakan oleh para peneliti sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah jika penelitian sebelumnya cenderung fokus pada penggunaan energi, persepsi penghuni, atau keuntungan finansial saja, penelitian ini mencoba lebih komprehensif dengan membandingkan antara bangunan hijau dan bangunan non hijau dari semua sisi. Penelitian ini berbentuk studi pada gedung kantor pemerintah, yaitu pada Gedung Utama Kementerian Pekerjaan Umum sebagai sampel bangunan hijau dan Gedung Juanda II Kementerian Keuangan sebagai sampel bangunan non hijau.
1.3 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya adopsi konsep bangunan hijau untuk gedung perkantoran pemerintah di Indonesia yang diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan para pemangku kepentingan dan kurangnya bukti pendukung terkait performa bangunan hijau. Oleh karena itu, penulis menganggap perlu melakukan sebuah perbandingan antara bangunan hijau dengan bangunan non hijau yang digunakan sebagai gedung kantor pemerintah di Indonesia. Hasil perbandingan tersebut diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan bukti empiris terkait performa bangunan hijau.
1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah bangunan hijau lebih hemat energi dan air jika dibandingkan dengan bangunan non hijau?
5
2. Apakah bangunan hijau mampu menghasilkan persepsi kepuasan dan kenyamanan penghuni yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bangunan non hijau? 3. Apakah bangunan hijau membutuhkan biaya yang lebih sedikit selama siklus hidupnya jika dibandingkan dengan bangunan non hijau?
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi performa bangunan hijau dibandingkan dengan bangunan non hijau. Perbandingan dilakukan dari beberapa sisi, yaitu penggunaan energi dan air, persepsi kepuasan dan kenyamanan penghuni, serta biaya yang diperlukan selama siklus hidup bangunan.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan/peraturan yang berkaitan dengan bangunan gedung dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 2. Bagi para investor dan pengembang properti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam mendesain dan mengembangkan bangunan gedung yang sesuai dengan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang.
6
3. Bagi para akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dan salah satu acuan untuk penelitian-penelitian berikutnya.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 5 bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I adalah Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan; Bab II adalah Landasan Teori yang berisi tentang teori, penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian; Bab III adalah Metoda Penelitian yang berisi tentang desain penelitian, metoda pengumpulan data, metoda penyampelan, dan metoda analisis data; Bab IV adalah Analisis yang berisi tentang deskripsi data dan pembahasan; Bab V adalah Simpulan dan Saran yang berisi tentang simpulan, implikasi, keterbatasan, dan saran.