BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi Negara sebagai landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Oleh karena itu, dalam Negara yang menganut paham konstitusional tidak ada satu pun perilaku penyelenggara Negara dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi.1 Undang-undang Dasar menempati tata urutan peraturan perundangundangan tertinggi dalam Negara. Dalam konteks institusi Negara, konstitusi bermakna permakluman tertinggi yang menetapkan antara lain pemegang kedaulatan tertinggi, struktur Negara, bentuk Negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legislative, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga Negara serta hak-hak rakyat.2 Konstitusi dalam sejarah perkembangannya membawa pengakuan akan keberadaan pemerintahan rakyat. Konstitusi merupakan naskah legitimasi paham kedaulatan rakyat. Naskah dimaksud merupakan kontrak
1
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), hal. 7. 2
Ibid., hal. 117
1
sosial yang mengikat setiap warga dalam membangun paham kedaulatan rakyat.3 Konstitusi sudah empat kali mengalami amandemen. Salah satu hasil dari amandemen ketiga, adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan di bidang kehakiman setingkat dengan Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur di dalam Pasal 24 c ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kemudian Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Wewenang yang diberikan kepada MK ada yang berpendapat bahwa MK sebagai lembaga yang super body. Akan tetapi oleh Harjono hal itu dibantah dengan berpendapat, kehadiran MK sebagai lembaga baru tidaklah cukup dipahami secara parsial saja, tetapi harus dipahami sebagai suatu penguatan terhadap dasar-dasar konstitusionalisme pada UUD 1945. Inti dari faham konstitusionalisme adalah bahwa setiap 3
Ibid.
2
kekuasaan negara harus mempunyai batas kewenangan. Selain itu, kehadiran MK berfungsi sebagai guardian of the constitustion atau pengawal konstitusi. Akan tetapi penguatan dasar-dasar konstitusionalisme tersebut terkesan setengah-setengah. Dalam tataran realita, MK sebagai kiblat supreme konstitusi yang dimana setiap masalah konstitusional masyarakat, MK-lah tempat „peraduannya Namun demikian, persolaan pelanggaran konstituisonal warga negara seringkali terbengkalai alias tidak terurus. Hal ini bukan berarti MK enggan menerima dan menyelesaikan persoalan tersebut, melainkan karena belum tegasnya aturan yang menyebut terkait problem pelanggaran konstitusional yang lahir dari kebijakan pemerintah yang kurang responsif. Sehingga mengakibatkan terenggutnya hak dasar warga Negara. Bukan hanya produk pemerintah yang berpotensi atau telah melanggar hak asasi manusia (HAM), melainkan juga putusan pengadilan dan produk administratif seringkali bertolak belakang dengan konsepsi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 ataupun filosofis Pancasila. Di beberapa Negara yang memiliki constitutional
court seperti
MK,
permasalahan
demikian
dinamakan
Constitutional Complaint dan hal ini menjadi wewenang MK di negara masing-masing. Sebagai contoh kasus pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Pembekuan Jama ah Ahmadiyah Indonesia(JAI). Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan apabila JAI atau kelompok masyarakat lain tidak setuju dengan SKB ini, silahkan mengajukan gugatan ke 3
MK. Padahal MK melalui Mahfud MD menyatakan MK tidak mempunyai kompetensi untuk menilai akan hal tersebut karena belum masuk pada domain seperti Constitutional Complaint. Sebagai mantan hakim konstitusi, Mahfud MD juga menyatakan sering menemukan masalah konkret pelanggaran atas hak-hak
konstitusional
warga
Negara
tetapi tidak
tersedia
saluran
penyelesaiannya secara hukum karena belum ada lembaga peradilan yang mempunyai kompetensi untuk meyelesaikannya berdasarkan konstitusi dan hukum. Dari paparan singkat di atas muncul sebuah problem, kemana para pencari keadilan bagi warga Negara Indonesia ketika dihadapkan pada permasalahan seperti hal diatas?. Berkaca atas problem tersebut, maka sangat urgen kiranya menambah atau memperluas kewenangan MK berupa memutus Constitusional
Complaint sebagai
bentuk
penguatan
hak
dasar
konstitusionalisme dan mewujudkan supremasi konstitusi. B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang pemikiran tersebut, maka dapat diidentifikasi pokok permasalahan yang akan dibahas, adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Mahkamah Konstitusi melakukan perlindungan hak konstitusional
warga
Negara
Complaint?
4
tanpa
kewenangan
Constitutional
2. Bagaimanakah upaya hukum bagi warga Negara mengajukan hak konstitusionalnya
berkaitan
dengan
penggunaan
Constitutional
Complaint?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui cara Mahkamah Konstitusi melakukan perlindungan hak konstitusional warga Negara tanpa kewenangan Constitutional Complaint 2. Untuk mengetahui upaya hukum bagi warga Negara mengajukan hak konstitusionalnya berkaitan dengan penggunaan Constitutional Complaint
D. Kegunaan Penelitian 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan dan pengetahuan dalam pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara di Indonesia dan secara khusus untuk melindungi Hak Konstitusional warga Negara 2. Sebagai bahan yang dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan informasi untuk mengetahui urgensi Constitutional Complaint dalam melindungi hak konstitusional warga Negara
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP NEGARA HUKUM Pada zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Ficte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechsstaat. Adapun dalam tradisi Anglo-Saxon, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A. V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah Rechsstaat itu mencakup empat elemen penting,4 yaitu: a. Perlindungan hak asasi manusia b. Pembagian kekuasaan c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang d. Peradilan Tata Usaha Negara Adapun A. V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law,5 yaitu i. Supremacy of law ii. Equality before the law iii. Due process of law 4
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 125. 5
Ibid. hal. 126.
6
Keempat prinsip rechsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip The Rule of Law yang dikembangkan oleh A. V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurists”, prinsip-prinsip Negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang pada zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission fo Jurists” itu adalah sebagai berikut.6 i. Negara harus tunduk pada hukum. ii. Pemerintah menghormati hak-hak individu iii. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Professor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan Negara hukum mateil atau Negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Adapun yang kedua, yaitu Negara Hukum Materil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Oleh karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society membedakan antara rule of law dalam 6
Ibid.
7
arti formil yaitu dalam arti organized punlic power, dan rule of law dalam arti materil yaitu the rule of just law. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan behwa dalam konsepsi Negara hukum itu, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materil. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundangundangan semata, niscaya pengertian Negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di samping istilah the rule of law oleh Friedman juga dikembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial dari pada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyubut konsepsi tentang Negara hukum pada zaman sekarang.7
Sistem Hukum sipil sebagai system hukum Barat merupakan konsep hukum modern yang diadopsi hampir oleh mayoritas bangsa-bangsa di dunia. 7
Ibid. hal. 126-127
8
Sebelum memanifestasi sebagai system hukum yang mapan, ternyata di Eropa pada awalnya system hukum sipil juga mengalami suatu proses transisi dari sistem hukum yang tidak teratur, kacau, tumpang tindih, dan sulit diterapkan. Pluralisme tersebut diperjelas kembali oleh kondisi bahwa orang yang sama untuk kasus yang sama akan berhadapan dengan institusi dan instrumen hukum yang berbeda, sebagai system hukum yang kompleks, hukum susah diterapkan, berubah-ubah, kacau dan sewenang-wenang. Sebabagi contoh, seorang pembantu akan datang ke pengadilan Kota untuk memperoleh perlindungan dari kekejaman tuannya, seorang vassal akan datang ke pengadilan raja untuk melindungi diri dari Tuannya, cleric akan datang ke ecclesiastical court (pengadilan gereja) untuk memperoleh perlindungan dari kesewenang-wenangan raja. Berangkat dari kondisi tersebut, kebebasan untuk berperkara harus tidak ditradisikan lebih lanjut bagi sebuah masyarakat urban komersial. Suatu hal yang perlu dipersiapkan adalah suatu standar yang menjamin berbagai aktivitas komersial khususnya dan ada jaminan secara hukum seperti dalam hal melakukan transaksi komersial, kebebasan berkontrak termasuk contractual security harus dijamin.8 Perkembangan gagasan tentang Negara hukum makin menemukan ciri-cirinya seperti yang kita kenal sekarang sejak abad ke-19. Di Eropa Daratan (Kontinental), yang menganut tradisi civil law, hal itu ditandai oleh 8
Ade Maman Suherman, S.H., M. Sc., Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 55.
9
diterimanya gagasan Rechtsstaat (di Jerman) dan Etat de droit (di Perancis), serta Rule of Law di Negara-negara Anglo-Saxon, khususnya Inggris, yang menganut tradisi common law.9 Istilah hukum sipil yang merupakan terjemahan dari civil law merupakan istilah yang diambil dari sumber hukum sipil itu sendiri pada zaman Kaisar Justinianus yang bernama corpus juris civilis, hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari hukum Roma yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis Justinian dan tersebar ke seluruh Benua Eropa dan seluruh dunia. Ade M. S. 2004:57 menuliskan bahwa Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu: 1. Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode sipil Prancis 1804) dan daerah lainnya di benua Eropa yang mengadopsinya, Quebec dan Lousiana dan 2. Hukum Romawi yang tidak dikodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan). Hukum Kode Sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal yang detail.
9
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hal. 79.
10
Sistem Common Law berkembang di bawah pengaruh system yang bersifat adversarial dalam sejarah England berdasarkan keputusan pengadilan yang berdasarkan tradisi, custom dan preseden. Bentuk reasoning yang digunakan dalam common law dikenal dengan casuistry atau case based reasoning. Common law dapat juga bebentuk hukum tak tertulis ataupun hukum tertulis seperti tertuang dalam statutes maupun codes. Common law diterapkan pada kasus-kasus sipil (sebagai lawan dari kasus criminal) yang dirancang untuk mengkompensasi seseorang dari pelanggaran yang dikenal torts. Torts tersebut dapat berupa tindakan yang dengan sengaja (intentional torts) maupun karena kelalaian seseorang. Saat ini persoalan telah mencakup masalah hukum kontrak termasuk juga hukum pidana atau yang bersifat penal.10 Sementara itu, di Anglo-Saxon, khususnya di Inggris, pemikiran tentang Negara hukum sangat dipengaruhi oleh pemikiran A.V. Dicey, menurut Dicey Negara hukum (rule of law), yang dikatakannya membentuk suatu prinsip fundamental konstitusi, memiliki tiga pengertian atau dapat dilihat dari tiga sudut pandang, dengan demikian, dalam pandangan Dicey, Negara hukum (rule of law) ditandai oleh ciri-ciri atau unsur-unsur: i. supremasi hukum, ii. Persamaan di hadapan hukum, dan iii. Konstitusi
10
Ade Maman Suherman, S.H., M. Sc., Op.Cit., hal. 75.
11
merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak indibidu sebagaimana dipertahankan melalui putusan-putusan pengadilan.11
Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan masyarakat bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan, bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan materiil, mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, social, budaya, dan pertahanan keamanan hingga sisa-sisa kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat di bumi pertiwi, sirna dan hancur tanpa sisa. Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan “Manusia Jawa”. Secara geologi, wilayah nusantara merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Para cendikiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatera sekitar 200 Tahun SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke 5, yaitu kerajaan Tarumaneagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di Pesisir Sungai Mahakam Kalimantan. Meski demikian, sejarah juga mencatat bahwa kejayaan Kerajaan Majapahit yang berumur lebih dari dua abad harus 11
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Op.Cit., hal. 87.
12
berakhir karena Majapahit mengalami Paradoks history setelah Patih Gajah Mada wafat, kerajaan Majapahit mengalami perpecahan semacam malkanisasi di Eropa Timur di akhir abad XX dengan ditandai lepasnya kerajaan-kerajaan yang semula berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi kerajaankerajaan kecil yang berdiri sendiri. Kewaspadaan nasional yamg dimiliki Majapahit sebagai Negara bangsa dalam konteks berbangsa dan bernegara waktu itu sangat lemah, sehingga konflik-konflik yang terjadi menyulut perpecahan yang lambat laun memperngaruhi ketahanan nasional dan menuju ke kehancuran total. Dikondisi demikian, dan seiring dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Nusantara sejak tahun 1521, mulai Spanyol, Potyuhid, krmudian disusul Belanda dengan VOC di tahun 1602, visi wawasan nusantara Mahapatih Gajah Mada pada masa Majapahit benar-benar hancur, ditambah penjajahan Belanda dan Jepang yang berlangsung sekitar 3 setengah abad, meskipun demikian pada tanggal 17 agustus 1945 Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Namun kenyataanya penjajahan kolonial bisa dikatakan baru berakhir dengan tuntas sejak 27 Desember 1949.12 Sejak proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejarah Bangsa Indonesia dimulai dari sejarah menyusun pemerintahan, Politik, dan administrasi Negara. Landasan yang dijadikan pijakan adalah konstitusi dan ideology. Atas 12
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.Cit., hal. 147-152.
13
dasar tersebut, pada 18 agustus 1945, diselenggarakan sidang PPKI yang berhasil menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Dalam rapat BPUPKI yang membahas rancangan Undang-undang Dasar, permasalahan bentuk Negara menjadi salah satu pembahasan yang diperdebatkan secara serius. Usulan bentuk Negara yang muncul pada waktu itu yaitu Negara kesatuan dan Negara federal. Namun kemudian disepakati bentuk Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, sebagaimana tertera dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Soekarno mengulas pemikiran bahwa nasionalisme Indonesia atau Negara kesatuan adalah sebuah takdir. Hal ini terungkap dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yaitu sebagai berikut: “Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecil pun jikalau ia melihat peta dunia ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan , bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di 14
antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai Golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan. Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T sedemikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain segenap kepulauan Yunani adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau selebes saja atau ambon saja atau Maluku saja tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara du benua dan dua samudera itulah tanah air kita.13 Kedaulatan yang dianut dalam Undang-undang Dasar 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum. Hal ini termaktub dalam 13
Ibid., hal. 157.
15
alinea 4 Undang-undang Dasar 1945, “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 1 Undangundang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, serta Negara Indonesia adalah Negara hukum.14 Sebagai Negara hukum, segala tindakan penyelenggara Negara dan warga Negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah hierarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi, yaitu Undang-undang Dasar 1945. Maka, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada aturan hukum yang berpuncak pada Undang-undang Dasar 1945.
Sebaliknya,
hukum
yang
diterapkan
dan
ditegaskan
harus
mencerminkan kehendak rakyat, shingga harus menjamin adanya peran serta warga Negara dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Hukum tidak dibuat untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan untuk menjamin kepentingan segenap warga Negara. Kehendak segenap warga Negara tercermin dalam Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan bentuk kesepakatan umum (general agreement) dari seluruh warga Negara. Oleh karena itu, Undang-undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi. 14
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hal. 7.
16
Segala norma hukum yang lebih rendah dan segala praktik kehidupan kenegaraan dan kebangsaan harus sesuai ketentuan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai pelaksanaan dari konsepsi Negara hukum yang demokratis, diterapkan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antara lembaga Negara (check and balances system). Lembaga Negara itu ada yang berfungsi sebagai wadah mekanisme politik demokrasi, untuk menentukan produk hukum dan kebijakan agar sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat, sekaligus mengawasi pelaksanaannya. Ada pula lembaga yang melaksanakan aturan hukum dan kebijakan. Selain itu, tersedia juga lembaga hukum pelaku kekuasaan kehakiman yang mengadili pelanggaran hukum, sekaligus mengimbangi kekuasaan tersebut agar senantiasa sesuai dengan aturan hukum dan keadilan secara hierarkis. Masing-masing lembaga memiliki format, cara kerja, jumlah anggota dan jabatan yang berbeda-beda. Namun, wewenang dan kedudukan masing-masing yang sederajat berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 harus dilihat secara kelembagaan. Hal inilah yang disebut sebagai pemisahan kekuasaan dalam cabang kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif, yang dilaksanakan dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi.15
15
Ibid., hal. 9.
17
B. KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONAL Secara etimologis antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme”
inti
maknanya
sama,
namun
penggunaan
atau
penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-undang Dasar suatu Negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.16 Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari organisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi bisnis, perkumpulan social sampai ke organisasi tingkat dunia seperti Perkumpulan ASEAN, European Communities (EC), World Trade Organization (WTO), Perserikatan
16
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., Dr. Jazim Hamidi, S.H., M. Hum., dan Dr. Hj. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta Utara: PT. Raja Grafindo Persada, 2011)
18
Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagainya semuanya membutuhkan dokumen dasar yang desebut konstitusi. Kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal entity). Misalnya saja akhir-akhir ini di tengah wacana mengenai organisasi badan hukum di Indonesia, muncul bentuk badan hukum baru yang dinamakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti yang dikaitkan dengan status hukum perguruan tinggi negeri tertentu. Sebagai badan hukum, setiap perguruan tinggi yang bersangkutan memerlukan dokumen Anggaran Dasar tersendiri sebagai konstitusi seperti halnya badanbadan hukum lainnya, seperti yayasan (stichting), perkumpulan (Vereeniging), organisasi kemasyarakatan, dan partai politik. Di dunia usaha dikenal adanya badan hukum berbentuk perusahaan,n yaitu perseroan terbatas, koperasi atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Semua bentuk badan hukum itu selalu memerlukan Anggarananggaran Dasar yang berfungsi sebagai konstitusinya.17 Dalam berbagai literatur Hukum Tata Negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: 1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum. 2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia 17
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Op.Cit., hal. 16.
19
3. Peradilan yang bebas dan mandiri 4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat. Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan “mascot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (Negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelnggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai Negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.18 Catatan historis timbulnya Negara konstitusional, warga sebenarnya merupakan proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani, dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab Hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 SM) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai Negara. Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semat-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu 18
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., Dr. Jazim Hamidi, S.H., M. Hum., dan Dr. Hj. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Op.Cit., hal. 1.
20
kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk di dalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, di samping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi dari para kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk L’etat General di Prancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham: “demokrasi Perwakilan” dan “Nasionalisme”. Dua paham ini merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.19 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konstitusinalisme diartikan sebagai suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi.20 Pandangan lain, menurut Mc Ilwan sebagimana dikutip Adnan Buyung Nasution, ada dua unsur fundamental dari paham konstitusionalisme, yaitu batas-batas hukum terhadap kekuasaan yang sewengan-wenang dan pertanggungjawaban politik sepenuhnya dari pemerintah kepada yang diperintah. Lebih lanjut menurut C.J Bax dan G.F.M Van der Tang konstitusionalisme mengandung tida pengertian esensial sebagai berikut:
19
Ibid., hal. 2.
20
Dr. Ellydar Chaidir, S.H., M. Hum., Hukum dan Teori Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2007), hal. 16.
21
1. A state, or any system of goubernment, must be founded upon law, while the powert exercised within the state should conform to derinite legal rules and procedures (the idea of constitution or fundamental law). (Sebuah Negara atau system pemerintahan apapun harus didirikan di atas undang-undang, sedangkan kekuasaan yang dijalankan di dalam negara harus sejalan dengan peraturan-peraturan dan prosedur hukum yang tegas (yang mengacu kepada konstitusi atau Undang-undang Dasar) 2. The institutional structure of government should ensure that power resides with, or is divided among, different branches which mutually control their exercise of power and which are obliged to co-operate (the ideas of mixed government, separation of powers, checks and balances). (Bangunan institusional pemerintah harus memastikan bahwa kekuasaan berada ditangan, atau dibagi-bagi diantara, cabang-cabang yang berbeda yang saling mengontrol pelaksanaan kekuasaan mereka dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (gagasan mengenai pemerintah campuran, pemisahan kekuasaan, system check and balances (saling periksa dan menjaga keseimbangan) 3. The relationship between the goubernment and the individual members of society should be regulated ini such manner that it leaves the latter’s basic rights and freedoms unimpaired.
22
(Hubungan antara pemerintah dengan anggota perseorangan masyrakat sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut menjamin hak-hak dan kebebasan dasar yang disebut belakangan, anggota perseorangan masyarakat, tidak dilanggar). Soetandyo Wognjosoebroto menyatakan bahwa ide konstitusionalisme sebagaimana bertumbuh-kembang di bumi aslinya, Eropa Barat mengandung dua esensi: Esensi pertama, ialah konsep “Negara Hukum” atau di negeri-negeri yang terpengaruh oleh system hukum Anglo Saxon disebut (the rule of law) yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan Negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). Esensi kedua, ialah konsep hak-hak sipil warga Negara yang menyatakan, bahwa kebebasan warga Negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan Negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja.21 Konstitusi juga dapat diartikan: A constitution as a form of social contract joining the citizens of the state and defining the state itself Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshiddiqie, guru besar hukum tata Negara, diperinci sebagai berikut: Ø Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ Negara. 21
Ibid., hal. 17.
23
Ø Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara. Ø Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara. Ø Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara. Ø Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam system demokrasi adalah rakyat) kepada organ Negara. Ø Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation), serta sebagai center of ceremony. Ø Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya dibidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang social dan ekonomi. Ø Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform). Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja “constituer” dalam bahasa Perancis yang berarti “membentuk” jadi konstitusi berarti pembentukan. Dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu Negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan politik mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama Negara. Istilah konstitusi sebenarnya tidak digunakan untuk 24
menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah Undang-undang Dasar. Demikian juga di Belanda, di samping dikenal istilah “groundwet” (Undang-undang Dasar).22 Berikut ini penulis tunjukkan beberapa ahli hukum yang mendukung antara yang membedakan dengan yang menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang-undang Dasar. Penganut paham yang membedakan pengertian konstitusi dengan Undang-undang Dasar antara lain Herman Heller dan F. Lassalle. Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga, yaitu: 1. Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis. 2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis. 3. Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai ungang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara. Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian undang-undang itu harus dihubungkan dengan pengertian 22
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H., Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 27.
25
konstitusi, maka artinya Undang-undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis saja. Di samping itu tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan politis. F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu: 1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintesis factor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu Negara, kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, cabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi 2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan. Dari pengertian sosiologis dan politis, ternyata Lassalle menganut paham bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar Undang-undang Dasar. Namun dalam pengertian yuridis, Lassalle terpengaruh pula oleh paham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan Undang-undang Dasar.23 23
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., Dr. Jazim Hamidi, S.H., M. Hum., dan Dr. Hj. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Op.Cit., hal. 9.
26
Kelihatannya para penyusun Undang-undang Dasar 1945 menganut pemikiran sosiologis di atas, sebab dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 dikatakan: “Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negera itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis”. Adapun penganut paham modern yang tegas-tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang-undang Dasar, adalah C.F. Strong dan James Bryce. Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip C.F Strong dalam bukunya: Modern Political Constitutions menyatakan konstitusilah: A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights. Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka Negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hala mana hukum menetapkan: 1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen. 2. Fungsi dari alat-alat kelengkapan 3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
27
Kemudian C.F. Strong melengkapai pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut: Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted. Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asasasas yang menyelenggarakan: 1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas) 2. Hak-hak dari yang diperintah 3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia24
C. HAK KONSTITUSIONAL Sebagai bagian dari konstitusi maka hak-hak konstitusional itu harus dilindungi. Oleh karena itu berarti harus ada jalan hukum sebagai mekanisme untuk mewujudkan perlingundan tersebut sehingga si pemilik hak dapat mempertahankan hak-haknya bilamana terjadi pelanggaran. Mekanisme atau jalan hukum bagi perlindungan terhadap hak-hak konstitusional tersebut baik berupa mekanisme yudisial (melalui proses peradilan) maupun non-yudisial (di luar proses peradilan). Sejarah pemikiran tentang hak konstitusional tidak 24
Ibid., hal. 11.
28
dapat dilepaskan dari tradisi pemikiran atau doktrin Barat tentang hak-hak individu. Meskipun demikian, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa pemikiran tentang hak-hak individu (yang kemudian berevolusi menjadi hak-hak asasi manusia) semata-mata produk peradaban Barat. Sebab, dalam ajaran dan tradisi agama-agama besar dunia, baik yang berkembang di Barat maupun di Timur, penghormatan terhadap martabat dan kepribadian manusia serta keyakinan akan keadilan memiliki akar yang sangat kuat. Islam, Kristen Yahudi, Hindu, Buddha semua menekankan tak dapat diganggu-gugatnya segala hal yang merupakan atribut penting kemanusiaan. Demikian pula konfusianisme dan Taoisme. Dalam doktrin Barat, hak-hak individu ini dikonsepsikan sebagai hak-hak alamiah, semertara doktrin tentang hak-hak alamiah itu sendiri merupakan bagian dari doktrin hukum alam. Dari doktrin tentang hak-hak alamiah ini kemudian (setelah Perang Dunia II) berkembang menjadi hak-hak asasi manusia (HAM), yang diberi pengertian sebagai “minimal rights that every individual must have against the State or other public authority by birtue of is being a member of the human family, irrespective of any other consideration” atau “right which are inherent ini our nature and without which we cannot live as human being”.25 Warga Negara juga merupakan unsur konstitutif dari suatu Negara. Dilihat dari perspektif teori perjanjian social yang mendasari keberadaan 25
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Op.Cit., hal. 112.
29
demokrasi modern, maka warga Negara yang membentuk Negara, dengan melakukan perjanjian social berisi ketentuan yang harus dilakukan dan penyelenggaraannya oleh Negara. Di satu sisi, perjanjian social memberikan legitimasi pada penyelenggara Negara, namun di sisi lain juga memberikan pembatasan kekuasaan penyelenggaraan Negara. Konsepsi pembatasan inilah yang berkembang menjadi paham konstitusionalisme. Perjanjian social yang merupakan kesepakatan seluruh warga Negara (general agreemenrt) terwujud dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan sendirinya materi konstitusi harus selalu mencerminkan paham konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan, bai dalam arti procedural maupun substantive. Dari sisi procedural, pembatasan kekuasaan berupa penentuan mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan Negara sebagai konsekuensi dari pengalaman terhadap prinsip kedaulatan rakyat.26 Penerapan
peraturan-peraturan
konstitusi
mengenai
pembuatan
undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislative diberi mandate untuk menguji apakah suatu undang-undang (hukum) sesuai atau tidak dengan konstitusi, dan untuk membatalkannya jika menurut pendapat organ ini hukum tersebut “tidak konstitusional”. Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, pengadilan khusus 26
yang
disebut
“pengadilan
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 190.
30
konstitusi”,
atau
pengawasan
“kekonstitusionalan” suatu undang-undang, yang disebut jicial review, dapat dilakukan terhadap pengadilan-pengadilan biasa, dan terutama kepada pengadilan tertinggi. Oragan yang menjalankan pengawasan mungkin dapat menghapus sepenuhnya undang-undang yang “tidak konstitusional” sehingga undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan oleh setiap organ lain. Jika pengadilan biasa berkompeten untuk menguju kekonstitusionalan suatu undang-undang, pengadilan ini mungkin hanya diberi hak untuk menolah penerapannya dalam kasus konkret jika pengadilan tersebut memandangnya tidak konstitusional, sedangkan organ-organ lain tetap diwajibkan untuk menerapkan undang-undang tersebut. Selama suatu undang-undang belum dibatalkan, maka undang-undang ini ‘konstitusional’ dan tidak “tidak konstitusional”, dalam arti bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, konstitusi berkehendak bahwa undang-undang ini juga harus dianggap valid. Tetapi konstitusi menghendaki undang-undang itu valid hanya selama undang-undang itu belum dibatalkan oleh organ yang kompeten. Hukum yang disebut “tidak konstitusional” bukan tidak berlaku lagi secara ab initio, hukum ini hanya dapat dinyatakan tidak berlaku; hukum ini hanya dapat dibatalkan karena alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan ini adalah bahwa oragan legislative telah membuat undang-undang itu menurut cara lain, atau telah
31
memerinya isi lain, daripada yang secara langsung ditetapkan oleh konstitusi.27 Sedangkan dari sisi subtantif, konstitusi menentukan apa yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan negaram yaitu melindungi hak-hak rakyat, bik sebagai warga Negara maupun sebagai manusia. Tanpa adanya hak-hak tersebut, rakyat akan kehilangan kedaulatan sehingga kedudukannya sebagai warga Negara tidak memiliki arti sam sekali. Oleh karena itu, ketentuan jaminan perlindungan hak asasi sebagai manusia dan hak konstitusional sebagai warga Negara adalah salah satu materi muatan konstitusi.28 Pasca-Perang Dunia II, tuntutan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia semakin meningkat dan berkembang menjadi isu internasional. Hak asasi manusia menjadi nilai noral universal sebagai landasan untuk mewujudkan penghargaan kemanusiaan dan menegakkan demokrasi dalam kehidupan bernegara. Untuk menegaskan dan memperkuat daya ikat perlindungan HAM, jaminan HAM harus menjadi materi muatan konstitusi. Hal ini menunjukkan, di satu sisi terdapat jaminan konstitusional terhadap hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh umat manusia, sedangkan di sisi lain hak tersebut menjadi hak konstitusional segenap warga Negara. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, hak konstitusional merupakan 27
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 1971). Hal. 225. 28
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 191.
32
subtansi yang menjadi orientasi utama dalam penyelenggaraan Negara, sebaliknya, warga Negara memiliki landasan hukum untuk menuntut pemenuhan hak-hak konstitusional yang dijamin konstitusi.29
D. MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Indonesia merupakan
Negara
ke-78
yang
memiliki lembaga
pengadilan konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah undang-undang. Negara Amerika Serikat adalah Negara yang pertama kali memperkenalkan fungsi pengadilan konstitusionalitas dengan kasus yang terkenal pada waktu itu, yaitu kasus “Marbury versus Madison” tahun 1803. Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall adalah yang pertama kali menjalankan wewenang menafsirkan konstitusi untuk membatalkan undang-undang yang sebelumnya telah disahkan oleh Kongres Amerika Serikat. Kewenangan Mahkamah Agung tersebut sebenarnya tidak diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, kasus tersebut dapat dipandang sebagai Judicial interpretation, yakni perubahan konstitusi melalui penafsiran hakim atau pengadilan sebagaimana pandangan K.C. Wheare. Sejak kasus itulah kemudian di kenal istilah hak uji material atas undangundang terhadap konstitusi. Hak untuk menguji inilah yang kemudian dikenal
29
Ibid., hal. 192.
33
dengan istilah “judicial review” yang dianggap sudah dengan sendirinya dimiliki oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.30 Menurut Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH., MH. (2011:110) Lembaga yang memegang kewenangan pengadilan konstitusional di berbagai Negara itu dapat diklasifikasikan menjadi lima macam yaitu: 1. Mahkamah Agung (supreme of court) seperti model Amerika Serikat tahun 1803 2. Dewan constitutional (counseil constitutional) seperti model Perancis tahun 1958 3. Arbitrase Konstitusional (constitutional arbitrage) seperti di Belgia 4. Tribunal Constitutionel, yang merupakan kamar tersendiri di Mahkamah Agung seperti di Venezuella dan 5. Mahkamah Konstitusi (constitutional court) model Austria tahun 1920
Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi RI yang diamanatkan menurut Undang-undang Dasar 1945, Pasal 24C:31 1. Mahkahamh Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga 30
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H., Op.Cit., hal. 109.
31
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), hal. 151.
34
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undag Dasar. 3. Mahkamah Konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. 4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. 5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara. 6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undangundang.
C. F. Strong mengemukakan bahwa di Negara-negara dunia ada dua macam system pemerintahan, yaitu: 35
a. Sistem Pemerintahan Presidensial Sistem pemerintahan presisdensial mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut: 1. Di samping mempunyai kekuasaan “nominal” sebagai kepala Negara, presiden juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. 2. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislative, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih 3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislative 4. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislative dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan. Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas, diklasifikasikan sebagai konstitusi system pemerintahan presidensial. b. Sistem Pemerintahan Parlementer Sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokik sebagai berikut: 1. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen. 2. Para anggota cabinet (sebagian atau seluruhnya) adalah anggota parlemen. 3. Perdana menteri bersama cabinet bertanggung jawab kepada parlemen.
36
4. Kepala Negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum. Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas, diklasifikasikan sebagai konstitusi system pemerintahan parlementer.32 (Romi L, 2099:230) Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan sangat sedikit memuat hak konstitusional warga Negara. Pada saat perumusannya, terjadi perdebatan perlu tidaknya pemuatan HAM dalam Undang-undang Dasar 1945. Soekarno dan Soepomo menyatakan bahwa jaminan tersebut tidak diperlukan karena HAM adalah bagian dari ideologi individualisme. Karena yang hendak didirikan adalah Negara kekeluargaan, maka tidak berhadaphadapan dengan warga Negara sehingga tidak diperlukan jaminan HAM. Padangan berbeda dikemukakan di antaranya oleh Yamin dan Hatta. Walaupun keduanya menerima prinsip Negara kekeluargaan, namun tetap diperlukan jaminan hak konstitusional guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan agar Negara yang terbentuk tidak menjadi Negara kekuasaan. Perdebatan tersebut menghasilkan rumusan yang memuat hak konstitusional warga Negara dalam 7 butir ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun, ada yang berpandangan bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diartikan sebagai pengakuan HAM. Ketentuan Pasal 28, misalnya, dapat 32
Romi Librayanto, Ilmu Negara Suatu Pengantar (Makassar: Pustaka Refleksi, 2009), hal. 230.
37
dimaknai bahwa kebebasan menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran baru ada jika ditetapkan dalam undang-undang.33 Sedikitnya ketentuan hak konstitusional warga Negara dipandang sebagai salah satu kelemahan Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan. Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya kewajiban konstitusional Negara untuk melindungi dan memenuhi hak warga Negara. Hukum, kebijakan, dan tindakan penyelenggara Negara tidak diorientasikan untuk memenuhi hak konstitusional warga Negara, bahkan acap kali dilanggar. Warga Negara juga tidak memiliki landasan konstitusional untuk menuntut perlindungan hak. Hal itulah yang melahirkan pemerintahan yang otoritarian dengan berbagai pelanggaran hak warga Negara dimasa lalu. Kesadaran pentingnya akan jaminan hak-hak konstitusional warga Negara semakin menguat setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Pengalaman pahit penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak konstitusional warga Negara, menjadi
pelajaran
berharga
dan
memunculkan
aspirasi
pentingnya
perlindungan hak asasi manusia sebagai hak konstitusional warga Negara. Upaya pertama yang dilakukan di era reformasi dengan ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Upaya menempatkan hak asasi 33
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 192.
38
manusia menjadi hak konstitusional warga Negara mencapai puncaknya pada perubahan kedua Undang-undang Dasar.34 Sementara itu, peran pemikir lain seperti William Blackstone, Thomas Paine, Immanuel Kant, John Stuart Mill, meski tidak semua mendasarkan pemikirannya pada kontrak social, sama penting kontribusinya dalam evolusi pemikiran hak-hak alamiah menjadi hak konstitusional. Demikian pula halnya konstribusi berbagai peristiwa bersejarah, seperti Virginia Bill of Rights (1776), American Declaration of Independence (1776), French Declaration of Rights of Man (1791), Bill of Rights in the American Constitution (1789), dan peristiwa-peristiwa penting lain pasca- Perang Dunia II. Berikut akan diuraikan intisari dari pemikiran tokoh-tokoh serta esensi dari berbagai peristiwa dimaksud dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran terntang hak-hak konstitusional yang dimulai dari konsepsi atau doktrin tentang hak-hak alamiah.35 Menurut Thomas Hobbes, setiap individu manusia memiliki hak alamiah (jus natural) yaitu kebebasan (liberty) untuk menggunakan kekuatannya
sendiri,
sesuai
dengan
kemauannya
sendiri,
guna
mempertahankan sifat hakikinya, yaitu kehidupannya. Sedangkan kebebasan (liberty) adalah tidak adanya halangan eksternal. Namun, sebagaimana telah
34
Ibid., hal. 193.
35
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Op.Cit., hal. 115.
39
disinggung pada uraian sebelumnya, dalam keadaan alami (in the state of nature), manusia yang satu memandang manusia lain sebagai ancaman sehingga mereka senantiasa berada dalam suasana perang satu dengan yang lain sepanjang waktu. Untuk menghentikan “perang” itu maka, menrut Hobbes, adalah rasional jika kemudian para individu itu membuat kontrak untuk mendirikan suatu pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa yang diberi kekuasaan absolut karena hanya kekuasaan absolutlah yang memadai untuk menyelesaikan pertikaian antaraindividu atau, jika tidak, masyarakat akan bubar karena konflik dan sebagai akibatnya, kehidupan bersama pun terancam.36 Dimasukkannya Hak Asasi Manusia ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status kepada hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional. Konstitusi adalah hukum dasar atau hukum fundamental, maka hak-hak konstitusional itu pun mendapatkan status sebagai hak-hak fundamental. Akibatnya, hak-hak konstitusional itu adalah hak-hak fundamental dan konstitusi adalah hukum dasar (fundamental) sehingga setiap tindakan Negara yang bertentangan atau tudak sesuai dengan hak konstitusional (atau hak fundamental) itu harus dibatalkan oleh pengadilan karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hakikat konstitusi sebagai hukum dasar (fundamental). Perlindungan yang dijamin oleh konstitusi bagi hak konstitusional itu adalah 36
Ibid., hal. 116.
40
perlindungan terhadap pelanggaran oleh prbuatan Negara, bukan terhadap pelanggaran oleh individu lain. Hal yang menjadi pertanyaan dalam hubungan ini, apakah pengertian “perbuatan Negara” mencakup pula pengertian “Negara tidak berbuat pada saat seharusnya ia berbuat sesuatu?”. Di sini terdapat perbedaan praktik antara AS dan Eropa, dalam hal ini Jerman. MA AS berpendirian bahwa Negara tidak dapat dipersalahkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak konstitusional seorang individu yang dilakukan oleh individu lainnya. Contohnya dalam kasus De Shaney v. Winnebago County. Dalam kasus ini, otoritas yang bertanggung jawab dalam urusan anak-anak (Juvenile authorities) telah diperingatkan bahwa seorang anak laki-laki terusmenerus dipukuli oleh ayahnya sendiri. MA AS menolak dalil bahwa tidak berbuat sesuatunya Juvenile authorities dalam peristiwa itu merupakan pelanggaran terhadap hak hidup dan integritas jasmani anak tersebut. Alasannya, “the federal constitutional rights were designed to protect against state action and not to obligate the state to act and protect against private indinidual”. Sebaliknya, MK Jerman dalam putusannya yang dikenal sebagai Abortion Judgment menyatakan bahwa hak hidup mencakup kewajiban Negara untuk melindungi kehidupan (dalam hal ini janin) melalui hukum pidana.37
37
Ibid., hal. 134.
41
Menurut Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., M.H., (2013:135) berdasarkan uraian tentang hak konstitusioanal di atas, ada beberapa hal penting yang dapat dicatat sebagai karakteristik hak konstitusional: 1. Hak Konstitusional memiliki sifat fundamental. Sifat fundamental itu diperoleh bukan karena menurut sejarahnya hak-hak itu bermula dari doktrin hak-hak individual Barat tentang hak-hak alamiah melainkan karena ia dijamin oleh dan menjadi bagian dari konstitusi tertulis yang merupakan hukum fundamental. 2. Hak Konstitusional karena merupakan bagian dari dan dilindungi oleh konstitusi tertulis, harus dihormati oleh seluruh cabang kekuasaan Negaralegislative, eksekutif dan yudikatif. Oleh karena itu, tidak satu oragan Negara pun boleh bertindak bertentangan dengan atau melanggar hak konstitusional itu. 3. Karena sifat fundamental dari hak Konstitusional itu maka setiap tindakan organ Negara yang bertentangan dengan atan melanggar hak itu harus dapat dinyatakan batal oleh pengadilan. Hak konstitusional akan kehilangan maknanya sebagai hak fundamental apabila tidak terdapat jaminan dalam pemenuhannya dan tidak dapt dipertahankan di hdapan pengadilan terhadap tindakan organ Negara yang melanggara atau bertentangan dengan hak konstitusional dimaksud.
42
4. Perlindungan yang diberikan oleh konstitusi bagi hak konstitusional adalah perlindungan terhadap perbuatan Negara atau pelanggaran oleh Negara, bukan terhadap perbuatan atau pelanggaran oleh individu lain. 5. Hak Konstitusional sebagai hak yang memiliki sifat fundamental, pada alaisis terakhir, merupakan pembatasan terhadap kekuasaan Negara.
E. CONSTITUTIONAL COMPLAINT 1. Pengertian Constitutional Complaint Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) bagian dari persoalan
yang lebih
merupakan
luas yakni persoalan pengujian
konstitusional (constitutional review), yakni sebagai salah satu bentuk pengujian konstitusional. Sedangkan, pengujian konstitusional itu sendiri merupakan bagian dari mekanisme konstitusionalisme yang merupakan syarat atau ciri utama Negara hukum. Dengan demikian, Constitutional Complaint dengan sendirinya merupakan bagian pula dari mekanisme konstitusionalisme yang sekaligus berarti ikut pula menentukan terpenuhinya syarat atau ciri utama Negara hukum.38 Bentuk lain pengujian konstitusional yang memiliki kemiripan dengan Constitutional Complaint yang nanti akan diuraikan lebih jauh dalam uraian selanjutnya adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial 38
Ibid., hal. 247.
43
review on the constitutionality of law), yang kerap disingkat dengan istilah judicial review saja. Banyak penulis yang menyamakan pengertian pengunjian constitutional (constitutional review) dengan judicial review. Hal ini kiranya dapat dimengerti sebab menurut sejarahnya, khususnya dalam hal ini Jerman dan Italia setelah Perang Dunia II dan dalam hal Negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Komunis, diadopsinya gagasang tentang mahkamah konstitusi adalah untuk melindungi konstitusi Negara-negara tersebut dari pelanggaran yang dilakukan oleh undang-undang yang ofensif. Oleh karena itu, mahkamah konstitusi diberi fungsi utama melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang
sehingga
sejumlah
penulis
juga
menggunakan istilah judicial review atau constitutional review terhadap kegiatan judicial rewiew on the constitutionality of law Namun, secara konseptual, pengujian konstitusional (constitutional review) harus dibedakan dengan judicial review. Sepanjang pengujian dilakukan oleh pengadilan dan secara aposteriori terhadap norma yang bersifat umum dan abstrak, maka pengujian demikian dapat disebut judicial review. Pengujian konstitusional menjadi sama pengertiannya dengan pengujian undang-undang, dalam arti pengujian konstitusionalitas undangundang (judicial review on the constitutionality of law), apabila pengujian itu dilakukan (oleh pengadilan) terhadap undang-undang dengan menggunakan konstitusi sebagai tolak ukurnya. 44
Dengan demikian, dalam judicial review tidak selalu konstitusi dijadikan sebagai tolak ukurnya. Misalnya, di Inggris sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tidak dikenal judicial review dalam pengertian pengujian konstitusionalitas undang-undang, namun judicial review di Inggris dipahami dan dipraktikkan sebagai sarana utama (principal means) pengadilan untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan pemerintah pusat maupun local serta pemegang otoritas public lainnya. Judicial review di Inggris merupakan sarana bagi warga Negara untuk menghadapi pemerintah (eksekutif) yang
sewenang-wenang
tetapi bukan
untuk menghadapi
inkonstitusionalnya undang-undang buatan parlemen (acts of parlianment) Sebaliknya, di Jerman, judicial review (richterliches prufungsrecht) senantiasa
diartikan
pengujian
konstitusionalitas
undang-undang
dan
dibedakan dari pengertian constitutional review (Versfassungsstreitigkeit). Judicial review adalah sarana untuk melindungi hak-hak individual yang berkait dengan tradisi republican Jerman, sedangkan constitutional review, dalam bentuknya yang klasik, adalah system atau mekanisme yang berkait dengan tradisi Jerman pada zaman kerajaan, yaitu mekanisme untuk menentukan hak-hak dari Negara-negara merdeka dan hubungan mereka dengan uni yang lebih luas yang mempersatukan mereka, yaitu Konfederasi Jerman. Baru kemudian, yaitu di masa Republik Wimar, constitutional review memperoleh bentuk sebagai pengadilan konstitusional khusus (a specialized 45
constitutional tribunal), yakni Staatsgerichtshof yang merupakan pengadilan paruh waktu (part-time tribunal) yang anggota-anggotanya bersidang secara periodic untuk memutuskan masalah-masalah yang berkenaan dengan konstitusi. Staatsgerichtshof inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal MK Jerman (Bundesversfassungsgericht) yang dibentuk setelah Perang Dunia II berakhir dan Jerman memberlakukan konstitusi baru yang dikenal dengan nama Grucdgesetz (GG) pada tahun 1949. Dengan demikian, konsep constitutional review di Jerman memang berkait langsung dengan sejarah terbentuknya MK Jerman Dalam hubungannya dengan Constitutional Complaint (pengaduan konstitusional), ada dua bentuk pengujian konstitusional yang akan dibahas lebih jauh pada uraian berikut, yakni pengujian konstitusionalitas undangundang (judicial review on the constitutionality of law atau yang sering disingkat dengan judicial review saja) dan pengujian konstitusionalitas perbuatan atau kelalaian, dalam hal ini perbuatan atau kelalian pejabat public (public officials). Hal ini penting dilakukan karena dua alasan. Pertama, karena baik di Jerman, di Korsel, maupun di AS tiga Negara yang dijadikan perbandingan dalam perbandingan Constitutional Complaint. Di Korea hal itu terjadi jika suatu pengujian undang-undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUMK Korea ditolak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukannya sebagai pengaduan konstitusional. Sementara di AS hal itu 46
otomatis dapat terjadi karena di sana pengujian konstitusionalitas didasarkan atas kasus-kasus konkret sehingga yang diuji konstitusionalitasnya itu dapat berupa norma hukumnya sendiri maupun perbuatan atau kelalaian pejabat public yang dinilai salah dalam menerapkan atau tidak menerapkan suatu norma undang-undang sehingga merugikan hak konstitusional pengadu. Kedua, pengujian konstitusionalitas perbuatan dapat terjadi sebagai akibat dari kekeliruan dalam menafsirkan maksud yang terkandung dalam rumusan suatu norma undang-undang. Dalam keadaan demikian, sekalipun suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi, sehingga perbuatan pejabat public yang didasarkan pada norma undang-undang itu seharusnya tidak merugikan hak konstitusional seseorang karena ditafsirkan secara keliru. Dalam
kasus
demikian,
terdapat
hubungan
erat
antara
pengujian
konstitusionalitas undang-undang dan Constitutional Complaint. Sebab, kasus demikian dapat menjadi objek pengujian konstitusionalitas norma hukum maupun objek pengujian konstitusionalitas perbuatan. Namun, kekeliruan menafsirkan norma undang-undang bukanlah satu-satunya penyebab lahirnya Constitutional Complaint. Constitutional Complaint juga dapat terjadi sebagai akibat dari tidak diatrunya suatu hal dalam undang-undang atau karena pejabat public lalai melaksanakan norma undang-undang sehingga menjadi sebab terlanggarnya hak konstitusional seseorang.39 39
Ibid., hal. 253.
47
2. Constitutional Complaint sebagai Mekanisme Perlindungan Hak Konstitusional Mekanisme Constitutional Complaint sebagai kebutuhan adalah bahwa secara teori mekanisme dimaksud perlu diatur dalam hukum positif sebagai bagian dari upaya untuk memberi perlingdungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga. Negara. Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa konsekuensi menjadikan Negara hukum sebagai salah satu landasan perubahan terhadap UUD 1945 adalah seluruh syarat yang melekat sebagai ciri dari suatu Negara hukum harus terpenuhi secara konstitusional dan terlaksana atau terjelma secara actual dalam praktik. Salah satu dari ciri atau syarat itu yang berkenaan dengan pengaduan konstitusional adalah syarat perlindungan terhadap hak asasi manusia di man, dalam ikatan hubungan Negara dengan warganya, tatkala hak-hak asasi tersebut dimasukkan de dalam dan menjadi bagian dari konstitusi maka hak-hak dimaksud kemudian menjadi hak-hak konstitusional warga Negara. Karena itulah dikatakan bahwa secara teoretik pengaturan mekanisme Constitutional Complaint dalam hukum positif sesungguhnya merupakan kebutuhan bagi terwujudnya perlindungan hak-hak konstitusional warga Negara secara maksimum. Sedangkan yang dimaksud dengan “mekanisme Constitutional Complaint sebagai kebutuhan” adalah bahwa secara kenyataan pun terdapat banyak fakta yang secara substansial
merupakan
Constitutional 48
Complaint,
tetapi
tidak
dapat
diselesaikan karena mekanismenya belum tersedia. Tidak adanya kewengan MK RI untuk mengadili dan memutus perkara Constitutional Complaint menyebabkan banyak permohonan yang secara substansial merupakan permohonan Constitutional Complaint namun diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang atau sebagai permohonan sengketa kewenangan lembaga Negara. Akibatnya, permohonan demikian dinyatakan tidak dapat diterima. Itu berarti, secara empiric, sebagaimana akan diuraikan pada bagian sebelumnya, pentingnya memiliki mekanisme Constitutional Complaint di Indonesia pada saat ini sudah merupakan kebutuhan empirik sehingga hak-hak konstitusional warga Negara benar-benar terjamin secara nyata dan maksimum.40 Mekanisme Constitutional Complaint sesungguhnya merupakan kebutuhan untuk mewujudkan praktik kehidupan bernegara yang sesuai dengan tuntutan paham Negara hukum. Pada tulisan ini akan diuraikan kasuskasus
yang
nyata-nyata
terjadi
dan
secara
substansial
merupakan
Constitutional Complaint tetapi MK RI tidak mempunyai kewenangan mengadili perkara Constitutional Complaint- diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang atau sengketa kewengan lembaga Negara. Namun, tidak semua kasus tersebut akan di uraikan di sini melainkan hanya beberapa
40
Ibid., hal. 542.
49
saja yang dipandang cukup untuk menunjukkan bahwa secara empiric pun adanya mekanisme Constitutional Complaint sudah merupakan kebutuhan. Hingga bulan Desember 2010, menurut data di Kepaniteraan MK RI, terdapat 30
(tiga puluh)
permohonan
yang
mengandung
substansi
Constitutional Complaint. Dari 30 permohonan tersebut, mayoritas (tiga puluh permohonan) diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang, sedangkan sisanya diajukan sebagai permohonan sengketa kewenangan lembaga Negara. Permohonan yang substansinya merupakan Constitutional Complaint sudah ada yang mengajukannya ke MK, permohonan dimaksud diajukan oleh Main bin Rinan yang secara terang-terangan mengajukan permohonan dengan petitum yang meminta MK RI membatalkan Putusan Peninjauan Kembali MA Nomor 179/PK/PDT/1998, sesuatu yang nyata-nyata bukan merupakan kewenangan MK RI sehingga permohonan ini dinyatakan tidak dapat diterima. Ada pula permohonan yang diajukan karena adanya praktik penerapan hukum, dalam hal ini putusan pengadilan, yang tidak konsisten sehingga pemohon
merasa
hak
konstitusionalnya
atas
pengakuan,
jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana yang diajukan oleh pemohon H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H. Di sini pemohon mempersoalkan tidak ditaatinya (oleh pengadilan) ketentuan undang-undang dan Fatwa Ketua MA 50
yang melarang dilakukannya upaya hukum terhadap putusan perdamaian. Ketentuan undang-undang dimaksud adalah Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR. Sedangkan Fatwa Ketua MA dimaksud adalah Fatwa Nomor KMA/318/V/2002 (bertanggal 21 mei 2002). Duduk perkaranya adalah bahwa pemohon (H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H.) telah menggugat Yayasan Fatmawati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dan
telah
diputus
dengan
putusan
perdamaian
Nomor
147/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel, tanggal 27 Februari 2002. Terhadap putusan inilah yang diajukan perlawanan oleh Yayasan Fatmawati ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diputuskan “mempertahankan
Putusan
Perdamaian”.
Namun
terhadap
putusan
perlawanan ini diajukan banding oleh Yayasan Fatmawati ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (dan dilakukan dengan melampaui tenggang waktu yang ditentukan). Pada saat bersamaan, Yayasan Fatmawati juga mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan perdamaian Pengadilan negeri Jakarta Selatan di atas namun ditolak oleh MA (lewat Putusan No. 460 PK/Pdt/2002, tanggal 19 Nopember 2002). Namun, dengan tidak diterimanya putusan peninjauan kembali MA di atas, Yayasan Fatmawati mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada mantan kuasa hukumnya (Wahyu Afandi, S.H.) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Perkara No.32/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST) dengan maksud 51
membatalkan
putusan
perdamaian
Nomor
147/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel,
tanggal 27 Februari 2002 di atas dengan alasan bahwa kuasa hukumnya telah bertindak di luar persetujuan Yayasan Fatmawati sehingga lahir putusan perdamaian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di atas. Gugatan Yayasan Fatmawati ini dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Pusat, yang berarti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat “membatalkan” putusan perdamaian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H. (yang merupakan pihak dalam pututsan perdamaian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu) tidak disertakan sebagai turut tergugat dalam gugatan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu (Perkara No.32/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST), yang amar putusannya menyatakan mengabulkan gugatan Yayasan Fatmawati untuk sebagian, menyatakan perbuatan tergugat (Wahyu Afandi, S.H) menandatangani Akta Perdamaian yang kemudian ditetapkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Pengadilan Nomor 147/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel, tanggal 27 Februari 2002 adalah melawan hukum, menyatakan Akta Perdamaian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan akta perdamaian yang ditandatangani tanggal 27 Februari 2002 tersebut. Putusan
Pengadilan
(No.32/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST)
Negeri ini
kemudian
Jakarta dijadikan
Pusat dasar
oleh
Yayasang Fatmawati untuk mengajukan bantahan terhadap permohonan 52
eksekusi lelang tanah milik Yayasan Fatmawati yang diajukan oleh Pemohon (H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H.) yang merupakan pelaksanaan putusan peninjauan kembali MA No. 460 PK/Pdt/2002, tanggal 19 September 2002 atas Putusan Perdamaian No. 147/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel, tanggal 27 Februari 2002 yang telah berkekuatan hukum tetap. Bantahan oleh Yayasan Fatmawati tersebut ternyata diterima oleh PN Jakarta Selatan (lewat putusan Nomor 552/Pdt.G/2003/P.N.Jaksel) di mana Pemohon (H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H.) dikalahkan. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor
552/Pdt.G/2003/PN.Jaksel
ini
sama
sekali
tidak
mempertimbangkan Putusan Peninjauan Kembali MA No. 460 PK/Pdt/2002, tanggal 19 November 2002, yang menolak permohonan peninjauan kembali Yayasan Fatmawati atas putusan perdamaian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 147/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel, tanggal 27 Februari 2002 yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, menurut Pemohon (H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H.), putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut adalah putusan yang mengandung unsur kelalaian hakim. Inilah inti masalah yang sesungguhnya hendak diadukan oleh Pemohon. Dengan bekal putusan Nomor 552/Pdt.G/2003/PN.Jaksel tersebut, menurut Pemohon (H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H.), P.N. Jakarta Selatan telah melanggar Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR serta 53
Fatwa Ketua MA Nomor KMA/318/V/2002 (bertanggal 21 Mei 2002) sebagaimana telah disebutkan di atas. Ketidakkonsistenan penerapan hukum inilah yang sesungguhnya menjadi ini masalah yang dipersoalkan dan merugikan hak konstitusional Pemohon (H. Drs. Raden Prabowo Surjono, SH., M.H.). oleh karena itu, secara substansial, permohonan ini jelas merupakan Constitutional Complaint. Namun, bisa jadi karena tahu bahwa MK RI tidak mempunyai kewenangan untuk memutus perkara Constitutional Complaint. Pemohon melanjutkan argumentasinya bahwa praktik semacam itu dapat terjadi karena adanya ketentuan dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 Tahun 2004), yaitu Pasal 16, yang memuat ketentuan bahwa pengadilan atau hakim dilarang untuk menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya karena pasal itu, menurut Pemohon, tidak memberi batasan mana yang boleh dan tidak boleh diajukan ke pengadilan. Oleh sebab itu, Pemohon kemudian meminta agar MK RI bukan saja menyatakan Pasal 16 UU tentang Kekuasaan Kehakiman di atas bertentangan dengan UUD 1945 melainkan pada saat yang sama juga menambahkan rumusan kalimat pada pasal dimaksud agar, menurut Pemohon, memberi kepastian hukum-suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh dan berada di luar kewenangan MK RI.
54
Permohonan
lain
yang
substansi
sesungguhnya
merupakan
Constitutional Complaint, namun diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang adalah permohonan yang diajukan oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Meskipun benar bahwa yang dimohonkan pengujian dalam permohonan ini adalah ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang ditafsirkan (dan dipraktikkan) bahwa jaksa/penuntut umum boleh mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dalam suatu perkara pidana, substansi keberatan dari Pemohon sendiri sebenarnya adalah dipidananya Pemohon berdasarkar putusan MA Nomor 109PK/Pid/2007 yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum. Padahal sebelumnya telah ada putusan peninjauan kembali MA pula (dalam hal ini, Putusan Nomor 84 PK/Pid /2006) yang menegaskan bahwa mengajukan permohonan peninjauan kembali merupakan hak terpidana sehingga yang dapat mengajukannya adalah terpidana atau ahli warisnya. Bahwa permohonan ini secara substansi merupakan Constitutional Complaint bahkan ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan MK RI (yang menolak Permohonan Pemohon). Dalam pertimbangan hukumnya, MK RI berpendapat, antara lain: Terlepas dari sejarah terbentuknya Pasal 23 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 yang dipengaruhi putusan Mahkamah Agung yang menerima 55
permohonan PK Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara tertentu sebelum dan pada saat terjadinya revisi undang-undang yang menyangkut badan peradilan di bawah Mahkamah Agung pada tahun 2003, sebagaimana diterangkan oleh DPR, sehingga utuk keadilan perlu dirumuskan kewenangan atau hak untuk mengajukan PK yang memungkinkan tafsiran secara luas demikian dalam UU No. 8 Tahun 1981. Mahkamah tidak sependapat dengan tafsir historis demikian yang membenarkan praktik menyampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHP dengan menggunakan doktrin lex posteriori derogate legi priori, karena UU No.4 Tahum 2004 bukanlah mengatur materi yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981. Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa hakim mempunyai wewenang untuk secara independen melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang yang belum jelas. Hal yang demikian, seandainyapun benar dianggap melanggar ketentuan dalam UUD 1945, semata-mata merupakan masalah penerapan atau implementasi undangundang. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004. Jika pun praktik peradilan sebagaimana ternyata dalam dua putusan yang diajukan Pemohon sebagai alat bukti dapat menunjukkan inkonsistensi yang telah terjadi, dan seandainya praktik demikian juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon, Mahkamah tetap berpendapat bahwa hal tersebut 56
bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Hal demikian baru dapat menjadi kewenangan Mahkamah apabila Mahkamah diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Constitutional Complaint sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dibanyak Negara lain. Sementara itu, contoh permohonan yang substansinya Constitutional Complaint namun diajukan sebagai permohonan sengketa kewenangan lembaga Negara adalah permohonan yang diajukan oleh Drs. Badrul Kamal, M.M. dan K.H. Syihabuddin Ahmad, B.A. dalam kedudukannya sebagai Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Depok dengan Termohon Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok. Yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah bahwa dalam sengaketa hasil pemeilihan kepala daerah Kota Depok Tahun 2005, Pemohon telah dinyatakan sebagai pemenang oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat melaluinya Putusan No. 01/PIOLKADA/2005/PT.Bdg. Menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 106 ayat (7), putusan Pengadilan Tinggi bersifat final. Dalam Penjelasan ayat (7) dari Pasal 106 tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud “final” adalah tidak ada lagi upaya hukum perlawanan terhadap vonnis itu. Karena telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok maka menurut Pemohon, Pemohon dapat dikategorikan sebagai lembagai Negara. Sedangkan KPUD Kota Depok 57
didalilkan sebagai lembaga Negara karena, menurut Pemohon, berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, mempunyai kewenangan dan kewajiban yang telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Pemohon
keberatan
dengan
Putusan
MA
Nomor
01
PK/PILKADA/2005 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No 01/Pilkada/2005/PT.Bdg sehingga menyebabkan Pemohon terancam batal dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Alasan utama keberatan Pemohon terhadap Putusan MA dimaksud adalah karena putusan itu dibuat berdasarkan surat yang diberi judul “memori peninjauan kembali” yang diajukan oleh KPUD Kota Depok, sesuatu yang berada di luar kewenangan KPUD Kota Depok karena hal itu tidak dikenal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dalam Pasal 106 ayat (7)-nya dikatakan bahwa Putusan Pengadilan Tinggi dalam sengketa pilkada adalah bersifat final. Artinya, menurut UU No. 32 Tahun 2004, terhadap putusan pengadilan tinggi dalam sengketa pemilihan kepala daerah tidak dapat dilakukan upaya jukum apa pun. Oleh karena itu, putusan MA dimaksud merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap UUD 1945, c.q. UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan peraturan pelaksanaannya.
58
Meskipun dikemas dalam permohonan sengketa kewenangan lembaga Negara, permohonan
ini jelas mengandung substansi Constitutional
Complaint karena yang menjadi isu utama, sebagaimana dijelaskan dalam permohonan yang bersangkutan, sesungguhnya adalah terlanggarnya hak konstitusional
atas
kepastian
hukum
oleh
Putusan
MA
Nomor
01PK/PILKADA/2005 tersebut. Hal yang juga penting dicatat dalam hubungan ini bahwa Pemohon yang sama (Drs Badrul Kamal, M.M dan K.H. Syihabuddin Ahmad, B.A.) juga membuat permohonan lain yang substansinya juga merupakan Constitutional Complaint dengan objek yang sama, yakni Putusan MA Nomor 01PK/PILKADA/2005, namun diajukan ke MK RI sebagai permohonan pengujian undang-undang. Pemohon mengajukan argumentasi bahwa Putusan MA adalah yurusprudensi dan yurisprudensi memiliki kedudukan yang sederajat dengan undang-undang. Oleh karena itu, putusan MA pun dapat diuji konstitusionalitasnya di MK RI. Putusan MA dimaksud telah merugikan hak konstitusi Pemohon, yaitu ha katas kepastian hukum yang adil. Atas dasar itu, Pemohon kemudian memohor agar MKRI menyatakan Putusan MA Nomor 01PK/PILKADA/2005 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
59
Contoh lain permohonan yang substansinya Constitutional Complaint yang diajukan ke MK RI sebagai sengketa kewengangan lembaga Negara adalah permohonan yang diajukan oleh Drs. H.M. Saleh Manaf dan Drs. Solihin Sari selaku Bupati dan Wakil Bupati Bekasi. Meskipun diajukan sebagai permohonan sengketa lembaga Negara, inti masalahnya adalah ketidakpastian dalam praktik penerapan hukum. Secara ringkas duduk perkaranya dapat dielaskan sebagai berikut: Pemohon (Drs. H.M. Saleh Manaf dan Drs. Solihin Sari)yang telah terpilih dan telah menjalankan fungsinya sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi di tengah jalan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Dalam Negeri karena adanya putusan MA Nomor 436 K/TUN/2004 yang membatalkan Keputusan Mendagri tentang Pengangkatan Bupati Bekasi dan Wkil Bupati Bekasi (yaitu masing-masing Keputusan Mendagri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 dan Nomor 132.32-36 Tahun 2004). Pada saat Keputusan Mendagri tentang pemberhentian Pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi ditetapkan (yaitu masing-masing dengan Keputusan Mendagri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 dan Nomor 131.32-12 Tahun 2006), Pemohon telah memegang jabatan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi selama dua tahun. Ada pula variasi lain dari permohonan yang secara substansial merupakan Constitutional Complaint, namun diajukan sebagai pengeujian undang-undang, yaitu bahwa suatu ketentuan (norma) undang-undang 60
ditafsirkan secara keliru dalam praktik sehingga merugikan hak knstitusional seseorang yang mengajukan permohonan bukan orang yang secara aktuan mengalami kerugian dimaksud. Sudah tentu permohonan demikian dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK RI. Sementara itu, terdapat pula permohonan diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang dan dikabulkan oleh MK RI, baik seluruhnya maupun sebagian, namun dari perspektif tertentu substansinya dapat dilihat sebagai Constitutional Complaint. Sebaliknya, ada pula putusan MK RI yang menolak suatu permohonan pengujian undangundang karena menilai bahwa suatu masalah yang dimohonkan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusionalitasnya norma undang-undang melainkan semata-mata persoalan pernerapan norma undang-undang itu dalam praktik.
Ada pula satu kasus unik di mana sejumlah partai politik merasa dirugikan hak konstitusionalnya yang disebabkan oleh kekeliruan penerapan suatu ketentuan undang-undang. Namun, berbeda halnya dengan sejumlah permohonan dengan masalah serupa yang umumnya diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang, untuk yang disebut terakhir ini permohonan dalil kerugian hak konstitusional itu dikemukakan dalam permohonan perselisihan hasil pemilihan umum. Kasusnya adalah penetapan
61
perolehan kursi DPR oleh Komisi Pemilihan Umum yang didasarkan atas ketentuan Pasal 205 UU No. 10 Tahun 2008. Fakta bahwa banyak permohonan yang secara substansial merupakan Constitutional Complaint namun diajukan ke MK RI terutama sebagai permohonan pengujian undang-undang juga diakui oleh para hakim dan mantan hakim konstitusi. Mereka pada umumnya juga berpendapat bahwa dimasa depan MK RI harus diberi kewenangan mengadili perkara Constitutional Complaint. Sebab, perlindungan terhadap hak konstitusional warga Negara harus dijamin bukan hanya tatkala haknya itu dilanggar oleh undang-undang tetapi juga oleh tindakan penyelenggara Negara.41
41
Ibid., hal. 572.
62
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih dalam melakukan pengumpulan data guna menunjang penelitian ini yaitu : Ø Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Penulis memilih Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai tempat penelitian karena penulis menganggap bahwa lembaga tersebut yang banyak menerima Permohonan Constitutional Complaint B. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan Data yang mempunyai hubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, adapun jenis dan sumber data yang penulis gunakan dibagi ke dalam dua jenis data yaitu : 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pihak yang terkait sehubungan dengan penulisan skripsi dalam hal ini Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2. Data Sekunder
63
Data sekunder yaitu data yang penulis peroleh melalui bahan-bahan laporan dan dokumen lain yang telah ada serta mempunyai hubungan dengan masalah yang penulis bahas dalam penulisan skripsi ini. C. Teknik Pengumpulan Data Agar suatu karya ilmiah dapat teruji secara ilmiah dan objektif, maka dibutuhkan sarana untuk menemukan dan mengetahui lebih mendalam mengenai gejala-gejala tertentu yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian kebenaran karya ilmiah tersebut dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh data-data sebagaimana yang diharapkan serta mempunyai keterkaitan dengan masalah yang penulis teliti, maka adapun teknik pengumpulan yang penulis lakukan yaitu berupa : 1. Penelitian Pustaka (library research) Dalam penelitian ini penulis memperoleh data melalui jalan membaca berbagai buku, majalah, koran, jurnal ilmiah dan literatur lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan materi pembahasan. 2. Penelitian Lapangan (field research) Dalam bagian ini penulis mengadakan pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini melakukan teknik Interview (wawancara) yakni peneliti melakukan tanya jawab secara langsung terhadap Hakim Konstitusi/Kepaniteraan Mahkamah
64
Konstitusi Republik Indonesia yang pernah mendapat permohonan Constitutional Complaint guna memperoleh data yang akurat. D. Teknik Analisis Data Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu menganalisa data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara menjelaskan obyek penelitian yang didapat dari penelitian berdasarkan metode kualitatif, sehingga dapat memperoleh gambaran jelas tentang substansi materi yang akan dibahas dalam penulisan ini.
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Warga Negara merupakan unsur konstitutif dari suatu Negara. Dilihat dari perspektif teori perjanjian sosial yang mendasari keberadaan demokrasi modern, maka warga Negara yang membentuk Negara, dengan melakukan perjanjian
sosial
berisi
ketentuan
yang
harus
dilakukan
dan
penyelenggaraanya oleh Negara. Di satu sisi, perjanjian sosial memberikan legitimasi pada penyelenggara Negara, namun di sisi lain juga memberikan pembatasan kekuasaan penyelenggaraan Negara. Konsepsi pembatasan kekuasaan inilah yang berkembang menjadi paham konstitusionalisme. Perjanjian sosial yang merupakan kesepakatan seluruh warga Negara terwujud dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan sendirinya materi konstitusi harus selalu mencerminkan paham konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan, baik dalam arti prosedural maupun substantif. Dari sisi prosedural, pembatasan kekuasaan berupa penentuan mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan Negara sebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap prisip kedaulatan rakyat. Sedangkan dari sisi substansif, konstitusi menentukan apa yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan warga Negara maupun sebagai manusia. Tanpa adanya hak-hak tersebut, rakyat akan kehilangan kedaulatan sehingga 66
kedudukannya sebagai warga Negara tidak memiliki arti sama sekali. Oleh karena itu, ketentuan jaminan perlindungan hak asasi sebagai manusia dan hak konstitusional sebagai warga Negara adalah satu materi muatan konstitusi.42 Adanya jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945 diikuti dengan ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakkan, serta pemenuhannya menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah. Hal itu harus dilaksanakan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan, maupun tindakan penyelenggara Negara. Setiap produk hukum, kebijakan, dan tindakan penyelenggara Negara adalah dalam rangka melindungi, memajukan, menegaskan, serta memenuhi hak konstitusional warga Negara. Seiring dengan itu, apabila terdapat produk hukum, kebijakan dan tindakan penyelenggara Negara yang bertentangan atau merugikan hak konstitusional warga Negara, maka warga Negara dapat mengajukan permohonan atau tuntutan hukum melalui mekanisme yang tersedia. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip Negara, harus ada mekanisme hukum, baik berupa pengujian peraturan perundang-undangan maupun gugatan, yang akan diputus oleh lembaga peradilan pelaku kekuasaan kehakiman. Maka, adanya jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945 telah menjadikan warga Negara sebagai status yang sangat berarti. Menjadi warga Negara berarti mendapatkan 42
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hal. 190.
67
perlindungan konstitusional dan dapat menjalankan peran warga Negara yang amat menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.43 Dalam perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (2) dinyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dalam Pasal 24C ditentukan: 1. Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewengan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
43
Ibid., hal. 197.
68
3. Mahkamah konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. 4. Ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. 5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara. 6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi datur dengan Undangundang Pada uraian sebelumnya secara sepintas telah disinggung bahwa Pengaduan Konstitusional merupakan bagian dari persoalan yang lebih luas yakni persoalan pengujian konstitusional (constitutional review), yakni sebagai salah satu bentuk pengujian konstitusional. Sedangkan, pengujian konstitusional
itu
sendiri
merupakan
bagian
dari
mekanisme
konstitusionalisme yang merupakan syarat atau ciri utama Negara hukum. Dengan demikian, pengaduan konstitusional dengan sendirinya merupakan bagian pula dari mekanisme konstitusionalisme yang sekaligus berarti ikut 69
pula menentukan terpenuhinya syarat atau ciri utama Negara hukum. Bentuk lain pengujian konstitusional yang memiliki kemiripan dengan pengaduan konstitusional yang nanti akan diuraikan lebih jauh dalam uraian selanjutnya adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review on the constitutionality of law), yang kerap disingkat dengan istilah judicial review saja. Banyak penulis yang menyamakan pengertian pengujian constitutional (constitutional review) dengan judicial review. Hal ini kiranya dapat dimengerti sebab menurut sejarahnya, khususnya dalam hal Jerman dan Italia setelah Perang Dunia II dan dalam hal Negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Komunis, diadopsinya gagasan tentang mahkamah konstitusi adalah untuk melindungi konstitusi Negara-negara yang ofensif. Oleh karena itu, mahkamah konstitusi deberi fungsi utama melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang
sehingga
sejumlah
penulis
juga
menggunakan istilah judicial review on the constitutionality ol law. Namun secara konseptual, pengujian konstitusional (constitutional review) harus dibedakan dengan judicial review. Sepanjang pengujian dilakukan oleh pengadilan dan secara a posteriori – terhadap norma yang bersifat umum dan abstrak, maka pengujian demikian dapat disebut judicial review. Pengujian konstitusional menjadi sama pengertiannya dengan pengujian undang-undang, dalam arti pengujian konstitusionalitas undangundang (judicial review on the constitutionality of law), apabila pengujian 70
dilakukan (oleh pengadilan) terhadap undang-undang dengan menggunakan konstitusi sebagai tolak ukurnya. Dengan demikian, dalam judicial review tidak selalu konstitusi di jadikan tolak ukurnya. Misalnya di Inggris sebagimana telah disinggung sebelumnya, tidak dikenal judicial review dalam pengertian pengujian konstitusonalitas undang-undang, namun judicial review di Inggris dipahami dan dipraktikkan sebagai sarana utama (principalmeans) pengadilan untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan pemerintah pusat maupun lokal serta pemegang otoritas publik lainnya. Judicial review di Inggris merupakan sarana bagi warga Negara untuk menghadapi pemerintah (eksekutif) yang
sewenang-wenang
tetapi bukan
untuk menghadapi
inkonstitusionalnya undang-undang buatan parlemen (acts of Parliament). Sebaliknya di Jerman, judicial review (richterliches Prufungsrecht) senantiasa diartikan pengujian konstitusionalitas undang-undang dan dibedakan dari pengertian constitutional review (Verfassungsstreitigkeit). Judicial review adalah sarana untuk melindungi hak-hak individual yang berkait dengan tradisi republikan Jerman, sedangkan constitutional review dalam bentuknya yang klasik, adalah system atau mekanisme yang berkait dengan tradisi Jerman pada zaman kerajaan, yaitu mekanisme untuk menentukan hak-hak dari Negara-negara merdeka dan hubungan mereka dengan uni yang lebih luas yang mempersatukan mereka, yaitu Konfederasi Jerman. Baru kemudian, yaitu di masa Republik Wimar, constitutional review memperoleh bentuk 71
sebagai pengadilan konstitusional khusus (a specialized constitutional tribunal), yakni Staatsgerichtshor yang merupakan pengadilan paruh waktu (part time tribunal) yang anggota-anggotanya bersidang secara periodic untuk memutuskan
masalah-masalah
yang
berkenaan
dengan
konstitusi.
Staatsgerichtshof inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal MK Jerman (Bundesverfassungsgericht) yang dibentuk setelah perang dunia ke II berakhir dan Jerman memberlakukan konstitusi baru yang dikenal dengan nama Grundgesetz (GG) pada tahun 1949. Dengan demikian, konsep constitutional review di Jerman memang berkait langsung dengan sejarah terbentuknya MK Jerman. Pengujian konstitusionalitas perbuatan dapat terjadi sebagai akibat dari kekeliruan dalam menafsirkan maksud yang terkandung dalam rumusan suatu norma undang-undang. Dalam keadaan demikian, sekalipun suatu norma undang-undang tidak bertentangn dengan konstitusi, sehingga perbuatan pejabat publik yang didasarkan pada norma undangundang itu seharusnya tidak merugikan hak konstitusional seseorang, menjadi merugikan hak konstitusional seseorang karena ditafsirkan secara keliru. Dalam kasus demikian dapat menjadi objek pengujian konstitusionalitas norma hukum maupun objek pengujian konstitusionalitas perbuatan. Namun, kekeliruan menafsirkan norma undang-undang bukanlah satu-satunya penyebab lahirnya pengaduan konstitusional. Pengaudan konstitusional juga dapat terjadi sebagai akibat dari tidak diaturnya suatu hal dalam undang72
undang atau karena pejabat publik lalai melaksanakan norma undang-undang sehingga menjadi sebab terlanggarnya hak konstitusional seseorang.44 B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengadili Perkara Warga Negara yang Mengajukan Hak Konstitusionalnya Melalui Upaya Hukum Pengaduan Konstitusional (Constitutional Compalaint) Setelah diuraikan tentang kedudukan pengaduan konstitusional sebagai bagian dari pengujian konstitusional, terutama sebagai pengujian konstitusional perbuatan dalam hal ini perbuatan (termasuk kelalaian) pejabat publik yang berakibat pada terlanggarnya hak-hak konstitusional warga negara maka persoalan selanjutnya yang penting untuk didalami lebih jauh adalah alasan pemberian kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional itu kepada mahkamah konstitusi. Pendalaman terhadapnya diperlukan guna memberi landasan teoritik yang lebih kuat bahwa, bagi Negara yang memilih model pengujian konstitusional dengan mengadopsi model Eropa yaitu dengan membentuk mahkamah konstitusi, kewenangan demikian memang berada di tangan mahkamah konstitusi. Model Eropa yang dimaksud disini adalah model Eropa selain varian Prancis, yaitu baik varian Austria maupun varian Jerman. Prancis dikecualikan , sebab di Prancis pengujian konstitusionalnya bukan dilakukan dengan cara membentuk 44
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hal. 248.
73
mahkamah atau pengadilan melainkan dewan, yaitu Dewan Konstitusi (conseil constitutionnel) yang tidak mempunyai kewenangan ajudikasi seperti halnya pengadilan. Sebelumnya telah diuraikan bahwa gagasan membentuk mahkamah konstitusi lahir dari kebutuhan untuk terselenggaranya gagasan pengujian konstitusional. Sementara itu, salah satu tugas pengujian konstitusional adalah untuk melindungi setiap individu warga Negara dari penyalahgunaan kekuasaan
oleh
lembaga-lembaga
Negara
yang
merugikan
hak-hak
fundamental individu-individu tersebut yang dijamin oleh konstitusi. Telah diuraikan pula bahwa hak konstitusional merupakan bagian dari konstitusi sehingga hak konstitusional merupakan bagian dari konstitusi sehingga hak konstitusional pun memiliki peran sebagai pembatasan terhadap kekuasaan Negara. Pengaduan konstitusional adalah salah satu wujud perlindungan hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan dimana pengadilan yang dmaksud disini adalah pengadilan yang secara khusus diberi fungsi untuk melaksanakan constitutional review yang dalam hal ini adalah mahkamah konstitusi. Semua Negara
yang
mengadopsi
mekanisme pengaduan
konstitusional dan melembagakan pengujian konstitusionalnya secara tersentralisasi, yaitu dengan
mendirikan mahkamah konstitusi, pasti
memberikan kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional itu kepada mahkamah konstitusi. Dengan kata lain, berdasarkan seluruh uraian 74
di atas, dapat dikatakan bahwa pengaduan konstitusional sebagai mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga Negara jelas tidak dapat dipisahkan dari hakikat keberadaan mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang sengaja didesain untuk melaksanakan fungsi constitutional review. Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh Gerhard Dannemann, dari semua mekanisme perlindungan hukum bagi hak-hak konstitusional, pengaduan konstitusional merupakan mekanisme yang paling kuat. Yang dimaksud oleh Dannemann adalah bahwa, sebagai salah satu mekanisme perlindungan hakhak konstitusional warga Negara, pengaduan konstitusional lebih kuat jika dibandingkan dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang, baik dalam bentuk pengujian undang-undang secara abstrak (abstract judicial review) maupun pengujian undang-undang secara konkret (concrete judicial review). Hal itu dikarenakan dalam pengaduan konstitusional individu warga Negara secara langsung dapat membawa masalah pelanggaran terhadap hak konstitusionalnya ke mahkamah konstitusi, sedangkan dalam mekanisme lainnya (baik dalam abstract judicial review maupun concrete judicial review akses ke mahkamah konstitusi itu hanya dapat dilakukan secara tidak langsung. Berdasarkan uraian di atas telah jelas bahwa kewenangan mahkamah konstitusi untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional merupakan sesuatu yang melekat dalam fungsi mahkamah konstitusi untuk melaksanakan 75
pengujian konstitusional. Namun, tidak demikian mekanisme yang dijalankan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, melalui P4TIK (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sesuai apa yang di bahasakan pada interview/ wawancara pada hari, Selasa 7 November 2015 bertempat di Ruang Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bahwa, bagaimana upaya hukum bagi warga Negara mengajukan hak konstitusionalnya berkaitan dengan penggunaan Constitutional Complaint?, Jelas Mahkamah Konstitusi tidak dapat menindak lanjuti ketika ada Warga Negara yang mengajukan permohonan terkait terlanggarnya hak konstitusional warga Negara dengan menggunakan upaya hukum Constitutional Complaint karena itu jelas bukan kompetensi dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sesuai tupoksi yang diamanatkan Konstitusi terhadap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, jadi ketika ada Permohonan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dan bersubtansi Constitutional Complaint itu jelas akan ditolak, dan tidak ada alasan/ atau jalan yang dapat di tempuh oleh si Pemohon untuk tetap mempertahankan permohonannya agar dapat diperkarakan, itu semua karena di Indonesia belum ada aturan pada Konstitusi yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili permohonan dari upaya hukum Constitutional Complaint.
Namun, menurut beberapa ahli dari
Negara-negara Eropa tengah dan timur yaitu Negara-negara yang sedang 76
menjalani proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi terdapat argumentasi lain tentang pemberian
kewenangan
mengadili perkara
pengaduan konstitusional itu kepada Mahkamah Konstitusi. Dikatakan. Hal yang hendak ditekankan melalui pembentukan lembaga peradilan tersendiri dan otonom yang dinamakan mahkamah konstitusi itu adalah bahwa konstitusi benar-benar memberi perlindungan yang nyata baik terhadap demokrasi maupun terhadap hak-hak warga Negara. Constitutional Complaint adalah salah satu contoh nyata dari perwujudan perlindungan demikian. Pemberian kewenangan mengadili perkara pengaduan konstitusional kepada mahkamah konstitusi dinilai akan memberi konstribusi pada upaya untuk memperkuat penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar manusia pada umumnya dan warga Negara pada khususnya, mengintensifkan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dan sekaligus mempertegas derajat konstitusional hak-hak dan kebebasan-kebebasan itu. Parkara pengaduan konstitusional adalah perkara yang berangkat atau muncul dari kasus-kasus nyata dalam praktik. Sehingga, hanya jika mahkamah konstitusi diberi kewenangan untuk mengadili kasus-kasus nyata yang lahir dalam praktik seperti itulah baru dapat dikatan bahwa hak-hak dan kebebasankebebasan yang dijamin oleh konstitusi itu telah menikmati atau menempati prioritas yang pantas45.
45
Anna Triningsih, P4TIK (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi
77
Dengan melihat pendapat para ahli dan hasil penelitian pada bab ini, sangat jelas saya kira bahwa upaya hukum Constitutional Complaint ini, sangat tepat untuk di berlakukan di Indonesia, yang dimana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lah yang bertugas atau berwenang dalam menindak lanjuti atau mengadili permohonan Constitutional Complaint oleh Pemohon, seperti kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi selaku Guardian of Constitution atau Pengawal Konstitusi memiliki peranan yang sangat urgent di system ketatanegaraan Indonesia, yakni salah satunya menjamin Hak Konstitusional Warga Negara/ Hak Individual agar tetap utuh sebagaimana layak dan mestinya. Mengutip apa yang dibahasakan oleh Bapak Palguna
di dalam bukunya yang berjudul “Pengaduan Konstitusional
(Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara” bahwa, dari tahun ke tahun Pemohon yang mengajukan Permohonannya dan bersubstansi Constitutional Complaint semakin bertambah, bukannya diterima, tetapi permohonan tersebut jelas akan ditolak, hal tersebut juga diperjelas oleh Badan P4TIK (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi) Mahkamah Konstitusi, dalam wawancaranya, bahwa tidak mungkin untuk mengadili perkara yang bersubtansi Constitutional Complaint, karena hal tersebut belum di atur dalam Konstitusi/ UUD, maka dari itu Mahkamah dan Komunikasi) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ketika menjawab pertanyaan penulis melalui wawancara/interview, Selasa, 7 November 2015
78
Konstitusi Republik Indonesia hanya bisa memberikan perlindungan Konstitusional terhadap Warga Negara, yang dimana kewenangannya tersebut telah tertuang di dalam Konstitusi Republik Indonesia, Jadi untuk membangun Mahkamah Konstitusi yang ideal atau Mahkamah Konstitusi sebagaimana Mahkamah Konstitusi yang semestinya, Mahkamah Konstitusi haruslah memiliki kewenangan yang sebagaimana Pengawal Konstitusi harus miliki, agar di dalam penerapannya dalam menjalankan tugas selaku Guardian of Constitution atau Pengawal Konstitusi tidaklah setengah-setengah, atau tidak maksimalnya penerapan konstitusionalisme yang hidup di tengah-tengah Masyarakat Indonesia. Bagi Negara-negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi demikian, pengaduan konstitusional dipandang bukan sekedar jaminan perlindungan hak-hak konstitusional warga Negara terhadap perbuatan sewenang-wenang penguasa melainkan juga sebagai sarana penting untuk membangun demokrasi konstitusional yang berlandaskan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu, sebagai instrumen khusus
perlindungan
hak-hak
konstitusional
seseorang,
pengaduan
kosntitusioanl memberi warga Negara suatu hak untuk memasuki sengketa hukum melawan Negara, beserta aparatnya. Pentingnya kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional itu diberikan kepada mahkamah konstitusi bukan semata-mata dikarenakan bahwa warga Negara akan 79
bersengketa secara hukum dengan Negara, termasuk pengadilan biasa sebagai bagian dari kekuaasaan Negara, melainkan juga karena adanya karakter yang spesifik dari pengaduan konstitusional sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap Negara dalam hubungannya dengan subjek yang berhak untuk mengajukan pengaduan, objek pengaduan, aturan-aturan khas yang berkait dengan
prosedur
pengaduan
dan
80
penerimaan
pengaduan
tersebut.
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat penulis tarik adalah sebagai berikut : 1. Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) adalah perlindungan hak-hak konstitusional warga Negara terhadap perbuatan sewenang-wenang penguasa melainkan juga sebagai sarana penting untuk membangun demokrasi konstitusional yang berlandaskan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi Manusia. Selain itu, sebagai instrumen khusus perlindungan hak-hak konstitusional Seseorang, pengaduan kosntitusioanl memberi warga Negara suatu hak untuk memasuki sengketa hukum melawan Negara, beserta aparatnya. Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Konstitusi (the Guardian of the Constitution), Mahkamah konstitusi disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) karena melalui mekanisme kerjanyalah dimungkinkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi dalam suatu Negara benar-benar dilaksanakan dan ditegakkan dalam praktik bernegara. Oleh sebab itu, penegakan hukum dimulai dari tegaknya hukum yang paling tinggi, yaitu Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Dilihat dari perspektif ini, kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional tidak dapat dipisahkan dari fungsi mahkamah 81
konstitusi sebagai pengawal konstitusi. Sebab, sebagaimana telah berulangulang diuraikan, pengaduan konstitusional adalah salah satu mekanisme untuk melindungi hak-hak konstitusional warga Negara, sedangkan hak-hak konstitusional itu sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Manakalah Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai pengawal Undang-Undang Dasar atau konstitusi maka dengan sendirinya dia juga mengawal hak-hak konstitusional. 2. Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang ini, pelembagaan Mahkamah Konstitusi berarti pelembagaan fungsi pengawalan terhadap nilai-nilai individual dan sosial yang dipositifkan dalam konstitusi. Apabila dilihat dari sudut pandang ini pun kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional dapat dikonstruksikan sebagai kewenangan melekat dalam fungsi yang diemban oleh mahkamah konstitusi. Sebab, dalam nilai-nilai individual dan sosial yang dipositifkan dalam konstitusi tersebut didalamnya termasuk, bahkan terutama mencakup, transformasi konsep-konsep hak-hak alamiah menjadi hak-hak fundmental dan kemudian hak konstitusional. Sebutan yang paling jelas merefleksikan bahwa kewenangan mengadili perkara pengaduan konstitusional melekat pada fungsi mahkamah konstitusi adalah sebutan mahkamah konstitusi sebagai pelindung hak konstitusional Warga Negara. Sebagaimana telah berulang-ulang dijelaskan, mahkamah konstitusi
dibentuk
adalah
untuk 82
melaksanakan
fungsi
pengujian
konstitusional. Salah satu dari dua tugas pengujian konstitusional adalah melindungi hak-hak konstitusional warga Negara dari pelanggaran yang dilakukan oleh cabang-cabang kekuasaan Negara. Pengaduan konstitusioanl adalah salah satu perwujudan atau bentuk dari pengujian konstitusional itu. Dalam kelompok hak yang disebut sebagai hak konstitusional itu terdapat hak yang tergolong hak asasi Manusia. Dengan demikian, melalui kewenangannya mengadili perkara pengaduan konstitusional, mahkamah konstitusi dengan sendirinya juga merupakan pelindung hak asasi manusia. Memang benar bahwa tidak semua hak yang termasuk ke dalam hak konstitusional itu tergolong hak asasi. Namun, terlepas dari soal apakah ia tergolong hak asasi atau bukan, hak konstitusional itu diakui memiliki kedudukan fundamental karena diatur dalam konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum fundamental dalam suatu Negara.
83
5.2. Saran Adapun saran yang penulis berikan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1) Harus ada pengaturan yang lebih jelas dan tegas mengenai Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional), yang dimana hal tersebut jelas akan diatur didalam Konstitusi/ Undang-Undang Dasar. Karena Mahkamah konstitusi disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of
the
constitution)
karena
melalui
mekanisme
kerjanyalah
dimungkinkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi dalam suatu Negara benar-benar dilaksanakan dan ditegakkan dalam praktik bernegara, maka sangat tepat kalau Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang untuk mengadili perkara-perkara yang bersubstansi Constitutional Complaint 2) Harus dilakukan sosialisasi mengenai pentingnya Hak Konstitusional warga Negara dan upaya hukum untuk melindungi Hak Konstitusional tersebut,
khususnya
perlindungan
Hak
Konstitusional
melalui
mekanisme Constitutional Complaint, dan juga tindakan-tindakan apa saja yang
substasnsinya harus diselesaikan melalui mekanisme
Constitutional Complaint.
84
85