BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat
3
mengamanatkan
bahwa
pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanat tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 2 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal berikutnya yaitu pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Atas hal tersebut, setiap upaya dalam
bidang
pendidikan perlu mengarah pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Belajar di perguruan tinggi berbeda dengan belajar pada level-level sebelumnya. Mahasiswa mempunyai cara berpikir yang berbeda dengan siswa. Cara berpikir mahasiswa sebagai individu yang memasuki tahap dewasa awal berada dalam tahap kognitif post formal thought, yaitu cara berpikir yang sudah
fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistik (Piaget, dalam Santrock, 1997). Cara berpikir orang dewasa ini, biasanya ditandai dengan kemampuan untuk menghadapi
ketidakpastian,
ketidaksempurnaan,
dan
ketidakstabilan,
berkompromi;
sesuatu
bahkan
yang
kontradiktif,
kemampuan
metakognisi
mahasiswa dipandang lebih baik dibandingkan dengan pada level sebelumnya (Pintrich & DeGroot 1990). Hal ini dikarenakan mahasiswa memiliki kemampuan lebih dalam berbahasa, konsep, dan pengalaman dalam belajar dan berpikir. Ini juga yang membuat pengajaran dan diskusi tentang kognisi dan metakognisi terasa lebih mudah pada mahasiswa (Zimmerman, 2000). Masa dewasa juga merupakan saat-saat di mana seseorang mengalami perubahan psikologis dan fisik bersamaan dengan penyesuaian diri dan harapanharapan terhadap perubahan tersebut (Santrock, 1997). Menurut Santrock (1997), karakteristik masa dewasa yang berkaitan dengan proses pembelajaran adalah: masa pengaturan (settle down), masa ketegangan emosional, masa komitmen, masa perubahan nilai, dan masa penyesuaian diri dengan kehidupan baru. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa dituntut harus lebih bertanggungjawab dan
harus
melepaskan
ketergantungannya
menuju
kemandirian
untuk
menjalankan peran dan tugas-tugas barunya yang sesuai dengan harapannya, termasuk tugas-tugas baru terkait pembelajarannya. Kondisi di atas berdampak pada bagaimana pembelajaran mahasiswa. Menurut Knowles (1970) pembelajaran orang dewasa memiliki karakteristik seperti: a) pertumbuhan dan kematangan konsep diri orang dewasa bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri (self directed). b) orang dewasa akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman di mana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu
yang sama memberikan orang dewasa sebagai dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru, dan c) orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan (problem centeredorientation), bukan berpusat pada materi. Konsekuensi dalam pembelajaran di kelas, penyampaian materi kepada mahasiswa perlu menggunakan pendekatan pembelajaran yang mendukung pada pencapaian self directed mahasiswa, menjadikan pengalaman sebagai sumber pembelajaran, dan mengarahkan orientasi belajar mahasiswa pada pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Uraian di atas menyiratkan bahwa pembelajaran di Perguruan Tinggi diarahkan pada pencapaian self directed, kemandirian, dan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki mahasiswa sebagai upaya untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Pengalaman juga sangat berperan terhadap proses konstruksi pengetahuan mahasiswa (Kolb, 1984). Pengalaman mahasiswa akan mengantarkan pada kebermaknaan materi yang dipelajari (Tennant, 2006). Pengetahuan yang bermakna akan membantu mahasiswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (Kolb, 1984). Laurillard (2002) memperkuat hal ini dengan mengungkapkan bahwa belajar di Perguruan Tinggi menuntut mahasiswa untuk belajar lebih mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan mahasiswa tampil produktif, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran di Perguruan Tinggi salah satunya bertujuan untuk membebaskan mahasiswa dari kebutuhan mereka terhadap dosen, sehingga para mahasiswa dapat terus belajar secara mandiri sepanjang hidupnya (Slavin, 2009). Untuk terus belajar secara mandiri, maka mahasiswa harus menjadi seorang pembelajar dengan mengatur pembelajarannya sendiri (self regulated
learner) (Woolfolk, 2008). Bekal utama yang dibutuhkan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut adalah memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengatur kegiatan belajar, mengontrol perilaku belajar, dan mengetahui tujuan, arah, serta sumber-sumber yang mendukung untuk belajarnya (Ormrod, 2008). Frustrasi dengan tugas-tugas kuliah menuntut pembelajaran baru yang harus diprakarsai dan diarahkan sendiri atau diistilahkan sebagai belajar berdasar regulasi diri (BBRD) (Zimmerman & Martinez-Pons, 2001). BBRD menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk belajar disiplin, mengatur, dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Dalam hal belajar, mahasiswa yang sudah mengetahui secara pasti tujuan dari kegiatan belajarnya akan mengarahkan segala pemikiran, perasaan, penerapan starategi, dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mempertahankan prestasi akademiknya (Paris & Turner, 1994). BBRD merupakan kombinasi keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa lebih mudah, sehingga mahasiswa lebih termotivasi (Knowles, 1985). BBRD menekankan pentingnya tanggungjawab personal dan mengontrol pengetahuan dan keterampilanketerampilan yang diperoleh (El-Anzi, 2005). Oleh karena itu, BBRD melibatkan proses-proses yang bersifat metakognitif seperti penetapan tujuan (goal setting), merencanakan pembelajaran, motivasi diri, kontrol perhatian, penggunaan strategi belajar yang fleksibel, monitor diri, mencari bantuan yang tepat, dan evaluasi diri (Zimmerman, 2002; Zimmerman, 1990; Winne & Hadwin, 2008; Zimmerman & Martinez-Pons, 1998; Wolters, 2003; Winne, 1995).
Mahasiswa yang melakukan BBRD memiliki keterampilan (skill) dan kemauan (will) untuk belajar (McCombs & Marzano, 1990). Mahasiswa juga mentransformasikan kemampuan-kemampuan mentalnya menjadi keterampilanketerampilan dan strategi akademik (Zimmerman, 2002). Lebih lanjut Schunk (1997) mengemukakan bahwa mahasiswa dikatakan telah melakukan BBRD bila mereka
secara
sistematis
mengatur
perilaku
dan
kognisinya
dengan
memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol berjalannya suatu proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai positif belajarnya. Mahasiswa juga dikatakan telah menerapkan BBRD apabila mahasiswa memiliki strategi untuk mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar mereka sendiri (Zimmerman dan Martinez-Ponz, 1990, Zimmerman, 1989). Kebiasaan mengatur dan mengarahkan diri sendiri diharapkan dapat terbentuk dalam diri mahasiswa. Ini mengindikasikan bahwa BBRD menekankan pentingnya inisiatif karena BBRD merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif. Mahasiswa yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan (Zimmerman, 2002). Fakta di lapangan berdasar sejumlah hasil penelitian seperti yang dilakukan Sawitri & Ariati (2010), Latipah (2009), Darmiany (2009), Alsa (2005), Sunawan (2003) menunjukkan bahwa para mahasiswa nampak masih belum menghayati
kebiasaan
menyesuaikan
diri
belajar
dengan
di
Perguruan
kehidupan
Tinggi
kampus.
dan
Ironisnya
belum lagi,
dapat mereka
beranggapan
ketidak-hadiran
dosen
sebagai
suatu
hal
yang
sangat
menyenangkan, sehingga banyak di antara mereka memperoleh prestasi rendah, kurang sesuai dengan harapan. Penelitian Rosiana, dkk. (2010) dan Arjanggi & Suprihatin (2010) menemukan bahwa masih banyak mahasiswa yang BBRD-nya rendah, yang ditunjukkan dalam rendahnya tanggungjawab personal terhadap materi yang dipelajari. Dengan tanggungjawab personal yang rendah tersebut mengakibatkan mahasiswa merasa kesulitan ketika ujian; akhirnya merekapun mencontek saja. Mahasiswa lebih senang menggunakan jalan pintas dalam menghadapi ujian atau tesnya dengan cara mencontek daripada harus dengan cara belajar giat. Ini diperkuat hasil survey Davis (2009) terhadap mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang menemukan bahwa 95% (dari 600 orang) mahasiswa mengaku pernah mencontek, dan frekuensi mencontek mereka di atas lima kali. Di tempat lain, mencontek sudah diidentikkan dengan nilai kerjasama dan solidaritas. Tindakan mencontek telah mewabah hampir di setiap perguruan tinggi, baik dilakukan secara individual, bekerjasama dengan teman sebaya, bahkan dengan para administrator di perguruan tinggi. Penelitian Sawitri & Ariati (2010) mengkaji tentang penyebab rendahnya IPK di kalangan mahasiswa. Mereka menemukan bahwa mahasiswa memiliki IPK rendah yang disebabkan oleh rendahnya BBRD. Rendahnya BBRD ditunjukkan dalam perilaku seperti tidak mengetahui alasan mereka belajar, mahasiswa minim menggunakan strategi belajar kognitif, dan malas meminta bantuan kepada orang yang tepat. Karena tidak mengetahui alasan mengapa mereka belajar tersebut menjadikan mahasiswa sering merasa malas, ngantuk, dan bosan. Rasa malas muncul ketika mereka harus membaca referensi
berbahasa Inggris, berkutat dengan materi yang tidak sedikit, serta menghadapi setumpuk tugas dengan deadline ketat. Sementara rasa kantuk menyerang ketika mereka mulai sulit berkonsentrasi, mendengarkan penjelasan dosen dan mencatat hal-hal penting, dan hal ini mereka alihkan dengan mengobrol. Mereka lebih memilih untuk mengkopi materi perkuliahan dalam bentuk soft dan hard copy daripada tune in dengan situasi perkuliahan, termasuk menghindari tatap muka, mengerjakan tugas, dan membaca buku teks. Penelitian serupa juga telah dilakukan Latipah (2009) terhadap mahasiswa program studi (prodi) Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. Latipah telah mengkaji tingkat BBRD pada mahasiswa prodi PGMI. Temuan Latipah menunjukkan bahwa BBRD mahasiswa masih rendah. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa rendah dalam hal tanggung jawab personal, kurang mengontrol pengetahuan
dan
keterampilan-keterampilan
yang
diperoleh.
Rendahnya
tanggung jawab personal ini misal ditunjukkan mahasiswa ketika mereka diberi tugas berupa pekerjaan rumah (PR). Terkait hal ini, mahasiswa lebih banyak yang mengerjakan tugasnya secara mendadak dengan cara meminjam hasil pekerjaan milik teman. Dalam kondisi demikian mahasiswa tidak mempunyai keinginan untuk menggunakan strategi-strategi belajar kognitifnya, seperti menggunakan peta konsep (mind map), membuat singkatan-singkatan dari materi yang akan diingat, atau bahkan melakukan elaborasi sebagai proses untuk memperdalam pemahaman materi. Selanjutnya tentang BBRD mahasiswa prodi PGMI yang dimaksud, dirangkum pada Grafik 1.
Grafik 1. Rangkuman Persentase Sebaran Frekuensi Skor Motivasi Belajar, Strategi Belajar Kognitif, Regulasi Metakognitif, dan Kelola Sumber Daya (N=405)
Ditunjukkan pada Grafik 1, BBRD mahasiswa rendah yang ditunjukkan dalam dimensi-dimensi BBRD, yaitu mahasiswa memiliki motivasi belajar yang sedang, sementara tingkat strategi belajar kognitif, regulasi metakognitif, dan kelola sumber dayanya rendah. Selain berdasar pengisian skala BBRD, temuan ini diperkuat oleh wawancara. Hasil wawancara terhadap mahasiswa diperoleh informasi bahwa hal-hal yang menyebabkan motivasi belajar mereka rendah adalah terkait performa dosen. Performa dosen yang dimaksud adalah seperti penampilan fisik dan cara penyampaian materi. Berdasar hasil wawancara preliminary (Latipah, 2009) juga terungkap bahwa mahasiswa sebenarnya mengetahui dan menyadari bahwa dosen sangat menguasai materi, namun jika cara penyampaian yang kurang sesuai –seperti kurangnya penguatan terhadap materi yang disampaikan, kurang mengaitkan materi dengan kehidupan nyata, minimnya penggunaan media dan peraga,
kurang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya, dan jarangnya praktek- membuat mereka menjadi kurang terdorong untuk belajar. Terkait bagaimana mahasiswa mempelajari atau memahami materi yang disampaikan dosen, hasil wawancara terhadap mahasiswa terungkap bahwa kebanyakan mereka menggunakan cara-cara yang sama persis seperti yang dilakukan dosen. Dikarenakan caranya yang sama persis seperti yang dilakukan dosen, maka ketika dosen memberikan soal yang berbeda dalam ujian, mahasiswa sering mengalami tidak bisa mengatasi (Latipah, 2009). Alhasil, karena terbiasa menggunakan cara yang sama persis, mereka seringkali tidak bisa mengembangkan strategi-strategi yang berbeda dengan dosen. Dalam hal ini mahasiswa dikatakan minim menggunakan strategi-strategi belajar kognitif yang berbeda sesuai dengan sifat materi atau soal yang dihadapi. Hasil wawancara terungkap juga bahwa mahasiswa jarang melakukan perencanaan yang baik dalam pembelajarannya. Menurut mereka, perencanaan dalam pembelajaran kurang penting karena tidak akan berdampak pada penguasaan materi yang ingin mereka pelajari. Terakhir, yang disampaikan mahasiswa terkait pembelajarannya adalah bahwa mereka merasa sungkan untuk bertanya kepada dosen. Bagi mereka, bertanya atau tidak kepada dosen, hasilnya akan sama saja (Latipah, 2009). Kondisi tersebut tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, kondisi tersebut perlu diatasi, paling tidak diubah ke arah yang lebih baik agar menghasilkan lulusan yang mampu belajar secara mandiri,
mampu mengatur tingkah lakunya secara dinamis, dan fleksibel dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Untuk mencapai hal di atas, mahasiswa membutuhkan BBRD. BBRD dibutuhkan mahasiswa agar mereka
mampu
mengatur
dan
mengarahkan
dirinya
sendiri,
mampu
menyesuaikan dan mengendalikan diri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Rendahnya BBRD dapat disebabkan oleh banyak faktor. Jika merunut pada hasil wawancara dengan mahasiswa sebagaimana diuraikan di muka, rendahnya BBRD disebabkan salah satunya oleh cara dosen mengajar. Dalam hal ini dosen minim melakukan pembelajaran dengan cara praktek, simulasi, eksperimen, dsb. Dosen juga minim memberikan feedback; tidak pernah ada sesi refleksi yaitu proses mengungkapkan kembali terhadap proses pembelajarannya. Cara dosen tersebut menunjukkan bahwa dosen masih dominan dengan cara yang konvensional, yaitu ceramah. Dengan mempertimbangkan uraian tentang BBRD di atas, maka strategi pembelajaran yang dipandang sesuai atau mampu meningkatkan BBRD mahasiswa adalah strategi pembelajaran eksperiensial. Strategi pembelajaran eksperiensial merupakan sebuah strategi yang menekankan pada pentingnya pengalaman mahasiswa. Pengalaman dijadikan sebagai sumber belajar untuk mengkonstruksi
pengetahuan
baru
(Kolb,
1984).
Strategi
pembelajaran
eksperiensial terdiri dari sebuah siklus yang memiliki empat tahapan yaitu: mengalami, mengamati dan merefleksikan, konstruksi abstrak atau generalisasi, dan implementasi (Kolb, 1984). Strategi pembelajaran eksperiensial berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Ini artinya bahwa yang aktif dalam pembelajaran adalah
mahasiswa, bukan dosen (Tennant, 2006). Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk mengarahkan pada pembelajarannya sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri sebagaimana yang menjadi salah satu karakteristik dari BBRD. Selain itu strategi pembelajaran eksperiensial berorientasi pada aktivitas (Tennant, 2006). Ini artinya bahwa dalam pembelajaran mahasiswa lebih sering melakukan kegiatan-kegiatan, uji coba, eksperimen, bermain peran, demonstrasi, dan sebagainya sebagai proses untuk memahami materi (Walters, 1981). Banyaknya aktivitas dalam belajar melalui latihan, uji coba, praktek, demonstrasi, simulasi, dan sebagainya, memungkinkan mahasiswa memiliki BBRD tinggi, karena hal tersebut selaras dengan kegiatan yang perlu dilakukan oleh seseorang yang melakukan BBRD (Zimmerman, 2002). Karakteristik khusus dalam pembelajaran eksperiensial adalah adanya proses refleksi. Refleksi yang dimaksud adalah refleksi personal tentang pengalaman dan perumusan rencana untuk menerapkan belajar ke dalam konteks lain. Dalam proses refleksi, mahasiswa memandang kembali aktivitas untuk mengklarifikasi pembelajaran dan perasaan-perasaannya secara kritis, menggambarkan manfaat pengetahuan dari analisis tersebut, dan menyimpan pembelajaran untuk bekerja dalam situasi baru (Pfeipper & Jones, 1979). Proses ini memungkinkan mahasiswa untuk melakukan perubahan atas berbagai hal, seperti tentang perencanaan belajar yang lebih baik, penggunaan strategi belajar yang lebih sesuai, atau bahkan melakukan penataan atas lingkungan belajarnya (Woolfolk, 2008). Kondisi ini selaras dengan seseorang yang melakukan belajar berdasar regulasi diri. Uraian di atas mempertegas bahwa strategi pembelajaran eksperiensial dipandang mampu meningkatkan BBRD mahasiswa.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, di antaranya adalah dalam bidang prestasi, seperti prestasi olah raga (Smoll & Schutz, 1990), prestasi matematika (Eisenberg, 1996), dan prestasi IPA (National Assessment of Educational Progress, 2005). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam hal BBRD. Zimmerman & Martinez-Pons (2001) menemukan bahwa perempuan lebih unggul dalam menggunakan strategi belajar kognitif dibandingkan laki-laki. Perempuan terbukti lebih sering menggunakan metode-metode tertentu dalam pembelajarannya seperti membuat mind map, mengaitkan materi dengan sesuatu yang mudah diingat, dan membuat singkatan-singkatan untuk memudahkan menghafal. Perbedaan dalam penggunaan strategi belajar kognitif berdampak pada keyakinan mereka terhadap kesuksesan akademiknya (efikasi diri), di mana perempuan memiliki keyakinan akan kemampuannya yang lebih baik daripada laki-laki. Temuan Karyanta (2002) memperkuat hal ini, di mana perempuan menggunakan 14 strategi BBRD lebih sering daripada laki-laki; sementara Laila (2012) menemukan bahwa mahasiswa perempuan penghafal al-Quran memiliki perencanaan waktu yang lebih baik untuk menghafal al-Qur‟an daripada laki-laki. Perempuan memilih waktu-waktu tertentu yang dianggapnya lebih baik untuk menghafal al-Qur‟an sementara laki-laki menggunakan waktu kapan saja, sesempatnya. Temuan Bembenutty & Karabenick (dalam Bembenutty, 2002) bahwa perempuan memiliki tingkat penundaan pilihan (delay of preferences) yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan juga memperoleh skor yang lebih tinggi pada dimensi penundaan kepuasan (delay of gratification-nya), motivasi ekstrinsik, pengorganisasian, dan juga usahanya. Perempuan menggunakan strategi belajar
lebih sering daripada laki-laki khususnya dalam regulasi personal, pengoptimalan lingkungan, dan penyelesaian tugas atau kegiatan belajar yang sukar (Albard & Lipschultz, 1998). Atas hal tersebut, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana perbedaan BBRD pada laki-laki dan perempuan. Dalam sejumlah penelitian ditemukan bahwa BBRD berperan terhadap peningkatan prestasi akademik. Menurut Zimmerman & Martinez-Pons (1998), perilaku aktif dalam proses BBRD menghasilkan peningkatan kinerja akademik. Mereka menemukan bahwa mahasiswa yang mendapat skor tes prestasi satu persen paling tinggi dalam populasi, merupakan para mahasiswa yang sering menggunakan
strategi
BBRD,
yaitu
dengan
cara
mengorganisasi
dan
mentransformasikan informasi; menyediakan hadiah dan hukuman berdasar kinerjanya; serta mereviu catatan, minta bantuan teman, dosen, atau para ekspert. Selain itu, mereka juga cenderung menstruktur kembali lingkungan fisiknya agar dapat memenuhi kebutuhannya dalam belajar. Berbagai prestasi akademik yang terbukti mampu ditingkatkan melalui BBRD adalah seperti: kemampuan menulis cerita (Graham & Harris, 1999), prestasi belajar matematika (Camahalan, 2000; Sunawan, 2003; Alsa, 2005), kemampuan berbahasa Inggris (Pintrich & DeGroot, 1990), medis (Kuiper, 2005), dan teknologi informasi (Kramarski & Mizrachi, 2006), bahkan strategi BBRD efisien digunakan bagi seseorang yang mengalami kesulitan dalam belajar sekalipun (Graham & Harris, 1999). Penelitian lain yang serupa adalah sebagaimana telah dilakukan Cekolin (2001). Dalam penelitiannya dia membandingkan dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama pengetahuannya tinggi tetapi BBRD-nya rendah, dan kelompok kedua sebaliknya yaitu pengetahuan rendah tetapi BBRD-nya tinggi.
Hasilnya
menunjukkan
bahwa
kelompok
kedua
lebih
sukses
dalam
melaksanakan tugas yang disajikan (yang menuntut pengetahuan) dibandingkan kelompok pertama. Berdasar sejumlah penelitian tentang peran BBRD terhadap prestasi belajar khususnya prestasi belajar matematika dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana keterkaitan BBRD dengan prestasi belajar matematika pada mahasiswa Prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa ini adalah calon guru kelas di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sebagai calon guru kelas di MI, maka mereka dituntut untuk menguasai materimateri
(mata
pelajaran)
di
MI
sekaligus
menguasai
bagaimana
cara
mengajarkannya. Salah satu mata pelajaran yang perlu dikuasai oleh mahasiswa calon guru MI adalah matematika. Alasan dipilihnya mata pelajaran matematika adalah karena matematika selain merupakan salah satu mata pelajaran inti yang ada di MI, nilai matematika pada mahasiswa PGMI FITK UIN Suka merupakan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan nilai mata kuliah lain. Ini diketahui berdasar penelitian Latipah-b (2010) terhadap mahasiswa prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga yang menemukan prestasi matematika mahasiswa berada dalam kategori rendah, sebagaimana dirangkum pada Tabel 1. Tabel 1 Rangkuman Nilai Akhir Pembelajaran Matematika Mahasiswa Prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Semester, Rata-rata Konversi Persentase Jumlah Angkatan Nilai Huruf (%) Gasal, 2007/2008 65 C+ 61 (dari 90 org) 67,8 Genap, 2007/2008 60 C 60 (dari 90 org) 66,7 Gasal, 2008/2009 69 B/C 95 (dari 120 org) 79,2 Genap, 2008/2009 65 C+ 80 (dari 120 org) 66,67 Gasal, 2009/2010 70 B/C 64 (dari 100 org) 64 Genap, 2009/2010 72 B60 (dari 100 org) 60 Gasal, 2010/2011 73 B63 (dari 95 org) 66,3 Genap, 2010/2011 72 B61 (dari 95 org) 64,2
Berdasar Tabel 1, mahasiswa memiliki nilai rata-rata matematika yang rendah. Jika dikonversikan ke dalam huruf, mereka memperoleh nilai B- ke bawah. Walaupun nilai tersebut dianggap lulus, namun jika dibandingkan dengan nilai mata kuliah-mata kuliah lain, nilai matematika mahasiswa merupakan nilai yang paling rendah. Atas hal ini, maka akan dilihat bagaimana korelasi antara BBRD mahasiswa calon guru kelas di MI dengan prestasi belajar matematikanya.
B. Rumusan Permasalahan Meningkatkan kualitas belajar dengan melibatkan partisipasi aktif mahasiswa merupakan hal penting yang tidak dapat dielakkan lagi. Era teknologi yang serba canggih telah mendorong sejumlah perguruan tinggi untuk melakukan
pembelajaran
berbasis
digital,
sehingga
sejumlah
kampus
menamakan dirinya sebagai „kampus digital‟ (digital campus). Pembelajaran berbasis digital menuntut mahasiswa untuk belajar mandiri, terlibat aktif dalam pembelajaran, dan mengatur pembelajarannya sendiri. Singkat kata, mahasiswa perlu belajar berdasar regulasi diri (BBRD). Dalam kenyataan, BBRD mahasiswa masih rendah. Melalui survey dan penelitian yang telah dilakukan peneliti (Latipah-b, 2010) terungkap bahwa sejumlah mahasiswa PGMI memiliki BBRD rendah, yang terlihat dari motivasi belajar
rendah,
penggunaan
strategi
belajar
yang
kaku
(seringkali
menggeneralisir semua strategi untuk semua materi), tidak melakukan perencanaan belajar yang baik, malas meminta bantuan dengan cara bertanya ketika mereka tidak paham atau kesulitan dengan materi yang dipelajari, dan kurang peduli dengan lingkungan belajar positif yang dapat memacu semangat belajarnya. Motivasi belajar, strategi belajar kognitif, regulasi metakognitif, dan
kelola sumber daya merupakan dimensi-dimensi dari belajar berdasar regulasi diri. Penyebab
rendahnya
BBRD
mahasiswa
salah
satunya
adalah
dikarenakan strategi pembelajaran yang digunakan dosen. Berdasar hasil wawancara dengan sejumlah mahasiswa terungkap bahwa sejumlah dosen, khususnya matematika),
yang
mengajar
masih
mata
dominan
kuliah
yang
menggunakan
nilainya
metode
rendah
ceramah
(seperti padahal
karakteristik materinya sangat menuntut banyak praktek, latihan, simulasi, demonstrasi, dan sejenisnya. Terlalu banyaknya metode ceramah dalam pembelajaran matematika menjadikan para mahasiswa sebagai calon guru MI/SD seringkali „keliru‟ dalam memahami materi, bahkan menjadikan materi matematika
„kurang
bermakna‟
bagi
mereka
sehingga
sulit
untuk
diimplementasikan dalam situasi lain yang berbeda. Hasil-hasil penelitian dalam bidang matematika menunjukkan bahwa pembelajaran matematika akan lebih berhasil jika metode-metode yang digunakan banyak melibatkan partisipasi aktif dari mahasiswa/siswa (Donovan, dkk., 2005). Namun demikian tidak berarti metode ceramah harus dihilangkan. Metode ceramah tetap diperlukan terutama untuk memberikan informasi atau mengembangkan keterampilan tahap demi setahap (Joyce dkk., 2009). Dengan masih dominannya metode ceramah dalam pembelajaran (terlebih dalam pembelajaran matematika) telah menjadikan mahasiswa tidak banyak terlibat secara aktif, mahasiswa cenderung pasif, sehingga mahasiswa kurang terdorong untuk belajar lebih mendalam atau bagaimana mengelaborasi materi pembelajaran. Mahasiswa juga cenderung tidak fleksibel dalam menggunakan strategi pembelajaran, monoton hanya menggunakan strategi „itu-
itu‟ saja karena terbiasa diceramahi. Lebih lanjut mahasiswa kurang terdorong untuk meminta bantuan kepada pihak lain jika menemui kesulitan karena model pembelajaran di dalam kelas dosen langsung memberikan arahan/jawabannya. Kondisi demikian menentukan tinggi rendahnya BBRD mahasiswa. Dengan mempertimbangkan harapan dan realita tersebut, maka strategi pembelajaran yang dipandang mampu meningkatkan BBRD mahasiswa adalah strategi pembelajaran eksperiensial (EL). Strategi EL adalah strategi yang menekankan pada pengalaman mahasiswa sebagai sumber pembelajaran, dengan melibatkan mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran melalui sebuah siklus yang terdiri dari empat tahapan yaitu mengalami, observasi refleksi, generalisasi, dan implementasi. Sejumlah penelitian menemukan bahwa ada perbedaan BBRD dan dimensi-dimensinya antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dipandang memiliki tingkat BBRD lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Karyanta, 2002; Zimmerman & Martinez-Pons, 2001). Berdasar uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Berapa besar perbedaan BBRD pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? a. Berapa besar perbedaan motivasi belajar pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok
yang
tidak
diberi
strategi
pembelajaran
eksperiensial
(kelompok kontrol)? b. Berapa besar perbedaan strategi belajar kognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen)
dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? c. Berapa besar perbedaan regulasi metakognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok
yang
tidak
diberi
strategi
pembelajaran
eksperiensial
(kelompok kontrol)? d. Berapa besar perbedaan kelola sumber daya pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok
yang
tidak
diberi
strategi
pembelajaran
eksperiensial
(kelompok kontrol)? 2.
Berapa besar perbedaan BBRD pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? a. Berapa besar perbedaan motivasi belajar berdasar regulasi diri pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? b. Berapa besar perbedaan strategi belajar kognitif pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? c. Berapa besar perbedaan regulasi metakognitif pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? d. Berapa besar perbedaan kelola sumber daya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan?
3.
Berapa besar hubungan antara BBRD dengan prestasi belajar matematika?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh strategi pembelajaran eksperiensial yang dilaksanakan dalam setting perkuliahan pada mahasiswa
Prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga yang dijabarkan dalam beberapa tujuan berikut: 1.
Menguji besar perbedaan BBRD pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). Tujuan ini kemudian dijabarkan lagi menjadi beberapa sub-tujuan berikut yang merupakan dimensi-dimensi dari BBRD. a. Menguji besar perbedaan motivasi belajar pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok
yang
tidak
diberi
strategi
pembelajaran
eksperiensial
(kelompok kontrol). b. Menguji besar perbedaan strategi belajar kognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). c. Menguji besar perbedaan regulasi metakognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). d. Menguji besar perbedaan kelola sumber daya pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok
yang
tidak
diberi
strategi
pembelajaran
eksperiensial
(kelompok kontrol). 2.
Menguji besar perbedaan BBRD pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tujuan ini kemudian dijabarkan lagi menjadi beberapa sub-tujuan berikut.
a. Menguji besar perbedaan motivasi belajar berdasar regulasi diri pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. b. Menguji besar perbedaan strategi belajar kognitif pada mahasiswa lakilaki dan perempuan. c. Menguji besar perbedaan regulasi metakognitif pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. d. Menguji besar perbedaan kelola sumber daya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. 3.
Menguji besar hubungan antara BBRD dengan prestasi belajar matematika. Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka terdapat manfaat
secara teoritis dan secara praktis dari penelitian ini. Manfaat secara teoritisnya adalah bahwa penelitian ini menemukan cara atau strategi untuk meningkatkan BBRD mahasiswa yakni dengan strategi pembelajaran eksperiensial; membantu menemukan pengaruh strategi pembelajaran eksperiensial terhadap BBRD; menemukan BBRD pada mahasiswa laki-laki dan perempuan; serta bagaimana korelasi BBRD dengan prestasi belajar matematika, sehingga hal ini dapat memperkaya khasanah keilmuan psikologi pada umumnya dan psikologi pendidikan pada khususnya, serta diharapkan dapat memacu perkembangan ilmu psikologi. Adapun manfaat praktisnya adalah bahwa hasil penelitian ini: 1. Referensi bagi dosen tentang strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran terutama untuk meningkatkan BBRD (belajar berdasar regulasi diri) mahasiswa. 2. Informasi bagi dosen tentang bagaimana cara meningkatkan BBRD mahasiswa melalui strategi pembelajaran eksperiensial.
3. Informasi bagi dosen tentang keadaan BBRD mahasiswa, sehingga hal ini dapat berguna bagi dosen khususnya dosen pembimbing akademik dalam memberikan bimbingan. 4. Informasi bagi dosen dan mahasiswa tentang BBRD pada mahasiswa lakilaki dan perempuan. Dengan temuan ini dosen tidak perlu membedabedakan
perlakuan
kepada
mahasiswa
laki-laki
dan
perempuan
sebagaimana ditemukan dalam beberapa penelitian (Alsa, 2005; Woolfolk, 2008) bahwa pendidik (guru, dosen) seringkali menunjukkan perlakuan yang spesial kepada mahasiswa yang rajin atau pintar saja. 5. Informasi bagi dosen dan mahasiswa tentang bagaimana peran BBRD dalam meningkatkan prestasi belajar khususnya prestasi belajar matematika. Dengan demikian mahasiswa termotivasi untuk meningkatkan BBRD-nya dan di sisi lain dosenpun termotivasi untuk mengajarkan bagaimana cara meningkatkan BBRD mahasiswa. 6. Pertimbangan bagi dosen dalam mengambil kebijakan atau keputusan terkait penyelenggaraan pembelajaran di kelas.
D. Keaslian Penelitian Jenis penelitian tentang pengaruh pembelajaran eksperiensial terhadap belajar berdasar regulasi diri dan prestasi belajar –khususnya prestasi pembelajaran matematika dan adanya perbedaan belajar berdasar regulasi diri dan prestasi pembelajaran matematika antara laki-laki dan perempuan yang pernah dilakukan oleh para ahli, baik di dalam maupun di luar negeri akan menjadi latar belakang yang sangat bermanfaat sebagai bahan banding untuk menentukan keaslian penelitian ini.
Strategi pembelajaran eksperiensial dipandang mampu meningkatkan prestasi akademik -seperti prestasi matematika- dan prestasi non-akademik seperti belajar berdasar regulasi diri. Hasil-hasil penelitian dalam bidang prestasi matematika yang terhimpun dalam The Cornerstone of Tech Prep (1999) menunjukkan
bahwa
prestasi
matematika
dapat
ditingkatkan
melalui
pembelajaran realistik. Pembelajaran realistik artinya pembelajaran dengan mengenalkan mahasiswa pada hal-hal yang riil (nyata) dalam kehidupan seharihari. Mahasiswa mengalami sendiri apa yang mereka pelajari, sehingga mereka mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini diperkuat oleh Grouws & Cebulla (2001) bahwa untuk meningkatkan prestasi matematika dapat dilakukan dengan banyak praktik, menyajikan materi-materi secara konkrit, dan adanya interaksi kelompok. Kose (2008) telah mengkaji tentang pengaruh pembelajaran eksperiensial terhadap prestasi dan sikap mahasiswa terhadap ilmu-ilmu sains. Dengan membandingkan antara kelompok yang diberikan metode experiential learning dengan kelompok yang diberikan metode pembelajaran langsung (direct instruction) menunjukkan bahwa kelompok dengan menggunakan metode experiential learning terbukti memiliki prestasi dan sikap terhadap ilmu-ilmu sains yang lebih baik. Ini artinya bahwa metode pembelajaran eksperiensial mampu meningkatkan prestasi ilmu-ilmu sains. Pembelajaran
eksperiensial
juga
terbukti
dapat
meningkatkan
keterampilan komunikasi, prestasi, retensi, recall, transfer pengetahuan, motivasi, dan sikap baik mahasiswa (Acikgoz, 1992; Johnson & Johnson, 1999; Kagan, 1990; Gillies, 2004; Jordan & Le Metaias, 1997). Selain itu, kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran-pemikiran mahasiswapun meningkat (Shachar
& Sharan, 1994). Experiential learning mampu meningkatkan kemampuankemampuan dan keterampilan-keterampilan tersebut melalui penggunaan metode pembelajaran aktif yang menekankan pada peran mahasiswa seperti bermain peran (role playing), simulasi, demonstrasi, dan latihan (drill). Penelitian Huynh (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman berupa praktik farmasi tingkat advanced berkorelasi positif dengan kesiapan belajar berdasar regulasi diri. Dengan adanya praktik ini berdampak terhadap
kesiapan
belajar
berdasar
regulasi
diri
mahasiswa.
Dengan
membandingkan pemerolehan skor pada saat sebelum dan sesudah praktik farmasi tingkat advanced nampak bahwa terjadi peningkatan skor belajar berdasar regulasi diri. Ini artinya bahwa pengalaman-pengalaman dalam praktik farmasi tingkat advanced mampu meningkatkan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa, meskipun dengan tingkat korelasi yang rendah. Hal serupa telah dilakukan Slazak & Zurick (2009) dalam mengkaji tentang
dampak
pengalaman
pembelajaran
berbasis
praktik
untuk
mengembangkan sikap tanggung jawab mahasiswa sebagai warga fakultas kedokteran. Untuk mewujudkan sikap tanggung jawab ini, para mahasiswa menempati hunian sambil praktik sebagai dokter, membimbing atau mendidik, dan kegiatan akademik lainnya yang berkaitan dengan sikap tanggung jawab. Setelah
melalui
beberapa
rotasi,
pengalaman
belajar
berbasis
praktik
menunjukkan mampu meningkatkan minat para mahasiswa terhadap kegiatankegiatan akademik. Di antara siklus dalam pembelajaran eksperiensial adalah adanya proses refleksi atas pengalaman yang telah diperoleh. Berkaitan dengan hal ini, Roberts (2010) telah mengkaji tentang pengaruh refleksi atas pengalaman-pengalaman
hidup yang mampu meningkatkan pemahaman mendalam dalam pembelajaran. Dalam kajiannya tersebut mahasiswa diminta untuk merefleksikan tentang persepsi mereka terhadap kehidupan usia lanjut. Hasil dari refleksi menunjukkan bahwa pembelajaran dengan cara merefleksikan pengalaman hidup pada usia lanjut mampu menggugah perasaan-perasaan dan harapannya sendiri tentang kehidupan usia lanjut. Pada akhirnya mahasiswa memiliki perasaan sangat kasihan (compassionate) terhadap orang dewasa lanjut, sekaligus dapat memikirkan bagaimana menyikapi masa usia lanjutnya kelak, sebagai indikator dari pembelajaran mendalam (deeper learning). Pembelajaran mendalam dikatakan Zimmerman & Martinez-Pons (1998) sebagai sebuah hasil dari seseorang yang melakukan belajar berdasar regulasi diri. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran mendalam diperoleh karena seseorang telah melakukan
regulasi
metakognitif
dalam
proses
pembelajarannya.
Ini
menunjukkan bahwa proses refleksi (sebagai bagian dari proses strategi pembelajaran eksperiensial) berkorelasi positif dan mampu meningkatkan belajar berdasar regulasi diri. Dimensi dalam belajar berdasar regulasi diri di antaranya adalah bahwa seseorang akan melakukan „pengelolaan lingkungan‟ untuk mendapatkan pembelajaran yang maksimal. Atas dasar hal ini, penelitian yang dilakukan Huerta-Wong & Schoech (2010) ingin membuktikan asumsinya tentang adanya korelasi antara teknik pengajaran dengan lingkungan pembelajaran. Dalam hal ini teknik pengajaran yang dimaksudkan adalah teknik experiential learning dengan teknik pembelajaran ceramah plus diskusi. Adapun lingkungan belajarnya adalah lingkungan yang berbasis komputer dan sistem internet (virtual) dan tatap muka (face to face). Hasil temuan menunjukkan bahwa
lingkungan belajar, baik secara virtual maupun tatap muka dengan berbasis eksperiensial mampu mengembangkan keterampilan mendengarkan aktif (active listening skills) mahasiswa (semester II dan VI) dalam pembelajaran. Namun demikian, dalam hal interaksi antara dosen dan mahasiswa terdapat perbedaan, di mana pada kelas tatap muka dan menggunakan teknik experiential learning memiliki tingkat interaksi yang lebih solid dibandingkan dengan pada kelas virtual dan menggunakan teknik experiential learning. Dalam kajian social work (Vandsburger, 2010) yang mengkaji tentang efek simulasi kemiskinan dengan menggunakan strategi experiential learning terhadap pemahaman mahasiswa tentang kemiskinan terbukti bahwa simulasi dengan menggunakan strategi experiential learning dapat mengembangkan sikap kritis, pemahaman terhadap orang lain, dan belajar aktif dalam proses memahami kemiskinan. Kajian di Indonesia tentang experiential learning telah dilakukan Darmiany (2009)
yang
mengkaji
tentang
penerapan
experiential
learning
dalam
mengembangkan belajar berdasar regulasi diri. Dalam penelitiannya Darmiany mendeskripsikan tentang bagaimana mahasiswa menggunakan belajar berdasar regulasi diri melalui siklus experiential learning untuk meningkatkan penguasaan materi psikologi belajar yang ditunjukkan dalam kemampuan mahasiswa dalam pembuatan artikel. Hasil penelitiannya dengan penelitian tindakan kelas terhadap 52 orang mahasiswa menunjukkan bahwa setelah mahasiswa menerapkan belajar berdasar regulasi diri dengan pola experiential learning, kemampuan penguasaan materi dasar-dasar perkembangan yang ditunjukkan dalam pembuatan artikel, meningkat dibandingkan dengan sebelumnya, meskipun dari mereka belum meningkat dengan baik secara keseluruhan.
Penelitian
lainnya
telah
dilakukan
Cahyani
(2009)
yang
telah
memanfaatkan metode experiential learning sebagai suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan mahasiswa untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Experiential learning dalam penelitiannya menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong mahasiswa mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Pola-pola yang digunakan dalam metode tersebut yaitu let the experiences speak by their self, tell story, and reflection. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode experiental learning mampu meningkatkan semangat mahasiswa (karena mahasiswa aktif), membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif, mahasiswa bersandar pada penemuan individu dan memunculkan kegembiraan dalam proses belajar mengajar, mendorong dan mengembangkan berfikir kreatif, dan memberikan pengalaman nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Penelitian yang berkaitan dengan BBRD telah dilakukan beberapa peneliti juga,
di
antaranya
adalah
oleh
Sungur
&
Tekkaya
(2006).
Mereka
membandingkan perbedaan efektivitas pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran tradisional untuk meningkatkan belajar berdasar regulasi diri pada enam puluh satu siswa SMA. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang disajikan pembelajaran berbasis masalah memiliki skor tinggi dalam orientasi tujuan intrinsik (intrinsic goal orientation), nilai tugas (task value), menggunakan strategi belajar elaborasi, berfikir kritis (critical thinking), regulasi metakognitif, regulasi usaha, dan belajar dengan teman sebaya (peer learning) dibandingkan dengan siswa yang tidak mendapat pembelajaran berbasis masalah.
Demikian juga Kristiyani (2010) telah meneliti efektivitas metode belajar Classroom Assessment Techniques (CATs) terhadap belajar berdasar regulasi diri dan prestasi statistik mahasiswa. Hasil penelitian Kristiyani secara total menunjukkan bahwa terdapat perbedaan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa pada kelompok kontrol dan eksperimen. Berdasar analisis per aspek menunjukkan bahwa perbedaan signifikan terdapat pada dimensi metakognisi dan motivasi, sedang pada aspek kognisi tidak terdapat perbedaan dalam hal prestasi statistik antara kelompok kontrol dan eksperimen. Belajar berdasar regulasi diri secara keseluruhan terdapat pada kelompok yang diberi metode CATs. Ruseno (2010) telah meneliti efektivitas metode pembelajaran tutor sebaya terhadap belajar berdasar regulasi diri. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode tutor sebaya (peer) sangat efektif dalam meningkatkan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa. Ini diperlihatkan dari adanya perbedaan belajar berdasar regulasi diri pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen setelah mendapat perlakuan berupa metode tutor sebaya memiliki tingkat belajar berdasar regulasi diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (F=12,808 dan p=0,001). Ada pengaruh metode pembelajaran tutor teman sebaya terhadap belajar berdasar regulasi diri. Mahasiswa yang belajar dengan menggunakan metode tutor sebaya dengan pembimbing yang dipilih dari teman mereka sendiri, menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Metode tutor sebaya memberikan
kebebasan
kepada
mahasiswa
yang
menjadi
tutor
untuk
mengembangkan metode dalam menjelaskan materi kepada teman-temannya, namun mereka juga diberi tanggung jawab oleh dosen agar bisa menjelaskan
materi pelajaran pada teman (tutee) yang masih belum paham, sehingga dalam pelaksanaannya tutor bisa lebih leluasa dalam menyampaikan materi sesuai dengan keinginan tutee. Nampak bahwa pembelajaran eksperiensial telah dilakukan para ahli dalam berbagai bentuk seperti sebagai sebuah strategi, metode, bahkan sebagai teknik pembelajaran. Strategi, metode, dan teknik tersebut telah digunakan para ahli dalam mengembangkan belajar berdasar regulasi diri atau komponenkomponennya, sekaligus mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial atau komponen-komponennya. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pengembangan
belajar
berdasar
regulasi
diri
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan metode lain yang hampir mirip dengan experiential learning. Dikatakan hampir mirip karena sama-sama menekankan pentingnya keterlibatan aktif mahasiswa seperti pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), classroom assessment techniques (CATs), dan pembelajaran dengan teman sebaya (peer learning). Dalam penelitian-penelitian tersebut nampak juga secara implisit bahwa penggunaan strategi experiential learning berdampak pada meningkatnya prestasi belajar. Penelitian yang paling mirip dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti
adalah
penelitian
Darmiany
(2009)
yakni
tentang
penerapan
pembelajaran eksperiensial dalam mengembangkan BBRD. Namun demikian terdapat perbedaannya dengan yang dilakukan peneliti yakni: 1) penelitian Darmiany dilakukan dalam bentuk penelitian tindakan kelas terhadap mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya, sementara yang akan dilakukan peneliti adalah dalam bentuk penelitian kuasi eksperimen; 2) Jenis mata kuliah. Mata kuliah yang digunakan Darmiany dalam penelitian tindakan kelasnya adalah psikologi
belajar, sementara mata kuliah dalam penelitian ini adalah matematika dan pembelajarannya.
Beberapa
pertimbangan
menggunakan
mata
kuliah
matematika dan pembelajarannya adalah: (a) bahwa mata kuliah matematika merupakan mata kuliah yang sangat unik. Dikatakan unik, karena bersifat „menantang/penuh tantangan‟, namun di sisi lain matematika merupakan mata kuliah yang seringkali dianggap „momok‟ oleh mahasiswa; (b) bahwa mata kuliah matematika sangat memungkinkan untuk dilakukan banyak aktivitas, latihan, percobaan melalui berbagai media atau alat peraga, di mana ini semua menuntut penggunaan strategi pembelajaran eksperiensial; (c) berdasar kurikulum prodi PGMI
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga bahwa
matematika merupakan mata kuliah kurikulum inti khusus utama sehingga semua mahasiswa wajib mengambilnya dan tentunya dituntut untuk bernilai tinggi. 3) karena penelitian Darmiany merupakan jenis penelitian tindakan kelas, maka teknik analisa datanya tentu berbeda dengan teknik dalam penelitian kuasi eksperimen. Penelitian serupa terkait adanya perbedaan belajar berdasar regulasi diri dan prestasi pembelajaran matematika berdasar jenis kelamin telah dilakukan Kalkowsky (2004) dan CalCroix (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih termotivasi dalam bidang matematika dan sains sementara perempuan lebih termotivasi dalam bidang bahasa, seni, dan sejarah. Berdasarkan
deskripsi
hasil-hasil
penelitian
tentang
pembelajaran
eksperiensial, jenis kelamin, belajar berdasar regulasi diri, dan prestasi belajar matematika di atas, tidak ada satupun judul penelitian yang sama persis dengan yang akan dilakukan peneliti. Oleh karena itu, peneliti menganggap bahwa penelitian yang dilakukan yakni tentang „pengaruh strategi pembelajaran
eksperiensial terhadap belajar berdasar regulasi diri mahasiswa‟ belum pernah dilakukan oleh siapapun dan di manapun.