BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UUD 1945, mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan, atau yang biasa disebut dengan Perpu JPSK. Perpu tersebut lahir dengan beberapa pertimbangan Presiden, yang di antaranya ialah:1 a.
b.
Bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Adapun tujuan dan ruang lingkupnya adalah untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis dan ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan krisis.2 Pencegahan krisis sebagaimana dimaksud di atas adalah meliputi tindakan mengatasi beberapa permasalahan, yang di antaranya adalah permasalahan: 1 2
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK bagian pertimbangan Pasal 2-4 Perpu JPSK (Jaringan Pengaman Sistem Keuangan) No. 4 tahun 2008
12
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan pelunasan FPD yang berdampak sistemik c. LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas yang berdampak sistemik.
Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagaimana dimaksud, maka dibentuklah Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut KSSK. Keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.3 Organisasi KSSK adalah organisasi yang lahir berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan Krisis, KSSK mempunyai tugas yang diantaranya ialah: 1. Mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik 2. Menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik 3. Menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
Berdasarkan beberapa kewenangannya, maka pengambilan keputusan oleh KSSK untuk menyelamatkan Bank Century adalah sah secara hukum positif, sebagaimana diamanatkan oleh Perpu Nomor 4 Tahun 2008, karena jika Bank Century tidak segera diselamatkan oleh KSSK maka akan berdampak sistemik (seperti penjelasan pada tugas KSSK).
3
Pasal 5 Perpu JPSK (Jaringan Pengaman Sistem Keuangan) No. 4 tahun 2008
13
Rabu, tepatnya pada Tanggal 29 Oktober 2009 Pemerintah menyampaikan RUU tentang penetapan Perpu JPSK tersebut menjadi undang-undang kepada DPR RI. Selasa tepatnya 17 Desember 2009, hasil kurang memuaskan harus diterima oleh pemerintah, dikarenakan Dewan Perwakilan Rakyat menolak terhadap permohonan penetapan tersebut dengan alasan jika perpu tersebut ditetapkan maka akan berpengaruh pada Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN) tetapi tidak dapat diambil tindakan hukum terhadap pejabat yang telah membuat keadaan bahaya tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka perpu tersebut sepatutnya batal demi hukum, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 22 UUD 1945.4 Namun dalam perjalanannya perpu tersebut masih dipandang berlaku oleh Pemerintah, sehingga perpu tersebut diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi. Secara sangat tegas dalam UUD 1945 atau konstitusi bangsa Indonesia Pasal 24 C mengatakan, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD, dan bukan menguji Perpu atau peraturan perundang-undangan lain di bawah UU terhadap UUD. Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi tentunya menjadi pertanyaan, apakah Mahkamah Konstitusi berwenang terhadap pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)? Mengingat yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945. Pengujian terhadap Perpu JPSK dilakukan oleh Sri Gayatri adalah nasabah yang menyimpan uang di Bank Century. Bahwa sebagai nasabah, saudari Sri 4
Di dalam Pasal 22 UUD 1945 dikatakan bahwa Perpu wajib di uji oleh DPR, apabila diterima maka Perpu tersebut dapat menjadi UU, namun apabila DPR menolak maka Perpu tersebut akan batal
14
Gayatri telah menyimpan uang di Bank Century dalam bentuk simpanan Deposito, hal mana terhadap simpanan Deposito saudari Sri Gayatri tersebut, oleh pengelola dan/atau setidak-tidaknya atas perintah dari pihak terafiliasi Bank Century, telah dialihkan ke dalam bentuk Discretionary Fund PT. Bahwa setelah Bank Century diambil alih dan menerima bailout dari Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) berdasarkan Perpu 4/2008, Bank Century tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada nasabah, termasuk saudari Sri Gayatri. Padahal Bank Century sudah mendapat bailout sebesar Rp 6,7 triliun. 5 Bahwa sebagai implikasi dari Perpu 4/2008 yang diberlakukan terhadap Bank Century, selanjutnya Bank Century berganti pemegang saham, berganti direksi, dan berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun pergantian-pergantian tersebut justru mengaburkan dan menghilangkan hak-hak Pemohon sebagai nasabah Bank Century, sehingga Pemohon, yaitu saudari Sri Gayatri berpotensi menderita kerugian sebesar Rp. 69.000.000.000,- (enam puluh sembilan miliar rupiah).6
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan Judicial Review terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK?
2.
Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang JPSK?
5
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 145/PUU/VII/2010 bagian kedudukan hukum pemohon. 6 Ibid.
15
3. Apakah keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Perpu JPSK memiliki kekuatan hukum dan mengikat?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetaui apakah pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengujian terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK 2. Mengevaluasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian PERPU 3. Mengetahui apakah keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK memiliki kekuatan hukum dan mengikat?
D. Tinjauan Pustaka 1. Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ke-Tata Negaraan Indonesia. Implementasi terhadap hasil perubahan atau amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali membuahkan beberapa hasil yang di pandang baik. Salah satu hasil perubahan tersebut ialah lahirnya lembaga negara yang mengawal dan menafsir konstitusi, yaitu MAHKAMAH KONSTITUSI RI. Pada awalnya, pemikiran mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi telah muncul sebelum Indonesia merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof.
16
Muhammad Yamin telah melontarkan pemikiran mengenai pentingnya lembaga yang melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas UU sekaligus mengusulkan agar masuk dalam rumusan rancangan UUD yang tengah disusun. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo, dengan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem berpikir UUD yang saat itu disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi. Oleh karena itu keberadaan MK yang akan mewujudkan checks and balances antar lembaga negara akan bertentangan dengan Supremasi MPR.7 Mahkamah Konstitusi ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam perubahan ke tiga UUD 1945 dan oleh aturan peralihan hasil perubahan ke empat UUD 1945, lembaga ini harus sudah terbentuk paling lambat pada 17 Agustus 2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, kewenangannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditetapkan dan diundangkan Pada 13 Agustus 2003, sehingga pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi adalah Lembaga Kekuasaan Kehakiman selain
Mahkamah
Agung
yang
khusus
menangani
peradilan
ketatanegaraan atau peradilan politik. Mahkamah Konstitusi ini menurut Pasal 7B dan 24 C UUD kewenangannya bukan hanya menguji UU terhadap UUD melainkan meliputi: 7
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta 2007, hlm. 467.
17
1.
Pengujian UU terhadap UUD.
2.
Mengadili
sengketa
antar
Lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. 3.
Memutus pembubaran PARPOL.
4.
Memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu.
5.
Memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah.8
Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban, yaitu: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan. Adanya
Mahkamah
Konstitusi
sebagai
lembaga
yang
berwenang memeriksa dan memutus lima hal di atas maka kita mempunyai dua lembaga yudikatif yang wewenangannya bersilangan dalam pengujian yudisial, yakni MA dan MK. Ada dua catatan tentang persilangan kewenangan ini:9 1. Dalam konteks gagasan tentang Mahkamah Konstitusi di Indonesia, konsistensi
idealnya
MK
peraturan
berfungsi
untuk
menjamin
perundang-undangan
sehingga
lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundangundangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu, kewenangan uji materi di bawah undang-undang terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi lebih ideal jika diberikan kepada MK, dengan ide ini maka konsistensi dan sikronasi
8
Sejak Keluarnya UU No. 12 tahun 2008 Moh. Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum Dalam Konstroversi Isu. Rajawali Press, Jakarta, 2009, hlm. 262 9
18
semua peraturan perundang-undangan secara linear ada di satu lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi. 2. Idealnya harus ada pemisahan kewenangan antara MK dan MA. MA menangani semua konflik peristiwa antar person dan/atau antar rechtperson sehingga masalah hasil pemilu dan pembubaran PARPOL dan sebagianya menjadi kewenangan MA, dan MA dibebaskan dari kewenangan menguji materi perundang-undangan.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan di Indonesia. Walau bisa dikatakan masih cukup banyak kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh MK. Tentunya kedepan harus ada konsep yang tegas dalam pembagian kewenangan, agar tidak tumpang tindih kewenangan yang dimiliki oleh lembaga negara. Hal tersebut akan menjadi suatu masukan untuk perubahan atau amandemen yang berikutnya mengenai penambahan atau pergeseran kewenangan yang saat ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung.
2.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Selama lebih dari satu dasawarsa, geliat reformasi telah bergerak menuntaskan
agenda
pembenahan
sistem
politk
Indonesia.
Pembenahan sistem politik menjadi orientasi utama dalam menegakan kembali prinsip-prinsip demokrasi yang telah terabaikan. Berbagai perubahan struktural dilakukan dengan menempatkan posisi rakyat sebagai subjek utama penyelenggaraan negara. Perubahan ini terus dilakukan termasuk dengan melakukan perubahan konstitusi atau yang biasa disebut dengan amandemen.10
10
Levi Riansyah, Politik, Partisipasi, dan Demokrasi, Averroes Press, Malang 2009, hlm. 1
19
Suatu konstitusi dan juga suatu peraturan perundang-undangan adalah sautu hal yang sangat urgen keberadaanya dalam suatu negara yang berlandaskan hukum seperti Indonesia. Undang-undang adalah suatu
aturan
tertulis
yang
keberadaanya
berguna
untuk
menyelenggarakan negara, atau bisa dikatakan keberadaan suatu undang-undang itu adalah sebagai hukum tertulis yang ada untuk menjalankan sistem ke-negaraan Indonesia. Pengertian peraturan perundang-undangan adalah seluruh sususnan hierarkis peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang kebawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatanya masing-masing.11 Bentuk peraturan yang dikenal di dalam UUD 1945 adalah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah. Penyebutan 3 atau 4 bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di dalam UUD bersifat enunsiatif dalam arti tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan.12
11
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 326 12 Ibid, hlm. 307.
20
Seperti
tercantum
dalam
ketetapan
MPRS
No.
XX/MPRS/1966, ditentukan bentuk bentuk peraturan perundangundangan dengan tata urut sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Dasar
2.
Ketetapan MPR
3.
Undang-undang / Perpu
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Keputusan Presiden
6.
Peraturan pelaksana lainya seperti Peraturan Mentri, Instruksi Mentri, dan lain-lain.
Untuk menata kembali
struktur dan hierarki
peraturan
perundang-undangan tersebut, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundangundangan dengan urutan sebagai berikut : 1.
UUD dan Perubahan UUD
2.
Ketetapan MPR/S
3.
Undang-undang
4.
Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang
5.
Peraturan pemerintah
6.
Keputusan Presiden
7.
Peraturan Daerah
Saat ini telah dikeluarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang berisi hierarki peraturan perundang-undangan. Urutanya sebagai berikut: 1. UUD 1945 2. UU / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah :
21
a.
Peraturan
Daerah
Provinsi
dibuat
oleh
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur b.
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota. c.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainya bersama.
3. Judicial Review Perkembangan dinamika demokrasi Indonesia melahirkan beberapa hal baru yang mampu mewarnai pemikiran dan kebutuhan bangsa Indonesia dalam bernegara. Perkembangan akan kebutuhan bernegara di Indonesia pasca reformasi menjadi agenda bangsa yang segera harus diselesaikan oleh para pemimpin bangsa Indonesia. Dari beberapa perkembangan akan kebutuhan tersebut bangsa Indonesia memiliki suatu mekanisme pengujian atau pengadilan terhadap suatu undang-undang. Pengujian terhadap suatu undang-undang ini untuk menyelaraskan antara suatu produk yang paling tertinggi di bangsa ini (konstitusi) dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur sampai pada jajaran terendah. Pengujian terhadap suatu peraturan perundang-undangan biasa kita sebut dengan Judicial Review. Judicial review adalah memberikan atau menolak persetujuan kehakiman pada suatu Undang-undang yang disahkan mayoritas dalam lembaga Legislatif dan disetujui lembaga Eksekutif. Setiap undangundang yang diputuskan pengadilan bukan hanya sudah diratifikasi suara 22
mayoritas, tetapi dikaji -secara teori dan kita harus mengasumsikannya secara fakta- dengan seksama perihal kesesuaiannya dengan konstitusi. Karena itu, dalam mendukung setiap undang-undang yang dibutuhkan tidak hanya suara mayoritas untuk pemahamannya, tetapi juga suara mayoritas untuk konstitusionalnya.13 Judicial Review bisa juga dikatakan sebagai pengawasan Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) terhadap kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Brewer – Carrias memandangnya sebagai tugas yang melekat dari pengadilan untuk menjamin tindakan hukum Legislatif dan Eksekutif sesuai dengan hukum tertinggi, dikatakan : “...the same inherent duty of courts to ensure that each legal action conforms to a superior law”.14 Di Indonesia Judicial Review diterjemahkan sebagai sebuah mekanisme yang terdapat dalam UUD 1945 dengan adanya pasal 24 C yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD sebagai sebuah hukum tertinggi. Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apabila terjadi pelanggaran, ia harus
13
Henry Steele Commager, Judicial Review (Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi) Editor: Leonard W Levy, Nusa Media, Bandung, 2005, hlm. 86. 14 Alan R. Brewer Carrias, Judicial Review In Comparation law, Cambrige University Press, 1989, hlm. 84. Dikutip kembali oleh Irfan Fachruddin dalam, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, bandung 2004, hlm. 175. Dan dikutip kembali oleh Ni’matul Huda dalam, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 74.
23
ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme Politik.15 Dari beberapa pendapat di atas memiliki suatu esensi yang sama, yaitu keberadaan Judicial Review di maksudkan untuk menjaga keselarasan suatu undang-undang atau peraturan yang berada di bawah UUD agar sejalan dengan UUD, mengingat UUD atau konstitusi adalah sebagai suatu produk hukum tertinggi suatu negara khususnya Indonesia. Adanya Judicial Review, maka suatu peraturan perundangundangan di bawah UUD diharapkan tidak bertentangan dengan UUD. Sebagai negara yang berlandaskan hukum, pengaturan mengenai kewenangan
Judicial Review diatur secara tegas dalam
konstitusi bangsa Indonesia pada Pasal 24 C. Pasal 24 C menjelaskan kepada kita, bahwa pengujian suatu peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan salah satu lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian a. Penenelitian Normatif Penelitian Normatif ialah penelitian yang berlandaskan atau bersandar pada aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku saja.
15
Harjono, Konstutisi Sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 486.
24
Norma atau aturan yang berlaku tersebut dibandingkan dengan ralita yang terjadi. 2. Obyek Penelitian a. Kewenangan Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi b. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 3. Sumber Data a. Primer Ialah data dasar (penting) yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini. Data primer merupakan data yang sangat menentukan penilaian peneliti, bisa dikatakan apabila penelitian kali ini tidak ada data pimer maka penelitian ini tidak valid, mengingat peran data primer ini adalah sebagai dasar utama penelitian kali ini (bersifat mengikat). Data primer atau data dasar dalam penelitian kali ini di antaranya adalah: 1. UUD 1945 2. Peraturan Perundang-undangan 3. UU 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 4. Putusan
Pengujian
PERPU
JPSK
oleh
MK
(No.
145/PUU/2009) b. Sekunder Ialah data yang keberadaanya pelengkap dalam penelitian kali ini. Adanya data ini akan lebih menguatkan penelitian kali ini, namun
25
apabila tidak ada bukan berarti penelitian ini tidak valid, karena data sekunder hanya bersifat pelengkap saja (bersifat tidak mengikat). Data sekunder terdiri dari: 1. Pendapat Akademisi Hukum Tata Negara 2. Teori - teori Hukum 3. Ensiklopedia 4. Pengumpulan Data a.
Studi Pustaka Studi Pustaka akan dilakukan terhadap beberapa buku yang membicarakan tentang problem yang akan dikaji pada penelitian kali ini
b.
Wawancara Guna mendapat hasil penelitian yang lebih valid maka wawancara akan dilakukan langsung kepada beberapa guru besar Hukum Tata Negara.
5. Analisa Data. Deskriptif Kualitatif (Analisis data secara deskriptif kualitatif ialah menganalisa data secara kualitatif atau berdasarkan gambaran realita yang terjadi berdasarkan teori-teori yang di hadapkan pada realita yang terjadi.
26