BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Pembahasan tentang ekonomi sektor informal begitu kompleks karena keberadaannya merupakan fakta mayoritas pelaku ekonomi di negeri ini. Karena itu eksistensinya mesti diapresiasi secara solutif dan bukan untuk dinegasi. Negara memiliki tanggung jawab penuh karena berhubungan dengan produksi dan reproduksi kebijakan politik ekonomi pemerintah. Proses pembiaran terhadap sektor informal sama artinya melarikan diri dari tugas sejarah sebagai pemimpin masyarakat. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, sektor informal lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan sektor formal. (2007),
Menurut Paskah Suzetta
mantan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas pada periode pertama
kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, sektor industri informal menjadi pendorong menurunnya angka kemiskinan. Pada tahun 1971 persentase pekerja sektor informal terhadap jumlah angkatan kerja di kota mencapai sekitar 25 persen. Angka ini meningkat berkisar 36 persen pada tahun 1980 dan menjadi 42 persen pada tahun 1990. Pada tahun 2000 angka tersebut berkisar 65 persen. Angka kemiskinan (sesuai hasil survey BPS Maret 2008) turun menjadi 34,96 juta orang (15 persen dari total penduduk Indonesia) dari 37,17 juta orang pada tahun 2007. Paskah mengungkapkan, penurunan angka kemiskinan sebagian besar diserap sektor informal. Data BPS menunjukkan, dari 102,05 juta orang bekerja, hanya sekitar 28,52 juta orang yang bekerja sebagai buruh/karyawan di sektor formal. Industri adalah penyedia lapangan kerja formal terbesar. Sebaliknya, sektor pertanian yang lebih 1
banyak bersifat informal menyerap 42,69 juta tenaga kerja dari total penduduk yang bekerja pada Pebruari 2008. Jumlah pekerja ekonomi informal pada tahun 2010, menurut Kasali (2010), sekitar 90,8 juta penduduk. Jumlah tersebut sekitar 50,7 juta jenis usaha informal yang umumnya merupakan usaha kaki lima dalam berbagai bidang usaha makanan dan tekstil. Menurut Kasali, realitas ini menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia terletak pada sektor informal yang umumnya berbentuk swasta. Angka ini akan terus berkembang karena penyerapan tenaga kerja di sektor formal tidak signifikan. Jangankan merekrut tenaga kerja, yang makin nampak terlihat adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tabel 1.1. Persentase Penduduk Miskin di Gorontalo Tahun % se Kemiskinan Nasional 2000 19,14 2005 15,97 2006 17,75 2007 16,58 2008 15,42 2009 14,15 2010 13,33 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo
% se Kemiskinan Gorontalo 33,05 29,05 29,13 27,35 24,88 25,01 23,19
Angka kemiskinan di Gorontalo sebelum menjadi Provinsi sangat tinggi, yaitu 33,05 persen melampaui persentase kemiskinan secara nasional yang hanya 19,14 persen. Hal ini disebabkan jumlah pengangguran dan tenaga kerja di Gorontalo banyak yang tidak tertampung di sektor formal. Kondisi yang memprihatinkan ini menyebabkan mereka memilih untuk menggeluti usaha sektor informal sebagai penopang hidup. Dari gambaran yang ditunjukkan oleh data di atas, sektor ekonomi formal perkotaan ternyata tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja, sehingga kegiatan sektor ekonomi informal menjadi pelimpahan yang lazim terjadi di
2
perkotaan. Hart (1971) menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja di perkotaan yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisir dan formal. Keterkaitan antara pertumbuhan populasi dengan migrasi rural-urban, urbanisasi, pembangunan ekonomi, sektor informal dan kemiskinan kota telah menjadi kepedulian utama dalam studi-studi tentang pembangunan oleh banyak pengamat (Safa, 1982; Manning dan Effendi, 1985; Pernia, 1994). Menurut McGee, Mazumdar, Sethurahman dalam Mustafa (2008), terdapat dua studi yang berlawanan sebagai dasar pendekatan telaahan dalam perkembangan fenomena sektor informal perkotaan dan kemiskinan. Pandangan pertama, memberikan alasan bahwa gelombang tenaga kerja pedesaan yang memasuki sektor informal adalah bermakna positif. Sektor informal dipahami sebagai the origin of selfemployment yang merangsang tumbuhnya kewiraswastaan masyarakat lokal dan akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi perkotaan di negara-negara berkembang. Bagi kelompok “masyarakat kecil”, sektor informal diapresiasi sebagai berkah dan bukan musibah sebagaimana dipersepsi beberapa kalangan elit penguasa sehingga dengan berbagai cara dilakukan penggusuran tanpa peri kemanusiaan. Berkah bagi rakyat karena sektor informal dapat dijadikan sebagai sumber utama atau alternatif pendapatan. Sektor informal sesungguhnya merupakan salah satu gambaran penerapan ekonomi rakyat. Sejak akumulasi penduduk di kota-kota, baik besar maupun kecil tidak dapat tercakup dalam peluang formal yang ada, penduduk yang tidak mampu berkompetisi di sektor formal cenderung masuk ke sektor informal. Termasuk dalam kelompok ini adalah penduduk dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, korban penggusuran, kaum perempuan dan lain-lain. Mereka bekerja seadanya, pada lapangan usaha kecil apa saja yang tidak membutuhkan keterampilan manajerial dan pendidikan
3
tinggi (Mc Gee, 1971). Ini berarti sektor informal telah memberikan ruang bagi mereka untuk tetap bertahan hidup daripada menjadi predikat penganggur. Ketika suburnya sektor informal di perkotaan dipermasalahkan oleh pemerintah dengan dalih mengganggu ketertiban dan keindahan kota, justru banyak dukungan kepada kegiatan usaha tersebut, terutama seputar prospek dan kemampuan resistennya terhadap gangguan ekonomi makro (Sukamdi, 2001). Para pendukung keberadaan sektor informal balik menuduh pihak pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena tidak mampu menciptakan peluang kerja yang luas kepada khalayak publik. Model pembangunan yang cenderung bias ke kota, berikut industrialisasi dan modernisasi yang tidak menciptakan peluang kerja secara berlimpah dianggap sebagai kesalahan fatal dan seharusnya dikaji kembali. Sebuah studi empiris menyebutkan kegagalan urbanisasi dalam penciptaan peluang kerja karena lebih mementingkan industri besar dan padat modal patut diperhitungkan sebagai sebab berkembangnya sektor informal di Indonesia (Manning, 1984). Pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan kembali keberadaan sektor informal sebagai salah satu sektor usaha penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Terlepas dari sifat usaha dan skala usaha yang relatif kecil, sektor informal ternyata tangguh baik ketika menghadapi badai krisis maupun dalam kondisi normal. Pemerintah sebagai pihak yang lebih bertanggung jawab mengendalikan dan mengawasi pembangunan seharusnya dapat melihat secara jernih mengenai programprogram pemberdayaan ekonomi sektor informal. Keberpihakan pemerintah terhadap sektor ini tentu saja akan memberikan iklim bekerja yang lebih kondusif sehingga upaya optimalisasi dan akselerasi fungsinya dalam perbaikan ekonomi makro menjadi lebih cepat. Sudah bukan zamannya lagi pemerintah memandang sektor informal
4
dengan sebelah mata, apalagi diikuti dengan tindakan destruktif berupa penggusuran dengan dalih mengganggu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota. Salah satu tantangan terberat bagi sektor informal adalah kekurangan modal usaha. Berdasarkan signifikansi peran sektor informal tersebut, maka sudah semestinya pemerintah memberikan dukungan dan bantuan dengan menggandeng lembagalembaga keuangan berupa perbankan dengan memberikan jaminan finansial atau membangun lembaga penjamin agar bank memberikan pinjaman bagi pedagang kaki lima tanpa persyaratan ketat agunan fisik. Konservatisme bank selama ini yang lebih berpihak kepada pengusaha level menengah ke atas sedapat mungkin untuk tidak terjadi lagi. Cara memandang sektor informal dan sektor formal harus lebih terpadu dan komprehensif. Menurut Mustafa (2008), sektor informal dan sektor formal adalah komplementer satu sama lain. Sektor informal memproduksi dan menyediakan barang dan jasa bagi sektor formal,
sementara sektor formal dapat meningkatkan ragam dan
volume pekerjaan serta keuntungan bagi kaum miskin perkotaan dan migran dalam bentuk kegiatan sektor informal. Pandangan ini meyakini bahwa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perkotaan, sektor informal akan berkembang menjadi sektor formal (Effendi, 1997). Lebih jauh Effendi (1997) menjelaskan bahwa : “Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kontemporer bukanlah suatu gejala negatif tetapi lebih sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional. Setidaknya ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi pencari kerja dan kaum marjinal. Begitu pun ketika
5
kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan usaha skala besar, sektor informal kendati tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara dapat memberikan subsidi sebagai penyedia barang dan jasa murah untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja usaha skala besar. Rachbini (1991) menyebutkan bahwa masalah sektor informal menjadi semakin serius dalam kaitannya dengan perekonomian di perkotaan karena struktur formal tidak mendukung keberadaan sektor informal dalam arti sebenarnya. Pada tingkat pengambilan keputusan nasional, eksistensi kaum miskin sangat dilindungi baik dalam UUD 1945, maupun dalam perangkat hukum nasional lainnya, tetapi pada tingkat pengambilan keputusan di daerah dan pelaksanaannya sehari-hari keberadaan sektor informal sebagai kegiatan ekonomi mandiri yang sebagian besar diciptakan dan dimasuki masyarakat miskin justru terdiskriminasi dan tersisihkan. Paradoksi pengambilan keputusan di tingkat pusat dan daerah serta paradoksi peraturan yang mendukung dan yang merusak keberadaan sektor informal menyebabkan sektor ini termarginalisasi. Sektor informal kendati tidak mendapat dukungan fasilitas sepenuhnya dari pemerintah, dapat memberikan subsidi sebagai penyedia barang dan jasa murah untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja usaha skala besar. Bahkan tatkala perekonomian nasional mengalami kemunduran akibat resesi dan krisis global, sektor informal mampu bertahan tanpa membebani ekonomi nasional sehingga roda perekonomian masyarakat tetap bertahan. Ketangguhan sektor informal juga bisa dilihat ketika para pekerja mengalami PHK akibat krisis ekonomi dan keuangan, banyak para pekerja yang beralih menjadi pekerja di sektor informal. Sektor informal telah
berfungsi
membentengi
perekonomian
nasional
sekalipun
dalam
6
perkembangannya berlangsung dengan tidak by design oleh pemerintah. Mungkin bisa dikatakan sebagai rahmat tak terduga bagi pemerintah (unpredictable blessing). Sekalipun
keberadaan sektor informal menjadi diskursus akademik yang
panjang antara yang setuju keberlangsungannya dan yang tidak menyetujuinya, namun secara historis dan sosiologis, sektor informal telah tumbuh dan berkembang di perkotaan maupun pedesaan yang memiliki struktur, kultur dan sistem sosialnya sendiri. Dan inilah sudut pandang utama dalam penelitian ini, yaitu melihat bagaimana transformasi berlangsung pada sektor informal. Power (1992) menyatakan: “Society is being transformed at the level of social roles, and with transformation of roles and relationships comes are reconfiguration of family groupings, works units, and other forms of social organization that give society its structure. These changes suggest a sociological research agenda for the future, a need for a new approach to sociological theory if we are to make sense of contemporary events or make any progress in our efforts to develop a science of society” Intinya menyimpulkan bahwa pendekatan dalam memahami sektor informal sebagai sebuah masyarakat mandiri yang memiliki kaidah-kaidah perubahannya sendiri dalam sebuah masyarakat modern. Perjalanan sektor informal secara dinamis yang berusaha mempertahankan diri, menata dan mengembangkan dirinya secara terus menerus itulah yang mengalami proses
transformasi sosial kultural. Pendekatan teoritik
untuk menjelaskan
transformasi sosial kultural pekerja pedagang kaki lima adalah teori struktural fungsional yang dikemukakan oleh Parson dalam Mustafa (2008). Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam keadaan
berubah secara
7
berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada fungsional bagi sistem sosial itu. Menurut Rini (2011), transformasi sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial. Menurutnya, transformasi sosial terjadi karena adanya kesediaan anggota masyarakat untuk meninggalkan unsur-unsur budaya dan sistem sosial yang lama dan mulai beralih menggunakan unsur-unsur budaya dan sistem sosial yang baru. Sudewa (2010) melakukan pembedaan transformasi sosial budaya dari segi yang dipengaruhi. Menurutnya, transformasi sosial terjadi dari segi pendidikan, tingkat kelahiran penduduk, dan distribusi kelompok umur. Transformasi budaya terjadi pada bentuk kesenian, kesetaraan gender, konsep nilai susila dan moralitas, penemuan baru dan penyebaran masyarakat. Perubahan kebudayaan jauh lebih luas dari perubahan sosial karena meliputi banyak aspek, seperti kesenian, iptek, aturan hidup, dan lain-lain. Rini (2011) mendefinisikan transformasi sosial sebagai proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial. Lebih lengkap lagi Bungin (2009) membagi transformasi sosial atas 3 (tiga) aspek, yaitu: 1. Perubahan pola pikir masyarakat, perubahan pola pikir dan sikap masyarakat menyangkut sikap masyarakat terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya di sekitarnya yang berakibat terhadap pemerataan pola-pola pikir baru masyarakat sebagai sebuah sikap yang modern. Contohnya sikap terhadap pekerjaan. Konsep pola pikir lama, bekerja itu hanya pada sektor formal yaitu menjadi pegawai negeri sipil. Konsep lama ini telah berubah. Bekerja tidak harus di sektor formal, akan tetapi dimana saja, yang penting menghasilkan uang yang maksimal. 2. Perubahan perilaku masyarakat, menyangkut persoalan-persoalan sistem-sistem sosial, dimana masyarakat meninggalkan sistem sosial lama dan menjalankan
8
sistem sosial baru. Adanya perubahan dalam pengukuran kinerja suatu lembaga atau instansi dengan tidak hanya menggunakan pengukuran output saja, tapi dimana output dan proses yang dicapai melalui standar sertifikasi seperti BAN-PT pada perguruan tinggi. 3. Perubahan budaya materi, menyangkut perubahan artefak budaya yang digunakan oleh masyarakat seperti model pakaian, karya fotografi, karya film teknologi dan sebagainya yang terus berubah dariwaktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya transformasi sosial dan budaya itu berbeda, namun memiliki keterkaitan. Suatu transformasi atau perubahan sosial pasti berpengaruh pada transformasi budaya, sementara budaya tidak mungkin lepas dari kehidupan sosial masyarakat. Karena itu sering disebut transformasi sosial budaya untuk mencakup kedua perubahan tersebut. Meskipun para pakar memiliki perbedaan cara pandang dalam mendefinisikan transformasi sosial budaya, namun semua itu berfokus pada persoalan perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dinamis baik dari aspek pikiran, sikap dan perilaku masyarakat. Perubahan itu menyangkut dari nilai-nilai yang lama ke nilai-nilai baru yang lebih progresif. Menurut Firdaus (2009) transformasi sosial kultural sektor informal yang dibutuhkan meliputi: (1) transformasi orientasi ekonomi dari usaha tradisional ke usaha komersial: (2) Transformasi dari teknologi tradisional mulai menjadi berbasis IT; (3) transformasi dari sumber energi manusia menjadi energi terbarukan; (4) Transformasi tenaga kerja unskill ke tenaga kerja skill; (5) organisasi tradisional keluarga (etnis/kekerabatan) menjadi organisasi profesional; (6) transformasi sumber kapital ekstensif ke intensif; (7) Transformasi cara kerja manual ke mesin; (8) Transformasi dari pasar desa ke pasar global.
9
Berdasarkan berbagai pendapat dan beberapa penelitian terdahulu dapat disampaikan bahwa konsep transformasi sektor informal lebih difokuskan pada aspekaspek ekonomi, aspek sosial dan budaya. Aspek ekonomi diantaranya meliputi penggunaan modal yang rendah, pendapatan rendah, skala usaha relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan formal rendah berasal dari kalangan ekonomi lemah, umumnya berasal dari migran. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi diluar system regulasi, penggunaan teknologi sederhana, tidak terikat oleh curahan waktu kerja. Dengan demikian cara pandang di atas tentang sector informal lebih menitikberatkan kepada suatu proses memperoleh penghasilan yang dinamis dan bersifat kompleks. Transformasi sosial kultural sektor informal memang bisa ditinjau dari banyak variabel,
misalnya menyangkut variabel bangunan, tata ruang, akses transportasi,
lansdcape, disain pedestrian, estetika, politik, ekologi dan ideologi, serta variabel lainnya. Akan tetapi dalam penelitian ini dibatasi pada variabel transformasi sosial kultural sektor informal di Kota Gorontalo. Transformasi sosial kultural sektor informal dibagi dalam dua komponen, yakni, transformasi karakteristik pelaku/aktor dan transformasi karakteristik kegiatan/aktivitas. Transformasi karakteristik pelaku terdiri dari: demografi, migrasi, pendidikan, gender, sosial, budaya dan etnik. Sementara transformasi karakteristik kegiatan terdiri dari: kepemilikan usaha, jenis usaha, legalitas, lama usaha, modal, jam kerja, tenaga kerja keluarga, teknologi, rekrutmen, lokasi usaha, jaringan, modal, bantuan pemerintah, pemanfaatan kredit, upah harian, sistem bazaar, omzet kecil, tenaga kerja tidak dilindungi, penyedia lapangan kerja dan pencacahan. Permasalahan utama yang terjadi pada sektor informal di Kota Gorontalo adalah pengelolaan lokasi-lokasi sektor informal yang kian hari makin menjamur sebagai
10
alternatif pekerjaan praktis bagi pengangguran maupun tuntutan dinamika kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis sementara lapangan kerja tidak tersedia memadai. Kota Gorontalo adalah salah satu dari 6 daerah tingkat 2 di Provinsi Gorontalo. Kota Gorontalo adalah Ibukota dari Provinsi Gorontalo. Kota Gorontalo memiliki banyak lokasi-lokasi sektor informal, harian, mingguan maupun tahunan. Sektor informal ini menarik diteliti karena eksistensinya unik
di satu sisi
sebagai akibat dari pemekaran Provinsi Gorontalo dari Provinsi Sulawesi Utara. Terjadinya pemekaran Provinsi Gorontalo sebagai provinsi baru serta penerapan otonomi daerah di daerah tingkat dua,
menjadi gezala awal terjadinya proses
transformasi sektor informal. Telah terjadi motif untuk berubah dan keinginan untuk memperbaiki nasib dan kemauan untuk maju pada diri pelaku sektor informal. Selanjutnya, dari sisi lainnya, telah terjadi arus balik kedatangan para pelaku sektor informal yang ingin pulang kampung ke Gorontalo sebagai daerah asal karena mereka tergusur dengan kebijakan penertiban sektor infomal pedagang kaki lima oleh Pemerintah Kota Manado. Begitu juga terjadinya konflik di Ambon dan Maluku, pelaku sektor informal asal Gorontalo memilih melanjutkan sektor usahanya di daerah kelahiran karena alasan keamanan dan kenyamanan dalam berjualan. Motif untuk melakukan migrasi pun sebenarnya menjadi gejala awal terjadinya proses transformasi untuk memperbaiki diri pada diri pekerja sektor informal. Memang pada awalnya, pedagang kaki lima adalah miskin, kurang terampil dan modal kecil. Pendapatan sebagai hasil berjualan pun awalnya masih sebatas memenuhi kebutuhan fisik biologis. Tetapi lamban laun mereka bisa bermetamorfosis (mengalami transformasi) dengan target-target yang lebih progresif melalui perumusan agendaagenda yang lebih maju. Misalnya mereka mulai memikirkan keamanan usahanya dengan mulai mengurus ijin usaha sehingga secara berangsur bisa mengekspansi
11
usahanya dengan menambah modal dari peminjaman di bank maupun lembaga finansial lainnya dengan bermodalkan ijin usaha tersebut. Tak pelak lagi di Kota Gorontalo, selain realitas internal pelaku sektor informal yang memang sudah lama tinggal dan mengadu nasib sebagai pekerja sektor informal, juga fakta eksternal atas mobilitas migrasi sebagai akibat dari beberapa peristiwa di atas.
Akar permasalahan pertama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
bagaimana bentuk transformasi sosial kultural sektor informal di Kota Gorontalo baik menyangkut karakter pelaku sektor informal maupun karakter aktivitasnya. Dengan memahami karakteristik pelaku sektor informal maupun kegiatannya, dapat diketahui proses transformasi sosial kultural yang terjadi pada sektor informal. Permasalahan kedua yang akan diteliti adalah sejauhmana kontribusi peranan sektor informal dalam perkembangan ekonomi Kota Gorontalo. Dengan mengetahui seberapa besar kontribusi sektor informal bagi perekonomian Kota Gorontalo, dapat menjadi instrumen bagi pemerintah daerah Kota Gorontalo dalam menyikapi dan memberdayakan sektor informal di Kota Gorontalo. Permasalahan ketiga yang akan diteliti adalah bagaimana distribusi sebaran spasial aktivitas sektor informal di Kota Gorontalo. Dengan mengetahui sebaran spasial aktivitas sektor informal di Kota Gorontalo, dapat diketahui model transformasi sektor informal di Kota Gorontalo. 1.2. Perumusan Masalah Sektor Informal di Gorontalo memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan keberadaan sektor informal di tempat lainnya antara lain : -
berkah dari pemekaran Sulawesi Utara yang menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai provinsi baru yang legalitasnya diresmikan pada tanggal 16 Februari 2001 sebagai provinsi ke-32 di Indonesia. Kota Gorontalo yang terbilang kecil
12
(hanya 64 km2) menjadi tujuan migrasi secara besar-besaran dari Provinsi Induk Sulawesi Utara ke Kota Gorontalo. -
lahan di Kota Gorontalo yang kian sempit sementara pemerintah belum serius dan maksimal memberikan wadah ruang fungsional bagi sektor informal;
-
sektor Informal Gorontalo tumbuh pesat akibat meningkatnya Pertumbuhan ekonomi dan arus perputaran uang yang terjadi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 sebesar 7,73 persen (sebelum terbentuk Provinsi 4,43 persen pada tahun 2001);
-
semangat yang tinggi dari para pekerja Sektor Informal sehingga menginisiasi mereka untuk melakukan transformasi sosial cultural : kekerabatan (suku) khususnya kelompok Bugis, Arab, Cina dan masyarakat Gorontalo; pendidikan ( agar harkat dan martabat meningkat);
-
meskipun merusak keindahan kota, Sektor Informal di Kota Gorontalo mampu menjawab demand masyarakat yang berkembang sehingga tumbuh menjamur;
-
dengan dibentuknya Provinsi Gorontalo berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2000 dan menjadikan Kota Gorontalo sebagai ibu kota Provinsi memberikan angin segar dan daya tarik bagi Pelaku Sektor Informal datang berduyun – duyun baik dari luar Gorontalo yaitu dari Provinsi induk Sulawesi Utara dan juga Provinsi Maluku Utara yang didominasi oleh etnis tionghoa yang merupakan imbas kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi di Ternate dan Tobelo.
-
dampak dari kebijakan penertiban pedagang kaki lima di kota Manado oleh Pemerintah Kota Manado setelah provinsi Gorontalo terbentuk
sehingga
terjadi migrasi pedagang sektor informal ke daerah asal Kota Gorontalo.
13
Hal lain yang mendorong isu sentral dari penelitian ini adalah menggali kensenjangan (gap) perbedaan dari segi konsepsi teoritik transformasi sektor informal dengan fakta empirik lapangan yang terjadi di Kota Gorontalo. Fakta di lapangan dengan luas wilayah yang kecil kira-kira 64,79 km2 sementara kebijakan pemerintah yang terlihat belum concern mengatur dan memberdayakan kehadiran pelaku sektor informal yang terus menjamur tentunya menimbulkan pertanyaan bagaimana konsep suistanable Kota Gorontalo ke depan. Kompetisi antar pelaku sektor informal dalam mencaplok tanah secara sembarangan, menggunakan tanah milik pemerintah, menggunakan tanah milik masyarakat, dengan fungsi privasi sebagai rumah tinggal diperluas dengan mencaplok area publik badan-badan jalan sehingga merusak rencana tata bangunan dan lingkungan. TEORITIS Keith Hart (1959).....Ilegal. Lahirnya SI tahun 1973 oleh K.Hart) 1979 – 2006 Perjalanan SI Stagnan (tidak berkembang) Barter (sistem klasik/tukar menukar barang dan jasa)
t (> 1600)
Geertz (1986) Bazaar (tradisional dan kekeluargaan) Menggunakan lapak – lapak, los, dsb. Belum mengenal sistem perbankan
t2 (1900 ‐ 1990)
EMPIRIS Menggunakan Bangunan tidak permanen Mulai mengenal kredit perbankan (Firdaus, 2009) Tidak ada izin pemda
t3 (2001 ‐ skrg)
Migrasi dari Mdo & Ternate Menunjukkan adanya gejala2 awal adanya transformasi SI Heterogenitas etnis Menggunakan IT Intervensi pemerintah
RA ( Kota Gtlo)
Gambar 1.1. Diagram Periodisasi Sektor Informal Kota Gorontalo
14
Terlihat ada Gap antara Teori dan realita empiris yang nantinya pada hasil akhirnya akan memberikan kontribusi pada teori ternyata Sektor Informal di Kota Gorontalo bisa menjadi teori yang responsif terhadap perubahan. Dalam tabel berikut disajikan periodisasi Sektor Informal lainnya :
Tabel 1.2. Periodisasi Sektor Informal (1700 – sekarang) NO. 1. 2. 3. 4.
5. 6.
TAHUN 1724
PERIODISASI SEKTOR INFORMAL Penjaja – penjaja keliling di Batavia (Jakarta) yang sebelumnya dilarang VOC dan baru diperbolehkan pada tahun 1739. 1920 – 1930 Cikal bakal ekonomi informal perkotaan pada abad ke-19 1972 Konsep Informal pertama kali diperkenalkan di dunia Internasional oleh ILO dengan program untuk World Employment Programme (WEP) 1973 Antropolog Inggris Keith Hart yang pertama kali melontarkan gagasan Sektor Informal sebagai bagian angkatan kerja yang tidak terorganisir. 1990 Sepertiga rumah tangga pedesaan di Jawa penghasilannya diperoleh dari perdagangan dan industri kecil Abad ke-19 Kemunculan ekonomi Sektor Informal dengan s/d sekarang pasar – pasar semakin ramai, warung – warung dan gerobak penjual barang kelontong tumbuh pesat. Muncul modernisasi di negara maju dengan meninggalkan dari industrialisasi berubah menjadi sektor ke-4 dimana intelektualitas mengandalkan pada IT (Transformasi Sektor Informal).
KET.
Rentetan Tahapan Periodisasi Sektor Informal : - Sektor Informal muncul sejak zaman penjajahan Inggris. Diambil dari ukuran lebar trotoar yang pada waktu itu dihitung dalam “feet” atau “kaki” jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Lebar trotoar berkisar lima kaki atau sekitar 1,5 m ( 1 feet ≈
15
31 cm lebih sedikit). Jadi, orang yang berjualan di atas trotoar tersebut kemudian disebut Pedagang kaki Lima. -
Pola usahanya dilakukan dengan sistem gelaran, yaitu menjajakan barang dengan cara menggelar dagangannya di atas trotoar (Rachbini dan Hamid, 1994 : 89). Dapat disimpulkan, bahwa Pedagang Kaki Lima adalah pedagang kecil yang berjualan komoditi tertentu di tempat umum, seperti tepi jalan, taman kota, emper toko, sekitar pasar, dan sebagainya tanpa izin usaha dari pemerintah dan menggunakan bangunan tidak permanen.
-
Sejarah pedagang dimulai sejak dahulu kala sejak Dunia dan manusia menciptakan hubungan ketergantungan sesama lingkungan sosialnya. Dari cerita para orang tua kita bahwa ketika melakukan transaksi tukar barang, dahulu melakukan dengan sistem barter (pertukaran barang dan jasa). Tidak melakukan dengan uang dalam hal pembelian sesuatu benda.
- Nanti setelah manusia mengenal uang sebagai alat tukar menukar untuk transaksi barang pada abad 15 barulah manusia melakukan dengan cara pembayaran dengan memakai lembaran uang. Khusus di Indonesia abad ke-16 Belanda masuk ke Indonesia dan melakukan penjajahan dengan cara berpura-pura melakukan transaksi perdagangan dan akhirnya menjajah Indonesia selama 350 tahun. Ketika Belanda masuk Indonesia belum mengenal uang lembaran untuk transaksi pertukaran barang, hanya memakai transaksi melalui hasil perkebunan dan pertanian dalam melakukan transaksi berupa barang. - Sejarah Islam dan Budaya yang masuk ke Indonesia melalui laut Samudera yang ada di Perairan Nusantara
bahkan Penjajahan yang terjadi di Indonesia melalui laut.
Perdagangan Indonesia juga dilakukan dengan cara lintas daerah dan budaya untuk mengirimkan barang dagangan ke daerah lain dan menukarnya dengan sumber daya 16
yang ada di daerah tersebut. Belum melakukan transaksi lembaran uang. Nanti setelah abad 16 Indonesia mengenal uang lembaran dan hasil bumi yang bebentuk alat pertukaran seperti perak, perunggu dan emas untuk pembelian barang dagangan. - Sejarah membuktikan bahwa pedaganglah yang pertama kali melakukan interaksi sosial budaya dengan berbagai daerah untuk saling mengenal satu sama lainnya bahkan nama Indonesia belum ada masih Nusantara dan pemerintah masih bersifat kerajaan dan sering para pedagang selain melakukan penjualan barangnya melakukan Proses Komunikasi Agama, Budaya, Bahasa, Adat, Etika, Karakter, dan lain-lain sehingga sering kali kita menemukan di Indonesia daerah-daerah yang berpenduduk imigrasi di suatu tempat dari asal daerah lain. Bahkan salah satu Sultan Negara Malaysia di suatu Provinsi berasal dari suku Bugis/Makasar menjadi tuan besar di negeri malaysia. Adanya komunitas Tionghoa di daerah tertentu menjadikan Kampung Cina begitu juga komunitas Keturunan Arab (Timur Tengah) yang berada di daerah tertentu di suatu daerah. Mereka melakukan komunikasi sehingga melahirkan lintas budaya dan bahasa di beberapa daerah. - Sejak negara penjajah masuk di Indonesia banyak hasil Sumber Daya Alam dijadikan eksploitasi oleh penjajah Belanda, banyak pedagang dari pribumi harus menyetor upeti pajak yang ditentukan oleh penjajah dan menjadikan pelabuhan sebagai sentra perdagangan demi melayani para penjajah di suatu daerah di Nusantara ini. - Sejak itu Nusantara yang masih bersifat pemerintahan kerajaan melakukan kompromi dengan penjajah dan mengakibatkan rakyat Indonesia saat itu menjadi budak dan melayani para bangsa asing demi sesuap nasi dan wilayah dan menjadi tamu di negeri sendiri. Pedagang saat itu tidak bisa menjual hasil perkebunan dan pertanian dengan bebas karena hanya orang-orang tertentu yang berafiliasi dengan penjajah belanda yang
17
bisa berdagang di pasar-pasar dan pelabuhan. Sehingga pedagang lokal saat itu tidak bisa melakukan transaksi ke luar daerah dikarenakan sudah dilarang oleh belanda pedagang pribumi melakukan penjualan hasil bumi. - Ketika para pejuang kemerdekaan melakukan pergerakan dan perjuangan melawan belanda dengan cara gerilya, para pedaganglah yang melakukan dan mengintai penjajah serta membantu memasukkan logistic ke pejuang kemerdekaan. Sering kali para pedagang yang melakukan lintas dagang di daerah – daerah menjadi kontak perjuangan ke daerah lain sebagai bentuk bagian dari proses perjuangan kemerdekaan. - Ketika Belanda menjajah Indonesia, dilarang para pedagang menjual dagangannya di jalan raya, sehingga Jenderal Doaglass ketika menjajah Yogyakarta, ini dibuktikan di jalan Malioboro Yogyakarta. Belanda mengizinkan para pedagang menjual dagangannya di jalan raya dengan cara lima kaki setapak dari ujung jalan. Kalo sekarang disebut trotoar atau koridor jalan untuk pejalan kaki, saat itu diijinkan oleh para penjajah untuk menjalankan aktivitas sebagai pedagang. - Sungguh pun eksistensi sektor informal pada percaturan ekonomi baru dirasakan sekitar tahun 1970, akar jati diri sektor tersebut telah ada sejak dimulainya pemulihan pasca perang dunia II pada dekade 1950 dan 1960. Waktu itu adalah masa kepercayaan kembali ekonomi dunia, ketika negara – negara Eropa, Jepang dan negara bekas kolonisasi mulai membangun dan bangkit dari “keterbelakangan”. Seirama dengan proses pemulihan ekonomi tersebut, maraklah diskursus seputar model pembangunan di dunia ketiga. Sayangnya, hampir semua model pembangunan lebih bersifat materialis dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi sebagai basis pembangunan. Beberapa indikator keberhasilan pembangunan bermunculan, seperti model center-periphery dari Raul Prebisch (1949), model unlimited supplies of labour dari Arthur Lewis (1954) dan
18
model stages of economic growth dari W.W. Rostow (1960) (ILO,2002). Kelemahan mendasar dari beberapa model di atas adalah perspektifnya yang cenderung positivist daripada normativist. Perspektif positivis menganggap kebenaran adalah tunggal dalam arti model pembangunan dianggap sama untuk semua negara. Pada praktiknya, pembangunan ekonomi berporos pertumbuhan itu diterapkan secara universal di negara-negara berkembang tanpa memperhitungkan aspek sejarah, budaya dan sumber daya alam yang tersedia. Dengan lain perkataan, perubahan kultural dan politik yang terjadi pada masa transisi dan ini seharusnya diperhitungkan, agaknya luput dari perspektif para ekonom barat. Betapa terkejutnya ketika model ekonomi kapitalis yang diharapkan mampu menciptakan banyak peluang kerja terencana justru berbuah pengangguran dan pekerja tidak produktif. - Pedagang dikategorikan sebagai kelompok usaha kecil menengah ini sering dijadikan komoditi dan kepentingan elit politik dalam mengambil kebijakan dan cenderung tidak dianggap sebagai bagian dari sokongan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di suatu daerah dan sering digusur demi kepentingan kapital dan atas nama kebersihan Tata Kota. - PKL yang ketika masa krisis ekonomi tahun 1998 adalah Kelompok Usaha yang tidak tersentuh dengan naiknya Mata Uang Dollar ke Rupiah dan mampu menjadi Pahlawan pada Krisis Moneter 1998. Ketika para pengusaha dan konglomerat lari ke Singapura untuk melarikan aset-asetnya, justeru pedaganglah yang mampu bertahan sebagai kelompok pedagang yang memberikan subsidi devisa untuk negara. Salah satu isu yang mengiringi menguatnya metropolitanisasi dan perlu mendapat perhatian adalah transformasi Sektor Informal di Gorontalo. Dalam sembilan tahun terakhir, wilayah Provinsi Gorontalo, sebagai provinsi yang baru terbentuk
pada
tanggal 16 Februari 2001, sektor informal mengalami perkembangan dan proses transformasi (perubahan) yang pesat dalam aktivitasnya akibat dinamika kegiatan19
kegiatan perkotaan yang terus meningkat yang tidak saja berdampak pada transformasi Sektor Informal (perubahan) fisikal akan tetapi juga aspek sosial kultural dan ekonomi. Transformasi ini antara lain ditunjukkan bukan saja sekedar beralih profesi tetapi yang lebih penting adalah perubahan socio-ekonomik dan kultural Sektor Informal itu sendiri
yang antara lain menyangkut struktur pendidikan, kekeluargaan, mata
pencaharian, konsepsi dan praktek-praktek kehidupan bersama, cara hidup, perilaku, peran, jaringan dan banyak aspek sosiokultural ekonomi lainnya (Mustafa,2008). Sistem nilai yang menganggap sektor informal adalah orang terbelakang, kumal, bodoh, miskin, kurang pergaulan harus dihilangkan. Seperti di Cina juga bisa mengatakan “ menjadi petani bisa kaya, dan kaya adalah mulia”. Dengan “sistem nilai baru ini”, transformasi sektor informal yang dibutuhkan meliputi: (1) transformasi orientasi ekonomi dari usaha tradisional ke usaha komersial: (2) Transformasi dari teknologi tradisional mulai menjadi berbasis IT; (3) transformasi dari sumber energi manusia menjadi energi terbarukan; (4) Transformasi tenaga kerja unskill ke tenaga kerja skill; (5) organisasi tradisional keluarga (etnis/kekerabatan) menjadi organisasi profesional; (6) transformasi sumber kapital ekstensif ke intensif; (7) Transformasi cara kerja manual ke mesin; (8) Transformasi dari pasar desa ke pasar global (Firdaus, 2009). Sementara itu di saat yang sama sektor informal juga mempengaruhi perubahan Transformasi Sektor Informal di Kota Gorontalo yang selain memiliki dimensi struktural juga memiliki dimensi spasial. Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah bagaimana model pengembangan sektor informal kota dalam konteks kota kecil seperti Gorontalo. Pertanyaan tersebut dapat dipecah lebih operasional sebagai berikut: 1.
Bagaimana proses transformasi sosial kultural sektor informal di Kota Gorontalo sebagai kota kecil yang sedang berkembang?
20
2.
Bagaimana peranan dan keterkaitan sektor informal dalam ekonomi Kota Gorontalo dan daerah yang lebih luas?
3.
Bagaimanakah Transformasi spasial kegiatan sektor informal di Kota Gorontalo?
1.3. Tujuan, Kegunaan dan Keaslian Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengkaji proses transformasi sosial-kultural sektor informal di Kota Gorontalo; b Menentukan peranan dan keterkaitan Sektor Informal dalam Ekonomi Kota Gorontalo dan Daerah Belakangnya; c. Menyusun Transformasi spasial kegiatan sektor informal di Kota Gorontalo dalam Rangka Menemukan Ciri Khas SI di Kota yang baru tumbuh. 2. Kegunaan Penelitian Hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan perbendaharaan secara praktis atau konseptual yang bersifat aplikatif. Wawasan yang bersifat teoritik atau konseptual dari penelitian ini diharapkan dapat : a. Secara Praktis : - Sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Gorontalo dalam hal perencanaan dan pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan ruang fungsional Sektor Informal di Kota Gorontalo; - Stakeholder yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang wilayah Kota Gorontalo dan pengambilan kebijakan terhadap Sektor Informal; - Kajian/acuan peneliti lain untuk pengembangan wilayah khususnya Sektor Infomal.
21
b. Teoritis Untuk memperkaya khasanah keilmuan Geografi bidang pengembangan wilayah khususnya pengembangan wilayah Kota. 3. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian yang mengaitkan hubungan (linkages) pengembangan usaha sektor informal dengan pendekatan geografi
belum ada.
Tetapi penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilaksanakan sudah ada. Secara lebih rinci perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 1.3. Keaslian Penelitian No 1.
2.
3.
Judul,Nama, Lokasi & Tahun Pola Geografis Perjalanan Kerja Wanita Pedagang Sayuran di Pasar Ungaran, Kab. Semarang, 2008 (R. Hayati)
Tujuan
Metode
Hasil
Mengetahui Pola Perjalanan Kerja, Transportasi yang digunakan dan Pola Geografis Wanita Pedagang Sayur. Distribusi Keruangan - Membandingkan Unit Aktivitas sektor persebaran unit Informal di Sekitar Pintu aktivitas sektor Masuk Utama Kota informal antar Yogyakarta,2005 ruang dan antar (Arif.S) waktu - Identifkasi Tipologi unit aktivitas sector Informal di Pintu utama Kota Yogyakarta
Proporsional Stratified Random Sampling, analisa kuantitatif & tematik,survey Sampling, analisa kuantitatif dan tematik, survey
Terdapat 6 (enam) Pola Perjalanan Kerja dan 18 pola geografis pedaagang sayuran di Pasar Ungaran
Segmentasi Pasar Kerja Wanita pada Sektor Informal di Kota Pontianak,1996(Jamaila)
Purposive Sampling, survey, analisa kuantitatif dan kualitatif
Analisis proses terjadinya segmentasi pasar kerja wanita dan faktor – faktor yang
- Aktivitas sektor Informal mengikuti jalur transportasi utama berkembang pada lahan – lahan kosong dan fasilitas umum - Tidak ada perbedaan yang significan baik antar ruang dan waktu - Segmentasi terjadi dari tidak adanya kemungkinan untuk mendapatkan 22
Lanjutan ...... mempengaruhinya dilihat dari peluang kerja
4.
Transformasi Sosial Kultural Sektor Informal di Kota Gorontalo,2015 (Rahmatiya Ali)
Proses Transformasi Sosial Kultural SI; Peran SI dalam ekonomi Kota gtlo; Model Distribusi Kegiatan Sektor Informal di Kota Gorontalo
Metode yang digunakan: random sampling, Analisis Kualitatif, Survey
pekerjaan lain - Faktor – faktor mempengaruhi adalah faktor keluarga, suku dan system makelar Hasil yang diharapkan : - Proses Transformasi Sosial Kultural SI; - Peran SI dalam ekonomi Kota Gorontalo - Transformasi Spasial Sektor Informal di Kota Gorontalo
Hal yang membedakan dari segi originalitas penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lain sebelumnya adalah dari segi aspek metode penelitiannya dimana terkait dengan pengambilan
anggota populasi menggunakan simple random sampling secara
random (acak) yaitu mengambil sebagian anggota populasi Sektor Informal dengan plotting menggunakan GPS dan dianalisis secara spasial pattern menggunakan pendekatan Geografi (spatial approach) aktivitas usaha Sektor Informal yang berada di Kota Gorontalo. Di samping itu, kontribusi terhadap ilmu pengetahuan berasal dari originalitas tema penelitian yang belum banyak diteliti, aspek-aspek metodologis yang diterapkan dalam studi, dan penemuan - penemuan empiris di lapangan.
23
24
25