BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pembangunan di bidang perlindungan sosial merupakan salah satu prioritas pemerintah, terutama perlindungan terhadap mereka yang kurang beruntung. Upaya pemerintah dalam bidang perlindungan sosial meliputi pemberian bantuan sosial dan menyempurnakan sistem jaminan sosial berbasis asuransi terutama bagi masyarakat miskin. Upaya pemerintah berkaitan dengan pemberian bantuan sosial meliputi bantuan sosial, baik bagi perseorangan maupun bagi kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial atau yang menjadi korban bencana, sedangkan upaya pemerintah dalam bidang jaminan sosial bertujuan untuk memelihara taraf kesejahteraan sekiranya masyarakat menghadapi risiko atas perubahan kehidupan yang mendadak karena terjadinya musibah atau kejadian lain yang berdampak pada penghidupannya. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menangani masalah sosial seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterpencilan, dan korban bencana alam. Selain itu, pemerintah secara bertahap terus menyempurnakan sistem jaminan sosial berbasis asuransi, terutama bagi mereka yang miskin.
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Selain yang telah disebutkan di atas, permasalahan sosial yang masih dihadapi oleh sebagian masyarakat adalah kerawanan sosial ekonomi, penyimpangan perilaku, eksploitasi yang berlebihan, dan diskriminasi. Pembangunan sosial diharapkan dapat menyentuh seluruh permasalahan tersebut, namun tidak dapat dihindari bahwa pembangunan masih menyisakan sejumlah persoalan yang mengakibatkan sekelompok orang menjadi terabaikan dan tidak ikut menikmati hasil pembangunan secara layak. Terabaikannya mereka menimbulkan kerawanan sosial ekonomi dan berpotensi meningkatkan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Persoalan pokoknya terletak pada belum terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, dan perumahan, dan belum sepenuhnya terpenuhi aksesibilitas masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan terhadap berbagai sumber pelayanan sosial dasar. Terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu berimbas pada kenaikan harga barang kebutuhan pokok masyarakat yang mengurangi tingkat kemampuan konsumsi masyarakat. Untuk mengurangi ekses kejadian tersebut dan mengantisipasi penurunan kesejahteraan masyarakat, pemerintah berinisiatif menyalurkan bantuan yang berbentuk subsidi langsung tunai (SLT) yang dialokasikan kepada 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) yang dilaksanakan sejak awal tahun 2006 dan berakhir pada bulan September pada tahun yang sama. Sasaran penerima bantuan SLT tersebut adalah RTM yang meliputi rumah tangga sangat miskin/fakir miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor) dan rumah tangga hampir miskin (near poor). Ketelantaran umumnya dialami oleh mereka (bayi, anak-anak dan lanjut usia/lansia) yang tanggung jawab pengasuhannya berada di pihak lain, tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan baik sehingga kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial (Depsos), pada tahun 2004 terungkap bahwa jumlah anak telantar di Indonesia sekitar 3,3 juta anak atau sekitar 5,4 persen dari jumlah anak-anak, pada tahun 2006 jumlah anak telantar turun menjadi 2.815.393 anak. Untuk kelompok 29 - 2
lanjut usia, tantangannya adalah penyediaan pelayanan bagi lansia sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Saat ini, jumlah orang lanjut usia telantar, berdasarkan data Pusdatin Kesejahteraan Sosial tahun 2006, adalah 1.565.286 jiwa. Jumlah ini menurun bila dibandingkan dengan data tahun 2004 yaitu sebesar 3.092.910 jiwa. Tantangan yang dihadapi dalam melayani para lansia adalah penyediaan jaminan sosial, baik formal maupun informal, terutama mereka yang telantar dan tidak potensial. Penyediaan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik lansia yang masih potensial juga merupakan tantangan tersendiri yang perlu mendapat perhatian. Kecacatan dapat menyebabkan hak dasar penyandangnya untuk tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana manusia yang sempurna menjadi terkendala. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mendefinisikan penyandang cacat sebagai orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu dan menjadi rintangan serta hambatan baginya dalam melakukan aktivitas kesehariannya secara layak. Data Pusdatin Departemen Sosial tahun 2006 memperlihatkan bahwa jumlah penyandang cacat sebanyak 2.364.000 orang, sedangkan jumlah penyandang cacat eks penderita penyakit kronis sebanyak 150.449 orang. Kecacatan akan menjadi permasalahan yang lebih kompleks apabila dikaitkan dengan masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Kekurangmampuan sosial ekonomi menambah keterbatasan pada penyandang cacat yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan, harga diri, dan interaksi sosial mereka, baik antarmanusia maupun antarlingkungan sekitarnya. Penyandang cacat cenderung mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Selain terbatasnya jumlah lapangan kerja bagi mereka, pemberi kerja cenderung mempekerjakan orang tidak cacat. Dengan sedikitnya lapangan pekerjaan saat ini, menyebabkan kedudukan penyandang cacat dalam mencari kerja menjadi semakin terdesak. Selain itu, permasalahan yang terjadi adalah akibat terbatasnya sarana dan prasarana pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh penyandang cacat, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang mempermudah kehidupan penyandang cacat. 29 - 3
Kecacatan juga dapat diakibatkan oleh konflik sosial dan kontak senjata yang terjadi di suatu wilayah. Selain mereka yang terlibat langsung dalam konflik tersebut, anak-anak dan perempuan termasuk kelompok yang sering menjadi korban. Sampai saat ini, penyandang cacat perempuan belum terjangkau oleh program pemberdayaan perempuan. Kecacatan dapat pula terjadi akibat malnutrisi terkait dengan buruknya kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan Laporan Perkembangan Millenium Development Goals (MDGs), pada tahun 2003 di Indonesia terdapat 8,3 persen balita yang mengalami gizi buruk. Kecelakaan lalu lintas juga dapat mengakibatkan kecacatan seperti cacat anggota tubuh, kerusakan otak, dan kelainan perilaku. Kecacatan akibat kecelakaan lalu lintas cenderung meningkat. Hal itu dapat terjadi akibat urbanisasi dan semakin tingginya intensitas pergerakan penduduk yang tidak diimbangi oleh meningkatnya disiplin berlalu lintas. Menurut data Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Mabes Polri, korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia selama tahun 2004, sebesar 34,7 persen di antaranya meninggal dunia 27,8 persen mengalami luka berat, dan 37,5 persen mengalami luka ringan. Kecacatan juga bisa terkait dengan usia tua, seperti buta, tuli, penyakit tulang, dan kelainan mental. Hal itu banyak ditemukan di negara-negara dengan komposisi penduduk yang semakin menua. Dalam mendukung pemberian pelayanan kepada penyandang cacat, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengeluarkan Surat Edaran No.3064/M.PPN/05/2006 tanggal 19 Mei 2006 tentang Perencanaan Pembangunan yang Memberi Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat. Surat tersebut menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas sarana dan prasarana umum bagi penyandang cacat pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan, pemakaman umum, dan angkutan umum yang dilaksanakan secara bertahap dengan memerhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan penyandang cacat. Sebelumnya, juga telah dijabarkan aturan mengenai dukungan fasilitas terhadap penyandang cacat dalam Surat Edaran Menteri Sosial No.A/A164/VIII/2002/MS tanggal 13 Agustus 2002, yang menyatakan agar ketentuan tersebut dapat dikoordinasikan pelaksanaannya. Hal-hal yang perlu dikoordinasikan mencakup (1) 29 - 4
penyediaan fasilitas/aksesibilitas bagi para penyandang cacat di gedung-gedung pemerintah dan sarana umum seperti yang telah dilaksanakan oleh sebagian instansi/lembaga di Indonesia; dan (2) pembangunan gedung baru agar menyediakan aksesibilitas bagi penyandang cacat dengan memperhitungkan proses rancang bangun sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan tanggal 1 Desember 1998. Kepmen PU tersebut telah diganti dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tanggal 1 Desember 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Populasi tuna sosial berdasarkan Data Pusdatin Departemen Sosial pada tahun 2006, berjumlah kurang lebih 259.846 orang, yang terdiri atas pengemis sebanyak 28.652 orang, gelandangan sebanyak 35.552 orang, tuna susila sebanyak 66.575 orang, bekas warga binaan pemasyarakatan sebanyak 120.486 orang, dan penyandang HIV/AIDS sebanyak 8.581 orang. Hingga saat ini, kelompok tuna sosial tersebut masih terus ditangani dan diatasi dengan memerhatikan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Permasalahan sosial akibat bencana alam dan kerusuhan ataupun konflik sosial tetap mendapat perhatian, karena bencana umumnya menimbulkan korban dan kejadiannya sulit untuk diperkirakan. Sebagian besar wilayah Indonesia termasuk daerah yang rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan kekeringan. Akibat yang ditimbulkan bencana tersebut adalah korban jiwa, kehilangan harta benda, kerusakan rumah, sarana dan prasarana umum, pengungsian, dan kekurangan makanan. Kejadian bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, gempa, angin puting beliung selama tahun 2006 terjadi di beberapa tempat. Gempa bumi berskala besar terjadi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah beberapa waktu lalu dan gempa bumi yang diikuti Tsunami terjadi pula di Pantai Selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selain permasalahan akibat bencana alam, berbagai bencana sosial seperti konflik masih berlangsung secara simultan. Hal itu terjadi di antaranya akibat masih kentalnya faktor kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan. Untuk itu, penanganan 29 - 5
bencana sosial lebih diarahkan pada upaya pencegahan. Pelaporan data dari daerah, khususnya data tentang korban bencana, sering mengalami kelambatan sehingga terkesan bantuan bagi para korban bencana lamban atau tidak sampai kepada yang membutuhkan. Hal itu diperkuat dengan masih adanya keterbatasan peralatan evakuasi korban, pembenahan, pembersihan lokasi bencana yang rusak, minimnya sarana dan prasarana umum serta jalur transportasi menuju ke lokasi bencana. Terbatasnya jumlah tenaga lapangan yang terdidik dan terlatih serta berkemampuan dalam bidang kesejahteraan sosial menyebabkan terbatasnya jangkauan dan kemampuan pelayanan pelaku pembangunan kesejahteraan sosial dari unsur masyarakat. Sumber dan potensi mereka dalam peningkatan kesejahteraan sosial terkendala oleh belum tertatanya sistem dan standar pelayanan minimal bidang kesejahteraan sosial. Terbatasnya jumlah SDM dalam bidang kesejahteraan sosial yang profesional disebabkan oleh antara lain, masih terbatasnya jumlah sarana dan prasarana bagi penyelenggaraan kegiatan pelayanan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Selain itu, masih beragamnya kriteria PMKS menyebabkan hambatan pelaksanaan program kesejahteraan sosial, terutama dalam penentuan sasaran. Jaringan kerja antartenaga kerja sosial masyarakat juga masih lemah. Hal itu berdampak pada koordinasi kerja antarinstansi, baik pada tingkat nasional maupun daerah dan koordinasi antarkeduanya. Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang diperkirakan masih akan terus dihadapi dalam beberapa tahun mendatang, pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial perlu diperkuat dengan lebih mengutamakan peran aktif masyarakat yang diikuti dengan penggalian dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial dan gotong royong. Selain itu, perlu ditingkatkan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dan keserasian kebijakan kesejahteraan sosial, baik pada tingkat nasional maupun daerah.
29 - 6
II.
Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai
Kebijakan yang ditempuh dalam meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat akan terus dilanjutkan guna menjaga kesinambungan program dan kegiatan pelayanan sosial kepada masyarakat. Untuk memberdayakan masyarakat miskin, dilanjutkan pelaksanaan program bantuan langsung pemberdayaan sosial (BLPS) dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha ekonomi produktif (UEP) bagi kelompok usaha bersama (KUBE) produktif. UEP ditujukan untuk memberdayakan masyarakat miskin yang telah membentuk KUBE. Sasaran dari langkah kebijakan itu, antara lain, adalah: (1) memberikan bantuan modal UEP kepada 23.765 KK atau 2.376 KUBE di 33 provinsi, 99 kabupaten dan 198 kecamatan; (2) menetapkan pendamping sosial baik tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kabupaten/Kota; dan (3) melaksanakan kegiatan pemantauan (monitoring) dan evaluasi terhadap program. Dalam pelaksanaan pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT), hasil yang dapat dicapai pada tahun 2006 dari kebijakan pemberian bantuan KAT adalah 64.365 KK atau terjadi kenaikan sebesar 5,19 persen untuk program yang sama di tahun sebelumnya. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilaksanakan adalah: (1) persiapan kegiatan pemberdayaan yang meliputi pemetaan, penjajagan, studi kelayakan dan pemantapan kesiapan masyarakat; (2) pelaksanaan kegiatan pemberdayaan yang berkaitan dengan pemukiman dan penempatan warga serta pemberian stimulus; dan (3) pelaksanaan pemantapan kegiatan terkait dengan lingkungan sosial, sumber daya manusia, dan kerja sama pemberdayaan. Pelaksanaan pelayanan dan perlindungan kesejahteraan sosial anak dengan sasaran keseluruhan sebanyak 128.029 anak yang terdiri atas anak telantar sebanyak 64.894 orang di 33 provinsi, anak jalanan sebanyak 45.300 orang di 24 provinsi, anak nakal sebanyak 11.770 anak di 31 provinsi, dan anak cacat sebanyak 6.065 anak di 31 provinsi. Kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan partisipasi anak; menghindarkan anak dari tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan diskriminatif; serta meningkatkan kepedulian masyarakat dalam menangani masalah sosial anak di lingkungannya.
29 - 7
Sasaran pelaksanaan program pelayanan dan perlindungan kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia telantar pada tahun 2007 yang berjumlah 16.211 orang di 33 provinsi dilakukan, antara lain, melalui pemberian dana jaminan sosial bagi lanjut usia telantar yang bertujuan meringankan beban pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan lansia, dan peningkatan kesejahteraan sosial bagi lansia agar dapat menikmati taraf hidup sewajarnya. Pemberian dana jaminan sosial bagi lanjut usia telantar diberikan dengan syarat tertentu, yaitu kepada lansia yang tidak produktif dan sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari lagi, berusia 60 tahun ke atas, menderita sakit-sakitan, bukan penyandang cacat fisik, mental, dan cacat ganda. Selain itu, lansia tersebut juga belum pernah mendapatkan perawatan/pelayanan secara permanen dan tidak sedang menerima bantuan/santunan, baik dari pemerintah maupun lembaga sosial serta tidak memiliki sumber penghasilan, baik dari diri sendiri maupun orang lain untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kegiatan pemberian dana jaminan sosial lanjut usia (JSLU) untuk tahun 2007 dialokasikan kepada 3.500 lansia telantar sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, perluasan perlindungan sosial dan aksesibilitas bagi lanjut usia, pengembangan model pelayanan Day Care Services Temporary Care, Trauma Center, pelaksanaan subsidi silang dan model persiapan pralanjut usia serta perluasan uji coba model pemberian jaminan sosial untuk lansia telantar. Komisi Nasional Lanjut Usia telah berperan dalam memberikan saran dan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pemerintah di bidang lanjut usia. Pelaksanaan program yang terkait dengan penyandang cacat adalah pelayanan dan rehabilitasi penyandang cacat dengan alokasi sasaran kepada 28.670 orang di 33 provinsi. Salah satu kegiatannya adalah rehabilitasi sosial berupa pelayanan dalam panti dan pemberian dana jaminan sosial. Sebanyak 6.000 penyandang cacat berat, yaitu yang tingkat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan sangat bergantung kepada bantuan orang lain serta tidak dapat menafkahi dirinya sendiri, tetapi terdaftar sebagai penduduk setempat, diberi bantuan dana jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal.
29 - 8
Selama tahun 2006, hasil yang telah dicapai dalam penanganan ketunaan sosial adalah pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap 5.230 orang tuna sosial (terdiri atas wanita tuna susila, gelandangan, pengemis dan bekas narapidana), dan 4.100 orang korban penyalahgunaan napza di 31 provinsi. Selain itu, juga terdapat pelaksanaan kegiatan melalui 34 unit pelaksana teknis (UPT) untuk pelayanan dan rehabilitasi sosial yang terdiri atas 3 balai besar rehabilitasi sosial, 30 panti sosial dan 1 balai penerbitan Braille. Kegiatan UPT tersebut mencapai sasaran sebanyak 6.077 orang di 33 UPT. Selain itu, telah dilaksanakan pula pemberian subsidi untuk tambahan pemenuhan kebutuhan dasar kepada 150.000 klien di 4.500 panti sosial. Bantuan UEP telah diberikan kepada 855 panti sosial, sedangkan kegiatan peningkatan sarana dan prasarana dilakukan di 36 panti eks Depsos yang tersebar di 16 provinsi. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program pemberian uang tunai kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagai upaya pengembangan sistem perlindungan sosial. Uji coba PKH tahun 2007 ditujukan kepada 500.000 RTSM yang memiliki anak berusia 0 - 15 tahun dan/atau ibu hamil pada saat dilakukan survei registrasi untuk menyusun beneficiary roster dengan metode pendataan yang disempurnakan untuk mengurangi tingkat kesalahan (inclusion error dan exclusion error). Lokasi yang dipilih sebagai uji coba PKH berdasarkan pada kriteria kesediaan daerah, kondisi kemiskinan, gizi buruk, angka putus sekolah dan kesiapan supply side pelayanan kesehatan dan pendidikan yang menghasilkan terpilihnya 348 kecamatan, 48 kabupaten dan 7 provinsi sebagai lokasi uji coba PKH yaitu sebagai berikut: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur. Hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan Program SLTRTM, antara lain, adalah tahap I (Oktober – Desember 2005) diperuntukan bagi 14,4 juta RTM, tahap II (1 Januari - 31 Maret 2006) bagi 17,2 juta RTM, tahap III (1 April - 30 Juni 2006) bagi 12,2 juta RTM, dan tahap IV (Juli – September 2006) bagi 19,1 juta RTM.
29 - 9
Selain itu, melalui program kemitraan usaha antarkelompok usaha bersama fakir miskin (KUBE FM) dengan swasta, pemberian modal usaha ekonomi produktif (UEP), dan modal usaha bergulir untuk KUBE fakir miskin telah diberi bantuan kepada 309 LKM dengan pendekatan bagi hasil (syariah). Keluarga fakir miskin yang dibantu usahanya pada tahun 2005 sebanyak 16.880 KK atau sekitar 1.688 KUBE. Secara umum, program pemberdayaan fakir miskin itu ditujukan kepada 190.890 rumah tangga di 33 provinsi meningkat sebesar 13,04 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial, antara lain dengan: (1) menyediakan bantuan dasar berupa pangan, sandang, papan, dan fasilitas bantuan tanggap darurat dan bantuan pemulangan/terminasi, serta stimulan bahan bangunan rumah bagi korban bencana alam, bencana sosial dan PMKS; (2) memberikan bantuan kepada pengungsi akibat konflik sosial dan pekerja migran telantar; (3) memberikan bantuan kepada korban tindak kekerasan melalui perlindungan dan advokasi sosial; dan (4) menyelenggarakan bantuan dan jaminan sosial kepada fakir miskin dan PMKS lainnya. Dalam penanganan masalah bencana, beberapa hasil yang telah dicapai adalah: (1) pemberian bantuan fisik dan nonfisik kepada korban bencana alam yang terjadi pada berbagai wilayah; (2) pemberian santunan sosial kepada ahli waris yang anggotanya meninggal dunia/hilang akibat bencana alam, sebanyak 798 jiwa; (3) pemberian bantuan evacuation kit, terdiri atas tenda peleton, tenda regu, genset, perahu karet bermesin, velbed, rompi pelampung, alat dapur, mobil dapur umum lapangan (dumlap), dan alat komunikasi bagi 60 kabupaten/kota yang rawan bencana alam; (4) pemberian bantuan bahan bangunan rumah (BBR) bagi korban bencana alam pada berbagai wilayah di tiga provinsi bagi 12.141 kepala keluarga di 15 provinsi; dan (5) pemantapan taruna siaga bencana (Tagana), instruktur, Satgasos PB, tim reaksi cepat, dan penyelenggaraan mobil dapur umum lapangan di 33 provinsi. Bantuan sosial lainnya yang telah diberikan kepada korban bencana sosial di beberapa daerah, antara lain, adalah: (1) pemberian bantuan tanggap darurat untuk pengungsi akibat konflik sosial; (2) pemberian bantuan untuk pemulangan pengungsi/terminasi sebanyak 29 - 10
54.070 KK di 12 provinsi; dan (3) pemberian bantuan pemulangan pekerja migran bermasalah sebanyak 35.500 jiwa. Penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial dilakukan dengan beberapa kegiatan antara lain: (1) meningkatkan keterampilan para perencana program dalam mengembangkan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pelayanan kesejahteraan sosial; (2) mengkaji dan meneliti upaya peningkatan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk manajemen, sarana, dan prasarana; (3) melaksanakan sosialisasi pengarusutamaan gender bidang sosial pada tingkat akar rumput (grass root level) di 33 provinsi; dan (4) melaksanakan kegiatan keterampilan dan pengembangan kapasitas berwawasan gender bagi warga binaan sosial. Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial adalah: (1) terlaksananya pelatihan dan pendidikan kedinasan bagi pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial untuk program pendidikan bagi D-4, S-1, S-2, dan S-3; (2) terlaksananya kegiatan penelitian dan pengkajian bidang kesejahteraan sosial sebanyak 17 judul penelitian; (3) terlaksananya sosialisasi pengarusutamaan gender bidang sosial pada tingkat akar rumput (grass root level) di 33 provinsi; dan (4) pelatihan keterampilan bidang kewirausahaan, khususnya bagi kelompok miskin perempuan. Dalam rangka pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, kegiatan yang dilakukan, antara lain, adalah: (1) meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mendukung upaya penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS; (2) meningkatkan kualitas SDM bidang kesejahteraan sosial dan masyarakat (PSM/relawan sosial, Karang Taruna, organisasi sosial, termasuk kelembagaan sosial di tingkat lokal); (3) meningkatkan kerja sama pelaku-pelaku Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS), masyarakat dan dunia usaha, termasuk organisasi sosial tingkat lokal; dan (4) meningkatkan pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kejuangan. Hasil yang dicapai, antara lain, adalah: (1) terbentuknya kelompok wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat melalui 29 - 11
pertemuan lembaga sosial komunitas lokal di berbagai desa yang tersebar di 33 provinsi; (2) terberdayakannya organisasi sosial, karang taruna dan pekerja sosial masyarakat; (3) terjalinnya kerja sama kemitraan dengan dunia usaha; (4) terlaksananya pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kejuangan; dan (5) terpugar serta terpeliharanya 37 Taman Makam Pahlawan (TMP), 93 Makam Pahlawan Nasional (MPN), pemberian bantuan rumah bagi 93 Perintis Kemerdekaan, dan pemberian bantuan kesehatan kepada 435 Perintis Kemerdekaan, 1.384 Janda Perintis Kemerdekaan dan 74 Keluarga Pahlawan, serta penelitian kesejarahan terhadap 8 orang Pahlawan Nasional. Penyuluhan kesejahteraan sosial selama tahun 2006 dilakukan dengan: (1) meningkatkan penyuluhan kesejahteraan sosial, khususnya untuk daerah terpencil, rawan/pascakonflik, daerah rawan bencana dan daerah gugus pulau; (2) meningkatkan kualitas penyuluhan sosial melalui media massa cetak dan elektronik; dan (3) meningkatkan kualitas penyuluh kesejahteraan sosial melalui pelatihan bimbingan tenaga penyuluh. Penyuluhan kesejahteraan sosial yang telah dilaksanakan selama ini, mencakup: (1) penyuluhan sosial di daerah terpencil, rawan/pascakonflik, rawan bencana dan daerah gugus pulau; (2) kegiatan penyuluhan sosial dan penyuluhan sosial keliling di gugus pulau dan perdesaan di daerah perbatasan, (3) penyuluhan sosial melalui film, media massa cetak (majalah, koran, pamplet), dan media elektronik (televisi dan radio). Kegiatan pengembangan dan keserasian kebijakan kesejahteraan rakyat untuk kepentingan masyarakat, dilakukan dengan: (1) melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menyinergikan pendanaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan; (2) mendorong terbentuknya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah; dan (3) melaksanakan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar dan pangan bagi keluarga miskin; (4) mendukung koordinasi pelaksanaan kegiatan yang menyangkut tanggap cepat kesejahteraan rakyat, seperti kejadian luar biasa (merebaknya penyakit, korban bencana alam, dan konflik sosial); (5) melaksanakan koordinasi dalam rangka Program Nasional Pengembangan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan PKH; (6) melaksanakan koordinasi penyusunan peraturan perundang29 - 12
undangan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, terutama fakir miskin dan orang tidak mampu. Hasil yang telah dicapai selama ini, antara lain, adalah: (1) tersusunnya kesepakatan mengenai kebijakan dan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan berbagai instansi; (2) terbentuknya tim koordinasi penanggulangan kemiskinan di daerah; (3) tertanganinya masalah strategis yang menyangkut tanggap cepat kesejahteraan rakyat, seperti kejadian luar biasa (merebaknya penyakit, korban bencana alam, dan konflik sosial); (4) terlaksananya koordinasi pemberian bantuan bencana yang selama ini terjadi di berbagai wilayah; dan (5) terserasinya penanganan masalah yang menyangkut kesejahteraan rakyat, terutama fakir miskin dan orang tidak mampu. III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Untuk mewujudkan suatu sistem jaminan sosial yang lebih efektif, mendidik dan tepat sasaran, pengembangan PKH melalui pemberian bantuan langsung bersyarat kepada RTSM secara berkesinambungan diharapkan menjadi suatu rintisan yang akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui PKH, mereka yang miskin dan berada pada usia wajib belajar atau putus sekolah dasar, serta ibu yang sedang hamil akan mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Untuk menanggulangi kemiskinan, Program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial sebagai pendukung PNPM Mandiri diharapkan menjadi suatu gerakan nasional. Program itu berwujud pembangunan berbasis masyarakat yang menjadi kerangka kebijakan serta acuan dan pedoman pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri diharapkan dapat menjadi suatu gerakan yang terintegrasi dan terkoordinasi secara multisektoral untuk melepaskan masyarakat dari jerat kemiskinan. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap yang diawali oleh tahap internalisasi program, tahap pelembagaan, dan tahap keberlanjutan. Untuk mengatasi berbagai masalah yang masih dihadapi, tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pembangunan 29 - 13
perlindungan dan kesejahteraan sosial antara lain adalah: (1) meningkatkan penyempurnaan sistem jaminan kesejahteraan sosial bagi penduduk fakir miskin, rentan, dan PMKS; (2) meningkatkan jangkauan pemberdayaan sosial dengan memperhatikan kondisi sasaran program dan arah pemberdayaan sosial yang ditetapkan; dan (3) memantapkan dan meningkatkan kinerja program serta percepatan pemberdayaan sosial. Sebagai tindak lanjut penyediaan pelayanan kepada anak dan lanjut usia telantar, akan ditingkatkan pelatihan keterampilan dan praktik belajar kerja bagi anak telantar, terutama anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal. Selain itu, juga ditingkatkan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan sosial dan hukum bagi korban eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak, serta korban kekerasan. Untuk lanjut usia telantar sangat miskin, akan dilaksanakan peningkatan pelayanan dan jaminan sosial bagi 39.132 orang. Untuk mendukung pelayanan kepada penyandang cacat, tindak lanjut yang akan dilaksanakan adalah meningkatkan layanan dan jaminan sosial bagi 81.616 orang penyandang cacat berat. Selain itu, juga disampaikan bantuan operasional kepada panti yang melayani para penyandang cacat untuk memulihkan fungsi sosial dan melindungi mereka dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, serta pemenuhan hak penyandang cacat khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, hukum, dan ketenagakerjaan. Untuk mengatasi permasalahan sosial akibat bencana, akan dilaksanakan beberapa kegiatan, di antaranya: (1) meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dalam penanggulangan bencana seperti pelatihan taruna siaga bencana (Tagana), Tim Reaksi Cepat (TRC), petugas Posko Penanggulangan Bencana (Posko PB), Satuan Tugas Logistik; dan (2) menjamin ketersediaan bantuan darurat pada tingkat pusat dan daerah seperti beras, lauk-pauk, sandang, dan peralatan dapur keluarga sebagai buffer stock kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pembangunan kesejahteraan sosial perlu diperkuat sehubungan dengan berbagai permasalahan yang diperkirakan masih akan terus dihadapi dalam beberapa tahun mendatang. Untuk itu, diperlukan 29 - 14
pelaksanaan beberapa kegiatan sebagai berikut: (1) meningkatkan peran aktif masyarakat dan kemitraan dengan dunia usaha; (2) meningkatkan kualitas penyuluhan, khususnya di daerah kumuh, perbatasan, daerah rawan konflik, dan daerah gugus pulau melalui media massa cetak dan elektronik; (3) meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pengawasan sehingga mampu mendorong terlaksananya pembangunan kesejahteraan sosial, mempunyai daya cegah dan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan; dan (4) memperbaiki dan meningkatkan kualitas sistem pendataan serta pelaporan, baik tingkat pusat maupun daerah.
29 - 15