BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia, dan ditujukan untuk meningkatkan status, posisi dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki, serta membangun anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, bertakwa, dan terlindungi. Pembangunan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Kualitas hidup dan partisipasi perempuan dalam pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik, masih rendah, di samping masih adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi dan eksploitasi. Pembangunan anak juga perlu memperoleh perhatian, karena masih rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak. Disadari sudah banyak kemajuan yang dicapai dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, yang antara lain ditandai dengan semakin meningkatnya status dan peran perempuan di berbagai aspek kehidupan, tetapi bila dibandingkan dengan kemajuan laki-laki, status dan peran perempuan masih tertinggal.
I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pemberdayaan perempuan dapat dilihat dari tingginya angka Gender-related Development Index (GDI). Berdasarkan Human Development Report 2005, angka GDI Indonesia adalah sebesar 0,691. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kecuali Kamboja dan Laos. Namun, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (0,685), angka GDI Indonesia sedikit mengalami peningkatan. Untuk meningkatkan angka GDI diperlukan berbagai upaya peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, terutama melalui penyusunan kebijakan dan kegiatan afirmasi (affirmative actions) di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, yang merupakan tiga komponen GDI. Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan di bidang pendidikan antara lain dapat dilihat dari masih tingginya jumlah penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas yang buta huruf diperkirakan sebesar 13,2 persen, atau dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki yang hanya 6,0 persen (Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004), dan apabila dilihat dari lokasi tempat tinggalnya maka penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas yang buta aksara di daerah perdesaan jauh lebih besar dibandingkan di perkotaan. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar hingga perguruan tinggi, angkanya tidak jauh berbeda antara perempuan dan laki-laki. Di bidang kesehatan, rendahnya kualitas hidup perempuan dapat dilihat dari masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002–2003). Selain itu, persalinan dengan tenaga medis juga masih rendah, meskipun menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya (71,5 persen pada tahun 2004 dan 77,0 persen pada tahun 2005). Di bidang ekonomi, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2005 tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan meningkat dibanding tahun sebelumnya, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (50,65 persen berbanding 85,55 persen). Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, yang sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan dan bekerja di sektor informal, tidak memiliki perlindungan sosial, sehingga banyak menjadi korban 12 - 2
kekerasan dan eksploitasi. Di bidang politik, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2005 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif masih rendah, yaitu sekitar 11,6 persen di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan sekitar 19,8 persen di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keterlibatan perempuan dalam jabatan publik dan pengambilan keputusan juga masih rendah, dapat dilihat antara lain dari persentase perempuan pegawai negeri sipil (PNS) yang menjabat sebagai Eselon I, II, dan III, masing-masing 9,6 persen, 6,7 persen, dan 13,5 persen (data Badan Kepegawaian Negara tahun 2005). Sementara itu, peran perempuan pada lembaga yudikatif juga masih rendah, masing-masing sebesar 24 persen sebagai hakim dan 27 persen sebagai jaksa pada tahun 2005. Masalah lain adalah masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat nampaknya belum cukup untuk menekan tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurut catatan Komnas Perempuan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun, dan mencapai lebih dari 20,3 ribu kasus pada tahun 2005. Angka tersebut diperkirakan jauh dari keadaan sesungguhnya, karena merupakan fenomena gunung es, banyak korban atau keluarga korban yang enggan melaporkan kejadian kekerasan yang dialami. Dari jumlah kasus tersebut, sekitar 82 persen adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan sekitar 45 persen korban adalah ibu rumah tangga, serta berpendidikan SLTP dan SLTA. Upaya pemerintah yang telah dilakukan selama ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Di bidang pendidikan, data Susenas 2004 menunjukkan bahwa belum semua anak dapat mengenyam pendidikan. Angka partisipasi sekolah (APS) anak perempuan usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan 16–18 tahun masing-masing 97 persen, 84 persen, dan 53 persen; sedangkan APS anak laki-laki relatif sama yaitu masing-masing 97 persen, 83 persen, dan 54 persen. Sementara itu, dari sekitar 28,3 juta anak berusia 0–6 tahun, yang tertampung di berbagai jenis satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) baru sebanyak 7,9 juta anak atau sebesar 28 persen. Rendahnya daya tampung pendidikan anak usia 12 - 3
dini terutama disebabkan oleh terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan pelayanan PAUD dibandingkan dengan jumlah anak usia 0–6 tahun yang perlu dilayani. Selanjutnya, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa belum tersedia secara memadai. Di bidang kesehatan, angka kematian bayi, angka kematian balita, prevalensi gizi kurang pada anak balita, dan prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak SD masih tinggi. Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003, menyebutkan bahwa status gizi balita buruk di daerah perdesaan sebesar 9,46 persen, lebih tinggi dari daerah perkotaan (7,16 persen). Masalah lainnya adalah masalah perlindungan anak, yang antara lain dapat dilihat dari masih banyaknya pekerja anak. Berdasarkan Sakernas Februari 2005, persentase anak yang bekerja sekitar 5,5 persen dari jumlah anak umur 10–14 tahun; dan sebagian terbesar dari mereka (73 persen) bekerja lebih dari 35 jam/minggu, dan bekerja di sektor pertanian (70 persen). Masalah lainnya adalah masih terdapat sekitar 58,4 persen anak yang tidak memiliki akte kelahiran (Susenas 2004). Masalah lain adalah banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Perangkat hukum pidana yang ada belum cukup lengkap dalam melindungi setiap individu, terutama dari tindak kekerasan dalam rumah tangga dan eksploitasi. Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsekuen untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan dan anak, termasuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga masih ditemukan peraturan perundang-undangan yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap perempuan, serta belum peduli anak. Pelaksanaan desentralisasi yang dimulai tahun 2001 membawa implikasi pada masalah kelembagaan dan jaringan kerja di daerah. Kelembagaan yang menangani masalah-masalah pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki posisi yang kuat, sehingga mempengaruhi proses koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program-program, karena pembangunan 12 - 4
pemberdayaan perempuan dan anak merupakan program lintasbidang. Di tingkat provinsi, hanya 10 provinsi yang memiliki kelembagaan pemberdayaan perempuan dan anak setingkat eselon II, dan 23 provinsi lainnya bergabung dengan unit kerja Biro/Badan setingkat eselon III, sedangkan di tingkat kabupaten/kota kelembagaan tersebut sangat bervariasi nomenklaturnya dan sebagian besar setingkat eselon III dan IV. Masalah lainnya adalah masih terbatasnya data pembangunan yang terpilah menurut jenis kelamin, sehingga sulit menemukenali masalah-masalah gender yang ada. Selain itu, partisipasi masyarakat belum maksimal dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan dan meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak.
II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI
Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi, serta mengupayakan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan, maka langkah kebijakan yang dilakukan adalah: (1) meningkatkan kualitas hidup perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, serta peran perempuan di bidang politik; (2) meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; (3) menyempurnakan perangkat hukum yang melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga; (4) meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan hukum; (5) memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak dalam perencanaan pembangunan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; dan (6) melanjutkan penyusunan data dan statistik gender di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hasil-hasil yang telah dicapai dapat diuraikan sebagai berikut. Di bidang pendidikan, hasil yang telah dicapai antara lain penyelenggaraan koordinasi dan kerja sama pendidikan bagi perempuan buta aksara sebagai tindaklanjut Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasional, 12 - 5
dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tentang Pemberantasan Buta Aksara Perempuan (PBAP). Dalam kaitan itu, telah disusun rencana aksi nasional (RAN) berikut pedomannya, serta advokasi PBAP di beberapa provinsi yang memiliki angka buta aksara tertinggi. Sementara itu, terkait dengan pelaksanaan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) telah dilakukan sosialisasi dan pelatihan di tingkat provinsi. Advokasi dan sosialisasi tentang pendidikan keluarga yang berperspektif gender juga telah dirintis di beberapa provinsi dan kabupaten/kota. Di bidang kesehatan, hasil-hasil yang telah dicapai antara lain pembentukan dan penguatan jejaring kerja guna meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat akan pentingnya gizi anak balita, kesehatan ibu hamil dan remaja putri, bekerja sama dengan Tim Penggerak PKK. Revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) di tingkat kecamatan dilanjutkan dan diperluas melalui fasilitasi pembentukan model Kecamatan Sayang Ibu khususnya di kecamatan yang memiliki angka kematian ibu melahirkan tinggi, serta diikuti dengan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif yang melibatkan organisasi perempuan. Pada tahun 2006 diadakan Pekan ASI 2006 dengan tujuan untuk mengingatkan kepada seluruh perempuan dan keluarga akan pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi usia 0–6 bulan. Selanjutnya, dalam membantu upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), telah dilakukan sosialisasi tentang pencegahan penyalahgunaan NAPZA dan penyebaran HIV/AIDS bagi organisasi perempuan di seluruh provinsi dan bagi kelompok anak, baik melalui sekolah maupun melalui media. Di bidang ekonomi, hasil-hasil yang telah dicapai antara lain: (1) penyempurnaan kebijakan perlindungan perempuan yang bekerja di dalam dan di luar negeri; (2) koordinasi dan pemantauan pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja perempuan di tujuh embarkasi, yaitu Belawan, Batam, Tanjung Balai Karimun, Tarakan, Nunukan, Tanjung Perak, dan Entikong; (3) pembentukan Forum Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP), yang merupakan wadah kegiatan untuk berkoordinasi, bersinergi dan menghimpun berbagai masukan untuk mempercepat upaya 12 - 6
penanggulangan kemiskinan melalui berbagai kegiatan ekonomi produktif bagi perempuan; (4) pengembangan Model Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri). Model Desa Prima merupakan penjabaran kebijakan PPEP dalam mensinergikan program-program sektor dalam satu wilayah; dan (5) revitalisasi program Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), melalui pengaktifan kembali kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan di tingkat lokal di berbagai bidang pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, terutama di perdesaan. Untuk meningkatkan peran perempuan dalam usaha kecil dan mikro, maka sejak tahun 2003 diselenggarakan Pameran Produk Usaha Kecil dan Mikro Perempuan, yang bekerja sama dengan dunia usaha. Di bidang hukum, hasil-hasil yang telah dicapai antara lain: (1) pengesahan revisi UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang antara lain memberikan perlindungan maksimal bagi anak dari perkawinan perempuan WNI dengan laki-laki WNA; (2) pengesahan PP No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT); (3) pembahasan RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi dengan DPR RI; (4) penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; (5) penyusunan sistem pencatatan dan pelaporan KDRT; dan (6) sosialisasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terutama bagi aparat penegak hukum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di bidang sosial dan politik, hasil-hasil yang telah dicapai antara lain: (1) penanganan masalah perempuan dan anak di daerah bencana pascagempa di Provinsi NAD, Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Barat; (2) penyusunan Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan; (3) pelatihan pendidikan politik bagi organisasi perempuan di daerah; (4) peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi, organisasi perempuan, dan institusi terkait dalam hal pendidikan politik bagi perempuan; (5) pelaksanaan Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015, antara lain berupa pembentukan Forum Indonesia yang Layak bagi Anak; dan pelatihan bagi pelatih PNBAI di seluruh provinsi; (6) sosialisasi dan 12 - 7
advokasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A), terutama di daerah-daerah miskin dan perbatasan; (7) penyusunan info kit teknologi tepat guna yang responsif gender; (8) pelaksanaan Gerakan Masyarakat Bersih Pornografi dan Pornoaksi di tingkat Nasional dan provinsi; dan (9) penyusunan naskah akademis usulan revisi UU No. 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak telah dilakukan fasilitasi penanganan permasalahan gizi balita melalui kegiatan Peningkatan Kepedulian Masyarakat dalam Pelayanan Kesehatan, terutama di daerah-daerah terpencil, bekerja sama dengan organisasi masyarakat. Selain itu, juga dilakukan sosialisasi Panduan Pola Pengasuhan Anak yang berlandaskan pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan melanjutkan pelaksanaan kampanye hak-hak sipil anak, termasuk pemberian akte kelahiran gratis bagi anak Indonesia sebagai pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 di tingkat nasional dan daerah. Saat ini sedang dilakukan uji publik RAN Penghapusan Kekerasan terhadap Anak, yang melibatkan anak-anak dari seluruh pelosok tanah air. Pusat Advokasi dan Fasilitasi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak juga telah dibentuk di 20 provinsi sebagai lembaga yang membantu menangani permasalahan anak di daerah, yang didukung dengan jejaring kerja penegak hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Pemetaan anak bermasalah dengan hukum (ABH) telah disusun di 3 provinsi yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Saat ini juga sedang disusun naskah akademis RPP tentang Anak dalam Kalangan Minoritas, dan RPP tentang Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah. Selanjutnya, dalam upaya perlindungan anak, telah dikembangkan Telepon Layanan Anak Indonesia dengan nomor 129 di Jakarta, Makasar, Surabaya, dan Banda Aceh atas kerjasama dengan dunia usaha. Hasil lainnya adalah dikembangkannya kebijakan perlindungan khusus bagi anak korban bencana, dan disusunnya beberapa panduan seperti panduan pengembangan kota layak anak, panduan pemberdayaan ekonomi kaluarga anak jalanan. Pemberian penghargaan bagi pemimpin muda dilakukan setiap tahun, dan pada tahun 2006 diberikan pada saat peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli 2006. 12 - 8
Dalam rangka penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, hasil-hasil yang telah dicapai antara lain adalah: (1) sosialisasi, advokasi, dan fasilitasi guna penguatan unit kerja yang menangani pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat nasional, 32 provinsi, dan 272 kabupaten/kota; (2) penyusunan sistem dan mekanisme kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk data gender dan profil anak di 32 provinsi; (3) advokasi bagi aparat penegak hukum tentang UU No 23 Tahun 2002; (4) penguatan kelembagaan pusat-pusat studi wanita/gender (PSW/PSG) di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta; (5) pembentukan Gugus Tugas Anti Traficking, Penjaja Seks Komersial, dan Eksploitasi Seks Komersial Anak; (6) sosialisasi perlindungan anak bagi tokoh agama, LSM, organisasi profesi dan penegak hukum; (7) sosialisasi dan advokasi tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Model Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (KPA) ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota; (8) pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan/Anak (P2TP2/A) di 17 provinsi/kabupaten/kota, dan dilanjutkan dengan pelatihan bagi para pengelola P2TP2/A dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak; dan (9) penguatan jejaring kerja di tingkat internasional melalui partisipasi aktif pada forum-forum internasional baik secara bilateral (dengan Afghanistan, Afrika Selatan, dan Malaysia) maupun multilateral (UNESCAP dan APEC). Selanjutnya, hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya penyerasian kebijakan pemberdayaan perempuan dan anak antara lain: (1) sosialisasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan RAN Trafiking di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (2) penyusunan sistem dan mekanisme kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk data gender dan profil anak; (3) penyusunan Sistem Perlindungan Perempuan terhadap Tindak Kekerasan; (4) penyusunan materi advokasi UU No. 23 Tahun 2004 dan penyelesaian RPP tentang Penghapusan KDRT; dan (5) pelaksanaan kampanye publik tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak, melalui media massa, dengan melibatkan organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan anak.
12 - 9
III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang masih akan dihadapi di masa mendatang, tindak lanjut yang diperlukan adalah melanjutkan berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan pengambilan keputusan, khususnya di tingkat kabupaten/ kota. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, tindak lanjut yang diperlukan adalah dalam rangka pemenuhan hakhak anak di berbagai bidang, yaitu tumbuh-kembang anak, perlindungan anak, partisipasi anak, hak sipil dan kebebasan, dan penciptaan lingkungan yang ramah anak, termasuk penanganan perdagangan anak, anak jalanan, dan anak korban bencana. Sementara itu, untuk memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, tindak lanjut yang diperlukan antara lain meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan lembaga masyarakat dan swasta, melaksanakan pengarusutamaan gender terutama pada tahap perencanaan, dan memperkuat kelembagaan anak, di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Tindak lanjut lainnya adalah melakukan penyerasian berbagai kebijakan dan peraturan perundangundangan yang mendukung peningkatan kualitas perempuan dan anak, termasuk penjabaran Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 ke dalam rencana aksi yang lebih rinci untuk dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha.
12 - 10