BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Epidemiologi Malaria Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intra
selular dari genus plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan P.malariae, P.vivax, P.falciparum dan P. Ovale. Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina dari genus Anopheles sp. Sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 67 spesies yang dapat menularkan malaria dan 30 diantaranya ditemukan di indonesia. Selain oleh gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah serta ibu hamil kepada bayinya (Harijanto, 2000). 2.1.1
Pengertian Malaria Penyakit malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
malaria, yang merupakan protozoa darah termasuk: Filum
: Apicomplexa
Sub Ordo
: Haemosporidiidae
Klas
: Sporozoa
Familia
: Plasmodiidae
Sub klas
: Cocidiidae
Genus
: Plasmodium
Ordo
: Eucoccidiidae Genus plasmodium secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) sub genus yaitu sub
genus plasmodium dengan spesies yang menginfeksi manusia adalah plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae, sub genus laverania dengan 9
10
spesies yang menginfeksi manusia adalah plasmodium falciparum dan sub genus vinckeia yang hanya menginfeksi kelelawar dan binatang pengerat lainnya (Depkes RI, 1999). Definisi penyakit malaria menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (plasmodium) bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles sp.) betina. Definisi penyakit malaria lainnya adalah suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh agent tertentu yang infektif dengan perantara suatu vektor dan dapat disebarkan dari suatu sumber infeksi kepada host. Penyakit malaria termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menyerang semua orang, bahkan mengakibatkan kematian terutama yang disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum (Depkes RI, 2003). 2.1.2
Etiologi Malaria Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus
plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles sp. ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya (Widoyono, 2011). Malaria vivax disebabkan oleh p. vivax yang disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. p. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan p. falciparum menyebabkan
11
malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh (Widoyono, 2011). 2.1.3
Siklus Hidup Plasmodium Dalam siklus hidup nyamuk terdapat tingkatan-tingkatan dimana antara
tingkatan yang satu berbeda dengan tingkatan yang lainnya, yaitu berdasarkan tempat hidupnya/lingkungannya dikenal dua tingkatan kehidupan nyamuk antara lain: tingkatan dalam air berupa telur lalu menjadi jentik dan dari jentik menjadi kepompong, tingkatan di luar tempat berair yaitu di udara sebagai nyamuk dewasa (jantan dan betina). Daur hidup keempat spesies plasmodium pada manusia sama. Proses tersebut terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata. Reproduksi seksual hasilnya disebut sporozoite sedangkan reproduksinya aseksual disebut merozoite. Pada penyakit malaria manusia sebagai host intermediate sedangkan nyamuk sebagai host defenitifnya. 1.
Parasit Dalam Hospes Vertebrata Bila nyamuk Anopheles betina mengandung parasit malaria dalam kelenjar
liurnya menusuk hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui prosbosis ditusukkan ke dalam kulit. Sporozoit segera masuk ke dalam peredaran darah dan setelah 1/2-1 jam masuk dalam sel hati. Banyak yang dihancurkan oleh
12
fagosit, tetapi sebagian masuk dalam sel hati (hepatosit) menjadi tropozoit hati dan berkembangbiak. Proses ini disebut skizogoni praeritrosit/ eksoeritrositer primer. Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa difagositosis. Pada P. vivax dan P. ovale sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waku (beberapa bulan sampai lima tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Merozoit yang dilepaskan oleh skizon jaringan mulai menyerang eritrosit. Pada saat merozoit masuk, selaput permukaan dijepit sehingga lepas. Seluruh proses ini berlangsung selama kurang lebih 30 detik. Setelah dua atau tiga generasi (3-15 hari) merozoit dibentuk, sebagian merozoit tumbuh menjadi stadium seksual. Proses ini disebut gametogoni (gametositogenesis). Stadium tumbuh tetapi inti tidak membelah. Gametosit mempunyai bentuk yang berbeda pada berbagai spesies. Pada P. falciparum bentuknya seperti sabit/pisang bila sudah matang, pada spesies lain bentuknya bulat. 2.
Parasit Dalam Hospes Invertrebrata Bila Anopheles sp. mengisap darah hospes manusia yang mengandung parasit
malaria. Parasit aseksual dicernakan bersama eritrosit, tetapi gametosit dapat tumbuh terus. Inti pada mikrogametosit membelah menjadi 4-8 yang masing-masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 mikron, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Flagel atau gamet jantan disebut mikrogamet dan makrogametosit mengalami proses pematangan
13
(maturasi) dan menjadi gamet betina atau makrogamet. Dalam lambung nyamuk mikrogamet tertarik oleh makrogamet yang membentuk tonjolan kecil tempat masuk mikrogamet sehingga pembuahan dapat berlangsung. Hasil pembuahan disebut zigot. Zigot merupakan bentuk bulat yang tidak bergerak tetapi dalam 18-24 jam menjadi bentuk panjang dan dapat bergerak, stadium seperti cacing ini berukuran panjang 8- 24 mikron dan disebut ookinet. Ookinet kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar lambung dan menjadi bentuk bulat, disebut ookista. Kemudian ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan bergerak dalam rongga badan nyamuk untuk mencapai kelenjar liur. Nyamuk sekarang menjadi infektif. Bila nyamuk mengisap darah setelah menusuk kulit manusia, sporozoit masuk ke dalam luka tusuk dan mencapai aliran darah. Sporogoni yang dimulai dari pematangan gametosit sampai menjadi sporozoit yang infektif berlangsung 8-35 hari tergantung suhu lingkungan dan spesies parasit. 2.1.4
Patogenesis Malaria Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh
darah
daripada
koagulasi intravaskuler. Oleh
karena
skizogoni
menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit
14
keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit (Harijanto, 2000). Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari retikulosit disertai peningkatan makrofag (Harijanto, 2000). Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel, Sitoadherensi, Sekuestrasi dan Resetting (Harijanto, 2000). Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya Resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi (Harijanto, 2006). Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
15
1.
Penghancuran eritrosit Fagotosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga
terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan hypoxemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (Black White Fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal (Pribadi, 2000). 2.
Mediator endotoksin-makrofag Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag
yang sensitif terhadap endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dansitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sindrom penyakit pernapasan pada orang dewasa (Pribadi, 2000). 3.
Sekuestrasi eritrosit yang terluka Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan
(knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan Anoksia dan edema jaringan (Pribadi, 2000).
16
Patogenesis penyakit atau proses terjadinya penyakit yang telah dijelaskan sebelumnya digambarkan dalam teori simpul. Patogenesis atau proses kejadian penyakit diuraikan ke dalam 4 simpul, yakni simpul 1 disebut dengan sumber penyakit, simpul 2 merupakan komponen lingkungan, simpul 3 penduduk dengan berbagai variabel kependudukan seperti pendidikan, perilaku, kepadatan, dan gender dan simpul 4 penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau exposure dengan komponen lingkungan yang mengandung bibit penyakit atau agent penyakit. 2.1.5
Patologi Malaria Terdapat tiga stadium parasit yang berpotensi invasif, sporozoit, merozoit, dan
ookinete. Sporozoit malaria dilepaskan ke dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk terinfeksi, biasanya kurang dari 1.000 sporozoit. Sporozoit beredar dalam sirkulasi dalam waktu yang sangat singkat, sebagian mencapai hati dan sebagian lainnya disaring keluar. Dalam beberapa menit kemudian sporozoit yang mencapai hati akan melekat dan menyerang sel hati melalui pengikatan reseptor hepatosit untuk protein trombospodin dan serum properdin. Sebagian sporozoit dihancurkan oleh fagosit, tetapi sebagian besar masuk sel parenkrim hati dan memperbanyak diri secara aseksual (proses skizogoni eksoeritrositer), dapat menjadi sebanyak 30.000 merozoit. Dalam
40-48
jam
merozoit
dapat
ditemukan
dalam
sel
hati
(fase
praeritrositik/eksoeritrositer). Tiga hari kemudian bentuk intrahepatik ini dapat atau
17
tidak berdiferensiasi ke dalam bentuk skizon atau hipnozoit tergantung pada spesies plasmodium, hal ini akan menyebabkan relaps atau tidaknya infeksi malaria. Setelah 6-16 hari terinfeksi, sel hati yang mengandung skizon jaringan pecah dan merozoit yang masuk sirkulasi darah mengalami proses skizogoni eritrositer (fase intraeritrositer). Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae, skizon jaringan pecah semua dalam waktu hampir bersamaan dan tidak menetap dalam hati. Sedangkan P.vivax dan P.ovale mempunyai 2 bentuk eksoeritrositer. Tipe primer berkembang dan pecah dalam 6-9 hari, dan tipe sekunder, hipnozoit akan dorman dalam hati selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mencapai 5 tahun sebelum mengembangkan diri dan menghasilkan relaps infeksi eritrositik/parasetemia rekuren. Di dalam sel darah merah (fase eritrositik/intraeritrositer) parasit akan berkembang biak sehingga menimbulkan kerusakan sel darah merah dan mengalami lisis sehingga dapat menyebabkan anemia. Anemia yang terjadi menimbulkan anoksia (tidak terdapat oksigen) pada jaringan dan menimbulkan berbagai kelainan organ. Selain itu, demam yang tinggi juga akan semakin mengganggu sirkulasi darah yang menyebabkan statis pada otak serta penurunan sirkulasi pada ginjal, kongesti sentrilobular dan degenerasi hati. Gambaran patologis yang terpenting pada malaria falciparum berat adalah eritrosit yang mengandung parasit tua di pembuluh darah jaringan terutama di otak. 2.1.6
Penularan Malaria Penyakit malaria disebabkan oleh parasit yang disebut plasmodium sp. yang
hidup dalam tubuh manusia dan dalam tubuh nyamuk. Parasit/plasmodium hidup
18
dalam tubuh manusia. Menurut epidemiologi penularan malaria secara alamiah terjadi akibat adanya interaksi antara tiga faktor yaitu host, agent, dan environment. Manusia adalah host vertebrata dari Human plasmodium, nyamuk sebagai Host invertebrate, sementara Plasmodium sebagai parasit malaria sebagai agent penyebab penyakit yang sesungguhnya, sedangkan faktor lingkungan dapat dikaitkan dalam beberapa aspek, seperti aspek fisik, biologi dan sosial ekonomi (Harijanto, 2006). 2.1.7
Jenis Vektor Malaria Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk betina. Menurut
Najera dan Zaim (2003), ada lebih kurang 60 spesies vektor malaria, dan 30 diantaranya sangat penting dalam penularan malaria. Di Indonesia terdapat lebih dari 90 jenis Anopheles, namun hanya beberapa jenis yang memiliki potensi untuk menularkan malaria. Meskipun di dunia ditemukan 400 spesies Anopheles dan hanya 67 yang terbukti mengandung sporozoit (Gunawan, 2000). Sampai saat ini jenis yang diketahui merupakan vektor utama di Indonesia adalah: An. aconitus, An. punctulatus, An. farauti, An. balabacencis, An. barbirostris, An. sundaicus, An. maculatus dan An. nigerrimus (Susana, 2011) a. Anopheles aconitus Anopheles aconitus merupakan vektor utama malaria di daerah persawahan berteras. Nyamuk ini biasa ditemukan tertangkap menggigit orang dan istirahat di luar rumah di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah (Baroji dkk dalam Susana, 2011).
19
Baroji dalam Susana (2010) melaporkan bahwa An. aconitus menggigit orang di dalam rumah yang ada ternaknya (kerbau/ sapi), lebih tinggi daripada rumah yang tidak ada ternaknya. Puncak kepadatan tertinggi menggigit orang terjadi sebelum tengah malam yaitu antara pukul 18.00-22.00. Aktifitas dan kebiasaan nyamuk An. aconitus untuk istirahat yaitu 72% ditemukan hinggap <75 cm dari dasar lantai (Tri Boewono dalam Susana, 2010). Jarak terbang nyamuk ini dapat mencapai 1,5 km. Penularan malaria oleh An. aconitus berlangsung baik di luar maupun di dalam rumah. Meskipun dari hasil penangkapan nyamuk menunjukkan bahwa An. aconitus dominan menggigit di luar rumah, akan tetapi apabila pada malam hari tidak ada orang di luar rumah maka nyamuk akan masuk ke dalam rumah untuk mencari darah. Pada umumnya An. aconitus betina lebih tertarik menghisap darah ternak daripada manusia. Di daerah yang kandang ternaknya satu atap atau jumlah ternaknya relatif sedikit, indeks darah hasil uji presipitin cukup tinggi. Nyamuk An. aconitus memiliki tempat perindukan utama di sawah dan saluran irigasi. Selain di sawah nyamuk ini juga ditemukan di tepi sungai yang airnya mengalir perlahan serta kolam air tawar yang agak alkalis. b. Anopheles balabacensis Larva ditemukan di kolam yang teduh terutama pada kubangan hewan dan tempat-tempat yang airnya tidak selalu ada (Susana, 2010). Terkadang jentik nyamuk An. balabacensis juga ditemukan dalam jumlah besar di genangan air terbuka, agak teduh atau banyak terkena sinar matahari seperti bekas tapak roda
20
kendaraan, macam-macam kubangan yang mempunyai dasar endapan lumpur dengan air yang jernih serta pada parit yang alirannya terhenti (Yudhastuti, 2006). Nyamuk An. balabacensis betina lebih tertarik menghisap darah orang daripada binatang, baik di dalam maupun di luar rumah (Susana, 2011). Aktifitas mencari darah umumnya setelah tengah malam hingga pukul 04.00 pagi. Dari pengamatan yang dilakukan selama 24 bulan di Kalimantan Timur, ternyata pada malam hari spesies tersebut banyak ditemukan istirahat di dinding rumah baik sebelum maupun sesudah menghisap darah. c. Anopheles barbirostris Anopheles barbirostris lebih senang menghisap darah manusia, aktif sepanjang malam pada pukul 23.00-05.00, siang hari dapat ditangkap di luar rumah. Nyamuk ini beristirahat di luar rumah, di pohon kopi, pohon nenas dan tanaman lainnya. Habitat jentik nyamuk ini di saluran irigasi, kolam dan rawarawa. Menurut Hook dkk dalam Susana (2010), habitat An. barbirostris terdapat pada air hujan, sawah/ ladang dimana air ditumbuhi vegetasi. d. Anopheles kochi Larva ditemukan pada lokasi yang bervariasi terutama di air yang berlumpur seperti bekas jejak kaki binatang dan pematang sawah sehabis panen. Nyamuk dewasa beristirahat terutama di luar diantara vegetasi dekat tanah namun sewaktu-waktu ditemukan di dalam ruangan.
21
e. Anopheles maculatus Anopheles maculatus berkembang biak di daerah pegunungan. Tempat perindukannya adalah sungai kecil dengan air jernih, mata air yang mendapat sinar matahari langsung dan terdapat tanaman air. Di kolam dengan air jernih juga ditemukan jentik nyamuk ini meskipun densitasnya rendah. Kepadatan An. maculatus terjadi pada musim kemarau, karena pada musim penghujan tempat perindukan nyamuk larut tergenang dan jauh berkurang akibat banjir. Biasanya tempat perindukan nyamuk An. maculatus tidak luas, berupa genangan air di pinggir sungai yang terdapat sinar matahari, rembesan sawah yang airnya mengalir lambat (WHO dalam Susana, 2010). Nyamuk An. maculatus betina lebih tertarik menghisap darah binatang daripada manusia. Aktifitas mencari darah pada malam hari mulai pukul 21.0003.00. pada pagi hari An. maculatus beristirahat di luar rumah dan hinggap pada pohon kopi dan tanaman yang hidup di tebing yang curam. f. Anopheles subpictus Anopheles subpictus lebih suka darah ternak daripada manusia, aktif sepanjang malam dan hinggap di dinding sebelum dan sesudah menggigit. Habitat larva hampir sama dengan An. sundaicus (Depkes, 1999). Larva ditemukan di dekat pantai, nyamuk dewasa ditemukan di kandang ternak dan di dalam rumah tetapi hanya sebagian kecil yang menyerang manusia.
22
g. Anopheles sundaicus Anopheles sundaicus lebih senang menghisap darah manusia daripada ternak serta aktif sepanjang malam. Perilaku istirahatnya bervariasi tetapi umumnya di dalam rumah dan lebih banyak ditangkap pada pakaian yang bergantungan (Depkes, 1999). Jarak terbang nyamuk ini mencapai 3 km, habitat jentik pada air payau dan jentik berkumpul di tempat tertutup oleh tanaman atau yang mendapat sinar matahari langsung serta terdapat juga di tambak ikan dan galian sepanjang pantai (Arsin dalam Susana, 2010). An. sundaicus ditemukan di ekosistem pantai, dalam tambak dan air payau. Larva ditemukan pada kolam beralga dan kadang pada air kotor, juga ditemukan pada kolam berair jernih (Susana, 2010). Populasinya bertambah secara fluktuatif bertambah merespon variasi hujan. Nyamuk dewasa istirahat sepanjang hari di dalam dan di luar ruangan. Penebangan hutan bakau untuk dijadikan lahan perikanan jika tidak dikelola dengan baik akan membuka peluang untuk perindukan An. sundaicus. Semakin luas tersedianya kolam atau tambak, semakin luas pula tempat perindukan vektor tersebut. h. Anopheles nigerrimus Anopheles nigerrimus merupakan vektor malaria dan filariasis yang tersebar di asia pasifik. Anopheles nigerrimus di Indonesia merupakan nyamuk khas pedalaman (island areas). Walch dan Soesiolo dalam Sushanti (1994) menjelaskan bahwa di Kabupaten Mandailing Natal tepatnya di Kecamatan Siabu kepadatan nyamuk ini dapat mencapai 18,5 nyamuk/orang-malam di luar rumah.
23
Berdasarkan hasil NLC menunjukkan perilaku An. nigerrimus mencari makan bersifat eksofagik. Bruce-Chwatt dalam (Sushanti, 1994) melaporkan bahwa perilaku istirahat nyamuk tersebut bersifat eksofilik.
2.2
Hubungan Host, Agent, dan Environment Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara “agen” atau
faktor penyebab penyakit, manusia sebagai “penjamu” atau host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. 2.2.1
Host
1.
Manusia (Host Intermediate) Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria, tetapi kekebalan yang ada
pada manusia merupakan perlindungan terhadap infeksi Plasmodium malaria. Kekebalan adalah kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan Plasmodium yang masuk atau membatasi perkembangannya. Ada dua macam kekebalan, yaitu: a) Kekebalan Alami (Natural Immunity) Kekebalan yang timbul tanpa memerlukan infeksi terlebih dahulu. b) Kekebalan didapat (Acquired Immunity) yang terdiri dari: i. Kekebalan aktif (Active Immunity) Kekebalan akibat dari infeksi sebelumnya atau akibat dari vaksinasi.
24
ii. Kekebalan Pasif (Passive Immunity) Kekebalan yang didapat melalui pemindahan antibodi atau zat-zat yang berfungsi aktif dari ibu kepada janin atau melalui pemberian serum dari seorang yang kekal penyakit. Terbukti ada kekebalan bawaan pada bayi baru lahir dari seorang ibu yang kebal terhadap malaria di daerah yang tinggi endemisitasnya. Keadaan manusia dapat menjadi pengandung gametosit yang dapat meneruskan daur hidup nyamuk. Manusia ada yang rentan yaitu yang dapat tertular malaria, tapi ada juga yang kebal dan tidak mudah tertular malaria. Faktor manusia yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit malaria yaitu: a.
Umur Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit malaria dibandingkan orang
dewasa. Anak-anak usia kurang dari 5 tahun adalah kelompok terbanyak yang berisiko terhadap malaria. Pertahanan tubuh terhadap malaria yang diturunkan penting untuk melindungi anak kecil atau bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang biaknya parasit malaria. b.
Jenis kelamin Infeksi parasit plasmodium dapat menyerang semua masyarakat dari
segala golongan termasuk golongan yang paling rentan seperti wanita hamil. Ibu hamil yang anemia kemungkinan 8,56 kali menderita malaria falsiparum dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak anemia.
25
c.
Pekerjaan Pekerjaan yang tidak menetap atau dengan mobilitas yang tinggi
berisiko lebih besar terhadap penyakit malaria, seperti tugas-tugas dinas di daerah endemis untuk jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun misalnya petugas medis, petugas militer, misionaris, pekerja tambang, dan lain-lain. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan yang datang dari daerah yang non endemis ke daerah yang endemis belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit di daerah yang baru tersebut sehingga berisiko besar untuk menderita malaria. Begitu pula pekerja-pekerja yang didatangkan dari daerah lain akan berisiko menderita malaria. Menurut penelitian Dasril (2005) orang yang bekerja di luar rumah pada malam hari beresiko terhadap kejadian malaria sebesar 4,0 kali dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja di luar rumah pada malam hari. d.
Ras Berbagai bangsa atau ras mempunyai kerentanan yang berbeda-beda
(faktor rasial) terhadap penyakit malaria. Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi terhadap Plasmodium vivax. e.
Riwayat malaria Kekebalan residual adalah kekebalan terhadap reinfeksi yang timbul
akibat infeksi terdahulu dengan strain homolog spesies parasit malaria.
26
Kekebalan ini menetap hanya untuk beberapa waktu. f.
Cara Hidup Cara hidup sangat berpengaruh terhadap penularan malaria, seperti
tidur tidak memakai kelambu, tidak menggunakan repelen nyamuk pada saat melakukan aktivitas di luar rumah dan pada saat sore hari, dan penggunaan insektisida yang tidak teratur di dalam rumah. Menurut penelitian Dasril (2005) menyatakan bahwa orang yang tidak menggunakan obat anti nyamuk oles beresiko terhadap kejadian malaria sebesar 3,2 kali dengan orang yang menggunakan obat anti nyamuk oles ketika ke luar rumah pada malam hari. Penggunaan kelambu berinsektisida dalam program pengendalian malaria adalah dalam rangka melindungi pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh nyamuk yang hinggap pada kelambu untuk mencegah terjadinya penularan malaria.
Kebiasaan tidak memakai kelambu menunjukkan ada
hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria dengan resiko 2,08 lebih besar dibandingkan dengan yang memakai kelambu (Fitrianti, 2006). Hasil penelitian Sulistyo (2001) menunjukkan bahwa responden yang selama tidur tidak menggunakan kelambu mempunyai resiko 2,91 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang selama tidur menggunakan kelambu. Penggunaan obat nyamuk bakar, semprot, oles maupun secara elektrik dapat mengurangi resiko terkena malaria. Dari hasil penelitian Fitrianti (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk
27
dengan kejadian malaria, dimana responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk beresiko 4,6 kali lebih besar untuk terkena malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan obat anti nyamuk. g.
Imunitas Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria memiliki
kekebalan alami terhadap penyakit malaria. Di daerah endemi dengan transmisi malaria yang tinggi hampir sepanjang tahun, penduduknya sangat kebal dan sebagian besar dalam darahnya terdapat parasit malaria dalam jumlah kecil. Selain itu, di daerah endemis malaria terdapat kekebalan kongenital (atau neonatal) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan kekebalan tinggi. h.
Status gizi Seorang penderita malaria yang mengalami gizi buruk akan
mempengaruhi kerja farmakokinetik obat anti malaria seperti diare dan muntah menurunkan absorpsi obat. Selain itu, disfungsi hati menyebabkan metabolism obat menurun. Anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi buruk. i.
Sosial budaya Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana
vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan pengguna zat penolak nyamuk yang intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan
28
status sosial masyarakat akan mempengaruhi angka kesakitan malaria. 2.
Nyamuk Anopheles (Host Defenitive) Nyamuk Anopheles sp. sebagai penular penyakit malaria yang menghisap
darah hanya nyamuk betina yang diperlukan untuk pertumbuhan dan mematangkan telurnya. Jenis nyamuk Anopheles sp. di Indonesia lebih dari 90 macam. Dari jenis yang ada hanya beberapa jenis yang mempunyai potensi untuk menularkan malaria (vektor). Menurut data di Subdit SPP, penular penyakit malaria di Indonesia berjumlah 18 spesies. Di Indonesia dijumpai beberapa jenis Anopheles sp. sebagai vektor Malaria, antara lain: An, sundaicus sp, An. Maculates sp, An. Balabacensis sp, An, Barbnirostrip sp (Depkes RI, 2005). Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles sp. yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat mulai dari rawarawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2008). Nyamuk Anopheles sp. hidup di iklim tropis dan subtropics, namun bisa juga hidup di daerah yang beriklim sedang. Anopheles sp. juga ditemukan pada daerah dengan ketinggian lebih dari 2000-2500m. Nyamuk Anopheles betina membutuhkan minimal 1 kali memangsa darah agar telurnya dapat berkembang biak. Anopheles sp. mulai menggigit sejak matahari terbenam (jam 18.00) hingga subuh dan puncaknya pukul 19.00-21.00. Menurut Prabowo (2004), jarak terbang Anopheles sp. tidak lebih dari 0,5–3 km dari tempat perindukannya. Waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (sejak telur menjadi dewasa) bervariasi antara 2-5 minggu tergantung pada spesies, makanan yang tersedia dan suhu udara.
29
Menurut Achmadi (2008), secara umum nyamuk yang telah diidentifikasi sebagai penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu: a. Zoofilik: nyamuk yang menyukai darah binatang. b. Anthropilik: nyamuk yang menyukai darah manusia. c. Zooanthropolik: nyamuk yang menyukai darah binatang dan manusia. d. Endofilik: nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan. e. Eksofilik: nyamuk yang suka tinggal di luar rumah. f. Endofagik: nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan. f. Eksofagik: nyamuk yang suka menggigit di luar rumah. Tempat tinggal manusia dan ternak, khususnya yang terbuat dari kayu merupakan tempat yang paling disenangi oleh Anopheles sp. Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatra adalah An. sundaicus, An. maculatus, An. aconitus, An. balabacencis. 2.2.2
Agent (Parasit) Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia, family plasmodiidae dan
ordo Coccidiidae. Jenis parasit (plasmodium) sampai saat ini dikenal empat macam (species) parasit malaria yaitu: 1. Plasmodium vivax Plasmodium vivax akan memberikan intensitas serangan dalam bentuk demam setiap 3 hari sekali sehingga sering dikenal dengan istilah malaria tertian (malaria benigna). Jenis malaria ini tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia
30
dan pada umumnya di daerah endemis mempunyai frekuensi tertinggi diantara spesies yang lain. Eritrosit yang dihinggapi parasit P. vivax mengalami perubahan yaitu menjadi besar, berwarna pucat dan tampak titik-titik halus berwarna merah yang bentuk dan besarnya sama (titik Schuffner). Masa tunas intrinsik berlangsung 1217 hari. 2. Plasmodium malariae Plasmodium malariae adalah penyebab malaria malariae atau malaria kuartana karena serangan demam berulang pada tiap hari keempat. Penyakit malaria kuartana meluas meliputi daerah tropik maupun daerah subtropik. Frekuensi penyakit ini di beberapa daerah cenderung menurun. Eritrosit yang dihinggapi Plasmodium malariae tidak membesar atau ukuran dan bentuk eritrosit normal. Masa tunas intrinsik berlangsung 18 hari dan kadang-kadang sampai 30-40 hari. 3. Plasmodium ovale Plasmodium ovale mempunyai waktu demam yang lebih pendek dan biasanya bisa sembuh spontan. Masa tunas intrinsik sama seperti Plasmodium vivax, yaitu 12-17 hari. Plasmodium ovale dapat ditemukan di daerah tropik Afrika bagian barat, di daerah Pasifik Barat dan beberapa lain di dunia. Di Indonesia parasit ini terdapat di Pulau Owi sebelah selatan Biak Irian Jaya dan di Pulau Timor. Perubahan eritrosit yang terjadi yaitu eritrosit tampak oval dengan tepi bergerigi. Titik Schuffner menjadi lebih banyak.
31
4. Plasmodium falciparum Parasit ini ditemukan di daerah tropik terutama di Afrika dan Asia Tenggara sehingga disebut dengan penyebab malaria tropika (malaria maligna). Di Indonesia parasit ini tersebar di seluruh kepulauan. Spesies ini merupakan paling berbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat menjadi berat. Pada malaria falciparum, eritrosit yang terinfeksi tidak membesar selama stadium perkembangan parasit. Namun, terjadi perubahan yang menyerupai bentuk pisang. 2.2.3
Environment (Lingkungan) Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis maupun sosial yang
berada di sekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah, kelembaban, udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya. Lingkungan adalah lokasi dimana manusia dan nyamuk berada. Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Faktor lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu lingkungan fisik, biologi dan sosial budaya (Depkes, 2003). Lingkungan adalah sebagai faktor ekstrinsik yang terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial yang dapat menyebabkan penyakit termasuk penyakit malaria (Mukono, 2009). Nyamuk berkembang biak dengan baik apabila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Faktor lingkungan dapat dibagi empat kelompok, yaitu lingkungan fisik, kimiawi, biologi dan sosial budaya.
32
1. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik merupakan faktor yang berpengaruh pada perkembangbiakan dan kemampuan hidup vektor malaria. Lingkungan fisik yang dimaksud adalah: a.
Lingkungan fisik yang berhubungan dengan rumah tempat tinggal manusia Lingkungan fisik manusia yang erat hubungannya dengan status
kesehatan adalah rumah sehat, yaitu memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, memberi perlindungan dan pencegahan terhadap kecelakaan dalam rumah dan memberi pencegahan dan perlindungan terhadap penularan penyakit. Menurut laporan WHO dalam Suwadera (2003) menyatakan bahwa lokasi tempat tinggal di sekitar tempat perkembangbiakan vektor serta desain dan konstruksi rumah dapat mengurangi kontak antara vektor dengan manusia sehingga memperkecil resiko yang ditularkan oleh vektor. Kualitas rumah tempat tinggal (desain dan bahan konstruksi) dan lokasi rumah berada pada daerah tempat perkembangbiakan nyamuk mempengaruhi masuknya nyamuk, tempat istirahat dan kontak vektor dengan manusia. Kondisi fisik rumah sangat berkaitan dengan kejadian malaria, terutama yang berkaitan dengan jalur masuk dan keluar nyamuk terutama tidak terpasangnya kawat kasa pada ventilasi yang dapat mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah. Langit-langit atau pembatas ruangan dinding bagian atas dengan atap yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya nyamuk ke dalam rumah dilihat dari ada
33
tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian ruangan rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat jika dinding rumah terbuat dari anyaman bambu kasar ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm² akan mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002). Dinding rumah sebaiknya tidak berlubang karena akan menjadi tempat keluar masuknya nyamuk dan hewan lainnya. Beberapa nyamuk lebih senang menggigit di dalam rumah dan ada yang suka menggigit di luar rumah kemudian istirahat di dinding rumah atau tempat gelap. Dinding rumah yang terbuat dari kayu paling disenangi oleh nyamuk (Achmadi, 2008). Sebagian besar kasus malaria terjadi berasal dari penderita yang dinding rumahnya tidak sempurna (terdapat lubang kecil), tidak mempunyai kamar tidur serta konstruksi rumah yang bermutu rendah. Konstruksi rumah terutama dinding sangat berkaitan dengan kegiatan penyemprotan. Hal ini penting diperhatikan mengingat insektisida yang disemprotkan ke dinding rumah akan menyerap ke dinding rumah sehingga pada waktu nyamuk hinggap di dinding tersebut akan mati akibat kontak dengan insektisida tersebut. Lingkungan rumah yang sehat harus memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit, memiliki tanaman, memiliki jalan lingkungan dan jika ada jembatan harus diberi pagar. Rumah tinggal yang sehat harus memenuhi syarat bangunan yang terbuat dari bahan yang tidak melepas bahan-bahan yang membahayakan, tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme, lantai kedap air dan mudah
34
dibersihkan, memiliki ventilasi minimal 10% dari luas bangunan, tidak ada tikus bersarang, tersedia sarana air bersih, limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air. Lingkungan rumah yang ideal bukanlah sekedar bangunan tempat berlindung, sebuah rumah harusnya menjadi tempat yang bebas dari gangguan hama, polusi dan penyakit (Jeff Conant dan Pam Fadem, 2009). Lingkungan tempat tinggal yang kumuh serta sanitasi buruk umumnya menjadi penyebab utama berjangkitnya penyakit malaria, karena parit-parit, persawahan, empang, genangan air merupakan tempat bersarangnya nyamuk Anopheles (Soemirat, 2002). Jarak rumah yang berdekatan (berjarak sekitar 2 km) dengan tempat perindukan nyamuk (sungai, lagun, rawa-rawa) dan tempat peristirahatan nyamuk (hutan, kandang hewan) beresiko terhadap kejadian malaria. Untuk menghindari gigitan nyamuk pada malam hari, maka rumah dengan ventilasi yang telah terpasang kawat kasa atau bahan penutup lainnya akan memberi perlindungan terhadap gigitan nyamuk (Davey dkk dalam Subki, 2000). b.
Lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan nyamuk Anopheles Faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan
nyamuk Anopheles sebagian besar berkaitan dengan aspek iklim. i.
Suhu udara Masa inkubasi ekstrinsik/ siklus sporogoni sangat dipengaruhi oleh
suhu udara. Semakin tinggi suhu semakin pendek masa inkubasi ekstrinsik,
35
dan sebaliknya semakin rendah suhu maka inkubasi ekstrinsik akan semakin panjang. Suhu optimum berkisar antara 20°C dan 30°C. pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies. Masa inkubasi ekstrinsik untuk setiap species sebagai berikut: 1) Parasit falciparum: 10 – 12 hari 2) Parasit vivax: 8 – 11 hari 3) Parasit malariae: 14 hari 4) Parasit ovale: 15 hari Masa inkubasi intrinsik adalah waktu mulai masuknya Sporozoit darah sampai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai pecahnya skizon darah dalam tubuh penderita. Masa inkubasi Intrinsik berbeda tiap spesies: 1) Plasmodium falciparum: 10 – 14 hari (12) 2) Plasmodium vivax: 12 – 17 hari (13) 3) Plasmodium malariae: 18 – 40 hari (28) 4) Plasmodium ovale: 16 – 18 hari (7) Suhu air sangat berpengaruh pada perkembangbiakan larva, pada umumnya larva lebih menyenangi tempat yang hangat, itu sebabnya nyamuk Anopheles sp. lebih banyak dijumpai di daerah tropis. Waktu tetas telur Anopheles sp. tergantung suhu air dalam batas tertentu akan lebih cepat.
36
ii.
Kelembaban udara Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk. Misalnya
pada
kelembaban
memungkinkan
63%
cepatnya
merupakan
angka
penularan.
paling
Kelembaban
rendah
untuk
mempengaruhi
kemampuan dan kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit dan istirahat nyamuk. iii.
Hujan Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangbiakan
larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, deras hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi oleh panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk. iv.
Angin Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang
merupakan saat terbang nyamuk ke dalam/ luar rumah merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk. Jarak terbang nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang sangat ditentukan oleh kecepatan dan arah angin. v.
Sinar matahari Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbedabeda. Misalnya An.sundaicus lebih suka tempat teduh, An.hyrcanus lebih suka tempat yang terbuka, An.berbirotris dapat hidup baik ditempat teduh
37
maupun yang terang. vi.
Arus air Anopheles barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis
atau mengalir sedikit. An.minimus menyukai tempat perindukan yang aliran airnya cukup deras. c.
Lingkungan fisik yang berhubungan dengan perindukan nyamuk Anopheles Tempat perindukan nyamuk ada bermacam-macam tergantung spesies
nyamuknya, ada yang di pantai, rawa-rawa, parit air payau, persawahan, empang dan tambak ikan. Hasil penelitian Adriana (2002) didapatkan bahwa ada hubungan antara lubang galian pasir dan rawa-rawa yang berjarak kurang atau sama dengan 2 kilometer dari pemukiman penduduk dengan kejadian malaria. Lingkungan rumah yang diperhatikan dalam kejadian malaria adalah jarak rumah dari tempat istirahat dan tempat perindukan yang disenangi nyamuk Anopheles sp. seperti adanya semak yang rimbun akan menghalangi sinar matahari menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat yang disenangi nyamuk Anopheles sp. Parit atau selokan yang digunakan untuk pembuangan air merupakan tempat berkembang biak yang disenangi nyamuk, dan kandang ternak sebagai tempat istirahat nyamuk sehingga jumlah populasi nyamuk di sekitar rumah
38
bertambah (Handayani, 2008). Nyamuk Anopheles sangat membutuhkan tempat untuk berkembang biak yaitu air dan darat. Nyamuk pada stadium dini (stadium akuatik) membutuhkan genangan air untuk siklus hidupnya. Berdasarkan ukuran, lamanya air dan macam tempat air, maka genangan air dapat diklasifikasikan menjadi: i.
Tempat air yang besar/ sedang Merupakan genangan air relatif tetap air tawar/ payau meliputi rawa-
rawa, danau, kolam ikan, muara sungai, waduk dan sawah. Genangan air sementara yaitu yang bersifat alamiah (genangan air hujan, genangan air tepi sungai) dan buatan (parit, irigasi, parit air limbah rumah tangga). ii.
Tempat air yang kecil Ada dua jenis yaitu yang alamiah (lubang di pohon, di bebatuan,
pelepah daun) dan buatan manusia (tangki air, bak mandi, tempayan, tempat minum minum burung). Keberadaan tempat perindukan nyamuk Anopheles di suatu daerah berhubungan dengan tingkat kepadatan nyamuk di daerah tersebut. Pada umumnya tempat perindukan nyamuk berupa genangan air seperti lagun, aliran sungai, rawa, empang, tambak dan ditemukan jentik nyamuk yang pada periode tertentu menunjukkan kepadatan yang tinggi, serta dalam jarak kurang dari 2 kilometer dari pemukiman. Lokasi penduduk yang dekat hutan dan terdapat sungai merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingginya kepadatan nyamuk Anopheles. Penelitian Subki (2000) menyatakan bahwa terdapat perbedaan
39
yang bermakna antara lokasi perumahan dekat dengan hutan dan sungai dengan kejadian malaria. Hal ini juga didukung oleh penelitian Masra (2002) di Kecamatan Teluk Betung Barat, Bandar Lampung menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara keberadaan tempat perindukan nyamuk dengan kejadian malaria. Pada penelitian yang sama oleh Masra, menunjukkan bahwa pula bahwa semakin banyak tempat perindukan nyamuk yang ada di sekitar rumah dalam jarak 2 kilometer maka semakin meningkat pula resiko tertular penyakit malaria, serta semakin banyak tempat perindukan nyamuk yang ada di sekitar rumah dalam jarak 2 km maka semakin meningkat pula resiko tertular penyakit malaria. 2. Lingkungan Kimiawi Lingkungan kimiawi adalah bagian dari lingkungan yang terdiri dari bahan kimia, mencakup seluruh gejala kimia yang terjadi di lingkungan, baik yang ditimbulkan oleh proses alamiah atau hasil aktivitas manusia yang berlebihan Lingkungan kimiawi (kadar garam dan pH air) di tempat perindukan berpengaruh terhadap nyamuk pra-dewasa pada stadium akuatik. An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam >40%. An.letifer dapat hidup di tempat dengan pH air yang rendah (Depkes RI, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Syarif (2003) menjelaskan bahwa larva Anopheles memiliki toleransi terhadap pH antara 7,91 sampai dengan 8,09, hal ini juga didukung oleh penelitian Raharjo dkk (2003) dimana pH tempat perindukan
40
nyamuk Anopheles
pada musim kemarau berkisar antara 6,8 – 8,6. Effendi
(2003) juga menjelaskan bahwa sebagian besar biota akuatik menyukai pH antara 7-8,5. Berdasarkan karakteristik lingkungan bahwa pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi jasad renik. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan bahkan cenderung mematikan organisme. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut akan berkurang sebagai akibat konsumsi oksigen menurun dan menjadi penyebab matinya organisme air. 3. Lingkungan Biologi Lingkungan biologi adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuhtumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme. Lingkungan biologi sebagai tempat
perindukan vektor adalah lingkungan flora (tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan tumbuhan lainnya yang dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk lainnya, dan lingkungan fauna (ikan pemakan larva, ternak besar) berkaitan dengan jumlah gigitan nyamuk. Tanaman air bukan saja menggambarkan sifat fisik, tetapi juga menggambarkan susunan kimia dan suhu air misalnya pada lagun banyak ditemui lumut
perut
ayam
(Heteromorpha)
dan
lumut
sutera
(Enteromorpha)
kemungkinan di lagun tersebut ada larva An. Sundaicus. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Plocheilus panchax Panchax sp), Gambusi sp, Oreochromis niloticus (nila merah), Oreochromis mossambica (mujair), akan mempengaruhi populasi
41
nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah, tetapi tidak jauh dari rumah atau cattle barrier. 4. Lingkungan sosial ekonomi-budaya Lingkungan sosial
ekonomi-budaya
merupakan
salah satu
faktor
lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap penularan penyakit malaria. Yang termasuk dalam lingkungan sosial ekonomi adalah status kepemilikan rumah, status pendidikan, penghasilan, gizi dan tempat perindukan buatan manusia (pembangunan bendungan, penambangan, pemukiman baru). Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor lingkungan sosial-budaya adalah yang berkaitan dengan perilaku atau gaya hidup yaitu kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari, dimana vektornya lebih bersifat eksofili dan eksofagi, penggunaan kelambu dan pemasangan kawat kasa pada ventilasi, persepsi masyarakat serta penggunaan repellent. Pengaruh faktor ini seringkali lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya dalam penularan penyakit malaria. Upaya pencegahan penyakit malaria salah satunya adalah melalui pendidikan kesehatan masyarakat, dan tujuan akhir dari pendidikan kesehatan masyarakat adalah perubahan perilaku yang belum sehat menjadi perilaku sehat, artinya perilaku yang mendasarkan pada prinsip-prinsip sehat atau kesehatan. Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat harus direncanakan dengan menggunakan strategi yang tepat disesuaikan dengan kelompok sasaran dan permasalahan kesehatan masyarakat yang ada. Strategi tersebut mencakup
42
metode/cara, pendekatan dan tekhnik yang mungkin digunakan untuk mempengaruhi faktor predisposisi, pemungkin dan penguat yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perilaku. Strategi yang tepat agar masyarakat mudah dan cepat menerima pesan diperlukan alat bantu yang disebut peraga. Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima pesan semakin banyak dan jelas pula pengetahuan yang diperoleh (Depkes RI, 1999). Praktik atau perilaku keluarga terhadap upaya mengurangi gigitan nyamuk malaria adalah: a. Kebiasaan menggunakan kelambu Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menggunakan kelambu secara teratur pada waktu malam hari dapat mengurangi kejadian malaria. Penduduk yang tidak menggunakan kelambu mempunyai resiko 6,44 kali terkena malaria. b. Kebiasaan menghindari gigitan nyamuk Untuk menghindari gigitan nyamuk digunakan obat semprot, obat poles atau obat nyamuk bakar sehingga memperkecil kontak dengan nyamuk (Depkes RI, 1992) c. Kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari Nyamuk penular malaria mempunyai keaktifan menggigit pada malam hari. Menurut Lestari (2007) nyamuk Anopheles paling aktif mencari darah pukul 21.00-03.00. Menurut Darmadi (2002) kebiasaan penduduk
43
berada di luar rumah pada malam hari antara pukul 21.00 s/d 22.00 berhubungan erat dengan kejadian malaria, karena frekuensi menghisap darah jam tersebut tinggi.
2.3
Manifestasi Klinis Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp.
mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (Glycosyl Phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali (Mansyor, 2001). Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut: 1.
Masa Inkubasi Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit
(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjang untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfusi darah yang mengandung stadium aseksual) (Harijanto, 2000). 2.
Keluhan-keluhan prodromal Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:
malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,
44
anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas (Harijanto, 2000). 3.
Gejala-gejala umum Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (Malaria proxym)
secara berurutan a. Periode Dingin Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperature (Mansyor, 2001). b. Periode Panas Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40o C atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retro orbital, muntahmuntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat (Harijanto, 2006). c. Periode Berkeringat Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat
45
dan dapat melakukan pekerjaan biasa (Harijanto, 2006). Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis (Harijanto, 2006). Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat menimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut (Harijanto, 2000): 1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11 2. Anemia Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/μl. 3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai kelainan kreatinin >3mg%. 4. Edema paru 5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg% 6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC. 7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
46
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis. 9. Asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L). 10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena
obat
antimalaria
pada
kekurangan
Glukosa
6
Phospat
Dehidrogenase. 11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak. 2.4
Diagnosis Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam
darah yang diperiksa dengan mikroskop dan metode lain tanpa mikroskop seperti RDT (Rapid antigen Detection Test) serta metode berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu: hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitivitas dapat ditingkatkan dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Pemeriksaan darah juga menujukan gambaran: 1. Hemoglobin, menurun (Hb, normal: Pria 13,5-18,0 g/dl; Wanita 11,5-16,5 g/dl). 2. Leukosit, normal atau menurun (leukusit normal 4.000-11.000/cm) 3. Trombosit, menurun. (Trombosit normal: 150.000-450.000/cm) 4. Aspartat amino transferase, meningkat (normal: 8-40 IU/l) 5. Alanin amino transferase, meningkat (normal: 3-60 IU/l) 6. Bilirubin, meningkat (normal total: < 17 μmol, direct <5 μmo/l)
47
2.5
Prognosis 1. Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan (Depkes RI, 2006). 2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan meningkat sampai 50% (Depkes RI,2006). 3. Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih baik daripada gangguan 2 atau lebih fungsi organ (Depkes RI, 2006). a. Mortalitas dengan gangguan 3 fungsi organ adalah 50%. b. Mortalitas dengan gangguan 4 atau lebih fungsi organ adalah 75%. c. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu: • Kepadatan parasit <100.000/μL, maka mortalitas <1%. • Kepadatan parasit >100.000/μL, maka mortalitas >1%. • Kepadatan parasit >500.000/μL, maka mortalitas >5%.
2.6
Parameter Pengukuran Epidemiologi Malaria Untuk mengetahui kejadian dan pola suatu penyakit atau masalah kesehatan
yang terjadi dalam masyarakat, kita harus mempunyai alat atau metode pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah dan distribusi penyakit tersebut. Dalam studi epidemiologi yang paling utama diperlukan adalah alat pengukuran frekuensi penyakit. Pengukuran frekuensi penyakit tersebut dititikberatkan pada angka kesakitan dan angka kematian yang terjadi dalam masyarakat. Frekuensi
48
penyakit dalam epidemiologi biasanya dalam perbandingan antara populasi. Alat yang biasa digunakan adalah rate dan ratio. Adapun ukuran-ukuran yang dipakai khususnya dalam penyakit malaria adalah sebagai berikut: 1.
Annual Parasit Incidence (API) Adalah angka kesakitan per 1.000 penduduk dalam satu tahun. Jumlah sediaan
darah positif dibandingkan dengan jumlah penduduk, dinyatakan dalam permil (1.000)
2.
Annual Malaria Incidence Adalah angka kesakitan (malaria klinis) per 1.000 penduduk dalam satu tahun
yang dinyatakan dalam permil (1.000).
3.
Case Fatality Rate (CFR) Adalah ukuran angka kematian (kematian yang disebabkan oleh malaria
falciparum) dibandingkan dengan jumlah penderita penderita malaria jenis parasit P. falciparum pada periode waktu yang sama.
49
4.
Annual Blood Examination Rate (ABER) Adalah jumlah sediaan darah yang diperiksa terhadap semua penduduk dalam
satu tahun yang dinyatakan dalam persen (%).
5.
Slide Positive Rate (SPR) Adalah persentase dari sediaan darah yang positif dari seluruh sediaan darah
yang diperiksa yang dinyatakan dalam persen (%).
6.
Parasite Rate (PR) Adalah sama dengan SPR tetapi Parasite Rate ini digunakan pada kegiatan
survei malariometrik anak berumur 0-9 tahun.
7.
Spleen Rate (SR) Adalah adanya pembesaran limpa pada golongan umur tertentu terhadap
jumlah penduduk yang diperiksa limpanya pada golongan umur yang sama dan tahun yang sama yang dinyatakan dalam persen (%).
50
2.7
Stratifikasi Daerah Malaria Dalam kegiatan pemberantasan malaria, maka dibuat stratifikasi daerah
malaria berdasarkan: 1.
Stratifikasi Berdasarkan Insidens Malaria a. AMI (Annual Malaria Incidence) AMI digunakan untuk daerah yang berada di luar Jawa-Bali. Pembagiannya yaitu: •
Low Malaria Incidence, yaitu AMI < 10 kasus per 1.000 penduduk
•
Medium Malaria Incidence, yaitu AMI 10-50 kasus per 1.000 penduduk
•
High Malaria Incidence, yaitu AMI > 50 kasus per 1.000 penduduk.
b. API (Annual Parasite Index) API digunakan untuk daerah yang berada di Jawa-Bali. Pembagiannya yaitu:
2.
•
Low Parasite Incidence, yaitu API < 1 kasus per 1.000 penduduk
•
Medium Parasite Incidence, yaitu API 1-5 kasus per 1.000 penduduk
•
High Parasite Incidence, yaitu API > 5 kasus per 1.000 penduduk
Stratifikasi Berdasarkan Prevalens Malaria Didapatkan dari hasil pemeriksaan sediaan darah (SD) positif dari kegiatan
survei malariometrik, maka daerah malaria dapat dibagi menjadi:
51
•
Low Prevalence Area (LPA), yaitu PR < 2%
•
Medium Prevalence Area (MPA), yaitu PR 2-4%
•
High Prevalence Area (HPA), yaitu PR > 4%.
2.8
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Malaria
2.8.1
Pengendalian Malaria Penanggulangan malaria seharusnya ditujukan untuk memutuskan rantai
penularan antara host, agent dan environment. Pemutusan rantai penularan ini harus ditujukan kepada sasaran yang tepat, yaitu: 1.
Pemberantasan Vektor Penanggulangan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa
(penyemprotan rumah dengan Insektisida). Dengan di bunuhnya nyamuk maka parasit yang ada dalam tubuh, pertumbuhannya di dalam tubuh tidak selesai, sehingga penyebaran/transmisi penyakit dapat terputus (Depkes RI, 2003). Demikian juga kegiatan anti jentik dan mengurangi atau menghilangkan tempat perindukan, sehingga perkembangan jumlah (Density) nyamuk dapat dikurangi dan akan berpengaruh terhadap terjadinya transmisi penyakit malaria (Depkes RI, 2003) 2.
Pengendalian Vektor Pengendalian vektor malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan,
Rational, Effective, Efficient, Sustainable, dan Acceptable yang sering disingkat RESA yaitu: A. Rational: Lokasi kegiatan pengendalian vektor yang diusulkan memang
52
terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi kriteria yang ditetapkan, antara lain wilayah pembebasan desa dan ditemukan penderita indegenius dan wilayah pemberantasan PR > 3% B. Effective: Dipilih salah satu metode / jenis kegiatan pengendalian vektor atau kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi dan laporan masyarakat. C. Sustainable: Kegiatan pengendalian vektor yang di pilih harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil yang sudah di capai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita. D. Acceptable: Kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat setempat (Depkes RI, 2005). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian vektor adalah sebagai berikut (Anies, 2006): A. Penyemprotan rumah, penyemprotan dilakukan pada semua bangunan yang ada, pada malam hari digunakan sebagai tempat menginap atau kegiatan lain, masjid, gardu ronda, dan lain-lain. B. Larvaciding adalah kegiatan anti larva yang dilakukan dengan cara kimiawi, kegiatan ini di lakukan di lingkungan yang memiliki banyak tempat perindukan yang potensial (Breeding Places). Yang dimaksud dengan tempat
53
perindukan adalah genangan air di sekitar pantai yang permanen, genangan air di muara sungai yang tertutup pasir dan saluran dengan aliran air yang lambat. C. Biological control adalah kegiatan anti larva dengan cara hayati (pengendalian dengan ikan pemakan jentik), dilakukan pada desa-desa di mana terdapat banyak tempat perindukan vektor potensial dengan ketersediaan air sepanjang tahun, seperti mata air, anak sungai, saluran air persawahan, rawa-rawa daerah pantai dan air payau, dll. D. Pengolahan
lingkungan
adalah
kegiatan-kegiatan
yang
mencakup
perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan kegiatan modifikasi dan manipulasi faktor lingkungan dan interaksinya dengan manusia untuk mencegah dan membatasi perkembangan vektor dan mengurangi kontak antara manusia dan vektor (Depkes RI, 2005). E. Kelambunisasi adalah pengendalian nyamuk Anopheles sp. secara kimiawi yang digunakan di Indonesia. Kelambunisasi adalah penggunaan kelambu yang terlebih dahulu dicelup dengan insektisida permanent 100EC yang berisi bahan aktif permethrin. F. Irigasi berkala adalah cara pemberian air irigasi ke lahan sawah tidak secara terus menerus melainkan berselang seling. Irigasi Berkala dapat diterapkan di daerah persawahan dengan melihat umur tanaman padi yang memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai tempat berkembangbiaknya larva nyamuk Anopheles spp. Sistem bercocok tanam padi yang berbeda-beda akan mempengaruhi perkembangbiakan larva nyamuk tersebut (Marsaulina, 2002).
54
3.
Penemuan dan Pengobatan Penderita Malaria A. Mencari Penderita Malaria Salah satu cara memutuskan penyebaran penyakit malaria adalah dengan menemukan penderita sedini mungkin baik dilakukan secara aktif oleh petugas yang mengunjungi rumah secara teratur (Active Case detection) maupun dilakukan secara pasif (Passive Case Detection), yaitu memeriksa semua pasien yang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), yaitu Polindes, Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit baik swasta maupun pemerintah yang menunjukkan gejala malaria dan dilakukan pengambilan darah untuk diperiksa di laboratorium. B. Pengobatan Penderita Malaria Beberapa cara dan jenis pengobatan terhadap penderita yaitu: 1) Pengobatan Malaria Klinis Pengobatan diberikan berdasarkan gejala klinis dan bertujuan untuk menekan gejala klinis dan membunuh gamet untuk mencegah terjadinya penularan. 2) Pengobatan Radikal Pengobatan diberikan dengan pemeriksaan laboratorium positif malaria 3) Pengobatan Massal (Mass Drug Administration = MDA) Pemberian pengobatan malaria klinis kepada semua penduduk (>80%) di daerah KLB sebagai bagian dari upaya penanggulangan KLB malaria. 4) Pengobatan kepada Penderita Demam (Mass Fever Treatment = MFT)
55
Dilakukan untuk mencegah KLB dan penanggulangan KLB, yaitu diulang setiap 2 minggu setelah pengobatan MBA sampai penyemprotan selesai. 2.8.2
Pencegahan Malaria Pencegahan sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain: 1. Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara tidur memakai kelambu, tidak berada di luar rumah pada malam hari, mengolesi badan dengan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela. 2. Membersihkan tempat sarang nyamuk, dengan cara membersihkan semaksemak di sekitar rumah dan melipat kain-kain yang bergantungan, mengusahakan di dalam rumah tidak gelap, mengalirkan genangan air serta menimbun nya. 3. Membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan dengan insektisida) 4. Membunuh larva dengan menebarkan ikan pemakan larva 5. Membunuh larva dengan menyemprot larvasida
2.8.3
Mengukur Kepadatan Larva Pengumpulan larva (jentik) dari lingkungan dapat dilakukan dengan
melakukan kegiatan pencidukan larva dari tempat-tempat perindukan nyamuk. Selain untuk mengetahui jenis jentik nyamuk yang terkumpul, kegiatan ini juga dapat dilakukan untuk melakukan penghitungan kepadatan jentik di suatu wilayah. Observasi berbagai tempat perindukan nyamuk sebaiknya dilakukan mendahului pengumpulan jentik sehingga pada saat kegiatan pengumpulan dapat langsung
56
mengetahui
lokasi
yang
menjadi
sasaran
pencidukan
jentik
dari
tempat
perindukannya. Beberapa peralatan dibutuhkan dalam pengumpulan jentik diantaranya adalah cidukan jentik, botol jentik (sebaiknya bermulut lebar), pipet tetes ujung tumpul, kertas label dan formulir survey. Cidukan jentik fungsinya sebagai alat untuk mengambil jentik nyamuk dari tempat perindukannya. Bentuk cidukan dapat bermacam-macam menyesuaikan bentuk dan posisi tempat perindukannya. Botol jentik digunakan sebagai wadah penyimpanan jentik nyamuk yang terkumpul dari lapangan. Setiap botol sebaiknya digunakan untuk menyimpan jentik nyamuk dari titik pengambilan yang sama. Pipet tetes ujung tumpul digunakan untuk memindahkan jentik nyamuk dari cidukan ke dalam botol penyimpan. Ujung pipet dibuat tumpul agar jentik dalam berbagai ukuran dapat dengan mudah masuk ke dalam pipet sehingga dapat dipindahkan. Kertas label mutlak diperlukan untuk memberikan kode tertentu pada botol penyimpanan jentik sehingga tidak tertukar lokasi titik pengambilan jentiknya. Sedangkan formulir survey juga dibutuhkan untuk mencatat segala informasi yang diperoleh baik mengenai kondisi sebelum dan setelah pengambilan jentik maupun informasi lingkungan sekitar yang diperlukan. Tahapan identifikasi jentik nyamuk membutuhkan beberapa peralatan lain. Pada tahap awal cukup dilakukan identifikasi secara mikroskopis. Alat utama yang dibutuhkan adalah sebuah mikroskop sedangkan penunjangnya berupa kaca obyek dan penutupnya. Untuk mematikan jentik nyamuk sebelum identifikasi dapat digunakan larutan alkohol 70 %. Teknik ini cukup sederhana, jentik nyamuk diambil
57
seekor dengan pipet tetes lalu ditaruh pada tengah kaca obyek. Selanjutnya ditetesi dengan alkohol 70 % dan setelah tidak bergerak lagi ditutup dengan kaca penutup. Langkah akhir adalah melakukan identifikasi secara mikroskopis menggunakan kunci identifikasi yang ada sesuai referensi. Cara lain mematikan jentik nyamuk adalah dengan mengganti air dalam botol penyimpanan dengan larutan alkohol 70 %, setelah mati baru dipindahkan pada kaca obyek. Angka kepadatan jentik diperlukan untuk mengetahui estimasi populasi dari suatu tempat perindukan. Semakin besar angka kepadatan jentik tentu dapat diasumsikan semakin banyak pula populasi vector penyakit di suatu wilayah sehingga peluang penularan penyakitnya akan lebih tinggi. Angka kepadatan jentik ini menunjukkan rata-rata jentik nyamuk tertangkap untuk setiap spesies dari seluruh pencidukan yang dilakukan pada suatu tempat perindukan. Dapat dihitung dengan formula berikut:
Sebagai contoh apabila dalam suatu tempat perindukan dilakukan pencidukan jentik sebanyak 100 kali ditemukan jentik Culex sebanyak 26 ekor, jentik Anopheles sebanyak 35 ekor maka dapat dihitung kepadatan jentik Culex sebesar 26/100 = 0,26 sedangkan kepadatan jentik Anopheles sebesar 35/100 = 0,35. Hal ini artinya angka kepadatan jentik Anopheles relatif lebih tinggi dibandingkan kepadatan jentik Culex pada tempat perindukan tersebut.
58
2.9
Perilaku Kesehatan
2.9.1
Definisi Perilaku Kesehatan Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks (Azwar, 2012). Menurut Fitriani (2011) bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku manusia pada hakikatnya tindakan manusia itu sendiri yang bentangannya sangat luas mulai dari berjalan, bicara, menangis, tertawa, bekerja dll. Menurut Ali (2010) bahwa perilaku merupakan respons/ reaksi individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar dan atau dalam dirinya. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru dalam dirinya maka orang tersebut mengalami proses berurutan, yakni: a. Kesadaran (Awareness) yakni dimana seseorang telah menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus. b. Merasa tertarik (Interest) yakni, merasa tertarik terhadap stimulus atau obyek tersebut.
59
c. Mengevaluasi yakni, menimbang terhadap baik dan buruk nya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap individu sudah lebih baik lagi. d. Mencoba (Trial) yakni, dimana individu mulai mencoba melakukan sesuatu yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e. Adopsi yakni, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus. Sesuai dengan batasannya perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, sikap tentang kesehatannya serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan. Perilaku dapat dibatasi sebagian jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan sebagainya) (Notoadmojo, 1999). Untuk memberikan respon terhadap situasi di luar objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: 1.
Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan rangsangan.
2.
Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan
60
perilaku manusia. Lingkungan ini adalah merupakan keadaan masyarakat dan segala budi daya masyarakat itu lahir dan mengembangkan perilakunya. 3.
Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan rangsangan dari luar.
2.9.2 Pembentukan Perilaku Menurut pendapat Skinner yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori ini disebut “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Respon ini dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.
Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut elicting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap.
2.
Operant respons atau Instrumental, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian di ikuti oleh stimulus atau perangsangan tertentu. Perangsangan ini di sebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat di
bedakan menjadi dua, yaitu 1.
Perilaku Tertutup (Covert Behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert) respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan dan sikap yang terjadi pada orang yang
61
menerima stimulus tersebut, dan bel0um dapat di amati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu, disebut covert behavior atau unobservable behavior. 2.
Perilaku Terbuka (Overt Behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat di amati atau di lihat. Oleh sebab itu disebut overt behavior. Menurut Fitriani (2011) bahwa perilaku manusia terbesar adalah perilaku
yang dibentuk dengan perilaku yang dipelajari, bagaimana cara membentuk perilaku yang sesuai harapan yakni: a.
Pembentukan perilaku dengan kebiasaan Pembentukan perilaku dengan kebiasaan dapat dilakukan dengan melakukan kebiasaan perilaku yang sesuai harapan maka terbentuklah suatu perilaku tersebut contoh perilaku mencuci tangan, menggosok gigi. Teori perilaku belajar dari kebiasaan ini dikemukakan oleh Pavlov, Throndike, serta Skiner.
b.
Pembentukan perilaku dengan pengertian Perilaku juga dapat dilakukan dengan pengertian (insight). Dalam teori ini belajar yang dilakukan secara kognitif disertai dengan adanya pengertian yang dikemukakan Kohler, sedangkan Thoendike mengemukakan dalam belajar yang terpenting adalah latihan. Contohnya yaitu perilaku pemakaian helm bagi pengguna kendaraan bermotor, serta tidak terlambat bekerja karena takut mengganggu pekerjaan teman yang lainnya.
62
c.
Pembentukan perilaku dengan menggunakan model Pembentukan perilaku juga dapat ditempuh dengan cara menggunakan model. Contohnya anak yang melakukan perilaku dan kebiasaan yang mirip dengan yang dilakukan oleh orangtuanya. Teori yang berkaitan dengan perilaku menggunakan model diungkapkan oleh Bandura (1977) dalam teori belajar sosial atau observational learning theory. Menurut Ki Hajar Dewantara perilaku dapat berupa cipta (perilaku akal), rasa
(perilaku rasa) dan karsa (perilaku tindakan) sedangkan beberapa ahli lainnya mengungkapkan perilaku menjadi pengetahuan, sikap dan tindakan (Ali, 2010). Menurut teori Bloom seorang ahli psikologi pendidikan dalam Notoatmodjo (2005), perilaku dibedakan dalam tiga kawasan (domain) yakni Cognitive Domain, Afektif Domain, Psycomotor Domain. Ketiga Domain tersebut diukur dari pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan (practice). 2.9.3
Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Soekanto dalam Mubarok dkk (2007) bahwa pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan yang keliru (missing information).
63
Menurut Sagala (2010), segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan atau aktivitas otak termasuk ke dalam dimensi kognitif. Tujuan belajar pada dimensi kognitif lebih mengarah pada perilaku dalam aspek berfikir atau kemampuan intelektual. Menurut Wahit dkk (2006) yang mengungkapkan pengetahuan menjadi suatu hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali hal yang sudah terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Mubarok dkk, 2007). Menurut Mubarok dkk (2007), pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: 1.
Tahu (know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2.
Pemahaman (Comprehension) Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3.
Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
64
4.
Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5.
Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6.
Evaluasi (Evolution) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.. Dimensi kognitif berdasarkan revisi taksonomi Bloom oleh Anderson et al.
(Widodo, 2003) mencakup dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif yang terpisah satu sama lain. Dimensi pengetahuan hanya memuat jenis – jenis pengetahuan sedangkan proses kognitif memuat macam – macam proses kognitif. 1.
Dimensi pengetahuan Dimensi pengetahuan pada taksonomi Bloom yang baru menurut Anderson et
al. (widodo, 2003) dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: a.
Pengetahuan Faktual Pengetahuan faktual meliputi unsur – unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang biasa digunakan oleh ahli di bidang tersebut. Pengetahuan ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
65
1. Pengetahuan tentang terminologi: mencakup pengetahuan tentang label atau symbol tertentu baik yang bersifat verbal maupun non verbal (Widodo,2003). 2. Pengetahuan tentang bagian detail dari unsur – unsur: mencakup pengetahuan tentang kejadian tertentu, tempat, orang, waktu dan sebagainya (Widodo, 2003). b.
Pengetahuan Konseptual Pengetahuan konseptual meliputi pengetahuan tentang saling keterkaitan antara unsur – unsur dasar dalam struktur yang lebih besar dan semuanya berfungsi secara bersama-sama. Pengetahuan konseptual terdiri dalam tiga bentuk yaitu: 1. Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori: mencakup pengetahuan tentang kategori, kelas, bagian atau susunan yang berlaku dalam bidang ilmu tertentu. 2. Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi: mencakup abstraksi dari hasil observasi ke level yang lebih tinggi yaitu prinsip dan generalisasi dan dimensi proses kognitif yang terpisah satu sama lain. Dimensi pengetahuan hanya memuat jenis – jenis pengetahuan sedangkan proses kognitif memuat macam – macam proses kognitif.
c.
Memahami (Understand) Dimensi proses kognitif memahami merupakan proses mengkonstruksi makna atau
pengertian
berdasarkan
pengetahuan
awal
yang
dimiliki
atau
66
mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran orang. d.
Menerapkan (Apply) Dimensi proses kognitif mengaplikasikan mencakup penggunaan suatu prosedur untuk menyelesaikan masalah atau tugas.
e.
Menganalisis (Analyze) Dimensi proses kognitif menganalisis adalah proses menguraikan suatu permasalahan atau objek menjadi unsur – unsur dan menentukan proses saling keterkaitan unsur – unsur tersebut.
f.
Mengevaluasi (Evaluate) Dimensi proses kognitif mengevaluasi merupakan proses membuat sesuatu atau pertimbangan berdasarkan criteria dan standar yang ada.
g.
Membuat (Create) Dimensi proses kognitif membuat merupakan proses menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan.
2.9.4
Perilaku dalam Bentuk Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan seharihari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoadmojo, 2005).
67
Menurut Mar’at (1985) bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai bentuk penghayatan terhadap obyek tersebut. LaPierra dalam Azwar (2012) mengungkapkan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana sikap merupakan sebuah respons terhadap stimulus sosial yang telah dikondisikan. Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dan sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Menurut All port dalam Mar’at (1985), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu:
68
a) Komponen kognisi yang berhubungan dengan kepercayaan, ide, dan konsep b) Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang c) Komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku Menurut Mar’at (1985) karakteristik sikap dapat diuraikan: a) Sikap didasarkan pada konsep evaluasi yang berkenaan dengan obyek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif yang tidak sama dengan motif, akan tetapi akan menghasilkan motif tertentu. Motif yang dibentuk akan dapat menentukan tingkah lakunya untuk senantiasa bersikap. b) Sikap merupakan kualitas dan intensitas yang berbeda dan bergerak secara kontinu dari positif melalui area netral ke area negatif. Variasi kualifikasi ini digambarkan sebagai valensi positif dan negatiff sebagai hasil penilaian terhadap obyek tertentu. Intensitas sikap digambarkan dalam kedudukan ekstrim positif atau ekstrim negative. Kualitas dan intensitas sikap akan menggambarkan konotasi dari komponen afeksi sehingga terjadi kecenderungan untuk dapat bertingkah laku berdasarkan kualitas emosional. c) Sikap lebih dipandang sebagai hasil belajar daripada sebagai hasil perkembangan atau sesuatu yang diturunkan. Sikap diperoleh melalui interaksi dengan obyek sosial atau peristiwa sosial. Sebagai hasil belajar, sikap dapat dirubah, diacuhkan, atau dikembalikan seperti semula
69
meskipun memerlukan waktu yang cukup lama. Sikap merupakan hasil produk
interaksi
dimana
kebebasan
seseorang
dapat
ditentukan
berdasarkan kondisi lingkungan yang berlaku saat itu. d) Sikap memiliki sasaran tertentu. Sasaran dalam hal ini tidak perlu konkrit akan tetapi dapat berarti abstrak atau dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Ruang lingkup sikap dapat bersifat multikompleks, yaitu jumlah dan jenis obyek sikap berbeda-beda tingkat jangkauannya. Hal ini tergantung pada tingkat homogenitas dan heterogenitas obyek sikap yang dirumuskan. Sikap dapat diartikan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dan sasarannya. e) Tingkat keterpaduan sikap adalah berbeda-beda. Sikap yang sangat berpautan akan membentuk kelompok (kluster) yang merupakan subsistem sikap. Setiap subsistem berpautan antara satu dengan lainnya sehingga dapat dijumlahkan dan menunjukkan keseluruhan sistem sikap dari individu yang dapat dinilai. Keterpautan itu terjadi karena adanya kesamaan penyelesaian obyek sikap atau kesamaan evaluasi terhadap obyek sikap. Sikap merupakan suatu system yang dialami seseorang dalam menghadapi obyek tertentu sehingga hubungan dengan obyek dapat diadakan evaluasi. f) Sikap dapat bersifat relatif menetap dan tidak berubah. Sikap seseorang berpangkal pada struktur kognisinya. Sikap individu terhadap suatu obyek tertentu banyak disebabkan daya nalar, pengalaman yang berhubungan
70
dengan obyek tersebut serta memiliki konsep yang jelas tentang obyek tersebut. Penilaian individu tentang suatu obyek diperoleh melalui pengalaman langsung berdasarkan interaksi namun dapat juga atas pengalaman tidak langsung seperti cerita-cerita atau berita. Penilaian ini menghasilkan reaksi afektif yang berupa dimensi positif atau negative terhadap obyek sikap. Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu : 1.
Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2.
Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3.
Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau
71
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. 4.
Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
1.
Perubahan sikap Hoslan, Janis dan Kelley dalam Mar’at (1985) mengungkapkan bahwa proses
perubahan sikap tidak berbeda jauh dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap yang baru maka terdapat tiga variabel yang penting menunjang proses belajar tersebut yaitu: a. Perhatian b. Pengertian c. Penerimaan Dalam perubahan sikap yang khas, individu dihadapkan dalam keadaan yang berbeda dengan apa yang mereka miliki. 2.9.5
Perilaku dalam Bentuk Tindakan Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang memungkinkan (Notoadmojo, 2010). Tindakan terdiri dari empat tindakan, yaitu :
72
1.
Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
2.
Respon Terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3.
Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga
4.
Adopsi (adoption) Adaptasi adalah praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi nya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
melakukan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam beberapa jam, hari atau bulan (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan observasi tindakan atau kegiatan individu tersebut. Praktik atau tindakan berkaitan dengan pendidikan adalah praktek oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang telah diberikan (Mubarok dkk, 2007).
73
2.10
Kerangka Teori Proses terjadinya (patogenesis) suatu penyakit disebabkan adanya hubungan
interaktif antara manusia serta perilakunya dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit. Dengan mengetahui patogenesis penyakit, maka dapat menentukan pada titik atau simpul mana dapat dilakukan pencegahan. Simpul 1. Sumber Penyakit Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Simpul 1 merupakan penderita malaria sebagai sumber penyakit yang bisa menularkan penyakit dimana plasmodium sebagai agen penyakit. Oleh sebab itu, keberadaannya selain “disembuhkan” harus diamati dan dicari secara aktif agar tidak menimbulkan penularan. Simpul 2. Media Transmisi Penyakit Ada lima komponen lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit yang dikenal sebagai media transmisi penyakit, yakni “ udara, air, tanah/pangan, binatang/serangga, dan manusia/langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agen penyakit. Penyebaran penyakit malaria dapat terjadi melalui nyamuk Anopheles spp yang menggigit penderita malaria, kemudian memindahkan penyakit malaria kepada orang sehat melalui gigitan. Sebenarnya penyakit malaria tidak akan terjadi apabila
74
tidak ada penderita malaria meskipun nyamuk Anopheles spp menggigit manusia, begitu juga jika terdapat penderita malaria tetapi tidak ada nyamuk Anopheles spp maka penyebaran penyakit malaria juga tidak akan terjadi (Achmadi, 2005). Simpul 3. Perilaku Pemajanan Agent penyakit dapat masuk ke dalam tubuh manusia karena adanya kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung bahaya penyakit (agen penyakit) atau disebut dengan perilaku pemajanan. Jumlah kontak pada setiap orang berbeda satu sama lain karena ditentukan oleh perilakunya. Perilaku orang akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan lain sebagainya. Namun, apabila kesulitan mengukur besarnya agen penyakit yang kontak maka dapat dikur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai biomarker atau tanda biologi. Pada simpul 3 diamati masyarakat dengan berbagai karakteristiknya, termasuk biomarker yang menunjukkan adanya kontak serta berbagai variabel lain yang menunjukkan pola kebiasaan, perilaku dan dinamika transmisi atau penularan (Achmadi, 2008). Simpul 4. Kejadian Penyakit Kejadian penyakit adalah outcome dari adanya hubungan antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Seseorang dikatakan sakit apabila salah satu maupun bersama mengalami kelainan dibandingkan dengan rata-rata masyarakat lainnya.
75
Simpul 4 pada dasarnya merupakan pengukuran kasus malaria yang terjadi. Ukuran, teknik dan metode yang digunakan untuk mengukur simpul 4 sama dengan yang digunakan untuk mengukur simpul 1 (Achmadi, 2008). Simpul 5. Variabel Suprasistem Kejadian penyakit masih dipengaruhi oleh kelompok variabel simpul 5 yakni variabel iklim, cuaca, topografi dan lainnya. Variabel ini harus diperhitungkan dalam upaya manajemen penyakit. Dalam proses patogenesis penyakit malaria, terdapat variabel yang memiliki peran besar baik terhadap vektor atau variabel kependudukan. Berbagai faktor tersebut termasuk dalam simpul 5 yakni variabel yang berperan mempengaruhi simpul 1, simpul 2 dan simpul 3. Variabel-variabel tersebut adalah suhu lingkungan, kelembapan, curah hujan, topografi peruntukan lahan yaitu ekosistem alami dan ekosistem buatan (Achmadi, 2008). Teori simpul (Achmadi, 2008) mengindikasikan bahwa Manajemen penyakit menular secara paripurna, harus memperhatikan sumber penularan (simpul 1), penyehatan lingkungan, yakni media transmisi atau media penularan (simpul 2), pencegahan individu, seperti imunisasi, penggunaan masker dll (simpul 3) dan deteksi kasus serta pengobatan (simpul 3 dan 4). Dalam hal penyakit menular simpul 1 adalah sumber penularan, sekaligus juga penderita (simpul 1 sekaligus bermakna simpul 4). Menghilangkan sumber atau deteksi kasus secara tepat, dan pengobatan secara baik dapat dianggap sebagai upaya pencegahan yang efektif.
76
Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan sebagai model kejadian penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan sebagai berikut : Manajemen Penyakit Manajemen simpul 1. Sumber Penyakit
Parasit Plasmodium
Sumber
Manajemen simpul 2. Wahana transmisi
Vektor : Anopheles spp
Media Transmisi
Manajemen simpul 3. Perilaku pemajanan penduduk
Manajemen simpul 4. Kasus malaria
Perilaku masyarakat, umur, pendidikan, jenis kelamin
Sakit /
Biomarker
Dampak
Variabel lain yang mempengaruhi (Topografi, suhu, kelembapan, curah hujan, ekosistem alami dan buatan)
Gambar 2.1. Teori Simpul Malaria (Achmadi, 2008)
Sehat
77
2.11
Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini adalah:
LINGKUNGAN FISIK RUMAH 1. Kawat kasa pada ventilasi 2. Kerapatan dinding 3. Plafon/ Langit-langit 4. Pakaian yang bergantungan LINGKUNGAN FISIK TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK 1. Genangan air 2. Parit 3. Sawah LINGKUNGAN BIOLOGI TEMPAT PERISITIRAHATAN NYAMUK 1. Semak-semak 2. Kandang ternak PERILAKU MASYARAKAT: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Kejadian Malaria