10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Pengertian mengenai ilmu komunikasi, pada dasarnya mempunyai ciri yang sama dengan
pengertian ilmu secara umum. Yang membedakan adalah objek
kajiannya, di mana perhatian dan telaah difokuskan pada peristiwa-peristiwa komunikasi antar manusia. Mengenai hal itu Berger & Chafee (1987) menyatakan bahwa Ilmu komunikasi adalah suatu pengamatan terhadap produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan digeneralisasikan dengan tujuan menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang.6 Pengertian di atas memberikan tiga pokok pikiran: 1. Objek pengamatan yang jadi fokus perhatian dalam ilmu komunikasi adalah produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang dalam konteks kehidupan manusia.
6
Sasa Djuarsa S., Teori Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta. 2003
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
2. Ilmu komunikasi bersifat ilmiah empiris (scientific) dalam arti pokok-pokok pikiran dalam ilmu komunikasi (dalam bentuk teori-teori) harus berlaku umum. 3. Ilmu komunikasi bertujuan menjelaskan fenomena sosial yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem tanda dan lambang. Sehingga secara umum ilmu komunikasi adalah pengetahuan tentang peristiwa komunikasi yang diperoleh melalui suatu penelitian tentang sistem, proses, dan pengaruhnya yang dapat dilakukan secara rasional dan sistematis, serta kebenarannya dapat diuji dan digeneralisasikan.7 Proses Komunikasi proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. 1. Proses Komunikasi Secara Primer Adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu "menerjemahkan" pikiran atau perasaan komunikator atau komunikan. bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi adalah jelas karena hanya bahasalah yang mampu "menerjemahkan" pikiran seseorang kepada orang lain. apakah itu berbentuk ide, 7
John Fiske, Introduction to Communication Studies, Sage Publications, 1996
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
informasi, atau opini, baik mengenai hal yang kongkret maupun yang abstrak, bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang. 2. Proses Komunikasi Secara Sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikasi sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, dan banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.
2.2 Komunikasi Visual
2.2.1 Pengertian Komunikasi Visual
Komunikasi Visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik dan media untuk menyampaikan pesan dan gagasan secara visual, termasuk audio dengan mengolah elemen desain grafis berupa bentuk gambar, huruf dan warna, serta tata letaknya, sehingga pesan dan gagasan dapat diterima oleh sasarannya. Komunikasi ini mempergunakan mata sebagai alat penglihatan. Komunikasi visual adalah komunikasi menggunakan bahasa visual, dimana unsur dasar bahasa visual ( yang menjadi kekuatan utama dalam penyampaian pesan ) adalah segala
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan arti, makna, atau pesan.8 Berikut adalah istilah-istilah yang berhubungan dengan visual : 1. Visual language, yakni ilmu yang mempelajari bahasa visual, seperti kegiatan menerjemahkan atau mewujudkan informasi dalam bentuk visual. 2. Visualiser, yaitu orang yang pekerjaannya menangani masalah visual atau mewujudkan suatu ide kedalam bentuk visual dalam suatu proyek desain. 3. Visual effect, membuat efek-efek tipuan seolah-olah terjadi suatu keadaan atau kejadian yang sulit dilakukan manusia, misalnya munculnya seekor dinosaurus atau monster lain yang luar biasa besarnya, atau efek seolah-olah manusia sedang mendarat di sebuah planet asing, dan sebagainya. 4. Visual information, adalah informasi melalui penglihatan, misalnya lambaian tangan, senyuman, baju, kendaraan, dan sebagainya. 5. Visual litteracy, yaitu kumpulan atau daftar karya visual Prinsip Pesan visual harus kreatif (asli, inovatif dan lancar), komunikatif, efisien dan efektif, sekaligus indah/estetis.
8
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, Hal 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Istilah 1. Seni Grafis / Graphic Arts, termasuk ke dalam kelompok bidang ilmu Seni Murni. 2. Grafis / Graphic, adalah hal yang berkaitan dengan tulisan atau gambar yang mengandung makna untuk menyampaikan suatu pesan atau informasi. 3. Desain Grafis / Graphic Design, istilah yang dipakai sebelum menggunakan istilah Desain Komunikasi Visual, berasal dari kata bahasa Yunani “Graphos” yang berarti “tulisan/gambar”. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia komunikasi visual serta perannya yang semakin luas, maka digunakan istilah: Desain Komunikasi Visual. Perlunya Pendidikan Desain Komunikasi Visual 1. Mengenal konsep Desain Komunikasi Visual sebagai Dasar Perancangan/Desain dan Strategi Komunikasi. 2. Mengenal Desain Grafis (Desain Komunikasi Visual) dan Bahasa Rupa sebagai Pengolah Visual Data Informasi. 3. Mengenal secara teknis prinsip, proses teknologi informatika dan sistem informasi manajemen. 4. Memahami elemen desain grafis sebagai alat penyampai pesan yang efektif, efisien, komunikatif dan estetis kreatif dalam konteks konsep-policy/planning/ strategy dan implementasi serta evaluasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
5. Memahami strategi komunikasi, psikologi dan sosial/ antropologi budaya. 6. Memahami beberapa media baru, terutama dunia media / ruang cyber serta tekniknya, yaitu: a. Animasi – Audio Visual (Mix Media) b. Interaktif media dan web/website yang biasa dipergunakan untuk melengkapi E-media dan Mixmedia/Multimedia. 7. Menguasai konsep perancangan / desain komunikasi visual dan pemasaran global secara universal.Menguasai proses dan tehnik perancangan /desain yang dapat mengantisipasi perkembangan dunia kewirausahaan/enterprenuership. A. Elemen-Elemen Desain Christine Suharto Cenadi (1999:5) menyebutkan bahwa elemen-elemen desain komunikasi visual diantaranya adalah tipografi, ilustrasi, dan simbolisme. Elemen-elemen ini dapat berkembang seiring dengan perkembanagan teknologi dan penggunaan media.9 B. Bentuk Pengertian bentuk menurut Leksikon Grafika adalah macam rupa atau wujud sesuatu, seperti bundar elips, bulat segi empat dan lain sebagainya. Dari definisi tersebut dapat diuraikan bahwa bentuk merupakan wujud rupa sesuatu, biasa berupa segi empat, segitiga, bundar, elips, dan sebagainya.
9
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, Yogyakarta, 2007, Hal-15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
C. Warna Secara visual warna memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi citra orang yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respon secara psikologis.
10
Dari sekian banyak warna, dapat dibagi dalam beberapa bagian yang
sering dinamakan dengan system warna Prang System yang ditemukan oleh Louis Prang meliputi :11 1.
Hue
: Istilah yang digunakan untuk menunjukan nama dari suatu warna seperti merah, biru, hijau, kuning, orange, pink.
2.
Value
:Dimensi kedua atau mengenai terang gelapnya warna.
Contoh tingkatan warna dari putih hingga
gelap. 3.
Itensity
:Disebut juga Chroma, adalah dimensi warna yang berhubungan dengan cerah atau suramnya warna.
4.
Shades
:Campuran warna dan hitam
5.
Tint
:Campuran warna dan putih.
6.
Tones
:Campuran dari warna dan komplomennya kelabu.
10
Adi Kusrianto, Ibid Hal-35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
Warna
Respons Psikologis yang Mampu ditimbulkan
Merah
Kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas, bahaya
Biru
Kepercayaan,
konservatif,
keamanan,
teknologi,
kebersihan, perintah
Hijau
Alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan, pembaruan
Kuning
Optimis, harapan, filosofi, ketidak jujuran/kecurangan, pengecut, pengkhianatan
Ungu
Spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak, arogan
Orange
Energi, keseimbangan, kehangatan
Coklat
Bumi, dapat dipercaya, nyaman, bertahan
Abu‐abu
Intelek, futuristik, modis, kesenduan, murah, netral, independen, stabil, menciptakan keheningan dan kesan luas.
Putih
Kemurnian/suci, bersih, kecermatan, innocent (tanpa dosa), steril, kematian
Hitam
Kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan, keanggunan Table 2.1 Psikologi Warna
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
D. Tipografi Menurut Frank Jefkins (1997:248) Tipografi merupakan : seni memilih huruf, dari ratusan jumlah rancangan atau desain jenis huruf yang tersedia, menggabungkannya dengan jenis huruf yang berbeda, juga menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia, dan menandai naskah untuk proses type setting, menggunakan ketebalan dan ukuran huruf yang berbeda.12
2.3 Fotografi
2.3.1 Pengertian Fotografi
Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, berarti "gambar cahaya") adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat.
Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghailkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa). Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang tepat untuk menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa lightmeter. Setelah mendapat ukuran 12
Adi Kusrianto, Ibid Hal-228
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan merubah kombinasi ISO/ASA (ISO Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan rana (speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma & Speed disebut sebagai pajanan (exposure). Di era fotografi digital dimana film tidak digunakan, maka kecepatan film yang semula digunakan berkembang menjadi Digital ISO.
1) Fotografi digital, sebagai lawan dari fotografi film, adalah proses fotografi yang menggunakan media perekaman digital. Fotografi digital, berbeda dengan fotografi film yang menggunakan media film sebagai media penerima gambar, menggunakan sensor elektronik untuk merekam gambar, lalu selanjutnya diolah untuk disimpan dalam data biner. Hal ini memotong banyak alur pengolahan gambar, sebelum dicetak menjadi gambar akhir, dan memungkinkan penggunanya untuk melihat dan menghapus foto langsung melalui kamera sehingga kesalahan bisa disadari lebih awal.
Tidak ada yang lebih baik antara kamera digital dan film, karena pada awalnya
karakteristik
keduanya
berbeda.
Beberapa
fotografer
memilih
menggunakan kamera digital karena kepraktisan dan keluwesannya. Sementara beberapa yang lain memilih tetap menggunakan kamera film atas pertimbangan kualitas. Namun batas ini semakin kabur seiring perbaikan kualitas yang dialami sensor digital, di lain sisi perkembangan ini menyebabkan terlalu banyak fasilitas yang ditambahkan kepada kamera digital sehingga sisi kepraktisannya tidak jauh berbeda dengan kamera film. Perkembangan teknologi menyebabkan kamera digital diimplementasi ke banyak peralatan lain, misalnya telepon seluler.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
2.3.2 Sejarah Fotografi
Fotografi secara umum baru dikenal sekitar 150 tahun lalu. Ini kalau kita membicarakan fotografi yang menyangkut teknologi. Namun, kalau kita membicarakan masalah gambar dua dimensi yang dihasilkan dari peran cahaya, sejarah fotografi sangatlah panjang. Dari yang bisa dicatat saja, setidaknya "fotografi" sudah tercatat sebelum Masehi. Dalam buku The History of Photography karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad ke-5 sebelum Masehi, seorang pria bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala. Apabila pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang, maka di bagian dalam ruang itu akan terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi. Kemudian, pada abad ke-10 Masehi, seorang Arab bernama Ibn Al-Haitham menemukan fenomena yang sama pada tenda miliknya yang bolong.13
Hanya sebatas itu informasi yang masih bisa kita gali seputar sejarah awal fotografi karena keterbatasan catatan sejarah. Bisa dimaklumi, di masa lalu informasi tertulis adalah sesuatu yang amat jarang.
Demikianlah, fotografi lalu tercatat dimulai resmi pada abad ke-19 dan lalu terpacu bersama kemajuan-kemajuan lain yang dilakukan manusia sejalan dengan kemajuan teknologi yang sedang gencar-gencarnya. Adalah tahun 1839 yang dicanangkan sebagai tahun awal fotografi. Pada tahun itu, di Perancis dinyatakan
13
The History of Photography karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico Press tahun 1991
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
secara resmi bahwa fotografi adalah sebuah terobosan teknologi. Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata sudah bisa dibuat permanen.
Penemu fotografi dengan pelat logam, Louis Jacques Mande Daguerre, sebenarnya ingin mematenkan temuannya itu. Tapi, Pemerintah Perancis, dengan dilandasi berbagai pemikiran politik, berpikir bahwa temuan itu sebaiknya dibagikan ke seluruh dunia secara cuma-cuma. Maka, saat itu manual asli Daguerre lalu menyebar ke seluruh dunia walau diterima dengan setengah hati akibat rumitnya kerja yang harus dilakukan. Meskipun tahun 1839 secara resmi dicanangkan sebagai tahun awal fotografi, yaitu fotografi resmi diakui sebagai sebuah teknologi temuan yang baru, sebenarnya foto-foto telah tercipta beberapa tahun sebelumnya.
Pada tahun 1901, seorang peneliti bernama Conrad Rontgen menemukan pemanfaatan sinar-X untuk pemotretan tembus pandang. Temuannya ini lalu mendapat Hadiah Nobel dan peralatan yang dipakai kemudian dinamai peralatan rontgen. Cahaya buatan manusia dalam bentuk lampu sorot dan juga lampu kilat (blits) kemudian juga menggiring fotografi ke beberapa ranah lain. Pada tahun 1940, Dr Harold Edgerton yang dibantu Gjon Mili menemukan lampu yang bisa menyala-mati berkali-kali dalam hitungan sepersekian detik. Lampu yang lalu disebut strobo ini berguna untuk mengamati gerakan yang cepat. Foto atlet loncat indah yang sedang bersalto, misalnya, bisa difoto dengan strobo sehingga menghasilkan rangkaian gambar pada sebuah bingkai gambar saja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Kemajuan teknologi memang memacu fotografi secara sangat cepat. Kalau dulu kamera sebesar mesin jahit hanya bisa menghasilkan gambar yang tidak terlalu tajam, kini kamera digital yang cuma sebesar dompet mampu membuat foto yang sangat tajam dalam ukuran sebesar koran. Juga temuan seperti format film APSS (tahun 1996) yang langsung mati suri karena teknologi digital langsung masuk menggeser semuanya.14
2.3.3 Seni Fotografi dan Arti Sebuah Foto
Ketika seseorang melihat selembar foto, apa sebenarnya yang ia lihat? Hanya gambarnya atau cerita dalam gambar tersebut? Atau pesan tertentu dari simbolisasi gambar? Atau kenangan tertentu? Pada dasarnya selembar foto adalah media ungkapan berkomunikasi seorang fotografer kepada pengamat foto tersebut. Sebuah foto (Wedding Photography) adalah ungkapan bahasa gambar/visual seseorang. Jika kita mengarahkan kamera ke suatu obyek tertentu, dalam benak pemotret akan muncul keinginan memperlihatkan hasil fotonya kepada “seseorang”. Seseorang di sini bisa dirinya sendiri sebagai penikmat, maupun publik secara luas. Keingian bercerita terkadang menjadi kebutuhan seseorang. Sehingga pada saat itulah foto (Photography Jakarta) menjadi alat untuk berkomunikasi. Untuk dapat mengungkapkan secara baik melalui foto, maka tata bahasa yang digunakan pun harus tepat dan sesuai dengan konteksnya. Tata bahasa dalam bahasa visual fotografi meliputi penerapan teknik, komposisi dan tata cahaya, serta estetika. Aplikasi yang tepat menyebabkan seorang pengamat akan memahami dan 14 Bagaimana pun, fotografi adalah bagian penting dari kebudayaan manusia.(ARBAIN RAMBEY)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
mengerti arti ungkapan fotografernya (Album Photography Jakarta). Banyak ragam informasi yang dapat diungkapkan pemotret kepada audiensnya, sehingga muncul istilah-istilah
dan
kategori
dalam fotografi
yang mengacu pada obyek
pemotretannya, seperti: foto pemandangan, foto anak, foto model, foto still life (alam benda), foto produk, foto arsitektur, dan sebagainya. Selain itu muncul juga istilah dalam fotografi (Photography Jakarta) yang mengaju pada tujuan pemotretannya, misal: foto komersial, foto seni, foto dokumentasi, foto jurnalistik, foto salon, dan lain sebagainya (Wedding Photography Jakarta). Bagaimanapun sederhananya sebuah tujuan pemotretan, maka yang harus diperhatikan adalah ketrampilan pengoperasian kamera. Menguasai kamera adalah ketrampilan wajib.
Ketrampilan dasar yang lain adalah tata cahaya. Meskipun fotografi (Album Photography Jakarta) membutuhkan cahaya, namun bukan sembarang cahaya yang dapat membentuk foto. Ada banyak pengaturan cahaya, yang mendasari pembuatan foto (Wedding Photography). Baik itu mengenai arah cahaya, maupun kualitas cahayanya. Ada lighting dari depan, samping, maupun dari belakang obyek.
Terakhir, foto tidak hanya indah, namun juga harus implisit ada pesan di dalamnya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Penikmat pun diharapkan menangkap pesan tersebut, dan merenungi makna yang terkandung.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
2.4 MEDIA
2.4.1 Wanita Dalam Media
Dalam seni maupun desain, sumber-sumber inspirasi terkait keindahan wanita selalu mendapat ruang komersil dalam praktiknya. Wanita, tak dapat dipungkiri memang memiliki pesona dalam hal keindahan dan sensualitas, sekalipun sifatnya abstrak. Oleh karena itu tentu seringkali menjadi objek utama dalam sebuah desain, khususnya desain komunikasi visual. Yang sangat disayangkan ialah ketika wanita hanya menjadi sebuah “objek tempelan” atau “boneka” dalam sebuah perancangan itu sendiri, seperti dalam hal beriklan, dimana materi dari iklan itu sendiri sebenarnya dapat tersampaikan meskipun tanpa objek wanita, disinilah tampak jelas adanya eksploitasi terhadap wanita. Dalam sinetronsinetron atau film layar lebar pun dapat kita saksikan bagaimana sosok wanita seringkali menjadi bahasan utama: kisah percintaan, ciuman pertama, pengalaman seksual, dan tentunya lengkap dengan aksesori pakaian “serba mini” sebagai daya tarik utama dan menjadi sarana menjual impian yang berujung masalah komersial lagi dan lagi. Dari beberapa masalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi fethisisme komoditi, dimana pada prinsipnya fethisisme ialah menyangkut sikap seseorang yang memandang suatu objek mengandung daya pesona, terkait dengan kekuatan, kekuasaan, dan magic.dimana objek pada akhirnya dapat mempengaruhi emosi pengguna. Namun tentunya telah mengalami distorsi dalam penerapannya ke arah yang cukup ekstrim.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
Terlepas dari pandangan hipokrit beberapa pihak, sesungguhnya hal ini diperparah dengan adanya beberapa sikap wanita (yang menjadi komoditi/sasaran eksploitasi) yang seakan-akan senang-senang saja, dan terkesan bangga dengan hal tersebut, juga cenderung menikmati untuk menjadi pusat perhatian dan merasa dihargai keindahannya. Belum lagi terkadang mereka juga tergiur pada tawaran materi.
2.4.2 Wanita dalam Fotografi Indonesia
Fotografi Indonesia, dalam pernanannya sebagai penyampai ide, ikut bekerja sama dengan sistem sosial ini untuk meminggirkan wanita. Wanita-wanita ini, bagaimanapun kepribadian aslinya, akan digambarkan sebagai figur lembut penuh pengabdian atau merangsang secara seksual. Sungguh aneh bahwa para wanita yang kadang tomboy dan keras tetap saja memiliki foto dengan gaun mekar dan gaya feminin, entah karena keinginan sendiri atau paksaan dari pihak lain (dalam hal ini, orang tua atau fotografer).
Pengalaman saya masuk berbagai macam studio foto di Indonesia atau melihat banyak karya-karya fotografer Indonesia di majalah menunjukkan bahwa para fotografer yang kebanyakan pria ini selalu mencitrakan wanita dalam foto dengan impian yang sama: seseorang yang menyenangkan laki-laki (baik dalam tugas sosial sebagai seseorang yang tunduk dan mengabdi, atau dalam tugas seksual). Tentu saja kesan ini sangat subjektif. Orang lain boleh bilang ini hanya pendapat saya belaka. Toh ada juga fotografer-fotografer hebat yang karyakaryanya sangat artistik dan menampilkan aspek-aspek lain dari wanita. Tetapi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
kalau boleh dihitung dari prosentasenya, dan kalau boleh dilihat dari suasana yang dihadirkan di lomba-lomba foto Beauty Shotnya, pendapat saya ini sulit untuk dibantah. Wanita Indonesia memang digambarkan secara sangat sepihak oleh fotografi Indonesia. Sepihak? Ya, karena hampir semua fotografer di Indonesia adalah laki-laki.
Ketika suatu kelompok yang memegang kekuasaan menjadi yang paling mampu dan paling banyak mendapat kesempatan untuk merepresentasikan kelompok lain yang relatif tidak berkuasa, gambar-gambar yang diproduksi hanya akan mengukuhkan kekuasaan yang dimiliki kelompok yang berkuasa itu. Gambargambar wanita dalam fotografi Indonesia adalah salah satu contohnya. Contoh lain bisa kita temui pada sejarah representasi ribuan tahun. Tengoklah foto-foto orang Indian yang dibuat oleh kolonialis Inggris atau Spanyol pertama yang mendarat di benua Amerika. Orang-orang Indian ini digambarkan sebagai bangsa barbar yang tidak berbudaya. Padahal mereka adalah orang-orang berbudaya Maya, Aztec, dan Inca, yang telah mengenal sistem masyarakat yang tidak kalah rapi dan bernilai dibanding yang dimiliki bangsa-bangsa Eropa. Hal yang sama juga terjadi pada foto-foto orang pribumi Nusantara yang dibuat oleh kolonial Belanda.15
Bagi saya, fotografi adalah medium personal yang menumpahkan apresiasi saya tentang berbagai rasa yang hadir dalam hidup: kagum, takjub, sedih, marah, jijik, gembira, syukur, dan lain sebagainya. Kalau keindahan adalah tujuannya, maka proses menuju tercapainya keindahan itu harus memberi hormat dan pengertian kepada subjek keindahan itu, terutama jika subjek itu adalah suatu 15
Naomi Rosenblum, The History of Women Photographers (Abbeville Press, NY 1994)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
kelompok yg secara kultur dan politis telah dikesampingkan. Membawa seseorang dalam sebuah foto adalah menampilkan apresiasi saya tentang dirinya. Ketika fotofoto tentang wanita hanya menggambarkan eksotika mereka sebagai objek seks atau sebagai sosok yang mengabdi, tentunya saya boleh mempertanyakan sejauh mana pria Indonesia menghargai kaum wanitanya. Wajarlah kalau seorang antropolog Indonesia, Ariel Heryanto pernah berkata,” Di negara kami tubuh wanita bukan lagi milik wanita. Dada dan paha sudah dialokasikan untuk agen iklan dan wartawan. Vagina dan rahim adalah arena resmi untuk Program Nasional Keluarga Berencana, yang dikerjakan oleh para pria kami, di keluarga kami, dan dilaporkan oleh pemerintah kami sendiri untuk mendapatkan bantuan hutang luar negeri.” Fotografi ikut andil dalam pembentukan identitas wanita yang sepihak ini.
Kata-kata ini memang diucapkan ketika Pemerintah Orde Baru masih berkuasa, sedangkan sekarang mestinya adalah masa reformasi. Sudah seharusnya praktisi fotografi di Indonesia juga mulai mereformasi diri, menjadikan fotografi seni yang menghargai wanita, bukan sekedar mengeksploitasinya.
2.4.3 Jagat Wanita Dalam Jeruji Fotografi
Dua ratus tahun silam, seorang ilmuwan Cina menemukan gagasan memasang lensa di depan lubang camera obscura-nya, sebuah instrumen menggambarkan yang menjadi cikal-bakal kamera foto seperti yang kita kenal sekarang. Ilmuwan itu, Luang Hu, adalah seorang wanita. Pun istilah photographie dalam bahasa bangsa Prancis, yang pertama di dunia mengumumkan penemuan teknologi ini pada 1839, adalah sebuah kata benda dengan nuansa feminin. Boleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
saja. Tapi, sebagaimana yang ditengarai sejarawan seni Naomi Rosenblum dalam bukunya, The History of Women Photographers (Abbeville Press, NY 1994), pada kenyataannya kaum hawa sendiri sempat kurang terwakili dalam sejarah fotografi. Alasannya bersifat teknis. Pada awalnya pekerjaan memotret bukan Cuma menyangkut kemampuan otak, tapi juga kekuatan otot (yang diperlukan untuk mengangkut puluhan kilogram peralatan foto dan kamar gelap).16
Terbukti, saat perkembangan teknologi menghasilkan instrumen foto yang lebih canggil dan ringkas, perempuan yang terjun ke bidang ini terus bertambah. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada paruh kedua abad ke-19, jumlahnya ribuan.
Tapi perubahan yang paling mendasar mengekor perbaikan ekonomi dan sosial masyarakat itu sendiri. Pertumbuhan kelas menengah, antara lain, berpengaruh pada meningkatnya kebutuhan akan berbagai produk fotografi—baik untuk kepentingan dokumentasi pribadi, penyebaran informasi, maupun sebagai barang pajangan dan koleksi. Pada gilirannya hal ini lantas mendorong lahirnya sekolah-sekolah fotografi yang ternyata, semakin membuka ruang bagi perempuan. Di Jepang, misalnya, sejak 1990-an sebagian besar siswa sekolah fotografi adalah wanita. Di Indonesia tempat pendidikan semacam ini baru dimulai sekitar 10 tahun silam, perbandingan itu baru mencapai 10-20 persen.
16
Naomi Rosenblum, The History of Women Photographers (Abbeville Press, NY 1994)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
Berbeda dengan para pendahulu mereka yang autodidak dan jumlahnya bisa dihitung sebelah tangan—sebut seja Thilly Weissenborn, yang di tahun 1920-an termasyur sebagai juru foto studio Lux Fotograf di Garut, Jawa Barat, atau bahkan para fotografer tahun 1980-an macam Desiree Harrahap dan Enny Nuraheni— ketujuh fotografer perempuan yang diundang dalam pameran ini merupakan produk pendidikan fotografi. Ayu Ismalia, Maya Ibrahim, Stefanny Imelda, dan Vitri Yuliani merupakan alumni Institut Kesenian Jakarta; Maria Lasakajaya lulus dari Universitas Trisakti; sementara Hanneke Tumbuan belajar di Ritveld Academy, negeri Belanda. Bahkan Widya Amrin, yang menjadi pengecualian, sempat mengenyam berbagai lokakarya dari lembaga ternama macam Galeri Foto Jurnalistik Antara, World Press Photo, dan “i see“ di Jakarta. Alhasil, kelompok fotografer sekolahan tersebut tidak hanya lebih terdidik tapi juga memiliki rentang keterampilan—dari fotografi potret hingga still life, dari metode jurnalistik sampai teknik
montase,
dan
dari
cetak
hitam-putih
hingga
pencitraan
digital.
Hingga di sini, Mata Perempuan sangat berhasil. Sayangnya, pihak kurator kemudian mencanangkan pula pemunculan suatu bahasa dan pernyataan baru, yang mereka istilahkan di sini sebagai “suara perempuan“ atau “mata perempuan“. Sebagai alasan, mereka merujuk pada fenomena yang terjadi dalam seni sastra dengan kehadiran penulis-penulis perempuan mutakhir seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, atau Djenar Maesa Ayu, yang cerita pendeknya dimuat sebagai ba penutup dalam katalog pameran. Karena teks karya mereka, demikian kurator Lisabona Rahman menulis,“Orang mulai menangkap perbedaan sudut pandang laki-laki dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
perempuan.“ Akibatnya, pameran tersebut terjeblos ambisinya sendiri. Masalahnya, walau para fotografer tersebut menampilkan pelbagai topic yang berhubungan dengan kaumnya—mulai dari representasi para tokoh perempuannya Ayu Ismalia, persoalan identitas dalam karya Widya Amrin, Maria Lasakajaya, serta Vitri Yuliani, hingga pemaparan kodrat yang digambarkan Maya Ibrahim untuk bisa “bersuara”, seorang seniman bukan Cuma perlu menetas atau punya tema yang pas, tapi juga perlu memiliki medium ekspresi yang terbuka untuk eksplorasi yang luas.
Ini bukan perkara sepele. Pasalnya, di Indonesia fotografi masuk sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Alhasil, mereka mengembangkan pemahaman yang kaku tentang fotografi dan penggunaan fotografi sebagai medium yang erat hubungannya dengan realitas. Hanya melalui ideology semacam inilah mereka bias meyakinkan dirinya (dan pribumi yang ikut melihat) bahwa apa yang terekam dalam jutaan foto yang mereka buat—kehebatan Belanda, keterbelakangan pribumi—adalah kenyataan yang “benar ada dan terjadi seperti apa adanya”. Sialnya, perkembangan medium ini di negeri kita, yang dikuasai kepentingan industri iklan dan pers, semakin menjerumuskan fotografi bukan sebagai media ungkap yang ekspresif dan personal, tapi sekadar bahasa tutur yang resmi dan sopan. Dengan beberapa pengecualian, karya-karya dalam Mata Perempuan baru bias menjadi semacam ilustrasi atau reportase tentang isu dan tema keperempuanan. Ironisnya, itu menjadi jelas bila kita membandingkannya dengan karya Djenar Maesa Ayu, tempat ia mendongeng:”Saya tidak menyedot air susu ibu. Saya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
menyedot air mani ayah.” Sementara penulis perempuan ini mendulang ketenaran, para fotografer (juga pihak curator serta pemilik galeri) sudah pasti akan menuai hujatan dan hukuman seandainya mereka menghadirkan karya fotografi yang setara, dalam keberanian dan kebebasan khayalnya, dengan kalimat-kalimat tersebut. Maka, jelas bahwa gagasan tentang suara yang khas ini bukan Cuma soal politik identitas, tapi dalam kasus fotografi terlebih lagi menyangkut (kemerdekaan) ideology bahasa. Barangkali yang perlu diperjuangkan terlebih dulu bukanlah hadirnya “suara perempuan”, melainkan sesuatu yang lebih hakiki: suara pribadi.
Sekadar memaksakan gagasan adanya “suara” atau “fotografi” perempuan (yang belakangan disanggah sendiri oleh sejarawan Rosenblum, juga oleh sebagin besar peserta pamearn ini) justru bias menjadi semacam diskriminasi terbalik— seolah-olah kaum hawa tak cukup bias setara dengan lawan jenisnya. Sebagai perempuan, mereka juga harus selalu istimewa. Pun demikian, mengelompokkan mereka dalam kategori dan ruang tertentu juga berisiko melahirkan spesies yang biasanya kehilangan akal kala dipaksa melongok ke dunia di luar jerujinya. Maka, ada baiknya kita simak kembali kata-kata sastrawan dan tokoh feminis kondang Virginia Woolf tentang esensi menjadi perempuan:”Sebagai perempuan, aku tak punya Negara. Sebagai perempuan, negaraku adalah dunia itu sendiri”.17
Wanita adalah sosok yang amat sering dijadikan sorotan dalam setiap sudut kehidupan. Dandanannya, pakaiannya, tingkah laku, sampai ke gerak tubuhnya. Nah, belum lagi akhir-akhir ini dimana gerakan feminimisme semakin di koarkoarkan. So makin banyak wanita yang "kebelet" pengen "dipublikasikan". 17
Yudhi Soerjoatmodjo (TEMPO 22 Juni 2003)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Sebenarnya paham nggak sih dengan hakikat seorang wanita?? Selama ini tokohtokoh feminimisme mengajukan tuntutan yang buanyaaak banget, tapi intinya hanya satu, meminta persamaan hak dan kewajiban seperti pria.
Secara fisik dan mental tak dapat dipungkiri, wanita dan pria memang sangat berbeda. Hal itu juga yang menyebabkan tugas, hak dan kewajiban kedua Makhluk Allah ini berbeda. Setiap yang diciptakan Allah selalu memiliki keistimewaan sendiri. Pria yang memiliki fisik jauh lebih kuat dari wanita, dapat menjadi pelindung, yang menjaga kehormatan seorang wanita. Dia pun dapat mencari nafkah untuk keluarganya, serta berperang untuk menegakkan panji-panji agama Allah.
2.5 Anatomi Iklan Cetak Anatomi yang dipakai untuk eksekusi (Produksi)
iklan cetak menurut
Mardjadikara (2004:25), agar tampilan iklan yang disampaikan dapat diterima dan menarik perhatian khalayak adalah sebagai berikut :18 1. Judul (Headline) Tidak dapat disangkal kenyataan bahwa keberhasilan pasang iklan kebanyakan terletak dalam judul. Judul harus menarik pembaca dan membuatnya membaca sisa iklan. Judul selain menarik juga harus berbagi poin-poin penting yang harus tertanam pada saat penentuan judul untuk iklan. 18
BelajarPeriklanan.blogspot.com
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
2. Subjudul (Sub Headline) Subjudul sangat membantu terhadap desain dan tipografi iklan, jadi sub judul dapat menampilkan kekontrasan dan penekanan karena dapat dicetak dengan jenis huruf yang berbeda. 3. Teks (Body Copy) Teks mempunyai fungsi untuk memperjelas tentang produk serta memberitahukan secara lengkap tentang apa yang dijual, dan penjabaranpenjabaran mengenai kelebihan suatu produk, serta menggambarkanmanfaat atau kenikmatan yang diperoleh. 4. Visual Visualisasi dalam iklan cetak dibangun dengan unsur ilustrasi, layout, warna, dan tipografi. Ilustrasi yang dipakai dapat berupa Fotografi, lukisan tangan (drawing) atau melalui bantuan computer (manipulated image). Ukuran ilustrasi dalam iklan harus memperhatikan luas total iklan dikurangi ruang untuk teks ataupun headline. Tidak ada standarisasi yang baku dalam menentukan harmonis atau tidaknya, semua ini berpaling dari kepekaan rasa seni dan nilai estetika.
2.5.1
Pendekatan Visual Dalam Iklan Dalam membuat iklan selain memperhatikan elemen-elemen yang akan dibuat didalamnya pengiklan juga memperhatikan pendekatan visual seperti apa yang akan dipakai untuk iklannya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
Berikut adalah berbagai pendekatan visual yang dipakai dalam iklan cetak : 1. Without Word / Non Verbal Advertising Cerita dapat disampaikan dengan cara yang efektif tanpa dengan kata-kata. 2. Mixing and Matching Meyakinkan sebuah pesan iklan dengan menggabungkan serta menghubungkan dengan hal-hal yang berbeda. 3. Comparative Seperti “ before and after “. Bagaimana sebuah perbandingan memperlihatkan sebuah permasalahan dan solusinya. 4. Repetition and Acumulation Repetisi dan akumulasi tentu juga dapat menyampaikan sebuah cerita, penekanan suatu manfaat atau bukti-bukti baru. 5. Exaggeration Penggambaran dari keistimewaan sebuah produk, permasalahan atau solusi yang dapat ditangkap oleh orang yang melihatnya, dan titik berat pada penekanannya ‘sesuatu yang dilebih-lebihkan’. 6. Turn It Right Around Sebuah produk, manfaat, kemasan, atau kelebihan kegunaannya, lalu berubah menjadi kebalikannya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
7. Suggestion (saran), Omission (penghilangan) Jika ingin menggaris bawahi atau menekankan sesuatu dapat melakukannya dengan cara ‘menghilangkannya’. Cara penghilangan ini untuk menghasilkan ‘kehebohan’ dan menarik perhatian. 8. Optical Illution Bagaimana
sebuah
efek
ilusi
optic
dapat
menggambarkan
keistimewaan sebuah produk jadi terlihat. Bagaimana efek ilusi optik dapat menarik perhatian. 9. Provocation and Shocker Kalau ingin orang lain melihat/mengingat iklan kita, buatlah dengan pendekatan provokasi. Be provocative – do something unusual. 10. A Change Of Perspective Memperlihatkan benda-benda atau situasi dari sudut pandang yang tidak biasa/wajar. 11. Spoof and Parodies Untuk membuat sesuatu yang paling lucu atau dengan parody, kamu harus mengetahui dengan baik cerita aslinya, yang bias kamu ketahui melalui televisi, film, iklan, buku-buku, musik, politik, dan seni. 12. Humour Dengan menggunakan unsur humor biasanya iklan akan menjadi lebih menghibur dan dapat menarik perhatian orang yang melihatnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
13. Symbol and Sign Sebuah symbol adalah penggambaran yang memberikan arti pada sebuah benda, konsep, atau situasi. Fungsi lain pada kebanyakan symbol adalah untuk menyampaikan informasi yang tidak bisa diungkapkan dalam atau dengan kata-kata.
14. Come and Play Ada banyak cara untuk membangkitkan atau mengingatkan akan sebuah permainan kepada anak-anak ataupun orang dewasa.19 2.5.2
Iklan Sebagai Media Pemaknaan Dan Simbol Pemaknaan merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran atas representasi objek melalui symbol, sehingga dalam pemberian makna dituntut adanya kemampuan integrative manusia yang meliputi inderawi, daya piker, dan akal budinya atas materi-materi yang dilihat sebagai tanda-tanda yang tersajikan.20 Jadi manusia berperan aktif dalam menghasilkan makna dari tanda dan symbolsimbol yang ada.
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia :
19 20
IMAGO, school of modern advertising, Modul Art Direction, page 43-185 Alex Sobur Hal 256
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
a. Makna ada dalam diri manusia Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. b. Makna berubah Kata-kata relative statis. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. c. Makna membutuhkan acuan Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. d. Makna dikomunikasikan hanya sebagian Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari maknamakna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.21 Makna menurut Umberto Eco yang dikutip oleh Budiman dalam buku Kosa Semiotika, makna dari sebuah wahana tanda adalah : “satuan cultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda lainnya serta dengan begitu secara semantik mempertunjukan ketidak tergantungannya pada wahana tanda yang sesungguhnya.22
21 22
Alex Sobur, OP.Cit, Hal 258 Kris Budiman, Kosa Semiotika, Yogyakarta, 1999 Hal-7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
Manusia sebagai makhluk yang berbahasa, berkomunikasi melalui symbol-simbol, baik itu symbol verbal maupun non verbal. Mengenai bahasa simbolik, menurut A.H Baker, yang dikutip oleh Alex Sobur dalam buku Analisis Teks Media menjelaskan beberapa ungkapan sebagai berikut : Pertama, manusia hanya sadar dalam bahasa, angan-angan yang memakai fantasi dan konsep-konsep. Komunikasi simbolis mengandalkan kesadaran mendalam dank arena itu menuntut penyertaan bahasa. Kedua, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis juga. Artinya, penuh dengan tanda Tanya atau hal-hal yang mesti diungkapkan maksud dan arti yang terkandung didalamnya. Ketiga, bahasa simbolis terletak ditengah antara bahasa mistis dan alegoris seperti halnya pula berlaku dalam tindakan”.23
Jadi bisa dipahami bahwa komunikasi adalah proses pertukaran makna, yang diwujudkan melalui bahasa, warna, gambar, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan lain sebagainya. Yang sifatnya konvensional, dipahami berdasarkan kesepakatan bersama didalam budaya masyarakat dimana tanda-tanda itu berbeda.
Salah satu wujud penyampaian makna dan tanda dalam komunikasi bias dilihat pada wujud iklan. Iklan merupakan lading tanda-tanda. Iklan merupakan sebuah teks yang berada di suatu 23
Alex Sobur, OP.Cit, Hal. 141
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
media tertentu. Menurut Guy Ceok yang dikutip oleh Sobur dalam buku Analisis Teks Media : suatu pengantar untuk analisis wacana, analisi semiotic dan analisis framing, mengartikan teks sebagai : “semua bentuk bahasa dan semua jenis ekspresi komunikasi seperti kata-kata yang tercetak, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya”.24
Lambang atau symbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan sesuatu yang lain, dan sifatnya konvensional. Menurut James P. Spardley yang dikutip Alex Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi, mendefinisikan symbol sebagai : “ objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu “.25 Pemaknaan tanda-tanda selalu berbeda-beda, tergantung di latar budaya seperti apa, tanda itu berbeda. Oleh karena itu, tanda, symbol, makna adalah hal yang penting dalam sebuah iklan. Kata-kata tidak bermakna apa-apa, karena kita sebagai manusialah yang berperan aktif memaknai segala hal. Sangat penting memahami pemakaian tanda dan symbol agar terjadi kesesuaian makna dalam penyampaian pesan.
24 25
Alex Sobur, OP.Cit, Hal 56 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung, 2003, Hal. 154
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
2.6 Komodifikasi Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxist (adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Dalam artian bahwa hubungan sosial ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran. Komodifikasi juga merupakan istilah yang hanya ada dalam konsep jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.
Karl Marx dalam bukunya Communist Manifesto, mendefinisikan komodifikasi sebagai “Callous Cash Payment”, yakni “pembayaran tunai yang tidak berperasaan”. Ia menggambarkan bahwa kaum kapitalis yang mempunyai kontrol atas apapun telah mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar, mengubah hubungan sentimental dalam keluarga menjadi hubungan yang mempergunakan uang. Sehingga segala sesuatu tidak akan bernilai jika tidak mempunyai nilai tukar. Kemudian Marx terfokus pada komodifikasi dalam proses kerja, dimana dalam realitanya, aktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing pekerja (kerja guna) telah bertransformasi menjadi kerja abstrak. Jadi dalam kerja abstrak, aktifitas kerja yang diperlakukan seolah tidak ada perbedaan kualitas untuk memudahkan pertukaran. Katakanlah pembuat arloji dengan pembuat sepatu. Mereka bekerja dengan kemampuan yang berbeda, dengan pengoperasian yang berbeda, dan tentunya dengan alat yang berbeda. Namun di dalam kerja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
abstrak, semua itu dianggap sama agar dapat dianggap seimbang untuk memudahkan pertukaran.26 Prinsip awal komodifikasi, yakni berubahnya nilai guna menjadi nilai guna telah meluas dalam beberapa dekade. Saat ini, contoh dari komodifikasi mencakup:
1. Sosialisasi dari pekerjaan wanita, seperti: menyiapkan makanan, merawat anak-anak, mencuci dan menjahit pakaian, dsb. yang kini diperjualbelikan dalam pasar. Jadi saat ini, banyak wanita yang menawarkan tenaga untuk melakukan
pekerjaan
itu
demi
sebuah
upah,
dibandingkan
menawarkannya secara sukarela kepada orang lain dalam hubungan pernikahan. 2. Privatisasi dari pelayanan pemerintah seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan, transportasi umum, suplai air bersih, hingga jalan umum. Jadi semua layanan ini diberikan dalam ”user-pays” system, dimana semua pengguna dari layanan ini diharuskan membayar. Padahal seperti yang kita tahu, semua layanan ini adalah layanan publik yang menjadi hak milik bersama. 3. Komersialisasi dari aktivitas ilmiah dan kultural melalui tekanan yang disampaikan dalam mekanisme pendanaan. Jadi segala bentuk aktivitas ilmiah dan budaya dilakukan semata-mata untuk tujuan komersial dibandingkan menonjolkan sisi human interest-nya.
26
Karl Marx, communist manifesto
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
4. Profesionalisasi
dari
olahraga
amatir
dan
pelayanan.
Misalnya
disaat seseorang atlet amatir akan bertanding, maka ia harus menjalani latihan rutin di pagi hari. Atau di Amerika, ketika seorang remaja ingin bekerja paruh waktu menjadi babysitter maka ia harus mendapatkan training tentang pengembangan anak usia dini. 5. Korporatisasi dari organisasi, dimana hubungan internal antara pimpinan dan akuntabilitas-nya digantikan dengan mekanisme anggaran dari perencanaan (planning) dan pengendalian (control). 6. Servis dengan membayar fee menggantikan asosiasi dan kerjasama yang sifatnya sukarela, seperti pemadam kebakaran sukarela yang secara perlahan-lahan
menghilang,
diganti
bayaran.
Diskusi tentang komodifikasi pada saat ini pastinya telah meluas kedalam ekonomi budaya. Hal ini menjadikan khalayak sebagai sasaran yang paling sensitif dari efek komodifikasi, khususnya dalam media massa dan periklanan. Secara paradoks, periklanan mempromosikan komodifikasi sekaligus
menyangkalnya.
Sebagai
contoh,
periklanan
menempatkan
komoditas ke dalam hubungan keluarga. Misalnya dalam iklan (tv-ads) teh sariwangi yang menggambarkan bahwa hangatnya teh sariwangi sehangat keluarga. Hal ini menggantikan konsep nilai tukar dalam komodifikasi tadi, menjadi representasi dari moment kasih sayang dalam keluarga.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
Ketika periklanan menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk mempertinggi hubungan, sebaliknya periklanan sendiri menyembunyikan proses produksi dengan meniadakannya, membuatnya menjadi abstrak, atau menyisipkan estetika di dalamnya. Sebagai khalayak, kita hanya tahu tampilan luar dari suatu komoditas dalam sebuah iklan, tanpa pernah tahu bagaimana komoditas itu diproduksi. Misalnya saja iklan sebuah penyedap rasa yang menggunakan figur ibu yang tengah memasak makanan lezat untuk anaknya, tapi ternyata pada waktu itu penyedap rasa tersebut mengandung unsur babi dan dinyatakan tidak halal oleh MUI. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin dalam periklanan menembus sudut dan celah-celah kehidupan sosial kita, maka semakin sulitlah untuk mengkritik periklanan, berkaitan dengan proses komodifikasi tadi.
Bagaimana dengan media massa? Mungkin kita dapat mengambil contoh tayangan reality show pada media elektronik. Dengan semakin tingginya minat khalayak terhadap tayangan yang berbau reality show, maka hampir semua stasiun TV beramai-ramai menayangkan aneka ragam reality show mulai dari yang berbau remaja, mistik, hingga yang menyentuh masalah sosial. Ada sesuatu yang dijadikan objek, dan kamera mengikuti seluruh gerakan yang dilakukan objek. Misalnya: tayangan dunia lain merekam objek (si peserta) dalam tempat-tempat mistik, atau H2C yang merekam objek (orang yang dilaporkan) secara candid. Semua mengklaim bahwa tayangan tersebut merupakan realitas. Padahal tayangan tersebut direpresentasikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
serba standar dan serupa. Kondisi inilah yang oleh Theodore W Adorno dikritik sebagai karakteristik budaya massa yang afirmatif, yakni terjadinya standardisasi, massifikasi, dan komodifikasi.27 Pengemasan beragam tayangan reality show yang serba serupa tadi memperlihatkan adanya standardisasi secara massif. Kritik dari Adorno juga disetujui oleh para pengikut mazhab Frankfurt lainnya yang mengatakan bahwa dalam kapitalisme lanjut, telah terjadi proses komodifikasi atas segala artefak budaya oleh segelintir elit pengusaha dalam industri budaya, untuk dijadikan komoditas yang membawa keuntungan bagi mereka. Kritik mereka mengenai budaya massa bertumpu pada teori reifikasi. Reifikasi yang dimaksud adalah bahwa apa yang sebenarnya merupakan hubungan antarmanusia yang terlihat bebas, sebenarnya berlangsung seperti hubungan antara benda. Dalam hal ini, kaum borjuis dikuasai oleh hukum reifikasi yang diperlihatkan bahwa semua hubungan antarmanusia dikuasai hukum pasar. Dalam kapitalisme, segala sesuatu dikuasai termasuk relasi antarmanusia yang dimengerti sebagai bentuk komoditi (barang yang diperjual-belikan). Komoditi dan seluruh proses jualbeli ditentukan oleh hukum-hukum obyektif pasar, yang menurut paham kapitalisme bersifat “alami” dan “universal”. Akibatnya, manusia tidak lagi berada dalam posisi subjek, namun telah bergeser menjadi objek. Iklan cetak ini tipikal iklan produk otomotif: ada gambar wanitanya. Mobil, motor, ban, aki, bahkan oli pun sering beriklan dengan memajang wanita. Begitu pula media yang membahas dunia otomotif. Tanpa wanita akan 27
Theodore W Adorno
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
terlihat kurang lengkap. Dengan atau tanpa produk otomotif, wanita memang layak pandang. Selebihnya hanya cara mengemas, sesuai pasar sasaran produk. Beda kalangan beda bahasa, secara verbal maupun visual. Sesuai, kasar atau halus, aneh atau canggih, itu soal referensi dan selera, baik dari si pengiklan maupun konsumennya. Ketika periklanan menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk mempertinggi hubungan, sebaliknya periklanan sendiri menyembunyikan proses produksi dengan meniadakannya, membuatnya menjadi abstrak, atau menyisipkan estetika di dalamnya. Sebagai khalayak, kita hanya tahu tampilan luar dari suatu komoditas dalam sebuah iklan, tanpa pernah tahu bagaimana komoditas itu diproduksi.
2.7 Semiotika Semiotika berasal dari bahasa yunani dari kata semeion yang berarti tanda sedangkan sign dari bahasa inggris adalah ilmu yang mempelajari system tanda seperti : bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini, ditengah-tengah manusia bersama-sama manusia. Semiotika atau dalama istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (thinks). Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda. Awal mulanya konsep semiotic diperkenalkan oleh Ferdinand De Saussure melalui dikotonomi system tanda : -
Signified
-
Signifier
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat
asosiasi atai in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang
menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide tau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis dan dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.28
2.7.1 Pragmatisme Charles Sanders Peirce Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
28
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung, 2003, Hal. 46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
Gambar 2.7.1.1 Triangle Meaning
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera dan merupakan sesuatu yang dapat merujuk pada hal lain diluar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari symbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.29 Lalu
bagaimana
menjabarkan
konsep
relasi
makna
(tanda,
interpretant, objek) C.S Pierce ? Untuk memudahkan mengoperasionalkan konsep makna ini, Pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian, yaitu : ikon, indeks, symbol yang disebut tipologi tanda. 1. Ikon (Icon) Adalah tanda yang dicirikan persamaannya (resembles) dengan objek yang digambarkan. Tanda visual seperti Fotografi adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan mengacu pada persamaannya dengan objek. Karena bentuknya sama/mirip dengan objek, ikon dapat diamati dengan cara melihatnya. 2. Indeks (Index) 29
John Fiske, Introduction to communication studies, Jalasutra 1990, Hal. 63
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
Adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang keduaduanya dihubungkan. Indeks merupakan tanda yang hubungan eksisitensialnya langsung dengan objeknya. Runtuhnya rumah-rumah adalah indeks dari gempa. Sebuah indeks dapat dikenali bukan hanya dengan melihat seperti halnya dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan hubungan antara dua objek tersebut. 3. Symbol (symbol) Adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu symbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol merah berhenti, hijau berarti jalan. Palang merah adalah simbol yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaran melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati. Sedangkan klasifikasi tanda yang utama dari Peirce yaitu seperti table dibawah ini :30 Relasi dengan
Relasi dengan
Relasi dengan
Representanmen
Objek
Interpretan
(Tanda) Qualisign: bersifat
Ikonis:berdasarkan
Potensial
penunjukan
Sinsign:bersifat keterkaitan
Indeks:berdasarkan
Dicensign:suatu
penunjukan
pernyataan yang bisa
30
John Fiske, Introduction to communication studies, Jalasutra 1990, Hal. 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Rheme: terms
49 benar bisa salah (proposisi) Legisign: bersifat
Symbol:berdasarkan
Argument:hubungan proposis
Kesepakatan
kesepakatan
yang dikenal dalam bentuk logika
Tabel 2.7.1.2 Klasifikasi Peirce 2.7.2 Metafora Peirce Menurut tipologi Peirce, tanda yang berjenis ikon masih bias dipilahpilah lagi menjadi tiga sub-jenis, yaitu citra atau imagi (ikon imagis), diagram (ikon diagramatis), serta metafora (ikon metaforis). Metafora adalah ikon yang didasarkan atas similaritas diantara objek-objek dari dua tanda simbolis. Menurut Aart van Zoest (1992: 12 , 18) suatu cara yang cukup mudah untuk mengenali similaritas didalam metafora adalah dengan membandingkan deskripsi kedua objek yang diacu oleh tanda-tanda yang bersangkutan.31 Idiom kaki gunung misalnya, yang sesungguhnya adalah metafora mati (dead metaphor), dapat dihasilkan dengan mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia atau hewan yang memiliki kaki. Peirce kemudian mengatakan bahwa metafora pada dasarnya adalah sebuah meta tanda (metasign). Maksudnya metafora adalah sebuah tanda yang tercipta di atas tanda-tanda yang lain (biasanya dua buah simbol), metafora adalah tanda diatas tanda.
31
Kris Budiman, Ikonisitas Semiotika Sastra dan Seni Visual, Penerbit BukaBaik, Yogyakarta, 2005, Hal. 75
http://digilib.mercubuana.ac.id/