BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja Kinerja pada dasarnya adalah yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan bekerjasama (Mathis & Jackson, 2009). Kriteria pekerjaan atau dimensi yang spesifik dari kinerja pekerjaan akan mengidentifikasikan elemen yang paling penting dalam pekerjaan. Sebagai contoh, pekerjaan seorang dosen perguruan tinggi mungkin meliputi kriteria pekerjaan mengajar, riset dan pelayanan. Kriteria pekerjaan adalah faktor paling penting yang dilakukan orang dalam pekerjaan karena mendefenisikan
tentang yang dibayar
organisasi untuk dilakukan oleh karyawan; oleh karena itu, kinerja dari individu pada kriteria pekerjaan harus diukur dan dibandingkan terhadap standar, dan kemudian hasilnya dikomunikasikan kepada karyawan (Mathis & Jackson, 2009). Standar kinerja mendefenisikan tingkat yang diharapkan dari kinerja, dan merupakan “pembanding kinerja” atau “tujuan” atau “target” tergantung pada pendekatan yang diambil. Standar kinerja yang realistis, dapat diukur, dipahami dengan jelas, akan bermanfaat baik bagi organisasi maupun karyawannya. Hal-hal tersebut harus ditetapkan sebelum pekerjaan dilakukan. Standar-standar yang
didefinisikan dengan baik memastikan setiap orang yang terlibat mengetahui tingkat pencapaian yang diharapkan ( Mathis & Jackson, 2009). Menurut Bernandin dalam Gomes (2003) memberi batasan mengenai kinerja atau performansi. Kinerja yaitu catatan outcome atau hasil akhir yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu. 2.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Menurut Gibson et.al. (1997), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu: a. Variabel individual, terdiri dari: kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. b. Variabel organisasional, terdiri dari: sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan disain pekerjaan. c. Variabel psikologis, terdiri dari: persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi. Menurut Mathis & Jackson (2009), banyak faktor yang memengaruhi kinerja karyawan. Tiga faktor utama yang memengaruhi individu dalam bekerja adalah: (1) kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan, (2) tingkat usaha yang dicurahkan, (3) dukungan organisasi. Hubungan ketiga faktor ini diakui secara luas dalam literatur manajemen sebagai: Kinerja (Performance-P) = Kemampuan (Ability-A) x Usaha (Effort-E ) x Dukungan (Support-S)
-
Usaha yang dicurahkan Motivasi Etika kerja Kehadiran Rencana tugas
Kinerja individual (termasuk kuantitas dan kualitas)
Kemampuan individual - Bakat - Minat - Faktor kepribadian
Dukungan organisasional - Pelatihan dan pengembangan - Peralatan dan teknologi - Standar kinerja
Gambar 2.1. Komponen Kinerja Individual Sumber: Mathis & Jackson (2009)
Kinerja individual dapat ditingkatkan dengan adanya ketiga faktor dalam diri karyawan, akan tetapi kinerja berkurang jika salah satu faktor dikurangi atau tidak ada. 2.1.3 Penilaian Kinerja Penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan
kemudian mengkomunikasikan informasi yang didapat kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja dan penilaian hasil. Penilaian kinerja digunakan secara luas untuk mengelola upah dan gaji, memberikan umpan balik kinerja, dan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan (Mathis & Jackson, 2009). Penilaian kinerja yang dilakukan dengan buruk akan membawa hasil yang mengecewakan untuk semua pihak yang terkait. Tanpa penilaian kinerja formal akan membatasi pilihan pemberi kerja yang berkaitan dengan pendisiplinan dan pemecatan. Penilaian kinerja dapat menjawab pertanyaan mengenai apakah pemberi kerja telah bertindak adil atau bagaimana pemberi kerja mengetahui bahwa kinerja karyawan tidak memenuhi standar (Mathis & Jackson, 2009). Penilaian kinerja dapat dilakukan oleh siapapun yang mengetahui dengan baik kinerja dari karyawan secara individual. Kemungkinan penilai adalah sebagai berikut: a. Para supervisor yang menilai bawahan b. Para karyawan yang menilai atasan c. Anggota tim yang menilai sesama karyawan d. Sumber-sumber dari luar e. Karyawan menilai diri sendiri f. Penilaian dari multisumber (umpan balik 360 derajat) (Mathis & Jackson, 2009). Menurut Chung & Megginson dalam Gomes (2003), penilaian performansi adalah suatu cara mengukur kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota
organisasi kepada organisasi. Jadi, penilaian performansi diperlukan untuk menentukan tingkat kontribusi individu, atau performansi. Tujuan dari penilaian performansi, secara umum, dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yakni: 1. Untuk penghargaan performansi pada waktu yang lalu 2. Untuk memotivasi perbaikan performansi pada waktu yang akan datang. Penilaian kinerja menurut Robbins (2008) memiliki sejumlah tujuan dalam berorganisasi, yaitu : 1. Membantu manajemen membuat keputusan sumber daya manusia secara umum, seperti : promosi, perpindahan bagian dan pemutusan hubungan kinerja. 2. Mengidentifikasi
kebutuhan
pelatihan
dan
pengembangan
untuk
meningkatkan kecakapan dan kompetensi karyawan. 3. Menjadi kriteria bagi manajemen untuk memvalidasi seleksi dan program pengembangan sehingga dapat mengidentifikasi karyawan baru yang memiliki kinerja buruk. 4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan tentang cara organisasi melihat kinerja karyawan. 5. Merupakan dasar bagi alokasi, imbalan, siapa yang berhak mendapat kenaikan gaji dan imbalan. Menurut Handoko (2005), penilaian prestasi kerja adalah proses melalui organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan
penilaian dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja karyawan. 2.1.4 Kinerja Perawat Pelaksana Satu ukuran pengawasan
yang digunakan oleh manajer perawat guna
mencapai hasil organisasi adalah sistem penilaian pelaksanaan kerja perawat. Melalui evaluasi reguler dari setiap pelaksanaan kerja pegawai, manajer dapat mengetahui tujuan organisasi yang telah dicapai. Hasil evaluasi berguna membantu kepuasan perawat untuk memperbaiki pelaksanaan kerja, memberitahu bahwa pelaksanaan kerja
perawat
kurang
memuaskan
serta
menganjurkan
metode
perbaikan,
mempromosikan jabatan atau kenaikan gaji, mengenal perawat yang memenuhi syarat penugasan khusus, memperbaiki komunikasi antara atasan dan bawahan, serta menentukan pelatihan dasar untuk karyawan yang memerlukan bimbingan khusus (Gillies, 1989). Penetapan standar bertujuan untuk mempertahankan mutu pemberian asuhan keperawatan yang tinggi. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah menetapkan standar praktik keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik kepetrawatan yang dikeluarkan oleh American Nursing Association/ANA (PPNI, 2002). Standar praktik keperawatan menurut PPNI, 2002 adalah: Standar I
:
Perawat mengumpulkan data tentang kesehatan pasien.
Standar II
:
Perawat menetapkan diagnosa keperawatan.
Standar III
:
Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk setiap pasien.
Standar IV :
Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi rencana tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Standar V
:
Perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan dalam asuhan keperawatan.
Standar VI :
Perawat mengevaluasi perkembangan pasien dalam mencapai hasil akhir yang sudah ditetapkan.
Menurut Nursalam (2011), penilaian kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien menggunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar asuhan keperawatan dapat membuat pelayanan keperawatan menjadi lebih terarah. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan oleh PPNI yaitu mengacu pada tahapan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Standar I: Pengkajian Keperawatan 1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik, serta dari pemeriksaan penunjang; 2. Sumber data adalah pasien,keluarga atau orang yang terkait, tim kesehatan, rekam medis dan catatan lain; 3. Data fokus yang dikumpulkan untuk mengidentifikasi: status kesehatan pasien masa lalu, status kesehatan pasien saat ini, status biologis-psikologis-sosialspiritual, respon terhadap terapi, harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal, resiko-resiko tinggi masalah.
Standar II: Diagnosis Keperawatan 1. Proses diagnosis terdiri atas analisa, interpretasi data, identifikasi masalah pasien, dan perumusan diagnosis keperawatan; 2. Diagnosis keperawatan terdiri atas: masalah (P), penyebab (E), dan tanda atau gejala (S), atau terdiri atas masalah dan penyebab (PE); 3. Bekerja sama dengan pasien dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan; 4. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosis berdasarkan data terbaru. Standar III: Perencanaan Keperawatan 1. Perencanaan, terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana tindakan keperawatan; 2. Bekerja sama dengan pasien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan; 3. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien; 4. Mendokumentasi rencana keperawatan. Standar IV: Implementasi 1. Bekerjasama dengan pasien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan; 2. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain; 3. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan pasien;
4. Memberikan pendidikan pada pasien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu pasien memodifikasi lingkungan yang digunakan; 5. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon pasien. Standar V: Evaluasi Keperawatan 1. Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat waktu dan terus-menerus; 2. Menggunakan
data
dasar
dan
respon
pasien
dalam
mengukur
perkembangan ke arah pencapaian tujuan; 3. Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat; 4. Bekerja sama dengan pasien dan keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan; 5. Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.
2.2. Kepemimpinan 2.2.1.Pengertian Kepemimpinan Definisi kepemimpinan secara luas diajukan oleh Yukl (1994) yaitu sebagai proses-proses memengaruhi, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja untuk mencapai sasaransasaran organisasi, motivasi dari para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan
hubungan kerjasama dan tim kerja, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau organisasi. Menurut Gillies (1989), kepemimpinan adalah sebuah hubungan dimana satu pihak memiliki kemampuan lebih besar untuk menunjukkan dan memengaruhi perilaku yang lain dibanding dipengaruhi oleh pihak lain. Jadi fungsi kepemimpinan didasarkan pada kekuasaan antara pihak-pihak terkait. Stogdill dalam Stoner (1992) mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi kegiatan yang berhubungan dengan tugas dari anggota kelompok. Ada 3 (tiga) implikasi yang penting dari definisi ini: 1. Kepemimpinan harus melibatkan orang lain –bawahan atau pengikut. Kesediaan karyawan menerima pengarahan dari pemimpin, para anggota kelompok membantu menentukan status pemimpin dan memungkinkan proses kepemimpinan. 2. Kepemimpinan melibatkan distribusi yang tidak merata dari kekuasaan diantara pemimpin dan anggota kelompok. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan beberapa dari kegiatan anggota kelompok, yang tidak dapat secara serupa mengarahkan kegiatan pemimpin. 3. Selain secara sah dapat mengarahkan bawahan atau pengikut, pemimpin juga dapat mempunyai pengaruh. Pemimpin tidak hanya dapat menyatakan kepada bawahan yang harus dikerjakan tetapi juga dapat memengaruhi cara melaksanakan perintah pemimpin.
Seseorang jika mencoba memengaruhi perilaku sesuatu kelompok tanpa menggunakan kekuasaan paksaan, kita menggambarkan hal memengaruhi sebagai upaya kepemimpinan. Menurut Fleishman dalam Gibson (1997) kepemimpinan adalah upaya untuk memengaruhi kegiatan pengikut melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu . Menurut Gibson (1997) defenisi kepemimpinan adalah suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan (concoersive ) untuk memotivasi orangorang mencapai tujuan tertentu. Unsur pertama menunjukkan bahwa kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh dan karenanya semua hubungan dapat merupakan upaya kepemimpinan. Unsur kedua dari kepemimpinan menyangkut pentingnya proses komunikasi. Kejelasan dan ketepatan komunikasi memengaruhi perilaku dan prestasi pengikut. Menurut Robbins (2008) kepemimpinan sebagai kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan. Sumber pengaruh bisa bersifat formal, seperti yang diberikan oleh pemangku jabatan manajerial dalam sebuah organisasi. Sedangkan kepemimpinan yang bersifat non formal, yaitu: kemampuan untuk memengaruhi orang lain yang muncul dari luar struktur formal suatu organisasi. Organisasi membutuhkan
kepemimpinan dan manajemen yang kuat agar
efektivitasnya optimal. Di dunia yang serba dinamis seperti sekarang, kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berani menentang status quo, menciptakan
visi masa depan, dan mengilhami anggota-anggota organisasi untuk secara sukarela mencapai visi organisasi. 2.2.2 Kepemimpinan Transformasional Pendekatan kepemimpinan transformasional awalnya digagas oleh Burns tahun 1978. Burns membedakan 2 (dua) jenis kepemimpinan yaitu kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Menurut
Burns
dalam
Yukl
(1994)
menjelaskan
kepemimpinan
transformasional sebagai sebuah proses. Para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan bukan didasarkan atas emosi, seperti keserakahan, kecemburuan dan kebencian. Menurut Burns, kepemimpinan yang mentransformasi dapat diperlihatkan oleh setiap orang dalam organisasi pada jenis semua posisi. Dapat menyangkut orangorang yang memengaruhi teman-teman sejawat dan para atasan dan juga para bawahan. Pemimpin
transformasional
menginspirasi
para
pengikutnya
untuk
mengeyampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan pemimpin transformasional mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikut. Pemimpin transformasional menaruh perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para pengikut ; mengubah kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan cara membantu orang lain memandang masalah lama dengan cara
yang baru; serta mampu menyenangkan hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama. Kepemimpinan transformasional
lebih
unggul
daripada
kepemimpinan
transaksional
dan
menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau hanya pendekatan transaksional yang ditetapkan. Para pemimpin transformasional mendorong bawahannya agar lebih inovatif dan kreatif (Robbins, 2008). Menurut Bass dalam Yukl (1994) tingkat seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungan efek kepemimpinan terhadap para pengikut. Para pengikut seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin dan para pengikut termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan. Pemimpin transformasional memotivasi para pengikut dengan: 1. Membuat para pengikut lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan 2. Mendorong para pengikut untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan 3. Mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan para pengikut pada kebutuhan yang lebih tinggi. Komponen-komponen yang terdapat dalam kepemimpinan transformasional adalah :
a. Karisma,
didefinisikan
sebagai
sebuah
proses
seorang
pemimpin
memengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin transformasional. b. Stimulasi Intelektual adalah sebuah
proses para pemimpin meningkatkan
kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah yang ada dari sebuah perspektif yang baru. c. Perhatian yang diindividualisasi termasuk memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. d. Motivasi Inspirasional didefinisikan seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha-usaha bawahan dan memodelkan perilaku-perilaku yang sesuai. Perilaku-perilaku komponen dari kepemimpinan transformasional saling berhubungan untuk memengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut, dan efek-efek yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik (Yukl, 1994). Aspek-aspek yang terdapat dalam kepemimpinan transformasional menurut Robbins (2008) adalah : a. Pengaruh yang ideal: memberikan visi dan misi, menanamkan kebanggaan, serta mendapatkan respek dan kepercayaan.
b. Motivasi yang inspirasional : mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk berfokus pada upaya, dan menyatakan tujuan-tujuan penting secara sederhana c. Stimulasi Intelektual : meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah yang cermat d. Pertimbangan yang bersifat individual : memberikan perhatian pribadi, memperlakukan masing_masing karyawan secara individual, serta melatih dan memberikan saran. Hasil penelitian Anikmah (2008), kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan PT. Jati Agung Arsitama. Artinya semakin baik kepemimpinan transformasional
yang dijalankan, maka kinerja karyawan akan
meningkat. Pada setiap tahap dari proses transformasional, keberhasilan sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan keterampilan pemimpin. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut : 1. Melihat diri sendiri sebagai agen-agen perubahan 2. Para pengambil resiko yang berhati-hati 3. Yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan para pengikut 4. Mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku 5. Fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman
6. Mempunyai ketrampilan kognitif, dan yakin kepada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati 7. Orang-orang yang mempunyai visi yang mempercayai intuisi.
2.3 Motivasi 2.3.1 Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi mempersoalkan cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan (Hasibuan, 2007). Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi semakin penting karena manajer membagikan pekerjaan pada bawahannya untuk dikerjakan dengan baik dan terintegrasi kepada tujuan yang diinginkan (Hasibuan, 2007). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian dan keterampilan, tenaga dan waktu untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawab dan menunaikan kewajiban, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan. Motivasi merupakan kesediaan mengerahkan usaha tingkat tinggi untuk mencapai tujuan organisasi (Siagian, 2004).
Menurut Stanley Vance dalam Danim (2004) mengatakan bahwa pada hakekatnya motivasi adalah perasaan atau keinginan seseorang berada dan bekerja pada kondisi tertentu untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang menguntungkan dilihat dari perspektif organisasi, dan Robert Dubin (1985) mengartikan motivasi sebagai kekuatan kompleks yang membuat seseorang berkeinginan memulai dan menjaga kondisi kerja dalam organisasi. Motivasi menurut Damin sendiri diartikan sebagai kekuatan yang muncul dari dalam diri individu untuk mencapai tujuan dan keuntungan tertentu di lingkungan dunia kerja atau di pelataran kehidupan pada umumnya. Motivasi menurut Mathis & Jackson (2009) adalah keinginan dalam diri seorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. Orang biasanya bertindak karena satu alasan: untuk mencapai tujuan. Jadi, motivasi adalah sebuah dorongan yang diatur oleh tujuan dan jarang muncul dalam kekosongan. Kata-kata kebutuhan, keinginan, hasrat dan dorongan semuanya serupa dengan motif, yang merupakan asal dari kata motivasi. Motivasi adalah suatu konsep yang digunakan jika menguraikan kekuatankekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku. Digunakan konsep motivasi untuk menjelaskan perbedaanperbedaan dalam intensitas perilaku. Perilaku yang lebih bersemangat adalah hasilhasil dari tingkat motivasi yang lebih kuat (Gibson,1997). Selanjutnya menurut Stoner (1992) motivasi yaitu hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia selalu merupakan bahan yang penting dan membingungkan bagi
para manajer. Motivasi penting karena manajer, bekerja bersama dan melalui orang lain. Motivasi membingungkan karena motif (penyebab orang lain bertindak) tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, motivasi harus diduga dari perilaku manusia. Robbins (2009) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seseorang individu untuk mencapai tujuan. Tiga elemen utama dalam motivasi adalah intensitas, arah dan ketekunan. Intensitas berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha, dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi, ketekunan merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang bisa bertahan dalam berusaha . 2.3.2 Motivasi Intrinsik Herzberg yang dikenal dengan teori higiene adalah pembuat teori kesamaan motivasi membagi hirarki Maslow menjadi kebutuhan tingkat rendah (psikologis, keamanan, dan sosial ) dan kebutuhan tingkat tinggi (pencapaian dan aktualisasi diri). Herzber mengatakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi seseorang adalah mensistematiskan pekerjaan sehingga dengan mengerjakannya mendapatkan hasil dan tantangan yang membantu untuk memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Menurut Herzberg, kebutuhan yang lebih tinggi tidak mungkin dipenuhi sehingga pemberian penghargaan dan pekerjaan yang menantang akan membentuk pembangkit motivasi (Dessler, 2007). Herzberg menamakan dua faktor yang merupakan inti teori motivasi dengan hygiene dan motivasi. Herzberg menyatakan faktor (hygiene) yang memenuhi tingkat
kebutuhan rendah berbeda dengan (motivator) yang memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Jika faktor hygiene (kondisi kerja, gaji, dan insentif) tidak seimbang, karyawan akan merasa tidak puas. Menambah faktor hygiene (seperti insentif) pada pekerjaan (disebut Herzberg sebagai motivasi ekstrinsik) adalah cara paling rendah untuk memotivasi seseorang, karena kebutuhan tingkat rendah lebih mudah terpenuhi. (Dessler, 2007) Menurut Herzberg, pengusaha lebih tertarik dalam menciptakan tenaga kerja yang memiliki motivasi diri harus menekankan “isi pekerjaan” atau faktor motivasi intrinsik. Motivasi berasal dari dalam diri seseorang dan motivasi akan timbul hanya dengan melakukan pekerjaan. Teori Herzberg menyimpulkan bahwa hanya bergantung pada insentif finansial sangat beresiko, karena itu pengusaha tidak boleh mengabaikan manfaat dari memberikan penghargaan secara formal dan pekerjaan yang menantang yang merupakan hasrat hampir semua orang (Dessler, 2007). Menurut Ivancevich et al (2007) Herzberg mengembangkan teori isi yang dikenal sebagai teori motivasi dua faktor. Kedua faktor tersebut disebut dissatisfiersatisfier, motivator higiene, atau faktor ekstrinsik-intrisik. Penelitian awal
yang
memancing munculnya teori motivator higiene memberikan 2 (dua) kesimpulan yang spesifik. Pertama,
adanya
serangkaian
kondisi
ekstrinsik,
konteks
pekerjaan,
yang
menimbulkan ketidakpuasan antarkaryawan ketika kondisi ekstrinsik tidak ada. Jika kondisi ekstrinsik ada, kondisi ekstrinsik tidak selalu memotivasi karyawan. Kondisi ekstrinsik adalah dissatisfier atau faktor higiene, karena faktor-faktor ekstrinsik
diperlukan untuk mempertahankan, setidaknya, suatu tingkat dari “tidak adanya ketidakpuasan”. Faktor-faktor tersebut diantaranya : 1. Gaji 2. Keamanan pekerjaan 3. Kondisi kerja 4. Status 5. Prosedur perusahaan 6. Kualitas pengawasan teknis 7. Kualitas hubungan interpersonal antar rekan kerja, dengan atasan, dan dengan bawahan. Kedua, serangkaian kondisi intrinsik, isi pekerjaan, ketika ada dalam pekerjaan dapat membentuk motivasi yang kuat hingga dapat menghasilkan kinerja pekerjaan yang baik. Jika kondisi intrinsik tidak ada, pekerjaan tidak terbukti memuaskan. Faktorfaktor dalam rangkaian intrinsik disebut satisfier atau motivator dan beberapa didalamnya adalah : 1. Pencapaian prestasi 2. Pengakuan orang lain 3. Tanggung jawab 4. Kemajuan 5. Pekerjaan itu sendiri 6. Kemungkinan untuk tumbuh (pengembangan).
Motivator secara langsung berkaitan dengan sifat pekerjaan atau tugas dari pekerjaan. Ketika ada, faktor-faktor motivator berkontribusi terhadap kepuasan, yang pada akhirnya akan menghasilkan motivasi tugas intrinsik. Menurut Herpen et al dalam Koesmono (2005) hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik. Menurut Handoko dalam Iriani (2010) bahwa menurut sumber motivasi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu motivasi atau dorongan yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri. Contohnya: self actualization need (keinginan untuk mengaktualisasikan diri ). Menurut Mathis & Jackson (2009) teori motivasi atau higiene Herzberg mengasumsikan bahwa sekelompok faktor motivator, menyebabkan tingkat kepuasan dan motivasi kerja yang tinggi. Akan tetapi, faktor-faktor higiene, dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja. Motivator : prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan. Faktor higiene: hubungan antarpersonal, administrasi atau kebijakan perusahaan, pengawasan, gaji, kondisi kerja. Menurut Herzberg dalam Hasibuan (2007), orang menginginkan dua macam faktor kebutuhan, yaitu: Pertama: kebutuhan akan kesehatan atau pemeliharaan (maintenance factors). Faktor pemeliharaan berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketenteraman dan kesehatan badaniah. Kebutuhan pemeliharaan merupakan kebutuhan yang berlangsung terus menerus, karena kebutuhan pemeliharaan akan
kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Misalnya: orang lapar akan makan, kemudian lapar lagi, lalu makan, dan seterusnya. Faktor-faktor pemeliharaan meliputi balas jasa, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan,mobil dinas, rumah dinas, dan macam-macam tunjangan lain. Hilangnya faktor pemeliharaan dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan (dissatisfiers = faktor higienis). Faktor-faktor pemeliharaaan perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan, agar kepuasan dan kegairahan bekerja bawahan dapat ditingkatkan. Kedua: faktor pemeliharaan menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Kebutuhan psikologis meliputi serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan pekerjaan yang jika terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan prestasi pekerjaan yang baik. Jika kondisi intrinsik tidak ada, tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor intrinsik dinamakan satisfiers atau motivators. Rangkaian intrinsik melukiskan hubungan seseorang dengan apa yang dikerjakannya yakni kandungan pekerjaan pada tugasnya. Cara terbaik untuk memotivasi karyawan adalah dengan memasukkan unsur tantangan dan kesempatan guna mencapai keberhasilan dalam pekerjaan mereka. Menurut Hasibuan (2007), harus diusahakan agar faktor pemeliharaan dan faktor motivasi dapat dipenuhi. Banyak kenyataan yang dapat dilihat dalam suatu perusahaan, kebutuhan pemeliharaan mendapat perhatian lebih banyak daripada pemenuhan individu secara keseluruhan. Kebutuhan peningkatan prestasi dan pengakuan adakalanya dapat dipenuhi dengan memberikan tugas yang menarik
untuk dikerjakan bawahan. Merupakan suatu tantangan bahwa suatu pekerjaan direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat menstimulasi dan menantang pekerja serta memberikan kesempatan bagi pekerja untuk maju.
2.4 Perawat 2.4.1 Definisi Perawat Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perawat juga merupakan seseorang yang memiliki kemampuan serta kewenangan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki melalui pendidikan keperawatan (Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992). Menurut Hadjam (2001), perawat adalah karyawan rumah sakit yang mempunyai dua tugas yaitu merawat pasien dan mengatur bangsal. Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka dan usia lanjut (Priharjo, 1995). Lokakarya Keperawatan Nasional dalam Hidayat (2004), mendefinisikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia. Keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat, profesi yang berorientasi pada pelayanan yang mencakup pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
2.4.2 Perawat Pelaksana Kontrak Perawat pelaksana merupakan sub komponen dari sumber daya manusia khusus tenaga kesehatan yang ikut menentukan mutu pelayanan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan. Perawat pelaksana dalam memberikan pelayanan kesehatan selalu berinteraksi dengan pasien, keluarga dan tim kesehatan lain agar dapat memberikan pelayanan yang prima. Perawat pelaksana harus peka dalam memahami alur pikiran pasien dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien. Perawat pelaksana sebagai tenaga kontrak atau tidak tetap atau outsourcing adalah perawat pelaksana yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Menurut Subekti (1983), kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dalam bisnis kontrak ini penting sebagai pegangan, pedoman, dan alat bukti bagi para pihak itu sendiri. Kontrak yang baik akan memberikan perjanjian dan kepastian yang besar kepada pihak-pihak yang terkait sehingga membantu pelaksanaan transaksi bisnis. Tenaga kerja kontrak atau tidak tetap atau outsourcing menurut Nurachmad (2009) adalah pekerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), yaitu perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu inilah yang mendasari adanya pekerja kontrak.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan tenaga kerja kontrak diatur dalam UU RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja atau buruh yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Khusus untuk tenaga kerja kontrak berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor: KEP.100/ MEN/ VI/ 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, KEP.220/ MEN/ X/ 2004 Tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, serta KEP.101/ MEN/ VI/ 2004 Tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja atau Buruh. 2.4.3 Peran Perawat Pelaksana Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dan sistem, yang dapat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat menetap. Peran perawat menurut Hidayat (2004) terdiri dari: a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan: perawat memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. b. Peran sebagai advokat pasien: perawat membantu pasien dan keluarganya dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi
lain dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang akan diberikan. c. Peran edukator: perawat membantu pasien dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien. d. Peran koordinator: perawat mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah sesuai dengan kebutuhan pasien. e. Peran kolaborator: perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dengan mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan. f. Peran konsultan: perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. g. Peran pembaharu: perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. 2.4.4 Fungsi Perawat Pelaksana Berdasarkan lokakarya keperawatan nasional dalam Hidayat (2004), bahwa fungsi perawat adalah: a. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.
c. Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan. d. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan. e. Mendokumentasikan proses keperawatan. f. Mengidentifikasikan hal-hal yang perlu dipelajari serta merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan keperawatan. g. Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat. h. Bekerjasama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat. i. Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan kegiatan keperawatan. Menurut Hadjam (2001), beberapa modal dasar perawat dalam melaksanakan pelayanan prima, antara lain: a. Profesional dalam bidang tugas b. Mempunyai kemampuan dalam komunikasi c. Memegang teguh etika profesi d. Mempunyai emosi yang stabil e. Percaya diri f. Bersikap wajar g. Berpenampilan memadai.
Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Pelayanan prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan keahlian medis belaka tetapi harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik.
2.5 Landasan Teori Adapun variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja perawat pelaksana kontrak di ruang rawat inap. Variabel bebas pada penelitian ini adalah gaya kepemimpinan transformasional kepala ruang dan motivasi intrinsik perawat pelaksana kontrak. Kinerja secara teoritis dalam penelitian ini mengacu pada teori Mathis &Jackson (2009) yang meliputi variabel: kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan bekerjasama. Kriteria pekerjaan atau dimensi yang spesifik dari kinerja pekerjaan perawat pelaksana kontrak di ruang rawat inap adalah asuhan keperawatan yang sesuai dengan fungsi perawat yaitu: pengkajian
keperawatan,
diagnosis
keperawatan,
perencanaan
keperawatan,
implementasi dan evaluasi keperawatan (PPNI, 2002). Menurut Mathis & Jackson (2009), banyak faktor yang memengaruhi kinerja karyawan individual. Faktor yang memengaruhi antara lain: kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, tingkat usaha yang dicurahkan (motivasi), dukungan organisasi (kepemimpinan).
Kepemimpinan yang dianalisis dalam kepemimpinan
transformasional.
Menurut
penelitian ini adalah gaya
Robbins
(2008)
kepemimpinan
transformasional menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut melampaui dari yang diharapkan. Berdasarkan komponen-komponen yang terdapat didalam kepemimpinan transformasional, menurut Bass dalam Yukl (1994) adalah: 1. Karisma 2. Stimulasi Intelektual 3. Motivasi Inspirasional 4. Perhatian Individualisasi Teori Motivasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori motivasi Herzberg dalam Ivancevich et al (2007), meliputi motivasi intrinsik yaitu: 1. Pencapaian (prestasi yang diraih ) 2. Pengakuan orang lain 3. Tanggung jawab 4. Kemajuan 5. Pekerjaan itu sendiri 6. Kemungkinan untuk tumbuh (pengembangan)
2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut: Kepemimpinan Transformasional (X1) • Karisma • Stimulasi Intelektual • Motivasi Inspirasional • Perhatian Individualisasi
• • • • • •
Motivasi Intrinsik (X2) Tanggung Jawab Kemajuan Pencapaian Pengakuan orang lain Pekerjaan itu sendiri Kemungkinan pengembangan
Kinerja Perawat(Y) -
Pengkajian Diagnosis Perencanaan Implementasi Evaluasi
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Sumber : Yukl ( 1994:297) , Ivancevich (2007:151)
Keterangan : (X1): Gaya kepemimpinan transformasional ( variabel bebas ) (X2): Motivasi intrinsik (variabel bebas ) (Y) : Kinerja pegawai (variabel terikat ) (1) : Pengaruh variabel X1 terhadap variabel Y (2) : Pengaruh variabel X2 terhadap variabel Y (3) : Pengaruh variabel X1 dan variabel X2 secara bersama-sama terhadap variabel Y