BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Peneliti terdahulu yang digunakan adalah adalah penelitian yang dilakukan oleh Sony siswanto (2012) dengan tujuan penelitian mengetahui Evaluasi kinerja keuangan pada perusahaan sektor telekomunikasi yang tercatat di bursa efek jakarta (BEJ). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Economic Value Added (EVA). Kesimpulan dari hasil penelitian bahwa perusahaan telekomunikasi yang tercatat di Bursa Efek Jakarta: 1. Nilai EVA > 0 adalah PT. Bakrie Telecom Tbk, PT. Excelcomindo Pratama Tbk , PT. Indosat Tbk, PT. Telekomunikasi Indonesia 2. Nilai EVA < 0, PT. Mobile-8 Telecom. Tbk, memiliki kinerja keuangan yang tidak sehat dimana hal tersebut ditunjukan dengan nilai EVA < 0. Persamaan dari penelitian yang dilakukan Adalah sama mengukur kinerja keuangan menggunakan EVA. Perbedaan dari penelitian ini adalah laporan keuangan yang digunakan peneliti terdahulu adalah tahun 2007 sampai 2009 pada perusahaan-perusahaan sektor telekomunikasi, sedangkan peneliti sekarang
mengunakan
tahun
2010
telekomunikasi.
8
sampai
2012
pada
perusahaan
9
B. Tinjauan Pustaka
1. Kinerja Munawir (2007:10) Dalam prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia (Ikatan Akuntan Indonesia. Jakarta 1974 halaman 14) secara terperinci menjelaskan tentang sifat dan keterbatasan kinerja keuangan yang tidak lain merupakan laporan atas kejadian –kejadian yang telah lewat, maka terdapat keterbatasan dalam kegunaannya, misalnya bermaksud untuk investasi. Akibatnya timbul jurang (gap) yang cukup besar antara hak kekayaan pemegang saham berupa aktiva bersih perusahaan yang dinyatakan dalam harga pokok historis dengan harga-harga saham yang tercatat dibursa. Kepentingan
investor
umumnya
terdapat
dua
hal
yang
bertentantangan yakni: Kinerja keuangan adalah pencerminan dari hal-hal yang telah lampau, sedangkan para investor berorientasi pada masa mendatang dalam mengambil keputusan-keputsan ekonomi. Jadi jelasnya kinerja keuangan itu hanya sekedar menjadi petunjuk arah mengenai turun naiknya harga saham . Munawir (2007:31) tujuan kinerja keuangan yaitu sebagai berikut: a. Mengetahui tingkat likuiditas yaitu kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih b. Mengetahui tingkat leverage yaitu menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban apabila perusahaan tersebut dilikuidasi baik jangka panjang maupun jangka pendek
10
c. Mengetahui tingkat profitabilitas yaitu menunjukkan kemampuan sebuah perusahaan menghasilkan laba selama periode tertentu d. Mengetahui tingkat aktivitas yaitu kemampuan sebuah perusahaan untuk melakukan usahanya dengan stabil yang diukur melalui kemampuannya mengukur efektivitas investasi dan sumber ekonominya. 2. Metode Economic Value Added (EVA) Hanafi
(2004:52)
EVA
merupakan
ukuran
kinerja
yang
menggabungkan perolehan nilai tambah tersebut. Pendekatan EVA yang dikembangkan oleh lembaga konsultan manajemen asal Amerika Serikat, Stern Steward Management Services pada pertengahan 1990. Menurut Warsono (2003:48) EVA adalah suatu estimasi laba ekonomis yang benar atas suatu bisnis selama tahun tertentu. EVA mempresentasikan pendapatan residual yang tersisa setelah biaya peluang (opportunity cost) dari semua modal yang ada. Brigham dan Houston (2006:69) EVA adalah suatu estimasi dari laba ekonomis yang sebenarnya dari bisnis untuk tahun yang bersangkutan. EVA mencerminkan laba residu yang tersisa setelah biaya dari seluruh modal, termasuk ekuitas. Berdasarkan definisi dapat dijelaskan bahwa EVA adalah alat ukur kinerja untuk menganalisis keuangan perusahaan untuk menilai profitabilitas yang realistis dari operasi perusahaan dengan menggunakan biaya
modal
dalam
perhitungannya.
Selain
itu
EVA
juga
mempertimbangkan dengan adil harapan para investor melalui perhitungan biaya modal tertimbang dari struktur modal perusahaan.
11
Hanafi (2004:54-55) Kelebihan yang diperoleh dari penerapan metode Economic Value Added (EVA) didalam perusahaan adalah: a. Alat ukur kinerja suatu perusahaan yang didasarkan pada penciptaan nilai perusahaan. b. Motivator perusahaan untuk lebih memperhatikan kebijaksanaan strukutur modalnya. c. Economic Value Added (EVA) dapat digunakan sebagai alat ukur mengidentifikasi proyek atau kegiatan yang memberikan pengembalian yang lebih tinggi daripada biaya modal. d. Para manajer akan berpikir bertindak seperti halnya pemegang saham yaitu memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat dimaksimumkan. EVA juga memiliki kelemahan, yaitu: a. EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun tertentu. b. Proses perhitungan EVA memerlukan estimasi atas biaya modal dan estimasi ini terutama untuk perusahaan yang belum Go Public sulit untuk dilakukan.
Secara konseptual EVA memang lebih unggul daripada pengukur tradisional lainnya. Perhitungan Economic Value Added (EVA) Sartono (2010:103) yaitu sebagai berikut : EVA = Laba Bersih Operasi Setelah Pajak (NOPAT) – Biaya Modal Setelah
12
Pajak Yang Diperlukan Untuk Mendukung Operasi = EBIT (1-Pajak Perusahaan) – (Modal Operasi) (Biaya Modal Setelah Pajak) Warsono (2003:48) rumus dasar dari EVA adalah sebagai berikut : EVA = Laba Operasi Setelah Pajak – Biaya dari Semua Modal = (Pendapatan Penjualan – Biaya-Biaya Operasi – Pajak) – (Pasokan Modal) – (Total Biaya Modal) 3. Pengertian dan Komponen Biaya Modal (Cost of Capital)
Warsono (2003:136) biaya modal adalah tingkat pengembalian yang disyaratkan dari semua sumber pembelanjaannya. Biaya modal sering dibedakan menjadi dua macam, yaitu biaya modal perusahaan (the firm’s cost of capital) dan biaya modal proyek khusus (spesifik project’s of capital). Biaya modal perusahaan adalah suatu tingkat diskonto (discount rate) yang dikembangkan untuk mendiskonto arus kas rata-rata perusahaan, oleh karena itu menghasilkan nilai perusahaan, sedangkan biaya modal proyek khusus akan muncul jika antara proyek dan perusahaan mempunyai profil risiko yang berbeda. Biaya modal dalam konsep ini pun merupakan biaya modal rata-rata tertimbang. Brigham
dan
Houston
(2006:467)
Biaya
modal
dalam
penggunaannya memiliki tiga tujuan, yaitu: (1) biaya modal adalah salah satu input terpen ting yang digunakan untuk menghitung nilai tambah ekonomi (EVA) suatu perusahaan atau devisi. (2) Manajer mengestimasikan dan menggunakan biaya modal ketika memutuskan apakah akan menyewa atau membeli aktiva, dan (3) biaya modal memiliki arti penting dalam
13
pengaturan jasa-jasa monopoli yang diberikan oleh perusahaan listrik, gas, dan telepon. Warsono (2003:138) Biaya modal yang digunakan, baik untuk perusahaan maupun proyek khusus, adalah biaya modal tertimbang. Biaya modal rata-rata tertimbang ini memiliki beberapa komponen, yaitu biaya utang (cost of debt), biaya saham preferen (cost of preferred stock), dan biaya ekuitas (cost of common equity). a. Biaya Utang (Cost of Debt) Biaya utang merupakan tingkat laba yang disyaratkan pada investasi dari kreditur yang berupa pinjaman perusahaan kepadanya. Meskipun pinjaman perusahaan itu bermacam-macam tetapi yang dimaksud disini adalah pinjaman jangka panjang yang menanggung biaya bunga. Formula yang digunakan untuk menghitung biaya utang adalah: 1) Biaya Utang Sebelum Pajak (before-tax cost of debet) Biaya utang sebelum pajak yaitu biaya yang dapat ditentukan dengan menghitung tingkat hasil internal (yield to maturity) atas arus kas surat-surat obligasi. Sutrisno (2009:151) Biaya utang sebelum pajak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: K =
Beban Bunga x 100% Utang jangka panjang
Keterangan : Kd = biaya utang sebelum pajak
14
2) Biaya Utang Setelah Pajak (after-tax cost of debet) Biaya hutang setelah pajak yaitu biaya yang berkait dengan utang baru, yang telah memperhitungkan dampak penghematan pajak akibat adanya beban bunga. Warsono (2003:139) Biaya utang setelah pajak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: K = K (1 − t) =
Pajak Penghasilan x 100% Laba sebelum pajak penghasilan
Keterangan : Ki = biaya utang setelah pajak Kd = biaya utang sebelum pajak t = tarif pajak efektif b. Biaya Saham Preferen Biaya saham preferen menurut Brigham dan Houston (2006:471) adalah tingkat pengembalian yang diminta oleh investor atas saham preferen perusahaan. Brigham dan Houston (2006:471) Biaya saham preferen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: k = Keterangan : kp
= biaya saham
Dp
= deviden saham preferen
Pp
= harga saham preferen
c. Biaya Ekuitas (Cost of Equity)
D P
15
Warsono (2003:144) Dalam membelanjai suatu proyek, disamping dapat diperoleh dengan penerbitan sekuritas utang, perusahaan dapat menggunakan dana yang berasal dari pemegang saham biasa. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan dana dari laba ditahan dan menerbitkan saham biasa baru. Penggunaan dana yang berasal dari laba ditahan sering dikenal dengan pembelanjan ekuitas biasa internal, sedangkan yang berasal dari penerbitan saham biasa baru dikenal dengan pembelanjaan ekuitas biasa eksternal. Penggunaan dana dari kedua sumber diatas akan membawa konsekuensi biaya modal. Biaya ekuitas dapat diartikan sebagai tingkat pengembalian minimum yang dihasilkan oleh perusahaan atas dana yang diinvestasikan dalam suatu proyek yang bersumber dari modal sendiri, agar harga saham perusahaan di pasar saham tidak berubah, sumber modal sendiri suatu perusahaan bisa berasal dari dua sumber utama, yaitu: 1) Biaya Laba Ditahan Laba
ditahan
adalah
bagian
dari
laba
tahunan
yang
diinvestasikan kembali dalam usaha selain dibayarkan dalam kas sebagai deviden, dan bukan merupakan akumulasi surplus suatu neraca. Biaya laba ditahan dapat ditentukan dengan tiga model, yaitu: a) Model Pertumbuhan Deviden (Devidend-Growth Model)
Warsono (2003:147) Pada model pertumbuhan deviden atau ada yang menyebutnya dengan model arus kas diskonto
16
(discount cash flow/DCF), besarnya biaya laba ditahan ditentukan dengan mengacu pada model penilaian saham biasa. dihitung dengan rumus sebagai berikut: k =
+g
Keterangan:
b)
Ks
= tingkat pengembalian yang disyaratkan
D1
= deviden yang diharapkan pada tahun pertama
P0
= harga pasar saham biasa perusahaan
g
= tingkat pertumbuhan deviden tahunan Model Penetapan Harga Aset-Modal (Capital-Asset
Pricing
Model/CAPM) Pada model CAPM, besarnya biaya laba ditahan didasarkan besarnya tingkat
pengembalian yang disayaratkan oleh para
pemegang saham biasa yang mengaitkannya dengan tingkat pengembalian bebas resiko dan premi resiko atas sahamnya. Dalam model ini, besarnya premi resiko dicari dengan mengaitkannya dengan risiko sistematis. Warsono (2003:149) biaya laba ditahan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: k = R + β (R − R ) Keterangan: ks
= biaya laba ditahan
Rf
= tingkat pengembalian bebas risiko
Rm
= beta, pengukur risiko sistematis saham
17
= tingkat pengembalian saham c) Pendekatan Premi Resiko (Risk-Premium Approach) Pada model ini, besarnya tingkat pengembalian yang disyaratkan oleh
pemegang saham biasa lebih tinggi daripada
tingkat pengembalian yang disyaratkan oleh pemegang obligasi (utang). Biaya laba ditahan menurut model pendekatan premi risiko. Warsono (2003:150)
dihitung dengan rumus sebagai
berikut: ks =ki + RP Keterangan: ks
= biaya laba ditahan
ki
= biaya utang setelah pajak
RP
= premi risiko
2) Biaya Saham Baru Biaya saham baru ditempuh jika sumber modal dari laba ditahan sudah tidak mencukupi. Warsono (2003:151) Biaya saham baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: ke
= biaya ekuitas eksternal
D1
= deviden yang diharapkan pada tahun pertama
P0
= harga pasar saham biasa
F
= tingkat biaya pengembangan
18
4. Struktur Modal Warsono (2003:236) Struktur modal adalah merupakan pertimbangan jumlah utang jangka pendek yang bersifat permanen, utang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa. Sementara itu struktur keuangan adalah pertimbangan antara total utang dengan modal sendiri. Struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal antara lain: a. Laju pertumbuhan dan kemantapan penjualan dimasa yang akan dating. Semakin tinggi pertumbuhan dan semakin stabil penjualan dimasa yang akan datang, maka cenderung leverage semakin besar. b. Struktur kompotitif dalam industri. Semakin kompotitif persaingan dalam industrinya,
semakin
kecil
kecenderungan
perusahaan
untuk
menggunakan utang jangka panjang dalam struktur modalnya. c. Susunan aset dari perusahaan sendiri. Perusahaan yang semakin besar asetnya berupa aset tetap (fixed asset) biasanya lebih banyak menggunakan modal sendiri dalam struktur modalnya. d.
Resiko yang dihadapi perusahaan. Semakin besar resiko bisnis yang dihadapi perusahaan, semakin kecil kecenderungan untuk melakukan leverage.
e. Status kendali dari pemilik dan manajemen. Dengan bertambahnya saham biasanya yang beredar, kendali para pemilik (sebelumnya) akan berkurang. Untuk mengantisipasi hal ini, biasanya untuk menambah modal menggunakan leverage.
19
f. Sikap kreditur modal terhadap industri dan perusahaan. Semakin baik persepsi para kreditur terhadap industri dan perusahaan, semakin mudah perusahaan untuk mendapat utang. g. Posisi pajak perusahaan. Alasan utama penggunaan utang adalah bahwa bunga mengurangi pengeluaran pajak, sehingga semakin besar tarif pajak yang diberlakukan terhadap perusahaan, maka biaya utang efektif menjadi semakin rendah. h. Fleksibilitas keuangan atau kemampuan untuk menerbitkan modal dalam kondisi tidak baik. i. Konservatisme atau agresivisme manajeria. Beberapa manajer perusahaan yang agresif cenderung untuk menggunakan utang dalam usaha untuk mendorong laba. Faktor ini tidak berpengaruh terhadap struktur modal optimal aatu pemaksimuman nilai, tetapi hal ini dapat berpengaruh manajer dalam menentukan struktur modal sasaran. 5.Weighted
Average
Cost
of
Capital
(Biaya
Modal
Rata-rata
Tertimbang/WACC) Warsono (2003:152) Dasar pemikiran penggunaan biaya modal ratarata tertimbang yaitu masing-masing sumber pembelanjaan mempunyai biaya modal sendiri-sendiri, dan besarnya dana dari masing-masing sumber pembelanjaan tidak sama. Menghitung biaya modal secara keseluruhan, maka harus mempertimbangkan bobot/ proporsi masingmasing komponen modal sesuai struktur modalnya. Menerapkan biaya ini, semua
tingkat
pengembalian
yang
disyaratkan
oleh
sumber
20
pembelanjaannya dapat diakomodasikan. Brigham dan Houston (2006:484) biaya rata-rata tertimbang dihitung dengan rumus sebagai berikut: WACC=Wd Kd (1–T)+Wp Kp +Ws Ks Keterangan: Wd
= bobot utang
Kd
= biaya modal utang
Wp
= bobot saham preferen
Kp
= biaya saham preferen
Ws
= bobot ekuitas biasa
Ks
= biaya ekuitas Warsono (2003:153) biaya rata-rata tertimbang dihitung dengan
rumus sebagai berikut: ka = ki.Wd + kps.Wps + Ks.Ws + ke.We Keterangan: ka
= Biaya modal rata-rata tertimbang
kx
= Komponen biaya modal
Wx
= Bobot/penimbang komponen biaya modal ke-x
x
= 1, 2,….., j
Wd
= Bobot utang
Wp
= Bobot saham preferen
Ws
= Bobot laba ditahan
We
= Bobot emisi saham baru
21
6. Laba Operasi Setelah Pajak (Net Operating Profit After Tax (NOPAT)) NOPAT dimunculkan untuk dapat melakukan evaluasi kinerja manajer secara lebih baik, NOPAT yang merupakan sejumlah laba perusahaan yang akan dihasilkan jika perusahaan tersebut tidak memiliki utang dan tidak memiliki aset finansial. Sartono (2010:100) NOPAT dapat didefinisikan sebagai: NOPAT = EBIT (1 – tarif pajak) Warsono (2003:48) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Laba Operasi Setelah Pajak = (Pendapatan Penjualan – Biaya-Biaya Operasi – Pajak) Young dan O’byrne (2001:49) untuk menghitung NOPAT dengan rumus sebagai berikut : Pendapatan operasi + Pendapatan Bunga + Pendapatan ekuitas (atau – Kerugian ekuitas) + Pendapatan investasi lainnya - Pajak penghasilan - Pembebasan pajak terhadap biaya bunga = Laba operasi bersih setelah pajak (NOPAT) 7. Tolok Ukur Economic Value Added Warsono (2003:48) hasil dari EVA ≥ 0, maka perusahaan dinyatakan sehat dan perusahaan telah memberi Economic Value Added ke dalam perusahaan karena laba yang tersedia bisa memenuhi harapan-harapan penyandang dana (terutama investor), dan jika EVA ≤ 0, maka perusahaan dinyatakan tidak sehat dan perusahaan tidak memberikan Economic Value Added ke dalam perusahaan karena laba yang tersedia tidak bisa memenuhi
22
harapan-harapan penyandang dana (terutama investor).
C. Kerangka Pikir Peran kerangka pikir sangat penting dalam suatu penelitian karena merupakan landasan pemikiran penelitian yang pada umumnya berdasarkan konsep-konsep yang telah diuraikan. Gambar 1 menjelaskan bahwa untuk menganalisis kinerja keuangan perusahaan, maka penelitian ini menggunakan data laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca dan laporan laba rugi tahun 2010-2012. Pada gambar 1 perusahaan Telekomunikasi membuat laporan keuangan, laporan keuangan tersebut dipublikasikan. Laporan keuangan tersebut di ukur kinerjanya menggunakan alat ukur kinerja keuangan yaitu Economic Value Added (EVA). Pengukuran kinerja keuangan tersebut akan memberikan hasil yaitu pada sisi kiri, akan memberikan Economic Value Added (EVA ≥ 0) artinya maka perusahaan dinyatakan sehat dan perusahaan telah memberi Economic Value Added ke dalam perusahaan karena laba yang tersedia bisa memenuhi harapan investor. Pada sisi kanan, tidak memberikan Economic Value Added (EVA ≤ 0) artinya maka perusahaan dinyatakan tidak sehat dan perusahaan tidak memberikan Economic Value Added ke dalam perusahaan karena laba yang tersedia tidak bisa memenuhi harapan investor.
23
Gambar 1 Kerangka Pikir Perusahaan Telomunikasi
Laporan Keuangan
Alat Ukur Kinerja Perusahaan Economic Value Added
Kinerja Keuangan
Memberikan Economic Value Added
Tidak memberikan Economic Value Added
D. Hipotesis 1. Perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia memberikan Economic Value Added. 2. Perusahaan Telekomunikasi Indonesia Tbk, merupakan perusahaan yang memberikan Economic Value Added paling besar diantara perusahaaan – perusahaan telekomunikasi yang lain.