BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pelaksanaan Program Pelaksanaan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau
kelompok-kelompok pemerintahan atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan.Berhasil tidaknya suatu pelaksanaan tergantung dari unsur pelaksananya.Pelaksana penting artinya karena pelaksanaan suatu program, baik itu organisasi ataupun perseorangan bertanggung jawab dalam pengelola maupun pengawasan dalam pelaksanaan. Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Jika ditinjau dari aspek tingkat pelaksanaannya, secara umum pelaksanaan terhadap program dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu: 1. Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menetapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, didalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan (Siagian dan Suriadi, 2012:117-118).
2.2
Anak Secara biologis, anak merupakan hasil dari pertemuan antara sel telur seorang perempuan
yang disebut ovum dengan benih dari seorang laki-laki yang disebut spermatozoa, yang kemudian menyatu menjadi zigot, lalu tumbuh menjadi janin dan pada akhirnya terlahir ke dunia sebagai seorang manusia (bayi) yang utuh.Tidaklah mungkin seorang anak terlahir ke dunia tanpa ada peran dari seorang laki-laki yang telah menanamkan benih keturunan di rahim seorang perempuan, sehingga secara alami anak terlahir atas perantaraan ayah dan ibu kandungnya. Namun tidak demikian dalam pandangan hukum, bisa saja terjadi seorang anak yang lahir tanpa keberadaan ayah secara yuridis, bahkan tanpa kedua orangtua sama sekali. Idealnya, seorang anak yang dilahirkan ke dunia secara otomatis akan mendapatkan seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya, baik secara biologis maupun hukum (yuridis), karena dengan memiliki orangtua yang lengkap akan mendukung kesempurnaan bagi si anak dalam menjalani masa pertumbuhannya. Anak merupakan insan pribadi (persoon) yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya, dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orangtua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak ketika menyongsong fase kedewasaannya kelak. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang akan datang, sehingga tidak berlebihan jika Negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak dari perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depannya (Witanto, 2012:4-6). Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) dan belum pernah menikah (UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).Anak merupakan
generasi penerus cita-cita bangsa yang dipersiapkan untuk dapat menggantikan para pendahulunya.Oleh sebab itu, agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya.Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Dari beberapa terminologi di atas pada prinsipnya mengandung beberapa persamaan persepsi bahwa anak adalah pribadi yang memiliki peranan penting dan strategis dalam memikul tanggung jawab masa depan bangsa. Anak mempunyai ciri dalam dimensi kehidupan yang khusus sehingga tidak bisa dilepaskan dari peranan orangtua dalam memelihara dan mendidiknya hingga ia mencapai masa kedewasaannya (Kamil dan Fauzan, 2008:8). Undang-undang memberikan beberapa pandangan tentang terminologi anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut: a. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. b. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak: Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh generasi sebelumnya. c. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. d. PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak: Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. 2.3 Kategori Masalah Anak Dalam Konvensi Hak Anak telah ditegaskan sejumlah hak-hak anak yang kemudian diterapkan ke dalam hukum nasional mengenai hukum anak, baik di bidang hukum perdata, hukum pidana dan hukum di bidang kesehatan, kesejahteraan anak, jaminan sosial, ketenagakerjaan, pendidikan dan lain-lain. Masalah yang menyangkut hak-hak anak bukan hanya bagaimana mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam hukum nasional Negara peserta Konvensi
Hak Anak, akan tetapi yang terpenting adalah mengimplementasikan hak-hak anak dan hukum anak dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. Hak-hak anak sebagaimana dituangkan dalam Konvensi Hak Anak bukan pula sekedar hak-hak anak dalam keadaan yang sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi, akan tetapi juga memasuki wilayah kesejahteraan anak yang lebih luas baik secara sosial, ekonomi sosial dan budaya bahkan politik. Hak anak untuk terjamin kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud perluasan hak-hak anak yang lebih maju (progressive rights).Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian, masalah anak-anak yang paling mendesak dilakukan langkah intervensi dan intervensi itupun dilakukan secara khusus adalah terhadap kategori anak-anak yang berada dalam situasi sulit. Berdasarkan bentuk dan bobot pelanggaran hak-hak anak yang berada dalam situasi sulit itu dapat dikualifikasi sebagai berikut: A. Anak-anak yang berada dalam keadaan diskriminatif, yakni: 1) Larangan perlakukan diskriminasi anak; 2) Nama dan kewarganegaraan anak; 3) Anak cacat (disabled); 4) Anak suku terasing (children of indegeneous people); B. Anak-anak dalam situasi eksploitasi, yakni: 1) Anak yang terpisah dengan keluarganya; 2) Anak korban penyelundupan dan terdampar di luar negeri; 3) Anak yang terganggu privasinya; 4) Anak korban kekerasan dan penelantaran; 5) Anak tanpa keluarga; 6) Anak yang diadopsi;
7) Anak yang ditempatkan pada suatu lokasi yang perlu ditinjau secara berkala; 8) Buruh anak; 9) Anak korban eksploitasi seksual; penculikan anak; 10) Anak korban perdagangan anak, penyelundupan anak dan penculikan anak. 11) Anak yang dieksploitasi dalam lain-lain bentuk; 12) Anak korban penyiksaan dan perampasan kebebasan; C. Anak-anak dalam situasi darurat dan kritis, yakni: 1) Anak-anak yang perlu dipertemukan kembali dengan keluarganya; 2) Pengungsi anak-anak; 3) Anak yang terlibat dalm konflik bersenjata dan serdadu anak; 4) Anak yang ditempatkan yang harus ditinjau secara berkala; Sementara itu dalam pandangan lain menyebutkan bahwa masalah anak-anak dapat dikualifikasi berdasarkan masalah yang dialami anak-anak sendiri, dikualifikasi sebagai berikut: 1) Anak terlantar; 2) Anak yang tidak mampu; 3) Anak cacat; 4) Anak yang terpaksa bekerja (pekerja anak); 5) Anak yang melakukan pelanggaran/kenakalan anak; 6) Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya; 7) Kewarganegaraan; 8) Perwalian; 9) Pengangkatan anak; 10) Perlindungan terhadap pemerkosaan, kejahatan dan penganiayaan.
11) Perlindungan terhadap penculikan; 12) Bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan; 13) Resosialisasi eks narapidana anak; 14) Pewarisan; 15) Perlindungan anak yang orangtuanya bercerai; 16) Anak luar kawin; 17) Alimentasi; 18) Penyalahgunaan seksual; 19) Anak putus sekolah (Joni dan Zulchaina, 1999:109-111). 2.4 Perlindungan Anak 2.4.1
Pengertian Perlindungan Anak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
pasal 1 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Irma Setyowati Soemitro, SH menyatakan bahwa perlindungan anak dibedakan dalam 2 pengertian, yaitu: 1. Perlindungan yang bersifat Yuridis, meliputi perlindungan dalam: a) Bidang Hukum Publik (Pidana) b) Bidang Hukum Perdataan (Perdata)
2. Perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan dalam: a) Bidang Sosial b) Bidang Kesehatan c) Bidang Pendidikan Perlindungan anak yang dilaksanakan di Indonesia ini bertujuan memberikan peranan penting bagi yang mendapatkan perlindungan dalam memperoleh suatu kesejahteraan. Adapun menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 3 menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 2.4.2
Prinsip Perlindungan Anak Menurut Dr. Irwanto (1999), terdapat beberapa prinsip perlindungan anak dalam konteks
perlindungan anak sebagai implementasi hak-hak anak, yaitu: 1) Anak tidak dapat berjuang sendiri Anak sebagai generasi penerus dan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga sehingga hak-haknya harus dilindungi.Ironisnya bahwa ternyata anak tidak dapat melindungi hak-haknya secara sendirian begitu saja.Banyak pihak yang terlalu berkuasa yang harus dia lawan sendiri. Karena Negara dan masyarakat berkepentingan akan mutu warganya, maka dengan demikian Negara harus ikut campur dalam urusan perlindungan hak-hak anak.
2) Kepentingan terbaik anak (the Best Interest of the Child) Agar perlindungan anak terselenggara dengan baik maka perlu dianut sebuah prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip the Best Interest of the Child digunakan karena dalam banyak hal anak anak adalah “korban”, termasuk korban ketidaktahuan (ignorance) karena usia perkembangannya. Selain itu, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan tumbuh kembang anak. Jika prinsip ini diabaikan, maka masyarakat akan menciptakan monster-monster yang akan lebih buruk di kemudian hari. 3) Ancangan daur kehidupan (Life-circle Approach) Perlindungan terhadap anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus-menerus.Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik bagi ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer yang memberikannya pelayanan imunisasi dan lain-lain sehingga anak terbebas dari kemungkinan cacar dan penyakit. Masa-masa prasekolah dan sekolah diperlukan keluarga, lembaga pendidikan dan lembaga sosial, keagamaan yang bermutu.Inilah periode kritis dalam pembentukan kepribadian seseorang.Anak harus memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri.Pada saat anak berumur 15-18 tahun, dia memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa. Periode pendek ini memang penuh resiko karena secara kluktural seseorang akan dianggap dewasa dan secara fisik memang
telah cukup sempurna untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Pengetahuan yang benar tentang reproduksi dan perlindungan dari berbagai diskriminasi dan perlakuan salah sehingga dapat memasuki perannya sebagai orang dewasa yang berbudi dan bertanggung jawab.Perlindungan hak-hak mendasar bagi para dewasa juga diperlukan agar generasi penerus mereka tetap bermutu. Orangtua yang terdidik akan mementingkan sekolah anak-anak mereka. Orangtua yang sehat jasmani rohaninya akan selalu menjaga tingkah laku kebutuhan fisik maupun emosional anak-anak mereka. Demikian seterusnya. 4) Lintas sektoral Seperti diuraikan di atas, nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran yang terjadi, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya tidak dapat ditangani sektor, terlebih keluarga atu anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan (Aziz, 1998:133). 2.4.3
Perwujudan Perlindungan Anak Perwujudan dari perlindungan anak, yakni: 1. Perlindungan anak langsung, yaitu: a) Pengadaan suatu usaha pencegahan yang melindungi dan menyelamatkan anak dari berbagai macam ancaman yang memungkinkan anak menjadi korban mental, fisik dan sosial.
b) Pengadaan pengawasan positif terhadap anak agar yang bersangkutan tumbuh dan berkembang dengan baik (intern dan ekstern). c) Penjagaan anak terhadap gangguan dari dalam dan dari luar dirinya. d) Pembinaan anak mental, fisik dan sosial. e) Sosialisasi terhadap lingkungannya. f) Penyaluran dinamika anak. g) Penyadaran anak akan hak-haknya serta pengembangannya. h) Penyadaran hak akan kewajibannya serta pengembangannya. i) Pembinaan anak yang melakukan sesuatu positif dibawah pengawasan. j) Pengasuhan anak. k) Pendewasaan anak yang dapat bertanggung jawab. l) Penanggulangan permasalahan anak secara rasional positif dapat dipertanggung jawabkan dan bermanfaat. m) Memperlakukan anak sebagai perwujudan pengembangan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan anak. n) Pengganjaran (Pemberian Imbalan) yang edukatif konstruktif terhadap anak. o) Mengusahakan pendidikan kepribadian agar anak dapat secara mandiri bertanggung jawab menghadapi berbagai ancaman tantangan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. p) Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada anak dalam rangka membekali anak dengan kemampuan menghadapi hidup sepanjang zaman. q) Membina
anak
kemampuannya.
mengerti,
menghayati
dan
menerapkan
hukum
sesuai
2. Perlindungan anak tidak langsung, yaitu: a) Orangtua mereka yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar dan dari dalam dirinya. b) Mereka yang bertugas mengasuh, membina dan mendampingi anak dengan berbagai cara. c) Mereka yang terlibat mencegah anak yang kelaparan, mengusahakan kesehatan dan sebagainya dengan berbagai cara. d) Mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak. e) Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan sistem peradilan. Kepada mereka harus diberikan
penyuluhan,
bimbingan,
pendampingan
dan
mengusahakan
perlindungan anak di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan (mencari nafkah). 2.5
Hak-hak Anak Hak-hak anak adalah merupakan alat untuk melindungi anak dari kekerasan dan
penyalahgunaan.Hak anak dapat menciptakan saling menghargai pada setiap manusia. Penghargaan terhadap hak anak hanya bisa dicapai apabila semua orang, termasuk anak-anak sendiri, mengakui bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, dan kemudian menerapkannya dalam sikap dan perilaku yang menghormati, mengikutsertakan dan menerima orang lain. Tujuan Hak-hak anak adalah untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk mencapai potensi mereka secara penuh, serta memiliki akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan, tumbuh di lingkungan yang sesuai, mendapat informasi tentang hak-hak mereka dan berpartisipasi secara aktif di masyarakat.Sedangkan Konvensi Hak-Hak Anak adalah sebuah perjanjian internasional yang mengakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
dari anak-anak.Perjanjian ini diadopsi oleh perserikatan bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989. Negara Indonesia adalah salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dan karena itu mempunyai komitmen menurut hukum nasional untuk menghormati, melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak-hak anak di Indonesia.Agar terwujud, maka pemerintah dan seluruh dunia harus dapat menghormati dan menjunjung tinggi Hak-hak anak, melalui undangundang yang mereka kembangkan di tingkat nasional.Namun demikian, agar anak-anak dapat menikmati hak-hak mereka, secara penuh konvensi itu harus dihormati dan dipromosikan oleh semua anggota masyarakat mulai dari orangtua untuk mendidik kepada anak-anak sendiri. Prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak: 1. Non-diskriminasi dan kesempatan yang sama. Semua anak memiliki hak yang sama. Konvensi ini berlaku untuk semua anak, apapun latar belakang etnis, agama, bahasa, budaya atau jenis kelamin. Tidak perduli darimana mereka dating atau dimana mereka tinggal, apa pekerjaan orangtua mereka, apakah mereka cacat, atau mereka kaya atau miskin. Semua anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. 2. Kepentingan terbaik dari anak. Kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama ketika membuat keputusan yang mungkin berdampak pada anak.Ketika orang dewasa membuat keputusan, mereka harus berfikir bagaimana keputusan mereka itu berdampak pada anak-anak.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan. Anak mempunyai hak untuk hidup.Anak harus memperoleh perawatan yang diperlukan untuk menjamin kesehatan fisik, mental, dan emosi mereka serta juga perkembangan intelektual, sosial dan kultural. 4. Partisipasi anak. Anak mempunyai hak untuk mengekspresikan diri dan didengar.Mereka harus memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat tentang keputusan yang berdampak pada mereka dan pandangan mereka harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan ini, usia anak, tingkat kematangan, dan kepentingan mereka yang terbaik harus selalu diingat bila mempertimbangkan idea atau gagasan anak (Joni dan Zulchaina, 1999:33-46). Secara internasional, diakui tentang adanya hak anak sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi dengan KEPRES No.36/1990, dimana dinyatakan anak-anak seperti juga halnya dengan orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia.Akan tetapi karena kebutuhan-kebutuhan khusus dan kerawanannya, maka hak-hak anak perlu diperlakukan dan diperhatikan secara khusus.Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindingi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara.
Adapun Hak Anak menurut KEPRES tersebut adalah: 1. Hak untuk hidup yang layak. Setiap anak memiliki hak untuk kehidupan yang layak dan terpenuhinya kebutuhankebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat tinggal dan perawatan kesehatan. 2. Hak untuk berkembang. Setiap anak berhak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan.Mereka berhak mendapatkan pendidikan, bermain, bebas mengeluarkan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinannya dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya. 3. Hak untuk dilindungi. Setiap anak berhak untuk dilindungi dari segala bentuk tindakan kekuasaan, ketidakpedulian dan eksploitasi. 4. Hak untuk berperan serta. Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat dan di negaranya termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan. 5. Hak untuk memperoleh pendidikan. Setiap anak berhak menerima pendidikan tingkat dasar, pendidikan tingkat lanjutan harus dianjurkan dan dimotivasi agar dapat diikuti oleh sebanyak mungkin anak.
2.6
Kota Layak Anak
2.6.1
Pengertian Kota Layak Anak Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian
Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2005 melalui kebijakan KLA.Karena alasan untuk untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam defenisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak. KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Pentingnya mewujudkan KLA ialah jumlah anak sekitar sepertiga dari jumlah penduduk, anak adalah modal investasi dan sumber daya manusia di masa yang akan datang, sekaligus sebagai generasi penerus bangsa, anak harus berkualitas agar tidak menjadi beban pembangunan, koordinasi dan kemitraan antara pemangku kepentingan terkait, pemenuhan hak-hak anak harus diperkuat agar terintegrasi, holistik akan berkelanjutan. KLA adalah kota yang di dalamnya memberikan perlindungan terhadap anak dan hakhaknya dalam sebuah proses pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat.
Tujuan KLA adalah untuk membangun insiatif pemerintah kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi dan intervensi pembangunan dalam bentuk: kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hakhak anak, pada suatu wilayah kabupaten/kota. 2.6.2
Landasan Hukum Kota Layak Anak 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja), 6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak), 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-undang Pemerintahan Daerah, 12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, 13. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, 14. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, 15. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 16. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, 17. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, 18. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, 19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, 20. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 21. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, 22. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, 23. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
24. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), 25. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1998 tentang Usaha Kesejahteraan bagi Anak yang Mempunyai Masalah, 26. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten / Kota, 27. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, 28. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2011-2014, 29. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. 2.6.3
Klaster Hak Anak Dalam Kerangka Konvensi Hak Anak Pengembangan Kebijakan KLA merujuk kepada KHA yang berisi hak anak yang
dikelompokkan ke dalam 5 (lima) klaster hak anak yang terdiri dari : 1. Hak Sipil dan Kebebasan a. Hak atas identitas Memastikan bahwa seluruh anak tercatat dan memiliki kutipan akta kelahirannya sesegara mungkin sebagai pemenuhan tanggung jawab Negara atas nama dan kewarganegaraan anak (termasuk tanggal kelahiran dan silsilahnya), menjamin
penyelenggaraan pembuatan akta kelahiran secara gratis, dan melakukan pendekatan layanan hingga tingkat desa / kelurahan. b. Hak perlindungan identitas Memastikan sistem untuk pencegahan berbagai tindak kejahatan terhadap anak, seperti perdagangan orang, adopsi illegal, manipulasi usia, manipulasi nama, atau penggelapan asal-usul serta pemulihan identitas anak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebelum terjadinya kejahatan terhadap anak tersebut, dan memberikan jaminan hak prioritas anak untuk dibesarkan oleh orang tuanya sendiri. c. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat Jaminan atas hak anak untuk berpendapat dan penyediaan ruang bagi anak untuk dapat mengeluarkan pendapat atau berekspresi secara merdeka sesuai keinginannya. d. Hak berpikir, berhati nurani, dan beragama Jaminan bahwa anak diberikan ruang untuk menjalankan keyakinannya secara damai dan mengakui hak orang tua dalam memberikan pembinaan. e. Hak berorganisasi dan berkumpul secara damai Jaminan bahwa anak bias berkumpul secara damai dan membentuk organisasi yang sesuai bagi mereka. f. Hak atas perlindungan kehidupan pribadi Jaminan bahwa seorang anak tidak diganggu kehidupan pribadinya, atau diekspos ke publik tanpa ijin dari anak tersebut atau yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.
g. Hak akses informasi yang layak Jaminan bahwa penyedia informasi mematuhi ketentuan tentang kriteria kelayakan informasi bagi anak, ketersediaan lembaga perijinan dan pengawasan, dan penyediaan fasilitas dan sarana dalam jumlah memadai yang memungkinkan anak mengakses layanan informasi secara gratis. h. Hak bebas dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia Jaminan bahwa setiap anak diperlakukan secara manusiawi tanpa adanya kekerasan sedikitpun, termasuk ketika anak berhadapan dengan hukum. 2. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif a. Bimbingan dan tanggungjawab ornag tua Orang tua sebagai pengasuh utama anak, oleh karena itu harus dilakukan penguatan kapasitas orang tua untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak, meliputi penyediaan fasilitas, informasi dan pelatihan yang memberikan bimbingan dan konsultasi bagi orang tua dalam pemenuhan hak-hak anak, contoh : Bina Keluarga Balita (BKB). b. Anak yang terpisah dari orang tua Pada prinsipnya anak tidak boleh dipisahkan dari orang tua kecuali pemisahan tersebut untuk kepentingan terbaik bagi anak. c. Reunifikasi Pertemuan kembali anak dengan orang tua setelah terpisahkan, misalnya terpisahkan karena bencana alam, konflik bersenjata, atau orang tua berada di luar negeri.
d. Pemindahan anak secara illegal Memastikan bahwa anak tidak dipindahkan secara illegal dari daerahnya ke luar daerah atau ke luar negeri, contoh : larangan TKI anak. e. Dukungan kesejahteraan bagi anak Memastikan anak tetap dalam kondisi sejahtera meskipun orang tuanya tidak mampu, contoh : apabila ada orang tua yang tidak mampu memberikan perawatan kepada anaknya secara baik maka menjadi kewajiban komunitas, desa / kelurahan dan pemerintah daerah untuk memenuhi kesejahteraan anak. f. Anak yang terpaksa dipisahkan dari lingkungan keluarga Memastikan anak-anak yang diasingkan dari lingkungan keluarga mereka mendapatkan pengasuhan alternatif atas tanggungan Negara, contoh : anak yang kedua orangtuanya meninggal dunia, atau anak yang kedua orang tuanya menderita penyakit yang tidak memungkinkan memberikan pengasuhan kepada anak. g. Pengangkatan / adopsi anak Memastikan pengangkatan / adopsi anak dijalankan sesuai dengan peraturan, dipantau, dan dievaluasi tumbuh kembangnya agar kepentingan terbaik anak tetap terpenuhi. h. Tinjauan penempatan secara berkala Memastikan anak-anak yang berada di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) terpenuhi hak tumbuh kembangnya dan mendapatkan perlindungan. i. Kekerasan dan penelantaran Memastikan anak tidak mendapatkan perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
3. Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan a. Anak penyandang disabilitas Memastikan anak cacat mendapatkan akses layanan public yang menjamin kesehatan dan kesejahteraannya. b. Kesehatan dan layanan kesehatan Memastikan setiap anak mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan terintegrasi. c. Jaminan sosial layanan dan fasilitasi kesehatan Memastikan setiap anak mendapatkan akses jaminan sosial dan fasilitasi kesehatan, contoh : jamkesmas dan jamkesda. d. Standar hidup Memastikan anak mencapai standar tertinggi kehidupan dalam hal fisik, mental, spiritual, moral dan sosial, contoh : menurunkan kematian anak, mempertinggi usia harapan hidup, standar gizi, stnadar kesehatan, standar pendidikan, dan standar lingkungan. 4. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya a. Pendidikan Memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas tanpa diskriminasi, contoh : mendorong sekolah inklusi, memperluas pendidikan kejuruan, nonformal dan informal, mendorong terciptanya sekolah yang ramah anak dengan mengaplikasikan konsep disiplin tanpa kekerasan dan rute aman dan selamat ke dan dari sekolah.
b. Tujuan pendidikan Memastikan bahwa lembaga pendidikan bertujuan untuk mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan anak serta mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang toleran, saling menghormati, dan bekerjasama untuk kemajuan dunia dalam semangat perdamaian. c. Kegiatan liburan dan kegiatan seni dan budaya Memastikan bahwa anak memiliki waktu untuk beristirahat dan dapat memanfaatkan waktu luang untuk melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya, contoh : penyediaan fasilitas bermain dan rekreasi serta sarana kretifitas anak. 5. Perlindungan Khusus a. Anak dalam situasi darurat Anak yang mengalami situasi darurat karena kehilangan orang tua / pengasuh / tempat tinggal dan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar (sekolah, air bersih, bahan makanan, sandang, kesehatan dan sebagainya) yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasarnya. b. Pengungsi anak Memastikan bahwa setiap anak yang harus berpindah dari tempat asalnya ke tempat yang lain, harus mendapatkan jaminan pemenuhan hak tumbuh kembang dan perlindungan secara optimal.
c. Situasi konflik bersenjata Memastikan bahwa setiap anak yang berada di daerah konflik tidak direkrut atau dilibatkan dalam peranan apapun, contoh : menjadi tameng hidup, kurir, mata-mata, pembawa bekal, pekerja dapur, pelayan barak, penyandang senjata atau tentara anak. d. Anak yang berhadapan dengan hukum Memastikan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlindungan dan akses atas tumbuh kembangnya secara wajar, dan mematikan diterapkannya keadilan restoratif dan prioritas diversi bagi anak, sebagai bagian dari kerangka pemikiran bahwa pada dasarnya anak sebagai pelaku pun adalah korban dari sistem sosial yang lebih besar. e. Anak dalam situasi eksploitasi Yang dimaksud dengan situasi eksploitasi adalah segala kondisi yang menyebabkan anak tersebut berada dalam keadaan terancam, tertekan, terdiskriminasi dan terhambat aksesnya untuk bisa tumbuh kembang secara optimal.Praktek yang umum diketahui misalnya dijadikan pekerja seksual, joki narkotika, pekerja anak, pekerja rumah tangga, anak dalam lapangan pekerjaan terburuk bagi anak, perdagangan dan penculikan anak, atau pengambilan organ tubuh.Untuk itu, perlu memastikan adanya program pencegahan dan pengawasan agar anak-anak tidak berada dalam situasi eksploitasi dan memastikan bahwa pelakunya harus ditindak.Selain itu, anak-anak korban eksploitasi harus ditangani secara optimal mulai dari pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial hingga kepada pemulangan dan reintegrasi.
f. Anak yang masuk dalam kelompok minoritas dan terisolasi Memastikan bahwa anak-anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dijamin haknya untuk menikmati budaya, bahasa dan kepercayaannya. Selanjutnya, prinsip yang harus selalu menyertai pelaksanaan 5 (lima) klaster hak anak tersebut adalah : a. Non-Diskriminasi Yaitu prinsip pemenuhan hak anak yang tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya. b. Kepentingan Terbaik bagi Anak Yaitu menjadikan hal yang paling baik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap kebijakan, program dan kegiatan. c. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan Anak Yaitu menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak semaksimal mungkin. d. Penghargaan terhadap Pandangan Anak Yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan
pendapatnya,
diberikan
kesempatan
untuk
mengekspresikan
pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.
2.6.4
Pendekatan Pengembangan KLA Pengembangan KLA dapat dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan bottom-up Pengembangan KLA dapat dimulai dari insiatif individu/keluarga untuk kemudian dikembangkan di tingkat RT / RW yang layak bagi anak.Insiatif masyarakat dalam sebuah wilayah RT / RW tersebut dapat dikembangkan ke RT / RW lainnya yang akhirnya menjadi sebuah gerakan masyarakat sebuah desa / kelurahan untuk mewujudkan “Desa / Kelurahan Layak Anak”.Dari gerakan-gerakan masyarakat desa / kelurahan inilah dapat medorong terwujudnya sebuah “Kecamatan Layak Anak”. Akhirnya, kumpulan dari kecamatankecamatan layak anak tersebut dapat menjadi inisiatif kabupaten / kota yang bersangkutan untuk merealisasikan “Kabupaten / Kota Layak Anak”.
Individu dan 2. Keluarga
RT / RW Layak Anak
Desa / Kelurahan Layak Anak
Kecamatan Layak Anak
KLA
2. Pendekatan top-down Pendekatan top-down dimulai dari pemerintah di tingkat nasional dengan melakukan fasilitasi, sosialisasi, advokasi atau dapat berupa pembentukan “sample” di beberapa provinsi atau di seluruh provinsi. Selanjutnya provinsi-provinsi tersebut memberikan fasilitasi dan sosialisasi atau dapat pula memilih “sample” di beberapa kabupaten / kota atau di seluruh kabupaten / kota untuk merealisasikan pengembangan KLA, sehingga inisiatif pengembangan KLA akan terealisasi di tingkat kabupaten / kota.
KLA
Provinsi Layak Anak
Indonesia Layak Anak
3. Pendekatan Kombinasi Pendekatan kombinasi antara pendekatan bottom-up dan top-downmerupakan pendekatan ideal dalam mempercepat terwujudnya KLA di kabupaten / kota. Gerakan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang layak bagi anak yang dimulai dari tingkat keluarga, atau RT / RW, atau di tingkat desa / kelurahan atau di tingkat kecamatan akan menjadi sangat ideal jika dikombinasikan dengan komitmen yang kuat dari Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, setiap Negara juga dapat berinisiatif untuk menyiapkan pengembangan KLA di daerahnya. 2.6.5
Tahapan Pengembangan KLA 1. Persiapan, terdiri dari: 1. Komitmen adalah dukungan dari para pengambil keputusan di kabupaten/kota untuk menjadikan kabupaten/kotanya menjadi KLA. Komitmen tersebut dapat tertuang antara lain dalam:1)Peraturan Daerah, 2) Peraturan Bupati/Walikota, 3) Keputusan Bupati/Walikota, 4) Instruksi Bupati/Walikota, dan 5) Surat Edaran Bupati/Walikota. Komitmen tersebut sangat penting dituangkan dalam bentuk tertulis untuk menjaga agar pengembangan KLA bukan dilakukan hanya karena desakan atau keperluan sesaat saja.Semakin tinggi hirarkinya, kekuatan hukumnya juga semakin kuat sehingga menjamin kesinambungan dari pelaksanaan pengembangan KLA di kabupaten/kota bersangkutan. 2. Pembentukan Gugus Tugas KLA adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang membidangi anak, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, orang tua dan
yang terpenting harus melibatkan anak (forum anak). Pimpinan Gugus Tugas KLA diketuai oleh Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) untuk menjalankan koordinasi dalam perencanaan pengembangan KLA. Gugus Tugas KLA bertanggung
jawab
mengawali
dan
mengawal
pengembangangan
KLA
di
kabupaten/kota masing-masing. Tugas pokok Gugus Tugas KLA adalah: a. Mengkoordinasikan berbagai upaya pengembangan KLA; b. Menyusun RAD-KLA; c. Melaksanakan sosialisasi, advokasi dan komunikasi pengembangan KLA; d. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan dalam RAD-KLA; e. Melakukan evaluasi setiap akhir tahun terhadap pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan dalam RAD-KLA dan f. Membuat laporan kepada Bupati/Walikota. Dalam melaksanakan tugas, anggota Gugus Tugas KLA menyelenggarakan fungsi: 1) Pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data kebijakan, program, dan kegiatan terkait pemenuhan hak anak; 2) Melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan sesuai dengan RAD-KLA; 3) Membina dan melaksanakan hubungan kerja sama dengan pelaksana pengembangan KLA di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pengembangan KLA di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa;
4) Mengadakan konsultasi dan meminta masukan dari tenaga professional untuk mewujudkan KLA. Keanggotaan Gugus Tugas yang optimal, harus berisikan seluruh perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan terkait pemenuhan hak anak, sebagaimana tertuang dalam Indikator KLA (Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator KLA). 3. Pengumpulan data dasar berkaitan dengan situasi dan kondisi anak-anak di kabupaten/kota disusun secara berkala dan berkesinambungan. Pengumpulan data dasar digunakan untuk:1)menentukan fokus program; 2)menyusun kegiatan prioritas; 3)melihat sebaran program/kegiatan anak lintas SKPD, dan 4) menentukan lokasi percontohan. Data dasar yang dikumpulkan, minimal adalah data anak yang dijabarkan dari Indikator KLA. Data dasar hendaknya terpilah menurut jenis kelamin dan umur anak agar menjadi pertimbangan dalam perencanaan program yang tepat sasaran. Untuk melengkapinya, data dasar tersebut akan semakin baik untuk mengukur perkembangan. 2. Perencanaan, terdiri dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengembangan KLA atau RAD-KLA yang berfungsi sebagai acuan penting untuk mengembangkan KLA secara sistematis, terarah dan tepat sasaran. Dalam penyusunan RAD-KLA, Gugus Tugas dan pihak-pihak terkait mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), Renstrada (Rencana Strategis Daerah), Visi, Misi, Kebijakan, Program dan Kegiatan kabupaten/kota agar RAD-KLA tidak “tumpang tindih” dengan berbagai rencana daerah yang sudah ada atau sudah berjalan.
Penyusunan RAD-KLA tidak berarti harus membuat program baru karena RAD-KLA dapat merupakan sebuah integrasi dengan rencana kerja SKPD terkait. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RAD-KLA adalah upaya pemenuhan hak anak yang mencakup penguatan kelembagaan dan 5 (lima) klaster hak anak. Selain itu, RAD-KLA harus mempertimbangkan dan tentunya mendayagunakan semua potensi lokal, sosial, budaya dan ekonomi serta berbagai produk unggulan setempat. Sesuai dengan prinsip partisipasi anak dalam KHA, maka dalam proses penyusunan RAD-KLA, kelompok anak termasuk Forum Anak perlu dilibatkan. 3. Pelaksanaan Untuk
mempercepat
pelaksanaan
kebijakan
pengembangan
KLA,
Gugus
Tugas
melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan yang tertuang dalam RAD-KLA.Gugus Tugas memobilisasi semua sumber daya, baik yang ada di pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Sumber daya meliputi sumber daya manusia, keuangan, dan sarana prasarana yang ada didaerah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan KLA.Selain itu, mediapun hendaknya juga dilibatkan untuk mengefektifkan pelaksanannya, mengingat posisinya yang sangat penting sebagai pilar demokrasi.Media berperan dalam sosialisasi dan sekaligus advokasi berbagai hal terkait pemenuhan hak anak.Di dalam pelaksanaan, suara anak juga harus diperhatikan, baik untuk memberikan masukan mengenai bagaimana tanggapan mereka atas jalannya pelaksanaan yang dilakukan para pemangku kepentingan, maupun terlibat langsung dalam pelaksanaan.
4. Pemantauan Pemantauan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan oleh Gugus Tugas KLA untuk mengetahui perkembangan dan hambatan pelaksanaan pengembangan KLA secara berkala serta sesuai dengan rencana. Aspek yang harus diperhatikan dalam pemantauan adalah mengenai: a) Hal yang dipantau, meliputi input dan proses terkait dengan upaya untuk memenuhi seluruh Indikator KLA; b) Pemantauan dilakukan oleh Gugus Tugas KLA Kabupaten/Kota dan Provinsi; c) Pemantauan dapat dilakukan setiap bulan atau setiap tiga bulan; d) Pemantauan dilakukan mulai dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, sampai desa/kelurahan; e) Pemantauan dapat dilakukan bersamaan dengan pertemuan gugus tugas, dan/atau kinjungan lapangan atau dengan cara lainnya. Pelaksanaan pemantauan KLA mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 5. Evaluasi Evaluasi pengembangan KLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan untuk menilai hasil pelaksanaan pengembangan KLA. Aspek yang harus diperhatikan dalam evaluasi adalah mengenai: a) Hal yang dievaluasi, meliputi capaian seluruh indikator KLA; b) Evaluasi dilakukan oleh Gugus Tugas KLA, Tim Evaluasi KLA dan tim independen;
c) Evaluasi dilakukan setiap tahun; d) Evaluasi
dilakukan
mulai
dari
tingkat
desa/kelurahan,
kecamatan,
sampai
kabupaten/kota; Pelaksanaan evaluasi KLA mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 14 Tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi KLA. 6. Pelaporan Pelaporan mengenai pengembangan KLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan oleh Bupati/Walikota, disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Dalam Negeri.
Gubernur
diharapkan
memberikan
umpan
balik
kepada
masing-masing
kabupaten/kota. 2.7
Kesejahteraan Anak Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.Hal ini diatur dalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.Dasar dari undang-undang ini mengacu kepada pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Apabila ketentuan pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara konsekwen, maka kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin. Di Indonesia diatur dalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak sebagai berikut: a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.
b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut maka anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani dan sosial. c. Kesempatan pemeliharaan dan usaha menghilangkan hambatan tersebut hanya dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana kesejahteraan anak terjamin. Berbicara mengenai pertumbuhan dan perkembangan secara wajar bagi anak memiliki makna yang besar karena pada pengertian itu terpaut masalah pokok anak. Dari pengertian ini, ditemukan tentang kesejahteraan anak lazim berhubungan dengan: 1. Pemenuhan kebutuhan yang bersifat rohani bagi anak-anak sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar melalui asuhan keluarga atau orangtuanya sendiri. Misalnya kesempatan memperoleh pendidikan, rekreasi dan bermain. 2. Pemenuhan kebutuhan yang bersifat jasmani (fisik) seperti cukup gizi pemeliharaan kesehatan dan kebutuhan fisik lainnya. Menurut Kartini Kartono, bahwa di dalam perkembangan anak sangat memerlukan kebutuhan anak meliputi: a. Kebutuhan fisik biologi yaitu sebagai tuntutan yang harus dipenuhi oleh makhluk jasmaniah, sebab kalau tidak terpenuhinya maka dapat terhambat pertumbuhan fisiknya. b. Kebutuhan mental psikis yaitu untuk menjamin kesehatan jasmani dan rohani anak yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai makhluk mental psikis. c. Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial karena manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain (Kartono, 1999:28).
Terpenuhinya suatu kebutuhan tersebut bukan hanya memerlukan sarana fisik dan mental saja tetapi juga non-material, misalnya kebutuhan perasaan aman dan tenteram dipenuhi dengan sarana yang berupa keadaan tanpa kejahatan dan bencana. Demikian juga kebutuhan religius bias dipenuhi oleh adanya kebebasan sarana lain untuk melakukan ibadah menurut agama/kepercayaan yang diyakini. Maka dapat dinyatakan anak dapat dikatakan sejahtera apabila semua kebutuhannya dapat terpenuhi.Makin banyak kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi dengan sarana yang makin memadai, maka makin sejahtera dia. Berkaitan dengan hal tersebut, yang paling utama dan bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan anak sebenarnya adalah keluarga.Adapun keluarga sebagai institusi sosial menjalankan banyak fungsi. Menurut Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa menyatakan secara rinci fungsi keluarga tersebut adalah: 1. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak 2. Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban 3. Mengemban kepribadian 4. Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab 5. Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem, nilai moral kepada anak Dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial, ada lima bidang praktek pekerjaan sosial, yaitu: a. Usaha Kesejahteraan Anak b. Usaha Bimbingan Kesejahteraan Keluarga c. Usaha Kesejahteraan Lanjut Usia d. Usaha Kesejahteraan Para Cacat
e. Usaha Kesejahteraan Umum Usaha kesejahteraan anak sebagai pembinaan terhadap tuna bangsa yang kelak menjadi pemimpin selalu mendapat perhatian yang penuh, di pihak pemerintah maupun masyarakat.Program komprehensif untuk anak terdiri dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan anak, baik secara fisik, mental maupun sosial.Pelayanan kesejahteraan sosial anak termasuk asuhan bagi anak di dalam keluarganya sendiri, atau dalam keluarga pengganti (substitute family home), atau di dalam lembaga. Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial bahwa, setiap warga Negara berhak atas taraf sosial yang sebaik-baiknya, maka kesejahteraan anak merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, karena masih banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati masa kanak-kanaknya yang menyenangkan karena kondisi yang dihadapinya dan keadaan orangtuanya. Usaha kesejahteraan sosial anak sebagai pembinaan pertumbuhan dan perkembangan secara wajar bagi anak yang akan menentukan keutuhan pribadi anak dalam menyongsong masa depannya untuk manusia dewasa yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara wajar adalah: 1) Bantuan sosial untuk anak-anak terlantar baik melalui panti maupun luar panti 2) Rehabilitasi dan pendidikan anak cacat (cacat fisik, indera maupun mental) 3) Perawatan anak-anak yang mengalami gangguan emosional 4) Sistem usaha keluarga 5) Adopsi anak perwalian 6) Bimbingan anak 7) Perkumpulan dan kegiatan untuk mengisi waktu senggang termasuk rekreasi serta bermain
2.8 Kerangka Pemikiran Anak merupakan sumber daya manusia di masa depan, oleh karena itu anak sebaiknya mendapatkan perlindungan sesuai yang diharapkan dan jauh dari permasalahan sosial yang dialami anak saat ini, dimana telah merampas hak-hak mereka sebagai anak. Berbagai bentuk kajian tentang mengapa sampai hak-hak anak tidak terpenuhi seperti yang diuraikan yaitu terjadinya kemiskinan dimana telah menjadi akar persoalan sehingga anak-anak dicampakkan untuk bekerja, melacur, menjadi pengasong dan lainnya. Anak-anak seperti ini sudah tidak punya masa depan lagi yang layak sebagai generasi penerus. Anak adalah sebagai generasi muda, merupakan penerus cita-cita bangsa yang diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan Negara.Oleh karena itu, generasi muda perlu dibina agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga pada gilirannya, mampu meneruskan pembangunan. Program Kota Layak Anak (KLA) merupakan salah satu program perlindungan anak untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anak yang dijalankan oleh salah satu instansi pemerintahan yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP&KB) Kota Medan pada Sub Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Anak. KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak.Adapun hubungan diantara variabel penelitian hingga fenomena-fenomena yang ditimbulkannya secara konseptual dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir pikir sebagai berikut:
Bagan Alir Pikir
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan
Sub Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan dan Anak
Program Kota Layak Anak: 1. Hak sipil dan kebebasan 2. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif 3. Kesehatan dasar dan kesejahteraan 4. Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya 5. Perlindungan khusus
2.9
Defenisi Konsep dan Ruang Lingkup Penelitian
2.9.1
Defenisi Konsep Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai
peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian (Silalahi, 2009:112). Perumusan defenisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa penelitian ingin mencegah dan menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep dan diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:138).Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Pelaksanaan Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. 2. Program KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak.
3. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. 4. Hak-hak anak adalah merupakan alat untuk melindungi anak dari kekerasan dan penyalahgunaan. Hak anak ini dituangkan ke dalam 5 klaster hak anak, yaitu: 1) Hak sipil dan kebebasan, 2) Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, 3) Kesehatan dasar dan kesejahteraan, 4) Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, 5) Perlindungan khusus. 2.9.2
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:
1. Hak-hak anak dalam meningkatkan kesejahteraan anak, yang diukur dengan indikator: a. Klaster I: Hak sipil dan kebebasan 1. Akte kelahiran 2. Fasilitas informasi 3. Forum anak b. Klaster II: Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif 1. Lingkungan tempat tinggal 2. Lembaga konsultasi bagi orangtua 3. Pola pengasuhan anak c. Klaster III: Kesehatan dasar dan kesejahteraan 1. Posyandu 2. Pojok ASI
3. Lingkungan rumah tangga yang sehat d. Klaster IV: Kegiatan budaya 1. Sekolah ramah anak 2. Kegiatan ekstrakulikuler 3. Sekolah adiwiyata (lingkungan hidup) 4. Diskusi antara guru dan siswa 5. Fasilitas pendukung sekolah 6. Fasilitas tempat bermain e. Klaster V: Perlindungan khusus 1. Peraturan perundang-undangan untuk pemenuhan hak anak 2. Pencegahan dan penanganan anak berhadapan dengan hukum (ABH) 3. Pencegahan dan proteksi korban perdagangan anak (trafficking) 4. Pencegahan kekerasan pada anak 5. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA 6. Penanganan anak-anak korban bencana alam