1
BAB 2 DATA & ANALISA
2.1 Sumber Data Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain: 1. Literatur : buku, artikel, media elektronik maupun non elektronik 2. Wawancara dengan pemilik rumah batik peranakan The Bwan Nio dan para pembatik. 2.2 Data 2.2.1 Sejarah Batik Lasem Batik Lasem sudah dikenal luas sejak abad ke-19 dengan jangkauan pemasaran meliputi pulau Jawa, pulau Sumatera ( Padang, Palembang, Jambi, Medan), Semenanjung malaka, pulau Bali, pulau Sulawesi, wilayah-wilayah Asia Timur, Suriname, dan benua Eropa (khususnya Belanda dan Inggris). Pada tahun 1335, Bi Nang Un seorang yang berasal dari negrara Campa dan pernah menjadi salah seorang nahkoda kapal dari Armada Laut Dinasti Ming di Cina yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho telah mendarat di Pantai Regol (sekarang disebut sebagai pantai Binangun), Kadipaten Lasem. Bi Nang Un datang di Lasem bersama istrinya putri Na Li Ni, serta anak laki-lakinya dan anak perempuanya beserta sanak saudaranya. Mereka tinggal di daerah Kemandhung (sekarang sekitar Jatirogo, Lasem) yang telah dihadiahkan oleh Adipati Lasem saat itu. Rombongan Bi Nang Un terdiri dari orang-orang Campa yang beragama Budha dan pandai dalam bidang kesenian (membatik, menari, membuat perhiasan emas, dan sebagainya). Putri Na Li Ni telah mengajarkan seni membatik, menari, dan membuat dompet berhias buku merak (slepi lar merak) kepada putri-putrinya serta para remaja putri di taman banjarmlati. Setelah dewasa salah satu putri dari putri Na Li Ni, Bi Nang Ti menjadi mahir dalam membatik dan menari. Ia menikah dengan Adipati Branala dan berganti nama menjadi Winarti Kumudawardani. Putri Bi Nang Ti inilah yang dikenal sebagai putri Campa di petilasan Sunan Bonang/Persujudan Putri Cempo yang menjadi printis pembatikan di kota Lasem. Batik Lasem terus menorehkan catatan emas hingga jelang berakhirnya penjajahan kolonial. Para pengusaha Batik Lasem yang berasal dari kalangan Tionghoa mendapat tempat istimewa di penduduk pribumi karena membuka lapangan kerja yang banyak. Masa kejayaan batik yang menjadi ikon pembauran budaya Jawa dan Cina itu mulai menyurut tahun 1950-an. Penyebab utama kemunduran Batik Lasem adalah karena terdesak oleh maraknya batik cap di berbagai daerah. Selain itu, juga dikarenakan kondisi politik yang menyudutkan etnis Cina yang merupakan penguasa perdagangan Batik Lasem.
2 Menurut data Forum Economic Development (Fedep) Rembang, tahun 1950-an ada sekitar 140 pengusaha Batik Lasem. Tahun 1970-an jumlahnya merosot hingga tinggal separo. Puncaknya tahun 1980-an pengusaha Batik Lasem hanya tinggal mencapai 7 orang saja yang aktif. Selanjutnya perkembangan Batik Lasem terus mengalami pasang dan surut. 2.2.2 Dimensi Multikultur Batik Lasem Batik lasem memang merupakan seni batik tulis yang kaya akan warna dan memiliki ciri multikultural. Hal ini terjadi akibat akulturasi aneka budaya, khususnya budaya Tionghoa dan budaya Jawa di kota Lasem yang merupakan salah satu dari tiga kota pelabuhan terbesar sejak zaman kerajaan Majapahit. Melalui pengamatan terhadap sehelai batik Lasem, kita dapat mengenali hasil silang budaya tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari motif yang ada pada batik Lasem. Secara umum pada batik Lasem kita jumpai kombinasi motif khas Cina dan motif Jawa. Motif Cina dapat berupa motif fauna (burung Hong/phoenix), kilin, liong/naga, ikan mas, kelelawar, ayam hutan dan sebagainya), motif geometris (banji, swastika, dan lain-lain), motif benda alam (awan, gunung, rembulan, dan sebagainya), serta motif Cina lainya (mata uang, gulungan surat, dan sebagainya). Sedangkan motif Jawa pada umumnya merupakan motif geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) seperti parang, lereng, kawung, udan liris, dan sebagainya. Selain pada motifnya yang khas, kita dapat mengenali persilang budaya ini dari warnanya. Warna dominan batik Lasem adalah merah, biru, soga, hijau, ungu, hitam, krem (kuning muda), dan putih. Pilihan warna ini terjadi akibat dari pengaruh budaya tertentu. Warna merah darah menegaskan pengaruh budaya Cina. Warna biru dipengaruhi budaya Belanda/Eropa (serupa warna biru keramik Delft/Delft blau). Warna soga mencerminkan pengaruh budaya Jawa, yaitu diambil dari warna soga pada batik Surakarta. Sedangkan warna hijau berasosiasi dengan komunitas muslim. Persilangan budaya melalui kombinasi warna ini dapat dilihat dari warna yang terdapat pada batik tiga negeri. Batik tiga negeri merupakan jenis batik yang dikembangkan pada masa hindia Belanda dengan ciri-ciri kombinasi tiga warna khas yang dibuat di tiga wilayah produksi, yaitu merah darah ayam (pengaruh budaya Cina, proses pewarnaan di Lasem), biru (pengaruh budaya Belanda/Eropa), proses pewarnaan di pekalongan), dan soga (pengaruh budaya Jawa, proses pewarnaan di Surakarta atau Solo). Warna merah dan soga merupakan warna yang paling dominan di dalam batik tiga negeri. Kedua warna ini selalu ada pada setiap batik tiga negeri yang di produksi oleh rumah batik di Lasem. Sedangkan warna biru dapat digantikan oleh warna hijau atau bahkan ungu, sesuai permintaan calon pembeli. 2.2.3 Perkembangan Sentra Batik Tulis Lasem Perkembangan batik Lasem saat ini mengalami banyak pasang surut. Batik lasem dalam masa kejayaannya pernah diekspor ke luar negeri. Namun, kalau sekarang Anda datang ke Lasem dan mencari batik tulis produksi Lasem, apalagi batik dengan motif tradisional khas Lasem, Anda akan mengalami kesulitan bagaikan mencari barang antik saja.
3 Batik tulis lasem sekarang sulit ditemui karena pengusaha yang menghasilkan batik lasem banyak yang gulung tikar. Dari sekitar 140 pengusaha batik pada tahun 1950-an, kemudian merosot menjadi sekitar 70 pengusaha pada tahun 1970, dan kini tinggal sekitar 12 orang saja yang masih mengusahakan pembatikan. Yang masih bertahan ini pun banyak yang usahanya “SeninKamis”. Maka, tepat kalau dikatakan batik lasem terancam punah. Banyak faktor menjadi penyebab merosotnya pembatikan di Lasem. Pembatikan Lasem sedang limbung. Generasi penerus usaha pembatikan semakin berkurang karena setelah mengenyam pendidikan tinggi dan bertitel mereka tidak mau terjun di usaha pembatikan. Mereka lebih suka bekerja atau berusaha di bidang lain sesuai pengetahuan yang mereka peroleh di perguruan tinggi. Selain itu, tenaga pembatik juga berkurang. Anak-anak dari tenaga pembatik setelah lulus sekolah lanjutan tingkat pertama/atas tidak mengikuti jejak orangtuanya menjadi pembatik melainkan bekerja di kantor di kota besar seperti Surabaya dan lainnya. Jadi, tenaga pembatik tidak ada yang melanjutkan. Karena para buruh pembatikan umumnya turun-temurun, pekerjaan utamanya adalah petani atau buruh tani di kampung halaman, saat musim panen dan musim tanam mereka pulang ke kampungnya mengerjakan sawah. Akibatnya kerja pembatikan tidak berlangsung lancar. Anak-anak para perajin yang dengan bekal ijazah mereka mencari kerja di kantor, pabrik atau toko, dengan harapan mendapatkan upah lebih tinggi dari upah sebagai perajin batik. Upah sebagai buruh pembatikan sekitar Rp 7.500 per hari ditambah makan di tempat kerja. Selain akibat menciutnya jumlah orang yang menekuni usaha pembatikan, baik sebagai pengusaha maupun sebagai perajin, merosotnya usaha pembatikan Lasem juga disebabkan membanjirnya batik sablon atau batik cetak (printing). Kebanyakan orang saat ini jarang memakai kain kebaya melainkan lebih senang memakai rok karena praktis memakainya di samping bahan rok lebih murah daripada kain batik tulis. Keadaan ini turut pula membuat lesunya usaha pembatikan di Lasem. Namun seiring berjalanya waktu pengusaha-pengusaha rumah batik di Lasem saat ini terus mengembangkan ide-ide pemasaran batik mereka dengan cara melakukan pemasaran secara online dan melalui sentra batik tulis. Melalui sentra batik tulis ini dapat menjadi showroom untuk memamerkan koleksi batikbatik tulis dari berbagai rumah batik yang ada di Lasem. Sentra batik tulis Lasem terdapat di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Lasem dan Pancur jumlah unit usaha mencapai 1.175 unit usaha dan dapat mencakup 1.596 orang tenaga kerja dengan kapasitas produksi mencapai 38.938 potong per tahun. Untuk melihat – lihat atau membeli batik tulis Lasem anda tidak perlu mengunjungi satu per satu tempat kerajinan tersebut cukup anda ke Show room Batik Tulis Lasem Kabupaten Rembang yang terdapat di bekas kantor kecamatan Lasem Jl. Raya Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang anda dapat melihat hampir seluruh koleksi batik tulis Lasem.
4 2.2.4 Ragam hias Batik Lasem peranakan Batik Lasem peranakan dapat dibedakan dari berbagai ragam motif yang terdapat di dalamnya. Di setiap ragam hias batik Lasem peranakan biasanya memiliki pengaruh dari Cina, karena itulah disebut sebagai batik peranakan. Setiap ragam hias itu memiliki makna yang sangat dalam. Burung Hong (Phoenix) Burung Hong adalah mahluk mitologi yang melambangkan ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan perikemanusiaan. Menurut kepercayaan China, kemunculannya hanya apabila negara dalam kondisi makmur sentosa dan diperintah oleh raja yang adil. Merupakan mahluk dewata, gabungan dari berbagai burung antara lain ayam (jengger), burung layang-layang (paruh), merak (ekor).
Gambar 2.1. Burung Hong
5 Bunga Seruni (Krisan) lambang kekayaan
Gambar 2.2. Bunga Krisan
Bunga Botan (Peoni) lambang kekayaan, kekayaan, cinta, dan romansa, dan bunga ini sangat berharga di Cina.
Gambar 2.3. Bunga Peoni
Kupu-kupu lambang kekayaan, kekayaan, cinta, dan romansa, dan bunga ini sangat berharga di Cina. Kupu-kupu merupakan lambang dari cerita rakyat cina pada zaman dulu yaitu Sampek Eng Thay yang mengisahkan dua sejoli yang menjalin cinta namun tidak mendapat restu dari orang tuanya. Hingga akhirnya keduanya meninggal bersama dan akhirnya menjelma menjadi kupu-kupu.
6
Gambar 2.4. Kupu-kupu
2.2.5 Profil Rumah Batik The Bwan Nio Diantara banyaknya rumah batik yang gulung tikar karena makin maraknya batik cap di kota Lasem dan sekitarnya, rumah batik The Bwan Nio masih tetap bertahan dengan batik tulisnya yang khas Lasem dan motif yang klasik. Rumah batik yang berdiri sejak tahun 1972 ini merupakan generasi penerus dari warisan budaya leluhur nenek moyang yang terancam punah. Pada awal berdirinya, kain batik The Bwan Nio bisa meraup untung hingga 400%500% dari selembar kain batik tulisnya karena zaman dulu masih sedikit berdiri rumah batik di kota Lasem, namun sekarang bisa meraup untung saja sudah bersyukur karena sudah banyak bermunculan rumah-rumah batik di kota Lasem. Untuk menghasilkan selembar kain batik tulis, rumah batik The Bwan Nio membutuhkan waktu kurang lebih 2 hari, hal ini dikarenakan proses pengerjaannya yang sangat memakan waktu karena rumah batik The Bwan Nio masih menggunakan cara-cara traditional. Rumah batik The Bwan Nio hanya memproduksi batik tulis yang nantinya dibuat sarung. Untuk membuat sarung dibutuhkan kain mori (kain untuk bahan dasar batik) sepanjang 2.2 meter. Sebetulnya dulu, rumah batik The Bwan Nio juga memproduksi kain panjang atau kain yang biasa digunakan untuk menjadi bawahan saat mengenakan kebaya, namun karena perkembangan zaman saat ini, dimana sudah jarang atau bahkan tidak ada lagi perempuan-perempuan muda yang mengenakan kebaya traditional sehari-harinya maka rumah batik The Bwan Nio tidak lagi memproduksi kain panjang. Untuk memproduksi selembar kain batik tulis khas Lasem tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu 3 bulan untuk memproduksi batik tulis dari awal hingga akhir. pertama kain mori diketeli/diuleni dengan minyak jarak dan soda lalu diberi kanji dan dicuci. proses ini dilakukan berkali-kali hingga 10-25 hari proses ini bertujuan agar saat proses pewarnaan, warnanya menyerap ke dalam kain. Namun saat ini banyak rumah batik yang hanya merebus kain mori karena waktunya terlalu lama jika menggunakan minyak jarak dan soda. Tetapi rumah batik The Bwan Nio teteap menggunakan metode kuno ini untuk memproduksi kain batiknya. Setelah proses diketeli selesai, batik di pola dengan lilin dikedua sisinya lalu masuk ke proses pewarnaan yang pertama. Untuk mendapatkan satu
7 warna perlu dicelup beberapa kali karena kita harus mencelupkan ke beberapa warna untuk mendapatkan warna yang diinginkan. setelah satu warna lalu kain di tembok dengan lilin untuk menutup bagian yang tidak ingin diwarnai, begitu seterusnya hingga selesai. Pemasaran batik The Bwan Nio dari dulu hanya dari mulut ke mulut saja. Kebanyakan peminat batik tulis The Bwan Nio berasal dari Surabaya dan Serang. Biasanya para pedagang langsung datang ke rumah produksi batik dan memesan kain batik. Karena itu dibutuhkan identitas visual untuk rumah batik The Bwan Nio agar masyarakat mengenali produk rumah batik ini.
Gambar 2.5. Proses produksi rumah batik The Bwan Nio
2.3 Kompetitor Beberapa kompetitor yang berada di daerah adalah: - Batik Maranatha - Batik Purnomo - Batik Lasem Paramita - Batik Lasem lareina 2.4 Analisa SWOT Batik The Bwan Nio Strength ( Kekuatan ) - Produk yang ditawarkan merupakan batik tulis peranakan yang hanya dibuat khusus satu per satu. - warna kain batiknya semakin dicuci warnanya akan semakin keluar. - Motifnya klasik: 3 negri, tertotejo, gunung ringgit, dan warna khas peranakan: mengunakan warna merah yang khas yaitu warna merah darah ayam, biru, soga, hijau, kuning. - Kualitas kain dan bahan bakunya sangat baik, menggunakan pewarna alami.
8 - Batik Lasem adalah identitas bangsa. Weakness ( Kelemahan ) - Rumah batik The Bwan Nio tidak memiliki identitas visual Opportunity ( Kesempatan ) - Sejak ditetapkanya hari batik di hari jumat oleh pemerintah yang mewajibkan para karyawan untuk mengenakan batik maka meningkatkan permintaan akan kain batik. - Kain batik mudah diolah dan dapat dipakai di berbagai acara. Threat ( Ancaman ) - Minat masyarakat yang kurang akan kain batik. 2.5 Target Audience Batik The Bwan Nio Target Demografi : - Jenis kelamin : pria dan wanita - Usia : 25-50 tahun - Profesi : pedagang, ibu rumah tangga, karyawan - SES :B - Pendidikan : SMU dan S1 Geografi : Bertempat tinggal dan beraktivitas di Lasem dan Serang, Banten. Psikografi : Rutinitas : pedagang pasar batik, ibu rumah tangga, karyawan, kolektor. Karakter : suka keindahan, peduli akan detail, berjiwa seni, peduli akan penampilan, suka akan kesenian tradisional. Interest : Menyukai kebudayaan Indonesia.