BAB 2 DATA & ANALISA 2.1 Sumber Data 2.1.1 Literatur Buku 1. "Monarki Yogyakarta Inkonstitusional?" penerbit PT. Kompas Media Nusantara. 2. "Takhta untuk Rakyat" penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. 3. "Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya" oleh Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. 4. "Doorstoot Naar Djokja, Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer" karya Julius Pour. 5. “3D Human Modeling and Animation” oleh Peter Ratner. 2.1.2 Literatur Artikel 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengku Buwono_IX 3. http://id.wikipedia.org/wiki/Kasultanan_Yogyakarta 4. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_Pemerintahan_Prop._DIY 5. http://id.wikisource.org/wiki/Amanat_5_September_1945 6. http://www.artofthetitle.com/2011/08/30/captain-america/ 7. http://thebroadcastercom.blogspot.com/search/label/ilmu%20dokumenter
3
2.2 Asal Usul Yogyakarta 2.2.1 Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940. Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen
Kesultanan
Ngayogyakarta
Hadiningrat
(bersama-sama
dengan
Kadipaten
Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gambar 2.1 Kraton Yogyakarta Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC. Sultan Hamengku Buwono I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan 4
Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping .... ing Ngayogyakarto " ("yang bertahta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Tua) untuk Hamengku Buwono II Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal. Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal. Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen. Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi. Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan 5
langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan. Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan. Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alamku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari negara dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.
6
2.3 Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav BelandaPerancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, Soekarno, yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara. Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuur landschappen/Daerah Swapraja, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.
7
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam: 1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI. 2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah). 3. Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (dibuat dalam satu naskah). Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undangundang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
8
Gambar 2.2 Piagam Penetapan 19 Agustus 1945 Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh KGPAA Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
9
2.3.1 Sambutan Proklamasi di Yogyakarta Tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi. 2.3.2 Amanat 5 September 1945 Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan KGPAA Paku Alam VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh KGPAA Paku Alam VIII pada hari yang sama. Isi dari amanat 5 September 1945 adalah sebagai berikut :
Gambar 2. 3 Amanat 5 September 1945 10
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX 1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Amanat KGPAA Paku Alam VIII 1. Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
2.3.3 Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Isi dari amanat 30 Oktober 1945 adalah sebagai berikut :
11
Mengingat: 1. Dasar-dasar jang diletakkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ialah kedaulatan rakjat dan keadilan sosial. 2. Amanat Kami berdua pada tgl.28 Puasa, Ehe 1876 atau 5-9-1945 3. Bahwa kekuasaan-kekuasaan jang dahulu dipegang oleh Pemerintah djadjahan (dalam djaman Belanda didjalankan oleh Gubernur dengan kantornja, dalam djaman Djepang oleh Kōti Zimu Kyoku Tyōkan dengan kantornja) telah direbut oleh rakjat dan diserahkan kembali kepada Kami berdua. 4. Bahwa Paduka Tuan Komissaris Tinggi pada tanggal 22-10-1945 di Kepatihan Jogjakarta dihadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh para Pembesar dan para Pemimpin telah menjatakan tidak perlunja akan adanja Sub-comissariat dalam Daerah Kami berdua. 5. Bahwa pada tanggal 19-10-1945 oleh Komite National Daerah Jogjakarta telah dibentuk suatu Badan Pekerdja jang dipilih dari antara anggauta-anggautanja, atas kehendak rakyak dan panggilan masa, jang diserahi untuk mendjadi Badan Legeslatif (Badan Pembikin Undang-undang) serta turut menentukan haluan djalannja Pemerintah Daerah dan bertanggung djawab kepada Komite National Daerah Jogjakarta, maka Kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII, Kepala Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Jogjakarta, dengan ini menyatakan: Supaya jalanya Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa Badan Pekerdja tersebut adalah suatu Badan Legeslatif (Badan Pembikin Undang-undang) jang dapat dianggap sebagai wakil rakyat dalam Daerah Kami berdua untuk membikin undang-undang dan menentukan haluan jalanya Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua yang sesuai dengan kehendak rakyat. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dari segala bangsa dalam Daerah Kami berdua mengindahkan Amanant kami ini. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit
12
kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Gambar 2.4 Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta 2.4 Sri Sultan Hamengku Buwono IX Lahir di Yogyakarta dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun di Ngasem, Hamengku Buwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengku Buwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda.
Gambar 2.5 Sri Sultan Hamengku Buwono IX 13
Hamengku Buwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga". Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa". Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam VIII adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia.
2.5 Sejarah Yogyakarta Pasca Kemerdekaan RI 2.5.1 Yogyakarta Ibukota Negara Yogyakarta pernah menjadi Ibukota pemerintahan Republik Indonesia, ketika Agresi Militer Belanda I. Saat itu Jakarta diduduki oleh Belanda, sehingga Soekarno dan Hatta harus diungsikan pada awal tahun 1946. Pada waktu itu bung Karno segera mengirimkan telegram kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, menanyakan apakah Yogyakarta sanggup menerima Pemerintahan RI karena situasi di Jakarta yang sudah tidak memungkinkan lagi. Sri Sultan menyatakan sanggup dan bahkan segenap rakyat Yogyakarta sanggup untuk membela kewibawaan Pemerintahan RI. Akhirnya pada , 4 Januari 1946, Yogya resmi menjadi Ibukota Republik Indonesia. Pagi-pagi benar, Bung Karno, Bung Hatta, dan segenap kerabat mengungsi ke Yogya. Segenap menteri juga hijrah secara diam-diam ke Yogya. Namun, Perdana Menteri Syahrir tetap tinggal di Jakarta. Mengenai keputusan untuk menjadikan Yogya sebagai ibukota RI, Wakil menteri penerangan Mr. Ali Sastroamidjojo menyampaikan berita ini melalui RRI Yogya (Radio Republik Indonesia).
14
Yang menarik adalah mengenai alasan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Yogya tersebut. Dalam pidatonya, Mr. Ali Sastroamidjojo mengatakan ada dua alasan, pertama alasan keadaan tidak aman yang terjadi di Jakarta. Alasan kedua adalah untuk menyempurnakan Organisasi dalam Negeri. Mr. Ali mengatakan,"Akan tetapi sebetulnya lebih pentinglah alasan yang tersebut kedua tadi untuk memindahkan buat senentara kedudukan Pemerintahan Agung. Alasan itu pada hakikatnya mengenai bagian yang terpenting daripada perjuangan kita, bahkan dari revolusi rakyat Indonesia apda masa ini. Sebab Pemerintah Agung mulai sekarang dari kedudukannya yang baru, ialah kota Matara akan dapat melangsungkan dengan lebih tepat dan cepat segala pimpinan dan usaha untuk menyempurnakan organisasi pemerintah di daerahdaerah...." Jadi, Yogya dipilih menjadi ibukotya RI karena alasan untuk mempercepat proses penyempurnaan organisasi negara. Hal itu hjelas menunjukkan bahwa Yogya dinbilai mampu memberi legitimasi dan kontribusi bagi pengembangan Pemerintah RI. Para pemimpin Pusat melihat bahwa kondisi pemerintahan dan kepemimpinan di Yogya sangat kuat karena merupakan kerajaan di bawah dwitunggal yang kuat pula. Pemindahan ibukota dari Jakarta ke Yogya jelas menunjukkan keyakinan Pemerintah Pusat akan komitmen Yogya kepada NKRI. Dalam hal ini Indonesia bergantung harap kepada Yogya. Yogyakarta menjadi Ibukota RI hingga 27 Desember 1949.
2.5.2 Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta Setelah berakhirnya agresi militer Belanda yang pertama terhadap Republik Indonesia. Belanda mendapat protes keras dari Dewan Keamanan PBB sehingga Belanda dipaksa berunding dengan Indonesia melalui perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) yang diadakan di Kaliurang, Yogyakarta, dengan topik membahas perundingan damai antara kedua negara. Namun pihak Belanda telah bermaksud untuk menghancurkan Republik lewat jalan perang. Sehingga ketika KTN masih berlangsung, Belanda secara sepihak kembali menyatakan perang kepada Republik Indonesia. Dengan keberadaan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, maka Yogyakarta menjadi target penyerangan tentara Belanda dalam agresi militernya yang kedua. Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda melancarkan Operasi Kraai atau operasi gagak dan 15
berhasil menguasai Landasan Udara Maguwo di bawah pimpinan Letnan Jenderal Simon Spoor yang membawahi pasukan Baret Merah KST (Korps Speciale Troepen) dan Pasukan Baret Hijau, yang juga dipimpin oleh pimpinan komando KST, Letnan Kolonel Van Beek. Penyerangan ini menewaskan 40 orang prajurit TNI. Kemudian setelah menguasai landasan udara Maguwo, pasukan Belanda berhasil menyerang dan menguasai Yogyakarta pada tengah hari. Yang menyebabkan Presiden Soekarno ditahan di Brastagi.
Gambar 2.6 Letnan Jenderal pasukan Belanda, Simon Spoor Menurut Jenderal Spoor, keberhasilan dari serangan ini terletak pada elemen serangan mendadak, akibat diputusnya komunikasi dari Batavia ke Yogyakarta, maka kaum Republiken tidak mendapatkan informasi akan adanya penyerangan Belanda ke Yogyakarta. Sementara pasukan Belanda yang telah disiapkan semenjak Agresi Militer Pertama dapat segera menyerang Yogyakarta, aksi ini merupakan tanggapan militer Belanda yang mendapat informasi dari intelijennya bahwa Presiden Soekarno hendak melarikan diri ke India. Adapun Spoor menetapkan tiga sasaran dalam Operasi Kraai : •
Pertama, menangkap pimpinan sipil dan militer Republik.
•
Kedua, menguasai sentra politik dan militer.
•
Ketiga, melakukan aksi pengepungan sekaligus menghancurkan konsentrasi perlawanan bersenjata lawan.
16
Operasi ini dimulai dengan dilakukannya penyerangan di Landasan Udara Maguwo. Kesuksesan serbuan ini bertumpu sepenuhnya pada pukulan pertama, serangan udara mendadak. Menurut catatan, di Pangkalan Udara KaliJati, Bogor, dipersiapkan sebuah pesawat Lockhead L12 dan enam buah pesawat tempur Harvard. Kemudian di Cililitan, Batavia, empat pesawat pengebom Mitchell B-25 bersama dua pesawat Mustang P-51. Di landasan Andir, Bandung, 16 pesawat angkut Dakota C-47, pesawat pengebom Mitchell B-25 bersama empat pesawat pengintai Piper Club. Dalam rencana Operasi Kraai, setelah serangan udara ke Maguwo berlangsung, akan segera disusul penerjunan pasukan payung baret merah KST yang diterbangkan dari Andir. Setelah landasan berhasil diamankan, segera dilanjutkan pembuatan jembatan udara, yang akan dipakai pasukan komando baret hijau KST mendarat di Maguwo, sebelum menyerbu masuk ke Yogyakarta. Oleh karena itu, mendukung rencana tersebut di Landasan Udara Kalibanteng, Semarang telah disiapkan 20 pesawat pemburu Spitfire, lima buah pengebom B-25, berikut empat pesawat Auster. Sebagai pendukung operasi, di Landasan Udara Surabaya juga disiapkan empat pesawat Auster, enam pesawat Fireflikes dan tiga pesawat angkut ringan Catalina. Pada pukul 02.00, dua kompi pasukan baret merah KST yaitu grup tempur Para I, mulai melakukan embarkaasi di Andir dengan menggunakan 18 pesawat Dakota C-7, untuk mengawali operasi Kraai. Pada pukul 04.30 Dakota pertama telah tinggal landas, setelah itu tiap selang satu menit, menyusul pesawat-pesawat berikutnya. Mereka semua berangkat ke arah Timur, menyusuri pesisir selatan Pulau Jawa. Armada angkutan udara tersebut kemudian melakukan holding di atas korvet Hr. Ms. Torenvalk, kapal perang Angkatan Laut Belanda yang sejak dua hari lalu telah sengaja lego jangkar, tiga kilometer di arah Selatan Pantai Parangkusuma, Yogyakarta.
Gambar 2.7 Wakil Agung Mahkota, Dr. Louis Beel 17
Pada pukul 08.00 pagi, Wakil Agung Mahkota Dr. LJM Beel tampil di depan corong Radio Batavia, membacakan pernyataan "...kami merasa tidak terikat lagi oleh persetujuan gencatan senjhata dengan Republik Indonesia. Mereka sama sekai tidak pernah bersedia menghormati gencatan senjata dan malahan berkali-kali melakukan pelanggaran, dengancara mengirim gerombolan-gerombolan bersenjata, menyebarkan teror, pembunuhan dan aksi perampokan masuk ke dalam wilayah Federal." "Mengingat gerombolan-gerombolan tersebut berpangkalan di daerah Republik, yang sama sekali tidak dikuasai oleh Kerajaan Belanda, maka kami bertekad mengerahkan seluruh kekuatan untuk bisa menduduki daerah-daerah yang menyebarkan kekacauan, sekaligus melakukan gerakan pembersihan secara consequent en zonder voobehoud, konsekuen dan tanpa tersisa, agar rust and orde, keamanan dan ketertiban, bisa tercapai." Dengan demikian Belanda, melalui Beel, telah menyampaikan pernyataan pemberlakuan agresi militer yang kedua. Padahal sebenarnya sekitar tiga jam 45 menit sebelum Louis Beel membacakan pernyataan di Radio Batavia, tepat pukul 05.15 Landasan Udara Maguwo sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25 Mitchell. Serangan pengecut yang dengan jelas mendahului dikeluarkannya pernyataan perang. Setelah sortie pertama pengeboman selesai, segera disusul oleh siraman hujan roket dilengkapi tembakan senapan mesin, yang dimuntahkan dari lima pesawat tempur F-51 Mustang didukung sembilan P-401. Kittyhawks. Pesawat-pesawat terbang tersebut tinggal landas dari Kalibanteng, Semarang. Sedang dua puluh menit kemudian, setelah menerima kode aman, dari wilayah holding di atas Lautan Hindia, 18 pesawat angkut Dakota, langsung menyusul terbang ke arah Utara. Tepat pukul 06.45, sesudah pertahanan di Maguwo berhasil dilumpuhkan, armada Dakota tersebut menerjunkan dua kompo pasukan baret merah KST, mengarah ke landasn pacu. Selama operasi penerjunan berlangsung, Jenderal Spoor berada dalam kokpit pesawat pengebom B-25 Mitchell melakukan holding di dropping sone sebelum nantinya pindah ke atas Yogyakarta. Dalam rencana operasi yang telah disusun, Spoor selalu menegaskan, kunci sukses Operasi Kraai terletak pada strategische berassing, pendadakan strategis. Dengan demikian, demi menjamin terlaksananya semua upaya "sapu bersih" ke Maguwo, dia sengaja menerjunkan dua kompi pasukan para yang diangkut pesawat C-47 Dakota
18
dari Andir. Sementara bantuan tembakan udara, secara terus menerus dilakukan oleh pesawat pengebom B-25 Mitchell didukung pesawat tempur P-51 Mustang bersama P-40 Kittyhawk. Sesudah menerjunkan pasukan baret merah KST, semua pesawat angkut Dakota menuju ke Landasan Udara Kalibanteng, Semarang. Mereka mendarat, melakukan pengisian bahan bakarn kemudian siap terbang kembali menuju Maguwo, untuk membuat jembatan udara yang akan dipakai pasukan baret hijau Batalyon 5 Resimen Stootroepen, di bawah komando Letnan Kolonel WCA Van Beek. Pasukan baret hijau didaratkan sesudah mereka menerima isyarat aman dari pasukan baret merah KST, yang telah selesai menangani Maguwo. pasukan penyerbu ke Yogyakarta menurut rencana akan diperkuat dengan dua batalyon pasukan infantri, didukung satuan Artileri, Kavaleri, dan Zeni, yang melakukan gerak melambung dari Salatiga lewat Kartasura, kemudian berbelok ke kanan untuk melakukan link-up di Maguwo, sebelum nantinya mereka membantu mendobrak masuk ke Yogyakarta. Menghadapi serangan dadakan ke Meguwo, prajurit Angkatan Udara Republik tidak mau menyerah. Dalam hujan tembakan serangan udara, mereka tetap berusaha memberikan perlawanan, meski pertempuran berlangsuing tidak seimbang. Baret merah KST adalah pasukan yang sudah kenyang dengan pengalaman bertempur serta selalu siap berperang. Sementara pasukan Republik, banyak dia antaranya belum sempat beristirahat, oleh karena sudah dua malam berturut-turut kurang tidur. Maguwo saat itu hanya dipertahankan oleh 150 anggota Pasukan Pertahanan Pangkalan dan 34 teknisi udara, di bawah pimpinan Kadet Udara Kasmiran. Persenjataan yang melengkapi Maguwo tercatat dua pucuk penangkis serangan udaraberukuran 40mm dan 20mm milik Angkatan Darat serta senapan mesin 12,7 mm milik Angkatan Udara. Sayangnya peralatan tersebut diangkut keluar pangkalan untuk persiapan pelatihan militer. Selain pasukan Angkatan Udara penjaga landasan, juga tinggal di Maguwo para kadet Akademi Udara. Mereka adalah para pelajar yang sedang dipersiapkan untuk pendidikan terbang. Dalam kondisi demikian, perlawanan gigih pasukan Angkatan Udara memang tidak sanggup bertahan lama. Mereka hanya memakai senapan ringan, tanpa memiliki persenjataan penangkis serangan udara sekaligusjuga masih miskin pengalaman bertempur. Kopral Udara Tohir dan 30 prajurit Angkatan Udara lainnya, langsung gugur disapu tembakan payung pasukan Belanda. Pertempuran tidak seimbang ini berlangsung selama kurang dari setengah jam. Pagi itu
19
sesuai catatan, empat puluh prajurit Republik gugur di Maguwo. Selain itu, pasukan payung Belanda juga berhasil menghancurkan pesawat angkut ringan Avro Anson dengan nomor registrasi RI-004. Selain itu, ikut juga dihancurkan hanggar, berisi sejumlah pesawat terbang yang sedang dalam perbaikan. Pukul 06.45, operasi penerjunan merebut Maguwo dimulai, dengan perlindungan pesawat tempur Mustang serta Kittyhawk. Mereka terus-menerus menyambar ke segala arah dengan suara melengking, semain menambah kekacauan suasana di darat. Pukul 07.04, penerjunan selesai, tanpa jatuh korban seorangpun dari pihak Belanda. Kemudian kedua kompi pasukan KST segera bergerak meninggalkan dropping zone untuk memperluas kawasan tyumpuan udara, sekaligus menyerang sisa-sisa pasukanRepublik yang masih selamat dari tembakan udara. Pukul 07.10, mereka sudah berhasil menyusun pertahanan di sekeliling kompleks Maguwo, melaksanakan konsolidasi berikut menutup jalan raya antara Yogyakarta-Prambanan. Termasuk meminta bantuan tembakan udara, untuk membungkam tembakan senapan mesin, yang datang dari arah Desa Tlogowono, Selatan Maguwo. Pukul 07.55, Kapten Cox, perwira pengendali operasi penerjunan telah menyatanan, seluruh landasan sudah dibersihkan dari ranjau dan aneka ragam bahan peledak, yang sebelumnya dipasang pasukan Republik, tetapi belum sempat mereka ledakkan. Pukul 08.00, pos pengendali udara mengirim kode all clear kepada armada pesawat tempur yang masih meraung-raung di atas Maguwo. Kode tersebut segera di-relay ke Kalibanteng, diterima langsung Jenderal Spoor, yang sudah selesai memeriksa embarkasi Batalyon KST, di bawah pimpinan Letnan Kolonel, berikut Batalyon I Resimen Infantri 15, dengan komandan Mayor JF Scheers. Kedua pasukan tersebut sekaligus ditugaskan mengawal komandan Brigade Tjiger, Kolonel Van Langen. Dan pada pukul 08.10 pesawat angkut C-47 pertama berhasil mendarat di Maguwo Operasi penerjunan pasukan baret merah KST untuk merebut Landasan Udara Maguwo berlangsung lancar. Begitu juga pembuatan jembatan udara yang dilakukan dengan 126 sortie penerbangan pesawat DC-3 Dakota dari Kalibanteng-Semarang ke Maguwo-Yogyakarta, berjalan mulus. Sampai tengah hari, telah bisa diterbangkan 2.600 prajurit, termasuk pasukan komando baret hijau dari Batalyon 5 Resigment Stootroepen, 80 jip tempur, amunisi berikut persediaan perbekalan untuk pertempuran selama tiga hari. 20
Pada saat itu , Kolonel Van Langen sebenarnya masih menunggu datangnya kelengkapan pasukan berikut senjata bantuan pasukan Kavaleri serta peralatan Zeni tempur, untuk bisa memperbesar daya dobrak, dalam usaha menjebol pertahanan TNI di Yogyakarta. Tetapi pasukan berikut persenjataan bantuan yang berangkat dari Salatiga pagi hari lewat jalan darat, ternyata terhambat oleh hujan lebat, jembatan hancur berikut perlawanan sengit dari anak buah Letnan Kolonel Slamet Riyadi, Komandan Wehrkreise I Surakarta, di sebelah Utara Boyolali. Dengan demikian, mereka menyatakan tidak akan mungkin bisa tepat waktu untuk sampai di Maguwo. Sambil melihat jarum jam yang sudah menunjuk ke angka 11, Kolonel Van Langen kemudian memerintahkan Letnan Kolonel Van Beek bersama Batalyon KST anak buahnya, bergerak meninggalkan Maguwo. Dia memutuskan memulai serangan, mengingat unsur pendadakan yang sudah berhasil menyergap TNI, harus tetap dipertahankan momentumnya. Pasukan komando baret hijau KST diperintahkan tidak memakai jalan raya, melainkan lewat jalan alternatif, dengan sasaran wilayah Yogyakarta sebelah Selatan rel kereta api. Sementara Batalyon Infantri dari Resimen 15, menyusul bergerak 30 menit kemudian, melewati jalan raya Yogyakarta-Solo dengan daerah sasaran bagian kota sebelah Utara rel kereta api. Sesaat sebelum pasukannya bergerak, Van Langen berbisik kepada Van Beek, "Overste tangkap Soekarno, Hatta dan Soedirman. Mereka bertiga masih berada di Istana-nya." Komandan Brigade X/Divisi III Diponegoro, Letnan Kolonel Soeharto sejak tanggal 15 Dsember sudah mengelar induk pasukannya di sebelah Barat kota Yogyakarta. Penempatan pasukan tersebut dalam rangka melakukan persiapan untuk mengikuti latihan perang, yang dijadwalkan akan dimulai empat hari lagi. Penempatan pasukannya di sana sekaligus untuk menanggapi perkiraan intelijen TNI, yang secara jelas telah menyebutkan bahwa jika Belanda melakukan serangan pasti akan menerobos garis demarkasi di Gomong, barat Yogyakarta, karena disitulah jalan terdekat dari wilayah Federal, daerah yang sudah berhasil dikuasai Belanda seusai mereka melakukan aresi militer tahun 1947 di, sebuah jalan luru, langsung menuju Yogyakarta. Menurut Soeharto, serangan dari arah Timur, yang diawali serbvuan udara pasukan payung, merupakan sebuah pendadakan tidak terduga. Perlawanan di Maguwo dan di dalam kota sangat menyedihkan. Sebelum pasukan Belanda mendarat, para anggota Angkatan Udara sudah bekerja keras selama 2 hari, sampai pukul 02.00 dini hari, untuk memberangkatkan para perwira
21
remaja ke Sumatera. Pagi harinya dalam keadaan masih sangat lelah, mereka malahan mendapat serangan mendadak, sehingga bisa dimaklumi kalau perlawanan di Maguwo sedikit sekali. Soeharto mengemukakan bahwa setelah tentara Belanda berhasil mendarat di Maguwo, sudah bisa kita duga, mereka pasti akan segera meneruskan gerakan ke Yogyakarta, yang jaraknya hanya enam kilometer. Malang bagi pihak kita, tetapi untung bagi Belanda, pada waktu itu kekuatan TNI di dalam kota sudah tidak bayak. Brigade X/Divisi III yang bertugas mempertahankan Ibu Kota hanya tersisa dua Seksi. Terdiri dari satu dekking (pengawal) Staff Brigade dan satu dekking Staf Batalyon 4. Pasukan lain, semuanya sudah berada di luar kota. Polisi Negara dan Polisi Militer yang berada di dalam kota berjumlah tiga kompi. Mereka secara taktis berada di bawah Komando Militer Kota, untuk menjaga keamanan serta mengadakan perlawaan dalam kota, Sejak pukul 07.15, mereka bersama dua seksi dari Brigade X sudah saya perintahkan untuk mengadakan penghambatan terhadap gerak maju Belanda dari arah Maguwo. Sekitar pukul 09.00, mereka mendapat bantuan dua seksi kadet Akademi Militer. Dengan kekuatan sebesar itu, tent saja sangat sulit bagi kami untuk bisa mempertahankan frontbreedete (Kelebaran Front) sepanjang empat kilometer. Akhirnya pasukan Belanda dapat mengepung Istana pada pukul 01.30. Bung Karno kemudian memerintahkan Letnan I Soesatio menghentikan perlawanan. Sekitar 80 pucuk senapan Lee Enfield beserta seluruh persenjataan anggota Kompi II Polisi Militer, diletakkan di halaman rumput depan Istana. Dengan kedua tangan di atas kepala, seluruh anggota Polisi Militer keluar dari halaman Istana, berbelok ke kanan, berbaris ke arah simpang empat ujung Malioboro. Kemudian sekali lagi belok ke kanan, masuk ke Jalan Kauman. Kemudian Bung Karno menyuruh Letnan I Kemal Toping, Komandan Peleton I, Kompi II, Batalyon Mobil II Polisi Militer untuk mengibarkan bendera putih. Dengan demikian, Bung Karno, Bung Hatta, dan anggota kabinet lain yang tetap berada diIstana telah resmi ditangkap oleh pasukan Belanda.
22
Gambar 2.8 Presiden Soekarno Dibawah pengawasan tentara Belanda, Bung Karno ditetapkan sebagai tahanan rumah, selama 3 hari hingga kemudian pada tanggal 22 Desember 1948, Beliau beserta Agoes Salim dan Sutan Syahrir diterbangkan ke Medan, kemudian di tahan di Brastagi. Sedangkan Bung Hatta dan para tokoh sisanya dityahan di Menoembing, sebuah tempat peristirahatan di puncak bukit, dekat Moentok, Pulau Bangka.
2.5.3 Proposal Negara Bagian Jawa Tengah Komitmen Sri Sutan Hamengku Buwono IX dan Kasultanan kepada RI tak sebatas ucapan, tetapi berwujud karya nyata dan pengorbanan tanpa pamrih. Sejak Ibukota RI berpindah ke Yogya, Kasultanan memberikan banyak dukungan fasilitas dan juga finansial untuk memperlancar jalannya pemerintahan RI di Yogya.
23
Ketika keadaan menjadi sangat genting karena belanda melancarkan agresinya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memainkan peran sangat penting. Dalam serbuan Belanda sejak 19 Desember 1948 itu, Presiden RI dan Wakil Presiden RI ditangkap. Penduduk pun panik dan mengungsi ke Keraton Yogya. Dalam situasai perang, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi pesan khusus kepada Walikota Yogya, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, pertama, kalau kondisi benar-benar gawat, maka Sultan akan mengambil alih. Kedua, Walikota harus tetap di tempat, jangan pergi. Ketiga, Walikota harus berusaha supaya tidak ikut ditangkap Belanda. Setelah Presiden RI dan wakilnya ditangkap, terjadi kevakuman kekuasaan di Yogya. Dalam kondisi demikian, Sidang Kabinet RI menunjuk Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat . Sementara itu, dalam kondisi kevakuman tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi tumpuan harapan bagi eksistensi RI di mata dunia internasional. Belanda tahu bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan benteng pertahanan bagi berdirinya RI. Karena itu, Belanda berusaha membujuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bahkan, Belanda memberi iming-iming untuk menjadikannya sebagai "Super Wali Nagari" atas Jawa dan Madura dalam rangka negara federal yang sedang direncanakan oleh Belanda. Karena komitmen kepada RI sudah membaja, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertekad untuk tidak pernah ingkar janji kepada RI. Apapun janji setia yang telah diucapkannya tidak diingkarinya, sabda pandhito ratu tan kena wola-wali. Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menolak semua bujukan itu. Semua utusan Belanda yang antara lain adalah Residen E.M. Stock, Dr. Berkhuis, Kolonel Van Langen, Sultan Hamid II, dan Prof. Husein Djajadiningrat ditolaknya mentahmentah. Dalam bersikap anti-kompromi itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun bertaruh nyawa. Jenderal Spoor sudah mengancam untuk mendobrak pintu gerbang Keraton Yogya dengan tank. Pada waktu Jenderal Meyer datang ke Yogya dan ingin masuk Keraton untuk mencoba membujuuk agara memihak kepada Belanda, dijawabnya dengan singkat,"Over mijn link heen!" Artinya, "Bila itu maksud tuan, maka tuan hanya bisa masuk Keraton ini dengan melangkahi mayat saya dulu!"
24
2.4.4 Serangan Umum 1 Maret 1949 Sri Sultan Hamengku Buwono IX, merupakan penggagas dari Serangan 1 Maret 1949, Ide ini beliau dapatkan ketika mendengarkan siaran radio BBC pada akhir Februari 1949 mengenai masalah antara Indonesia-Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Ide ini segera disampaikan kepada Panglima Besar, Jenderal Soedirman, yang saat itu sedang ikut bergerilya. Hingga akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dapat mendatangkan Letnan Kolonel Suharto dan melakukan pertemuan rahasia pada tanggal 13 Februari 1949, untuk menanyakan kesanggupannya menjalankan siasat ini. Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Gambar 2.9 Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 25
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula, pasukan TNI mengundurkan diri. Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah: 1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda. 2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB. 3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
2.6 Keistimewaan Yogyakarta Berdasarkan data-data di atas, Penulis menyimpulkan bahwa, keistimewaan Yogyakarta, terletak pada sejarahnya, mengingat : 1. Pada waktu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Republik Indonesia, saat itu Yogyakarta telah layak untuk mendirikan negara sendiri atau memiliki syarat-syarat dasar untuk menjadi sebuah negara, yaitu memiliki wilayah, memiliki rakyat, dan memiliki sistem pemerintahan. Namun Yogyakarta justru menggabungkan diri di bawah pemerintahan Republik Indonesia, sehigga Yogyakarta menerima predikat 'istimewa', langsung dari Presiden Soekarno lewat piagam 19 agustus 1945. 2. Yogyakarta pernah menjadi pusat pemerintahan RI, sebagai ibukota pada tanggal 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX 26
bahkan memberikan beberapa properti pribadi miliknya untuk menjadi Istana Negara, serta membongkar tabungan Kraton untuk menggaji staff Republik. 3. Yogyakarta terlibat dan berperan aktif mendukung perjuangan RI, sehingga turut mengalami masa-masa peperangan, mulai dari bombardir tentara Inggris, agresi militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Dimana Yogyakarta mengalami kerusakan yang parah karena menjadi pusat daerah peperangan. 4. Sikap dan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menolak segala imingiming dari Belanda akan pembentukan NegaraWilayah Jawa Tengah dengan Sultan sebagai kepala pemerintahannya, dan malah membantu RI untuk mencapai kemerdekaan sejati. Dengan fakta-fakta sejarah ini, penulis bertujuan mengingatkan akan sejarah yang terlupakan mengenai asal-usul keistimewaan Yogyakarta.
2.7 Analogi Perbandingan dengan Aceh Menurut Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo dalam bukunya yang berjudul Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya, untuk memahami kelahiran DIY, perlu diperhatikan bagaimana perbedaannya dengan kelahiran Daerah Istimewa Aceh. Yogya disebut istimewa karena sebelum bergabung dengan RI sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri atau apa yang disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai "susunan asli". Hal itu jelas karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau "nagari" tersendiri. Adapun Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan merupakan penerus langsung dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah itu (Sujamto, 1988). Pada jaman Hindia Belanda, Aceh merupakan sebuah karesidenan. Pada masa itu, Karesidenan Aceh terdiri dari beberapa kabupaten (afdeling). Di kawasan Aceh tersebut ada beberapa daerah Zelfbestruurd gebied. Ada pula beberapa daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, disebut sebagai daerah rechstreeks bestruud gebied. Proses sampai akhirnya menjadi Daerah Istimewa Aceh, menurut Sujamto (1988), merupakan proses panjang dan melelahkan melewati tahapan-tahapan sebagai berikut :
27
Pertama, pada saat RI merdeka, Aceh mendapatkan status baru sebagai sebuah karesidenan di dalam Provinsi Sumatera. Kedua, Pada masa revolusi kemerdekaan, Aceh menjadi sebuah Daerah Militer. Aceh bersama dengan Langkat dan Tanah Karo merupakan Daerah Militer di dalam Provinsi Sumatera. Ketiga, daerah Aceh disebut Presiden Soekarno sebagai "daerah modal" bagi Republik. Kemudian, dibentuklah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keempat, Banda Aceh (Kutaraja) menjadi tempat kedudukan (kantor) Wakil Perdana Menteri RI. Pada waktu itu rakyat Aceh menyatakan aspirasi untuk menjadikan Aceh sebagai Provinsi Otonom. Kelima, Wakil Perdada Menteri menetapkan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh. Wilayahnya agak lebih luas dari wilayah Provinsi DI Aceh yang sekarang ini. Keenam, karena rakyat terus-menerus bergejolak dan menuntut supaya Aceh diberi otonomi secara khusus, akhirnya diputuskan bahwa Aceh merupakan sebuah Daerah Istimewa. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No.1/Misi/1959 menyatakan bahwa Daerah Swatantra Tingkat I Aceh dapat disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh. Proses itu berbeda dengan Yogyakarta. Ketika RI merdeka, Yogya merupakan sebuah kerajaan (Kasultanan dan Pakualaman) yang berdaulat penuh. Yogya memiliki sistem pemerintahannya sendiri. Namun, pemimpin pemerintahan (raja) di Yogya memutuskan untuk bergabung dengan RI.
2.8 Animasi Dokumenter Animasi Dokumenter adalah sebuah genre film yang mengkombinasikan genre animasi dan dokumenter. Karya pertama yang diakui sebagai animasi dokumenter adalah karya Winsor McKay pada tahun 1918, sebuat film dengan durasi 12 menit yang berjudul The Sinking of the
28
Lusitania, yang menggunakan animasi untuk menggambarkan RMS Lusitania yang tenggelam pada 1915 akibat terkena 2 tembakan torpedo yang ditembakan oleh German U-boat, ini merupakan sebuah even yang tidak memiliki rekaman footage apapun. Contoh lain dari film Animasi Dokumenter adalah Abductees (2005) karya Paul Vester, film ini menampilkan wawancara dengan beberapa orang yang mengaku pernah diculik oleh makhluk luar angkasa, dari wawancara tersebut pengalam mereka ditampilkan kembali dalam bentuk animasi. Selain itu ada juga Waltz With Bashir (2008) yang masuk dalam nominasi Academy Awards sebagai Best Foreign Languages Film menceritakan tentang perang Libanon di tahun 1982. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa pembuatan film dokumenter yang menggunakan pendekatan teknik animasi dapat digunakan ketika: •
Tidak ada rekaman nyata dari kejadian yang akan di dokumentasikan.
•
Hal yang akan didokumentasikan, merupakan hal yang mustahil atau memakan biaya yang sangat besar untuk direka ulang.
Selain itu, penggunaan animasi akan memungkinkan penulis untuk meningkatkan ketertarikan serta memudahkan audiens dalam mempelajari isi dari film. Sesuai dengan kategori dari tugas akhir ini, Penulis menggunakan teknik animasi untuk memberikan gambaran tentang hal-hal yang pernah terjadi dalam sejarah, terutama yang tidak mungkin untuk direka ulang, serta dengan
menggunakan penggambaran yang menarik untuk menarik minat audiens dalam
memahami konten dari film animasi dokumenter ini.
2. 9 Target Audiens 2.8.1 Target Primer Target audiens primer dari film Animasi Dokumenter Asal-usul Keistimewaan Yogyakarta ini adalah audiens dengan usia 17-25 tahun, laki-laki maupun perempuan, yang tinggal di kota-kota besar, khususnya yang berada di kota Yogyakarta. Dengan pendidikan minimal SMA atau Sarjana. Memiliki ketertarikan di bidang sejarah terutama sejarah kota Yogyakarta, film, dan animasi. Dengan tingkat kemampuan ekonomi menengah ke atas.
2.8.2. Target Sekunder Target audiens sekunder dari film Animasi Dokumenter Fajar di Yogyakarta adalah audiens dengan usia diatas 25 tahun, laki-laki maupun perempuan, yang tinggal di kota-kota besar, khususnya yang berada di kota Yogyakarta. Dengan pendidikan minimal SMA atau
29
Sarjana. Dan memiliki ketertarikan mengenai polemik keistimewaan Yogyakarta. Dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
2.9.3 Analisa Kasus 2.9.3.1 Faktor Pendukung 1. Tema yang diangkat dapat menjadi referensi dan reminder, bagi permasalahan yang sedang terjadi mengenai polemik keistimewaan Yogyakarta. 2. Tema yang diangkat dapat mengangkat rasa nasionalisme masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta agar dapat lebih mencintai kotanya. 3. Tema yang diangkat dapat memberikan pengetahuan mengenai sejarah Yogyakarta. 4. Penggunaan teknik animasi dapat merekonstruksi kejadian-kejadian sejarah yang pernah terjadi dan yang tidak dapat direka ulang secara nyata.
2.9.3.2 Faktor Penghambat 1. Tema yang diangkat memiliki kontroversi dan berbagai versi mengenai pemrakarsa dan pelaku serangan umum 1 maret 1949. 2. Banyak masyarakat yang kurang tertarik untuk mengetahui sejarah atau kisah kepahlawan para pahlawan bangsa. 3. Tidak semua data mengenai sejarah Yogyakarta dapat dibahas karena keterbatasan dalam segi waktu.
2.9.3.3 Analisa Asal-usul Keistimewaan Yogyakarta dan Penetapan-penetapannya Berdasarkan data-data yang penulis miliki, yaitu dari buku-buku dan literatur mengenai sejarah
berdirinya
Yogyakarta,
keterlibatan
Yogyakarta
pasca
kemerdekaan
hingga
keistimewaan Yogyakarta, mengenai tokoh-tokoh yang terlibat, peristiwa-perstiwa pentingnya serta keterkaitannya dengan Polemik Keistimewaan Yogyakarta, maka akan dibuat film animasi dokumenter Asal-usul Keistimewaan Yogyakarta.
30