BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Tesis ini akan membahas mengenai peran partai eks kombatan dalam
mengadvokasi representasi perempuan dalam politik pasca konflik dengan menggunakan studi kasus Partai Aceh di Aceh dan partai Farabundo Mart National Liberation Front (FMLN) di El Salvador. Aceh dan El Salvador dipilih karena dua negara tersebut merupakan wilayah yang berbeda tetapi memiliki kesamaan terhadap transformasi gerakan perjuangan dari gerakan bersenjata menjadi gerakan partai politik melalui pemilihan umum. Pemilihan umum telah menjadi unsur penting dalam kebanyakan proses perdamaian pada zaman sekarang. Hal itu terjadi sejak ‘gelombang ketiga’ demokratisasi pada era 1970-an, dan dipercepat dengan berakhirnya era Perang Dingin. Sejak saat itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pihak-pihak lain telah mengadopsi formula penyelesaian konflik berupa kesepakatan damai melalui proses negosiasi yang segera diikuti dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang kompetitif.1 Dalam konteks semacam itu, pemilihan umum biasanya diharapkan dapat menjadi sarana untuk mencapai sejumlah tujuan, termasuk pemberlakuan aturanaturan baru demokrasi mengenai persaingan politik, pemberian legitimasi bagi
1
Barnes, Samuel H. (2001). The Contribution of Democracy to Rebuilding Postconflict Societies. American Journal of International Law 95(1): 86-101.
1
pemerintahan baru, dan penyediaan landasan demokratis untuk memastikan tata kelola pemerintahan dan pembuatan kebijakan yang baik. 2 Model demokrasi berbasis hak asasi manusia dari David Betham menjadi sebuah rumusan terhadap strategi transformasi konflik berbasis hak-hak asasi manusia, untuk mengatasi dan menjawab masalah keadilan dalam pembangunan perdamaian pasca-konflik.3 Proses demokratisasi ini juga pada akhirnya memberikan ruang terhadap lahirnya berbagai partai untuk berkompetisi dalam menciptakan tatanan masyarakat yang damai termasuk juga partai eks kombatan. Satu hal yang perlu kita pahami bersama, partai eks kombatan merupakan partai hasil bentukan para kombatan pasca konflik setelah perundingan damai. Partai eks kombatan yang kemudian menjadi bahan studi kasus dalam penelitian ini adalah partai eks kombatan di Aceh dan di El Salvador. Dalam kasus Aceh, Partai Aceh merupakan partai eks kombatan yang lahir pasca Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu bentuk hasil penandatangan dari perjanjian tersebut adalah nota kesepahaman yang menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.4 Untuk mencapai tingkat keamanan yang stabil pasca konflik, maka dibutuhkan proses transformasi kombatan GAM menjadi aktor-aktor demokrasi baru di Aceh. Hal ini didasarkan 2
3
4
Ottaway, Marina (2002). Rebuilding State Institutions in Collapsed States. Development and Change 33(5): 1001-23. Michelle Parlevliet. 2009. ‘Rethinking Conflict Transformation from a Human Rights Perspective’. Berghof Research Center for Constructive Conflict Management. Partai Aceh. 2012. Sejarah Partai Aceh. Diakses di http://www.partaiaceh.com/2012/02/sejarahpartai-aceh.html pada 21 Desember 2012.
2
pula pada poin kesepakatan Helsinki yang memberikan ruang berdirinya partai lokal di Aceh. Satu lagi partai eks kombatan yang diteliti, yakni partai revolusioner Farabundo Mart National Liberation Front (FMLN) di El Salvador, Amerika Latin, merupakan partai yang terbentuk setelah adanya perjanjian damai ditandatangani pada tahun 1992. Perjanjian damai ini mengakhiri perang sipil di El Salvador selama dua belas tahun antara kekuatan revolusioner FMLN dan pemerintah militer El Salvador.5 Dalam kasus ini, partai Aceh dan partai FMLN sebagai partai yang dibentuk oleh para eks kombatan, dan terjadi sebagai implikasi dari proses demokratisasi, membawa serta diskursus kesetaraan perempuan dalam partisipasi dan keterwakilan ruang-ruang publik, terutama keterwakilan dalam politik. Hadirnya perempuan di ruang-ruang politik sebagai implikasi dari proses demoktratisasi telah dilandasi oleh hukum yang kuat untuk ikut serta dalam perpolitikan. Secara hukum internasional, partisipasi politik sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik adalah salah satu prinsip mendasar yang diamanatkan di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)), yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1979 dan disahkan mulai tahun 1981. Sekarang, lebih dari 20 5
Erica Roggeveen. 2003. Revolutionary Women in El Salvador: The Farabundo Marty National Liberation Front, women’s organizations, and the transformation of the position of women. Senior Thesis in Bryn Mawr College. Dept. of Political Science.
3
tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu (yang juga telah diratifikasi oleh 165 negara), kenyataan menunjukkan bahwa kaum perempuan di seluruh pelosok dunia masih saja termarginalisasi dan kurang terwakili di dunia politik.6 Tidak ada demokrasi apabila perempuan tidak sepenuhnya dilibatkan. 7 Dalam konteks era demokrasi, partisipasi politik perempuan khususnya di parlemen merupakan bagian dari hak asasi perempuan. Di mana hak asasi adalah bagian dari integral demokrasi. Karena itu, partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik perlu dihormati oleh siapa pun yang mendukung ide dasar demokrasi. Artinya, hak untuk terlibat dalam politik khususnya di parlemen bukan hanya milik laki-laki dan konspirasi apapun untuk menjatuhkan harkat dan martabat dari perempuan dalam politik. Penelitian tentang advokasi representasi politik bagi perempuan pasca konflik penting untuk dikaji lebih jauh karena perempuan merupakan objek yang paling banyak dirugikan pada masa konflik. Perempuan hanya semata-mata dipandang sebagai korban, baik korban konflik atau perang, maupun korban dari kultur dan struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Selama proses konflik berlangsung, seringkali pula kejahatan seksual terjadi dan korban dari kejahatan seksual adalah pihak perempuan. Hal ini mengarah tidak hanya pada konsekuensi untuk menghancurkan fisik dan psikologis korban, keluarga dan masyarakat,
6
Julieballington. 2002. Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. AMEEPRO, Jakarta, Indonesia 7 Tabrani Yunis. 2006. Tabrani Yunis adalah pendiri LSM Center for Community Development and Education (CCDE).
4
tetapi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi berupa tindakan penyiksaan, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.8 Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kondisi mereka pada masa pasca konflik tidak serta merta berbeda dengan masa konflik, perempuan pasca konflik pun seringkali termarginalkan. Padahal, pada realita masa konflik, perempuan juga ikut serta mengangkat senjata. Namun sebagai dua kasus yang sama, ternyata dua partai ini memiliki perbedaan resepsi dalam mengadvokasi perempuan. Kasus terkait advokasi perempuan ini kemudian menjadi hal menarik, karena dalam proses perdamaian pasca konflik, tindakan advokasi bukan lagi hanya merujuk pada perlindungan dan perbaikan kebijakan dalam hal perlindungan atas kekerasan fisik dan seksual kepada perempuan yang dianggap sebagai korban, melainkan juga perlindungan dan pengubahan kebijakan terkait representasi politik yang masih bias gender. Advokasi terhadap pengakuan hak-hak perempuan terutama hak perempuan di wilayah politik masih relatif sedikit. Pada masa perdamaian, peran perempuan di wilayah politik mulai dikembangkan, namun peran strategis perempuan seringkali tidak dihargai. Sehingga bentuk advokasi ini juga dapat dijadikan
sebagai
bentuk
konsolidasi
perdamaian
menuju
tercapainya
pembangunan dan perdamaian berkelanjutan. Selain itu, yang jauh lebih penting lagi adalah, ketika sebuah pembangunan dilaksanakan, pada akhirnya sebuah kajian atas keadilan representasi perempuan dalam politik tidak dapat diabaikan, 8
Nobel Women’s Initiative advocating for peace, justice & equality. 2011. War on Women: Time for Action to End Sexual Violence in Conflict. 430-1 Nicholas Street, Ottawa, ON K1N 7B7 Canada
5
mereka adalah kaum yang pada kenyataannya memiliki potensi dan memberikan sentuhan berbeda dalam berkarya di ruang politik, khususnya di wilayah pembangunan berkelanjutan pasca-konflik.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: Bagaimana peran partai eks kombatan di Aceh dan El Salvador terhadap advokasi representasi perempuan dalam politik pasca konflik?
1.3.
Landasan Teori
1.3.1
Kerangka Konseptual
1.3.1.1 Partai Politik Peneliti merasa perlu untuk membedakan partai politik secara umum dengan partai eks kombatan agar lebih memahami apa peranan yang dijalankan oleh partai eks kombatan berbeda dengan partai politik secara umum. Robert Michels mendefinisikan partai politik sebagai komponen infrastruktur politik yang mempunyai fungsi utama yaitu mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.9 Untuk itu partai politik menjalankan aktivitas yang penting yaitu turut berpartisipasi di sektor pemerintahan, dalam artian berusaha mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah. Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi tidak dapat dilepascan dari peran dan fungsinya. 9
Umumnya,
para
ilmuwan politik biasanya
Robert Michaels. 1984. Partai Politik: Kecendrungan Oligarkhis dan Birokrasi. CV. Rajawali
6
menggambarkan adanya empat fungsi partai politik. Menurut Miriam Budiardjo keempat fungsi partai politik tersebut, meliputi: 1. sarana komunikasi politik, 2. sosialisasi politik, 3. sarana rekruitmen politik dan 4. pengatur konflik.
10
Meskipun keempat fungsi tersebut saling terkait satu sama lain, hal yang ingin ditekankan adalah fungsi ke empat yaitu pengatur konflik. Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat. Partai politik hadir untuk mengatur nilai dan kepentingan yang lahir dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing satu sama lain. Sehingga, partai politik berperan sebagai sarana agregasi kepentingan yang menyalurkan ragam kepentingan dari masyarakat. Tentu, partai tidak hanya mengagregasikan dan mengintegrasikan kepentingan dari satu golongan tetapi hadir untuk kepentingan semua golongan, termasuk perempuan.
1.3.1.2 Partai Eks kombatan Eks
kombatan merupakan mantan-pejuang individu
yang telah
mengambil bagian langsung dalam permusuhan atas nama salah satu pihak yang bertikai dan telah dilucuti persenjataannya. An ex-combatant can be seen as an individual who has taken direct part in the hostilities on behalf of one of the warring parties. The individual must also either have been discharged from or have voluntarily left the military group he or she was serving in. 11 Setelah perjanjian damai, para eks kombatan membentuk sebuah partai politik sebagai 10 11
Miriam Budiarjo,2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama Anders Nilsson. 2005. Reintegrating Ex-combatans in Post-Conflict Societies. Published by Sida Department for Cooperation with Non-Governmental Organisations and Humanitarian Assistance & Conflict Management
7
proses transformasi politik. Partai politik menjadi salah satu jalan damai untuk menciptakan tatanan yang demokratis sekaligus memberikan kesempatan kepada semua orang di wilayah politik. Hadirnya partai eks kombatan sebagai sarana aspirasi politik tidak hanya dikhususkan kepada para eks kombatan, tetapi juga terbuka untuk publik dan memiliki fungsi sebagai agregasi kepentingan. Partai eks kombatan sebagai implikasi dari perjanjian damai, maka sangat perlu ditopang oleh konsensus nilai yang luas, melibatkan berbagai pihak sehingga mempunyai basis legitimasi politik yang kuat, dan karena itu berbagai pihak merasa memiliki dan berkomitmen mendukungnya. Partai eks kombatan pertama yang diamati dalam tesis ini, yakni Partai Aceh, merupakan partai yang lahir pada 19 Februari 2007 dari hasil kesepakatan antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah, yang mengubah nama dari partai Gerakan Aceh Merdeka, kemudian Partai Gerakan Aceh Mandiri, hingga menjadi Partai Aceh. Partai Aceh menjadi harapan baru terhadap perempuan yang dianggap sebagai wadah bagi perempuan untuk terlibat langsung dalam sistem kepartaian. Hal yang serupa di El Salvador, partai eks kombatan lainnya yang menjadi kasus untuk diperbandingkan, yakni FMLN, menjadi sebuah partai politik pasca perjanjian damai antara pihak pemerintah dengan pihak FMLN. FMLN adalah sebuah partai revolusioner lahir dari bentukan para eks kombatan. Partai FMLN merupakan partai yang juga menjadi harapan baru terhadap kaum
8
perempuan pasca konflik dalam mengadvokasi peran-peran perempuan di wilayah politik.
1.3.1.3 Advokasi Dan Partisipasi Perempuan Dalam Politik Pasca Konflik Partai politik menjadi salah satu jalan damai untuk menciptakan tatanan yang demokratis sekaligus memberikan kesempatan kepada semua orang di wilayah politik. Meskipun partai-partai yang muncul seringkali bias gender yang identik dengan gender tertentu, akan tetapi keberadaan perempuan di dalam menduduki kursi parlemen dan memperjuangkan serta menyuarakan hak-hak perempuan masih tetap hadir. Parlemen adalah satu-satunya lembaga yang dipilih secara nasional yang dapat berbicara atas nama semua warga negara dan membela kepentingan apa yang mereka perjuangkan. 12 Yves Meny dan Andrew Knapp memberikan kategori fungsi pengelolaan konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik.13 Sehingga, peran dari partai adalah mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan. Namun munculnya diskriminasi perempuan dalam setiap pelembagaan menjadi sebuah kendala tersendiri bagi perempuan dalam mengagregasikan kepentingannya. Padahal partai politik adalah salah satu pilar demokrasi dan
12
Ilja Luciak. 2008. Pengawasan Parlementer atas dan Gender. Jenewa: DCAF, OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW 13 Yves Meny and Andrew Knapp. 1998. Government and Politics in Western Europe:Britain, France, Italy, Germany. Third edition, Oxford University Press. Dalam Jimly Asshiddiqie. Dinamika Partai Politik dan Demokrasi
9
institusi strategis yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan keterwakilan politik termasuk keterwakilan perempuan. Sehingga sangat perlu untuk memberikan advokasi terhadap perempuan dari diskriminasi tersebut. Advokasi diartikan dengan banyak perspektif sehingga cukup beragam pengertiannya. Beberapa pengertian para ahli mengenai advokasi adalah: Ritu R Sharma dalam bukunya Advokasi (2004), menghimpun beberapa pengertian advokasi: 1. Advokasi adalah sebuah tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau program dari setiap tipe institusi. 2. Advokasi sebuah tindakan berbicara menarik perhatian masyarakat tentang suatu masalah, dan mengarahkan pengambil keputusan mencari solusi. 3. Advokasi mencoba untuk memasukkan suatu problem ke dalam agenda, mencari solusi mengenai problem tersebut dan membangun dukungan untuk bertindak menangani problem maupun solusinya. 4. Advokasi mengacu pada strategi yang diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan. 5. Advokasi dapat menggunakan strategi mengadakan lobi, pemasaran pada masyarakat, memberikan informasi, pendidikan dan komunikasi, membentuk organisasi masyarakat atau berbagai macam teknik lain. 6. Advokasi merupakan sebuah proses keikutsertaan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.14
Selain pengertian di atas, Ismail Nawawi juga memberikan definisi advokasi sebagai usaha politis warga masyarakat yang terorganisir untuk menransformasikan hubungan kekuasaan. Tujuan dari advokasi untuk mencapai sebuah perubahan kebijakan publik agar bermanfaat bagi masyarakat yang terlibat dalam proses tersebut. Advokasi akan efektif jika dilakukan sesuai dengan rencana strategis dalam waktu yang masuk akal.15 Beberapa pengertian tersebut 14
Ritu R Sharma. 2004. Pengantar Advokasi Panduan Latihan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Ismail Nawawi. 2009. Public Policy, Analisys, Strategi Advokasi Teori dan Praktek, PMN. Surabaya 15
10
hampir senada dengan klasifikasi advokasi menurut Valerie Millar dan Jane Covey, berdasarkan praktek di beberapa negara. Misalkan, di India advokasi digambarkan sebagai sebuah proses yang terorganisir, sistematik, dan sengaja untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang tidak memiliki hak suara. Rachmad Syafa’at (2008), menyatakan bahwa advokasi harus diletakkan dalam konteks mewujudkan keadilan sosial, yaitu advokasi yang meletakkan korban sebagai subjek utama. Kepentingan merekalah yang justru harus menjadi agenda pokok dan penentu arah kebijakan advokasi.16 Karena fokus penelitian tesis ini adalah advokasi terhadap representasi perempuan dalam politik, terlebih dulu peneliti akan menguraikan mengenai partisipasi
politik,
yang
menurut
Huntington
adalah
kegiatan
dalam
mempengaruhi pemerintah yang dilakukan secara langsung, yaitu pelaku sendiri tanpa perantara, atau secara tidak langsung, yaitu melalui orang-orang yang dapat menyalurkannya kepada pemerintah.17 Partisipasi politik juga dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga di dalam proses politik. Konsep partisipasi politik tidak hanya berarti bahwa warga negara mendukung keputusan atau kebijakan yang digariskan oleh pemimpinnya, melainkan mengacu pada keterlibatan di semua tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai penilaian keputusan, termasuk peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.18
16
Rachmad Syafa’at. 2008. Metode Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Intrans Publishing, Malang. Malang 17 Samuel P Huntinton dan J. Nelson. 1990. Partisipasi politik di negara berkembang. Jakarta. Rineka Cipta 18 Afan Gaffar, 1991. Partisipasi politik Indonesia. Jurnal Prospektif Vol.1 No.3 Jakarta.
11
Mengenai siapa aktor yang terlibat dalam partisipasi politik, Afan Gaffar menyatakan lagi bahwa partisipasi politik itu mengacu kepada kegiatan pribadi warga negara yang legal dan berlangsung untuk mempengaruhi seleksi pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil untuk mereka. Sementara itu, Almond menyatakan partisipasi politik dapat dilakukan dengan dua bentuk: 1. Partisipasi konvensional yaitu suatu bentuk partisipasi politik normal dan legal melalui pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye, pembentukan dan atau bergabung dalam kelompok kepentingan. 2. Partisipasi politik nonkonvensional yaitu meliputi pengajuan petisi, aksi demonstrasi dan pemogokan, konfrontasi, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda serta tindakan terhadap manusia. 19 Dalam hal partisipasi politik, perempuan terus berusaha agar mereka bisa menuntut keadilan, terutama kesempatan untuk ikut berkarya dan memberi andil, yang diwujudkan dalam bentuk keterwakilan mereka di dalam parlemen. Seringkali representasi perempuan di wilayah politik termarginalkan. Philips dalam karyanya The Politics of Presence menyatakan bahwa representasi politik hadir karena ketidakseimbangan antar kelas sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga menimbulkan gerakan politik baru. Sehingga politik diartikan sebagai “presence” yaitu kehadiran pemikiran tersebut merupakan cikal bakal lahirnya politik pembebasan bagi perempuan yang dilakukan oleh sekelompok aktivis
19
Almond dalam Mochtar Mas’oed & Colin Mac. 2000. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
12
perempuan yang peduli terhadap nasib perempuan untuk menduduki kursi legislatif.20 Latar belakang terjadinya peminggiran hak-hak perempuan, karena adanya salah satu masalah besar yaitu sistem gender yang sangat patriarkis. Hal ini pernah dinyatakan oleh Kate Millet, seorang feminis radikal dalam bukunya Sexual Politics. Millet mangajak kalangan feminis untuk menghapuskan sistem gender yang menjadi sumber penindasan perempuan dan kemudian menciptakan sebuah masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki setara di berbagai tingkat keberadaannya.21 Dalam konteks sosiologis, gender sering dipandang sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.22 Selain itu, terjadi ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat termasuk dalam aspek politik. Menurut Jessie Bernard, ada empat tema yang menandai teori ketimpangan gender: (1) Laki-laki dan perempuan di letakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga timpang. Secara spesifik, perempuan memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada yang diperoleh lakilaki yang membagi posisi sosial mereka berdasarkan kelas, ras, 20
Anne Phillips. 1995. The Politics of Presence. Clarendon Press· Oxford Ratnawati. 2004. Potret kuota perempuan di parlemen. Jurnal Ilmu sosial dan ilmu politik. volume 7, nomor 3 22 Heren Tiemey (ed). Women’s Studies Encyclopedia. Vol. 1. New York, Green Woods Press 21
13
pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan dan berdasarkan faktor sosial penting lainnya. (2) Ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan ideologis atau kepribadian penting antara laki-laki dan perempuan. (3) Meski manusia individual agak berbeda ciri dan tampang satu sama lain, namun tidak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Bahkan seluruh manusia ditandai oleh kebutuhan mendalam akan kebebasan untuk mencari ketidakleluasaan atau peluang situasi dimana mereka menemukan diri sendiri. (4) Semua teori ketimpangan menganggap baik laki-laki maupun perempuan akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang semakin mengarah kepersamaan derajat (egalitarian) dengan mudah dan secara alamiah. 23
1.3.2
Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mencari dan menelaah tentang
peran partai terhadap advokasi representasi perempuan dalam kehidupan berpolitik terutama Aceh dan El Salvador, namun pembahasan tentang perbandingan partai eks kombatan terutama Aceh dan El Salvador belum ada. Hasil-hasil penelitian yang ada hanya membahas partai Aceh dan El Salvador terhadap advokasi perempuan tetapi tidak dalam konteks perbandingan. Samuel Clark Blair Palmer menulis tentang Pilkada Damai, Demokrasi yang Rapuh: Pilkada Pasca Konflik di Aceh dan Implikasinya. Tulisannya ini menjelaskan tentang arti penting pilkada pasca konflik di Aceh. Ada dua alasan mengapa pilkada pada era pasca konflik di Aceh menjadi penting. Pertama, pilkada penting karena terkait dengan peran yang dimilikinya dalam mengelola persaingan politik di kalangan elite politik di Aceh. Pada masa lalu, dinamika persaingan politik di kalangan elite lokal di Aceh telah memengaruhi sifat dari
23
Jessie Bernard, “Teori Ketimpangan Gender” dalam George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (terj), Edt. VI, Jakarta : Prenada Media, 2004
14
konflik lokal maupun konflik pusat-pinggiran di provinsi tersebut. Kedua, pilkada pada era pasca konflik di Aceh penting terkait dengan peran yang dimilikinya dalam mewujudkan komitmen politik dan prioritas kebijakan yang akan memengaruhi tatakelola pemerintahan dan pembuatan kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.24 Mala N. Htun menulis tentang Women in Parliament. Tulisan ini memberikan gambaran partisipasi perempuan dalam parlemen di Amerika Latin. Menganalisis alasan dan hambatan terhadap perempuan dalam kekuasaan, termasuk faktor-faktor sosio-ekonomi, sikap publik terhadap kepemimpinan perempuan dan peran partai politik dalam sebuah sistem pemilihan umum. Mengkaji strategi tindakan afirmatif yang diadopsi oleh negara-negara Amerika Latin untuk memperluas peluang terhadap perempuan. Di sini juga dijelaskan bahwa apakah kehadiran perempuan membawa pengaruh yang besar dalam kekuasaan dan membuat perbedaan terhadap kebijakan. Dalam keadaan tertentu, perempuan
telah
disusun
dalam
aliansi
politik
multipartisan
untuk
mempromosikan hukum tertentu dan perubahan kebijakan untuk memajukan hak perempuan. Pada akhirnya, bagaimanapun, memajukan hak perempuan di sebuah wilayah tergantung pada konsolidasi demokrasi, pembangunan berkelanjutan dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang adil.25
24
Samuel Clark Blair Palmer.2008. Pilkada Damai, Demokrasi yang Rapuh: Pilkada Pasca Konflik di Aceh dan Implikasinya. Indonesian Social Development Paper No. 11 Diterbitkan di Jakarta oleh World Bank 25 Mala N. Htun. 2002. International IDEA,Women in Parliament, Stockholm (http://www.idea.int). This is an English version of Mala N. Htun, “Mujeres y poder político en Latinoamérica”, in International IDEA, Mujeres en el Parlamento. Más allá de los números,
15
Menggunakan
kasus
El Salvador,
tulisan
Mala
N.
Htun
ini
mengeksplorasi bagaimana keterampilan organisasi perempuan yang ada selama terjadinya perang saudara kemudian menjadi bagian dari perjuangan LSM untuk mendapatkan hak-hak pasca konflik. Selain itu juga menjelaskan secara singkat metodologi stratifikasi gender yang digunakan dalam analisis dan kemudian menyajikannya ke dalam situasi sebelum, selama, dan setelah perang di El Salvador. Setelah membahas bagaimana perempuan El Salvador, tulisannya ini membahas pula tentang kekuatan ekonomi yang sangat diperlukan oleh para pemberontak selama perang, serta faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan Las Madres Demandantes (LMD), sebuah LSM yang terfokus pada satu masalah anak dan perempuan. Sebagai kesimpulan, disajikan beberapa pelajaran dari masalah-masalah yang dihadapi oleh LSM perempuan setelah konflik di El Salvador.26 Dari beberapa tulisan di atas, sejauh penelusuran penulis, terlihat belum ada yang menjelaskan perbandingan mengenai advokasi terhadap representasi perempuan dalam politik yang diberikan oleh partai eks kombatan, antara lain partai Aceh dan dan partai FMLN di El Salvador. Dari sini kemudian penulis
Stockholm, Sweden, 2002. (This translation may vary slightly from the original text. If there are discrepancies in the meaning, the original Spanish version is the definitive text). 26 Rae Lesser Blumberg. 2001. Risky Business: What Happens to Gender Equality and Women's Rights in Post-Conflict Societies? Insights from NGO's in El Salvador. International Journal of Politics, Culture and Society, Vol. 15, No. 1. Springer. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/20000180.
16
mencoba untuk melakukan studi perbandingan terkait dua kasus partai eks kombatan tersebut.
1.4
Argumen Utama Hadirnya partai eks kombatan sebagai bagian dari proses demokratisasi
memiliki resepsi yang berbeda terhadap diskursus kesetaraan perempuan dalam partisipasi dan keterwakilan ruang-ruang publik terutama keterwakilan dalam politik. Dalam partai Aceh, adanya kecenderungan perempuan hanya sebagai formalitas untuk memenuhi kuota 30 persen, tanpa melibatkan perempuan secara serius dalam masalah politik. Hal ini tentu bisa dilihat bagaimana program partai yang cenderung bias gender. Sementara dalam partai FMLN, hak-hak politik perempuan merupakan hak asasi yang paling mendasar, sementara hak asasi manusia adalah bagian integral dari demokrasi. Perempuan El Salvador tidak hanya dianggap sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi juga perempuan El Salvador memainkan peran unik dalam mengadvokasi hak-hak mereka. Pada saat yang sama, perempuan telah memiliki hak suara dalam politik dibandingkan dengan masa sebelumnya dengan agenda politik yang kuat, untuk menuntut hak-hak reproduksi dan seksual serta keterwakilan dalam politik perempuan.
1.5
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang mengungkap fakta secara
17
deskriptif naratif dan tidak melakukan generalisasi kesimpulannya ke dalam populasi sehingga banyak bersifat studi kasus.27
1.5.1
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis studi kasus perbandingan dengan wilayah
yang berbeda, yakni Partai Aceh di Indonesia dengan Partai FMLN di Amerika Latin.
1.5.2
Sumber data dan Informasi Sumber data meliputi data sekunder. Data sekunder adalah data yang
diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mempelajari literatur, tulisan ilmiah, serta dokumen yang terkait dengan objek penelitian dan permasalahan yang diangkat.
1.5.3
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
studi kepustakaan dan dokumen.
1.6
Struktur penulisan Sistematika penulisan tesis ini disusun berdasarkan Bab I sampai dengan
Bab V, dengan rincian sebagai berikut:
27
Muhammad Forouk, dkk.2003. Metode Penelitian. PTIK. Jakarta
18
Bab I atau bab pendahuluan, menyajikan: latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teori, tinjauan pustaka, argumen utama, metode penelitian, struktur penulisan.
Bab II, menjelaskan tentang gambaran umum partai eks kombatan yang terdiri dari: Gambaran umum Aceh, dinamika pembentukan Partai Aceh, proses demokratisasi Partai Aceh, dan Gambaran umum negara bagian El Salvador, dinamika lahirnya Partai Farabundo Mart National Liberation Front (FMLN), proses demokratisasi partai FMLN.
Bab III, Menjelaskan representasi perempuan dalam politik yang terdiri dari: dinamika representasi calon legislatif perempuan dalam partai politik, dinamika representasi perempuan dalam politik di Aceh pasca konflik yang terdiri dari: gambaran umum peran perempuan dalam politik di Aceh pasca konflik, hambatan representasi perempuan dalam politik di Aceh pasca konflik, dinamika representasi perempuan dalam politik di partai Aceh dan hambatan representasi perempuan dalam politik di partai Aceh. Selain itu, akan menjelaskan dinamika representasi perempuan dalam politik di El Salvador pasca konflik, gambaran umum peranan perempuan dalam politik di El Salvador pasca konflik, dinamika representasi perempuan dalam politik di partai FMLN pasca konflik
19
Bab IV, menganalisis peranan partai Aceh terhadap advokasi representasi perempuan dalam politik pasca konflik dan peranan partai FMLN terhadap advokasi representasi perempuan dalam politik.
Bab V, Bagian kelima terdiri dari kesimpulan dalam menjawab pertanyaan penelitian tesis ini.
20