BAB I A. Latar Belakang
Fokus studi dalam tesis ini akan mengkaji tentang kelahiran partai politik di Indonesia pasca reformasi. Kelahiran Partai Demokrat akan menjadi obyek kajian tunggal dalam tesis ini. Penulis akan menggunakan pendekatan rational choice dalam menganalisis kemunculan Partai Demokrat. Pendekatan rational choice merupakan pendekatan baru dalam studi literatur tentang kemunculan partai baru di Indonesia pasca reformasi, bahkan sejak Indonesia ada. Beberapa studi yang menyingung baik secara explisit maupun implisit tentang kemunculan partai politik pasca orde baru didominasi oleh prespektif sosiologis.
Para akademisi yang telah mengkaji baik secara explisit maupun implisit tentang kemunculan partai politik pasca orde baru dengang pendekatan sosiologis antara lain, Pertama, studi yang dilakukan oleh Ratnawati. Ratnawati (2006) berhasil memetakan partai politik yang berhasil mendapatkan suara di atas electoral threshold 2 % menjadi tiga bagian. Pemetaan tersebut didasarkan pada garis aliran yang telah dirumuskan oleh Clifford Gertz. Menurut Ratnawati (2006:46) golongan santri terwakili dalam PBB, PPP, PAN dan PKB. Partai – partai ini meskipun berusaha mencitrakan sebagai partai terbuka, namun tetap mendulang suara terbesarnya dari basis masa Islam. Sementara golongan priyayi terwakili oleh Golkar karena meskipun kebijakan monoloyalitas telah dihilangkan, namun
1
birokrat – birokrat tua pemilih loyal utamanya di luar Jawa, masih memberi kontribusi besar pada partai ini. Orientasi ideologi priyayi yang lebih pragmatis menempatkan Golkar di posisi tengah antara kutub religius dan sekuler. Golongan abangan yang identik dengan ideologi nasionalis terwakili oleh PDIP yang membawa kembali semangat nasionalis – marhaen Sukarno melalui Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian Ratnawati sampai pada satu kesimpulan bahwa tiga basis aliran yang dirumuskan oleh Clifford Geerrtz masih memiliki wujud nyata dalam kehidupan partai politik pasca reformasi.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Daniel Dhakide. Daniel Dhakide (1999:34-35) membagi partai politik 1999 ke dalam dua jalur utama. Pertama jalur kelas dan yang kedua jalur aliran. Partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya dengan yang lain berdasarkan pandanganya terhadap modal, yang pada akhirnya membagi masyarakat itu atas kelas pemilik modal dan kaum buru dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur aliran membedakan dirinya dari yang lain berdasarkan pandanganya terhadap dunia dan persoalanya, dan bagaimana cara memecakanya. Jalur agama dan kebudayaan menjadi pilihanya. Sumbu vertikal memisakan dua kutub yaitu partai yang berdasarkan agama dan kutub lainya adalah partai yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horisontal memisakan dua kutub lainya berdasarkan kelas, yaitu developmentalisme di satu pihak dan sosialisme radikal dipihak lain.
2
Dengan demikian bisa dikatakan Daniel Dhakide sebenarnya membagi masyarakat menjelang pemilihan umum 1999 ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok Nasionalis yang representasi utamanya adalah PDI-P, kelompok Pembangunan yang repreresentasi utamanya adalah Partai Golkar, kelompok agamis yang representasi utamanya adalah PPP dan kelompok sosialis yang representasi utamanya adalah PRD.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Dwight Y King. Menurut King (2003: 124 134), ada kesinambungan antara hasil suara yang didapatkan oleh partai – partai tertentu dalam pemilu yang digelar pada tahun 1955 dengan hasil suara yang didapatkan oleh beberapa partai pada pemilu 1999. Dasar pembilahan dalam pemilu antara daerah yang mendukung partai-partai nasionalis dan agama inklusif (abangan) dan daerah pendukung partai-partai Islam (santri) pada pemilu 1955 kembali aktif pada pemilu 1999. Menurut King suara PDIP pada pemilu 1999 dapat ditemukan di basis dukungan PNI dan PKI pada pemilu tahun 1955. Dengan kata lain, kaum muslim abangan yang pada pemilu 1955 memilih PNI dan PKI diyakini lebih memilih Megawati Soekarnoputri dan PDIP pada pemilu 1999. Sedangkan suara PKB dapat ditemukan di wilayah yang dulu menjadi basis suara Partai Nahdlatul Ulama. Sedangkan suara PAN, PPP, PK, PBB dapat ditemukan di wilayah yang dulu menjadi basis suara partai Islam atau Masyumi. King meyakini menurunya Persentase suara partai berbasis Islam pada pemilu 1999 karena sebagian suara umat islam beralih ke Golkar. King
3
meyakini Golkar selama 20 tahun terakhir menjadi lebih Islami. King menunjukkan bahwa dukungan Golkar berkorelasi positif dengan dukungan partai-partai Islam pada tahun 1955.
Arti penting studi King terkait dengan studi kemunculan partai politik adalah rekayasa politik rezim Orde Baru Suharto gagal dalam mengurangi signifikansi pembilahan sosial - budaya masyarakat Indonesia dalam pemilu. Implikasinya pembilahan – pembilahan sosial yang terjadi pada tahun 1955 secara subtantif muncul kembali pada tahun 1999 meskipun dengan nama partai yang berbeda.
Keempat, studi yang dilakukan oleh Anis Baswedan (2004) tentang konfigurasi hasil suara partai pada pemilu 2004. Studi tersebut menguatakan tesis King. Anis sampai pada satu kesimpulan pengaruh pembilahan sosio-politik sebagaimana temuan dari hasil studi yang dilakukan oleh Dwight Y. King pada pemilu 1999 masih signifikan dalam sistem kepartaian 2004. Munculnya partai baru – Partai Demokrat dan naiknya suara PKS secara sangat signifikan mengindikasikan adanya pergeseran intra-konstituensi dalam satu blok pembilahan sosio-politik. Pengurangan suara partai berbasis nasionalis akan menaikan suara partai nasionalis yang lain. Hal itu juga terjadi dalam tubuh partai berbasis santri (Islam). Menurut Anis berkurangnya suara PDIP sebagian besar berali ke Partai Demokrat dan Bertambanya suara PKS mengurangi suara partai Islam lainya. Arti penting studi Anis Baswedan dalam studi kemunculan
4
partai politik adalah munculnya Partai Demokrat sebagai partai baru masih memiliki garis atau pertalian dengan pembilahan sosio-politik yang terjadi di Indonesia.
Kelima, studi Andreas Ufen. Andreas Ufen (2008) meyakini konsepsi Lipset dan Rokan tentang korelasi pembilahan (cleavages) yang hidup di masyarakat dengan terbentuknya partai politik di eropa masih memiliki nilai analitis dalam menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi. Meskipun ada beberapa hal yang perlu ditafsir ulang dan ditambakan agar lebih kompatibel dengan kondisi di Indonesia.
Konsepsi tentang pembilahan rural (desa) – urban (kota) ditafsirkan oleh Ufen menjadi pembilahan antara Islam tradionalis dengan Islam modernis. Sebab pada umunya pemeluk Islam tradisionalis ada di desa. Sedangkan muslim modernis ada di kota. PKB, PPP dimasukan kedalam klaster pembilahan Islam tradisonalis dengan basis dukungan pedesaan. PAN dan PK diklasifikasi kedalam pembilahan Islam modernis dengan basis dukungan perkotaan. Sedangkan Partai Demokrat dimasukan ke dalam klaster pembilahan perkotaan. Sedangkan PPP dimasukan kedalam Islam modernis dengan basis dukungan pedesaan. Dengan kata lain pembilahan antara desa dan kota dapat ditemukan relevansinya dalam pembilahan aliran keagamaan. Partai Golkar dan PDIP dikecualikan dari pembilahan ini.
5
Sedangkan konsepsi Lipset dan Rokan tentang pembilahan antara negara dan gereja ditafsirkan oleh Ufen menjadi tiga pembilahan, yaitu antara sekularisme, politik Islam yang moderat dan Islamisme. Sebab antara pembilahan negara dan gereja di eropa dengan pembilahan sekularisme, politik Islam yang moderat dan Islamisme di Indonesia memiliki titik tekan yang mirip, yaitu soal peran agama dalam mengelola negara. Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat dimasukan ke dalam klaster partai sekuler. PAN dan PKB dimasukan ke dalam klaster pembilhan politik Islam yang moderat. Sedangkan PPP, PBB dan PK / PKS dimasukan ke dalam klaster pembilahan Islamisme.
Ufen tidak menafsirkan ulang konsepsi Lipset dan Rokan tentang pembilahan antara pusat dan pinggiran. Partai Golkar memiliki basis kuat di pulau terluar, (seperti Sulawesi, Bali timur serta Kalimantan Barat dan Timur dan sabuk tengah Sumatera) dan Jawa Barat. PDIP sangat kuat di Jawa, daerah dengan penduduk mayoritas Hindu (Bali) dan di daerah dengan penduduk mayoritas Kristen. PKB memiliki basis kuat di Jawa Timur. PPP tidak memiliki basis dukungan yang spsifik. Partai Demokrat di DKI Jakarta. PK memili basis di Jawa dan di beberapa wilayah yang bependuduk mayoritas muslim di luar Jawa. PAN di Jawa khususnya di Yogyakarta dan di wilayah yang bependuduk mayoritas muslim di luar Jawa.
6
Ufen juga tidak menafsirkan ulang konsepsi Lipset dan Rokan tentang pembilahan antara kelas pengusaha dan pekerja. Namun pembilahan ini dinilai oleh Ufen tidak nampak dalam sistem kepartaian di Indonesia pasca reformasi.
Ufen menambakan satu bentuk pembilahan yang tidak ada dalam konsepsi Lipset dan Rokan, yaitu pro stus quo dan proreformasi. Partai Golkar dan PPP dimasukan kedalam klaster status quo. Sedangkan PDIP menjadi status quo sejak 2001.
Sedangkan PAN, Partai Demokrat, PKB dan PK dimasukan
kedalam klaster reformasi dalam wilayah kebijakan tertentu (spsific).
Andreas Ufen (2006) menilai meskipun politik aliran masih memiliki nilai analitis dalam menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi namun cenderung melemah. Ada beberapa indikasi yang menunjukan hal itu, seperti pengaruh politik uang, presidensialisasi partai, turunya loyalitas pemilih partai, lemanya platform atau ideologi partai. Sebagian argumentasinya adalah, uang menggantikan aliran sebagai dasar penentu dukungan pemilih terhadap partai. Presidensialisasi partai membuat figur lebih sebagai basis prefrensi pemilih dan membuat faktor aliran menjadi terpinggirkan.
Keenam studi yang dilakukan oleh Marcus Mietzner (2008). Mietzner sampai pada satu kesimpulan, reformasi telah menghasilkan sistem multiparty yang menyerupai tahun 1950-an. Beberapa partai utama menunjukkan garis
7
kontinuitas yang sangat signifikan dengan partai yang telah mendominasi panggung politik setelah kemerdekaan, meskipun ada beberapa pengecualian penting. Putri Sukarno - Megawati memimpin PDIP yang berhaluan sekuler. PDIP memperlihatkan diri sebagai pelanjut PNI, dan menjadi faksi terbesar di parlemen dengan 33,7 persen suara. Abdurrahman Wahid, putra seorang pemimpin NU senior di tahun 1950-an, mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), dan menarik bagi pemilih NU dan menerima 12,6 persen dukungan. Beberapa partai mengklaim pelanjut Masyumi, namun tidak ada yang satu partai mendapatkan suara sebanding Persentase suara Masyumi. Partai Bulan Bintang yang menggunakan simbol dan bahasa politik Masyumi, hanya mendapat 1,9 persen suara. Partai berbasis Islam lainnya yang bersaing untuk mendapatkan suara Masyumi adalah PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN (Partai Amanat Nasional), serta PK (Partai Keadilan).
Menurut Marcus Mietzner (2008) pada umunya kontinuitas antara partai pada tahun 1950-an dan partai pasca-Soeharto kuat, meskipun ada juga yang terputus secara signifikan. Tidak ada yang mengambil posisi PKI atau partai sayap kiri lainnya. Komunisme atau bahkan Marxisme tetap dilarang di bawah undangundang baru tentang partai dan pemilihan umum, dan beberapa partai yang berorientasi pada tenaga kerja dan petani yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu 1999 gagal memperoleh suara yang signifikan. Elemen lain dari diskontinuitas antara tahun 1950-an dan 1990-an adalah kehadiran Golkar, Partai birokrat dan
8
teknokrat, yang (bersama-sama dengan militer) telah menjadi tulang punggung rezim Orde Baru. Golkar dengan slogan sebagai partai baru dan moderat setelah jatuhnya Soeharto mendapatkan 22,4 persen suara pada pemilu 1999.
Lebih jauh Marcus Mietzner (2008) mengatakan, kesamaan antara sistem partai tahun 1950-an dan periode pasca-Soeharto adalah sistem multipartai dan data statistik antara hasil pemilu tahun 1955 dan 1999 menunjukkan bahwa perpecahan politik keagamaan tahun 1950-an tetap pengaruh yang kuat dalam sistem kepartaian kontemporer Indonesia. Korelasi ini menunjukkan pentingnya membagi Islam nasionalis di satu sisi dan antara modernis dan muslim tradisionalis di sisi lain.
Ketujuh studi yang dilakukan oleh Kevin Raymond Evans (2003). Evans mengelompokan partai politik 1999 dengan dua garis pembilahan yaitu secara horizontal dan Vertikal. Kevin secara horizontal membagi partai politik dalam dua kelompok yaitu kelompok kiri dan kanan. Secara ideologis kelompok yang ada dikiri merupakan kelompok partai yang berhaluan sekuler. Representasi utamanya adalah PDIP. Sedangkan kelompok yang ada di sebelah kanan merupakan partai yang berhaluan Islamis. Repsentasi utamanya adalah PAN, PPP dan PBB. Sedangkan geografis kelompok yang ada di sebelah kiri merupakan partai berbasis jawa. Representasi utamanya adalah PKB. Sedangkan yang ada di sebelah kanan merupakan klaster partai luar Jawa. Representasi
9
utamanya adalah Partai Golkar. Secara horizontal Evan juga membagi partai politik dalam dua klaster. Sebelah kiri partai anti orde baru. Representasi utamanya adalah PDIP. Sedangkan sebelah kanan ditempati partai pro orde baru. Representasi utamanya adalah Partai Golkar.
Sedangkan secara vertikal Kevin membagi partai politik dua kelompok. Partai politik yang berada pada garis vertikal bagian atas merupakan partai yang cenderung bersifat elitis. Representasi utamanya adalah Golkar, PAN dan PBB. Sedangkan yang berada pada garis vertikal bawah merupakan partai yang cenderung populis. Representasi utamanya adalah PKB, PDIP. Pembagian partai politik secara vertical ini terkait dengan cara politik dikomunikasikan kepada public dan hubungan antara pemimpin dan partai dengan pemilih.
Secara vertical Evan juga membagi partai politik dalam dua klaster. Pembagian ini bertumpu pada pembilahan geografis. Partai politik yang berada pada garis vertikal bagian atas merupakan partai dengan basis pendukung perkotaan secara signifikan. Representasi utama PAN, PBB. Sedangkan partai yang berada di garis vertical bagian bawah merupakan partai dengan basis pendukung secara signifikan. Representasi utamanya adalah PKB.
Pendekatan sosiologis dalam menjelaskan kemunculan partai politik setidaknya lemah dalam dua hal. Pertama, jika dilihat dari sisi basis dukungan, hampir
10
semua partai politk di Indonesia sejak awal sudah berusaha menjadi wadah bagi semua warga negara Indonesia dari berbagai kelompok, aliran, agama dan daerah. Kalaupun ada partai yang mendapatkan dukungan kurang signifikan dari kelompok atau agama tertentu bukan berarti partai tersebut tidak menginginkan dan tidak berusaha untuk mendapatkan suara dari kelompok tersebut tetapi karena lemanya kapasitas dan strategi electoral yang mereka miliki.
Suara anggota ormas Islam pun terdistribusi secara merata di hampir semua partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di DPR dalam jumlah yang cukup. Menurut Saiful Mujani at all (2012:194) sebagian besar anggota ormas Islam tetap memilih PDIP pada pemilu 1999 dan partai Golkar pada pemilu 2004. Hasil analisis multivariat yang dilakukan oleh Saiful Mujani at all faktor keterlibatan anggota ormas Islam terhadap pilihan partai menjadi tidak signifikan setelah dikontrol dengan faktor lain yang relevan, seperti kualitas tokoh dan ekonomi-politik.
Sebagai contoh faktor ekonomi politik bisa menjelaskan turunya suara PDIP pada pemilu 2004 dari warga yang mengaku sebagai anggota ormas Islam. Faktor kualitas tokoh bisa menjelsakan turunya suara PKB pada pemilu 2004 yang mengaku sebagai anggota ormas Islam. Dengan demikian, jika dilihat dari basis dukungan partai berdasarkan warga yang mengaku sebagai anggota ormas atau bukan menunjukan, bahwa garis pembilahan aliran keagamaan dalam batas
11
tertentu sulit untuk menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi. Selebinya dapat di lihat pada tebel di bawah ini.
Tabel 1 : Pilihan Atas Partai Menurut Anggota Ormas Islam (%) Tahun
Status Ke-
PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
PKS
Anggota
25
22
31
12
8
Bukan
37
14
13
14
8
Anggota
9
17
24
11
7
5
6
Bukan
20
23
6
6
5
9
9
anggotaan 1999
anggota 2004
anggota Sumber: Saiful Mujani at all, 2012: 194
Suara dari kelompok nasionalis atau religius juga terditribusi ke hampir semua partai politik. Faktor nasinalis religius atau santri dan abangan terhadap pilihan partai politik juga lemah setelah dikontrol dengan dengan faktor lain yang relevan, sepereti kualitas tokoh dan ekonomi politik. Dengan demikian kemunculan partai politik juga sulit dijelaskan dari garis pembilahan nasionalis religius atau santri dan abangan.
12
Tabel 2 : Santri (religius) dan Abangan (Nasionalis) Pada Pemilih Partai (%) Tahun
PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
1999
64
82
95
91
88
2004
64
74
89
89
87
Abangan
1999
36
19
5
9
12
(nasionalis)
2004
36
26
11
11
13
Santri
PD
PKS
70
81
19
Sumber: Saiful Mujani at all, 2012: 193
Kedua, jika dilihat di sisi artikulasi kepentingan partai politik di Indonesia pada umumnya otonom dari berbagai kelompok yang ada di masyarakat. Begitu juga sebaliknya, berbagai kelompok dan aliran yang ada di Indonesia pada umumnya juga otonom dari partai politik. Sebagai contoh, PKB yang sering dihubungkan dengan NU pada kenyataanya garis kebijakan PKB sering tidak sejalan NU. PKB mendukung Wiranto dan Sholahuddin Wahid bersama Partai Golkar pada pilpres putaran pertama tetapi Ketua umum PBNU – KH Hasyim Muzadi diusung PDIP menjadi cawapresnya Megawati. Kejadian seperti ini bukan hal yang langka dalam pilkada. Sebagai contoh Ketua PCNU Lamongan Tsalits Fahami di usung oleh PAN sebagai wakil bupati Lamongan mendampingi Masfuk pada pilkada 2005. Sedangkan PKB bersama Golkar mengusung Taufikurrahman Saleh dan Soetarto. Bahkan PKB pernah mendukung Abdul Kahfi, tokoh militer yang memiliki latar belakang Muhammadiyah sebagai calon Gubernur Jawa Timur pada tahun 2003.
13
Hal serupa juga terjadi dipartai lain. Itu artinya partai politik memilki tingkat keleluasaan atau otonomi dalam bersikap. Sikap partai lebih banyak bertumpuh pada strategi electoral daripada sebagai kewajiban untuk mengartikulasikan ideologi atau kelompok sosial tertentu.
Di kalangan NU sendiri muncul slogan “NU tidak ke mana-mana, tetapi NU ada di mana-mana”. Slogan itu menunjukan NU tidak berafiliasi dengan partai politik apapun tetapi kader NU ada di hampir semua partai politik. Itu menunjukan, bahwa NU merupakan organisasi yang independen dari semua partai politik. Ibaratnya, sikap NU pada saat tertentu bisa saja sama dengan partai A dan berbeda dengan partai B tetapi pada saat yang lain sikap NU bisa sama dengan partai B dan berbeda dengan partai A. Semuanya sangat ditentukan oleh kepentingan masing – masing.
PAN yang sering dihubungkan dengan Muhammadiyah pada kenyataanya juga dengan tegas menolak dianggap sebagai Partai Muhammadiyah. Prinsip dasar PAN dengan jelas di tulis “PAN merupakan partai yang menghormati dan mendorong kemajemukan. Partai ini merupakan kumpulan manusia Indonesia yang berasal dari berbagai keyakinan, pemikiran, latar belakang, etnis, suku, agama
dan
gender
(Musa
Kazhim
dan
Alfian
Hamzah,
1999:49).
Muhammadiyah pun dari pemilu ke pemilu membebaskan anggotanya dalam memilih partai sesuai dengan hati nuraninya.
14
Hasil pemilu 2009 juga semakin menunjukan kelemahan pendekatan sosilogis. Tingkat perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu 2009 hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Itu artinya Partai Demokrat tidak masuk dalam salah satu blok pembilahan pusat atau pinggiran. Partai Demokrat pada pemilu 2009 bukan lagi partai perkotaan sebagaimana yang diasumsikan oleh Ufen tetapi juga partai yang didukung oleh masyarakat pedesaan secara signifikan. Partai Demokrat juga bukan pelanjut ideologis dari partai politik yang hidup pada tahun 1950-an. Partai Demokrat juga berhasil memenangkan pemilu legislative pada tahun 2009 di Jawa Timur. Wilayah yang menjadi salah satu basis argumentasi King dalam menunjukan kontinyuitas antara Partai NU yang hidup di era 1950 –an dengan PKB yang muncul pasca reformasi. Hasil pemilu 2009 juga bisa menjadi bukti tidak adanya pergeseran interkonstituensi sebagaimana tesisnya Anis Baswedan. Penurunan suara partai belebel Islam tidak menaikan perolehan suara partai berlebel Islam lainya. Dengan demikian suara yang diperoleh oleh partai dalam batas tertentu tidak memiliki korelasi yang cukup kuat dengan pembilahan sosial politik yang hidup di masyarakat.
Tingkat perolehan suara Partai lebih bertalian dengan kinerja electoral partai selama periode pemilu dan keberadaan tokoh dalam suatu partai. Sebagi contoh hengkangnya Gus Dur dan KH Abdulloh Faqih Langitan dan beberapa kyai lainya terbukti berdampak secara electoral bagi PKB. Kinerja electoral partai
15
lama dan faktor ketokohan inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu dasar munculnya partai baru. Bukan faktor pembilahan sosio-politik yang hidup di masyarakat. Hal ini akan dibahas oleh penulis dalam bab II secara lebih mendalam.
Selain itu, pendekatan sosiologis secara epistemologis atau konseptual dalam menjelaskan kemunculan partai politik juga memiliki titik kelemahan. Penulis akan membahasan mengenai hal dalam penjelasan selanjutnya. Tepatnya di bab satu bagian sub bab jawaban teoritik.
Selain pendekatan sosiologis adapula akademisi yang mengkaji kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi dengan pendekatan komparatif (comparative prespective) yaitu, Kuskridlo Ambardi (2009). Menurutnya aktor, berbagai cleavages dan sekumpulan aturan main seperti sistem pemilu dan aturan tentang partai politik merupakan faktor yang saling bekerja dalam memunculkan partai politik di Indonesia pasca reformasi. Pendekatan tersebut dalam batas tertentu juga memiliki titik kelemahan. Selain faktor cleavages yang kurang memiliki korelasi dengan munculnya partai politik juga karena beberapa partai politik di Indonesia muncul sebelum aturan tentang partai politik dan sistem pemilu di sahkan oleh lembaga resmi negara. Kalau pun ada korelasi antara sistem pemilu dengan munculnya partai politik, korelasinya tidak kuat. Dengan kata lain, hubungan korelatifnya tidak bersifat otomatis atau mengikat.
16
Penulis meyakini pendekatan rational choice merupakan alat analisis alternatif yang paling realistik dalam menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi, setidaknya untuk kasus kemunculan Partai Demokrat. Argumentasi pokok yang ingin dikembangkan dalam penelitian ini adalah terbentuknya partai baru (Partai Demokrat) pasca reformasi di Indonesia merupakan hasil kalkulasi aktor yang melihat adanya pontesi dukungan untuk partai baru dan tokoh utamanya (SBY) menjadi presiden dan
biaya yang
dibutukan untuk mendirikan partai baru dan mengikuti pemilu lebih kecil dibandingkan keuntungan yang akan diraih ketika dukungan yang akan didapatkan telah dikonversi menjadi kursi kekuasaan. Mendirikan partai sebagai sarana untuk mengusung tokoh utamanya menjadi presiden juga lebih efisien dan lebih menguntungkan bila dibandingkan lewat partai lama.
Selain itu, mengakaji kelahiran Partai Demokrat di Indonesia pasca reformasi dengan menggunakan pendekatan rational choice merupakan kajian yang sangat penting. Ada beberapa perbedaan dalam studi terdahulu yang dilakukan oleh para akademisi tentang kemunculan partai politik dalam dalam rumpun rational choice. Beberapa varian tersebut terkadang saling bertolak belakang atau tumpang tindi, utamanya menyangkut variabel atau tolak ukur yang masuk dalam kategori ongkos, peluang dukungan untuk mendapatkan kekuasaan dan manfaat memegang jabatan. Tidak tertutup kemungkinan kemunculan Partai
17
Demokrat di Indonesia pasca reformasi merupakan fenomena yang unik atau khas dari beberapa kajian terdahulu.
B. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian
Berangkat dari latar belakang tersebut, tesis ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut;
Bagaimana kemunculan Partai Demokrat di Indonesia pasca reformasi di fahami dalam prespektif rational choice?
Penelitian ini dimaksudkan atau mengemban dua misi utama. Pertama menjelaskan kemunculan Partai Demokrat dengan menggunakan cara pandang baru yaitu, prespektif rational choice. Kedua menelaah seberapa jauh relevansi studi terdahulu yang dilakukan oleh para akademisi tentang kemunculan partai politik dalam rumpun rational choice dengan studi ini. Penulis meyakini dua misi utuma dalam penelitian ini akan memberikan kontribusi akademik yang sangat bernilai, utamanya dalam pengembangan ilmu politik.
C. Jawaban Teoritik
18
Ada banyak jawaban teoritik dalam menjelaskan kemunculan partai politik di suatu negara. Namun penulis dalam menganalisis terbentuknya Partai Demokrat di Indonesia pasca reformasi lebih memilih pendekatan rational choice. Sebab beberapa pendekatan yang lain kurang memuaskan dalam menjelaskan terbentuknya partai baru. Sebagian pendekatan tersebut dipetakan oleh penulis dalam pembahasan tesis ini. Tujuannya agar pembaca bisa mendapatkan gambaran yang komperhensif mengapa pendekatan rational choice lebih unggul dalam menjelaskan kemunculan Partai Demokrat dibandingkan pendekatan lainya.
Pendekatan sosiologis sebagaimana dikatakan oleh Lipset & Rokkan (1967) meyakini terbentuknya partai politik merupakan hasil dari transformasi pembilahan sosial (cleavages) yang hidup di dalam masyarakat. Partai di ereopa pada akhir tahun 1960 –an masih mencerminkan pembilahan yang muncul pada tahun 1920 – an. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan. Pertama perpecahan pemerintah pusat dengan masyarakat pinggiran di eropa (Centre – periphery cleavage). Perpecahan ini diakibatkan oleh sentralisasi dan standarisasi budaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Resistensi terhadap tindakan pemerintah pusat tersebut diekspresikan oleh masyarakat pinggiran dengan mendirikan partai kedaerahan seperti Partai Nasional Skotlandia (the Scottish National Party), Partai Swedia (The Swedish Party) di Finlandia, partaipartai minoritas berbahasa Jerman dan Perancis di Italia, dan sejenisnya. Partai –
19
partai ini menentang partai – partai berhaluan nasionalis / liberal. Kedua perpecahan negara dengan gereja (state – church Cleavage). Pembilahan ini terjadi antara negara yang dikuasai oleh kaum liberal dengan kaum konservatif (aristokrasi dan pendeta). Konflik antara kaum liberal dengan pendeta terjadi karena kaum liberal mempromosikan lembaga – lembaga sekuler dan menolak pengaruh gereja dalam mengelola negara. Konflik ini pada akhirnya melahirkan beberapa partai politik berbasis agama antara lain Austrian People,s Party, Christian – Democratic Union, Swiss Catholic Party, Partido Popular dan Conservatif Party.Ketiga, pembilahan desa - kota (rural – urban cleavage). Pembilahan ini terfokus pada pertentangan antara pihak yang berkepentingan mempertahankan tanah pedesaan sebagai basis pertanian dan meningkatnya kelas pengusaha industri dan perdagangan yang menginginkan perluasan tanah untuk kepentingan perluasan industri. Petani berupaya mempertahankan kepentinganya melalui partai berbasis agraria (peasants’ atau farmers’ party) di akhir abad kesembilan belas. Partai berbasis petani antara lain, Finnish Centre Party, Australian Country Party, Polish Peasant People’s Party. Keempat, pembilahan pekerja - pengusaha (workers – employers cleavage). Terjadinya revolusi industri kedua antara tahun 1815 – 1848 melahirkan sejumlah banyak pabrik besar maupun kecil. Tumbunya perusahaan mengakibatkan kelas pekerja semakin banyak dan secara radikal menyebabkan peningkatan urbanisasi. Kondisi ini tidak membuat buruh sejahterah karena mendapatkan pekerjaan melainkan sebaliknya. Kondisi kehidupan mereka sangat miskin dan
20
tereksploitasi. Sedangkan pemilik perusahaan semakin kaya. Kehadiran serikat pekerja dengan faham sosialisme memberikan advokasi kepada kaum buruh. Pada akhirnya, sebagian serikat buruh menjadi partai sosialis atau partai buruh dan kaum buruh menjadi penyokong suara partai-partai berhaluan sosialis untuk memperoleh perwakilan di parlemen. Beberapa partai kelas buruh antara lain: British Labour Party, Argentinian Socialist Party, Swedish Social-Democratic Workers’ Party, Spanish PSOE.
Menurut Sartori (dalam Kuskridlo Ambardi. 2009:25) ‘tidak semua cleavages terwujudkan dalam persaingan antar partai’ dan beberapa cleavages sama sekali tidak tertransformasikan di tataran politik. Lebih jauh, pentingnya gagasan transformasi ini terletak pada implikasi bahwa proses transformasi cleavages menuju ranah politik memerlukan aktor. Pendekatan sosiologis juga punya corak yang lain seperti yang dikatakan oleh Inglehart dan Flanagan. Menurut kedua (1987) perubahan sosial yang terjadi setelah perang dunia kedua melahirkan generasi baru atau cleavages baru yang bernama post matrialisme. Masyarakat post matrealisme memiliki nilai yang lebih berorientasi pada isu non ekonomi (non ekonomi), seperti penentangan terhadap pertumbungan ekonomi atau industri yang mangabaikan lingkungan hidup. Hal ini berbeda dengan masyarakat periode perang yang lebih berorientasi pada isu matrial, seperti pertumbuhan ekonomi.
21
Cleavages baru ini kemudian memunculkan partai baru yang tidak memiliki pertalian geanologis dengan partai yang hidup pada periode sebelumnya (perang). Beberapa studi yang dilakukan oleh akademisi seperti Harmel and Robertson (1985) menemukan ada keterkaitan antara kemunculan partai baru, termasuk partai berbasis ekologi dengan munculnya nilai post materialist.
Sebagai contoh green party atau left – libertarian party merupakan partai yang lahir sebagai articulator masyarakat post materialist. Namun pendekatan ini juga memiliki kelemahan. Perubahan sosial yang melahirkan cleavages atau isu baru di suatu negara tidak otomatis memunculkan partai baru. Seperti dikatakan oleh Hug (2001:7) di suatu negara mungkin saja muncul isu atau masalah baru yang sangat penting, tetapi tidak ada partai baru yang muncuk. Sebab partai lama mampu mempolitisisi isu atau masalah tersebut dengan cepat.
Titik tekannya tergantung pada sikap politik partai lama. Meskipun tidak ada perubahan sosial yang melahirkan isu atau cleavages baru, partai baru dimungkinkan muncul ketika kinerja electoral atau moralitas partai lama mengalami kemerosotan yang serius.
Menurut penganut prespektif institusinalis sebagaimana dikatakan oleh Susan E. Scarrow (2006) melihat kemunculan suatu partai politik sangat dipengarui oleh sistem politik yang sedang dipraktekan oleh suatu negara. Negara yang tidak
22
demokratis cenderung membatasi dan ikut andil menentukan berapa dan partai politik apa yang harus muncul. Namun pada kenyatanya beberapa partai berdiri di lingkungan rezim yang tidak menghendaki kehadiranya. Corak pendekatan institusionalis lainya merujuk pada argumentasi Duverger. Menurut Maurice Duverger (1984) sistem pemilu mayoritas (distrik) sangat kondusif mendorong munculnya dua partai. Sedangkan Sedangkan sistem pemilihan umum proporsional cenderung memunculkan multi-partai. Namun pendekatan ini juga memuai banyak kritik. Salah satunya dari John G. Grumm. Menurutnya (1958) Negara demokratis di eropa sebelum tahun 1900 mempergunakan beberapa tipe sistem suara mayoritas, namun tidak satu pun yang memperlihatkan kecenderungan ke arah sistem dua partai sebagaimana yang telah terjadi di Inggris. Sedangkan perubahan sistem pemilu dari pluralitas ke proporsional sebagaimana yang pernah terjadi di Denmark tidak mempengarui jumlah partai di negera tersebut.
Terbentuknya partai politik menurut pendekatan rational choice merupakan hasil dari kalkulasi, strategi dan preferensi individu untuk mewujudkan kepentingan aktor dalam meraih kekuasaan. Pendekatan rational choice melihat keputusan dan tindakan politik yang dibuat oleh aktor memiliki kemiripan dengan keputusan yang dibuat oleh pelaku ekonomi (pejual dan pembeli) dalam suatu arena yang memungkinkan terjadinya jual beli (market). Aktor politik akan memilih alternatif tindakan yang paling menguntungkan manfaatnya
23
dibandingkan ongkos yang akan dikeluarkan dalam mewujudkan kepentinganya. Dengan kata lain, efisiensi dan maksimalisasi keuntungan merupakan prinsip yang mendasari keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh individu atau sekumpulan individu. Keputusan dan tindakan rasional tersebut bersumber dari keyakinan, preferensi, peluang yang dilihat aktor atau berdasarkan informasi yang relevan yang dimiliki oleh aktor.
Konsepsi Rational choice classic mengasumsikan individu memiliki informasi atau pengetahuan yang lengkap tentang semua alternatif perilaku yang mungkin untuk dilakukan dan memiliki kemampuan dalam menghitung semua konsekuensi (output) yang akan mengikuti semua alternatif tindakan tersebut. Asumsi tersebut berbeda dengan konsepsi bounded rationality Herbert A Simon. Menurut Herbert A. Simon (1995) perilaku manusia pada umumnya rasional. Hal itu tidak dapat dipahami tanpa menemukan hubungan antara tindakan dan tujuannya. Namun, menemukan koneksi ini bukanlah masalah sederhana dalam konsepsi rasionalitas. Sebab hubungan antara tujuan dan perilaku dimediasi oleh pengetahuan dan keyakinan faktual tentang hubungan sarana dan tujuan. Pengetahuan dan keyakinan faktual yang dimiliki oleh masing – masing aktor seringakali tidak sama. Ada berbagai variasi nilai-nilai, kepentingan dan tujuan yang dimiliki oleh setiap orang.
24
Lebih Jauh Herbert A. Simon (1995:46-47) mengatakan dalam perilaku yang rasional, dimungkinkan adanya kesenjangan yang serius antara tindakan dan pencapaian tujuan. Hal itu bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, aktor mungkin memiliki (biasanya akan memiliki) informasi yang tidak lengkap atau salah tentang situasi dan potensi perubahan situasi dengan berlalunya waktu. Tindakan mungkin gagal untuk mencapai tujuannya karena kurangnya informasi atau informasi yang salah. Kedua, aktor mungkin tidak dapat (dan biasanya tidak akan mampu) untuk menghitung semua konsekuensi dari suatu tindakan meskipun memiliki informasi yang komplit. Batas komputasi yang dimiliki aktor dapat menyebabkan kesenjangan yang besar antara tujuan dimaksud dan hasil aktual. Implikasinya, tindakan akan memiliki konsekuensi yang berbeda dari hasil yang diharapkan dan seringkali terjadi efek samping yang tidak diharapkan. Ketiga, pelaku umumnya memiliki lebih dari satu tujuan dan ada potensi antara satu tujuan dengan tujuan lainya tidak kompatibel. Realisasi salah satu tujuan mengganggu realisasi tujuan yang lainya. Ketidakcocokan seperti itu sering kali muncul ketika upaya yang ditujukan untuk satu tujuan mengkonsumsi sumber daya yang langka sehingga sumberdaya tersebut tidak lagi cukup untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang lain atau realisasi satu tujuan mungkin bergantung pada tercapainya tujuan lainya atau tercapainya satu tujuan dapat menghalangi tujuan yang seharusnya telah tercapai. Beberapa tujuan dan konsekuensi yang cukup penting jarang dipertimbangkan sebelum tindakan dilakukan. Biasanya, tujuan dan konsekwensi yang paling menonjol saja yang
25
diperhatikan. Keempat, ada kemungkinan kegagalan aktor dalam mencapai tujuan disebabkan oleh ketidaktahuan adanya suatu tindakan yang mungkin untuk mencapai tujuan tersebut, atau mungkin mencapainya lebih lambat dan dengan penggunaan sumber daya lebih besar dibandingkan dengan tindakan lain telah dikenal dan tersedia. Dengan kata lain, aktor masih sangat dimungkinkan bertindak secara rasional dengan pengetahuan (informasi) dan kemampuan fisik (komputasi) yang terbatas.
Gary W Cox (1997:6-8) mengandaikan pemilu seperti pasar. Lazimnya dalam sebuah pasar (market) di dalamnya pasti ada penjual, pembeli dan barang konsumsi. Penjual adalah pemilih. Pembeli adalah elit partai. Sedangkan barang konsumsi adalah suara pemilih.
Menurut Gary W Cox (1997:151-178) politisi pada umumnya lebih senang berkompetisi dalam pemilu lewat partai lama yang eksis dari pada mengikuti pemilu lewat jalur independen atau lewat partai baru. Sebab peluang politisi untuk menang lewat partai lama yang eksis biasanya jauh lebih baik daripada lewat jalur independen atau lewat partai baru. Selain itu, politisi seringkali merasa lebih menguntungkan bergabung dengan salah satu partai lama yang layak, daripada mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai yang tidak layak.
26
Lebih lanjut Gary W Cox mengatakan, elit akan mendirikan partai politik sebagai sarana untuk mendapatkan suara pemilih. Elit membutukan suara pemilih untuk meraih kekuasaan melalui pemilu. Keputusan untuk mendirikan partai diambil setelah elit memperhitungkan beberapa aspek. Pertama adanya potensi suara pemilih (barang konsumsi) yang mungkin akan diraih (dibeli) untuk mendapatkan kekuasaan yang ingin dicapai oleh elit dalam pemilu. Politisi yang bertujuan untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan dalam jangka pendek akan lebih memilih tidak mengikuti pemilu (tidak mendirikan partai) atau berusaha mendapatkan pengaruh (melobi) salah satu partai lama ketika tidak ada prospek untuk mendapatkan suara pemilih atau kursi dalam pemilu yang akan digelar dalam waktu dekat. Kedua, biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan oleh elit untuk untuk mendapatkan suara pemilih tersebut, seperti biaya mendirikan partai dan kampanye, lebih murah dibandingkan dengan manfaat yang akan didapatkan oleh elit ketika suara pemilih yang akan mereka dapatkan telah dikonversi menjadi kursi kekuasaan.
Hanya saja menurut Cox, ada kemungkinan politisi akan mendirikan partai baru dalam situasi yang kurang prospektif bagi partai baru dalam mendapatkan dukungan pemilih dalam kompetisi pemilu yang dilaksanakan dalam waktu dekat. Tetapi politisi akan menjadikan partai baru tersebut menjadi partai protes atau partai blackmail yang bertujuan untuk merusak reputasi partai lama. Dengan harapan partai baru yang mereka dirikan bisa mendapat penilaian positif
27
pemilih dan menjadi layak untuk dipilih dalam waktu yang akan datang (panjang). Konsekwensinya elit akan bersedia menanggung beban kerugian untuk sementara waktu. Namun elit pada saat yang sama akan berharap mendapatkan keuntungan dan menutupi kerugian di masa lalu ketika partai yang ia dirikan sudah mendapatkan kekuasaan di masa (pemilu) yang akan datang.
Konsepsi Cox ini bukanlah hal baru dalam studi tentang terbentuknya partai baru. Beberapa akademisi sebelumnya, seperti Anthony Down (1957) dan Feddersen, Sened, and Wright (1990) juga mengungkapkan hal yang hampir sama. Menurut Anthony Down (1957:127-128) tidak ada partai yang didirikan oleh orang – orang yang tidak pernah memperhitungkan akan mendapatkan dukungan atau jabatan apapun. Pendiri partai pasti merasa memiliki kapasitas untuk mewakili sejumlah besar pemilih yang memiliki aspirasi yang tidak dipenuhi oleh partai lama. Hanya ada sedikit partai yang didirikan oleh orang yang sangat rasional dengan tujuan untuk menakut – nakuti partai lain agar merubah atau tetap konsisten dengan kebijakan tertentu dan tidak dimaksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan atau prestise secara langsung. Sedangkan Menurut Feddersen, Sened, and Wright (1990) munculnya kandidat atau pendatang baru (partai baru) dalam kompetisi electoral (pemilu) akan terjadi jika dan hanya peluang untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan dalam memegang kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan ongkos untuk mendapatkan kekuasaan tersebut.
28
Ada beberapa perbedaan dalam studi atau konsepsi yang dirumuskan oleh beberapa akademisi dalam menentukan klasifikasi variabel yang masuk dalam kategori ongkos membentuk dan mengikuti pemilu (cost of entry), keuntungan memegang jabatan (benefits of holding office) dan peluang untuk mendapatkan dukungan (Probability of electoral support). Penulis akan memetakan sebagian perbedaan – perbedaan tersebut yang paling mungkin diuji nilai analitisnya dalam kontek politik di Indonesia pasca orde baru.
Secara
teoritis peluang dukungan terhadap partai baru yang paling
memungkinkan diuji nilai analitisnya dalam kontek politik di Indonesia pasca orde baru setidaknya bertalian dengan lima hal. Pertama, kinerja elektoral partai lama, kedua usia demokrasi, ketiga keragaman populasi, keempat, sistem pemilu, kelima popularitas tokoh utama partai. Menurut Simon Hug (2001) Partai baru memiliki alasan untuk muncul ketika kinerja partai lama mengalami kemerosotan akibat kegagalan dalam merespon berbagai persoalan yang muncul di suatu negara. Kegagalan tersebut membuat sebagian besar masyarakat merasa kecewa terhadap partai lama membutukan partai baru sebagai alternatif pilihan dalam pemilu. Sebagai contoh, munculnya green party di eropa merupakan akibat dari kegagalan partai lama dalam merespon isu lingkungan (nuklir). Munculnya green party ini menjadi salah satu indikator, bahwa partai baru masih dimungkinkan kehadiranya dalam negera demokrasi yang sudah mapan.
29
Menurut Margit Tavits (2007) kebanyakan partai baru muncul pada fase awal transisi demokrasi. Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan. Pertama, pada fase awal transisi demokrasi dukungan terhadap partai penuh dengan ketidakpastian. Ketidak-pastian ini menjadikan setiap peserta pemilu merasa memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mendapatkan suara dan dukungan publik saat pemilihan umum. Cox juga mengatakan hal serupa. Menurut Cox (1997:159) jumlah partai meningkat pada awal pemilu. Sebab pada fase ini tidak jelas partai mana yang layak (dipilih) atau tidak. Kedua, munculnya sentimen negatif terhadap partai lama. Negara yang baru saja mengalami transisi demokrasi biasanya dihadapkan berbagai permasalahan pelik yang tidak mudah diatasi dalam waktu singkat. Ketidak – puasan ini menimbulkan isu baru yang memungkinkan partai baru untuk mempolitisasinya.
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Barnes, McDonough, dan Pina, (1985); Liddle dan Mujani , 2000; Mujani, Liddle dan Ambardi, (2012) menemukan korelasi dukungan tehadap partai baru dengan popularitas tokoh utama partai. Korelasi dukungan partai baru dengan tokoh utama partai disebabkan lemanya institusionalisi kepartaian dalam masa transisi demokrasi. Salah satu ciri utama lemanya institusionalisasi kepartaian adalah lemanya ikatan partai dengan konstituen. Peran tokoh sebagai penarik suara dalam situasi kepartaian yang seperti itu menjadi sangat penting.
30
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Harmel dan Robertson (1985) serta Hug (2001) menemukan peluang dukungan partai baru lebih berkorelasi dengan keragaman populasi yang ada dalam suatu negara. Keragaman populasi cenderung mengasilkan kebutuhan representasi yang lebih kompleks dan dalam banyak hal menghasilkan isu atau masalah baru yang memungkinkan dipolitisasi oleh partai baru. Namun Menurut Tavits (2005) pembilahan sosial memiliki pengaruh terhadap dukungan partai ketika kinerja ekonomi partai lama sedang buruk.
Sedangkan menurut Taagepera (1999) dan Octavio Amorim Neto dan Gary W Cox (1997) banyaknya cleavages dalam sistem pemilu yang sangat permisif (longgar) memberikan peluang yang sangat luas bagi partai baru untuk mendapatkan dukungan. Rendanya heteroginitas menutup jumlah partai meskipun di dalam sistem pemilu yang sangat permisif, karena tidak akan ada permintaan untuk banyak partai. Demikian pula, kecilnya besaran daerah pemilihan (satu daerah pemilihan satu calon [FPTP]) cenderung untuk menutup jumlah partai meskipun berada dalam masyarakat yang sangat heterogen karena hanya sedikit partai yang mampu mendapatkan representasi (kursi). Dua kondisi ini menyulitkan partai baru untuk memperoleh kursi. Namun studi yang dilakukan oleh Harmel dan Robertson (1985) menemukan bahwa lebih banyak partai masuk dalam sistem di mana peluang mereka untuk berhasil lebih kecil.
31
Menurut mereka partai baru lebih sering terbentuk dalam sistem pluralitas (distrik) daripada di sistem PR. Bisa dikatakan Partai baru merupakan reaksi dan sebagai kendaraan untuk mengespresikan keragaman dalam masyarakat.
Carina membedakan secara tegas antara peluang mendapatkan dukungan dan peluang mendapatkan jabatan (kursi). Selanjutnya Carina S. Bischoff (2011) membagi peluang sukses dalam dua arena. Pertama peluang sukses mendapatkan jabatan dan mendapatkan dukungan. Menurut Carina tersedianya peluang mendapatkan dukungan pemilih terkadang terganjal oleh peluang mendapatkan jabatan yang kecil di bawah sistem pemilu tertentu.
Keuntungan mendirikan partai bertalian dengan beberapa aspek. Pertama keuntungan matriil dan prestiese. Karakter dasar kekuasaan memiliki keuntungan matriil dan prestese yang melekat di dalamnya. Menurut Jonathan Hopkin (2000) kekuasaan politik bagi partai sama dengan keuntungan moneter bagi perusahaan. Hal itu diperjelas lagi oleh Margit Tavits. Menurut Tavits (2006:104) di dalam kekuasaan selalu melekat keuntungan matriil dan prestise. Kekuasaan selalu memiliki kedua keuntungan tersebut apapun sistem politik yang diterapkan di suatu negara.
Menurut Margit Tavits (2006) keuntungan mendirikan partai politik juga bertalian dengan seberapa besar pengaruh partai politik terhadap kebijakan.
32
Salah satu aspek yang mempengarui besar kecilnya pengaruh partai terhadap kebijakan adalah seberapa besar pengaruh kelompok non electoral. Semakin kuat pengaruh kelompok non electoral dalam mempengarui kebijakan di suatu negara, semakin rendah keuntungan mendirikan partai politik. Tetapi Carina (2011) melihat sebaliknya, sebab kelompok non electoral terkadang menjadi sumberdaya dukungan bagi partai politik.
Margit Tavits (2007) dalam tulisanya yang lain mengatakan, ketika posisi presiden sangat kuat dan dipilih secara langsung akan menghasilkan nilai lebih dalam memegang jabatan politik. Mendirikan partai dalam situasi tersebut dinilai sangat menguntungkan. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Charles Hauss dan David Rayside (1978). Menurut keduanya sistem presidensial mencegah pembentukan partai baru. Sifat sistem presidensial The winner takes all (Pemenang mengusai semua) akan mendorong partai politik untuk berkolaborasi dan merger untuk memenangkan kekuasaan di pemerintahan daripada mendorong munculnya partai - partai baru. Sedangkan menurut Harmel dan Robertson (1985) parlementarianisme maupun presidensialime tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap munculnya partai baru. Sedangkan merujuk pada argumentasi Bollin, sistem presidensialisme lebih mengarah pada probability of success. Menurutnya (2007:12): tidak ada bukti yang signifikan bahwa partai-partai baru memiliki kesempatan lebih baik dalam sistem parlementer yang tidak memiliki seorang presiden dipilih secara popular.
33
Simon Hug (2001: 105 - 116) mengkonseptualisasikan manfaat dalam dua arena: Pertama seberapa jauh peluang untuk memperoleh jabatan di bawah sistem pemilu dan sistem pemerintahan yang sedang diberlakukan di suatu negara. Menurut hipotesa Hug threshold representation dan threshold exclusion1 yang rendah memiliki efek poistif terhadap munculnya partai baru. Sebab semakin tinggi threshold representation dan threshold exclusion ongkos untuk berkompetisi dalam pemilu yang harus ditanggung oleh partai baru juga semakin tinggi dan semakin sulit partai baru untuk mendapatkan jabatan. Mendirikan partai baru dalam situasi tersebut dinilai kurang menguntungkan. Sebab kemungkinan ongkos yang telah dikeluarkan oleh partai tidak kembali akibat gagal mendapatkan kekuasaan atau besarnya ongkos tidak sebanding dengan kekuasaan yang akan didapatkan. Begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain variable ongkos mengikuti kompetisi dalam pemilu dengan kentungan merupakan dua variable yang tidak dapat dipisakan. Bagaikan dua keping mata uang.
Selain itu, menurut Hug dalam sistem pemerintahan yang tidak terpusat pada satu kelompok atau lembaga dinilai menguntungkan partai baru. Sebab dalam sistem tersebut memberikan peluang yang lebih luas bagi partai baru untuk
1
. Menurut Hug (2001:110) threshold representation adalah jumlah suara minimal yang harus didapatkan oleh partai politik untuk masuk parlemen (parliamentary threshold). Sedangkan threshold exclusion jumlah suara minimal yang harus didapatkan oleh partai untuk mendapatkan satu kursi di daerah pemilihan.
34
mendapatkan kekuasaan. Hug dengan merujuk pada argumentasi Chandler and Chandler (1987) mencontokan, sistem pemerintahan federal menguntungkan partai baru. Sebab dalam sistem ini memungkinkan partai kecil (baru) mendapatkan akses di pemerintahan dengan memfokuskan diri di negara bagian. Selain itu, pemerintahan yang sering berubah atau tinggi atau meningkatnya jumlah partai di pemerintahan di nilai Hug menguntungkan partai baru. Sebab dalam situasi tersebut partai baru memiliki peluang untuk bergabung dengan pemerintahan.
Senada dengan Hug Carina (2011:12) mengatakan pembagian kekuasaan dalam sistem dapat mengurangi hasil atau manfaat untuk memenangkan jabatan. Tetapi pada kenyataanya lebih mudah bagi partai baru untuk mendapatkan akses dalam rangkah untuk mempengaruhi sistem kekuasaan yang memungkinkan kekuasaan dapat dibagi lebih luas di antara beberapa partai.
Konsepsi Hug tersebut pada prinsipanya bertolak belakang (kontradiksi) dengan konsepsi Hug yang lain. Menurut Hug (2001:107) jika suatu negara sangat terpusat, efek keputusan jauh lebih kuat. Dengan kata lain semakin terkosentasi semakin bermanfaat memegang jabatan politik. Konsepsi yang tumpang tindih ini sejak awal sudah disadari oleh Simon Hug. Namun Hug menilai konsepsi yang kontardikstif tersebut perlu diuji nilai analitisnya dalam penelitian empiris sesuai dengan dengan obyek kajian.
35
Hasil studi atau uji empiris yang dilakukan oleh Hug (2001:116-122) menunjukan hubungan antara variable sistem pemerintahan dengan peluang mendapatkan jabatan maupun manfaat memegang jabatan tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap terbentuknya partai baru. Hanya sistem pemilu (threshold representation dan threshold exclusion) yang memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan terbentuknya partai baru.
Beberapa akademisi lebih mengkaitkan ongkos mendirikan partai politik dengan faktor institusional. Menurut Margit Tavits (2006, 2007) dan Simon Hug (2001) peraturan pendaftaran partai yang lebih ketat dan sistem pemilihan yang tidak proporsional dipandang menghalangi pembentukan partai baru karena kedua hal tersebut tergolong mahal bagi partai baru. Tavits (2006, 2007) dan dan Hug (2001) mencontokan, semakin besar Jumlah deposito dan dan jumlah tanda tangan yang dipersaratkan untuk mendirikan partai, maka semakin besar dana yang dibutukan untuk mendirikan partai baru. Adanya dana public untuk partai dinilai Tavits dan Hug bisa mengurangi ongkos mendirikan partai. Namun menurut Tavits (2006) efeknya tidak otomatis. Efek tersedianya dana public tersebut tergantung pada peluang dukungan yang dimiliki oleh partai baru. Sebab di beberapa negara mensyaratkan dana public diberikan hanya kepada partai yang mampu mendapatkan amabang batas suara tertentu.
36
Sedangkan menurut Carina S. Bischoff (2011: 9) besaran biaya kampanye sangat berfariasi antara satu partai dengan partai lainya. Hal ini sangat terkait dengan berapa banyak publisitas gratis yang bisa didapatkan oleh masing – masing partai. Sentimen positif media terhadap partai baru dapat mengurangi biaya kampanye secara signifikan. Ketersediaan bantuan keuangan untuk partai baru serta akses liputan televisi gratis dapat diharapkan untuk mengurangi biaya.
Tetapi studi yang dilakukan oleh Harmel & Robertson (1985) tidak menemukan korelasi antara variable ongkos dengan berdirinya partai baru. Keduanya menemukan partai baru muncul dalam sistem pemilu yang mahal (tidak proporsional. Studi yang dilakukan oleh Ingrid van Biezen & Ekaterina R. Rashkova (2011:19) memiliki kesimpulan yang hampir sama. Menurut mereka tidak ada bukti untuk efek subsidi negara pada jumlah masuknya partai baru.
D. Thesis
Posisi teoritik dalam studi ini adalah kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi merupakan hasil dari kalkulasi sekumpulan orang untuk membuat partai dengan tujuan utama sebagai kendaraan politik tokoh utamanya menjadi Presiden dalam pemilu yang akan datang. Pertimbangan – pertimbangan tersebut antara lain:
37
Pertama, adanya ketersediaan dukungan pemilih untuk tokoh utama partai menjadi presiden dan partai baru yang akan dijadikan kendaraan menjadi presiden: Ada dua indikator yang bisa dijadikan sebagai ukuran:
Pertama, turunya loyalitas konstituen partai lama dan tingginya masa mengambang. Ada tiga hal yang menjadikan loyalitas konstituen partai lama dan tingginya masa mengambang, yaitu:
1. Buruknya kinerja pemerintah. Kinerja pemerintah, utamanya dalam bidang Ekonomi merupakan faktor penting dan menjadi perhatian serius masyarakat. Kinerja pemerintah yang buruk dan tidak kunjung teratasi sampai pemilu diadakan bisanya akan direspon pemilih dengan menghukum partai pemerintah dengan tidak memilihnya lagi dibilik suara. Dengan demikian, partai baru memiliki kesempatan menawarkan diri sebagai alternatif pilihan pemilih partai pemerintah pada pemilu yang lalu yang kecewa dengan peforma kinerja pemerintah. Hal yang paling dianggap urgen oleh pemilih terkait kinerja pemerintah adalah, perekonomian seperti tingkat penganguran, kemiskinan atau tingkat kesejahtraan, ketersediaan dan terjangkaunya harga kebutuhan pokok di dalam masyarakat, keamanan dan penegakan hukum.
38
2. Buruknya performa partai lama. Pemilih akan menjadikan partai baru sebagai alternatif pilihan manakalah peforma partai lama cukup buruk. Hal yang menjadi perhatian serius pemilih terkait peforma partai lama adalah sejauh mana partai lama terlibat skandal korupsi dan sejauh mana partai politik memperjuangkan kepentingan rakyat.
3. Absenya partai oposisi yang kuat dan kredibel. Ketika kinerja pemerintah dan partai koalisi dipandang buruk, maka partai oposisi yang kuat dan kredibel memiliki potensi kuat sebagai alternatif pilihan tetapi jika oposisi yang kuat dan kredibel absen maka partai baru merupakan alternatif pilihan utama dari pelarian masyarakat yang kecewa.
Masa mengambang tidak serta merta bertalian dengan munculnya partai baru. Turunnya loyalitas konstituen partai lama dan tingginya massa mengambang bisa saja berkorelasi dengan munculnya lembaga konsultan politik. Tingginya masa mengambang mengakibatkan dukungan terhadap partai semakin tidak menentu. Beberapa partai utamanya partai yang tidak memiliki skil pengetahuan tentang perilaku pemilih dan menggaet pemilih membutukan konsultan untuk keperluan tersebut dan pada saat yang sama beberapa ahli tertarik untuk mendirikan lembaga konsultan karena ada permintaan di pasar dan secara finansial sangat menguntungkan. Aktor memiliki otonomi dan peran yang sangat penting untuk mempolitisasi turunya konstituen partai lama menjadi partai politik baru.
39
Kedua, turunnya loyalitas konstituen partai lama dan tingginya massa mengambang bukanlah faktor independen yang mempengarui peluang dukungan terhadap partai baru. Partai baru membutukan tokoh untuk menarik suara massa mengambang tersebut.
Popularitas ketokohan individu juga tidak otomatis bertalian dengan kemunculan partai baru. Beberapa tokoh yang memiliki popularitas tinggi lebih memilih bergabung dengan partai lama atau mendirikan LSM. Peran aktor menjadi sangat signifikan untuk mempolitisasi popularitas ketokohan individu menjadi partai baru.
Kedua, ongkos untuk mendapatkan suara tersebut seperti ongkos mendirikan partai politik, ongkos operasional dan ongkos mengikuti pemilu legislative dan pemilu presiden secara langsung, lebih murah dibandingkan dengan manfaat ketika suara pemilih telah dikonversi menjadi kursi.
Penulis dalam penelitian tesis ini berkeyakinan besar kecilnya ongkos mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti pemilu kurang bertalian dengan faktor institusional sebagaimana yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli yang argumentasinya sudah penulis paparkan sebelumnya. Penulis berpendapat, faktor ketokohan memiliki korelasi atau cukup menentukan murah dan mahalnya ongkos mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti pemilu di Indonesia pasca
40
reformasi. Onkos mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti pemilu yang sejatinya mahal menjadi lebih murah karena bisa ditanggung secara gotong royong dan sumbangan eksternal. Pengaruh figur utama dalam partai sangat menentukan besar kecilnya sumbangan eksternal dan bergabungnya tokoh – tokoh potensial masuk dalam partai yang bisa diharapkan ikut serta mendanai aktivitas partai.
Ketiga, murujuk pada argumentasinya Simon Hug, penulis membagi manfaat dalam dua arena. Pertama seberapah jauh peluang untuk memperoleh jabatan. Kedua seberapa jauh manfaat jabatan dalam pemerintah. Besarnya peluang mendapatkan kursi di DPR dan jabatan eksekutif dan besarnya keuntungan politis dan ekonomis yang melekat dalam jabatan tersebut merupakan faktor yang cukup menguntungkan untuk mendirikan partai baru sebagai sarana bagi aktor untuk memperoleh jabatan tersebut. Para peneliti sebelumnya lebih banyak menyoroti penilaian atau perhitugan aktor terhadap peluang dan memegang jabatan dari sisi faktor institusional, seperti pertalian peluang dan manfaat memegang jabatan dengan sistem pemilu dan peraturan yang terkait dengan kewenangan lembaga negara. Penulis dalam tesis ini berpendapat peluang mendapatkan jabatan di parlemen mapun di eksekutif lebih bertalian dengan kuatnya figur yang dimiliki oleh partai baru. Sedangkan manfaat memegang jabatan lebih bertalian pada karakter dasar kekuasaan yang bisa menentukan jalanya negara dalam berbagai aspek dan tidak memiliki hubungan secara langsung dengan titik kosentrasi atau
41
sebaran kekuasaan dalam sebuah lembaga negara. Semakin besar peluang dan kekuasaan yang didapatkan semakin menguntung mendirikan partai politik sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan.
Keempat, mendirikan partai baru sebagai sarana untuk memperoleh jabatan (kursi presiden) meruapakan alternative tindakan yang paling efisien dan paling menguntungkan dibandingkan lewat partai lama.
Tesis ini percaya Pendiri Partai Demokrat mampu berhitung secara rasional dalam memilih berbagai alternative tindakan untuk mencapai tujuanya, termasuk dalam mendirikan Partai Demokrat. Namun penulis percaya rasionalitas pendiri Partai Demokrat tidak seperti yang dibayangkan oleh pendukung rational choice classic tetapi seperti konsepsi bounded rationalty yang dibangun oleh Herbert A Simon.
Beberapa variable yang masuk dalam kategori cost, bennefit, maupun peluang dukungan yang dikemukakan oleh beberapa akademisi menunujukan adanya pengaruh rational choice institusionalisme. Mereka mengasumsikan bahwa sebagian tindakan aktor dalam menghitung ongkos, keuntungan dan peluang masih memiliki pertalian dengan faktor – faktor institusional, seperti aturan mendirikan partai, sistem pemilu dan sejenisnya. Faktor – faktor institusional tersebut dipandang cukup mempengaruih murah dan mahalnya biaya dan besar kecilnya keuntungan serta peluang yang akan didapatkan oleh aktor. Dengan
42
demikian aktor dipandang tidak bisa mengabaikan begitu saja faktor – faktor institusional tersebut ketika mendirikan partai.
Selain itu, sebagian konsepsi akedemisi seperti Simon Hug terpengaruh oleh konsepsi game teori. Menurut Hug (2001), munculnya partai baru di negara demokrasi barat bisa difahami dengan logika game teori. Menurut Simon Hug (2001:37-64) terbentuknya partai baru merupakan hasil permainan antara pihak yang berpotensi mendirikan partai baru2 dengan partai lama dalam lingkungan yang sudah terstruktur3 dengan baik. Pihak yang sangat potensial membuat partai baru akan membuat tuntutan (kebijakan) kepada partai lama ketika muncul isu potensial yang sangat penting di suatu negara. Permintaan atau tuntutan tersebut bisa sangat tinggi atau rendah. Jika tuntutan tersebut dipenuhi oleh partai lama maka tidak ada partai baru terbentuk dalam arena pemilu. Sebab menurut asumsi Hug lebih menguntungkan tuntutan dipenuhi oleh partai lama dari pada mewujudkan tuntutan tersebut lewat partai baru. Selain itu dari sisi ongkos juga lebih murah. Sebab pihak yang potensial mendirikan partai baru kemungkinan hanya mengeluarkan ongkos untuk membuat tuntutan dan tidak mengeluarkan ongkos untuk membentuk dan mengikuti pemilu. Jika partai lama menolak tuntutan tersebut, maka pihak yang potensial mendirikan partai baru
2
. Menurut Simon Hug (2001:40) pihak yang potensial mendirikan partai baru bisa berasal dari gerakan sosial, seorang warga negara, pengusaha politik atau salah satu anggota partai lama 3 . Menurut Simon Hug (2001:39) lingkungan yang terstruktur dengan baik bertalian dengan aturan atau hal yang bertalian dengan proses pemilu, syarat membentuk partai dan ketentuan pengangkatan kandidat dalam pemilu sebagian besar sudah ditentukan oleh institusi. Pilihan (aturan) yang sudah tersedia bagi aktor sudah ditentukan dengan baik
43
akan memutuskan mendirikan atau menahan diri untuk membentuk partai baru. Jika tuntutan pihak yang potensial mendirikan partai baru tersebut termasuk penantang yang kuat4 dan kredibel5 maka akan muncul partai baru yang kuat. Jika tuntutan pihak yang potensial mendirikan partai baru tersebut lemah tetapi kredibel maka akan muncul partai baru yang lemah. Jika tuntutan pihak yang potensial mendirikan partai baru tersebut lemah dan tidak kredibel maka tidak akan muncul partai baru. Sebab ongkos yang dibutukan mendirikan partai baru dalam situasi seperti itu lebih besar dari pada keuntunganya.
Konsepsi game teori maupun rational choice institusionalism sama – sama memandang arti penting aturan main (rule game) atau faktor institusional sebagai basis pertimbangan aktor dalam memutuskan untuk melakukan tindakan dalam mencapai kepentinganya. Namun menurut penilaian penulis konsepsi game teori maupun rational choice istitusionalism mungkin lebih tepat dipakai untuk menjelaskan kemunculan partai baru di negara demokrasi yang sudah mapan dan sistem kepartaianya sudah terstruktur dengan baik. Cukup sulit (tetapi bukan berarti tidak mungkin) mengaitkan antara faktor institusional seperti aturan mendirikan partai dan sistem pemilu dengan variable atau faktor yang menjadi pertimbangan aktor saat mendirikan partai, seperti ongkos mendirikan partai politik dan biaya mengikuti pemilu, peluang dukungan dan manfaat memegang 4
. Menurut Simon Hug (2001: 45) kekuatan pihak yang berpotensi mendirikan partai lama terletak pada seberapa besar meraka akan merugikan partai lama saat meraka akan mendirikan partai dan mengikuti pertarungan dalam pemilu. 5 . Kata kredibilitas digunakan oleh Simon Hug (2001: 50) untuk menggambarkan situasi jika keuntungan mendirikan partai melebihi ongkos untuk mendirikan partai
44
jabatan. Sebab beberapa partai politik di negera demokrasi baru lebih dahulu berdiri dari pada aturan mendirikan partai, sistem pemilu dan sejenisnya. Meskipun demikian, faktor institusional atau rule game (aturan main) sebagaimana konsepsi para akademisi yang sudah penulis paparkan sebelumnya akan tetap diuji nilai analatisnya dalam pembahasan tesis ini. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mendapatkan gambaran atau bukti yang lebih nyata terkait dengan hubungan antara faktor institusional atau rule game (aturan main) dengan terbentuknya partai baru di Indonesia pasca reformasi.
Dengan demikian, tesis ini percaya terbentunya bangunan politik (partai politik) dalam sistem politik di Indonesia pasca reformasi merupakan hasil dari preferensi, kalkulasi dan strategi individu dalam rangkah mewujudkan kepentingannya. Meskipun demikian, implikasi negatifnya terhadap kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara cukup minimal atau tidak separah yang dibanyangkan. Sebab aktor politik melalui partai yang ia dirikan tidak memiliki ruang yang sangat bebas dan sangat luas dalam memaksimalisi kepentinganya. Hal itu bisa terjadi karena tindakan mereka akan dikontrol oleh aktor politik yang lain, baik aktor politik electoral maupun aktor politik non electoral. Selain itu mereka juga dituntut untuk ikut andil dalam mensejahtrakan masyarakat. Sebab dengan itu mereka masih bisa berharap mendapatkan dukungan masyarakat lebih banyak dari pemilu sebelumnya untuk melanggengkan dan memperbesar kekuasaan mereka pada pemilu berikutnya. Ini merupakan efek dari bekerjanya mekanisme invisible hand. Namun
45
tesis ini percaya hukum invisible hand dalam praktek politik sulit bekerja seratus persen. Sebab aktor akan selalu mencari cara untuk meraih keuntungan dari jabatan yang dimilikinya dengan cara yang haram, baik secara berjamaah maupun secara individual. Dengan kata lain, partai politik itu seperti manusia. Ia punya dua tangan. Tangan kanan akan digunakan untuk melayai rakyat dengan harapan terpilih kembali. Tangan kiri akan digunakan untuk mencuri secara sembunyi – sembunyi untuk mendapatkan kuntungan yang berlebih. Bekerjanya dua tangan ini burtumpuh pada self – interes (kepentingan individu atau sekumpulan individu).
E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Studi Kasus
Penelitian tentang kelahiran Partai Demokrat dalam tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Sebab penelitian ini menekankan untuk mengkaji pelaku sejarah para pendiri Partai Demokrat yang sarat dengan interpretasi, kesadaran dan makna subyektif yang melekat pada tindakan para pendiri Partai Demokrat. Sebagaimana lazimnya tindakan manusia kebanyakan, tindakan para pendiri Partai Demokrat tidaklah mekanistik sebagaimana benda – benda alat yang menjadi obyek kajian ilmu alam.
Selanjutnya, penulis memilih penelitian kualitatif karena dapat memberikan rincian yang lebih mendalam tentang fenomena sosial politik yang sulit
46
diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Adapun didalam pendekatan kualitatif terdapat banyak pendekatan. Hanya saja penulis dalam mengkaji kelahiran Partai Demokrat menggunakan pendekatan studi kasus. Pendekatan ini digunakan oleh penulis untuk mendapatkan kajian terkait kelahiran Partai Demokrat secara fokus, detail, intensif dan mendalam. Selain itu, kelahiran Partai Demokrat merupakan peristiwa masa lalu yang terikat oleh ruang dan waktu. Pendekatan studi kasus diakui cukup tepat untuk mengkaji kondisi tersebut.
Karena yang dijadikan sebagai bahan analis hanya Partai Demokrat, maka studi kasus dalam kajian ini masuk dalam kategori single case studies. Selain itu, merujuk pada argumentasi Robert K. Yin (2006), penulis memilih kajian ini dengan model atau desain kasus tunggal holistik. Sebab Kelahiran Partai Demokrat memberi kesempatan menguji suatu teori. Penulis dalam tesis ini ingin menguji rational choice dengan menjadikan kelahiran Partai Demokrat sebagai bahan analisis. Mengapa hanya Partai Demokrat yang dijadikan sebagai bahan analisis? Sebab Partai Demokrat merupakan satu – satunya partai politik yang sama sekali baru yang lahir pasca pemilu 1999 yang sukses memasuki arena pemilu 2004.
Tipe studi kasus yang dipilih oleh penulis adalah tipe studi kasus kesejarahan
47
sebuah organisasi dan studi kasus analisa situasional. Tipe kajian tersebut diambil oleh penulis karena mempelajari kelahiran Partai Demokrat tidak mungkin bisa dilaksanakan tanpa adanya penjelasan historis. Penjelasan historis tidak akan sempurna kalau tidak disertai dengan penjelasan situasional. Sebab kemunculan organisasi politik biasanya memiliki keterkaitan dengan letusan – letusan situasi yang khusus atau umum. Situasi tersebut tidak jarang masih menjadi misteri atau tersembunyi. Penulis tidak memposisikan situasi tersebut telah mempengarui para pendiri Partai Demokrat tetapi lebih dimaksudkan bagaimana para pendiri Partai Demokrat tersebut memaknai situasi yang ada hingga memunculkan Partai Demokrat.
2. Jenis, Sumber Dan Teknik Pengumpulan data
Data yang dibutukan dalam penelitian ini adalah data primer, Yaitu data – data yang akan diperoleh secara langsung dari sumber informasi yang terlibat dan mengetahui secara langsung kelahiran Partai Demokrat.
Selain itu penelitian ini juga membutukan data skunder yang terkait dengan pendiriaan Partai Demokrat, yaitu data-data
tertulis yang berterkaitan
dengan kelahiran Partai Demokrat. Data sekunder itu bisa berupa catatan, transkrip, buku, notulensi, agenda, media massa, laporan penelitian, jurnal, majalah, dan sejenisnya.
48
Berikut ini merupakan sumber dan langkah-langkah dalam pencarian data: 2.1.
Studi Dokumen
Studi Dokumen dipilih sebagai langkah awal untuk mencari data yang bertalian dengan proses berdirinya Partai Demokrat. Data – data dokumen tersebut merupakan data sekunder, Data skunder ini akan diperoleh dari internet, majalah, buku seperti buku sejarah dan kemenagan Partai Demokrat karya Suhendro Baroma, Partai Demokrat dan SBY: Mencari Jawab Sebuah Masa Depan Karya Akbar Faizal. Selain itu juga dari kumpulan dokumen atau arsip milik Partai Demokrat dan milik para pendiri Partai Demokrat secara pribadi.
2.2
Wawancara Secara Mendalam.
Langkah selanjutnya dalam pencarian data adalah wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara akan dilakukan dengan dialogis atau bertatap muka secara langsung dengan sumber data dan bersifat formal. Wawancara dengan informen tidak hanya dilakukan dalam rangkah mencari data awal tetapi juga untuk mengklarifikasi data pendirian Partai Demokrat yang telah diperoleh sebelumnya. Proses wawancara bisa berlangsung dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
49
wawancara.
Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini adalah para pendiri Partai Demokrat yang terlibat secara aktif dalam proses berdirinya Partai Demokrat, yaitu Vence Rumangkang, Prof. Dr. Subur Budhisantoso, Sutan Bhatugana.
Penulis memilih Vence Rumangkang karena penggagas dan sekaligus pendiri Partai Demokrat hanya ada dua yaitu SBY dan Vence Rumangkang. Melakukan wawanca dengan SBY hampir tidak mungkin ditempuh oleh penulis karena SBY sudah sibuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Selain itu Vence Rumangkang merupakan salah satu penyandang dana dan bendahara umum Partai Demokrat yang pertama.
Selain sebagai pendiri, Prof. Dr. Subur Budhisantoso merupakan ketua umum pertama Partai Demokrat dan terlibat aktif dalam proses konsolidasi gagasan berdirinya Partai Demokrat.
Sedangkan Sutan Bhatugana merupakan pendiri Partai Demokrat yang terlibat aktif dilapangan dalam proses pendirian Partai Demokrat, termasuk dalam proses pendirian DPD dan DPC Partai Demokrat se Indonesia.
50
3. Teknik Mengola Data
Penulis akan mengolah data setalah data terkumpul. Langka yang akan dilakukan adalah menstranskrip data hasil dari wawancara dengan para pendiri Partai Demokrat. Langkah selanjutnya, penulis akan melakukan editing terhadap data yang diperoleh dari wawancara maupun studi dokumen. Editing dilakukan untuk mencari data data yang terkait permasalahan penelitian. Selanjutnya data akan ditabulasi kedalam bagan yang disusun secara sistematis sesuai dengan desain penelitian. Tabulasi akan dibuat setiap bab pembahasan. Selanjutnya data yang telah ditabulasi akan dideskripsikan dengan mengunakan teknik penulisan induktif. Peneliti akan menafsirkan data – data tersebut berdasarkan prespektif teoritik yang dipakai oleh penulis dalam menjelaskan kelahiran Partai Demokrat.
Meskipun demikian, posisi penulis (penafsir) terhadap data adalah equal (setara). Penulis percaya data tidak memiliki makna tunggal sehingga memerlukan peneliti untuk menentukan atau menafsirkan maknanya. Namun peneliti tidak punya kebebasan absolut dalam menentukan makna dari data. Peneliti juga dipengarui oleh data yang ada di lapangan. Dengan demikian, output dari penelitian ini merupakan hasil dari proses interaktif antara peneliti dengan data atau obyek yang akan dikaji dalam penelitian ini.
51
Proses pengolaan, penafsiran dan penulisan data akan dilakukan secara on going. Sebab analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan berlangsung secara terus menerus dan seringkali tidak bisa ditempu sekali waktu.
Sebisa mungkin, penulis akan menyajikan atau menulis hasil penelitian ini dengan menarik dan mengguga minat pembaca. Oleh karena itu, penulis akan menghindari penyajian yang hanya sekedar mengedepankan data – data yang melimpah tapi membosankan bagi pembaca.
4. Sistematika Penulisan
Bab
I
Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab I ini berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis serta maping teoritik yang menjelaskan kemunculan partai politik. Bab pertama ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah mendasar penelitian ini,termasuk di dalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji dalam konteks sekarang.
52
Bab
II Peluang dukungan partai baru dan tokoh utama partai di pemilu 2004. Bab ini akan membahas perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam melihat peluang Partai Demokrat sebagai partai baru dan SBY dalam mendapatkan dukungan pemilih pada pemilu 2004. Bab ini juga akan membahas fakta obyektif yang menjadikan Partai Demokrat dan SBY memiliki peluang mendapatkan dukungan pemilih di pemilu 2004.
Bab ini akan disusun menjadi empat sub bab dalam menjelaskan permasalahan tersebut. Pertama Partai-ID dan masa mengambang. Sub bab ini akan menjelaskan perubahan loyalitas pemilih terhadap partai hasil pemilu 1999 dan faktor – faktor obyektif yang menjadikan loyalitas tersebut menurun. Sub bab ini juga akan menjelaskan bagaimana turunya loyalitas pemilih tersebut dicermati dan dihitung oleh pendiri Partai Demokrat sebagai peluang untuk mendapatkan dukungan pemilih pada pemilu 2004.
Kedua potensi SBY sebagai magnet electoral. Fokus sub bab ini akan menganalisis faktor – faktor yang menjadikan SBY memiliki potensi sebagai magnet electoral. Sub ini juga akan
53
menjelaskan bagaimana perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam melihat pengaruh ketokohan SBY sebagai faktor untuk memobilisasi pemilih (magnet electoral) pada pemilu 2004.
Ketiga potensi SBY sebagai capres alternatif di pemilu 2004. Sub ini akan menjelaskan peluang dukungan yang dimiliki oleh SBY sebagai presiden 2004. Penulis dalam sub ini akan membadingkan peluang SBY dengan sebagian tokoh yang pada waktu itu dimungkinkan menjadi capres di pemilu 2004. Hal lain yang akan dibahas dalam sub ini adalah sejauh mana peluang SBY sebagai capres alternatif menjadi motivasi sebagian orang untuk mendirikan partai baru sebagai kendaraan SBY menuju kursi presiden. Sub bab keempat berisi ringkasan atau kesimpulan besar temuan dalam bab dua ini.
Bab ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa salah satu pertimbangan elit mendirikan partai baru pasca pemilu 1999 di Indononsia adalah adanya ketersediaan dukungan untuk meraih kursi di parlemen dan presiden. Kedua menjelaskan perhitungan pendiri Partai Demokrat secara mendalam dalam menghitung peluang dukungan yang tersedia bagi Partai
54
Demokrat dan SBY dalam meraih kursi di DPR dan Presiden pada pemilu 2004 dan mengukur apakah perhitungan tersebut cocok dengan situasi yang berkembang pada waktu itu.
Bab
III Ongkos mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti pemilu. Pembahasan dalam bab terdiri dari empat sub bab. Pertama biaya mendirikan Partai Demokrat. Sub ini akan menjelaskan
kalkulasi
pendiri
Partai
Demokrat
dalam
menghitung ongkos, sumber pendanaan dan komponen pembiayaan penting yang diperlukan untuk mendirikan partai baru pasca pemilu 1999. Hal lain yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah strategi pendiri Partai Demokrat dalam mendapatkan sumber pendanaan tersebut.
Kedua biaya operasional Partai Demokrat. Pembahasan dalam sub ini akan menjelaskan beberapa komponen pembiayaan penting yang bertalian dengan operasionalisi yang dibutukan oleh partai baru pasca pemilu 1999. Pembahasan dalam sub ini juga akan menjelaskan bagaimana perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam menghitung dana yang dibutukan untuk operasionalisisi partai.
55
Ketiga biaya Partai Demokrat memasuki arena pemilu. Pembahasan dalam sub ini akan menjelasakan beberapa komponen pembiayaan penting yang dibutukan oleh partai baru dalam mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Pembahasan selanjutnya dalam sub bab ini akan menjelaskan bagaimana perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam mengkalkulasi besaran dana yang dibutukan oleh Partai Demokrat di pemilu legislatif dan pemilu presiden. Hal lain yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah bagaimana strategi pendiri Partai Demokrat dalam mendapatkan sumber pendanaan dan bagaimana dana yang tersedia dikelola oleh Partai Demokrat. Sub bab keempat berisi ringkasan atau kesimpulan besar temuan dalam bab tiga ini.
Bab ini bertujuan untuk membuktikan claim teori rational choice bahwa salah satu pertimbangan elit mendirikan partai adalah biaya mendirikan partai lebih murah dibandingkan keuntungan yang akan didapatkan. Kedua menjelaskan perhitungan pendiri Partai Demokrat secara mendalam dalam menghitung
besaran
dana
yang
pendanaan,
strategi
untuk
meminimalisir
mendapatkan sumber pendanaan.
56
dibutukan,
komponen
ongkos
dan
Bab
IV Peluang dan manfaat mendapatkan jabatan pasca pemilu 1999. Bab ini akan dibagi menjadi tiga sub bab dalam membahasas permasalahan tersebut. Pertama peluang mendapatkan kursi dan jabatan di legislatif. Sub bab ini akan menjelaskan besarnya peluang bagi partai baru mendapatkan kursi di parlemen di bawah sistem pemilu yang diberlakukan saat pemilu 1999 dan 2004. Selain itu sub bab ini juga akan membahas
peluang
mendaptkan
jabatan
di
parlemen.
Pembahasan setiap sub bab tersebut akan disertai perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam melihat peluang mendapatkan kursi dan jabatan di DPR.
Kedua peluang mendapatkan jabatan di eksekutif. Sub bab ini akan menjelaskan peluang partai baru dalam mendapatkan jabatan di eksekutif. Sub ini juga akan menjelaskan bagaimana perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam melihat peluang mendapatkan jabatan dieksekutif.
Ketiga manfaat memegang jabatan di DPR dan Eksekutif. Sub bab ini akan menjelaskan potensi manfaat politis dan ekonomis yang melekat dalam jabatan di DPR dan eksekutif, baik legal
57
maupun ilegal. Sub ini juga akan menjelaskan berbagai faktor yang berpotensi mengurangi manfaat jabatan di DPR dan di eksekutif. Hal lain yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah perhitungan atau kalkulasi pendiri Partai Demokrat dalam melihat potensi keuntungan dalam memegang jabatan di DPR dan di eksekutif. Sub bab keempat berisi ringkasan atau kesimpulan besar temuan dalam bab dua ini.
Bab ini bertujuan untuk membuktikan claim teori rational choice bahwa salah satu pertimbangan elit mendirikan partai adalah
besarnya
peluang
mendapatkan
jabatan
dan
manfaatnya. Kedua menjelaskan perhitungan pendiri Partai Demokrat secara mendalam dalam menghitung peluang mendapatkan jabatan dan manfaatnya yang tersedia bagi Partai Demokrat sebagai partai baru di pemilu 2004 dan mengukur apakah perhitungan tersebut cocok dengan situasi yang berkembang pada waktu itu.
Bab
V Adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait dengan kelahiran Partai Demokrat sekaligus kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian. Bab ini juga akan membahas implikasi dari terbentuknya partai dalam model
58
rational choice terhadap kesejahtraan rakyat dan kualitas demokrasi di Indonesia secara singkat. Hal lain yang akan dibahas dalam bab ini adalah rekomendasi penelitian selanjutnya. Sebab penelitian ini hanya mengambil studi kasus tunggal sehingga belum tentu bisa menjelaskan berbagai kemunculan partai baru pasca reformasi dalam prespektif rational choice.
59