BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita gangguan jiwa (skizofrenia). Sampai saat ini penanganan penderita gangguan jiwa masih sangat bervariasi di masyarakat. Pada umumnya keluarga-keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit gangguan jiwa akan menangani sesuai dengan persepsi masing-masing dan merasa apa yang telah mereka lakukan adalah sebuah upaya maksimal untuk dapat menyembuhkan si penderita. Selain perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa, maka tindakan atau upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan, juga menjadi bagian dari kajian. Pengkajian upaya penanganan penderita gangguan jiwa dari sisi departemen kesehatan (baik instansi Rumah Sakit Jiwa dan Puskesmas) dikarenakan instansi tersebut juga memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ada beberapa alasan yang menjadi bahan pertimbangan sehingga tesis ini memilih perilaku masyarakat dengan subjek penelitian penderita gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah masalah kesehatan masyarakat. Sampai saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan, global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1 persen, jauh lebih tinggi dari tuberklosis (7,2 persen),
Universitas Sumatera Utara
kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), atau malaria (2,6 persen) (http://www.gizi.net, 2001). Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1995, memperkirakan terdapat 264 dari 1000 anggota Rumah Tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini, jumlah tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolak-gejolak lainnya diseluruh daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut memicu terjadinya peningkatan tersebut (http://faperta.ugm.ac.id, 2002). Angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa, mulai dari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Bukti lainnya, berdasarkan data statistik bahwa angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang di antaranya meninggal dunia karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya (Azwar, 2002). Hasil penelitian Harvard dan International Organization for Migration (IOM) pada tahun 2007 terhadap masyarakat yang terkena dampak konflik di 14 kabupaten dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), memperlihatkan 35%
Universitas Sumatera Utara
mengalami gejala depresi, 10 % gejala Post Traumatic Stress Disorder dan 3% dengan gejala kecemasan lainnya. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi NAD (2007), bahwa masyarakat yang terindikasi gangguan jiwa sebanyak 1.677 jiwa (31,12%) termasuk kategori berat, 1.591 jiwa (29,52%) dengan gangguan neurotic dan 1.190 jiwa (22,98%) dengan psikotik akut serta sebanyak 334 jiwa (6,20%) dengan depresi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih tinggi kasus gangguan jiwa di Nanggroe Aceh Darussalam. Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik fisik maupun mental. Keabnormalan tersebut terdiri dari gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai gejala yang terpenting diantaranya adalah ketegangan, rasa putus asa, murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeri, rasa lemah dan tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk, dan sebagainya. Menurut Darajat, orang yang terkena gangguan jiwa masih mengetahui dan merasakan kesukarannya dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya, sedangkan penderita psikosa tidak ada integritas dan mereka hidup jauh dari alam kenyataan (Yosep, 2007). Hasil studi memperlihatkan bahwa 20-24 % pasien yang datang berobat ke pelayanan primer memperlihatkan sedikitnya satu gejala gangguan jiwa.
Golberg
and Huxley (1992) menyebutkan bahwa prevalensi populasi dewasa yang mengalami gangguan jiwa dan berobat ke dokter di pelayanan primer adalah 230/1000 penduduk,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan yang berobat ke pelayanan tersier (Rumah Sakit Jiwa) hanya 23,5/1000 penduduk. Dalam pengobatan penderita gangguan jiwa terdapat perbedaan pada setiap masyarakat. Sebagian masyarakat New Guinea misalnya, penderita gangguan jiwa dianggap kerasukan setan, karena itu perlu diobati dengan cara kaki dan tangannya diikat dan kemudian diasapi sampai muntah.
Di Nigeria, sebagian penderita
gangguan jiwa tinggal di rumah shaman atau dukun selama 3-4 bulan dan penderita dirawat oleh saudaranya yang tinggal bersama si pasien di rumah dukun. Biasanya si pasien dibelenggu dan diberi ramu-ramuan dan dukun memberikan korban binatang pada roh gaib. Apabila si pasien sembuh, lalu diadakan upacara ditepi sungai dengan diikuti korban darah binatang sebagai simbol membersihkan si pasien dari sakitnya atau kelahiran kembali (Sudarti, 1986). Akibatnya, banyak penanganan pasien gangguan jiwa yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga dengan cara yang tidak
tepat sesuai dengan prosedur
kesehatan. Sebagai contoh, sebagian warga masyarakat di Aceh melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa dan memperlakukan pasien dengan tidak manusiawi bahkan ada keluarga dengan sengaja membuang anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggotanya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa, maka oleh sebagian kalangan ia dianggap kemasukan roh halus. Untuk kasus semacam ini, masyarakat
memilih
membawanya
ke
dukun,
bukan
ke
dokter
jiwa
(http://www.depkes.go.id,2006).
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia penanganan gangguan jiwa dilakukan dengan cara dipasung oleh sebagian kalangan. Bahkan keluarga dengan sengaja mendislokasi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggotanya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa, dianggap kemasukan roh halus. Masyarakat memilih membawanya ke dukun, bukan ke dokter jiwa (http://www.depkes.go.id,2006). Menurut Dinkes Prov. NAD tahun 2007, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kesehatan jiwa masyarakat dan mulai dirintis pada tahun 2002 karena dikhawatirkan terjadi kecenderungan peningkatan kasus gangguan psikologis di masyarakat akibat adanya konflik yang berkepanjangan. Kegiatan awal yang dilakukan adalah pelatihan tenaga dokter dan perawat untuk mampu melakukan deteksi dini gangguan jiwa di masyarakat, mampu memberikan terapi sesuai kewenangannya dan memberikan konseling kepada klien yang dipastikan mengalami gangguan. Kondisi pasca tsunami ternyata membuktikan bahwa trend kejadian gangguan jiwa dan psikososial semakin meningkat. Menurut Dinkes Prov. NAD tahun 2007, kegiatan ini diawali dengan kajian kondisi masyarakat yang tinggal didaerah konflik dan kondisi masyarakat yang terkena bencana tsunami. Awal Juli tahun 2006 melalui lokakarya, seminar dan desiminasi, hasil kajian tentang kesehatan jiwa masyarakat di Provinsi NAD, maka ditetapkan suatu pendekatan Community Mental Health Nursing (CHMN) yaitu suatu pendekatan asuhan keperawatan jiwa masyarakat yang dapat dilakukan oleh perawat dengan pengawasan dokter. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kurangnya tenaga
Universitas Sumatera Utara
kesehatan jiwa maupun psikiatri atau dokter spesialis kesehatan jiwa (Dinkes Prov. NAD, 2007). Seperti diketahui, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menjelaskan bahwa saat ini hanya tersedia sekitar 500 tenaga medis, seperti dokter jiwa, yang menangani 2.500 pasien. Artinya
setiap dokter jiwa
menangani 5 pasien gangguan jiwa, sehingga pemantauannya lebih menjadi tidak maksimal (Depkes RI, 2006). Menurut Profil Dinkes Kota Langsa tahun 2007, hal ini dapat dilihat dari data kasus yang sudah mendapatkan tindakan asuhan keperawatan oleh petugas Community Mental Health Nursing (CMHN) adalah hanya 3.656 kasus (47%) (Profil Dinkes Provinsi NAD, 2007). Di Kota Langsa tahun 2006 diketahui bahwa jumlah penderita gangguan jiwa yang ditangani oleh CHMN sebanyak 42%. Saat ini jumlah pasien yang dipasung sekitar 133 orang dan sebanyak 62 kasus yang ditangani sudah dilepas dari pasungannya (Dinkes Prov. NAD, 2007). Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) NAD, Saifuddin memperkirakan saat ini terdapat sekitar 100 orang penderita gangguan jiwa yang bertahun-tahun terpasung akibat kondisi keuangan
keluarganya
memprihatinkan.
Faktor
kemiskinan
dan
rendahnya
pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung. Para penderita gangguan jiwa berat yang terpasung itu di antaranya banyak ditemukan di Kabupaten Bireuen, Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Utara serta Aceh Timur (Serambi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Di Kota langsa pada tahun 2006 dijumpai sebanyak 116 kasus penderita gangguan jiwa dan yang sudah ditanggani 57 kasus sementara jumlah kasus yang dipasung sebanyak 3 orang (Dinkes Kota Langsa, 2007). Berdasarkan wawancara dengan petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih di Kota Langsa bulan Mei 2007, salah satu penyebab masih tingginya penanganan pengobatan jiwa dengan cara dipasung adalah karena tingkat sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta kekhawatiran keluarga terhadap perilaku pasien dengan gangguan jiwa, salah satunya adalah perilaku mengamuk dan melukai orang lain. Sementara untuk membawa mereka ke rumah sakit, tidaklah mungkin karena biaya dan tempat pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau. Berdasarkan paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang perilaku masyarakat dalam penanganan gangguan jiwa di Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimanakah masyarakat Aceh baik keluarga atau pemerintah menangani pasien gangguan jiwa yang semakin lama semakin meningkat. Yang dipicu oleh konflik dan modernisasi serta keterbatasan fasilitas yang tidak merata, walaupun alokasi dana dan pelatihan sudah sering dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis perilaku masyarakat Aceh baik keluarga atau pemerintah dalam menangani pasien gangguan jiwa yang semakin lama semakin meningkat, yang dipicu oleh konflik dan modernisasi serta keterbatasan fasilitas yang tidak merata walaupun alokasi dana dan pelatihan sudah sering dilakukan, dalam penanganan penderita gangguan jiwa di Kota Langsa.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Sebagai bahan informasi bagi lokasi penelitian tentang perilaku masyarakat Kota Langsa dalam penanganan penderita gangguan jiwa. 1.4.2. Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan dalam melakukan penelitian kualitatif tentang perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa. 1.4.3. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan terutama dokter dan perawat jiwa agar mengetahui cara-cara masyarakat dalam penanganan penderita dan dapat meningkatkan asuhan keperawatan terutama di daerah terpencil.
Universitas Sumatera Utara