19
BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Tesis ini mengkaji tentang tata kelola pertunjukan musik
keroncong di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).1 Pengambilan topik ini didasarkan pada tiga (3) alasan pokok. Pertama, belum ada satu pun penelitian sejenis yang secara khusus menguraikan pengelolaan pertunjukan musik keroncong khususnya di TBY. Oleh karena itu, Kajian ini sama sekali merupakan bahasan baru dan rintisan awal untuk menelaah lebih dalam mengenai tata kelola musik keroncong. Dua
hal bahasan di dalam
tesis ini
adalah konsep
pengelolaan dan musik keroncong. Pengelolaan merujuk pada sebuah proses melakukan kegiatan tertentu. Ada seperangat aktivitas kolektif di dalamnya yang secara diakronis maupun sinkronis membentuk struktur-struktur. Dalam hal ini, subjeknya adalah
negara
berwujud
instansi
TBY,
sedangkan
musik
keroncong dipahami sebagai dua entitas berbeda. Keroncong adalah salah satu jenis musik Nusantara akibat persinggungannya dengan kebudayaan asing, sedangkan musik memiliki arti yang lebih universal tidak hanya mencakup keroncong sebagai satu genre, tetapi masih ada varian-varian lainnya. Keduanya, baik 1 Penggunaan singkatan “TBY” untuk menyebut “Taman Budaya Yogyakarta”.
20
konsep pengelolaan dan musik keroncong terlihat paradoks. Pengelolaan melulu berbicara hal-hal teknis, birokratis sedangkan musik di dalam keilmuan seni pada hakikatnya adalah kajian ilmu humaniora yang elaboratif. Beberapa
penelitian
sejenis
yang
menjadi
bahan
perbandingan tesis ini memiliki perbedaan lokasi dan fokus penelitian.2 Persoalan yang diangkat beserta pembahasannya menunjukan sifat teknis dan cenderung birokratis. Upayanya hanya sampai pada tahap memberi gambaran aspek fungsional pengelolaan
sebuah
sistem.
Akibatnya,
argumentasi
yang
dibangun akan berhenti pada deskripsi struktur. Padahal, jika diurai lagi, kajian mengenai konsep pengelolaan tidak hanya berbicara pada tataran teknis, tetapi juga berkaitan dengan pola kerja, ide, relasi sosial, dan faktor psikologis. Hal tersebut diberi nama “rasa lain” dari konteks pengelolaan yang tidak akan mampu
di
jangkau
jika
hanya
mengandalkan
beberapa
pendekatan yang sudah disebutkan di atas. Kedua, salah satu variabel tesis ini yakni musik keroncong yang kurang diperhatikan di dalam seni pertunjukan. Dunia seni musik lebih didominasi oleh musik Indonesia jenis lain seperti pop, melayu, dangdut, lagu-lagu nasional, dan lain-lain. Walaupun begitu, keberadaan musik keroncong secara nasional telah diakui 2 Perbedaan antara tesis ini dan penelitian lain sejenisnya akan dibahas secara detail di bab I sub bab kajian pustaka.
21
sebagai salah satu dari khasanah musik Indonesia. Menurut Victor Ganap, komponis Amir Pasaribu dalam analisisnya tentang musik Indonesia, juga memasukkan keroncong dalam klasifikasi ‘Musik Indonesia’ selain stambul, gambang, gambus, joget, dan langgam. Demikian pula Radio Republik Indonesia (RRI) ketika menggelar acara Pemilihan Bintang Radio (PBR) untuk pertama kalinya pada tahun 1951 sebagai barometer perkembangan musik Indonesia, telah menetapkan musik keroncong sebagai jenis musik yang mandiri dan memenuhi syarat secara kelembagaan untuk turut serta dilombakan. Musik keroncong bahkan telah memiliki para pendukung dan penggemarnya yang tersebar di seluruh Nusantara yang menandakan bahwa musik keroncong telah diterima dan menjadi milik bangsa Indonesia. Secara musikologis keroncong termasuk dalam jenis musik tradisi populer karena merupakan sebuah tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat perkotaan.3 Secara spesifik, musik keroncong merupakan salah satu musik tradisional yang hidup dan berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta.4
Seni
pertunjukan
tradisional
yang
hidup
dan
3 Victor Ganap, 2011, Krontjong Toegoe¸ Cet ke-1, (Yogyakarta : Institut Seni Yogyakarta), 6. 4 Sumaryono, 2012, Ragam Seni Pertunjukan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, Cet ke-1, (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta. V.
22
berkembang di DIY dapat dikategorikan menjadi empat bagian.5 Secara akademik, seni pertunjukan musik dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) musik diatonis, (2) musik daerah non diatonis. Musik diatonis terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu musik daerah diatonis, musik Indonesia, dan musik Barat, contoh musik Indonesia ialah lagu-lagu nasional, keroncong, melayu, pop, dan lain-lain, sedangkan musik Barat ialah musik barok, musik klasik, musik romantik, musik romantik, musik pop, dan lain-lain. Musik daerah non diatonis terbagi menjadi dua bentuk, yaitu musik gamelan dan musik non gamelan.6 Taman Budaya Yogyakarta merupakan miniatur apresiasi seni masyarakat yang melembaga. Di TBY, seni musik khususnya ditampilkan sebagai fenomena musik yang unik. Di tengah arus globalisasi, musik Indonesia ini tetap lestari, yang digelar dalam pergelaran-pergelaran
musik.
Pergelarannya
menghadirkan
kekhasan lokal sehingga musik keroncong itu tidak hanya melekat dalam memori kolektif masyarakat, tetapi juga teraktualisasi melalui tata kelakuannya sehari-hari. Terlalu naif bila kemudian 5 Sumaryono, 2012, 21. kategori seni pertunjukan tradisional, diantaranya adalah sebagai berikut : (1) seni-seni pertunjukan tradisional bercorak klasik dan kerakyatan, (2) seni-seni pertunjukan tradisional yang masih mempertahankan bentuk asli, dan model pelestarian yang konvensional sebagaimana dalam tradisi lisan, (3) seniseni pertunjukan tradisional yang telah mengalami penggarapan sehingga menjadi seni-seni pertunjukan tradisional kreasi baru, (4) seniseni pertunjukan tradisional yang telah diasimilasikan dengan unsurunsur seni dari luar, baik pengaruh seni Barat maupun seni-seni tradisi luar Yogyakarta sehingga memunculkan genre seni pertunjukan baru. 6 Soedarsono, 1993, Diagram Seni Rekaan.
23
musik Indonesia di Taman Budaya Yogyakarta tidak dikemas dalam praktiknya yang menarik dan mengesampingkan peran pengelolaan yang terstruktur, terukur, dan tepat guna sebagai bagian dari strategi marketing kepada khalayak umum. Ketiga, alasan lain dilakukannya penelitian ini ialah alasan geografis dan ideologis Taman Budaya Yogyakarta dalam bentuk visi
dan
misi,
serta
aktualisasi
berkesenian
pada
periode
sejarahnya. Secara geografis, Taman Budaya Yogyakarta berada di kawasan yang strategis, yakni di kilometer nol Yogyakarta, berbatasan dengan area cagar budaya Benteng Vredeburg di sebelah
barat.
Di
sebelah utara
Kompleks
Taman
Budaya
Yogyakarta adalah Jalan Pabringan, yang memisahkannya dengan Pasar Beringharjo. Taman Budaya berbatasan dengan jalan Sriwedani di sebelah timur, dan Jalan Panembahan Senopati di sebelah selatan. Letak Taman Budaya Yogyakarta yang berada di pusat kota Yogyakarta ini menjamin kemudahan akses publik. Berikut peta letak Taman Budaya Yogyakarta.7
7 http://www.google.co.id. 21 Juli 2014.
24
Gambar I G L Lokasi TBY Y (Sumber : www.googgle.co.id) Peng gelolaan T Taman Bu udaya Yog gyakarta ttidak terle epas dari s sejarahnya a
dan
k kebijakan
Direktorrat
Jende eral
Kebu udayaan,
D Departeme en Pendid dikan dan Kebudaya aan Repub blik Indone esia pada k kurun 19 970-an. Konsep K Ta aman Bud daya digag gas oleh Direktur J Jenderal Kebudaya aan pada masa itu,, yaitu Prrof. Dr. Id da Bagus M Mantra. Pada P tah hun 1978 8, dengan n masuka an dari kalangan k s seniman dan d cende ekiawan, berdasarka b an Surat K Keputusan n Menteri P Pendidika an dan Ke ebudayaan n berdirila ah pusat-p pusat keb budayaan y yang disebut Tama an Budaya a di bebe erapa prov vinsi di In ndonesia, ttermasuk Provinsi Daerah D Istimewa Yo ogyakarta.. Ketika ittu secara k kelembaga aan Tama an Budaya a merupakan Unit Pelaksana Teknis b bidang ke ebudayaan n, yang bertanggun b ng jawab langsung g kepada
25
Direktur Jenderal Kebudayaan yang berkedudukan di Jakarta. Tugas
Taman
Budaya
ialah
melaksanakan
pengembangan
kebudayaan daerah di provinsi. Tiga belas tahun kemudian, pada 1991, organisasi dan tata kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan
RI
No.
0221/O/1991. Perkembangan selanjutnya ialah Taman Budaya di seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang otonomi daerah. Melalui masa transisi tahun 2000-2001, Taman Budaya Yogyakarta
masuk
dalam
struktur
Dinas
Kebudayaan
dan
Pariwisata. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2002 dan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/Tahun 2002 tanggal 4 November 2002, Taman Budaya Yogyakarta resmi menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY. Kini fungsi yang diemban
oleh
Taman
Budaya
Yogyakarta
ialah
pelaksana
operasional sebagai kewenangan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dalam hal pengembangan dan pengelolaan pusat dokumentasi, etalase, dan informasi seni budaya dan pariwisata.8 Oleh karena itu, dengan adanya perubahan organisasi dan tata kerja taman 8 http://www.thewindowofyogyakarta.com/profil.php. 15 Maret 2014.
26
Budaya yang signifikan maka rentang waktu yang diteliti adalah pada tahun 2002 hingga 2013. Visi Taman Budaya adalah terwujudnya Taman Budaya Yogyakarta sebagai “The Window of Yogyakarta” serta menuju pusat budaya terkemuka di tingkat nasional dan internasional. Misi Taman Budaya Yogyakarta adalah memberikan ruang kreatif bagi seniman dan budayawan untuk mempresentasikan karya kreatif dan pemikiran mereka. Taman Budaya mempunyai misi menjadi suatu pusat laboratorium pengembangan dan pengolahan seni, dokumentasi, dan informasi seni budaya dan meningkatkan kompetensi dan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi seni budaya. Dengan melihat visi tersebut, terlihat bahwa Taman Budaya ingin memosisikan diri sebagai sentral pemberdayaan perilaku berkesenian masyarakat Yogyakarta. Lagi pula, kota ini dikenal sebagai kota seni dan kota pelajar yang mempertemukan berbagai manusia dari aneka suku, agama, golongan, dan karakter. Sejak tahun 1970-an Taman Budaya Yogyakarta telah memiliki banyak kegiatan. Ruang lingkup kegiatan Taman Budaya Yogyakarta
meliputi
pengembangan
dan
gelar pengolahan
seni seni
budaya, budaya,
laboratorium dokumentasi,
penerbitan dan informasi seni budaya, serta koleksi karya seni rupa. Wujud kegiatan ini meliputi pementasan dan festival seni Pertunjukan (performing arts) seperti pergelaran karya sastra,
27
pedalangan, musik dan karawitan, serta pameran dan pergelaran seni rupa, yang mencakup seni lukis, seni patung (sculpture), seni grafis, seni kriya, seni instalasi, seni multimedia, dan performance art (seni rupa pergelaran). Beberapa contoh kegiatan pementasan dan festival seni pertunjukan adalah Yogyakarta Dance Festival, Festival
Sendratari,
Festival
Koreografi
Tunggal,
Pergelaran
Bedhoyo, Festival Topeng Nusantara, Festival Maestro, Festival Wayang Wong, Pergelaran Karya Maestro, Festival Teater Musik Panas, Festival Ketoprak, Dramatic Reading, Parade Penyair Khatulistiwa, Musikalisasi Puisi, Pergelaran Pedalangan “Jumat Pahingan”, dan Festival Gamelan Internasional.9 Taman
Budaya
memiliki
susunan
organisasi
dalam
melaksanakan tugas sebagai UPTD Dinas Kebudayaan DIY. Salah satu tugas dan fungsi dalam mengelola pertunjukan diemban oleh Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya. Adapun tugas yang dilaksanakan oleh seksi tersebut ialah melaksanakan pengkajian, pengolahan, eksperimentasi, dan
penyajian seni
budaya. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Taman Budaya Yogyakarta menempuh
tahapan-tahapan dalam menjalankan
tugasnya, diantaranya adalah sebagai berikut. (a) Penyusunan program kerja Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya. (b) Pelaksanaan restorasi, rekonstruksi, dan revitalisasi karya seni. 9 Taman Budaya, 2008, The Window of Yogyakarta.
28
(c) Pelaksanaan pengkajian, pengolahan, eksperimentasi, dan penyajian seni budaya. (d) Pelaksanaan pelatihan pengembangan seni budaya. (e) Pelaksanaan forum komunikasi seni budaya dan temu karya seni. (f) Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya. Tugas
yang
dilakukan
oleh
Seksi
Penyajian
dan
Pengembangan Seni Budaya ialah mengundang para seniman dan budayawan Yogyakarta dengan tujuan mengumpulkan saransaran perihal kegiatan seni pertunjukan atau seni rupa yang akan direncanakan untuk program satu tahun, baik dalam bentuk program jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam agenda kegiatan setiap tahun, Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya
melaksanakannya
maksimal
enam
bulan
sebelum
memasuki tahun baru berikutnya, kemudian menyusun Dokumen Perencanaan
Anggaran
(DPA)
setiap
kegiatan
yang
telah
direncanakan dan disepakati bersama. Setelah tersusun rencana kegiatan dan anggaran secara rinci oleh Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya, bersama bidang lainnya yang ada di Taman Budaya Yogyakarta, dokumen perencanaan anggaran tersebut
diserahkan
kepada
Dinas
Kebudayaan
Yogyakarta.
Setelah itu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang
fungsinya
mewakili
dan
mengatasnamakan
Gubernur
29
membahas kembali secara rinci proposal-proposal dan dokumen perencanaan anggaran dari Taman Budaya Yogyakarta yang terdapat di dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Rencana
Kerja
Pembangunan
Daerah
(RKPD)
adalah
dokumen perencanaan pembangunan tahunan yang disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam tahapan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). RAPBD
merupakan
pedoman
penyusunan Kebijakan
Umum
Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Dokumen ini memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun
yang
ditempuh
dengan
mendorong
partisipasi
masyarakat.10 Apabila proposal dan DPA tersebut telah disetujui oleh Bappeda, kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga memiliki hak untuk menyeleksi
kegiatan
yang
direncanakan.
Hal
tersebut
juga
ditempuh tanpa mengabaikan saran dan aspirasi seniman, budayawan, bahkan masyarakat bahwa kegiatan yang akan 10 http://bapeda.jogjaprov.go.id/assets/uploads/docs/Bab-IPENDAHULUAN.pdf. 21 April 2014.
30
dilakukan dibutuhkan atau tidak oleh masyarakat. Selain itu, DPR juga merancang anggaran yang tersedia dalam APBD dan APBN untuk kegiatan yang akan dilaksanakan di Taman Budaya Yogyakarta. Penetapan yang dibuat oleh DPR sehingga terbentuk rancangan kegiatan dalam dokumen asli disebut Dokumen Perencanaan Anggaran (DPA).11 Taman Budaya Yogyakarta memiliki dua kebijakan dalam melaksanakan kegiatan pertunjukan, yaitu kebijakan eksternal dan
internal.
Kebijakan
eksternal
ditempuh
melalui
cara
komunitas seni yang mengadakan pertunjukan di Taman Budaya tidak memiliki hubungan kerja sama dalam masa periode tertentu, sedangkan kebijakan internal ditempuh melalui cara Taman Budaya Yogyakarta dalam mengadakan pertunjukan di Taman Budaya Yogyakarta telah bekerja sama dengan pihak lain untuk mempertunjukkan karya komunitas seni.
B.
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah penelitian tentang Pengelolaan
Pertunjukan Musik Keroncong di Taman Budaya Yogyakarta adalah sebagai berikut.
11 Wawancara dengan Kepala Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya Taman Budaya Yogyakarta, Drs. Anton Widodo, tanggal 14 September 2013 di Taman Budaya Yogyakarta.
31
1. Bagaimana relasi dan interrelasi sosial dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong yang dilakukan oleh Taman Budaya Yogyakarta. 2.
Bagaimana Taman Budaya Yogyakarta mengelola berbagai
ideologi dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan
utama
mengeksplorasi menjalankan
penelitian peranan
tugas
ini
Taman
pokok
dan
pertunjukan musik. Selain itu,
adalah
menganalisis
Budaya
Yogyakarta
fungsi
sebagai
dan dalam
pengelola
menghadirkan stimulasi yang
lebih humanistik mengenai pengelolaan musik keroncong yang sifatnya mekanis-teknis. Hal ini mencakup relasi sosial dan ada kalanya juga berkait dengan ideologi kelompok seniman di dalamnya. Adapun manfaat penelitian ini ialah sebagai berikut. (1) Penelitian ini secara akademik menjamin dapat memperkaya kajian seni pertunjukan dalam perspektif manajemen secara kultural.
(2)
Penelitian
ini
dapat
menyumbangkan
gagasan
penelitian untuk lembaga-lembaga sejenis dengan Taman Budaya Yogyakarta dalam merancang dan mengelola seni pertunjukan di daerah masing-masing.
32
D. Tinjauan Pustaka Dalam sub bab tinjauan pustaka, akan diuraikan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan pengkaji lain yang memiliki hubungan dan keterkaitan dengan penelitian ini dan diuraikan literatur yang relevan dalam membangun landasan
teori.
Sepanjang
pengamatan
peneliti,
topik
yang
mengkaji “Pengelolaan Pertunjukan Musik Keroncong Oleh Taman Budaya Yogyakarta Tahun 2014” belum pernah ada. Akan tetapi, ada beberapa penelitian mengenai pengelolaan atau manajemen pertunjukan di tempat yang berbeda dengan masalah yang mirip atau berbeda dengan topik penulis. Adapun penelitian yang mirip dengan ialah
tesis
“Manajemen
Muhammad Seni
Jazuli
Pertunjukan
tahun
topik penelitian ini
1994
Wisata
dengan
Budaya
di
judul Istana
Mangkunegaran Surakarta 1992 - 1993”.12 Ia menguraikan manajemen
seni
pertunjukan
wisata
budaya
Istana
Mangkunegaran. Tesis ini memakai pendekatan historis untuk mendeskripsikan
seni
Mangkunegaran.
Jazuli
ekonomi
dengan
bisnis
kebertahanan
seni
pertunjukan berusaha
memadukan
pendekatan
budaya
budaya
Istana
sejarah
di
Istana
unsur
profit
dalam
Mangkunegaran.
balutan Istana
Mangkunegaran merupakan simbol budaya sekaligus benteng 12 Muhammad Jazuli, 1994, “Manajemen Seni Pertunjukan Wisata Budaya di Istana Mangkunegaran Surakarta1992 - 1993”, Tesis : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM.
33
pertahanan atas kekuatan luar yang merusak, tetapi di lain pihak, seni dan budaya yang diproduksi di dalam istana itu menjadi sesuatu yang unik dan diperdagangkan dalam wujud wisata. Dalam posisi demikian terilihat bahwa ada unsur negosiasi terhadap Istana Mangkunegaran. Uang dalam tata kelola bisnis menjadi faktor utama mengapa Istana Mangkunegaran melakukan kompromi
terhadap
produksi
kebudayaan
untuk
menjadi
konsumsi publik. Kehadiran
industri
pariwisata
akan
melahirkan
seni
pertunjukan wisata, yaitu pertunjukan yang dikemas untuk dikonsumsi
wisatawan.
Dengan
demikian,
produk
seni
pertunjukan Istana Mangkunegaran yang dikonsumsikan untuk wisatawan lebih didasari oleh suatu kebijakan yang cair, yaitu sebagai upaya penyesuaian diri dengan konteksnya, baik fungsi maupun zamannya. Istana Mangkunegaran mempunyai opini bahwa warisan nilai budaya masa lampau merupakan pangkal tolak untuk menuju budaya yang lebih baru. Tradisi bukanlah warisan yang semata-mata harus dipertahankan, tetapi yang lebih utama adalah dapat berfungsi sebagai semangat masa kini dan masa depan. Pertunjukan yang dikemas sebagai segmen wisata itu adalah pertunjukan tari. Pada awalnya K.G.P.A.A. Mangkunegaran 1
selain
sebagai
panglima
perang,
juga
seorang
seniman
karawitan. Pada masa pemerintahan beliau banyak tercipta bentuk-bentuk
tari (wireng
dan langendriyan) dan
wayang.
34
Dewasa ini seni pertunjukan bukan hanya dipentaskan karena merupakan hasil akulturasi, melainkan juga merupakan sintesis dari lingkungan budaya lain. Seni
pertunjukan
yang
berkembang
di
Istana
Mangkunegaran sampai dewasa ini adalah (1) wayang kulit purwa, (2) karawitan, dan (3) tari. Menurut fungsinya seni pertunjukan di Istana Mangkunegaran dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) sebagai sarana, (2) sebagai sarana upacara, dan (3) sebagai tontonan. Produksi seni pertunjukan tari untuk dikonsumsi pariwisata di Mangkunegaran
tidak
terlepas
dari
tujuan
pengembangan
kebudayaan dan pariwisata secara luas. Potensi tari istana sebagai seni pertunjukan tradisional dituntut untuk mendukung kiat pemasaran
pariwisata.
Istana
Mangkunegaran
yang
semula
bersifat sakral sebagai pusat spiritual mengalami profanisasi dalam periode belakangan ini. Penelitian Jazuli tersebut terfokus hanya pada tataran pengelolaan yang mekanis-hierarkis sehingga hasil penelitian itu tampak kaku dan birokratis. Selain itu, Jazuli lebih banyak menjelaskan Istana Mangkunegaran dalam aspek pariwisata daripada seni pertunjukan tari. Mirip dengan penelitian Jazuli, Cahyani Tunggal Sari pada tahun 2009 membahas “Manajemen Bisnis dan Manajemen Pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan Yogyakarta Tahun
35
2005 - 2008”.13 Penelitian ini berisi tentang pengelolaan kelompok seni pertunjukan yang menggunakan konsep bisnis Sendratari Ramayana Prambanan, yang meliputi empat fungsi manajemen. Adapun empat fungsi tersebut antara lain adalah, keuangan, pemasaran, sumber daya manusia, dan produksi. Di samping itu, penelitian Cahyani menjelaskan manajemen operasional Kantor Unit Teater dan Pentas sebagai pengelola sendratari Ramayana Prambanan. Tesis Cahyani tersebut sama dengan tesis Jazuli yang membatasi
periode
waktu,
kontestasi
berupa
fungsi
dari
kesejarahan, tetapi objek kajiannya berbeda. Penelitian Cahyani berfokus
pada
kajian
bisnis
dalam
pementasan
sendratari
Ramayana. Kisah-kisah pertunjukan pewayangan Jawa hasil modifikasi
kebudayaan
impor
pada
masa
kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha tersebut menjadi obat kerinduan bagi sebagian orang untuk bernostalgia pada masa lalu dan supaya masyarakat tidak mengalami sindrom amnesia masa lalu. Tesis Cahyani menjelaskan proses pertunjukan Ramayana dalam perspektif bisnis sehingga analisisnya kuantitatif. Dengan demikian, aspek kultural dari pertunjukan Ramayana tidak diteliti. Penelitian dilakukan oleh Rachel Mediana Untung pada tahun 2010 berjudul “Pengelolaan Pertunjukan Musik Pusat 13 Cahyani Tunggal Sari, 2009, “Manajemen Bisnis dan Manajemen Pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan Yogyakarta Tahun 2005 - 2008”, Tesis : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM.
36
Kebudayaan Belanda Erasmus Huis Di Indonesia”.14 Penelitian ini berisi tentang pengelolaan dan manajemen produksi pertunjukan musik
Erasmus
Huis
di
Indonesia.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan tidak terakomodasinya kontestasi antara yang terjajah dan penjajah. Kebudayaan terjajah dan penjajah itu sangat
dekat
sehingga
bisa
dikaji
secara
teoretis
dengan
mendalam. Mirip dengan penelitian-penelitian sebelumnya, Rachel masih terjebak di dalam hasil penelitian yang mekanis. Selain itu, salah satu penelitian yang mendekati dengan penelitian
ini
tentang
musik
keroncong
adalah
penelitian
Desrilland pada tahun 2001, dengan judul Kroncong Musik Khas Indonesia.15 Tesis ini menitikberatkan kepada permasalahan lagulagu
keroncong,
kekhasan
apa
yang
dimiliki
oleh
musik
keroncong, dan teknik bermain musik keroncong. Kemudian, penelitian Desrilland menjelaskan juga tentang irama keroncong. Irama kroncong adalah jenis irama musik berupa permainan monoritmik
dari
beberapa
alat,
yang
dijalin
kendangan
improvisatif, dengan vokal yang sifatnya fleksibel dan diwarnai teknik glissando.16 14 Rachel Mediana Untung, 2010, “Pengelolaan Pertunjukan Musik Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis Di Indonesia”, Tesis : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM. 15 Desrilland, 2001, “Kroncong Musik Khas Indonesia”, Tesis : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM. 16 M. Soeharto. kamus musik. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia). 1992. 67.
37
Adapun buku-buku yang menjadi acuan penelitian ini ialah Manajemen yang ditulis oleh T. Hani Handoko,17 Pengantar Manajemen yang ditulis oleh Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah,18 Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan yang ditulis oleh Achsan Permas dan diterbitkan oleh Penerbit PPM Jakarta, bahwa sebuah organisasi seni bisa menjalankan fungsinya sesuai dengan
prinsip
manajemen.
Buku
ini
menjelaskan
kondisi
manajemen organisasi seni pertunjukan di Indonesia dan dasardasar manajemen yang bisa diterapkan bagi organisasi seni pertunjukan di Indonesia. Buku lain ialah Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah yang ditulis oleh Malayu S.P Hasibuan, dan
editor
Estu
Rahayu,
terbitan
Bumi
Aksara
Jakarta
mengemukakan unsur-unsur manajemen. Penelitian ini juga mengacu buku tulisan Stephen Langley yang mengemukakan teori dan analisis pengelolaan seni dan berisi tentang
hal-hal
mendasar
dalam
memproduksi
kegiatan
pertunjukan bagi sebuah organisasi pertunjukan. Buku itu berjudul Theater Management in America: Principle and Practise, Producing for the Commercial, Stock, Resident, College
and
Community Theater. Buku ini berisi uraian tentang pengelolaan seni, khususnya pertunjukan seni, cara mendapatkan ide, dan
17 T. Hani Handoko, 1984, Manajemen, (Yogyakarta : BPFEYogyakarta). 18 Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, 2006, Pengantar Manajemen, (Jakarta : Kencana).
38
mengelola
ide
itu
menjadi
sebuah
produksi.19
Selain
itu,
pengelolaannya secara bisnis juga dipaparkan dengan mengingat perlu dipertimbangkan dan dimonitornya biaya. Salah satu ukuran
kesuksesan
banyaknya
suatu
pertunjukan
penonton. Dengan demikian,
ialah
dilihat
dari
publikasi, promosi,
hubungan dengan media massa, dan hubungan dengan penonton harus lebih luas. Konsep pengelolaan atas sebuah pertunjukan tidak harus dipahami sebagai sesuatu yang mekanis dan birokratis. Jika demikian, ada kecenderungan mengalami kekakuan akut pada narasi yang ditawarkan dan kebosanan pembaca untuk menyimak dan menyingkap lebih dalam ketika menganalisis tulisan tentang pengelolaan
pertuunjukan.
Jika
kebanyakan
tulisan
yang
menganalisis aspek pengelolaan masih dimaknai secara mekanis dan
bahkan
birokratis,
maka
tulisan
ini
menawarkan
kemungkinan-kemungkinan lain yang termaktub di dalam konsep pengelolaan pertunjukan ialah ideologi, relasi, psikologi sebab pengelolaan dilakukan oleh manusia itu sendiri sehingga tulisan ini diarahkan untuk memberikan warna humanistis terhadap kekakuan konsep pengelolaan.
19 Stephen Langley, 1974, Theater Management in America : Principle and Practise, Producing for the Commercial, Stock, Resident, College and Community Theater, New York : Drama Book Specialists (Publishers).
39
E. Landasan Teori Dalam
mengungkapkan
fakta-fakta
“Pengelolaan
Pertunjukan Musik Keroncong Oleh Taman Budaya Yogyakarta Tahun 2014” peneliti menggunakan pendekatan multidisiplin. Beberapa pendekatan yang dipakai diantaranya ialah pendekatan historis, pendekatan sosiologis, dan ilmu manajemen. Pendekatan historis
merupakan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menjelaskan sejarah Taman Budaya Yogyakarta. Pendekatan sosiologis
merupakan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menjelaskan perubahan sosial dalam menikmati pertunjukan musik yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta, termasuk perubahan
kegiatan
pertunjukan
pada
setiap
pengelolaan
pertunjukan. Pendekatan ilmu manajemen digunakan untuk mendeskripsikan
tata
kelola
seni,
khususnya
yang
lebih
berorientasi pada sistem pengelolaan. Selo
Sumardjan
berpendapat
bahwa
perkembangan
kesenian pada umumnya mengikuti proses perubahan yang terjadi dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan, kesenian dapat mengalami hidup statis, yang meliputi warna seni pertunjukan musik Indonesia. Sebaliknya, kesenian
akan
selalu
berubah
dan
berkembang
bila
kebudayaannya juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan
40
dan
inovasi.20
Begitu
pula,
industri
kepariwisataan
akan
melahirkan seni pertunjukan wisata, yaitu pertunjukan yang sengaja
dikemas
untuk
disajikan
kepada
wisatawan.
Seni
pengemasan merupakan fenomena baru yang formatnya akan menyesuaikan dengan kondisi wisatawan. Ciri seni pertunjukan wisata diantaranya ialah 1) tiruan dari tradisi yang telah ada; 2) disajikan secara singkat dan padat; 3) penuh variasi dan menarik menurut asumsi selera wisatawan; 4) mengesampingkan nilai-nilai sakral,
magis,
serta
simbolisnya;
dan
5)
dihitung
biaya
penyajiannya sehingga harga jualnya terjangkau oleh daya beli wisatawan.21 David
Inglis
berpendapat
bahwa
hal
yang
menjadi
pertanyaan dalam sosiologi seni ialah dengan cara seperti apakah hubungan sosial dan kelembagaan bisa mengimplikasi terhadap sebuah kreasi, distribusi, dan apresiasi karya seni. Berdasarkan hal tersebut, ada tiga hal yang dijadikan sorotan dalam sosiologi seni,
yaitu
(1)
kreasi
(cultural
production),
(2)
distribusi
(distribution), dan (3) apresiasi (consumption). Adapun penjelasan dari sorotan dalam sosiologi seni adalah sebagai berikut. Pertama, kreasi
(cultural
production)
merupakan
bagian
dari
yang
menjadikan sebuah karya itu ada melalui apresiasi pencipta, 20 Selo Sumardjan, “Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan” dalam Analisis Kebudayaan Tahun 1 No.2. (1980/1981), 21. 21 Soedarsono, 1999, “Pariwisata Dunia Mengembangkan atau Menghancurkan Budaya” dalam Seni Pertunjukan dan Pariwisata, (Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta), 128.
41
misalnya artis baik sebagai komponis maupun penyanyi yang mengkreasikan karya seni dengan ragam kesenimannya. Kedua, proses distribusi menjadi produk kesenian yang dapat dicapai publik dalam pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta. Aktor terpenting dalam distribusi ialah pengelola seni pertunjukan, seperti manajer artis dan pengelola gedung kesenian. Ketiga, apresiasi (consumption) merupakan bentuk publik dalam mengapresiasi bentuk kesenian yang muncul. Tahap apresiasi dilakukan oleh penonton dan peserta kegiatan pendidikan seni.22 James R. Brandon berpendapat drama, musik, dan tari adalah tiga elemen seni pertunjukan. Produksi adalah yang keempat. Satu-satunya pola artistik yang paling tersebar meluas dari seni pertunjukan Asia Tenggara adalah pola produksi. Dalam dua sistem produksi utama yang dipergunakan di Barat, yaitu repertoar dan sistem produser, lakon adalah unit dari produksi. Dalam sistem produser, yaitu sistem yang kita punyai di Broadwaay, seniman-seniman pertunjukan dikumpulkan bersama untuk memproduksi sebuah lakon, setelah lakon itu selesai grup itu bubar, mungkin tidak pernah lagi bekerja sama. Di Asia Tenggara, tujuan produksi adalah memanggungkan contoh-contoh dari sebuah genre yang khas. Genre
adalah unit produksi.
22 David Inglis, 2005, “Thinking Art Sociologically”, dalam David Inglis dan John Hughson. (ed) Hampshire . The Sociology of Art: Ways of seeing” (New York: Palgrave Macmilan), 19.
42
Produksi
di
Organisasi
di
seputar
rombongan-rombongan
permanen dari 10 sampai 150 pemain.23 Penelitian ini menggunakan konsep pengelolaan Stephen P. Robbins yang menyatakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.24 Makna kata ‘efektif’ ialah tepat sasaran dan ‘efisien’ adalah mencapai sasaran tertentu dengan sumber daya yang minimal atau mencapai sasaran sebesar-besarnya dengan sumber daya tertentu. Ada berbagai hal yang dapat mempengaruhi kualitas sebuah seni dalam pengelolaan; salah satunya adalah kurangnya keterampilan
manajer
dalam
penyelenggaraan
sebuah
seni
pertunjukan dapat menimbulkan beberapa permasalahan, antara lain, adalah 1) penonton sedikit karena kurang promosi; 2) penonton komplain karena acara molor dan tidak sesuai dengan janji (ada pertunjukan yang dibatalkan); 3) penonton banyak, tetapi rugi; 4) biaya membengkak; 5) penerimaan jauh lebih kecil dari rencana; 6) laporan keuangan tidak jelas.25 Oleh karena itu, konsep manajemen Stephen Robbin digunakan untuk membahas
23 James R. Brandon, Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, terj. R.M. Soedarsono, (Bandung:P4ST UPI, 2003), 199-200. 24 Stephen P. Robbins, David A. Decenzo, 2001, Fundamentals of Management. (New Jersey: Prentice Hall, Inc). 5. 25 Achsan Permas, 2003, Chrysanti Hasibuan S., L.H. Pranoto, Triono Saputro, Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan, (Jakarta: Penerbit PPM), 2003.
43
pengelolaan pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta. Secara teoritis, Stephen Langley membagi tipe organisasi seni pertunjukan menjadi empat (4) bagian, yaitu commercial theatre, stock and resident theater, college theatre, dan community theatre.26
Diantara
beberapa
tipe
organisasi
tersebut
yang
mendekati dengan pertunjukan keroncong di Taman Budaya Yogyakarta
(TBY)
adalah
college
Theatre.
Stephen
Langley
mengemukakan bahwa Educational theatre is, in the broadest sense, any theatre sponsored by an education-al institution.27 (Teater pendidikan adalah, dalam arti luas, setiap teater di sponsori oleh lembaga pendidikan). College Theater yang dimaksud adalah pengelolaan terhadap musik keroncong yang ditampilkan di TBY. Pemain musik dan penyanyi keroncong adalah para remaja yang baru belajar bermain musik keroncong di Rumah Keroncong Yogyakarta (RKY). RKY yaitu sekelompok orang yang mengelola pertunjukan musik keroncong di XT Square, mendidik para remaja bermain musik keroncong
hingga
membuat
kelompok
bagi
anggota
musik
keroncong tersebut, dan membina paguyuban dalam membuat alat-alat musik keroncong. Oleh karena itu, RKY dapat dikatakan
26 Stephen Langley, 1974, 75. 27 Staphen Langley, 1975, 141,
44
sebagai lembaga/institusi seni dalam bidang musik keroncong yang mengarah kepada educational and educative. Selain itu, konsep habitus, konsep arena, ide tentang agen oleh Pierre Bourdieu digunakan untuk mengupas hubungan relasi dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta. Konsep habitus merupakan sebuah konsep yang dipinjamnya dari filsafat Skolastik dengan makna yang berbeda, meski tidak terpisah total dari makna aslinya. Konsep habitus Bourdieu mirip dengan gramatika generatif Chomsky karena konsep ini berusaha memahami kemampuan kreatif, aktif, dan inventif agen-agen manusia. Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur strukturstruktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tetapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian secara pelaku.28 Konsep arena Bourdieu melandaskan tindakan agen pada hubungan-hubungan sosial yang objektif tanpa harus tunduk
28 Pierre Bourdieau, 2012, “Arena Produksi Kultural” Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), Penerjemah: Yudi Santosa, xiv.
45
kepada determinisme mekanis.29 Agar bisa memahami sebuah situasi atau suatu konteks tanpa kembali jatuh ke dalam determinisme analisis objektivitistik, Bourdieu mengembangkan konsep arena.30 Menurut model teoretis Bourdieu, konsep arena ialah pembentukan sosial apa pun yang distrukturkan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik, arena kultural, dan lain sebagainya). Arena-arena didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasirelasi kekuasaannya sendiri yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi. Arena adalah suatu konsep dinamis yang perubahan-perubahan posisi agen mau tidak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena, agen-agen menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) dan terlibat di dalam kompetisi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena yang bersangkutan. Di arena ekonomi, misalnya, agen-agen saling bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi dengan
menggunakan
akumulasi
modal
ekonomi.
Ekonomi
29 Pierre Bourdieau, 2012, xviii. 30 Objektivisme berusaha menjelaskan dunia sosial dengan menempatkan pengalaman individual dan subjektivitas dan memfokuskan diri pada kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesadaran manusia. Objektivisme lebih bisa diterima daripada subjektivisme sehingga objektivisme menjadi langkah pertama di dalam analisis sosial apa pun.
46
kultural didasarkan pada suatu kepercayaan khusus tentang apa yang membentuk sebuah karya kultural dan nilai estetis atau nilai sosialnya. Rumusan tentang arena ini menunjukkan suatu usaha penerapan apa yang disebut Bourdieu, meminjam istilah Cassirer, cara berpikir relasional tentang produksi kultural.31 Bourdieu mengelaborsi dan memperbaiki konsep habitus dan arena dalam proses analisisnya tentang arena produksi kultural yang tidak bisa dipisahkan dari teori praktik yang memiliki ranah lebih luas.32 Bourdieu melihat arena sebagai arena pertempuran. Arena juga merupakan arena perjuangan. Struktur arena yang “menopang dan mengarah strategi yang digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya, baik individu maupun kolektif, mengamankan atau meningkatkan posisi mereka, dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling cocok untuk produk mereka”. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang didalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan.33 Ada dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu sebagai berikut. Pertama, modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Kedua, modal kultural menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan kultural, kompetensi-kompetensi atau disposisi-disposisi tertentu. 31 Pierre Bourdieau, 2012, xviii. 32 Pierre Bourdieau, 2012, xix. 33 George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2013, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 583.
47
Bourdieu mendefinisikan modal kultural sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati, apresiasi atau kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefakartefak kultural. Oleh karena itu, konsep habitus, arena, dan agen oleh Pierre Bourdieau digunakan untuk mengungkapkan relasi sosial dan jejaring sosial dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).34
F. Metode Penelitian “Pengelolaan Pertunjukan Musik Keroncong Oleh Taman Budaya Yogyakarta Tahun 2014” merupakan penelitian yang melihat
sistem
kontekstual
manajemen
sehingga
dan
penelitian
memperhatikan
teks
ini
penelitian
merupakan
dan
kualitatif. Dalam metode kualitatif harus terdapat bahan yang harus diamati dengan cermat serta menganalisisnya. Data itu bisa terdiri dari tulisan atau ceramah yang terekam dalam konteks berbeda, bisa data dari hasil observasi, surat kabar, dan sebagainya. Salah satu sifat data kualitatif adalah bahwa data itu merupakan data yang memiliki kandungan yang kaya, yang multidimensional, dan kompleks. Oleh karena itu, untuk merekam
34 Pierre Bourdieau, 2012, xix.
48
komunikasi yang non-verbal diperlukan sekali rekaman yaitu kamera video.35 Sumber data kualitatif berupa data primer dan sekunder, diantaranya ialah (1) sumber tertulis, (2) sumber lisan, dan (3) rekaman.
Dalam
mengumpulkan
data
dari
sumber-sumber
tersebut, untuk sumber tertulis diperlukan metode penelitian perpustakaan (library research). Untuk mendapatkan data lisan yang terdapat pada sumber lisan, perlu dilakukan metode observasi dan wawancara. Adapun data yang berupa artefak, peninggalan
sejarah,
dan
rekaman
harus
didapat
dengan
pengamatan secermat mungkin. Oleh karena manusia memiliki sifat subjektif dan pelupa, semua data harus diperiksa dengan kritis agar informasi yang didapatkan merupakan informasi yang objektif.36 Dalam sebuah proses penelitian terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengumpulan data dan pengolahan data atau analisis data. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan cara untuk menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian ini. Sehubungan dengan itu, dibedakan enam teknik penelitian sebagai cara yang
35 R.M. Soedarsono. 2001. Metodologi Penelitian; Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Cet.1, (Bandung : MSPI), 46. 36 R.M. Soedarsono, 2001, 128.
49
dapat ditempuh dalam pengumpulan data.37 Adapun cara dalam pengumpulan data, ialah sebagai berikut.
a. Teknik Observasi Langsung Observasi merupakan upaya pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara cermat dan sistematik dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat di mana suatu peristiwa, keadaan, atau situasi sedang terjadi. Pengamatan dan pencatatan tersebut dilakukan dengan mendatangi lokasi Taman Budaya Yogyakarta dan memantau
kegiatan
yang
telah,
akan,
dan
belum
dilaksanakan. Selain itu, juga mengobservasi Taman Budaya yang berada di kota-kota lain agar mengetahui sistem
kerja
yang
dilakukan
oleh
Taman
Budaya.
Observasi dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dengan partisipasi, maksudnya pengamat ikut menjadi partisipan; (2) tanpa partisipasi, maksudnya pengamat bertindak sebagai nonpartisipan.38
37 Hadari Nawawi, 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet,8, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press), 94. 38 Soeratno, Lincolin Arsyad, 1955, Metode Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) Akademi Manajemen Perusahaan YKPN), 89.
50
b. Teknik Observasi Tidak Langsung Observasi tidak langsung merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala
yang
tampak
pada
objek
penelitian,
yang
pelaksanaannya tidak langsung di tempat atau tidak pada saat peristiwa, keadaan, atau situasi itu; dapat yang sengaja dibuat dapat pula yang sebenarnya. c. Teknik Komunikasi Langsung Komunikasi langsung adalah cara mengumpulkan data yang mengharuskan seorang peneliti mengadakan kontak langsung secara lisan atau tatap
muka
(face
to
face)
dengan sumber data, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun
dalam
situasi
yang
sengaja
dibuat
untuk
keperluan tersebut. Komunikasi langsung ini merupakan wawancara
secara
langsung.
Wawancara
merupakan
metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung (berkomunikasi langsung) dengan responden.39 Wawancara dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan
yang
dilakukan Yogyakarta,
diwawancarai kepada
(interviewed).40
informan
dilakukan
secara
yaitu
Wawancara
Taman
terstruktur
Budaya
atau
tidak
terstruktur yang ditujukan kepada Kepala Taman Budaya 39 Soeratno, Lincolin Arsyad,1995, 92-94. 40 Heru Irianto dan Burhan Bungin, 2001, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 109.
51
Yogyakarta, Kepala Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya, Kepala Seksi Dokumentasi dan Informasi Seni Budaya, dan Kepala Subbag Tata Usaha. d. Teknik Komunikasi Tidak Langsung Komunikasi tidak langsung merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan menjadikan hubungan tidak langsung dengan perantaraan alat, baik berupa alat yang sudah tersedia maupun alat khusus untuk keperluan itu. e. Teknik Pengukuran Teknik pengukuran merupakan cara pengumpulan data yang bersifat kuantitatif untuk mengetahui tingkat atau derajat
aspek
tertentu
dibandingkan
dengan
norma
tertentu sebagai satuan ukuran yang relevan. f. Teknik Studi Dokumenter atau Bibliografi Teknik studi dokumenter atau bibliografi merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah, dan lain sebagainya. 2.
Pengolahan Data atau Analisis Data Setelah data dari lapangan dalam penelitian “Pengelolaan
Pertunjukan Musik Keroncong di Taman Budaya Yogyakarta” dikumpulkan, tahap berikutnya adalah tahap analisis data yaitu diolah,
diidentifikasi,
dan
dipolakan
sesuai
dengan
52
karakteristiknya dan direalisasikan atau dihubungkan dengan fenomena-fenomena
yang
dikaji.
Dengan
demikian,
terdapat
kesimpulan atas kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Penelitian menggunakan mengabaikan
ini
menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu
metode
sejarah
manajemen
dan
kualitatif
dengan
sosiologi
tanpa
pertunjukan.
Alasannya,
karena pendekatan sejarah dan sosiologi dianggap lebih mampu mengungkapkan latar belakang, kausalitas (hubungan sebab akibat), pola perkembangan, serta fenomena-fenomena peristiwa sejarah yang menyangkut peristiwa budaya, politik, ekonomi, dan sosial. Dalam melakukan analisis terhadap suatu fenomena sosial budaya diperlukan cara berpikir rasional dan sistematis.41 Data kualitatif diolah dan dianalis dengan teknik analisis dekriptif, yaitu dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.42 Dalam Matthew B.Miles dan A. Michael Huberman yang dikemukakan oleh Douglas (1976) dikemukakan bahwa penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan suatu proses penyidikan, mirip pekerjaan detektif yang meyakinkan.43
41 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Ed), 1989, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES), 31. 42 Nyoman Kutha Ratna, 2004, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 53. 43 Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1988, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, Cet.I; (Jakarta; Universitas Indonesia), Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi; Pendamping, Mulyarto, 47.
53
Penelitian dapat dilihat dari segi perspektif dan waktu terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki. Metode sejarah mempunyai
perspektif
historis.
Metode
sejarah
merupakan
menggunakan catatan observasi atau pengamatan orang lain yang tidak dapat diulang kembali. Penelitian dengan menggunakan metode sejarah penyelidikan yang kritis terhadap keadaankeadaan, perkembangan, serta pengalaman pada masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumbersumber keterangan tersebut.44 Penelitian historis yang dipakai adalah menggunakan sistem penelitian sejarah komparatif, yaitu penelitian
dengan
metode
sejarah
yang
dikerjakan
untuk
membandingkan faktor-faktor dari fenomena-fenomena sejenis pada suatu periode di masa lampau. Maka dari itu, maka penelitian tersebut dinamakan penelitian sejarah komparatif.45 Oleh karena itu, metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat mengetahui cara kerja manajemen Taman Budaya Yogyakarta dalam menyelenggarakan pertunjukan musik, hingga mengadakan berbagai kerja sama dengan lembaga-lembaga seni lainnya, dan merancang program berkelanjutan di Taman Budaya Yogyakarta. Analisis data kualitatif dilakukan secara induktif. 44 Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian, Cet.3, (Jakarta; Ghalia Indonesia). 55 - 56. 45 Moh. Nazir, 1988, 61.
54
G. Sistematika Penelitian Sistematika laporan penelitian ini dibagi ke dalam lima bagian, berikut ini. Bab I berisi Pengantar, berupa latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori,
metode
penelitian,
dan
sistematika
laporan
penelitian. Bab II menjelaskan Sistem Pengelolaan Taman Budaya Yogyakarta.
Bab
ini
berisi
tentang
bentuk
pengelolaan
pertunjukan musik Keroncong yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta, sistem kerja sama antara Taman Budaya Yogyakarta dengan pelaku seniman musik keroncong. Bab III menjelaskan sistem pengelolaan kelompok pengisi pertunjukan musik keroncong. Bab ini berisi tentang manajemen organisasi, manajemen keuangan, manajemen Rumah Keroncong Yogyakarta (RKY), dan manajemen pertunjukan RKY. Bab IV memaparkan hasil analisis pengelolaan pertunjukan musik Keroncong, yaitu arena Taman Budaya Yogyakarta, arena XT Square Yogyakarta, arena Rumah Keroncong Yogyakarta, strategi Orkes Keroncong Kembang Mekar Sore bergabung di arena Taman Budaya Yogyakarta, dan analisis manajemen pertunjukan. Bab V berupa kesimpulan dan saran dari analisis yang termuat sebagai jawaban atas pertanyaan yang menunjukkan
55
konsep “Pengelolaan Pertunjukan Musik Keroncong oleh Taman Budaya Yogyakarta Tahun 2014”.