BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Tulisan ini mengkaji daya tahan partai politik dalam menghadapi gejolak dan turbulensi politik serta kemampuannya untuk tetap eksis dan bertahan di tengah masalah dan momen kritis yang dihadapinya. Partai politik dalam realitasnya akan menghadapi berbagai persoalan internal maupun eksternal yang menuntut kesiapan dan kemampuan partai politik untuk mengelola dinamika dan setiap persoalan yang dihadapi. Ketidak mampuan partai politik dalam mengelola persoalan yang dihadapi akan mengancam masa depan dan kelangsungan hidup partai yang bersangkutan. Di sisi lain kompetisi antar partai juga merupakan tantangan tersendiri yang menuntut masing-masing partai untuk mengerahkan kemampuannya agar tetap eksis dan bertahan dalam persaingan politik yang semakin kompetitif. Kompetisi antar partai politik di tengah lemahnya manajemen organisasi kepartaian menjadikan panggung politik tidak menentu dan sulit diprediksi yang berdampak pada kegaduhan politik yang tidak kunjung usai. Kegaduhan politik ini menjadikan kepercayaan publik terhadap partai politik semakin merosot, di sisi lain partai politik belum menunjukkan performa yang memuaskan bagi para pemilih. Publik tidak lagi percaya bahwa partai politik akan memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan politik mereka, sementara di sisi lain partai politik
1
justru masih dibelit masalah internal yang justru semakin memperburuk citranya di mata pemilih. Kecenderungan ini tergambar dengan jelas dari grafik dibawah ini: Grafik 1.1 Kepercayaan Publik Kepada Partai Politik (%) 90 80
79
70
65
60
57
50
47
40
39
39
30 20
10 0 2001
2002
2005
2006
2007
2008
Sumber: Mujani et.al. (2011: 381) Fenomena politik nasional di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang sangat mengkhawatirkan dimana partai politik masih belum teruji dalam kompetisi politik yang dilakukan secara reguler. Stabilitas perolehan suara partai politik cenderung berubah-ubah di setiap pemilu-nya dengan tingkat kesetiaan pemilih terhadap partai politik yang sangat rendah yang berujung pada silih-bergantinya pemenang pemilu dengan stabilitas perolehan suara yang sangat fluktuatif serta selisih suara yang tidak jauh berbeda antara masing-masing partai politik. Kondisi ini menjadikan panggung politik nasional sulit melahirkan partai dominan dengan perolehan suara yang tinggi dan stabil di setiap kali pemilu yang digulirkan.
2
Rendahnya stabilitas perolehan suara partai politik menjadikan panggung politik nasional menjadi tidak menentu dan sulit diprediksi, di sisi lain bermunculannya partai politik baru dalam setiap kali pemilu menambah hiruk pikuk politik nasional. Munculnya partai politik baru di satu sisi menunjukkan gejala lemahnya manajemen organisasi partai politik yang tidak mampu mengelola perbedaan internal yang berujung pada perpecahan dan munculnya partai-partai baru. Akan tetapi persaingan politik yang ketat di tengah lemahnya kemampuan manajemen organisasi partai politik membuat banyak partai politik tersingkir dari panggung politik nasional. Dalam rentang waktu 1999-2014 hasil pemilu menunjukkan partai politik di Indonesia mengalami permasalahan tingkat electoral volatility yang sangat tinggi, dimana partai politik tidak mampu mempertahankan perolehan suaranya dalam setiap kali pemilihan umum yang diselenggarakan, hasilnya menunjukkan silih-bergantinya pemenang pemilu walaupun dengan kemenangan yang tidak mutlak. Tabel 1.1 Perolehan Suara Partai Politik
No
Nama Partai
Hasil Pemilu 1999
2004
2009
2014
-
-
-
6.72
1
NASDEM
2
PKB
12.61
10.61
4.95
9.04
3
PK(S)
1.36
7.2
7.89
6.79
4
PDI-P
33.74
18.31
14.01
18.95
5
GOLKAR
22.44
21.62
14.45
14.75
6
GERINDRA
-
-
4.46
11.81
7
DEMOKRAT
-
7.46
20.81
10.19
3
8
PAN
7.21
6.41
6.03
7.59
9
PPP
10.71
8.16
5.33
6.53
10
HANURA
-
-
3.77
5.25
Sumber: diolah dari data KPU Dari tabel diatas tergambar dengan jelas gejala electoral volatility yang menimpa hampir semua partai politik. Gejala ini bisa dibaca sebagai adanya persoalan di internal masing-masing partai politik yang membuatnya terus bergelut dengan berbagai persoalan baik berupa konflik, manajemen organisasi dan permasalahan hukum. Dinamika internal tersebut menguras energi dan mengalihkan perhatian partai dari berbagai persoalan yang lebih substantif, sehingga publik sekin sinis dan cenderung mengalihkan pilihannya dalam setiap pemilu. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan pemilih semakin apatis dan tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai dampak kekecewaan terhadap partai politik. Di tengah tingginya gejala electoral volatility yang dialami hampir semua partai politik, fenomena menarik justru ditunjukkan oleh Partai keadilan sejahtera (PKS). PKS berhasil mempertahankan perolehan suaranya dan cenderung mengalami pertumbuhan di setiap kali pemilu yang telah diikutinya. PKS muncul sebagai kekuatan politik alternatif baru yang secara perlahan tetapi pasti semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai sebuah partai politik yang layak diperhitungkan. Dari awal
kemunculannya
partai
ini
sudah
mengagetkan
publik
dengan
kesuksesannya sebagai pendatang baru yang lolos ke Senayan dengan menempatkan 7 orang wakilnya dengan perolehan suara 1.36%. capaian ini tentunya sebuah prestasi besar di tengah ketatnya persaingan politik dan banyaknya peserta pemilu yang ikut
4
berkompetisi. Perolehan dan capaian yang diraih ini menjadikan Partai Keadilan masuk kedalam jajaran the big seven partai pemenang pemilu tahun 1999 yang lalu (Damanik: 2003). Namun karena tersandung aturan electoral threshold Partai Keadilan tidak bisa ikut pada pemilu berikutnya. Dengan berbagai proses dan tahapan pada akhirnya partai ini bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perubahan ini ternyata membawa sukses besar bagi PKS yang meraih simpati publik atas usaha dan kerja keras pendahulunya, PKS berhasil membangun citra positif di mata publik dengan mengalirnya dukungan luas dari publik terhadap PKS. Pemilu 2004 menjadi lompatan electoral bagi PKS yang menempatkannya tidak lagi sebagai partai gurem tetapi kini telah bergeser menjadi partai tengah yang kekuatannya layak untuk diperhitungkan. Pada pemilu 2004 PKS berhasil menempatkan 45 orang kadernya sebagai wakil rakyat di DPR dengan perolehan suara 7.34%. Kesuksesan ini bahkan menobatkan partai ini sebagai the rising star yang elu-elukan sebagai partai masa depan yang menjadi harapan publik (Edwar: 2006). Dalam perjalanannya PKS kemudian mengalami dinamika internal terkait kebijakan partai yang bermetamorfosis menjadi lebih terbuka. Kebijakan ini diambil PKS pasca MUNAS 1 di Bali. Perubahan sikap PKS ini membuat partai dicitrakan tidak konsisten dengan sikap awal perjuangan partai dan di sisi lain dipandang hanyalah kepura-puraan untuk mencari simpati yang lebih luas dari publik. Sementara itu di internal partai juga terjadi dinamika dan perbedaan pendapat atas sikap PKS ini. Di satu sisi kalangan ideolog lebih cenderung menginginkan agar PKS tetap pada
5
julur awal perjuangan dan cita-cita partai, namun di sisi lain kalangan muda berfikir lebih pragmatis dan taktis agar PKS bisa memperluas basis dan dukungannya untuk menjadi partai besar di masa depan. Perbedaan pendapat ini jika tidak dikelola dengan baik akan membawa partai ini ke arah perpecahan. Namun sejauh ini perbedaan ini masih bisa di kelola dan menghindarkan partai dari perpecahan. Kesuksesan pada pemilu 2004 membuat PKS semakin percaya diri untuk tetap eksis dalam persaingan politik nasional, namun pemilu 2009 ternyata tidak seperti yang di harapkan. 2009 adalah tahunnya SBY dan partai Demokrat, fenomena melejitnya popularitas SBY membuat
semua partai politik terhempas oleh
dahsyatnya tsunami politik SBY ini. Partai Demokrat
binaan SBY sukses besar
dengan peningkatan suara yang fantastis dan dari 7% menjadi 20 % di tahun 2009. Sukses besar partai Demokrat ini tentunya memberikan dampak langsung terhadap perolehan suara partai politik lainnya, namun PKS adalah satu-satunya partai yang mampu bertahan dari hempasan tsunami politik SBY ini. PKS memang mengalami penurunan suara yang tidak signifikan, namun secara persentase perolehan suara PKS justru mengalami peningkatan dari 7.34% di tahun 2004 menjadi 7.9% di tahun 2009. Peningkatan persentase perolehan suara ini juga berkontribusi pada mengikatnya jumlah wakil PKS yang duduk sebagai anggota DPR dari 45 di tahun 2004 menjadi 57 di tahun 2009. Menyongsong pemilu 2014 PKS semakin optimis untuk meraih kesuksesan berikutnya, PKS bahkan dengan percaya diri mengampanyekan bahwa partai ini akan menduduki posisi 3 besar partai pemenang pemilu tahun 2014. PKS secara organisasi
6
dan struktur kepartaian serta dukungan kader dan simpatisan yang semakin bertumbuh melakukan upaya serius untuk mencapai target tersebut. Namun realitas politik berkata lain presiden PKS sebagai pimpinan partai sekaligus simbol partai terseret masalah korupsi yang membuat mimpi PKS untuk masuk pada jajaran 3 besar pemenang pemilu menjadi buyar. Kasus korupsi yang dialami oleh petinggi PKS dengan serta-merta menghancurkan citra anti korupsi yang selama ini didengungkan dan menjadi jualan partai, bahkan citra Islam yang melekat di partai ini pun mejadi bumerang bagi PKS yang secara tidak langsung juga mencoreng citranya sebagai partai agama. Kasus korupsi yang melibatkan elit PKS ini membuat partai ini berada di ujung tanduk, PKS diprediksi akan tersingkir dari panggung politik nasional. Bahkan sebagian kalangan menyerukan agar PKS dibubarkan saja karena telah melakukan tindakan yang tidak bisa ditolerir. Namun, lagi-lagi PKS membuktikan kepiawaiannya dalam melakukan kontrol dan manajemen organisasi. Dengan gerak cepat PKS melakukan pergantian pimpinan partai dan melakukan konsolidasi secara internal untuk meminimalisir dampak buruk kasus yang dialami kadernya terhadap partai. Dengan usaha dan kerja keras struktur dan kader PKS, partai ini berhasil membuktikan kepada publik bahwa PKS masih mampu bertahan dan tetap eksis di panggung politik nasional dengan capaian suara yang tidak begitu mengecewakan pada pemilu 2014. Di tengah persoalan yang menghantam partai ini dan sentimen negatif publik PKS masih mampu mempertahankan
basis
dukungannya
dengan
perolehan
suara
6.79%
dan
menempatkan kadernya sebanyak 40 orang sebagai wakil rakyat.
7
Di tengah masalah yang dihadapi PKS ini, hasil pemilu menunjukkan penurunan persentase peroleh suara dan perolehan kursi yang diperoleh PKS ternyata berkorelasi negatif dengan pertumbuhan perolehan suaranya secara nasional. Pada pemilu 2009 PKS memperoleh suara secara nasional sebesar 8.206.955 dan justru mengalami peningkatan menjadi 8.480.204 di tahun 20014. Angka ini menunjukkan bahwa PKS mampu bertahan di tengah persoalan politik yang dihadapinya dan tetap eksis di tengah ketatnya persaingan politik nasional. Sepanjang keikutsertaannya dalam pemilu tren positif ditunjukkan oleh PKS, dimana tren perolehan suaranya cenderung stabil bahkan terus mengalami pertumbuhan. Grafik 1.2 Pertumbuhan Perolehan Suara PKS 9
8,325,0
8
8.206.95
7
8.480.20
6 5 4 3 2 1
1.4365
0 1999
2004
2009 perolehan Suara
2014
Sumber: Diolah dari data KPU
8
Keberhasilan PKS dalam mempertahankan dan bahkan meningkatkan perolehan suaranya dalam setiap kali pemilu di tengah tingginya gejala electoral volatility yang dialami hampir semua partai politik merupakan sebuah kajian yang cukup menarik. Keberhasilan PKS ini semakin menarik lagi ketika dalam perjalanannya PKS juga mengalami momen-momen kritis sepanjang ke ikut sertaanya dalam pemilu. Persoalan tersebut tidak memberi dampak yang serius terhadap performa partai seperti halnya yang dialami oleh beberapa partai lainnya yang merasakan dampak negatif terhadap perolehan suaranya 1, namun PKS justru mengalami kecenderungan peningkatan perolehan suara di setiap pemilu. Sebagai sebuah organisasi tentu PKS tidak terlepas dari berbagai persoalan dan dinamika yang mengharuskan partai bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapinya. Merujuk pada Panebianco (1988), partai politik sebagai sebuah institusi akan melalui tiga tahapan pertumbuhan. Angelo Panebianco mengidentifikasi tiga fase perkembangan sejarah yang dilalui oleh partai politik. Pertama, Genesis (genetik) atau proses pembentukan partai politik. Pada fase ini partai politik sangat menonjol secara ideologis dengan menggunakan simbol-simbol distinctive untuk menyatukan dan mengikat solidaritas anggota dengan target domination of environment.
1
Perolehan sura partai politik seperti yang tergambar dalam tabel I.I menunjukkan bahwa sebagian besar partai politik mengalami perolehan suara yang sangat fluktuatif, bahkan disetiap pemilunya melahirkan pemenang yang berbeda-beda disebabkan ketidak mampuan partai politik mempertahankan perolehan suaranya. Namun gejala yang berbeda justru ditunjukkan oleh PKS yang mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan perolehan suaranya dalam setiap pemilu. Pemilu 1999 PKS memperoleh suara 1.436.565, Pemilu 2004: 8.325.020, Pemilu 2009: 8.206.955, dan Pemilu 2014: 8.480.204.
9
Kedua, Institusionalsasi, pada fase ini partai bergeser ke arah model organisasi sebagai respons terhadap tuntutan dan kepentingan anggotanya, dan "pemangku kepentingan". Ketiga, Maturity. Dalam fase matang, tujuan utama partai adalah kelangsungan hidup simbol-simbol distinctive mulai disingkirkan secara perlahan, para ideolog sudah mulai berkurang dan digantikan oleh administrator yang cenderung bersifat realistis dan fragmatis. Untuk mencapai tujuan fragmatis dan realistis tersebut partai politik melakukan banyak adaptasi terhadap realitas politik yang dihadapinya, sehingga langkah ini akan berdampak pada perubahan orientasi awal yang cenderung bergeser ke arah kompromi dan bahkan perubahan orientasi. Ketiga fase ini tidak berjalan secara linear, namun cenderung tumpang-tindih. Fase-fase tersebut berjalan sesuai dengan kondisi lingkungan dan dinamika internal yang dialami setiap partai politik. Bahkan dalam dua fase terakhir partai politik rentan mengalami perpecahan jika transformasi tersebut tidak bisa dijalankan dengan baik dan mendapat penentangan dan perbedaan pendapat antara berbagai kelompok yang ada di dalam partai politik. Dalam setiap fase tersebut partai politik akan dihadapkan kepada berbagai persoalan baik dinamika internal maupun pengaruh dari situasi politik eksternalnya. Akumulasi dari dinamika internal dan situasi politik yang dihadapi partai akan membawa partai politik pada periode sulit dan kritis yang menuntut kemampuan dan kepiawaian para aktor yang terlibat di dalamnya untuk mengelola dinamika tersebut dengan tepat dan responsif. Kegagalan dalam memberikan respons terhadap periode sulit yang di hadapi partai berpotensi mengancam eksistensinya sebagai kekuatan
10
politik. Di sisi lain juga berpotensi menyeret partai ke dalam perseteruan dan konflik internal yang mengarah pada perpecahan.
B. Pertanyaan penelitian Dari uraian latar belakang diatas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana PKS mempertahankan eksistensi dan stabilitas perolehan suaranya di tengah momen kritis yang dialami partai"
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Menggambarkan bagaimana proses penguatan institusi yang dilakukan oleh PKS dalam menghadapi momen-momen kritis yang dihadapi partai. 2. Menggambarkan pengaruh kaderisasi dan perluasan keanggotaan PKS yang terus bertumbuh. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis memberi kontribusi terutama dalam bidang manajemen organisasi partai politik dalam upaya mewujudkan organisasi yang kuat dan solid
11
2. Secara praktis memberikan masukan bagi partai politik dalam upaya penguatan institusi kepartaian dalam dinamika internal partai politik khususnya penguatan basis dukungan dan kaderisasi partai. 3. Penelitian ini dapat membantu menyajikan informasi bagi berbagai elemen terutama menjadi salah satu referensi bagi masyarakat untuk membaca dan menilai partai politik yang sedang berkiprah di panggung politik nasional.
D. Literatur Review 1. PKS Dalam Kajian Akademik Dalam tulisan ini penulis melakukan review atas beberapa literatur yang berkaitan dengan kajian tentang PKS. Literatur tentang PKS dalam kajian ini dikelompokkan kedalam dua tema besar, yakni yang melihat PKS dari sisi Ideologis dan basis gerakan dan di sisi lain melihat PKS dari sisi Institusi. Dari sisi ideologis kajian yang dilakukan diantaranya oleh Imadudin Rahmat (2008), penelitian ini melihat PKS dari latar belakang dan akar pemikirannya, dimana peneliti melihat bahwa PKS adalah kelanjutan dari MASYUMI dimana warna ideologis yang diperjuangkan PKS memiliki hubungan yang kuat. Hubungan ini bisa dilihat dari banyaknya tokoh-tokoh ideologis MASYUMI yang memberikan warna dan pengaruh kuat bagi pembentukan dan ide perjuangan PKS. Di samping itu PKS juga dipandang sebagai anak Ideologis dari gerakan Islam yang lebih besar di timur-tengah – Ikhwanul Muslimin (IM)- yang juga memberikan pengaruh baik dari segi ideologis, pola gerakan dan manajemen kaderisasi yang banyak dijadikan rujukan oleh PKS.
12
kajian berikutnya dilakukan oleh Burhanudin Muhtadi (2012) penelitian ini mencoba menggambarkan perubahan pola yang dilakukan oleh PKS, dimana pada awalnya PKS adalah sebuah gerakan sosial yang kemudian berubah menjadi partai politik. Watak asli gerakan sosial yang dimiliki organisasi ini masih sangat mempengaruhi pola dan tindakan yang diambil oleh partai baik dalam mengorganisasi diri maupun dalam menggalang dukungan dan simpatik melalui aksiaki kolektif. Di samping itu penelitian ini juga memberi gambaran atas akar pemikiran politik PKS yang mempunyai hubungan dengan pergerakan politik Islam di timur tengah termasuk dengan Ikhwanul Muslimin (IM), pemikiran politik dan pola gerakannya banyak dijadikan rujukan oleh PKS. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Arief Hasan Rathomy (2007), penelitian ini melihat akar pemikiran dan ideologi PKS yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan gerakan Islam terutama Ikhwanul muslimin dengan banyaknya bukubuku referensi yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang menjadi bacaan dan sumber inspirasi dan pola kaderisasi yang berlangsung di PKS. Adopsi atas pola gerakan dan pengorganisasian partai yang dilakukan PKS menampilkan PKS sebagai sebuah organisasi yang rapi dan solid secara internal. Penelitian ini juga melihat sisi demokrasi dalam persepsi PKS, dimana secara formal PKS menerima prinsip-prinsip demokrasi dan ikut terlibat di dalamnya akan tetapi PKS membingkai demokrasi tersebut dengan nila-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. PKS memandang prinsip demokrasi sesuai dengan ajaran Islam dalam banyak hal, akan tetapi PKS membatasi demokrasi dalam hah-hal yang berhubungan dengan aturan dan ajaran
13
agama yang sudah tegas dan jelas. Sehingga bisa disimpulkan PKS berupaya mengombinasikan demokrasi dengan Islam dalam batasan-batasan tertentu. Penelitian yang lebih komprehensif juga dilakukan oleh salah-satu kadernya sendiri, Yon Mahmudi (2008). Penelitian ini berargumen bahwa Jemaah Tarbiayah dan PKS tidak hanya melakukan eksperimen ideologis, tetapi berkontribusi bagi politik indonesia kontemporer dalam menguji hakikat hubungan antara politik berlandaskan Islam dengan negara sekular dan menempatkan gagasan mereka dalam konteks ke-Indonesiaan atas dasar kemaslahatan dakwah. Peneliti juga mencatat pengaruh kuat IM di mesir terhadap prinsip dasar, gagasan pokok dan struktur organisasi jamaah Tarbiyah, walaupun kemudian melakukan penyesuaian dan adaptasi dalam konteks Indonesia. Realitas politik Indonesia kontemporer serta pengalaman politik gerakan Islam di masa lalu telah mendorong PKS mengambil pendekatan realistik dan pragmatis dengan keyakinan bahwa sikap radikal dan ekstrem tidak akan membawa keberhasilan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ali Said Damanik (2002), ia berpendapat bahwa transformasi gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik (PKS) dipengaruhi oleh dua faktor global: revolusi Islam Iran dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Revolusi Islam Iran telah memberi motivasi dan inspirasi terutama pada masamasa awal perintisan gerakan Tarbiyah. Sementara pengaruh Ikhwabul Muslimin bekerja pada level pemikiran, metode dan sistematika gerakan. Dalam perjalanannya aktivisme dan gagasan Ikhwanul Muslimin lebih mendominasi, hal ini bisa dilihat
14
melalui tulisan-tulisan para ideologi Ikhwan seperti Hasan Al-Banna dan Syayyid Quthb. Berikutnya tulisan Djoni Edward (2005), tulisan ini melihat PKS sebagai phenomena baru di pentas politik nasional yang berhasil memberi warna baru model partai dan politik yang mengedepankan moral Agama dan kredibilitas dalam berpolitik. PKS telah berhasil membangun citra positif sebagai sebuah partai yang bersih dan anti korupsi, di samping itu PKS juga memberikan pelajaran politik santun serta tradisi politik baru yang coba dibangun oleh PKS dimana para elit PKS membangun tradisi untuk tidak melakukan rangkap jabatan. Citra politik PKS yang positif ini membuatnya mendapat simpati dari publik yang pada akhirnya menjadikan PKS sebagai partai baru yang cukup di perhitungkan. Sementara itu dari sisi institusi PKS juga telah bayak di teliti oleh para akademisi, diantaranya Penelitian yang dilakukan oleh Firman Noor (2012). Studi ini pada dasarnya sebuah studi
perbandingan pelembagaan partai politik Islam
khususnya antara PKB dan PKS. Dalam dekade pertama Era Reformasi, PKB telah menjadi contoh sebagai salah satu partai yang ter-fragmentasi, partai ini mengalami perpecahan sampai tiga kali. Sementara itu, PKS telah mampu mempertahankan disiplin dan kesatuan internal. PKS, setidaknya sampai saat ini, adalah satu-satunya partai Islam utama yang mampu menghindari perpecahan meskipun dalam sepuluh tahun pertama, faksionalisme dan fragmentasi telah menjadi hal yang biasa dialami oleh banyak partai politik terutama dalam politik kontemporer Indonesia. PKS telah berhasil mengelola perbedaan internal, perbedaan pendapat dan aspirasi serta berhasil
15
mengonsolidasikan partai. Hal senada diungkapkan oleh Hamayotsu (2011) dimana disiplin partai yang tinggi telah membawa PKS pada pengorganisasian partai yang baik serta terhindar dari ancaman faksionalisasi dan perpecahan yang telah menjadi gejala umum partai politik di Indonesia. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa PKS telah berhasil merancang mesin partai dengan pelembagaan yang kuat sehingga berhasil menekan munculnya perpecahan di dalam partai sehingga memungkinkan partai untuk terus melakukan ekspansi dan bertahan hidup dalam kompetisi yang semakin kompetitif. Dalam penelitiannya yang lain Hamayotsu (2012) menganalisis jatuh bangunnya partai politik pasca rezim otoriter orde-baru. Salah-satu argumen dalam penelitian ini adalah bahwa kohesi organisasi adalah salah-satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan partai politik untuk terus bertahan. Adanya kohesi juga merupakan cerminan pelembagaan partai politik yang baik. Di sisi lain lemahnya pelembagaan partai politik dicirikan dengan masih kuatnya tradisi mobilisasi partai berbasis patronase dan klientelisme yang rentan terhadap perilaku koruptif dan politik uang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PKS adalah partai dengan derajat pelembagaan yang baik dibandingkan dengan beberapa partai politik lainnya. Secara organisasi PKS telah berhasil membangun kohesi internal yang memungkinkannya terhindar dari perpecahan dan konflik. Di sisi lain PKS juga telah berhasil membangun mekanisme terkait aturan dan disiplin partai yang mengikat semua kader partai. Keberhasilan ini dipandang sebagai faktor penting yang menjelaskan daya saing politik dan kelangsungan hidup PKS.
16
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Ahmad-Norma Permata Disertasi ini mengkaji partisipasi demokratis dari partai politik Islam di Indonesia, khususnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Fokus penelitian ini adalah menilai pengaruh ideologi terhadap perilaku partai politik yang demokratis. Penelitian ini menganalisis dampak dari ideologi terhadap perilaku PKS dalam politik yang demokratis, yaitu dalam organisasinya, keikutsertaannya dalam pemilu, dan perannya dalam pemerintahan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ideologi akan dominan sebagai pedoman perilaku partai setiap kali lembaga formal tidak efektif dan akan cenderung memudar seiring terjadinya transformasi di tubuh partai politik sebagai adaptasi partai politik terhadap lingkungan dan kompetisi yang menuntut rasionalitas dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Arief Munandar (2011). Disertasi ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang mengidentifikasi pola pengelompokan/ faksionalisasi yang ada di PKS, sekaligus menggambarkan bagaimana kelompokkelompok/faksi-faksi tersebut bekerja dalam dinamika internal PKS, khususnya pasca Pemilu 2004.
Hasil penelitian ini merekomendasikan agar PKS melakukan
demokratisasi, deoligarkisasi, dan desakralisasi organisasi untuk meningkatkan posisi objektifnya di arena politik Indonesia. M. Faizal Aminuddin (2010) dalam
sebuah Jurnal mengeksplorasi
reorganisasi PKS pada periode-periode penting perjalanan partai,
Salah satunya
adalah perubahan nama dari PK menjadi PKS yang membawa perubahan tipologi fundamental dari partai dakwah menjadi partai yang berbasis mobilisasi massa untuk
17
reorganisasi partai. Pada periode perubahan tersebut, PKS sukses dalam mengatur ideologi dan jaringan dengan unsur-unsur politik lainnya. Reorganisasi PKS dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor penting yang datang dari konteks demokrasi Indonesia. Diantaranya adalah memperlunak garis ideologi dalam rangka kepentingan jangka pendek pendulangan suara. Kebijakan ini dibaca sebagai Pragmatisme politik PKS, namun di sisi lain, pola kaderisasi tetap dijalankan dengan ketat sehingga mekanisme seleksi kandidat kurang mengakomodasi figur-figur yang lemah secara ideologis. Metamorfosis PKS hanya akan menjadi strategi jangka menengah sambil menata basis konstituen secara perlahan tetapi pasi terus mengalami perkembangan dan perluasan dukungan. Berkaitan dengan pengorganisasian partai dan hubungannya dengan tipologi kepartaian, Mada Sukmajati (2011) melakukan studi terhadap pengorganisasian partai politik Islam pasca runtuhnya rezim Soeharto. Penelitian ini menggunakan pendekatan tipologi partai politik (elite-based party, mass-based party, electoralist party dan the cartel party) dan mengaitkannya dengan tiga wajah partai politik : party organization on the ground, party organization in central office dan party organization in public office. Ketiga dimensi ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara partai politik Islam degan para kader dan pendukungnya, kepemimpinan dan peranan partai dalam proses pembuatan kebijakan. Tiga wajah partai politik tersebut tersebut Dengan fokus pada enam partai politik Islam sebagai unit analisis yaitu: PAN, PPP, PKB, PKS, PBB, PBR, penelitian ini menyimpulkan bahwa PAN dan PPP dikategorikan sebagai partai yang sedang mengalami transisi dari model partai massa menjadi partai electoralis, PKS dianggap sebagai partai yang sedang mengalami 18
proses pematangan, Secara khusus PKS dalam pengorganisasian partai dalam tiga wajah partai politik yang berbeda memiliki kecenderungan dikelola sebagai partai dengan model ideal partai massa. Sedangkan PKB, PBR dan PBB dikategorikan sebagai partai yang mengalami proses stagnasi sebagai partai yang bergantung pada sosok figur/elit yang mengendalikan partai (partai elit). Selain itu penelitian ini juga menyimpulkan partai politik Islam di Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa Islam menjadi asas dan ideologi partai seperti PBB,PKS, PPP dan PBR melakukan kalkulasi rasional terhadap implementasi ideologi tersebut dengan pola perjuangan yang moderat. Moderasi ini dilakukan sebagai upaya melakukan perubahan bertahap melalui perbaikan masyarakat muslim bukan melaui Islamisasi yang agresif pada level negara. Dalam penelitiannya yang lain, Hamayotsu (2008) menjelaskan pola khas mobilisasi Islamis di Indonesia dengan berfokus pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Penelitian ini melihat bahwa hubungan partai massa yang relatif solid dan penetrasi ruang yang luas dari PKS dikondisikan oleh kemampuan organisasi untuk memberikan pelayanan kesejahteraan kepada konstituen strategis yang ditargetkan untuk membantu membangun basis komunitas. Penelitian berfokus pada fungsi pemberian pelayanan kesejahteraan untuk melakukan mobilisasi sumber daya sebagai upaya memperluas basis dukungan dan mempererat hubungan dengan basis massa di akar rumput.
19
2. Posisi penelitian Dari uraian literatur review di atas dapat disimpulkan bahwa kajian-kajian tentang PKS tersebut dikelompokkan kedalam dua tema besar yakni melihat PKS dari sisi ideologi dan basis gerakannya yang berpengaruh terhadap aksi dan model organisasi. Di sisi lain melihat PKS dari sisi Institusi dan pengelolaan organisasi yang menempatkan PKS sebagai salah-satu partai dengan manajemen organisasi yang rapi. Adapun kajian ini akan di posisikan dalam bagian dari tema besar yang melihat PKS dari sisi institusi. Secara khusus kajian ini melihat fenomena PKS yang mampu bertahan di tengah ujian berat yang dilalui . Ujian berat tersebut dalam kajian ini di bahasakan sebagai momentum kritis/Critical Juncture yang menuntut kemampuan partai dalam menyikapi dan memberi respons dalam upaya menyelamatkan institusi dari ancaman keterpurukan dan bahkan ancaman eksistensial. Dalam kajian ini momentum kritis tersebut diidentifikasi kedalam tiga momentum utama yaitu: Transformasi gerakan dakwa menjadi partai politik (PK), terganjal electoral threshold (PK-PKS), dan kasus terakhir tersandung kasus korupsi (LHI). Kemampuan PKS melampaui momentum kritis ini menarik untuk dicermati sebagai sebuah fenomena politik yang unik, dimana di tengah persoalan yang dihadapi PKS justru mampu bertahan dan bahkan terus mengalami pertumbuhan. Hal ini berbeda dengan kecenderungan yang dialami beberapa partai politik yang sedang dirundung masalah, partai-partai tersebut merasakan dampak langsung terhadap kinerja electoral-nya dan bahkan beberapa partai politik justru kehilangan kapasitas dalam mengelola konflik sehingga perpecahan tidak dapat dihindari.
20
3. Mengapa PKS? Alasan untuk memilih PKS dalam kajian ini dikarenakan fenomena uniknya sebagai sebuah partai politik. Di tengah gejala electoral volatility yang dialami hampir semua partai politik, PKS justru menunjukkan gejala berbeda dengan capai perolehan suara yang terus mengalami pertumbuhan di setiap pemilu. PKS adalah contoh terbaik dalam pelembagaan partai politik di Indonesia (Ufen:2007, Muchlis: 2008, Noor: 2012, Hamayutso: 2012) sehingga menarik untuk melihat bagaimana partai ini melakukan pengelolaan organisasi di tengah ujian dan momentum kritis yang dialaminya. Dalam penelitian ini diuraikan tiga peristiwa penting yang menyeret PKS kedalam situasi sulit yang menjadikan PKS sebagai sebuah institusi berada dalam periode kritis. Salah-satu ujian besar tersebut adalah penangkapan Presiden PKS Lutfy Hasan Ishaq (LHI) yang tersangkut kasus korupsi kuota daging inform di kementerian pertanian. Peristiwa ini menjadi ujian besar bagi PKS sebagai sebuah partai kader yang selama ini dikenal sebagai salah-satu partai bersih dari praktik korupsi. PKS mencuri perhatian publik dan menjadi sasaran cacian dan hujatan di tengah masalah yang dihadapinya. Citra positif yang selama ini dibangun berubah menjadi caci-maki, di tengah
pudarnya citra politik PKS banyak kalangan memprediksi PKS akan
tersingkir dari panggung politik nasional dan akan tinggal kenangan. Namun realitas politik menunjukkan PKS berhasil menjawab keraguan publik dengan tetap bertahan
21
di tengah ujian, capaian electoral PKS mematahkan argumentasi dan prediksi berbagai kalangan terkait suramnya masa depan PKS.
E. Kerangka Konseptual 1. Study Of Critical Junctures Untuk membedah objek penelitian ini, penulis meminjam pisau analisis dalam Study of Critical Junctures yang dikembangkan oleh Giovanni Capoccia dan R. Daniel Kelemen (2007). Pendekatan ini digunakan untuk melakukan identifikasi terhadap momentum kritis yang di lalui PKS dalam rentang waktu semenjak periode awal hingga pemilu 2014, membaca respons institusional serta melihat aktor dibalik institusi yang memberikan pengaruh dan dampak terhadap keberadaan institusi. Konsep critical junctures merupakan bagian terpenting dari pendekatan historical institutionalism yang lebih fokus pada momen atau periode kritis. Giovani Coppoccia dan Daniel Kelemen (2007) merumuskan momen kritis dalam konteks studi fenomena path-dependence sebagai periode waktu yang relatif singkat, dimana ada probabilitas tinggi secara substansial bahwa pilihan agen akan mempengaruhi hasil akhir (outcome). Pendekatan ini percaya bahwa perubahan cenderung incremental (bertahap) dan evolusioner. Institusi yang menuntun tindakan aktor selalu merupakan refleksi pengalaman historis. Sehingga, pilihan-pilihan kebijakan dan tindakan aktor yang dibuat ketika sebuah institusi dibentuk akan memberikan pengaruh besar dan berkelanjutan pada tindakan ke depan (path dependence). Dengan
22
demikian, institusi yang dibentuk melalui perjuangan dan proses negosiasi diantara kelompok-kelompok politik, maka institusi ini akan mempunyai pengaruh pada keputusan dan tahapan intuitional-building ke depan. Pada tahap berikutnya institusi bergerak stabil dan tidak ada permasalahan yang berarti. Proses keseimbangan institusi didapat ketika institusi tersebut mampu untuk bisa responsif terhadap apa yang menekan dan menuntut institusi keluar dari konservatismenya. Perubahan untuk mencapai kesana disebut Peters sebagai “critical juncture” atau saat-saat kritis yang menjelaskan bagaimana perubahan institusi terjadi. Secara sederhana, critical juncture diartikan sebagai kehendak atau gejolak pada proses institusi mengalami perubahan baik itu bentuk ataupun dari hal yang bersifat konservatif. Intensitas dari gejolak internal dalam proses ini dianggap sebagai signal hingga terakumulasi dalam sebuah peristiwa (conjuncture). Perubahan tidak akan terjadi terkecuali adanya conjuncture dari berbagai kekuatan politik untuk melakukannya. Sehingga perubahan tersebut tidak dilakukan oleh segelintir orang saja namun terdiri dari akumulasi kekuatan besar di dalamnya. Konsep ini meyakini bahwa terdapat dua jalur utama dalam intuitional-building, dimana institusi mengalami stabilitas dalam periode tertentu dan akan mengalami periode kritis di saat yang lain. Secara khusus periode kritis tersebut diyakini merupakan dampak langsung dari kondisi sosial politik yang terjadi di sekitar institusi (Kelemen: 2007: 10). Namun sebuah peristiwa terkadang memberi pengaruh terhadap sebuah institusi, tetapi bisa saja peristiwa tersebut tidak mempengaruhi institusi lainnya. Sehingga situasi internal institusi-lah yang menjadi faktor penentu
23
apakah peristiwa politik eksternal tersebut akan berubah menjadi momentum kritis atau peristiwa tersebut hanya akan berlalu sebagai peristiwa biasa yang tidak memberi pengaruh dan dampak apapun. Perubahan bukan merupakan elemen penting dari Critical Junctures, sehingga sebuah peristiwa tidak bisa diabaikan begitu saja dengan hanya mempertimbangkan apakah peristiwa tersebut menghasilkan perubahan fundamental terhadap sebuah institusi (Kelemen: 2007: 13). Konsep ini menekankan bahwa proses dan pergulatan internal institusi dalam merespons peristiwa tersebut lebih utama dari hanya sekadar melihat perubahan yang mungkin muncul sebagai dampak dari peristiwa tersebut. Sebagai respons terhadap peristiwa Critical Junctures dipandang sebagai proses pengambilan keputusan oleh aktor dalam ketidakpastian, kondisi tidak normal dan diluar prediksi,
“Critical Junctures as the analysis of decision making under
conditions of uncertainty” (Kelemen: 2007: 15). Langkah-langkah strategis dalam proses pengambilan keputusan, identifikasi atas opsi yang tersedia dan dipilih serta dampak sebuah pilihan kebijakan terhadap institusi dilakukan oleh aktor kunci/utama yang mempunyai pengaruh di dalam institusi tersebut. Keputusan yang diambil oleh aktor dalam Critical Junctures diarahkan dalam upaya membawa institusi yang sedang berada dalam ketidakpastian menuju sebuah equilibrium baru. Dalam konteks Path Dependent peran strategis aktor
dalam
menentukan
pilihan
kebijakan
mempunyai
hubungan
saling
mempengaruhi dengan institusi, dimana institusi membatasi pilihan-pilihan yang tersedia dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini menawarkan penjelasan yang
24
lebih seimbang tentang hubungan saling mempengaruhi antara institusi dan tindakan aktor. Ini artinya pendekatan ini memahami institusi tidak menentukan output, namun hanya membatasinya.
2. Institutional Isomorphism Paul J. Di Maggio dan Walter W. Powell (1983) berargumen bahwa situasi lingkungan di sekeliling institusi memberikan pengaruh terhadap institusi, keputusan yang diambil oleh organisasi akan dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar organisasi. Organisasi akan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan tekanan dari luar untuk mempertahankan eksistensinya. Sebuah organisasi, dalam teori institusional, akan mempertahankan eksistensinya terhadap tekanan-tekanan dari luar dimana bentuk pertahanan yang dilakukan adalah adanya penyesuaian diri. DiMaggio & Powell (1983) mengatakan bahwa Isomorphism adalah proses yang mendorong satu unit dalam satu populasi untuk menyerupai unit-unit yang lain dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama. Ada tiga proses bagaimana sebuah organisasi
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Pertama, Coercive
isomorphism yaitu proses penyesuaian menuju kesamaan dengan cara “pemaksaan”. Tekanan datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Misalnya, tekanan resmi datang dari peraturan pemerintah agar bisa diakui. Tekanan institusional ini dapat dicerminkan melalui banyaknya peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang mengganggu komitmen organisasi dalam penerapan suatu praktik
25
yang baru. Dengan kata lain pemaksaan ini datang dari pengaruh politik dan berhubugan dengan masalah legitimasi. Coercive isomorphism bisanya terjadi karena tekanan eksternal, seperti organisasi lain dan masyarakat. Hal ini merupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lainnya. Kedua, Mimetic
isomorphism yaitu
proses
dimana
organisasi
meniru
organisasi lain yang berhasil dalam satu bidang. Memetic isomorphism terjadi jika organisasi meniru proses, struktur dan praktik organisasi lain. Hal ini merupakan respons terhadap situasi ketidakpastian dimana institusi berada dibawah tekanan untuk meningkatkan kinerja, namun tidak mengetahui bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. proses peniruan ini didorong oleh keinginan institusi untuk lebih efisien dalam praktik dan memperoleh hasil yang lebih efektif. Ketiga, Normative isomorphism. Normatif Isomorphism diasosiasikan dengan profesionalisme dan menangkap tekanan normatif yang muncul di bidang tertentu. Jadi kemiripan terjadi atas dasar tekanan yang di kaitkan dengan profesionalisme (DiMaggio& Powell: 1983). Setiap institusi perlu memperhatikan komitmen yang tinggi dalam penyelenggaraan tugasnya sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh nilai lingkungan yang bertentangan. Komitmen organisasi dapat diasosiasikan dengan normative isomorphism. Normatif isomorphism menggambarkan bahwa organisasi secara profesional mengerti tentang norma, peraturan atau regulasi yang ada. Sehingga walaupun norma dan regulasi tersebut bersifat menekan namun anggota organisasi tetap mematuhinya sebagai bentuk pengabdiannya kepada organisasi.
26
Organisasi berada dalam lingkungan yang majemuk dan dinamis sehingga terkadang dapat terpengaruh oleh norma serta aturan yang telah lama berlaku di lingkungan tersebut. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang tinggi agar organisasi dapat tetap berpraktek sesuai norma dan regulasi, dengan tujuan mengabdi bagi organisasi. Tekanan eksternal memaksakan organisasi untuk melakukan suatu tindakan demi memenuhi harapan eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi yang mengutamakan legitimasi cenderung menerima tekanan dari lingkungannya sehingga tekanan eksternal ini memastikan cara organisasi berpraktik (DiMaggio & Powell: 1983).
3. Alur Berfikir Gambar 1.1 Alur Berfikir Momentum Kritis Kritis
Trasnformasi Jamaah Tarbiyah Terganjal ET
Aktor
Respons
Konsekuensi
Tersandung Kasus korupsi
27
F. Metodologi Penelitian 1.
Jenis penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif
sebagai instrumen
akademik untuk mengungkap masalah dalam penelitian. Penelitian kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk membantu memahami, memberikan tafsir pada fenomena yang dilihat baik dalam bentuk informasi personal narasumber maupun dari data tertulis atau data lainnya. Menyesuaikan dengan tujuan dan maksud penelitian, maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus untuk dapat menggali dan memahami lebih mendalam realitas dan fenomena politik yang dialami oleh PKS dengan menggali informasi dari informan yang terlibat secara individu dan emosional dalam perjalanan PKS di panggung politik nasional. Beranjak dari pendekatan yang dugunakan, penelitian ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif, dengan
mengombinasikan metode studi kasus dengan
metode analisis historis. Metode studi kasus dipilih karena metode ini merupakan pengujian secara rinci terhadap suatu latar atau suatu objek atau suatu tempat penyimpanan dokumen atau suatu peristiwa tertentu. Dengan kata lain, metode studi kasus merupakan metode penelitian yang memusatkan perhatian pada satu kasus secara intensif, rinci dan mendalam. Berpijak pada batasan tersebut, maka batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa organisasi, peristiwa, latar dan dokumen; (2) sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada diantara variabel-variabelnya.
28
Salah-satu varian dari metode studi kasus adalah studi kasus kesejarahan. Penelitian ini menyadari bahwa pengkajian mendalam atas suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu memerlukan penjelasan historis, sehingga bisa menjelaskan hubungan kausalitas, perkembangan organisasi, latar belakang situasional, serta menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu terjadi”. Penggunaan metode analisis historis dalam studi ini didasarkan atas keyakinan bahwa setiap phenomena sosial politik memiliki akar sejarah yang luas, yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada kondisi sekarang dan di masa yang akan datang. Dengan demikian, cara berfikir historis dalam penelitian ini adalah tidak melihat sejarah semata sebagai ilustrasi tetapi menganalisis proses-proses kekuasaan dalam bentang waktu dan sekuen tertentu. Dalam bentang waktu tersebut, perhatian diberikan kepada momen-momen historis berupa periode kritis (Critical juncture). Momen-momen itu dianalisis dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para aktor pengendali partai ketika dihadapkan pada perubahan kondisi lingkungan strategis. Sehingga untuk menemukan momen kritis maka harus dilakukan rekontruksi, secara sistematis dan ketat, setiap langkah dari proses pengambilan keputusan, mengidentifikasi keputusankeputusan yang paling berpengaruh dan apa saja pilihan yang tersedia bagi aktor dan menjelaskan dampaknya dan hubungan mereka dengan keputusan-keputusan penting lainnya.
29
2.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode. Pertama, Kajian literatur. Penelitian ini akan menggunakan studi kepustakaan atau analisis dokumen, yakni mengumpulkan data yang bersifat sekunder yang diperoleh melalui sejumlah literatur kepustakaan, artikel, majalah, jurnal, koran, arsip, rekaman Video catatan maupun laporan yang berkaitan dan memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kedua, melakukan wawancara mendalam. wawancara secara mendalam terhadap informan yang sudah ditentukan yang dianggap punya pengetahuan, terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti. Informan dalam penelitian adalah orangorang yang terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan strategis partai di tingkat pusat secara struktural kepartaian baik di dewan pimpinan pusat partai dan juga struktur pimpinan partai di DPR/fraksi PKS serta orang-orang yang sebelumnya punya hubungan dan ikatan emosional dan keterlibatan di dalam partai. Untuk keperluan wawancara dengan informan tersebut penelitian ini dilakukan di Jakarta, tepatnya di kantor DPP PKS, MD Building Jalan TB Simatupang No. 82, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain itu untuk melengkapi dan menguatkan data dan argumen dalam penelitian ini peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa anggota DPR dari fraksi PKS di DPR-RI. Adapun informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
30
Tabel 1.2 Daftar Informan Penelitian No
Nama
1
Mardani Ali Sera
2
Hermanto
Jabatan Wakil Sekjen PKS
Anggota Fraksi
Waktu
Tempat
24 Agustus 2015
MD Building/DPP PKS
16 September 2015
Transmedia
24 Agustus 2015
Gedung Nusantara 4
PKS/Ketua Wilda
DPR-RI
Sumatera Barat 3
4
Anis Matta
Refrizal
Mantan Presiden
07 September 2015
The Future Institute Parta
PKS/Anggota Majeleis
V, Pancoran, Jakarta
Syura
Selatan
Anggata fraksi PKS
23 September 2015
wawancara via telpon, Jakarta
5
Untung Wahono
Sekretaris Majelis Syura/
30 September 2015
MD Building DPP PKS
07 Oktober 2015
Gedung Nusantara III
Anggota MPP 6
Hidayat Nurwahid
Mantan Presiden PKS/Wakil ketua
MPPR-RI
Majelis Syura/wakil Ketuan MPR 7
Tifatul Sembiring
Mantan Presiden
29 September 2015
PKS/Anggota Fraksi
Gedung Nusantara 4 DPR-RI
PKS 8
Jazuli Juaini
Ketua Fraksi PKS
15 September 2015
Hotel Bumi Wiyata, Depok Jawa barat (Lokasi MUNANS PKS)
9
Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR
07 September 2015
The Future Institute Parta V, Pancoran, Jakarta Selatan
10
Taufiq Ridha
Sekjen PKS
14 September 2015
Hotel Bumi Wiyata, Depok Jawa barat (Lokasi MUNANS PKS)
31
3.
Unit Analisis
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah organisasi dalam hal ini partai politik, sehingga diharapkan jawaban dari penelitian ini akan menggambarkan realitas dari partai politik secara institusi berkaitan dengan upaya PKS dalam membangun kapasitas organisasi dalam menghadapi dan melakukan respons terhadap permasalahan dan momen kritis yang dihadapi oleh partai.
4.
Analisis Data
Data yang diperoleh di lapangan dalam penelitian ini dalam bentuk data kualitatif. Analisis data yang dilakukan bersifat interpretative yaitu berupa interpretasi yang bertujuan untuk mencapai pengertian dari apa yang ditemukan di lapangan dengan menggunakan pemikiran logis dan disajikan dalam bentuk deskriptif analisis yang merupakan ciri-ciri pendekatan kualitatif. Analisis data dilakukan dengan pengorganisasian data yang terkumpul berupa hasil wawancara dalam bentuk catatan, rekaman wawancara, dokumen atau arsip resmi gambar dan foto sebagai dokumentasi, kemudian dikategorikan kedalam kelompok tertentu untuk lebih mudah dipahami. Proses analis data kemudian dilakukan dengan melakukan reduksi data, penyajian dan kesimpulan. Reduksi data dimaksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan data yang diperoleh dari lapangan. Tahap selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan
32
ulang pada catatan-catatan lapangan dengan tujuan data-data tersebut bisa teruji validitas data tersebut.
G. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, uraian dalam bagian ini adalah Bab I. Kemudian dilanjutkan ke pembahasan Bab II yang merupakan uraian yang berkaitan dengan fenomena PKS. Pada bagian ini akan di uraikan objek penelitian secara lengkap, baik secara organisasi maupun sejarah kemunculannya serta fenomena PKS di panggung politik nasional. Bab III merupakan identifikasi atas momentum kritis yang dilalui PKS sejak awal keterlibatannya di panggung politik nasional serta dinamika organisasi yang dialami hingga tahun 2014. Setelah melakukan identifikasi atas momentum kritis yang dialami PKS, pada Bab IV merupakan bagian analisis bagaimana upaya PKS untuk keluar dari momentum kritis tersebut sehingga PKS tetap eksis sebagai kekuatan politik di tanah air. Upaya tersebut akan dibaca untuk menemukan respons institusional PKS dalam menghadapi saat-saat kritis yang mengancam masa depan partai. Kajian ini ditutup dengan Bab V yang merupakan kesimpulan dari penelitian yang merupakan intisari dari rangkaian analisis yang di urai pada bab-bab sebelumnya.
33